Referat Persistent Maxillary Sinusitis

download Referat Persistent Maxillary Sinusitis

of 27

description

Referat Persistent Maxillary Sinusitis

Transcript of Referat Persistent Maxillary Sinusitis

BAB IPENDAHULUAN

Sinus yang dalam keadaan fisiologis adalah steril, apabila klirens sekretnya berkurang atau tersumbat, akan menimbulkan lingkungan yang baik untuk perkembangan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis.1Sinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada hidung dan sinus paranasal yang sering terjadi, terutama pada usia antara 30-69 tahun. Prevalensi penyakit ini ditemukan lebih tinggi pada jenis kelamin wanita dibandingkan laki-laki. Etiologi Sinusitis kronis bersifat multifaktorial meliputi faktor penjamu (host) baik sistemik maupun lokal dan faktor lingkungan. Namun pada sinusitis kronis yang persisten meskipun telah diberikan terapi yang adekuat biasanya berhubungan dengan adanya obstruksi mekanik, riwayat alergi dan asma, inflamasi dari superantigen bakteri dan jamur serta adanya polutan seperti rokok.2Dari berbagai sinus yang terlibat pada sinusitis kronis, sinus maksila merupakan sinus yang paling sering terlibat (79,1%), diikuti sinus etmoid anterior (48,2%), sinus sfenoid (27,2%) dan sinus frontal (11,2%). Namun secara keseluruhan, 82,7% kasus menunjukkan kelainan patologis pada kompleks ostiomeatal. Di Indonesia, prevalensi sinusitis kronis pada tahun 2004 dilaporkan sebesar 12,6% dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk menderita sinusitis kronis.2Diagnosis sinusitis kronis didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan Telinga, hidung dan tenggorokan dengan rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi kaku atau fleksibel, pemeriksaan radiologi (Rntgen ataupun tomografi komputer sinus paranasal) dan pemeriksaan mikrobiologi.2,3,4BAB II

SINUS PARANASAL

Anatomi Sinus ParanasalSinus paranasal dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok anterior yang terdiri dari sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior yang bermuara pada meatus media, dan kelompok posterior yang terdiri dari sinus etmoid posterior bermuara pada meatus superior dan sinus sfenoid yang bermuara pada resesus sfenoethmoidalis.3

Gambar 2.1 Sinus Paranasal3Sinus maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar berbentuk piramid yang berada di dalam tulang maksila. Tulang ini terdiri dari satu korpus berbentuk piramid kuadrilateral dan empat prosesus yaitu prosesus frontal, zigomatik, alveolar dan palatina. Sinus maksila dengan apeks berhubungan langsung dengan prosesus zigomatik os maksila dibatasi oleh lima dinding, yaitu dinding medial, anterior, posterolateral, superior dan inferior. Dinding medial sinus maksila berbatasan dengan dinding lateral kavitas nasi setinggi meatus media dan inferior yang secara vertikal dibagi menjadi tiga bagian (gambar 2.2). 2,3Dinding anterior sinus merupakan dinding anterior os maksila. Dinding posterolateral sinus dibentuk oleh os zigomatik dan alar mayor os sfenoid. Dinding superior sinus berbatasan dengan lantai orbita dan dinding inferior dibentuk oleh prosesus alveolar os maksila. Ostium sinus maksila kebanyakan terletak pada sepertiga posterior infundibulum etmoid, dengan ukuran rata-rata 2-3 mm. Volume rata-rata sinus maksila dewasa adalah 14,25 ml dengan panjang 38-45 mm, tinggi 36-45 mm dan lebar 25-33 mm.2Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: 1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis; 2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita; 3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.3

Gambar 2.2. Sinus maksila dengan tiga bagian secara vertikal, potongan koronal.2Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 thn dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 thn.3,7

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.3,6Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.6Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.6

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.6Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila.7Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoid berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.6Sinus SfenoidSinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cmn tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid. Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.6Komplek ostiomeatal

Kompleks ostiomeatal (KOM) terdiri dari sel-sel udara dari etmoid anterior dan ostiumnya, infundibulum etmoid, ostium sinus maksila, ostium sinus frontal dan meatus media, seperti terlihat pada gambar 2.3.2Struktur lain yang juga merupakan KOM adalah sel agger nasi, prosesus unsinatus, bula etmoid, hiatus semilunar inferior dan konka media. Secara fungsional, KOM berperan sebagai jalur drainase dan ventilasi untuk sinus frontal, maksila dan etmoid anterior.2

Gambar 2.3. Kompleks ostiomeatal (KOM), potongan koronal.2Fisiologi Sinus ParanasalPeranan sinus paranasal hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti. Namun fungsi yang paling penting dari sinus paranasal adalah meningkatkan fungsi nasal. Fungsi sinus paranasal antara lain fungsi ventilasi, penghangatan, humidifikasi, filtrasi, dan pertahanan tubuh.1,2Faktor yang berperan dalam memelihara fungsi sinus paranasal adalah patensi KOM, fungsi transpor mukosiliar dan produksi mukus yang normal. Patensi KOM memiliki peranan yang penting sebagai tempat drainase mukus dan debris serta memelihara tekanan oksigen dalam keadaan normal sehingga mencegah tumbuhnya bakteri. Faktor transpor mukosiliar sangat bergantung kepada karakteristik silia yaitu struktur, jumlah dan koordinasi gerakan silia. Produksi mukus juga bergantung kepada volume dan viskoelastisitas mukus yang dapat mempengaruhi transpor mukosiliar.1,2,3,6Sistem Transpor Mukosilier

Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur dan partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Efektivitas mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut lendir dihasilkan oleh sel goblet pada epitel dan kelenjar submukosa. Bagian bawah palut lendir terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian permukaannya terdiri dari mukus yang lebih elastik dan banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA). Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal yang bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi di dalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan antigen bakteri. 1,3,6Pada sinus maksila, sistem transport mukosilier menggerakan sekret sepanjang dinding anterior, medial, posterior dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Gerakan sistem transport mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral. Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian ke atap, dinding lateral dan bagian inferior dari dinding anterior dan posterior menuju ressesus frontal. Gerakan spiral menuju ostium terjadi pada sinus sfenoid, sedangakan pada sinus etmoid terjadi gerakan rektiliner jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika ostiumnya terdapat di salah satu dindingnya. Pada dinding lateral tedapat dua rute besar transport mukosilier. Rute pertama merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila, dan etmoid anterior. Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid. Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba Eustachius.1,3

Gambar 2.4. Mucociliary Clearance 1BAB III

SINUSITIS

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal dan sinus sfenoid jarang terkena. Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen.3,6Epidemiologi

Sinusitis merupakan salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Sinusitis menyerang 1 dari 7 orang dewasa di Amerika, dengan lebih dari 30 juta individu yang didiagnosis tiap tahunnya. Individu dengan riwayat alergi atau asma berisiko tinggi terjadinya rinosinusitis.3Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa rinosinusitis berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT-KL RSUP Cipto Mangunkusumo Januari - Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien dan 69% nya adalah sinusitis.6Prevalensi sinusitis tertinggi pada usia dewasa 18-75 tahun dan kemudian anak-anak berusia 15 tahun. Pada anak-anak berusia 5-10 tahun, Infeksi saluran pernapasan dihubungkan dengan sinusitis akut. Sinusitis jarang pada anak berusia kurang dari 1 tahun karena sinus belum berkembang dengan baik sebelum usia tersebut.2Etiologi

Beberapa faktor etiologik dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostiomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. 2,3,5,6Bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut pada sinus maksila adalah Streptococcus pneumonia (30-50%). Hemophylus influenzae (20-40%) dan Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, M.catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%). Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri gram negatif dan anaerob.2,5,6Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.2,4,5,6Klasifikasi

Secara klinis, sinusitis dibedakan atas: 1. Sinusitis akut. Sinusitis yang berlangsung kurang dari 12 minggu dengan perbaikan gejala; 2. Sinusitis kronis. Sinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu tanpa adanya perbaikan gejala dan mungkin menjadi eksaserbasi.2,4,5

Gambar 3.1 Grafik Perjalanan Penyakit Sinusitis5Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hal tanpa pengobatan. Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.6

Gambar 3.2. Patogenesis Sinusitis5Tanda dan GejalaKeluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang ke dua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. 6Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/ anosmia, halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit kepala kronik, posf nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.

Gambar 3.3 Tabel Gejala Mayor dan Minor Sinusitis Menurut American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery5DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius. Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau Computed tomography (CT) scan. Foto polos posisi Waters, Posteroanterior (Caldwells position) dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa. CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.2,5,6Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat anti biotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang ke luar dari pungsi sinus maksila. Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjut-nya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.Terapi

Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah komplikasi; dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis anti-biotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan anaerob. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCI atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.5,6Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.3,5,6Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus. Kelainan intrakranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa: Osteomielitis dan abses subperiostal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.6Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.6BAB IV

SINUSITIS KRONIK

Klasifikasi

Sinusitis kronik dibagi berdasarkan ada tidaknya riwayat operasi sinus sebelumnya. Jika sebelumnya tidak mempunyai riwayat operasi sinus, sinusitis kronik dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Sinusitis kronik dengan polip nasi (biasanya bilateral, tampak polip nasi di meatus nasi media pada pemeriksaan endoskopi); 2. Sinusitis kronik tanpa polip nasi (tidak tampak adanya polip nasi di meatus nasi media). Jika pernah dilakukan operasi sinus sebelumnya, maka sinusitis kronik dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Lesi bertangkai bilateral yang menyerupai cobblestoned mucose pada pemeriksaan endoskopi yang timbul > 6 bulan setelah operasi; 2. Kelainan mukosa yang tanpa menyerupai polip.4,5 Etiopatogenesis

Berbagai faktor berperan penting dalam perkembangan sinusitis kronis, meskipun mekanismenya belum diketahui secara pasti. Faktor tersebut meliputi faktor intrinsik (penjamu/host) yang terdiri dari faktor sistemik dan lokal serta faktor ekstrinsik (lingkungan). Faktor sistemik yang memicu terjadinya rinosinusitis kronis adalah kelainan genetik/ kongenital (seperti fibrosis kistik, gangguan silia primer),2,5Gangguan imunodefisiensi (seperti infeksi Human immunodeficiency virus , akibat kemoterapi), penyakit autoimun (seperti Wegener granulomatosis dan penyakit eritematosus lupus sistemik), kondisi atopik (seperti riwayat alergi dan asma), refluks laringofaringeal, gangguan endokrin dan kehamilan serta idiopatik (seperti sindrom Samter).2,5Faktor lokal yang berhubungan dengan sinusitis kronis adalah kelainan anatomi (seperti deviasi septum, konka bulosa, sel Haller, defleksi lateral dari prosesus unsinatus), kelainan anatomi iatrogenik (malposisi dan jaringan parut pada struktur sinonasal), terdapat kista, mukosil dan neoplasma pada sinonasal serta inflamasi persisten tulang sinus paranasal (osteitis). Adapun faktor ekstrinsik yang berperan dalam perkembangan rinosinusitis kronis meliputi infeksi bakteri, jamur dan polusi udara baik di luar rumah (ozon, sulfur dioksida dan nitrogen dioksida) dan di dalam rumah (rokok tembakau, formaldehida dan benzene). Kuman patogen yang sering ditemukan pada rinosinusitis kronis adalah bakteri anaerob yaitu Peptostreptococcus (34%), spesies Bacteroides (23%), Corynebacterium (23%) dan Vellionella (17%) serta kuman aerob seperti Staphylococcus aureus (17%), Streptococcus viridans (14%) dan Haemophillus influenza (10%).2,5Faktor risiko yang paling sering berhubungan dengan rinosinusitis kronis yang persisten meskipun telah diberikan terapi medikamentosa dan tindakan pembedahan yang adekuat adalah adanya obstruksi mekanik, riwayat alergi, asma dan inflamasi yang diinduksi oleh superantigen bakteri dan reaksi imun terhadap jamur serta adanya polutan seperti rokok . Faktor risiko lain meliputi refluks laringofaringeal, imunodefisiensi, dan penyakit yang jarang seperti diskinesia silia primer, fibrosis kistik dan Churg-Strauss Syndrome.2Mekanisme paling sering terjadinya rinosinusitis kronis yang persisten dengan riwayat operasi sinus sebelumnya adalah terdapatnya resirkulasi mukus dari ostium sinus maksila primer melalui antrostomi yang telah dibuat saat operasi sebelumnya sehingga meningkatkan risiko untuk terjadinya infeksi sinus.2Dari penelitian yang dilakukan oleh Bhattacharyya N (2007) terhadap pasien dengan sekresi sinus paranasal persisten setelah bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) ditemukan kombinasi neutrofil dan eosinofil (52%), diikuti predominan infiltrasi eosinofil (24%). Hanya sekitar 14% kasus ditemukan infiltrasi neutrofil dan 10% kasus tidak ditemukan sel inflamasi. Oleh karena hipersekresi pasca BSEF diduga berhubungan dengan beberapa faktor inflamasi ini, pendekatan terapi terhadap tipe inflamasi dinilai lebih efektif.2

Gambar 4.1. Superantigen terhadap Bakteri Staphylococcus aureus5Gambaran klinisSecara keseluruhan, gejala rinosinusitis kronis dapat dibagi menjadi gejala lokal, regional dan sistemik. Gejala lokal dari rinosinusitis kronis adalah hidung tersumbat, hidung berair, nyeri/ rasa penuh pada wajah, nyeri kepala, gangguan penghidu hingga anosmia. Gejala regional meliputi nyeri tenggorok, disfonia, batuk, halitosis, bronkospasm, rasa penuh/ nyeri pada telinga dan nyeri gigi. Gejala sistemik berupa kelelahan, demam, bahkan anoreksia.2,5DiagnosisDiagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik THT dengan rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi kaku ataupun fleksibel, pemeriksaan radiologik seperti Rntgen ataupun tomografi komputer sinus paranasal dan pemeriksaan mikrobiologik untuk identifikasi kuman patogen, yang paling baik didapatkan dari aspirasi sinus maksila.2Namun evaluasi pasien sinusitis kronis yang persisten dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah kompleks dan perlu digali faktor etiologik yang berperan penting dalam perkembangan penyakit. Aspek yang penting dalam evaluasi sinusitis kronis ini adalah faktor alergi dengan pemeriksaan alergi seperti uji cukit kulit, adanya disfungsi silia dengan tes transit sakarin, mengetahui adanya intoleransi aspirin, imunodefisiensi, reaksi imunologi terhadap jamur dan bakteri yang resisten terhadap antibiotik yang diberikan serta pemeriksaan radiologi untuk melihat kelainan anatomi.2Berdasarkan anamnesis, American Academy of Otolaryngology (AAO) memberikan suatu kriteria diagnosis untuk sinusitis kronis yaitu dengan menegakkan kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor sinusitis kronis meliputi nyeri wajah, rasa penuh pada wajah, hidung tersumbat, hidung berair, sekret purulen, hiposmia atau anosmia dan demam (pada kondisi akut). Kriteria minor meliputi nyeri kepala, demam, halitosis, kelelahan, nyeri gigi, batuk, nyeri atau rasa penuh pada telinga. Diagnosis ditegakkan bila terdapat dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor selama sekurang-kurangnya 12 minggu. Kecurigaan sinusitis didapatkan bila ditemukan satu kriteria mayor atau dua kriteria minor.2,5Namun The European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012 mendefinisikan sinusitis kronis dengan atau tanpa polip dari munculnya dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior) dan nyeri/tekanan wajah atau penurunan/hilangnya fungsi penghidu yang dirasakan lebih dari 12 minggu. Selain itu, pada pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi ditemukan salah satu dari polip dan/ atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau edema/ obstruksi mukosa di meatus medius. Sebagai tambahan, pada pemeriksaan radiologik ditemukan gambaran perubahan mukosa di kompleks ostiomeatal dan/ atau sinus.2,5Komplikasi

Meskipun komplikasi sinusitis kronis telah jarang dilaporkan setelah ditemukannya antibiotik, komplikasi yang berat masih tetap dilaporkan. Komplikasi sinusitis kronis berdampak pada morbiditas, bahkan mortalitas bila tidak diberi terapi dengan tepat. Komplikasi yang sering terjadi pada rinosinusitis kronis adalah komplikasi lokal berupa terbentuknya mukosil pada sinus dan osteomielitis (Potts puffy tumor), komplikasi orbita menurut klasifikasi Chandler yaitu selulitis periorbita/ preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita dan trombosis sinus kavernosus, dan komplikasi intrakranial meliputi meningitis, abses epidural, abses subdural, abses intraserebral, trombosis sinus dura. Selain itu, juga terdapat komplikasi sistemik berupa sepsis dan syok toksik.2Penatalaksanaan

Penatalaksanaan rinosinusitis kronis adalah terapi medikamentosa yang maksimal dan tindakan pembedahan. Terapi medikamentosa bertujuan untuk mengurangi inflamasi mukosa, meningkatkan drainase sinus dan mengeradikasi bakteri dan/atau jamur. Terapi ini meliputi antibiotik spektrum luas atau berdasarkan kultur dari meatus media, steroid oral (dimulai dari dosis 60 mg/hari dan tappering off selama 3 minggu), irigasi salin hipertonik, steroid semprot nasal, antihistamin oral atau semprot nasal (bila terdapat kecurigaan alergi), mukolitik dan desensitisasi aspirin (bila terdapat intoleransi aspirin). Untuk sinusitis kronis dapat diberikan terapi antibiotik berupa amoksisilin klavulanat, golongan quinolon (seperti levofloksasin), atau terapi kombinasi seperti klindamisin dan trimetoprim- sulfametoksazol. Namun untuk sinusitis kronis yang persisten meskipun telah dilakukan operasi sinus sebelumnya dapat diberikan terapi irigasi antibiotik topikal, antibiotik nebulisasi dan intravena. Selain itu, dapat diberikan steroid topikal dan sistemik serta antihistamin sistemik.2Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)

Indikasi absolut tindakan BSEF adalah rinosinusitis dengan komplikasi, mukosil yang luas, rinosinusitis jamur alergi atau invasif dan kecurigaan neoplasma. Indikasi relatif tindakan ini meliputi polip nasi simptomatik dan rinosinusitis kronis atau rekuren simptomatik yang tidak respon dengan terapi medikamentosa.2 Sekitar 75-95% kasus rinosinusitis kronis telah dilakukan tindakan BSEF.2Prinsip tindakan BSEF adalah membuang jaringan yang menghambat KOM dan memfasilitasi drainase dengan tetap mempertahankan struktur anatomi normal (gambar 4.2). Teknik bedah sinus endoskopi fungsional meliputi unsinektomi, etmoidektomi, sfenoidektomi dengan etmoidektomi, bedah resesus frontal, antrostomi maksila, konkotomi dan septoplasti.2Komplikasi pasca tindakan BSEF dapat dibedakan menjadi komplikasi awal dan lanjut. Komplikasi awal meliputi hematoma orbita, penurunan penglihatan, diplopia, kebocoran cairan serebrospinal, meningitis, abses otak, cedera arteri karotis dan epifora. Komplikasi lanjut yang dapat terjadi adalah rekurensi, mukosil dan miosferulosis akibat salep yang digunakan dan benda asing. Komplikasi orbita dan intrakranial juga dapat terjadi sebagai komplikasi lanjut.2 SHAPE \* MERGEFORMAT

Gambar 4.2 Prinsip bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF): membuang jaringan yang menghambat KOM2Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) Revisi

Sekitar 5-15% pasien yang telah menjalani BSEF mempunyai respon terapi yang rendah sehingga tidak jarang membutuhkan tindakan operasi sinus kedua yang dikenal dengan BSEF revisi.2Alasan Kegagalan Bedah Sinus Sebelumnya

Adanya hipersekresi pasca BSEF merupakan gejala paling penting yang berhubungan dengan kegagalan setelah operasi. Pasien yang menjalani operasi sinus sebelumnya mengalami perubahan histologik seperti kerusakan dan metaplasi pada mukosa sinus serta perubahan pada silia. Mukosa sinus memiliki fase penyembuhan yang lambat dan kondisi patologik masih sering ditemukan, bahkan selama 6 bulan pasca operasi. Transpor mukosilia juga dapat mengalami gangguan, terutama pada tindakan unsinektomi tunggal tanpa dikombinasikan dengan antrostomi meatus media.2Lateralisasi konka media, pembentukan sinekia dan jaringan parut pada meatus media, reseksi prosesus unsinatus yang tidak lengkap dan adanya sisa sel ethmoid sering ditemukan pada pasien yang menjalani bedah sinus revisi. Kondisi lain yang juga sering ditemukan adalah stenosis ostium sinus maksila dan terjadinya osteoneogenesis pada sinus yang ditandai dengan penebalan tulang pada pemeriksaan tomografi komputer.2Pada studi yang dilakukan oleh Jackman AH, et al (2008) dengan menggunakan sistem tomografi komputer portabel intraoperatif menemukan dari 20 pasien yang menjalani BSEF sebanyak 6 pasien (30%) membutuhkan tindakan BSEF revisi. Salah satu kasus menunjukkan adanya sisa prosesus unsinatus setelah bedah sinus yang berhubungan dengan peningkatan jaringan parut dan risiko terjadinya sinusitis persisten, meskipun telah dibuat antrostomi yang besar. Beberapa sisa prosesus unsinatus tampak di anterior yang memberikan menunjukkan gambaran mukopus dan edema sinus maksila.2Richtsmeier WJ (2001) mengidentifikasi 10 alasan kegagalan bedah sinus maksila sebelumnya meliputi obstruksi ostium maksila sejati (33,6%), penyakit pada sinus etmoid anterior dan frontal (24,2%), resistensi mikroorganisme (13,3%), adanya benda asing pada sinus (5,4%), penyakit mukosa yang sulit disembuhkan (7,0%), pasien yang tidak patuh (7,0%), diagnosis primer yang salah (4,7%), osteitis maksila (2,4%), gangguan transpor mukus (1,6%) dan imunodefisiensi (0,8%). Kepustakaan lain menyebutkan beberapa penemuan pasca operasi yang sering ditemukan akibat kegagalan operasi sinus sebelumnya yaitu lateralisasi konka media (78%), etmoidektomi anterior yang tidak lengkap (64%), jaringan parut pada resesus frontal (50%), sisa sel agger nasi (49%), etmoidektomi posterior yang tidak lengkap (41%), sisa prosesus unsinatus (37%), stenosis antrostomi meatus media (39%) dan poliposis rekuren (37%).2Indikasi Bedah Sinus Revisi

Indikasi bedah sinus revisi secara umum dibagi empat, yaitu tidak lengkapnya operasi sebelumnya, adanya komplikasi operasi sebelumnya, timbulnya infeksi sinus yang rekuren atau persisten dan terdapat bukti histologis suatu neoplasma pada sinus.2Teknik Bedah Sinus RevisiSebelum operasi dimulai, kavum nasi diberikan dekongestan dan vasokonstriktor dengan oksimetazolin topikal dan injeksi silokain 1% dengan epinefrin 1:100.000 atau 1:200.000. Kemudian sinus maksila dan etmoid dievaluasi dengan endoskop kaku sudut 300 dan dilakukan kultur sekret yang diambil dengan penghisap (suction). Penanda penting pada bedah sinus maksila revisi adalah konka media/ sisa konka media, atap sinus maksila, dinding medial orbita dan dasar otak. Jika konka media terdorong ke lateral dan menghambat akses ke sinus etmoid, maka secara perlahan harus dimedialisasi. Sinekia dan jaringan parut dilepas dengan pisau sabit (sickle knife) atau through-cutting forceps dengan tetap mempertahankan mukosa normal.2Jika atap sinus maksila (lantai orbita) dapat dilihat melalui antrostomi maksila sebelumnya, maka lamina papirasea dapat dievaluasi dan sinus dilihat dengan endoskop kaku sudut 300. Jika antrostomi mengalami patensi, pencarian ostium maksila dapat dibantu dengan ostium seeker. Sisa prosesus unsinatus yang terlihat harus direseksi ke arah medial dengan forsep Blakesley 90, microdebrider, back-bitting forcep atau down-bitting forcep. Harus dihindari pengangkatan yang terlalu ke anterior karena dapat mencederai duktus nasolakrimalis.2Jika terdapat stenosis ostium maksila sejati, maka dilebarkan dengan angled-through cutting forcep atau forsep Blakesley. Ostium asesorius harus disatukan dengan ostium sejati menggunakan through-cutting forcep untuk menginsisi jaringan lunak di antara ostium asesorius dan sejati. Perlu diingat bahwa posisi ostium sejati adalah oblik dan tidak sejajar dengan dinding lateral kavum nasi sehingga visualisasi pada ostium sejati dengan menggunakan endoskop kaku sudut 70o.2Komplikasi Bedah Sinus RevisiKomplikasi bedah sinus maksila revisi ini dapat dibagi menjadi lokal, orbita, dasar otak dan intrakranial. Komplikasi lokal meliputi perdarahan dan terbentuknya sinekia. Komplikasi orbita berupa cedera pada lamina papirasea, dengan perdarahan orbita atau cedera otot rektus medial, cedera pada arteri etmoid anterior yang menghasilkan perdarahan atau hematoma orbita dan cedera pada nervus optikus. Cedera dasar otak dapat terlihat saat operasi atau pasca operasi yang ditandai dengan kebocoran cairan serebrospinal dan pembentukan meningokel atau ensefalokel. Selanjutnya, cedera intrakranial dapat berupa perdarahan subaraknoid, pseudoaneurisma, perdarahan parenkim atau intraventrikular.2Prognosis

Angka kesembuhan rinosinusitis kronis telah dilaporkan sebesar 75-95% dengan tindakan BSEF dan sekitar 5-15% kasus membutuhkan BSEF revisi. Sementara itu, angka kesembuhan dengan tindakan BSEF revisi dilaporkan berkisar antara 50-70%.2BAB V

RESUME

Dalam hal imunologi lokal, sinus paranasal merupakan organ yang berperanan penting sebagai garis terdepan pertahanan tubuh pada saluran napas bagian bawah terhadap mikroorganisme dan bahan-bahan berbahaya yang ikut terhirup dengan udara. sistem transportasi mukosiliar adalah disebut sebagai lini pertama dan dasar dalam mekanisme pertahanan tubuh antara silia epitel dengan virus, bakteri maupun partikel benda asing lainnya yang bekerja secara aktif menjaga agar saluran pernap:asan atas selalu bersih dan sehat dengan membawa partikel debu, bakteri, virus, allergen, toksin dan benda asing lainnya yang tertangkap pada lapisan mukus ke arah nasofaring.

Terganggunya sistem transport mukosiliar dapat terjadi pada penderita sinusitis baik akut, maupun kronik. Mekanisme etiologi pada sinusitis akut terutama gangguan pada sistem mukosiliar yang disebabkan oleh kuman-kuman patogen dan imunitas pasien. Etiologi sinusitis kronis bersifat multifaktorial meliputi faktor penjamu (host) baik sistemik maupun lokal dan faktor lingkungan. Namun pada sinusitis kronis yang persisten meskipun telah diberikan terapi yang adekuat biasanya berhubungan dengan adanya obstruksi mekanik, riwayat alergi dan asma, inflamasi dari superantigen bakteri dan jamur serta adanya polutan seperti rokok.Penatalaksanaan Sinusitis kronis adalah dengan terapi medikamentosa dan tindakan bedah sinus endoskopi fungsional. Sekitar 5-15% pasien yang telah menjalani bedah sinus endoskopi fungsional membutuhkan tindakan operasi sinus revisi. Indikasi operasi sinus ini adalah ketidaklengkapan operasi sinus sebelumnya, adanya komplikasi operasi sinus sebelumnya, infeksi sinus yang rekuren atau persisten dan terdapat bukti histologis suatu keganasan pada sinus.DAFTAR PUSTAKA1. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC; 1997: 532-552. Budiman BJ, Rosalinda R. Bedah Sinusitis Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis. Padang: Bagian THT Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas /RSUP dr.M.Jamil Padang; 2012. Avaiable from: http://repository.unand.ac.id/id/eprint/183983. Boies LR. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. EGC: Jakarta; 1997: 137-484. PERHATI - KL. Paduan Praktik Klinis, Panduan Praktik Klinis Tindakan dan Clinical PathwayDi Bidang Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher; 2015: 5-8.5. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinol Suppl. 2012 Mar(23): 1-298.

6. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher edisi 7. Jakarta: Buku FKUI; 2012: 116-30.27