Referat Rena, Rianti Dan Ridho (Antibiotik)
-
Upload
yuny-hafitry -
Category
Documents
-
view
255 -
download
15
Transcript of Referat Rena, Rianti Dan Ridho (Antibiotik)
REFERAT
Antibiotik
Disusun Oleh :
Renawati NPM. 111170057
Rianty Adyati NPM. 111170058
Ridho Ismail Hasan NPM. 111170059
Dosen Pembimbing :
dr. Catur Setiya S. M.Med.Ed
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2012
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Antibiotik
Diajukan untuk kegiatan belajar mandiri dan sebagai syarat
mengikuti Ujian Akhir Blok
di Fakultas Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
Telah disetujui untuk dipresentasikan
Pada tanggal : September 2012
Disusun Oleh :
Renawati NPM. 111170057
Rianty adyati NPM. 111170058
Ridho ismail hasan NPM. 111170059
Cirebon, September 2012
Dosen Pembimbing :
dr. Catur Setiya S. M. Med. Ed
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, dengan
Rahmat dan Hidayahnya kami dapat menyelesaikan Refrat ini dengan tema
“Antibiotik”. Adapun Refrat ini dibuat yaitu untuk kegiatan belajar mandiri dan
sebagai syarat mengikuti Ujian Akhir Blok 234.
Dalam menyusun Refrat ini , kami memperoleh bimbingan, pengarahan dan
masukan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada dr. Catur Setiya selaku pembimbing kami
dalam pembuatan referat ini.
Dengan keterbatasan pengalaman dalam kami Referat ini tidak menutup
kemungkinan adanya kesalahan dari kami selaku pihak yang menulis Referat ini.
Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
kesempurnaan Referat ini. Akhirnya kami mengharapkan semoga Referat ini
bermanfaat bagi kami dan bagi para pembaca.
Cirebon, September 2012
Penulis
Daftar Isi
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Antibiotik adalah senyawa organik yang dihasilkan oleh berbagai spesies
mokroorganisme dan bersifat toksik terhadap spesies mokroorganisme lain.
Penelitian dari para ahli membuktikan bahwa antibiotik berbeda dalam
kemampuannya menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
Antibiotik ternyata tidak dapat mempengaruhi semua mikroorganisme patogen,
tetapi mempunyai spektrum terrtentu yaitu kumpulan mikroorganisme yang peka
atau rentan terhadap antibiotik tersebut. Dengan demikian, dalam mempengaruhi
mikroorganisme suatu antibiotik mempunyai luas kerja yang terbatas. (Damin
Sumarju, 2006)
Berdasarkan luas kerjanya, antibiotik dibedakan atas antibiotik dengan
kerja sempit, yakni antibiotik yang hanya mempunyai spektrum sempit karena
hanya aktif terhadap satu atau beberapa bakteri saja dan antibiotik dengan kerja
luas yakni antibiotik yang mempunyai spektrum luas karena aktif membunuh
banyak bakteri. Streptomisin dan griseopulpin termasuk antibiotik yang
mempunyai kerja sempit, sedangkan tetrasiklin dan kloramfenikol termasuk
antibiotik yang mempunyai kerja luas. (Damin Sumarju, 2006)
Sejak 1942, antibiotik mulai populer digunakan dalam pengobatan penyakit
infeksi. Obat antibiotik tidak selalu dalam keadaan bebas ada yang terdapat dalam
bentuk garamnya ataupun dalam bentuk esternya. Meskipun zat-zat kimia ini
dapat memberikan hasil-hasil yang memuaskan, penggunaannya harus dibatasi
hanya untuk infeksi bakteri-bakteri yang peka terhadapnya. Selain toksik,
pemakaian yang sembarangan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan
bagi pasien, misalnya berkembangnya resistensi bakteri dan timbulnya
superinfeksi atau supreinfeksi. (Damin Sumarju, 2006)
Antibiotik mempunyai sifat toksik dan berbahaya apabila masuk ke dalam
tubuh dalam dosis besar. Efek toksik antibiotik dapat mempengaruhi bagian-
bagian tubuh tertentu. Kloramfenikol menimbulkan efek toksik pada sumsum
tulang belakang sehingga pembentukan sel-sel darah merah terganggu, sedangkan
streptomisin dapat merusak organ keseimbangan dan pendengaran sehingga
menyebabkan pusing, bising telinga, dan kemudian menjadi tuli. Pemberian
penisilin sebagai obat kepada seseorang yang tidak tahan/peka dapat
menimbulkan gatal-gatal, bintik-bintik merah pada kulit, bahkan menyebabkan
pingsan. (Damin Sumarju, 2006)
Resistensi bakteri dapat terjadi jika pengobatan dengan antibiotik tidak
mencukupi misalnya, karena terlalu singkat atau terlalu lama dengan dosis yang
terlalu rendah. Dalam hal ini, bakteri akan memberikan terhadap perlawanan
terhadap kerja antibiotik sehingga khasiat antibiotik akan menjadi berkurang, atau
tidak berkhasiat sama sekali. Bila suatu antibiotik tidak mampu membunuh
bakteri atau bakteri menjadi kebal, pengobatan selanjutnya harus dilakukan
dengan menggunakan antibiotik lain. (Damin Sumarju, 2006)
Dalam tinjauan pustaka, penulis akan menjelaskn mengenai antibiotik
khususnya tentang klasifikasi dan penggolongan antibiotik, farmakokinetik dan
farmakodinamik antibiotik, dan penggunaan antibiotik dalam klinik. Yang
memiliki peranan penting untuk menghentikan infeksi bakteri di dalam tubuh
manusia.
1.1 Tujuan dan Penulisan
1.1.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui tentang
antibiotik.
1.1.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi antibiotik
b. Mengetahui sejarah antibiotik
c. Mengetahui klasifikasi dan penggolongan antibiotik
d. Mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik
e. Mengetahui penggunaan antibiotik dalam klinik
1.2 Manfaat Penulisan
a. Manfaat untuk Penulis : menambah pengetahuan tentang klasifikasi dan
penggolongan antibiotik, farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik,
peran antibiotik dalam klinik serta menambah pengalaman dalam
membuat karya ilmiah atau makalah
b. Manfaat untuk Pembaca : menambah pengetahuan dan wawasan
c. Manfaat untuk Institusi : Menambah referensi karya ilmiah atau makalah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dan Struktur Kimia Antibiotik
Antibiotik adalah senyawa organik yang dihasilkan oleh berbagai spesies
mokroorganisme dan bersifat toksik terhadap spesies mokroorganisme lain. Sifat
toksik senyawa-senyawa yang tertentu mempunyai kemampuan menghambat
pertumbuhan bakteri (efek bakteriostatik) dan bahkan ada yang langsung
membunuh bakteri (efek bakterisid) yang kontak dengan antibiotik tersebut.
(Damin Sumarju, 2006)
Struktur kimia antibiotik yang diketahui oleh banyak, dengan pengecualiaan
yang termasuk antibiotik polipeptida. Strukturnya ada yang kompleks dan ada
yang sederhana. Banyak struktur sederhana telah dapat dibuat secara sintetis.
Secara semisintetik, turunan antibiotik yang mempunyai struktur kimia kompleks
juga telah banyak diperoleh. Antibiotik juga dikenal sebagai obat anti infeksi
yang memegang peranan penting dalam klinis karena dapat mencegah dan
menyembuhkan berbagai macam penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang rentan terhadap antibiotik ini. (Damin Sumarju, 2006)
2.2 Klasifikasi dan Penggolongan Antibiotik
2.2.1 Antibiotik β-laktam dan antibiotik lain yang aktif di dinding dan
membran sel
Antibiotik β-laktam merupakan antibiotik yang bermanfaat dan sering
diresepkan, memiliki struktur urrium dan mekanisme kerja yang sama yaitu
menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri. Di sini diuraikan
golongan antibiotik yang aktif di dinding dan membran sel, diantaramya
adalah :
A. Penisilin
Golongan penisilin mempunyai persamaan sifat kimiawi, mekanisme
kerja, farmakologi, dan karakteristik imunologis dengan sefalosporin,
monobaktam, karbapenem, dan penghambat β-laktamase. Semua obat
tersebut merupakan senyawa β-laktam yang dinamakan demikian
karena mempunyai cincin laktam beranggota empat yang unik.
(Katzung, 2010)
Kimiawi
Semua penisilin mempunyai struktur dasar yang disajikan pada
Gambar 1. Suatu cincin tiazolidin (A) melekat pada cincin β-laktam
(B) yang membawa suatu gugus amino sekunder (RNH-). Integritas
struktur inti asam 6-aminopenisilinat pen-ting untuk aktivitas
biologis senyawa ini. Hidrolisis cincin β-laktam oleh β-laktamase
milik bakteri menghasilkan asam penisiloat yang tidak mempunyai
aktivitas antibakteri. (Katzung, 2010)
Gambar 1. Struktur kimia penisilin
Mekanisme Kerja
Penisilin, seperti semua antibiotik β-laktam, menghambat
pertumbuhan bakteri dengan mengganggu reaksi trans dalam sintesis
dinding sel bakteri. Dinding sel adalah suatu lapisan luaryang kaku dan
khas untuk species bakteri, dan sepenuhnya membungkus membran
sitoplasma, (Gambar 2) mempertahankan bentuk dan integritas sel, dan
mencegah lisis sel akibat tekanan osmolitik tinggi. Dinding sel tersusun
dari suatu polimer polisakarida dan polipeptida berikatan silang yang
kompleks, yakni peptidoglikan (murein, mukopeptida). Polisakarida ini
mengandung gula amino yang berselang-seling, yakni N-asetilglukosamin
dan asam N-asetilmuramat. Suatu peptida yang mengandung lima asam
amino dikaitkan dengan gula asam N-asetilmuramat. Peptida ini berakhir
di D-alanil-D-alanin. Penicillin-binding protein (PBP, suatu enzim)
memotong alanin terminal tersebut pada proses pembentukan suatu
ikatan silang dengan peptida di dekatnya. Ikatan silang tersebut membuat
struktur dinding sel menjadi kaku. Antibiotik β-laktam, yang secara
struktural merupakan analog substrat PBP yaitu, D-Ala-D-alamiah,
berikatan secara kovalen dengan tempat aktif di PBP. Ikatan ini
menghambat reaksi transpeptidase (Gambar 3), menghentikan sintesis
peptidoglikan sehingga sel akan mati. Mekanisme pasti kematian sel tidak
sepenuhnya dimengerti, tetapi autolisin dan gangguan morfogenesis
dinding sel tampaknya ikut terlibat. Penisilin dan sefalosporin membunuh
sel bakteri hanya jika sel bakteri tersebut aktif bertumbuh dan menyintesis
dinding sel. (Katzung, 2010)
Gambar 2. Diagram sederhana selubung sel bakteri gram-negatif
Resistensi
Resistensi terhadap penisilin dan β-laktam lainnya disebabkan oleh
salah satu dari empat mekanisme umum berikut: (1) inaktivasi antibiotik
oleh β-laktamase, (2) modifikasi PBP target, (3) gangguan penetrasi obat
untuk mencapai PBP sasaran, dan (4) efluks. Produksi β-laktamase
merupakan mekanisme resistensi yang paling umum dijumpai. Beratus-
ratus β-laktamase yang berbeda telah diidentifikasi. Beberapa β-laktamase,
seperti yang diproduksi oleh Staphylococcus aureus, Haemophilus sp, dan
Escherichia coli, memiliki spesifisitas terhadap substrat yang relatif sempit
sehingga lebih menginaktivasi penisilin ketimbang sefalosporin. β-
laktamase lainnya, seperti β-laktamase AmpC yang dihasilkan oleh
Pseudomonas aeru-ginosa dan Enterobacter sp, dan β-laktamase
berspektrum luas (extended-spectrum β-lactamase, ESBL),
menghidrolisis sefalosporin dan penisilin. Karbapenem sangat resisten ter-
hadap hidrolisis oleh penisilinase dan sefalosporinase tapi dihidrolisis oleh
metallo-β-laktamase dan karbapenemase.
Perubahan PBP target merupakan dasar resistensi terhadap metisilin
pada stafilokokus dan dasar resistensi terhadap penisilin pada
pneumokokus dan enterokokus. Organisme yang resisten tersebut
menghasilkan PBP yang berafinitas rendah terhadap peningkatan dengan
antibiotik β-laktam sehingga organisme tersebut tidak dihambat, kecuali
pada konsentrasi obat yang relatif tinggi, yang sering kali tidak tercapai
dapat secara klinis. (Katzung, 2010)
Penggolongan Penisilin dan Ringkasan Farmakologisnya
1. Penisilin (misalnya, penisilin G)
Jenis penisilin ini memiliki aktivitas terkuat terhadap organisme
gram-positif, kokus gram-negatif, dan mikroorganisme anaerob yang
tidak menghasilkan β-laktamase. Akan tetapi, jenis ini hanya sedikit
efektif terhadap batang gram-negatif, dan rentan dihidrolisis oleh β-
laktamase.
Penisilin G merupakan obat pilihan untuk infeksi yang disebabkan
oleh streptokokus, meningokokus, enterokokus, pneumokokus yang
rentan-penisilin, stafilokokus yang tidak menghasilkan (β-laktamase,
Treponema pallidum dan banyak spiroketa lainnya, spesies klostridium,
aktinomises, dan batang gram-positif serta organisme anaerob gram-
negatif yang tidak menghasilkan β-laktamase. Bergantung pada
organisme, tempat, dan derajat keparahan infeksi, dosis efektif berkisar
antara 4 sampai 24 juta unit per hari yang diberikan intravena dalam
empat atau enam dosis terbagi. Penisilin G dosis tinggi dapat juga
diberikan sebagai infus intravena secara kontinu.
Penisilin V, suatu bentuk penisilin oral, hanya diindikasikan pada
infeksi ringan karena bioavailabilitasnya relatif rendah, dosisnya perlu
diberikan empat kali sehari, dan spektrum antibakterinya sempit.
Amoksisilin lebih sering digunakan sebagai pengganti.
Penisilin benzatin dan penisilin G prokain untuk suntikan
intramuskular menghasilkan kadar obat yang rendah tetapi bertahan
lama. Suntikan tunggal penisilin benzatin sebanyak 1,2 juta unit
secara intramuskular, efektif sebagai terapi faringitis streptokokus β-
hemolitikus; penisilin benzatin intramuskular yang diberikan setiap 3-4
minggu sekali mencegah reinfeksi. Penisilin G benzatin sebanyak 2,4
juta unit secara intramuskular sekali seminggu selama 1-3 minggu,
efektif untuk terapi sifilis. Penisilin G prokain, yang dulu merupakan
andalan dalam terapi pneumonia pneumokokus tanpa penyulit
atau gonorea, saat ini jarang digunakan karena banyak galur yang
resisten terhadap penisilin. (Katzung, 2010)
2. Penisilin antistafilokokus (misalnya, nafsilin)
Jenis penisilin ini resisten terhadap β-laktamase stafilokokus. Jenis ini
efektif terhadap stafilokokus dan streptokokus tapi tidak efektif
terhadap enterokokus, bakteri anaerob dan kokus serta batang gram-
negatif.
Penisilin semisintetis ini diindikasikan untuk infeksi stafilokokus
yang menghasilkan P-laktamase, walaupun galur streptokokus dan
pneumokokus yang rentan terhadap penisilin juga sensitif terhadap
penisilin ini. Listeria, ente-rokokus, dan galur stafilokokus yang resisten
terhadap metisilin resisten terhadap antibiotik jenis ini. Penisilin
isoksazolil, seperti oksasilin, kloksasilin, atau dikloksasilin, sebanyak
0,25-0,5 g per oral tiap 4-6 jam (15-25 mg/kg/hari untuk anak), cocok
digunakan sebagai terapi infeksi stafilokokus setempat berderajat
ringan hingga sedang.
Penisilin isoksazolil relatif stabil terhadap asam dan
bioavailabilitasnya cukup baik. Akan tetapi, makanan mengganggu
absorpsinya sehingga obat harus diberikan 1 jam sebelum atau setelah
makan. Untuk infeksi stafilokokus sistemik yang berat, oksasilin atau
nafsilin sebanyak 8-12 g/hari diberikan melalui infus intravena
intermiten sebesar 1-2 g setiap 4-6 jam (50-100 mg/kg/hari untuk anak).
(Katzung, 2010)
3. Penisilin berspektrum luas (ampisilin dan penisilin
antipseudomonas)
Jenis penisilin ini tetap memiliki spektrum antibakteri seperti penisilin
tetapi efektivitasnya meningkat terhadap organisme gram negatif.
Namun, seperti penisilin, jenis ini rentan dihidrolisis oleh β-laktamase.
Obat-obat ini memiliki aktivitas yang lebih besar daripada penisilin
G terhadap bakteri gram-negatif karena kemampuannya menembus
membran luar organisme gram-negatif lebih besar. Seperti penisilin G,
Obat ini diinaktifkan oleh β-laktamase.
Aminopenisilin, yaitu ampisilin dan amoksisilin, mempunyai
spektrum dan aktivitas yang sama, tetapi amoksisilin lebih mudah
diabsorpsi per oral. Amoksisilin dengan dosis 250-500 mg 3 kali sehari,
setara dengan ampisilin dalam dosis yang sama 4 kali sehari. Obat-
obat ini diberikan secara oral untuk mengobati infeksi saluran kemih,
sinusitis, otitis, dan infeksi saluran napas bawah. Ampisilin dan
amoksisilin adalah antibiotik oral β-laktam yang paling aktif
terhadap pneumokokus yang resisten terhadap penisilin dan menjadi
antibiotik β-laktam yang dianjurkan untuk mengobati infeksi yang
dicurigai disebabkan oleh bakteri resisten tersebut. Ampisilin (tapi tidak
amoksisilin) efektif pada shigelosis. Penggunaannya untuk mengobati
gastroenteritis akibat salmonella tanpa komplikasi masih kontroversial
karena dapat memperpanjang status karier (pembawa).
Ampisilin, pada dosis 4-12 g/hari intravena, bermanfaat mengobati
infeksi berat yang disebabkan oleh organisme yang rentan-penisilin,
termasuk organisme anaerob, enterokokus, Listeria monocytogenes, dan
galur kokus dan basil gram-negatif yang tidak menghasilkan p-
laktamase, seperti E. coli, dan spesies salmonella. Galur H.influenzae
yang tidak menghasilkan β-laktamase umumnya rentan, tapi saat ini
mulai muncul galur resisten karena adanya perubahan PBP. Banyak
spesies gram-negatif menghasilkan β-laktamase dan bersifat resisten
sehingga menghalangi penggunaan ampisilin sebagai terapi empiris
untuk infeksi saluran kemih, meningitis, dan demam tifoid. Ampisilin
tidak aktif terhadap klebsiella, enterobakter, Pseudomonas aeruginosa,
sitrobakter, seratia, spesies proteus positifindol, dan bakteri aerob gram-
negatif lain yang umum dijumpai pada infeksi nosokomial.
Karbenisilin, yakni karboksipenisilin antipseudomonas yang
pertama kali ditemukan, sudah tidak digunakan lagi. Turunannya,
karbenisilin indanil natrium, dapat diberikan per oral untuk infeksi
saluran kemih. Terdapat alternatif lain yang lebih aktif dan ditoleransi
lebih baik. Suatu karboksipenisilin yang memiliki aktivitas serupa
dengan karbenisilin adalah tikarsilin. Tikarsilin tidak seaktif ampisilin
dalam melawan enterokokus. Golongan ureidopenisilin, yakni
piperasilin, mezlosilin, dan azlosilin, juga aktif terhadap beberapa basil
gram-negatif terpilih, seperti Klebsiella pneumoniae. Walaupun tidak
ada data klinis yang mendukung keunggulan terapi kombinasi di atas
terapi obat tunggal, karena kecenderungan P.aeruginosa untuk menjadi
resisten, penisilin antipseudomonas sering digunakan dalam kombinasi
dengan aminoglikosida atau fluorokuinolon untuk infeksi
pseudomonas di luar saluran kemih.
Ampisilin, amoksisilin, tikarsilin, dan piperasilin juga tersedia
dalam kombinasi dengan salah satu dari beberapa penghambat β-
laktamase : asam klavulanat, sulbaktam, atau tazobaktam. Penambahan
penghambat β-laktamase meningkatkan aktivitas penisilin ini sehingga
mencakup galur S. aureus yang menghasilkan β-laktamase serta
beberapa bakteri gram-negatif yang menghasilkan β-laktamase.
(Katzung, 2010)
Farmakokinetik
Absorpsi obat per oral dapat sangat berbeda untuk tiap penisilin, dan
sebagian bergantung pada kestabilan terhadap asam dan ikatan proteinnya.
Absorpsi nafsilin di saluran cerna bersifat erotik sehingga tidak cocok
diberikan per oral. Dikloksasilin, ampisilin, dan amoksisilin relatif stabil
terhadap asam dan diabsorpsi dengan baik, menghasilkan konsentrasinya
dalam serum sekitar 4-8 mcg/mL pada dosis oral 500 mg. Absorpsi
sebagian besar penisilin oral (kecuali amoksisilin) terganggu oleh makanan
sehingga obat tersebut harus diberikan setidaknya 1-2 jam sebelum atau
sesudah makan.
Setelah pemberian parenteral, absorpsi kebanyakan penisilin terjadi
secara utuh dan cepat. Pemberian melalui jalur intravena lebih disukai
daripada jalur intramusku-lar karena injeksi dosis besar intramuskular
menimbulkan iritasi dan nyeri setempat. Konsentrasi dalam serum 30
menit pascainjeksi intravena 1 g penisilin (setara dengan sekitar 1,6 juta
unit penisilin G) adalah 20-50 mcg/mL. Hanya sedikit dari total obat dalam
serum dijumpai dalam bentuk obat bebas; konsentrasi obat ditentukan oleh
ikatan obat dengan protein. Penisilin yang sangat terikat pada protein
(misalnya, nafsilin) umumnya mencapai konsentrasi obat bebas yang lebih
rendah dalam serum ketimbang penisilin yang kurang terikat pada protein
(misalnya, penisilin G, ampisilin). Ikatan dengan protein menjadi relevan
secara klinis jika persentase obat yang terikat pada protein mencapai
sekitar 95% atau lebih. Penisilin terdistribusi secara luas dalam cairan
tubuh dan jaringan, dengan beberapa pengecualian. Penisilin merupakan
molekul yang polar sehingga konsentrasi penisilin intrasel jauh lebih
sedikit daripada konsentrasi penisilin dalam cairan ekstrasel.
Penisilin benzatin dan prokain dibuat untuk menunda absorpsi
sehingga konsentrasi penisilin lebih lama berada dalam darah dan
jaringan. Injeksi intramuskular tunggal 1,2 juta unit penisilin benzatin
mempertahankan kadar serum di atas 0,02 mcg/mL selama 10 hari, yang
cukur untuk menangani infeksi streptokokus (3-hemolitikus Setelah 3
minggu, kadarnya masih melebihi 0,003 meg mL, yang cukup untuk
mencegah infeksi streptokokus β-hemolitikus. Dosis penisilin prokain
sebesar 600.000 urn: menghasilkan konsentrasi puncak sebesar 1-2
mcg/rr.L dan secara klinis bermanfaat selama 12-24 jam pascainjeks;
intramuskular tunggal.
Konsentrasi penisilin dalam sebagian besar jaringan serupa dengan
konsentrasinya dalam serum. Penisilin juga diekskresikan dalam sputum
dan susu dengan kadar sebesar 3-15% kadarnya dalam serum.
Penetrasinya ke jaringan mata, prostat, dan susunan saraf pusat buruk
Akan tetapi, pada radang meningen yang aktif, seperfa pada meningitis
bakterialis, konsentrasi penisilin sebesar 1-5 mcg/mL dapat dicapai dengan
dosis parenteral harian sebesar 18-24 juta unit. Konsentrasi ini cukup
untuk membunuh galur pneumokokus dan meningokokus yang rentan.
Penisilin cepat diekskresi oleh ginjal; sejumlah kecil diekskresi melalui
jalur lain. Sekitar 10% ekskresi ginjal terjadi melalui filtrasi glomerulus
dan 90% oleh sekresi di tubulus ginjal. Waktu paruh normal penisilin G
adalah sekitar 30 menit; pada gagal ginjal, dapat mencapai 10 jam.
Ampisilin dan penisilin berspektrum luas disekresi lebih lambat dibanding
penisilin G dan mempunyai waktu paruh selama 1 jam. Untuk penisilin
yang dibersihkan oleh ginjal, dosisnya harus disesuaikan menurut fungsi
ginjal; pemberian sekitar seperempat hingga sepertiga dosis normal
dilakukan jika bersihan kreatinin ginjal sebesar 10 mL/menit atau kurang.
Nafsilin terutama dibersihkan melalui ekskresi empedu. Oksasilin,
dikloksasilin, dan kloksasilin dieliminasi oleh ekskresi ginjal dan empedu;
penyesuaian dosis obat-obat ini tidak diperlukan pada gagal ginjal.
Karena bersihan. penisilin kurang efisien pada neonatus, dosis yang
hanya disesuaikan menurut berat badan menghasilkan konsentrasi
sistemik yang lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama dibanding pada
orang dewasa. (Katzung, 2010)
Kegunaan Klinis
Kecuali amoksisilin oral, semua penisilin harus diberikan 1-2 jam
sebelum atau setelah makan; penisilin sebaiknya tidak ditelan bersama
makanan untuk meminitnalkan ikatan dengan protein makanan dan inaktivasi
oleh asam. Kadar semua penisilin dalam darah dapat ditingkatkan dengan
pemberian probenesid secara simultan, 0,5 g (10 mg/kg pada anak) setiap 6
jam per oral, yang menghambat sekresi asam lemah, seperti senyawa β-
laktam, oleh tubulus ginjal. (Katzung, 2010)
B. Sefalosporin dan Sefamisin
Sefalosporin serupa dengan penisilin, tetapi lebih stabil terhadap
banyak β-laktamase bakteri sehingga memiliki aktivitas spektrum yang
lebih luas. Akan tetapi, galur E. coli dan spesies Klebsiella yang
mengekspresikan β-laktamase berspektrum luas, yang dapat
menghidrolisis sebagian besar sefalosporin, saat ini menjadi masalah.
Sefalosporin tidak aktif terhadap enterokokus dan L. monocytogenes.
(Katzung, 2010)
Kimiawi
Inti sefalosporin, asam 7-aminosefalosporanat, sangat menyerupai asam
6-aminopenisilanat. Aktivitas antimikroba intrinsik sefalosporin alamiah
rendah, tetapi pelekatan berbagai gugus R1 dan R2 telah menghasilkan
ratusan senyawa poten dengan tok-sisitas yang rendah. Sefalosporin
dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok atau generasi utama,
yang terutama bergantung pada spektrum aktivitas antimikroba.
Sefalosporin generasi pertama
Sefalosporin generasi-pertama meliputi sefadroksil, sefazolin,
sefaleksin, sefalotin, sefapirin, dan sefradin. Obat-obat ini sangat
aktif terhadap kokus gram positif, seperti pneumokokus,
streptokokus dan stafilokokus. Sefalosporin tidak aktif terhadap
galur stafilokokus yang resisten terhadap metisilin. E. coli, K.
pneumoniae, dan Proteus mirabilis seringkali sensitif terhadap obat
ini, tetapi aktivitasnya terhadap P. aeruginosa, proteus indol-positif,
enterobakter, Serratia marcescens, sitrobakter, dan asinetobakter
sangat kecil. Kokus anaerob (misalnya, pepto kokus,
peptostreptokokus) biasanya sensitif, tetapi Bacteroides fragilis
tidak demikian. (Katzung, 2010)
Farmakokinetik & Dosis
A. Oral
Absorpsi sefaleksin, sefradin, dan sefadroksil dalam usu= bervariasi.
Setelah pemberian dosis oral 500 mg, kadamya dalam serum adalah
15-20 mcg/mL. Konsentrasi dalam urine biasanya sangat tinggi,
tetapi pada sebagian besar jaringan, konsentrasinya bervariasi dan
biasanya lebih rendah daripada di dalam serum. Sefaleksin dan
sefradin diberikan per oral pada dosis 0,25-0,5 g 4 kali sehari (15-30
mg/kg/hari) dan sefadroksil pada dosis 0,5-1 g 2 kali sehari.
Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus
ke dalam urine. Obat penyekat sekres: tubulus, misalnya probenesid,
dapat sangat meningkatkan kadar serum. Pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal, dosis obat-obat tersebut harus dikurangi.
B. Parental
Sefazolin adalah satu-satunya sefalosporin generasi-pertama
parenteral yang masih digunakan secara luas. Setelah infus
intravena sebesar 1 g, kadar puncak sefazolrn menjadi sebesar 90-
120 mcg/mL. Dosis sefazolin intravena biasa untuk orang dewasa
adalah 0,5-2 g secara intravena setiap 8 jam. Sefazolin juga dapat
diberikan lewat jalur intramuskular. Ekskresi obat ini terjadi melalui
ginjal sehingga penyesuaian dosis harus dilakukan untuk pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. (Katzung, 2010)
Penggunaan Klinis
Walaupun sefalosporin generasi-pertama mempunyai aktivitas
spektrum yang luas dan relatif tidak toksik, obat ini jarang digunakan
sebagai obat pilihan untuk infeksi apapun. Obat oral dapat digunakan
untuk terapi infeksi saluran kemih, infeksi stafilokokus, atau infeksi
streptokokus, seperti selulitis atau abses jaringan lunak. Akan tetapi,
sefalosporin oral hendaknya tidak diandalkan pada infeksi sistemik
yang serius.
Sefazolin dapat menembus sebagian besar jaringan dengan baik.
Obat ini merupakan obat pilihan untuk pro-filaksis bedah. Sefazolin
dapat digunakan sebagai obat pilihan pada infeksi jika merupakan obat
yang paling .tidak toksik pada infeksi tersebut (misalnya, K. pneu-
moniae) dan pada penderita infeksi akibat stafilokokus atau
streptokokus yang memiliki riwayat alergi penisilin selain
hipersensitivitas akut. Sefazolin tidak menembus susunan saraf pusat
sehingga tidak dapat digunakan untuk mengobati meningitis.
Sefazolin adalah alternatif penisilin antistafilokokus untuk pasien yang
alergi terhadap penisilin. (Katzung, 2010)
Sefalosporin generasi kedua
Anggota sefalosporin generasi kedua meliputi sefaklor,
sefamandol, sefonisid, sefuroksim, sefprozil, lorakarbef, dan
seforanid serta sefamisin yang terkait secara struktural, seperti
sefoksitin, sefmetazol, dan sefotetan, yang memiliki aktivitas
terhadap bakteri anaerob. Kelompok obat ini tersusun atas berbagai
obat (heterogen) yang memiliki perbedaan nyata dalam hal aktivitas,
farmakokinetik, dan toksisitas pada setiap individu. Pada umumnya,
obat ini aktif terhadap organisme yang dihambat oleh obat generasi-
pertama, tetapi selain itu, obat ini memiliki cakupan gram-negatif yang
lebih luas. Klebsiellae (termasuk yang resisten terhadap sefalotin)
biasanya sensitif. Sefamandol, sefuroksim, sefonisid, seforanid, dan
sefaklor aktif terhadap H.influenzae tetapi tidak terhadap serratia atau B.
fragilis. Sebaliknya, sefoksitin, sefmetazol, dan sefotetan aktif terhadap
B. fragilis dan beberapa galur serratia tetapi kurang aktif terhadap H.
influenzae. Seperti pada agen generasi-pertama, tidak ada sefalosporin
generasi-kedua yang aktif terhadap enterokokus atau P. aeruginosa.
Sefalosporin generasi-kedua dapat memperlihatkan aktivitas in vitro
terhadap spesies enterobakter, tetapi mutan resisten yang secara
konstitutif mengekspresikan β-laktamase kromosomal yang
menghidrolisis senyawa-senyawa ini (dan sefalosporin generasi ketiga)
muncul secara cepat sehingga sefalosporin generasi-kedua sebaiknya
tidak digunakan untuk mengobati infeksi enterobakter. (Katzung, 2010)
Farmakokinetik & Dosis
A. Oral
Sefaklor, sefuroksim aksetil, sefprozil, dan lorakarbef dapat
diberikan per oral. Dosis untuk orang dewasa biasanya 10-15
mg/kg/hari, yang diberikan dalam dua sampai empat dosis terbagi;
anak-anak harus diberikan 20-40 mg/kg/hari hingga mencapai
dosis maksimum 1 g/hari. Kecuali untuk sefuroksim aksetil, obat-
obat ini diperkirakan tidak aktif terhadap pneumokokus yang
resisten penisilin dan harus digunakan secara hati-hati, jika memang
harus digunakan, untuk mengobati infeksi pneumokokus baik yang
sudah pasti maupun yang masih be-rupa kecurigaan. Sefaklor lebih
rentan terhadap hidrolisis β-laktamase daripada agen lain, dan
manfaatnya perlahan menghilang.
B. Parenteral
Setelah infus intravena sebanyak 1 g, kadar serum biasanya 75-125
mcg/mL untuk sebagian besar sefalosporin generasi kedua.
Pemberian intramuskular menimbulkan nyeri sehingga harus
dihindari. Dosis dan interval pemberian dosis bervariasi untuk setiap
agen. Terdapat perbedaan nyata antaragen dalam hal waktu paruh,
ikatan protein, dan interval antar dosis. Semua obat ini dibersihkan
oleh ginjal sehingga membutuhkan penyesuaian dosis pada gagal
ginjal.
Penggunaan Klinis
Sefalosporin generasi-kedua oral aktif terhadap H. influenzae atau
Moraxella catarrhalis yang menghasilkan β-laktamase dan terutama
digunakan untuk mengobati sinusitis, otitis, atau infeksi saluran napas
bawah yang disebabkan oleh organisme di atas. Karena aktivitasnya
terhadap bakteri anaerob (termasuk B. fragilis), sefoksitin, sefotetan,
atau sefmetazol dapat digunakan untuk mengobati infeksi bakteri
anaerob campuran, seperti peritonitis atau diverti-kulitis. Sefuroksim
digunakan untuk mengobati community-acquired pneumonia karena aktif
terhadap H. influenzae atau K. pneumoniae, yang menghasilkan β-
laktamase, dan pneumokokus yang resisten terhadap penisilin.
Meskipun melintasi sawar darah otak, sefuroksim tidak seefektif
seftriakson atau sefotaksim dalam terapi meningitis dan sebaiknya tidak
digunakan. (Katzung, 2010)
Sefalosporin generasi ketiga
Obat generasi-ketiga termasuk sefoperazon, sefotaksim, seftazidim,
seftizoksim, seftriakson, sefiksim, sefpodoksim proksetil, sefdinir,
sefditoren pivoksil, seftibuten, dan moksalaktam. (Katzung, 2010)
Aktivitas Antimikroba
Dibandingkan dengan agen generasi kedua, obat ini memiliki cakupan
gram negatif yang lebih luas, dan beberapa obat mampu melintasi
sawar darah-otak. Obat generasi ketiga aktif terhadap sitrobakter,
S.marcescens, dan providensia (walaupun resistensi dapat timbul
selama terapi infeksi yang ditimbulkan oleh berbagai spesies ini akibat
mutan-mutan tertentu yang secara konstitutif memproduksi
sefalosporinase). Sefalosporin generasi ketiga juga efektif terhadap
galur hemofilus dan neisseria yang menghasilkan β-laktamase. P.
aeruginosa hanya dapat diatasi oleh seftazidim dan sefoperazon. Seperti
obat generasi kedua, sefalosporin generasi ketiga dapat dihidrolisis oleh
AmpC β-laktamase yang diproduksi secara konstan dan juga tidak
dapat diandalkan untuk mengatasi spesies enterobakter. Serratia,
providensia, dan sitrobakter juga menghasilkan sefalosporinase yang
disandi oleh kro-mosom; jika kromosom ini terekspresi secara
konstitutif, dapat timbul resistensi terhadap sefalosporin generasi
ketiga. Seftizoksim dan moksalaktam aktif terhadap B. fragilis.
Sefiksim, sefdinir, seftibuten, dan sefpodoksim proksetil adalah agen-
agen oral yang memiliki aktivitas yang serupa, kecuali bahwa sefiksim
dan seftibuten jauh lebih tidak aktif terhadap pneumokokus (dan sama
sekali tidak aktif terhadap galur yang resisten terhadap penisilin) serta
kurang efektif mengatasi S. aureus. (Katzung, 2010)
Farmakokinetik & Dosis
Infus intravena 1 g sefalosporin parenteral menghasilkan kadar serum
sebesar 60-140 mcg/mL. Sefalosporin dapat mempenetrasi cairan dan
jaringan tubuh dengan baik dan kecuali sefoperazon dan semua
sefalosporin oral mencapai kadar dalam cairan serebrospinal yang
cukup untuk menghambat kebanyakan patogen, termasuk batang gram-
negatif, kecuali pseudomonas. Waktu paruh dan interval pemberian
obat sangat bervariasi : Seftriakson (waktu paruh 7-8 jam) dapat
disuntikkan sekali tiap 24 jam pada dosis 15-50 mg/kg/hari. Dosis
tunggal sebesar 1 g per hari cukup diberikan untuk kebanyakan infeksi
berat, tetapi pada terapi meningitis, yang dianjurkan adalah dosis
tunggal 4 g perhari. Sefoperazon (waktu paruh 2 jam) dapat
disuntikkan setiap 8-12 jam dalam dosis 25-100 mg/kg/hari. Obat
lainnya dalam kelompok ini (waktu paruh 1-1,7 jam) dapat disuntikkan
setiap 6-8 jam dalam dosis antara 2 dan 12 g/ hari, bergantung pada
derajat keparahan infeksi. (Katzung, 2010)
Sefiksim dapat diberikan per oral (200 mg dua kali sehari atau 400 mg
sekali sehari) untuk infeksi saluran napas atau kemih. Dosis
sefpodoksim proksetil atau sefditoren pivoksil untuk orang dewasa
adalah 200-400 mg dua kali sehari; untuk seftibuten, 400 mg sekali
sehari; dan untuk sefdinir, 300 mg/12 jam. Ekskresi sefoperazon dan
seftriakson terutama dilakukan melalui traktus biliaris .sehingga
penyesuaian dosis pada insufisiensi ginjal tidak perlu dilakukan. Obat
lainnya diekskresi oleh ginjal sehingga memerlukan penyesuaian dosis
pada insufisiensi ginjal. (Katzung, 2010)
Penggunaan Klinis
Sefalosporin generasi-ketiga digunakan untuk mengobati berbagai
macam infeksi berat yang disebabkan oleh orga-nisme yang resisten
terhadap kebanyakan obat lain. Akan tetapi, galur yang
mengekspresikan β-laktamase berspektrum luas tidak mempan
terhadap obat ini. Sefalosporin generasi-ketiga harus dihindari
penggunaannya pada infeksi enterobakter bahkan jika pada percobaan
in vitro, isolat klinis bakteri ini tampak rentan terhadap obat ini karena
timbulnya resistensi. Seftriakson dan sefotaksim disetujui
penggunaannya untuk terapi meningitis, termasuk meningitis yang
disebabkan oleh pneumokokus, meningokokus, H.influenzae, dan batang
gram negatif enterik yang rentan, tetapi bukan oleh L. monocytogenes.
Seftriakson dan sefotaksim adalah sefalosporin yang paling aktif
terhadap galur pneumokokus yang resisten terhadap penisilin dan
direkomendasikan untuk terapi empiris infeksi berat yang mungkin
disebabkan oleh galur tersebut. Meningitis akibat galur pneumokokus
yang sangat resisten terhadap penisilin (yang hanya rentan terhadap
penisilin dengan minimal inhibitory concentration/M1C sebesar >1
mcg/mL) mungkin tidak berespons bahkan terhadap agen-agen
tersebut sehingga penambahan vankomisin dianjurkan pada keadaan
ini. Indikasi potensial penggunaan sefalosporin generasi-ketiga lainnya
adalah terapi empiris untuk sepsis yang tidak diketahui penyebabnya
baik pada pasien yang immunocompetent maupun yang
immunecompromised dan terapi infeksi jika pada infeksi ini, sefalosporin
merupakan obat yang paling tidak toksik. Pada pasien
immunocompromised yang mengalami demam dan neutropenik,
sefalosporin generasi ketiga sering digunakan dalam kombinasi dengan
aminoglikosida. (Katzung, 2010)
Sefalosporin generasi keempat
Sefepim merupakan salah satu contoh obat sefalosporin generasi
keempat. Obat ini lebih resisten terhadap hidrolisis oleh β-laktamase
kromosomal (yang diproduksi oleh enterobakter). Sefepim cukup
efektif mengatasi P. aeruginosa, Enterobacteriaceae, S. aureus, dan S.
pneumoniae. Sefepim sangat efektif terhadap hemofilus dan naiseria
serta cukup mempenetrasi cairan serebrospinal. Obat ini dibersihkan
oleh ginjal dan memiliki waktu paruh 2 jam, dan farmakokinetiknya
serupa dengan seftazidim. Akan tetapi, tidak seperti seftazidim,
sefepim. cukup efektif terhadap kebanyakan galur streptokokus yang
resisten terhadap penisilin dan mungkin saja bermanfaat dalam terapi
infeksi enterobakter. Di luar itu, peran klinisnya serupa dengan
sefalosporin generasi ketiga. (Katzung, 2010)
2.3.2 Antibiotik Beta-Laktam Lainnya
Telah dikembangkan senyawa-senyawa terapeutik penting dengan
struktur β-laktam yang tidak termasuk golongan penisilin ataupun
sefalosporin. (Goodman, 2009)
Karbapenem
Karbapenem merupakan senyawa β-laktam yang mengandung cincin β-
laktam yang menyatu dan suatu sistem cincin dengan 5 anggota; berbeda
dari penisilin karena bentuknya tidak jenuh dan mengandung satu atoni
karbon bukannya atom belerang. Kelompok antibiotik ini memiliki
spektrum aktivitas yang lebih luas daripada sebagian besar antibiotik β-
laktam lainnya. (Goodman, 2009)
Imipenem. Imipenem dipasarkan dalam bentuk kombinasi dengan
silastatin, yakni suatu obat yang menghambat penguraian imipenem oleh
dipeptidase tubulus ginjal. Sumberdan Kimia. Imipenem diturunkan dari
suatu komponen yang dihasilkan oleh Streptomyces cattleya. Komponen
tersebut, yakni tienamisin, tidak stabil, namun imipenem, yang merupakan
turunan N-formimidoil, bersifat stabil. (Goodman, 2009)
Aktivitas Antimikroba. Imipenem, seperti antibiotik β-laktam lainnya,
terikat pada protein pengikat penisilin, mengganggu sintesis dinding sel
bakteri, dan menyebabkan kematian mikroorganisme yang rentan.
Imipenem sangat resisten terhadap hidrolisis oleh sebagian besar β-
laktamase. Aktivitas imipenem sangat baik secara in vitro terhadap
berbagai macam mikroorganisme aerob dan anaerob. Streptokokus
(termasuk S. pneumoniae yang resisten-penisilin), entero-kokus (tidak
termasuk Enterococcus faecium dan galur yang resisten-penisilin namun
tidak menghasilkan β-laktamase), stafilokokus (termasuk galur penghasil
penisilinase), dan listeria, semuanya rentan. Meskipun beberapa galur
stafilokokus yang resisten-metisilin rentan, namun banyak galur yang
tidak. Aktivitasnya sangat baik terhadap Enterobacteriaceae, termasuk
organisme yang resisten terhadap sefalosporin berkat ekspresi β-
laktamase yang spektrumnya diperluas baik kromosomal ataupun
plasmid. Sebagian besar galur Pseudomonas dan Acinetobacter
dihambat, sedangkan X. maltophilia resisten. Organisme anaerob,
termasuk B.fragilis, sangat rentan terhadap obat ini. (Goodman, 2009)
Farmakokinetik dan Reaksi Merugikan. Imipenem tidak diabsorpsi
secara oral. Obat ini dihidrolisis dengan cepat oleh dipeptidase yang
terdapat pada brush border (permukaan sel be-bas yang terspesialisasi,
yang terdiri atas tonjolan-tonjolan silin, dris halus/mikrovili yang sangat
meningkatkan luas permukaan) tubulus proksimal ginjal (Kropp etal, 1982).
Karena konsentrasi obat aktif dalam urin rendah, maka disintesis suatu
inhibitor dehidropeptidase. Senyawa ini disebut silastatin. Suatu sediaan
yang mengandung imipenem dan silastatin dalam jumlah yang sama
(PRIMAXIN) telah dikembangkan.
Setelah pemberian imipenem 500 mg secara intravena (sebagai
PRIMAXIN), konsentrasi puncak dalam plasma rata-rata 33 P-g/ml. Baik
imipenem maupun silastatin memiliki waktu paruh sekitar 1 jam. Ketika
diberikan secara bersamaan dengan silastatin, sekitar 70% imipenem yang
diberikan ditemukan dalam urin sebagai obat aktif. Dosis harus
dimodifikasi padapasien dengan insufisiensi ginjal.
Mual dan muntah merupakan reaksi merugikan yang paling umum
(1% sampai 20%). Seizure terjadi hingga pada 1,5% pasien, terutama jika
diberikan dalam dosis tinggi pada pasien dengan lesi SSP dan pasien
insufisiensi ginjal. Pasien yang alergi terhadap antibiotik β-laktam lain
dapat mengalami reaksi hiper-sensitivitas jika diberi imipenem.
(Goodman, 20
Penggunaan Terapeutik. Imipenem-silastatin efektif untuk berbagai
jenis infeksi (Eron et al., 1983), termasuk infeksi saluran urin dan
pernapasan bagian bawah; infeksi intrabdominal dan ginekologis; dan
infeksi kulit, jaringan lunak, tulang, dan sendi. Kombinasi obat terutama
bermanfaat untuk infeksi yang disebabkan oleh bakteri nosokomial yang
resisten sefalosporin seperti Citrobacter freundii dan Enterobacter spp.
Sangat bijaksana untuk menggunakan impinem pada terapi empiris infeksi
serius pada pasien rawat inap yang banyak menerima antibiotik β-laktam
lain, karena adanya peningkatan risiko infeksi oleh bakteri resisten
sefalosporin dan/atau resisten penisilin. Imipenem sebaiknya tidak
digunakan sebagai monoterapi untuk infeksi akibat P. aeruginosa karena
terdapat risiko timbulnya resistensi selama terapi. (Goodman, 20
Meropenem. Meropenem (MERREM IV) merupakan turunan dimetil
karbamoil pirolidinil dari tienamisin. Senyawa ini tidak memerlukan
pemberian bersama dengan silastatin karena tidak peka terhadap
dipeptidase ginjal. Toksisitasnya mirip dengan imipenem, kecuali bahwa
kemungkinan meropenem untuk menyebabkan terjadinya seizure lebih
kecil (0,5% pasien yang diobati dengan meropenem dan 1,5% dengan
imipenem mengalami seizure). Aktivitasnya secara in vitro mirip dengan
imipenem, dan menunjukkan aktivitas terhadap beberapa P. aeruginosa
yang resisten terhadap imipenem, namun aktivitasnya lemah terhadap
kokus gram-positif. Pengalaman klinis dengan meropenem menunjukkan
adanya ekuivalensi terapeutik dengan imipenem. (Goodman, 20
Aztreonam. Aztreonam (AZACTAM) merupakan senyawa β-laktam
monosiklik (monobaktam) yang diisolasi dari Chromobacterium
violaceum (Sykes et al., 1981).
Aztreonam berinteraksi dengan protein pengikat penisilin pada
mikroorganisme yang rentan dan menginduksi pembentukan struktur
bakteri yang berbentuk filamen panjang. Senyawa ini resisten terhadap
berbagai β-laktamase yang dibuat oleh sebagian besar bakteri gram-
negatif.
Aktivitas antimikroba aztreonam berbeda dari antibiotik β-laktam
lainnya dan lebih mirip dengan aminoglikosida. Bakteri gram-positif dan
organisme anaerob bersifat resisten. Namun, aktivitasnya terhadap
Enterobacteriaceae sangat baik seperti halnya terhadap P. aeruginosa.
Senyawa ini juga sangat aktif secara in vitro terhadap H. influenzae dan
gonokokus.
Aztreonam umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Yang menarik,
pasien yang alergi terhadap penisilin atau sefalosforin tampaknya tidak
bereaksi terhadap aztreonam (Saxon et al, 1984).
Dosis lazim aztreonam untuk infeksi parah adalah 2 g tiap 6 . hingga 8
jam. Dosis ini harus dikurangi pada pasien insufisiensi ginjal. Aztreonam
berhasil digunakan untuk terapi berbagai macam infeksi. Salah satu
cirinya yang menonjol adalah reaksi reaktivitas silang alergi yang ringan
terhadap antibiotik β-laktam. Oleh karena itu, aztreonam sangat bermanfaat
untuk mengobati infeksi gram-negatif yang dalam keadaan normal akan
diobati dengan antibiotik β-laktam, jika tidak ada riwayat reaksi alergi
sebelumnya. (Goodman, 2009)
2.2.3 Golongan Obat Penghambat Sintesis Protein
a. Tetraksilin
Tetrasiklin bebas merupakan zat amfoterik kristalin dengan kelarutan yang
rendah. Obat ini tersedia sebagai hidroklorida yang lebih larut. Larutan obat ini
bersifat asam kecuali klortetrasiklin. Tetrasiklin adalah antibiotik bakteriostatis
berspektrum-luas yang menghambat sintesis protein. Tetrasiklin bekerja aktif
terhadap banyak bakteri gram-positif dan gram-negatif termasuk bakteri anaerob,
riketsia, klamidia dan terhadap beberapa protozoa misalnya amoeba. Kebanyakan
untuk mikroba golongan tetrasiklin memiliki aktivitas antibakteri yang sama kecuali
bahwa galur yang resisten terhadap tetrasiklin mungkin sensitif terhadap
doksisiklin, minosiklin dan tigesiklin. Ketiganya merupakan substrat yang buruk
untuk pompa efluks yang memperantarai resistensi. Terdapat perbedaan yang tipis
dalam efektivitas klinis terhadap organisme yang rentan dan hal ini terutama
disebabkan oleh perbedaan sifat absorpsi, distribusi dan ekskresi masing-masing
obat.
Tetrasiklin sebagian memasuki mikroorganisme melalui difusi pasif dan
sebagian melalui proses transpor aktif yang bergantung pada energi. Sel yang
rentan terhadap tetrasiklin mengutamakan obat tersebut di dalam sel. Setelah
berada di dalam sel, tetrasiklin berikatan secara reversibel pada subunit 30S
ribosom bakteri mencegah ikatan aminoasil tRNA pada lokasi akseptor di
kompleks mRNA ribosom. Hal ini mencegah penambahan asam amino ke peptida
yang sedang terbentuk.
Resisten
Resistensi terhadap analog tetrasiklin:
1. Gangguan influks atau peningkatan efluks oleh pompa protein transpor
aktif
2. Proteksi ribosom akibat produksi protein yang mengganggu ikatan
tetrasiklin dengan ribosom
3. inaktivasi enzimatik
Mekanisme yang terpenting dari ketiganya adalah produksi pompa efluks
dan proteksi ribosomal. Spesies gram negatif yang mengekspresikan suatu pompa
efluks Tet (AE) bersifat resisten terhadap tetrasiklin, doksisiklin dan minosiklin
terdahulu. Akan tetapi, spesies tersebut rentan terhadap tigesiklin yang bukan
merupakan substrat pompa efluks Tet (AE). Protein proteksi ribosomal Tet (M)
yang diekspresi oleh bakteri gram-positif menimbulkan resistensi terhadap
tetrasiklin, doksisiklin dan minosiklin tetapi tidak terhadap tigesiklin karena
substituen f-butilglisilamido yang besar memiliki efek sterik yang mencegah
pengikatan Tet (M) pada ribosom. Tigesiklin merupakan substrat pompa efluks
obat-multipel yang disandi secara kromosomal, milik Proteus sp dan
Pseudomonas aeruginosa yang menimbulkan resistensi intrinsik terhadap semua
tetrasiklin termasuk tigesiklin.
Tetrasiklin biasanya diberikan secara oral tetapi bisa diberikan melalui
suntikan. Absorpsi dari usus bervariasi dan diturunkan oleh ion kalsium (susu), ion
magnesium (misalnya antasida), makanan dan sediaan besi. Tetrasiklin merupakan
antibiotik spektrum luas tetapi terdapat obat-obat yang lebih cocok untuk sebagian
besar infeksi. Akan tetapi, tetrasiklin merupakan obat pilihan untuk mengobati
beberapa infeksi yang disebabkan oleh organisme intraselular karena tetrasiklin
menembus makrofag dengan baik, misalnya Chlamydia (uretritis nonspesifik,
trakoma, psitakosis), riketsia (Q-fever) dan Borrelia burgdorferi (penyakit
Lyme). Organisme yang sensitif terhadap tetrasiklin mengakumulasi obat sebagian
dengan cara difusi pasif dan sebagian dengan transpor aktif. Organisme yang
resisten menghasilkan pompa efluks dan tidak mengakumulasi antibiotik. Seleksi
populasi mikroba setelah penggunaan tetrasiklin yang luas pada waktu lalu telah
menghasilkan banyak strain streptokokus, stafilokokus, pneumokokus dan
koliform yang resisten. Gen-gen untuk resistensi tetrasiklin ditransmisikan oleh
plasmid dan sangat berkaitan dengan gen-gen resistensi terhadap obat lain (yaitu
sulfonamid, aminoglikosida, kloram-fenikol). Tetrasiklin terikat pada kalsium
dalam tulang dan gigi yang sedang tumbuh. Hal ini menyebabkan diskolorasi gigi
pada anak muda dan tetrasiklin seharusnya dihindari pada anak-anak sampai
dengan usia 8 tahun, wanita hamil serta ibu menyusui.
Tetrasiklin berbeda terutama dalam hal absorpsinya setelah pemberian
per oral dan eliminasinya. Penyerapan tetrasiklin setelah pemberian per oral
adalah sekitar 30% untuk klortetrasiklin, 60-70% untuk tetrasiklin, oksitetrasiklin,
demeklosiklin dan metasiklin dan 95-100% untuk doksisiklin dan minosiklin.
Tigesiklin oral diabsorpsi dengan buruk sehingga harus diberikan secara intravena.
Sebagian tetrasiklin yang diberikan per oral tetap tertinggal di lumen usus,
mengubah flora usus dan diekskresi dalam feses.
Tetrasiklin terdistribusi secara luas ke jaringan dan cairan tubuh kecuali
cairan serebrospinal yang memiliki konsentrasi sebesar 10-25% kadar dalam
serum. Kadar minosiklin sangat tinggi dalam air mata dan saliva sehingga
membuatnya bermanfaat untuk eradikasi status karier meningokokus.
Tetrasiklin melintasi plasenta untuk mencapai janin dan juga diekskresi dalam
susu. Akibat pengikatan dengan kalsium, tetrasiklin juga terikat pada dan merusak
tulang dan gigi yang sedang bertumbuh. Ingesti karbamazepin, fenitoin,
barbiturate dan alkohol kronik dapat memperpendek waktu paruh doksisiklin
sebesar 50% melalui induksi enzim he-patik yang memetabolisme doksisiklin.
Tetrasiklin terutama diekskresi di empedu dan urine. Kadarnya dalam
empedu melebihi kadarnya dalam serum sebesar 10 kali lipat. Sejumlah tetrasiklin
yang diekskresi dalam empedu direabsorpsi dari usus (sirkulasi enterohepatik)
sehingga mungkin berperan mempertahankan kadarnya dalam serum. Sepuluh
hingga 50 persen berbagai jenis tetrasiklin dieksresi ke dalam urine, terutama
melalui filtrasi glomerulus. Sepuluh hingga 40 persen obat dieksresi dalam feses.
Berbeda dengan tetrasiklin lain, doksisiklin dan tigesiklin dieliminasi oleh
mekanisme nonginjal dan tidak terakumulasi secara bermakna sehingga tidak
membutuhkan penyesuaian dosis pada gagal ginjal.
Tetrasiklin digolongkan menjadi kerja pendek (klortetrasiklin, tetrasiklin,
oksitetrasiklin), kerja sedang (demeklosiklin dan metasiklin) atau kerja lama
(doksisiklin dan minosiklin) berdasarkan waktu paruhnya dalam serum yang
masing-masing sebesar 6-8 jam, 12 jam dan 16-18 jam. Tigesiklin memiliki waktu
paruh sebesar 36 jam. Absorpsi doksisiklin dan minosiklin yang hampir sempurna
dan ekskresi mereka yang lambat membuat keduanya dapat diberikan dalam
dosis sekali sehari.
Tetrasiklin merupakan obat pilihan untuk infeksi Mycoplas-ma pneumoniae,
klamidia, riketsia dan beberapa spirokaeta. Tetrasiklin digunakan dalam regimen
kombinasi untuk mengobati ulkus lambung dan duodenum akibat Helico-bacter
pylori. Tetrasiklin tetap efektif pada sebagian besar infeksi klamidia, termasuk
penyakit menular seksual. Tetrasiklin dahulu digunakan untuk berbagai infeksi
termasuk gastroenteritis bakterial, pneumonia (selain pneumonia mikoplasmal
atau klamidial) dan infeksi saluran kemih. Akan tetapi banyak galur bakteri yang
menyebabkan infeksi tersebut sekarang menjadi resisten sehingga obat lain telah
banyak menggantikan peran tetrasiklin.
Penggunaan Klinis
a. Dosis Oral
Dosis oral untuk tetrasiklin yang cepat diekskresi, ekuivalen dengan
tetrasiklin hidroklorida adalah 0,25-0,5 g empat kali sehari untuk orang
dewasa dan 20-40 mg/kg/hari untuk anak (usia 8 tahun atau lebih tua).
Untuk infeksi sistemik berat, dosis yang lebih besar diperlukan dan
setidaknya untuk beberapa hari pertama. Dosis hariannya adalah 600 mg
untuk demeklosiklin atau metasiklin, 100 mg sekali atau dua kali sehari
untuk doksisiklin dan 100 mg dua kali sehari untuk minosiklin. Doksisiklin
merupakan tetrasiklin oral pilihan karena dapat diberikan sebagai dosis
harian tunggal dan absorpsinya tidak terlalu dipengaruhi oleh makanan.
Semua tetrasiklin berikatan dengan logam sehingga tidak boleh diberikan
dengan susu, antacid atau fero sulfat. Untuk menghindari
penumpukannya dalam tulang atau gigi yang sedang bertumbuh,
penggunaan tetrasiklin harus dihindari pada ibu hamil dan anak di bawah
usia 8 tahun.
b. Dosis Pararental
Beberapa tetrasiklin tersedia untuk suntikan intravena dalam dosis 0,1-0,5
g setiap 6-12 jam (serupa dengan dosis oral) tetapi doksisiklin merupakan
agen yang biasanya dianjurkan pada dosis sebesar 100 mg setiap 12-24
jam. Suntikan intramuskular tidak dianjurkan karena menimbulkan nyeri
dan peradangan pada lokasi penyuntikan.
b. Makrolida
Makrolida adalah sekelompok senyawa yang saling terkait erat dan
memiliki ciri khas adanya cincin lakton makrosiklik (biasanya mengandung 14
atau 16 atom) tempat melekatnya gula deoksi.
Resistensi
Resistensi terhadap eritromisin biasanya dikode dalam plasmid. Terdapat
beberapa mekanismenya yaitu :
1. Penurunan permeabilitas membran sel atau efluks aktif
2. Produksi (oleh Enterobacteriaceae) esterase yang menghidrolisis
makrolida
3. Modifikasi lokasi pengikatan ribosomal (proteksi ribosomal) melalui
mutasi kromosom atau melalui metilase konstitutif atau terinduksi
makrolida.
Efluks dan produksi metilase merupakan mekanisme resistensi terpenting
pada organisme gram-positif. Eritromisin dan makrolida lain memiliki resistensi
silang yang komplet. Produksi metilase konstitutif juga menimbulkan resistensi
terhadap senyawa yang secara struktural tidak terkait tetapi secara mekanik
serupa seperti klindamisin dan streptogramin B (disebut resistensi makrolida
linkosamid streptogramin atau resistensi MLS-tipe B) yang memiliki lokasi
pengikatan ribosomal yang sama.
Eritromisin basa dihancurkan oleh asam lambung sehingga harus
diberikan dalam bentuk salut enterik. Stearat dan ester cukup resisten terhadap
asam sehingga diabsorpsi lebih baik. Eritromisin tidak dibersihkan oleh dialisis.
Sejumlah besar eritromisin yang diberikan diekskresi dalam empedu dan hilang
dalam feses dan hanya 5% yang diekskresi dalam urine. Obat yang diabsorpsi
didistribusikan secara luas kecuali ke otak dan cairan serebrospinal. Eritromisin
diambil oleh leukosit polimorfonuklear dan makrofag. Obat ini melintasi
plasenta dan mencapai janin.
Makrolida biasanya diberikan secara oral, tetapi eritromisin dan
klaritromisin dapat diberikan intravena bila perlu. Makrolida memiliki spektrum
antimikroba yang sama dengan benzilpenisilin (yaitu spektrum sempit, terutama
aktif melawan organisme gram positif) dan dapat digunakan sebagai obat
alternatif pada pasien yang sensitif penisilin terutama pada infeksi yang
disebabkan oleh streptokokus, stafilokokus, pneumokokus dan klostridium. Akan
tetapi makrolida tidak efektif pada meningitis karena tidak menembus sistem saraf
pusat dengan adekuat. Resistensi terhadap makrolida bisa terjadi karena adanya
perubahan yang dikendalikan oleh plasmid pada reseptornya dalam subunit 50S
ribosom bakteri (mengurangi ikatan).
Eritromisin dimetabolisme oleh hati dan pengurangan dosis pada gagal
ginjal tidak penting, kecuali bila terdapat gagal ginjal berat. Makrolida adalah
obat yang sangat aman. Eritromisin dosis tinggi bisa menyebabkan mual dan
muntah tetapi efek-efek ini lebih jarang terjadi dengan azitromisin dan
klaritromisin. Azitromisin mempunyai waktu paruh sangat panjang (40-60 jam)
dan dosis tunggalnya pada terapi uretritis nonspesifik klamidia sama efektifnya
dengan tetrasiklin yang diberikan selama 7 hari. Makrolida menghambat
sitokrom P450 dan menyebabkan akumulasi warfarin.
Penggunaan klinis
Eritromisin merupakan obat pilihan pada infeksi korine bakterium (difteri,
sepsis korinebakterial, eritrasma) pada infeksi pernapasan, neonatus, mata dan
klamidia genital dan pada terapi pneumonia yang didapat dari masyarakat
karena spektrum aktivitasnya meliputi pneumokokus, mikoplasma dan
legionella. Eritromisin juga bermanfaat sebagai pengganti penisilin pada individu
yang alergi terhadap penisilin dengan infeksi stafilokokus, streptokokus atau
pneumokokus. Munculnya resistensi eritromisin pada galur streptokokus grup A
dan pneumokokus (khususnya pneumokokus yang resisten-penisilin) membuat
makrolida kurang disukai sebagai agen lini pertama dalam terapi faringitis,
infeksi kulit dan jaringan lunak dan pneumonia. Eritromisin dianjurkan sebagai
profilaksis terhadap endokarditis selama prosedur gigi pada penderita penyakit
katup jantung. Meskipun eritromisin estolat merupakan garam yang paling baik
diserap, obat ini paling berisiko menimbulkan reaksi simpang. Oleh sebab itu,
garam stearat atau suksinat mungkin lebih dipilih.
Dosis eritromisin basa, steara atau estolat oral adalah 0,25-0,5 g setiap 6
jam (untuk anak, 40 mg/kg/hari). Dosis eritromisin etilsuksinat adalah 0,4-0,6 g
setiap 6 jam. Eritromisin basa oral (1 g) kadang dikombinasikan dengan neomisin
atau kanamisin oral untuk persiapan praoperatif kolon. Dosis eritromisin gluseptat
atau laktobionat intravena adalah 0,5-1,0 g setiap 6 jam untuk orang dewasa dan
20-40 mg/kg/hari untuk anak. Penggunaan eritromisin dalam dosis yang lebih
tinggi dianjurkan untuk mengobati pneumonia akibat Legionella sp.
c. Kloramfenikol
Kloramfenikol diberikan secara oral atau melalui suntikan intravena.
Kloramfenikol efektif melawan spektrum organisme yang luas. Kloramfenikol
diindikasikan pada demam tifoid dan meningitis Haemophilus influenzae.
Kloramfenikol dimetabolisme terutama dalam hati dan berpenetrasi dengan baik
termasuk ke otak. Kloramfenikol menghambat metabolisme obat lain dan bisa
mempotensiasi aksi fenitoin, sulfonilurea dan warfarin. Kloramfenikol merupakan
penghambat sintesis protein mikroba yang poten. Senyawa ini berikatan secara
reversibel pada subunit 50S ribosom bakteri dan menghambat tahapan peptidil
transferase dalam sintesis protein. Kloramfenikol adalah antibiotik bakteriostatis
berspektrum luas yang aktif terhadap bakteri gram-negatif dan bakteri gram
positif, baik aerob maupun anaerob serta juga aktif terhadap riketsia tetapi tidak
terhadap klamidia. Kebanyakan bakteri gram-positif dihambat pada kadar sebesar
1-10 mcg/mL dan banyak bakteri gram-negatif dihambat pada kadar sebesar 0,2-5
mcg/mL.
Resistensi
Resistensi kloramfenikol tingkat rendah dapat muncul dari banyak sel yang
rentan terhadap kloramfenikol akibat seleksi mutan yang kurang permeabel
terhadap obat ini. Resistensi yang berrnakna secara klinis disebabkan oleh produksi
kloramfenikol asetiltransferase suatu enzim yang disandi oleh plasmid dan
menginaktivasi obat tersebut.
Farmakokinetik
Dosis kloramfenikol biasa adalah 50-100 mg/kg/hari. Setelah
pemberian per oral, kloramfenikol kristalin cepat diserap secara sempurna. Dosis
oral sebesar 1 g menghasilkan kadar dalam darah antara 10 dan 15 mcg/mL.
Kloramfenikol palmitat merupakan prekursor obat yang dihidrolisis dalam usus
untuk menghasilkan kloramfenikol bebas. Bentuk sediaan parenteralnya juga
merupakan suatu prekursor obat (prodrug) yakni kloramfenikol suksinat yang
terhidrolisis untuk menghasilkan kloramfenikol bebas dan menghasilkan kadar
dalam darah yang lebih rendah daripada kadar yang dicapai oleh pemberian per
oral obat tersebut. Kloramfenikol didistribusikan secara luas ke hampir semua
jaringan dan cairan tubuh termasuk sistem saraf pusat dan cairan serebrospinal
sehingga kadarnya dalam jaringan otak dapat setara dengan kadarnya dalam
serum. Obat ini mudah menembus membran sel.
Sebagian besar obat ini diinaktivasi oleh konjugasi dengan asam
glukuronat (terutama di hati) atau oleh reduksi menjadi aril amin yang tidak aktif.
Kloramfenikol aktif (sekitar 10% dari dosis keseluruhan yang diberikan) dan
produk degradasinya yang tidak aktif (sekitar 90% dari keseluruhan) dieliminasi
dalam urine. Sejumlah kecil obat aktif diekskresi ke dalam empedu dan feses. Dosis
sistemik kloramfenikol tidak perlu diubah pada insufisiensi ginjal tapi harus
diturunkan secara bermakna pada gagal hati. Neonatus yang berusia kurang dari
satu minggu serta bayi prematur juga kurang dapat membersihkan kloramfenikol
sehingga dosisnya harus diturunkan hingga 25 mg/kg/hari.
Penggunaan klinis
Obat ini digunakan untuk terapi infeksi riketsia berat seperti tifus dan
demam bintik. Kloramfenikol menjadi alternatif antibiotik β-laktam pada terapi
meningitis meningokokal yang diderita pasien yang memiliki riwayat reaksi
hipersensitivitas berat terhadap penisilin atau meningitis bakterial yang
disebabkan oleh galur pneumokokus yang resisten terhadap penisilin. Dosisnya
sebesar 50-100 mg/ kg/hari dalam empat dosis terbagi.Kloramfenikol digunakan
secara topikal pada terapi infeksi mata karena spektrumnya luas dan penetrasinya
pada jaringan mata dan aqueous humor. Obat ini tidak efektif untuk infeksi
klamidia.
d. Streptogramin
Quinupristin dan dalfopristin merupakan peptida siklik dan bekerja mirip
dengan makrolida. Obat ini diberikan secara kombinasi karena kurang efektif bila
diberikan secara individual. Quinupristin/dalfopristin diberikan melalui infus
intravena dan aktif melawan organisme gram positif. Efek sampingya meliputi
mual, muntah, diare, mialgia dan artralgia.
Streptomisin diisolasi dari suatu galur Streptomyces griseus. Aktivitas
antimikroba streptomisin khas seperti aktivitas aminoglikosida lain, begitu juga
dengan mekanisme resistensinya. Resistensi telah meningkat pada kebanyakan
spesies sehingga sangat membatasi penggunaan streptomisin. Resistensi ribosom
terhadap streptomisin mudah terjadi sehingga akan membatasi kegunaannya bila
diberikan sendiri.
Penggunaan Klinis
a. Infeksi Mikrobakteria
Streptomisin terutama digunakan sebagai terapi lini kedua pada
penanganan tuberkulosis. Dosisnya adalah 0,5-1 g/ hari (7,5-15
mg/kg/hari untuk anak-anak) yang diberikan secara intravena atau
intramuskular. Streptomisin harus digunakan secara kombinasi dengan
obat lain untuk mencegah timbulnya resistensi.
b. Infeksi Non-Tuberkulosis
Penisilin plus streptomisin efektif pada pengobatan endokarditis
enterokokal dan pengobatan endokarditis (selama 2 minggu) akibat
streptokokus viridans. Gentamisin kini banyak menggantikan
streptomisin untuk indikasi tersebut. Akan tetapi streptomisin tetap
merupakan suatu obat yang berguna untuk mengobati infeksi akibat
enterokokus karena sekitar 15% bakteri yang resisten terhadap gentamisin
(dan karena itu terhadap netilmisin, tobramisin, dan amikasin) akan peka
terhadap streptomisin.
2.2.4 Golongan Obat Inhibitor Bakterisidal Sintesis Protein
a. Aminoglikosida
Senyawa aminoglikosida yang merupakan aminosiklitol aminoglikosida
adalah inhibitor sintesis protein yang bersifat bakterisida. Walaupun relatif toksik
dibandingkan golongan antibiotik lainnya, senyawa ini tetap bermanfaat terutama
untuk pengobatan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri aerob gram-negatif.
Aminoglikosida mengandung gula amino yang terikat pada cincin aminosiklitol
melalui ikatan glikosida.
Senyawa ini mengganggu sintesis protein pada mikroorganisme yang
rentan. Sebagian besar inhibitor sintesis protein mikroba yang bersifat
bakteriostatik tetapi aminoglikosida bersifat bakterisida. Mutasi yang
mempengaruhi protein ribosom bakteri yang merupakan target obat-obat ini dapat
menyebabkan resistensi yang bermakna terhadap kerjanya. Kebanyakan resistensi
terjadi akibat masuknya plasmid atau gen pada enzim pemetabolisme
aminoglikosida atau akibat terganggunya transpor obat ke dalam sel sehingga
dapat terjadi resistensi silang antar beberapa anggota pada golongan ini.
Aminoglikosida terdiri atas dua atau lebih gula amino yang dihubungkan
dengan ikatan glikosida pada inti heksosa biasanya pada posisi pusat. Heksosa ini
atau aminosiklitol merupakan streptidin (ditemukan dalam streptomysin) ataupun
2-deoksistreptamin (dalam semua aminoglikoda lain yang tersedia).
Golongan aminoglikosida dibedakan berdasarkan gula amino yang
terikat pada aminosiklitol. Pada golongan neomysin, yang meliputi neomysin B
dan paromomysin (suatu aminoglikosida yang digunakan secara oral untuk
pengobatan infeksi parasit di usus), ada tiga gula amino yang terikat pada 2-
deoksi-streptamin pusat. Golongan kanamysin dan gentamisin hanya memiliki
dua gugus gula amino semacam itu. Pada golongan kanamysin yang meliputi
kanamysin A dan B, amikasin, dan tobramysin, dua gula amino dihubungkan pada
gugus 2-deoksistreptamin yang berlokasi di pusat yang salah satunya adalah 3-
aminoheksosa.
Amikasin adalah turunan semisintetik yang dibuat dan kanamysin A
melalui asilasi gugus 1-amino pada bagian molekul 2-deoksistreptamin dengan
asam 2-hidroksi-4-aminobutirat.
Golongan gentamisin, yang meliputi gentamisin C1, C1a dan C2, sisomisin,
dan netilmisin (turunan 1-AT-etil dan sisomisin) mengandung gula 3-amino yang
berbeda (garosamin).
Streptomysin dan dihidrostreptomysin (dihidrostreptomysin tidak lagi
tersedia akibat ototoksisitas yang berlebihan) berbeda dari antibiotik
aminoglikosida lain karena senyawa tersebut lebih cenderung mengandung
streptidin dan bukan 2-deoksistreptamin, serta aminosiklitol senyawa ini tidak
berlokasi pada posisi pusat.
Mekanisme kerja
Antibiotik aminoglikosida merupakan bakterisida dengan kerja cepat.
Pemusnahan bakteri tergantung pada konsentrasi. Semakin tinggi konsentrasi
semakin tinggi pula laju pemusnahan bakteri. Efek pasca antibiotic yakni aktivitas
bakterisida residual yang bertahan setelah konsentrasi obat dalam serum turun di
bawah konsentrasi hambat minimum yang juga merupakan karakteristik antibiotik
aminoglikosida dan durasi efek ini tergantung pada konsentrasi. Sifat-sifat ini
mungkin berperan dalam efikasi regimen dosis satu kali sehari aminoglikosida.
Aminoglikosida berdifusi melalui saluran berair yang dibentuk oleh protein
porin pada membran luar bakteri gram-negatif untuk memasuki ruang periplasma.
Pengangkutan aminoglikosida melewati membran (dalam) sitoplasma tergantung
pada transpor elektron, sebagian karena kebutuhan akan potensial elektris
membran (bagian dalam negatif) untuk mengarahkan permeasi antibiotik-
antibiotik ini. Fase transpor ini diistilahkan sebagai fase I tergantung-energi. Fase
ini merupakan penentu laju dan dapat diblok atau dihambat oleh kation bervalensi
dua (misalnya Ca2+ dan Mg2+), hiperosmolaritas, penurunan pH, dan anaerobiasis.
Kedua kondisi terakhir ini mengganggu kemampuan bakteri dalam
mempertahankan potensial membran yang merupakan tenaga penggerak yang
diperlukan untuk transpor. Dengan demikian, aktivitas antimikroba
aminoglikosida menurun tajam pada abses di lingkungan anaerob, pada urin
bersuasana asam yang hiperosmolar dll. Setelah berada di dalam sel,
aminoglikosida berikatan dengan polisom dan mengganggu sintesis protein
dengan menyebabkan kesalahan baca dan penghentian dini translasi mRNA.
Protein abnormal yang terbentuk ini mungkin memasuki membran sel,
sehingga mengubah permeabilitas dan selanjutnya merangsang transpor
aminoglikosida (Busse et al, 1992). Fase transpor aminoglikosida ini disebut
dengan fase II tergantung-energi {Energy-Dependent Phase II, EDP2) belum
sepenuhnya dipahami. Konsep ini sesuai dengan peningkatan kebocoran ion-ion
berukuran kecil yang diikuti oleh molekul-molekul lebih besar dan akhirnya oleh
protein-protein dari sel bakteri sebelum terjadinya kematian bakteri yang
diinduksi oleh aminoglikosida. Perusakan pembungkus sel yang progresif ini
serta proses-proses sel lain yang vital yang dapat membantu menjelaskan kerja
letal aminoglikosida. Tempat kerja utama aminoglikosida di intrasel adalah
subunit ribosom 30 S yang terdiri atas 21 protein dan 1 molekul RNA 16 S.
Aminoglikosida merusak siklus fungsi ribosom normal dengan
mengganggu inisiasi sintesis protein yang menyebabkan akumulasi kompleks-
kompleks inisiasi abnormal atau "monosom-monosom streptomysin". Efek lain
aminoglikosida adalah kemampuannya menginduksi kesalahan baca cetakan
mRNA, sehingga menyebabkan penggabungan asam amino yang salah ke dalam
rantai polipeptida yang sedang dibuat.
Resisten Mikroba terhadap Aminoglikosida
Resistensi bakteri terhadap aktivitas antimikroba aminoglikosida dapat
muncul akibat kegagalan permeasi antibiotik tersebut, afinitas obat tersebut
yang rendah terhadap ribosom bakteri, atau inaktivasi obat tersebut oleh enzim
mikroba.
Penetrasi obat melalui pori-pori pada membran luar mikroorganisme
gram-negatif ke dalam ruang periplasma mungkin lebih lambat. Setelah
aminoglikosida mencapai daerah periplasma, obat ini akan diubah oleh enzim
mikroba melalui proses fosforilasi, adenilasi, atau asetilasi gugus hidroksil atau
amino spesifik. Gen-gen pengkode enzim-enzim ini terutama diperoleh melalui
konjugasi dan transfer DNA sebagai plasmid dan faktor-faktor transfer yang
resisten. Plasmid-plasmid ini tersebar luas di alam (terutama di lingkungan rumah
sakit) dan mengodekan sejumlah besar enzim (lebih dari 20) yang secara
menonjol telah mengurangi manfaat klinis aminoglikosida. Amikasin lebih dapat
bertahan terhadap enzim-enzim penginaktivasi ini karena memiliki molekul rantai
samping yang bersifat melindungi.
Oleh karena itu, amikasin terutama berperan penting pada keadaan-keadaan
tertentu di rumah sakit. Transpor intrasel metabolit-metabolit aminoglikosida
dapat berkompetisi dengan obat utuhnya, namun metabolit ini tidak mampu
berikatan secara efektif dengan ribosom dan mengganggu proses sintesis protein.
Munculnya enzim-enzim penginaktivasi aminoglikosida dapatan pada
enterokokus menjadi perhatian utama. Di beberapa pusat penelitian, isolat klinis
organisme-organisme ini (Enterococcus faecalis maupun Enterococcus faecium)
yang sangat resisten terhadap semua golongan aminoglikosida,
Resistensi terhadap gentamisin mengindikasikan adanya resistensi
terhadap tobramysin, amikasin, kanamysin, dan netilmisin karena enzim
penginaktivasi ini bersifat dwifungsi dan memodifikasi semua aminoglikosida ini.
Efek-efek bakterisida yang sinergis antara penisilin atau vankomisin dengan
aminoglikosida tidak terjadi pada enterokokus. Bentuk resistensi alami lain yang
umum terhadap aminoglikosida terjadi akibat kegagalan obat tersebut menembus
membran (dalam) sitoplasma. Resistensi akibat perubahan struktur ribosom relatif
tidak lazim pada senyawa aminoglikosida lain selain streptomysin. Mutasi satu-
tahap pada Escherichia coli yang mengakibatkan substitusi asam amino pada
protein ribosom yang penting dapat mencegah berikatannya obat ini.
Aktivitas Antibakteri Aminoglikosida
Aktivitas anti-bakteri gentamisin, tobramysin, kanamysin, netilmisin, dan
amikasin terutama ditujukan terhadap basilus gram-negatif aerob. Kanamysin,
seperti streptomysin, mempunyai spektrum yang lebih terbatas dibandingkan
aminoglikosida lain dan terutama tidak boleh digunakan untuk mengobati infeksi
yang disebabkan oleh bakteri Serratia atau P. aeruginosa.
Kerentanan basilus gram-negatif aerob terhadap aminoglikosida
bervariasi. Mikroorganisme yang "peka" didefinisikan sebagai mikroorganisme
yang dapat dihambat pada konsentrasi klinis yang dapat dicapai dalam plasma
tanpa insiden toksisitas yang tinggi. Tobramysin dan gentamisin menunjukkan
aktivitas yang serupa terhadap sebagian besar basilus gram-negatif meskipun
umumnya tobramysin lebih aktif terhadap P. aeruginosa dan terhadap beberapa
galur spesies Proteus. Banyak basilus gram-negatif yang resisten terhadap gen-
tamisin karena enzim-enzim penginaktivasi yang diperantarai oleh plasmid juga
akan menginaktivasi tobramysin.
ABSORPSI, DISTRIBUSI, PEMBERIAN DOSIS, DAN ELIMINASI
AMINOGLIKOSIDA
Absorpsi
Aminoglikosida merupakan kation yang sangat polar sehingga sangat
sedikit diabsorpsi dari saluran gastrointestinal. Pada pemberian secara oral
maupun rektal, banyaknya obat yang diabsorpsi kurang dari 1%. Obat ini tidak
diinaktivasi di dalam usus, dan dieliminasi secara kuantitatif melalui feses.
Namun, pemberian oral atau rektal jangka panjang dapat mengakibatkan
akumulasi aminoglikosida hingga mencapai konsentrasi yang bersifat toksik pada
pasien yang mengalami kerusakan ginjal. Absorpsi gentamisin dari saluran
gastrointestinal dapat ditingkatkan oleh penyakit gastrointestinal (ulser, penyakit
radang usus. Pemasukkan obat-obat ini pada rongga badan yang permukaannya
dilapisi serosa dapat menghasilkan absorpsi yang cepat dan toksisitas yang tidak
diharapkan, yakni blokade neuromuskular. Demikian pula, intoksikasi dapat
terjadi apabila aminoglikosida diberikan secara topikal untuk jangka waktu yang
lama pada luka yang besar, luka bakar, atau ulser pada kulit, terutama pada
kondisi insufisiensi ginjal.
Semua aminoglikosida diabsorpsi dengan cepat dari tempat injeksi
intramuskular. Konsentrasi puncak dalam plasma terjadi setelah 30-90 menit dan
sama dengan yang teramati 30 menit setelah tuntasnya pemberian infus intravena
dengan dosis yang sama selama periode 30 menit. Pada pasien yang sakit kritis,
terutama pada kondisi syok, absorpsi obat dapat menurun pada lokasi pemberian
intramuskular akibat perfusi yang buruk.
Distribusi
Aminoglikosida mempunyai sifat yang polar yang sebagian besar
aminoglikosida dikeluarkan dari kebanyakan sel dari sistem saraf pusat dan dari
mata. Volume distribusi nyata obat ini adalah 25% dari bobot badan tanpa lemak
dan mendekati volume cairan ekstraselular.
Konsentrasi aminoglikosida dalam sekresi dan jaringan rendah.
Konsentrasi yang tinggi hanya ditemukan pada bagian korteks ginjal serta bagian
endolimfe dan perilimfe telinga bagian dalam. Keadaan ini diduga berkontribusi
terhadap nefrotoksisitas dan ototoksisitas yang disebabkan oleh aminoglikosida.
Konsentrasi dalam empedu mendekati 30% dari konsentrasi dalam plasma
sebagai hasil sekresi aktif hepatik, tetapi rate ini mewakili rule ekskresi yang
sangat kecil bagi aminoglikosida. Penetrasi ke dalam sekresi pernapasan sangat
buruk. Difusi aminoglikosida ke dalam cairan sinovial dan pleural relatif lambat,
namun konsentrasi yang mendekati konsentrasinya dalam plasma dapat dicapai
setelah pemberian berulang. Adanya peradangan meningkatkan penetrasi
aminoglikosida ke dalam rongga peritoneal dan perikardial.
Pemberian Dosis
Secara tradisional, dosis harian total aminoglikosida diberikan terbagi
dalam 2 atau 3 dosis yang sama. Namun, pemberian dosis total satu kali sehari
tampaknya kurang toksik dan memiliki efektivitas yang sama. Toksisitas terjadi
akibat akumulasi obat pada bagian dalam telinga dan ginjal. Jumlah obat yang
terakumulasi meningkat seiring dengan semakin tingginya konsentrasi dalam
plasma serta dengan periode pemajanan yang lebih lama. Eliminasi (atau
pembersihan) aminoglikosida dari organ-organ ini terjadi lebih lambat
dibandingkan eliminasinya dari plasma dan tertahan oleh tingginya konsentrasi
dalam plasma yang menjadi penyebab kaitan antara toksisitas dan konsentrasi
terendah plasma yang tinggi. Oleh karena itu, toksisitas dapat dianggap sebagai
fenomena ambang yang lebih mungkin timbul pada kondisi semakin lamanya kon-
sentrasi plasma melebihi batas atas yang relatif aman. Regimen dosis satu kali
sehari, walaupun konsentrasi puncak yang dicapai lebih tinggi memberikan
periode yang lebih lama daripada regimen dosis berulang jika konsentrasi di
bawah ambang batas toksisitas sehingga toksisitasnya lebih rendah. Di lain pihak,
aktivitas bakterisida aminoglikosida berkaitan secara langsung dengan
konsentrasi yang dicapai, karena aminoglikosida memiliki daya musnah dan efek
pasca antibiotik yang tergantung pada konsentrasi.
Regimen apa pun yang dipilih, baik dosis satu kali sehari atau regimen dosis
berulang harus disesuaikan pada pasien dengan bersihan kreatinin di bawah 80-
100 ml/menit. Apabila diperkirakan bahwa pasien tersebut akan diobati dengan
suatu aminoglikosida selama lebih dan 3 hingga 4 hari, maka konsentrasi obat
dalam plasma harus dipantau untuk menghindari terjadinya akumulasi obat.
Selain itu, secara umum aminoglikosida tidak boleh digunakan sebagai obat
tunggal kecuali untuk infeksi saluran urin karena penetrasi obat ini ke dalam
jaringan relatif buruk serta akibatnya yang lebih buruk dibandingkan dengan
regimen kombinasi atau golongan antibiotik lainnya.
Konsentrasi aminoglikosida dalam cairan serebrospinal (CSS) yang dapat
dicapai melalui pemberian obat secara parenteral umumnya bersifat subterapeutik.
Pada hewan percobaan dan manusia, konsentrasi aminoglikosida dalam CSS di
bawah 10% dari konsentrasinya di plasma dalam keadaan tidak ada peradangan,
angka ini dapat mencapai 25% pada kondisi meningitis. Oleh karena itu,
konsentrasi yang dicapai tidak mencukupi untuk pengobatan meningitis akibat
basilus gram-negatif pada orang dewasa. Pemberian aminoglikosida secara
intratekal atau intravaskular telah digunakan untuk mencapai kadar terapeutik,
tetapi ketersediaan sefalosporin generasi ketiga menyebabkan hal ini tidak lagi
diperlukan pada kebanyakan kasus. Pemberian aminoglikosida pada wanita di
akhir masa kehamilan dapat mengakibatkan akumulasi obat pada plasma janin dan
cairan amniotik. Streptomysin dapat menyebabkan ketulian pada bayi yang
dilahirkan oleh wanita yang menggunakan obat ini selama kehamilan demikian
juga dengan tobramysin.
Eliminasi
Aminoglikosida diekskresikan hampir seluruhnya oleh filtrasi
glomerulus dan konsentrasi dalam urin mencapai 50 hingga 200 fig/ml.
Sebagian besar obat yang diberikan secara parenteral diekskresikan dalam
keadaan tidak berubah selama 24 jam pertama dan sebagian besar dari jumlah
tersebut muncul pada 12 jam pertama. Obat-obat aminoglikosida memiliki
waktu paruh yang sama dalam plasma dan bervariasi antara 2 dan 3 jam pada
pasien dengan fungsi ginjal yang normal.
Setelah pemberian dosis tunggal aminoglikosida, hilangnya obat dari
plasma melebihi ekskresi obat dari ginjal sebesar 10%-20%. Namun, setelah
terapi selama 1-2 hari hampir 100% dosis berikutnya dapat ditemukan kembali di
urin. Periode tunda ini kemungkinan menunjukkan telah jenuhnya tempat-tempat
ikatan {binding site) pada jaringan. Kecepatan eliminasi obat dari tempat-tempat ini
jauh lebih lama daripada eliminasinya dari plasma. Waktu paruh aminoglikosida
yang terikat-jaringan di-perkirakan berkisar dari 30 hingga 700 jam (Schentag and
Jusko, 1977). Karena itulah sedikit aminoglikosida dapat dideteksi di dalam urin
selama 10 hingga 20 hari setelah pemberian obat dihentikan. Aminoglikosida
yang terikat pada jaringan ginjal menunjukkan aktivitas antibakteri dan
melindungi hewan-hewan percobaan terhadap infeksi bakteri di ginjal, bahkan
pada saat obat tersebut tidak lagi dapat dideteksi dalam serum.
Konsentrasi aminoglikosida dalam plasma yang dihasilkan oleh dosis
awal hanya tergantung pada volume distribusi obat tersebut. Karena eliminasi
aminoglikosida hampir seluruhnya tergantung pada ginjal, terdapat hubungan
linier antara konsentrasi kreatinin dalam plasma dengan waktu paruh semua
aminoglikosida pada pasien yang fungsi ginjalnya sedikit terganggu.
Penentuan konsentrasi obat dalam plasma merupakan pedoman penting
untuk pemakaian aminoglikosida secara tepat. Pada"pengidap infeksi sistemik
parah yang mengancam jiwa, konsentrasi aminoglikosida sebaiknya ditentukan
beberapa kali per minggu (lebih sering lagi bila fungsi ginjal berubah) dan harus
selalu ditentukan dalam waktu 24 jam setelah perubahan dosis.
Aminoglikosida dikeluarkan dari tubuh melalui hemodialisis maupun
dialisis peritoneal. Kurang lebih 50% dari dosis yang diberikan dieliminasi dalam
waktu 12 jam melalui hemodialisis, yang telah digunakan untuk pengobatan
overdosis. Sebagai aturan uraura, satu dosis yang setara dengan setengah dosis
muatan yang diberikan tiap selesai hemodialisis harus dapat memperta-hankan
konsentrasi plasma dalam rentang yang diharapkan, namun adanya sejumlah
variabel membuat perkiraan ini hanya merupakan perkiraan kasar saja.
Hemofiltrasi arteriovena kon-tinu (CAVH) menghasilkan bersihan
aminoglikosida kurang lebih ekuivalen dengan bersihan kreatinin 15 ml/menit,
sedangkan hemofiltrasi venovena kontinu (CWH) akan menghasilkan bersihan
aminoglikosida kurang lebih ekuivalen dengan bersihan kreatinin 15-30 ml/menit.
Jumlah aminoglikosida yang dikeluarkan dapat digantikan dengan penggunaan
dosis harian mak-sifnum kira-kira 15% sampai 30% setiap hari.
Dialisis peritoneal tidak begitu efektif dibandingkan hemodialisis dalam
menghilangkan aminoglikosida. Kecepatan bersihan kira-kira 5 sampai 10 ml per
menit untuk berbagai obat, namun sangat bervariasi. Jika pasien yang
membutuhkan dialisis mengidap peritonitis bakteri, konsentrasi terapeutik
aminoglikosida kemungkinan tidak akan tercapai dalam cairan peritoneal, karena
rasio konsentrasi dalam plasma terhadap cairan peritoneal mungkin 10 banding 1.
Oleh karena itu, dianjurkan untuk menambahkan antibiotik ke dalam dialisat
untuk mencapai konsentrasi yang sama dengan konsentrasi yang diharapkan
dalam plasma. Untuk pendosisan intermiten melalui dialisat peritoneal, 2 mg/kg
amikasin ditambahkan ke dalam kantong dialisis satu kali sehari. Dosis yang
sesuai untuk gentamisin, netilmisin atau tobramysin adalah 0,6 mg/kg. Walaupun
ekskresi aminoglikosida pada orang dewasa dan anak-anak berumur di atas 6
bulan sama, waktu paruh obat ini mungkin diperpanjang secara signifikan pada
bayi baru lahir. Bayi baru lahir dengan bobot badan kurang dari 2 kg memiliki
waktu paruh aminoglikosida 8 sampai 11 jam selama minggu pertama
kelahiran, sementara bayi dengan bobot di atas 2 kg mengeliminasi obat ini
dengan waktu paruh kira-kira 5 jam. Aminoglikosida dapat diinaktivasi oleh
berbagai macam penisilin secara in vitro dan pada pasien gagal ginjal stadium
akhir sehingga membuat rekomendasi dosis menjadi lebih sulit. Amikasin
tampaknya yang paling sedikit terpengaruh oleh interaksi ini.
b.Spektinomisin
Spektinomisin merupakan antibiotik yang dihasilkan oleh streptomyces
spectabilis. Obat ini termasuk kelompok aminosiklitol.
Mekanisme dan Aktivitas Antibakteri
Spektinomisin aktif terhadap sejumlah spesies bakteri gram negatif tetapi
aktivitasnya lebih lemah dibandingkan antibiotik lain yang kelompok
mikroorganisme tersebut rentan terhadapnya (Schoutens at al, 1972). Penggunaan
terapeutiknya hanya untuk pengobatan gonorea yang disebabkan oleh galur yang
resisten terhadap obat pilihan pertama atau jika ada kontraindikasi terhadap
pemakaian obat-obatan tersebut. Resistensi dapat terjadi walaupun jarang.
Spektinomisin menghambat sintesis protein gram negatif secara selektif.
Antibiotik ini berikatan dan bekerja pada subunit ribosom 30 S. Cara kerjanya
sama dengan aminoglikosida namun spektinomisin tidak bersifat bakterisida ndan
tidak menyebabkan kesalahan baca RNA messenger. Resistensi bakteri dapat
terjadi sebagai akibat mutasi atau modifikasi enzim.
Absorpsi, distribusi dan ekskresi
Spektinomisisn diabsorpsi dengan cepat setelah injeksi intramuskular.
Dosis tunggal 2 g menghasilkan konsentrasi serum puncak 100 μg/ml dalam
waktu 1 jam. 8 jam setelah injeksi, konsentrasi mendekati 15 μg/ml. Obat ini tidak
berikatan secara berarti dengan protein plasma, dan seluruh dosis yang diberikan
dalam urin dalam waktu 48 jam.
Penggunaan terapeutik
Pusat pencegahan dan pengendalian penyakit di Amerika Serikat
merekomendasikan seftriakson, sefiksim, siprofloksasin, atau ofloksasin untuk
penanganan infeksi gonokokus yang tidak disertai komplikasi. Namun,
spektinomisin direkomendasikan sebagai regimen alternatif untuk pasien yang
tidak toleran atau alergi terhadap antibiotik β laktam dan kuinolon. Dosis yang
dianjurkan untuk pria maupun wanita adalah dosis tunggal 2 g dengan injeksi
intramuskular dalam. Salah satu keburukan regimen ini adalah bahwa
spektinomisisn tidak memiliki efek terhadap sifilis yang sudah ada atau
terinkubasi, dan spektinomisin tidak aktif terhadap Chlamydia spp. Antibiotik ini
cukup kurang efektif untuk infeksi faring dan kultur lanjutan untuk
mendokumentasikan kesembuhan harus diperoleh.
2.2.5 Golongan Obat Anti Folat
a. Sulfonamida
Formula dasar sulfonamida dan kemiripan strukturnya dengan asam p-
amihobenzoat (PABA) disajikan dalam. Sulfonamida dengan berbagai sifat fisis,
kimiawi, farmakologis, dan antibakterial dihasilkan dengan melekatkan substituen
pada gugus amido atau gugus amino. Sulfonamida cenderung lebih larut pada pH
basa ketimbang pada pH asam. Kebanyakan dapat dibuat sebagai garam natrium,
yang digunakan untuk pemberian intravena.
Resistensi
Sel mamalia (dan beberapa bakteria) tidak memiliki enzim yang diperlukan
untuk menyintesis folat dari PABA se hingga bergantung pada folat eksogen;
dengan demikian, mereka tidak rentan terhadap sulfonamida. Resistensi terhadap
sulfonamida mungkin terjadi akibat mutasi yang (a) menyebabkan produksi berlebih
PABA, (b) menyebabkan produksi enzim penyintesis asam folat yang memiliki
afinitas rendah terhadap sulfonamida, atau (c) menggang-gu permeabilitas terhadap
sulfonamida. Dihidropteroat sintase dengan afinitas sulfonamida yang rendah sering
dikode dalam plasmid yang dapat ditransmisikan dan ter-diseminasi dengan cepat
dan luas. Mutan dihidropteroat sintase resisten sulfonamida dapat juga muncul akibat
tekanan selektif.
Farmakokinetik
Sulfonamida dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama: (1) oral, dapat
diserap; (2) oral, tidak dapat diserap dan (3) topikal. Sulfonamida oral yang dapat
diserap terbagi menjadi kerja-singkat, kerja-sedang, dan kerja-lama menurut waktu-
paruh obat tersebut. Sulfonamida ini diserap dari lambung dan usus halus serta
didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh (termasuk sistem saraf pusat
dan cairan serebrospinal), plasenta, dan janin. Ikatan protein bervariasi dari 20%
hingga melebihi 90%. Kadar terapeutiknya berada dalam kisaran 40-100 mcg/mL
dalam darah. Kadarnya dalam darah biasanya memuncak 2-6 jam setelah pemberian
per oral.
Sebagian pbat yang diabsorpsi terasetilasi atau terglukuronidasi di hati.
Sulfonamida dan metabolit yang tidak aktif kemudian diekskresi dalam urine,
terutama melalui filtrasi glomerulus. Pada gagal ginjal yang bermakna, dosis.
sulfonamida harus diturunkan.
Penggunaan Klinis
Sulfonamida jarang digunakan sebagai suatu agen tunggal. Banyak galur
spesies yang dulunya rentan, termasuk meningokokus, pneumokokus, streptokokus,
stafilokokus, dan gonokokus, kini menjadi resisten. Kombinasi tetap
trimetoprimsulfometoksazol adalah obat pilihan untuk infeksi seperti pneumonia oleh
Pneumoq/stis proved (dahulu P carinii), toksoplasmosis, nokardiosis, dan terkadang
infeksi bakteri lainnya.
A. AGEN ORAL YANG DAPAT DISERAP
Sulfisoksazol dan sulfametoksazol adalah agen kerja singkat hingga kerja
sedang yang hampir hanya digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih. Dosis
normal pada orang dewasa adalah 1 g sulfisoksazol empat kali sehari atau 1 g
sulfametoksazol dua hingga tiga kali sehari.
Sulfadiazin dalam bentuk kombinasi dengan piriirietamin merupakan terapi
lini pertama untuk terapi toksoplasmosis akut Kombinasi sulfadiazine pirimetamin,
suatu penghambat kuat dihidrofolat reduktase, bersifat sinergistis karena obat ini
menyekat berbagai tahapan sekuensial dakm blokade jalur sintesis folat. Dosis
sulfadiazin adalah 1 g empat kali sehari, dengan pirimetamin ya.ng diberikan dalam
dosis inisial sebesar 75 mg kemudian diikuti dengan dosis 25 mg sekali sehari. Asam
folinat, sebanyak 10 mg oral per hari, juga harus diberikan untuk mengurangi supresi
sumsum tulang.
Sulfadoksin adalah satu-satunya sulfpnamida kerja-lama yang saat ini
tersedia di Amerika Serikat dan hanya terdapat dalam bentuk kombinasi dengan
pirimetamin (Fansidar), yakni agen lini kedua dalam terapi malaria.
B. AGEN ORAL YANG TIDAK DAPAT DISERAP
Sulfasalazin (salisilazosulfapiridin) digunakan secara luas pada kolitis
ulseratif, enteritis, dan penyakit inflamasi usus lainnya
C. AGEN TOPIKAL
Larutan atau salep oftalmik natrium sulfasetamid merupakan terapi efektif
untuk konjungtivitis bakterialis dan sebagai terapi tambahan pada trakoma.
Sulfonamida Iainnya yakni mafenida asetat digunakan secara topikal tetapi dapat
diserap dari lokasi luka bakar. Obat ini dan metabolit utamanya menghambat
karbonik anhidrase dan dapat menyebabkan asidosis metabolik, suatu efek samping
yang membatasi manfaatnya. Sulfadiazin perak adalah sulfonamida topikal yang
jauh kurang toksik dan lebih dianjurkan ketimbang mafenida untuk pencegahan
infeksi luka bakar.
b.TRIMETOPRIM & CAMPURAN TRIMETOPRIM-SULFAMETOKSAZOL
Trimetoprim secara selektif menghambat asam dihidrofolat reduktase
bakteri yang mengubah asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat,
suatu tahap menuju sintesis purin dan pada akhimya sintesis DNA.
Trimetoprim kira-kira 50.000.kali lebih tidak efisien dalam menghambat
asam dihidrofolat reduktase mamalia. Pirimetamin, suatu benzilpirimidin Iain,
pecara selektif menghambat asam hidrofolat reduktase pada protozoa
dibandingkan dengan mamalia. Seperti uraian sebelumnya, trimetoprim
atau pirimetamin dalam kombinasi dengan sulfonamide menyekat tahapan
sekuensial dalam sintesis folat, dan menghasilkan peningkatan bermakna
(sinergisme) aktivitas kedua obat. Kombinasi ini seringkali bersifat
bakterisidal, dibandingkan
Resistensi
Resistensi terhadap trimetoprim dapat disebabkan oleh penurunan
permeabilitas sel, produksi berlebih dihidrofolat reduktase, atau produksi
reduktase yang telah diubah sehingga menyebabkan penurunan ikatan obat.
Resistensi dapat timbul oleh mutasi, meskipun lebih sering disebabkan oleh
dihidrofoJat reduktase resisten-trimetoprim yang dikode oleh plasmid. Enzim
yang resisten ini dapat dikode dalam transppson pada plasmid konjugatif yang
memiliki kisaran pejamu yang Iuas sehingga ikut menyebabkan penyebaran
resistensi trimetoprim yang cepat dan Iuas antar berbagai spesies bakteri.
Farmakokinetik
Trimetoprim biasanya diberikan per oral, sendiri atau dalam
kombinasi dengan sulfametoksazol, keduanya mempunyai waktu-paruh yang
serupa. Trimetoprim-sulfametoksazol juga dapat diberikan secara intxavena.
Trimetoprim diserap dengan baik dari usus dan didistri-busikan secara' luas dalam
cairan dan jaringan tubuh, termasuk cairan,serebrospinal. Karena trimetoprim lebih
larut dalam lipid daripada sulfametoksazol, trimetoprim memiliki volume distribusi
yang lebih besar ketimbang sulfometoksazol. Oleh sebab itu, ketika 1 bagian trime-
toprim diberikan dengan 5 bagian sulfometoksazol (rasio formulasi), kadar puncak
dalam plasmanya berada dalam rasio 1:20, yang optimal bagi efek gabungan kedua
obat ini in vitro. Sekitar 30-50% sulfonamida dan 50-60% trimetoprim (atau masing-
masing metabolitnya) diekskresi di urine dalam waktu 24 jam. Dosis ini harus
diturunkan sebanyak separuhnya pada pasien dengan bersihan kreatinin sebesar 15-30
ml/ menit.
Trimetoprim terkonsentrasi dalam cairan prostatik dan cairan vagina, yang
lebih asam daripada plasma. Oleh sebab itu, trimetoprim memiliki aktivitas
antibakteri yang lebih besar dalam cairan prostatik dan vagina daripada obat
antimikroba lainnya.
Penggunaan Klinls
A. TRIMETOPRIM ORAL
Trimetoprim dapat diberikan sendiri (100 mg dua kali sehari) pada infeksi
saluran kemih akut. Kebanyakan orga-nisme yang didapat dari masyarakat
cenderung rentan terhadap obat ini dalam kadar tinggi di urine (200-600 mcg/mL).
B. TRIMETOPRIM-SULFOMETOKSAZOL ORAL (TMP-5MZ)
Kombinasi trimetoprim-sulfometoksazol menjadi terapi efektif untuk
berbagai infeksi, meliputi pneumonia akibat P proved, shigelosis, infeksi salmonella
sistemik, infeksi saluran kemih, prostatitis, dan beberapa infeksi miko-bakterium
nontuberkulosis. Obat ini aktif terhadap'kebanyakan galur S minus, baik yang rentan
maupun resisten terhadap metisilin, dan terhadap patogen saluran napas seperti
pneumokokus, spesies Hapnaphilus, Moraxella catar-rhalis, dan Klebsielk
pneumonias (tetapi tidak Mycoplasma pneumoniae). Akan tetapi, meningkatnya
prevalensi galur E coli (hingga 30% ke atas) dan pneumokokus yang resisten terhadap
trimetoprim-sulfometoksazol harus diperthn-bangkan sebelum menggunakan
kombinasi ini untuk terapi empiris infeksi saluran kemih atas atau pneumonia.
Satu tablet forte (setiap tablet mengandung trimetoprim 160 mg plus
sulfametoksazol 800 mg) yang diberikan tiap 12 jam merupakan terapi yang efektif
untuk infeksi saluran kemih dan prostatitis. Satu setengah tablet biasa (bukan forte)
yang diberikan sebanyak tiga kali seminggu selama beberapa bulan menjadi
profilaksis infeksi saluran kemih berulang pada beberapa perempuan. Satu tablet forte
sei-Hap 12 jam merupakan terapi efektif pada infeksi akibat galur shigella dan
salmonella yang rentan. Dosis untuk anak yang diobati karena shigellosis, infeksi
saluran kemih, atau ptitis media adalah trimetoprim 8 mg/kg dan sulfametoksazol 40
mg/kg setiap 12 jam.
Infeksi P proved dan beberapa patogen lain dapat diobati per oral dengan
kombinasi dosis tinggi (dosis diatur berdasarkan komponen trimetoprim sebanyak 15-
20 mg/ kg) atau dapat dicegah pada pasien iuluh-imun dengan satu tablet forte
setiap hari atau tiga kali seminggu.
C. TRIMETOPRIM-SULFAMETOKSAZOL INTRAVENA
Larutan campuran yang mengandung trimetoprim 80 mg plus
sulfametoksazol 400 mg tiap 5 mL yang diencerkan dengan 125 mL dekstrosa 5%
dalam air dapat diberikan melalui infus intravena selama 60-90 menit. Obat ini me-
rupakan agen pilihan untuk pneumonia pneumosistis sedang-berat, hingga berat dan
dapat digunakan untuk sepsis bakterial gram-negatif, termasuk sepsis yang disebabkan
oleh spesies yang resisten terhadap berbagai obat seperti enterobakter dan serratia;
shigellosis; demam tifoid; atau infeksi saluran kemih akibat organisme yang rentan
jika pasien tidak mampu mengonsumsi obat per oral. Dosisnya 10-20 mg/kg/hari
untuk komponen trimetoprim.
D. PiRIMETAMIN DENGAN SULFONAMIDA ORAL
Pirimetamin dan sulfadiazin telah digunakan untuk terapi leishmaniasis dan
toksoplasmosis. Pada malaria falsipa-rum, kombinasi pirimetamin dengan
sulfadoksin.
KUINOLON
Kuinolon yang penting adalah analog terfluorinasi sin-tetik asam nalidiksat.
Obat ini aktif terhadap berbagai macam bakteri gram-positif dan gram-negatif.
Kuinolon menyekat sintesis DNA bakteri dengan menghambat topoisbmerase II
(DNA girase) dan topoi-somerase IV bakteri. Inhibisi DNA girase mencegah
relaksasi DNA supercoilei positif yang diperlukan untuk transkripsi dan replikasi
normal. Inhibisi topotsomerase IV mengganggu pemisahan kromosom DNA
pafccareplikasi ke dalam masing-masing sel anak selama pembelahan sel. Kuinolon
terdahulu seperti asam nalidiksat tidak mencapai kadar antibakterial sistemik dan
dahulu hanya bermanfaat untuk terapi infeksi saluran kemih bawah. Turunan
terfluorinasi (siprofloksasin, levofloksasin, dan lainnya; Gambar 46-3 dan Tabel 46-
2) memiliki aktivitas antibakteri yang sangat meningkat dibandingkan dengan asam
nalidiksat dan mencapai kadar bakterisidal dalam darah dan jaringan.
Resistensi
Selama terapi dengan fluorokuinolon, organisme yang resisten bermunculan
sekitar sekali dalam 107-10', khususnya dari stafilokokus, pseudomonas, dan senatia.
Resistensi terjadi akibat satu atau lebih mutasi h'tik pada daerah ikatan kuinolon di
enzim yang menjadi sasaran atau akibat perubahan permeabilitas organisme.
Resistensi terhadap satu fluorokuinolon, khususnya resistensi tingkat-tinggi,
umumnya memunculkan resistensi-silang untuk anggota Iain dalam golongan obat
tersebut.
Farmakokinetik
Setelah pemberian oral, fluorokuinolon diserap dengan baik
(bioavailabilitasnya 80-95%) dan Jerdistribusi secara Iuas dalam cairan tubuh dan
jaringan. Waktu-paruhnya dalam serum berkisar dari 3 jam sampai 10 jam; Waktu-
paruh levofloksasin, gemifloksasin gatifloksasin, dan moksifloksasin yang relatif
lama memungkinkan agen-agen ini diberikan dalam dosis sekali sehari.
Kadarserumobatyang diberikan intravena serupa dengan kadar serum obat yang
diberikan per oral. Kebanyakan fluorokuinolon dielimi-nasi melalui ginjal, baik
melalui sekresi tubulus maupun filtrasi glomerulus. Penyesuaian dosisnya di-
perlukan pada pasien dengan bersihan kreatinin kurang dari 50 mL/menit;
penyesuaian yang tepat bergantung pada derajat gangguan ginjal dan fluorokuinolon
spesifik yang digunakan. Penyesuaian dosis pada gagal ginjal tidak diperlukan
untuk moksifloksasin. Fluorokuinolon yang dibersihkan di Iuar ginjal relatif
dikontraindikasikan pada pasien gagal hati.
Penggunaan Klinis
Fluorokuinolon (selain moksifloksasin, yang kadarnya relatif rendah dalam
urine) efektif pada -infeksi'.saluran kemih bahkan ketika infeksi tersebut disebabkan
oleh bakteri yang resisten terhadap berbagai obat, misalnya, pseudomonas. Agen ini
juga efektif untuk diare bakterial yang disebabkan oleh shigella, salmonella, E coli
toksigenik dan campylobacter. Fluorokuinolon (kecuali norfloksasin, yang kadar
sistemiknya tidak adekuat) telah digunaka.n pada infeksi jaringan lunak, tulang, dan
sendi serta infeksi saiuran napas dan intraabdominal, terrnasuk infeksi yang
disebabkan oleh organisrae yang resisten terhadap berbagai obat,, seperti pseudomonas
dan enterobakter. Siprofloksasin merupakanobat pilihan untuk profilaksis dan terapi
anthrax, meskipun fluorokuinolon yang terbaru aktif terhadap anthrax secara in vitro
dan kenvungkinan juga in vivo.
Siprofloksasin dan levofloksasin efektif untuk infeksi gonokokus, termasuk
penyakit diseminata dan uretritis atau servisitis klarnidial. Siprofloksasin,
levofloksasin, atau moksifloksasin sesekali digunakan dalam terapi tuberkulosis dan
infeksi mikobakterium atipik. Obat-obat ini mungkin sesuai untuk eradikasi
meningokokus dari karier atau untuk profilaksis infeksi pada pasien neutropenik.
Levofloksasin, gatifloksasin, gemifloksasin, dan moksifloksasin, kelompok
obat yang disebut fluorokuinolon respiratorik, dengan aktivitas gram-positifnya yang
tinggi dan aktivitasnya terhadap agen penyebab pneumonia atipik (misalnya,
klamtdia, mikoplasma, dan legionella), efektif dan semakin banyak digunakan untuk
terapi infeksi saluran napas atas dan bawah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Antibiotik adalah senyawa organik yang dihasilkan oleh berbagai spesies
mokroorganisme dan bersifat toksik terhadap spesies mokroorganisme lain.
Klasifikasi antibiotik dibagi menjadi golongan antibiotik yang aktif di dinding sel
dan membran sel, golongan obat penghambat sintesis protein, golongan obat
inhibitor bakterisidal sintesis protein dan golongan anti folat. Semua golongan
tersebut memiliki sifat dan peranan yang berbeda untuk menghentikan infeksi
bakteri di dalam tubuh manusia.
3.2 Saran
Antibiotik tesebut memiliki efek samping dalam penggunaannya. Oleh
karena itu, pemberian antibiotik harus tepat dosis dan indikasi karena beberapa
antibiotik bisa menyebabkan hipersensitivitas.