Referat Penyakit Ginjal Diabetik

download Referat Penyakit Ginjal Diabetik

of 37

description

Referat

Transcript of Referat Penyakit Ginjal Diabetik

REFERAT

PENYAKIT GINJAL DIABETIK

DISUSUN OLEH:LINGKAN BIMORO030.11.169

PEMBIMBING:DR. NURMILAWATI, SP. PD

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTIDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAMRUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGALPERIODE 10 AGUSTUS 2015 17 OKTOBER 2015

LEMBAR PENGESAHANREFERATPENYAKIT GINJAL DIABETIKDisusun oleh:Lingkan Bimoro030.11.169

Disusun sebagai salah satu syarat kelulusanKepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kardinah, TegalPeriode 10 Agustus 2015 - 17 Oktober 2015

Dipresentasikan pada tanggal:7 Oktober 2015Revisi tanggal:8 Oktober 2015Telah disetujui oleh:

Mengetahui,Koparnit Ilmu Penyakit Dalam Dosen pembimbing,

dr. Sunarto, Sp.Pddr. Nurmilawati, Sp.PDKATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat mengenai Penyakit Ginjal Diabetik. Referat ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi tugas dan penilaian dalam kepaniteraan klinik ilmu penyakit dalam di RSUD Kardinah Tegal periode 10 Agustus 2015 17 Oktober 2015. Terima kasih juga dipanjatkan kepada dr. Nurmilawati, Sp. PD, sebagai pembimbing referat, atas segala masukan dan saran yang telah diberikan dalam menyusun referat ini. Terima kasih juga kepada dr. Sunarto, Sp. PD selaku kepala SMF yang terus berbagi ilmu sehingga referat ini dapat selesai dengan baik. Tidak lupa juga kepada teman-teman seperjuangan dalam kepaniteraan klinik bersama penulis.Penyakit Ginjal Diabetik (PGD) merupakan penyakit ginjal yang diawali oleh adanya penyakit Diabetes Melitus (DM) yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Tidak ada gading yang tak retak. Begitu pula dengan tulisan ini pasti banyak kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu penulis sangat terbuka akan kritik dan saran yang membangun sebagai perkembangan diri dan ilmu pengetahuan penulis. Terima kasih.Tegal, 6 September 2015

Penulis

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN iiKATA PENGANTAR iiiDAFTAR ISI ivDAFTAR TABEL vDAFTAR GAMBAR viBAB IPENDAHULUAN 1BAB IIPENYAKIT GINJAL DIABETIK 3.1 Definisi 23.2 Epidemiologi 23.3 Etiologi 43.4 Faktor Resiko 53.5 Patofisiologi 63.6 Gejala Klinis 163.7 Pemeriksaan Fisik 173.8 Pemeriksaan Penunjang 183.9 Diagnosis 213.10 Penatalaksanaan 223.11 Prognosis 283.12 Pencegahan 29BAB III KESIMPULAN 31DAFTAR PUSTAKA 32

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tingkat kerusakan ginjal berdasarkan eksresi albumin / proteindalam urin 18Tabel 2. Stage Penyakit Ginjal Diabetik 20

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Presentase Komplikasi Diabetes Melitus di RSCM Tahun 2011 4Gambar 2.Mekanisme sekresi insulin pada sel- akibat stimulasi glukosa 7Gambar 3.Dinamika sekresi Insulin setelah beban glukosa intravenapada keadaan normal dan keadaan disfungsi sel beta 9Gambar 4. Mekanisme normal dari aksi insulindalam transport glukosa di jaringan perifer 10

12

BAB IPENDAHULUANPada tahun 1950-an, penyakit ginjal telah secara jelas dikenal sebagai komplikasi umum dari diabetes, sebanyak 50% pasien dengan diabetes lebih dari 20 tahun mengidap penyakit ini. Sekarang, diabetik nefropati adalah penyebab utama dari Chronic Kidney Disease (CKD) di Amerika Serikat dan negara barat lainnya. Penyakit ini juga memiliki tingkat mortalitas dan morbiditas yang paling tinggi dari pasien dengan Diabetes Melitus (DM). DM bertanggung jawab terhadap 30-40% dari semua kasus End-Stage Renal Disease (ESRD) di Amerika Serikat.(1)Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang penyebabnya multifaktorial, ditandai dengan kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemi) dan terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Pada tahun 2000, prevalensi DM diperkirakan 0,19% pada orang umur kurang dari 20 tahun dan 8,6 % pada orang umur lebh dari 20 tahun. Pada lansia lebih dari 65 tahun, prevalensi DM lebih tinggi pada pria dibanding wanita.(2) Penyakit Ginjal Diabetes (PGD) adalah salah satu komplikasi yang paling sering dari diabetes melitus. Disfungsi renal berkembang dalam satu dari tiga pasien dengan diabetes. Diabetik nefropati ditandai dengan albuminuria, glomerulosklerosis, dan adanya penurunan fungsi ginjal secara progresif. Terapi untuk Diabetic Kidney Disease (DKD) sekarang ini, yaitu termasuk pengontrolan gula darah, reseptor angiotensin II bloker, dan ACE inhibitor tampaknya memperlambat namun tidak menghentikan- proses menuju kegagalan ginjal setelah nefropati diabetik ditegakkan.(3)World Health Organization (WHO) telah mengumumkan bahwa prevalensi diabetes melitus (DM) akan meningkat di seluruh dunia pada milenium ketiga ini, termasuk di Asia Tenggara, di antaranya adalah Indonesia. Sebagian besar dari penyakit ini adalah DM tipe 2. Sekitar 40% dari pasien DM terdapat keterlibatan ginjal, sehingga dapat dipahami bahwa masalah penyakit ginjal diabetik (PGD) juga akan mengalami peningkatan di era awal abad 21 ini.(3)Dengan meningkatnya insiden terjadinya PGD ini, maka diperlukan pendalaman ilmu mengenai PGD terutama untuk orang-orang yang terlibat dalam pelayanan kesehatan. Dengan demikian, diharapkan aplikasi ilmu di dunia praktis pun dapat meningkat, sehingga dapat menolong lebih banyak pasien.(3)BAB IIPENYAKIT GINJAL DIABETIK3.1 DefinisiPenyakit Ginjal Diabetik (PGD) merupakan penyakit ginjal yagn ditandai dengan peningkatan angka ekskresi albumin pada pasien dengan Diabetes Melitus (DM). PGD ini terjadi pada sekitar 20%-40% pasien DM dan merupakan penyebab dari Chronic Kidney Disease (CKD) dan End-Stage Renal Disease (ESRD) di Amerika Serikat.(4)

3.2 EpidemiologiSejak tahun 1950-an, penyakit ginjal telah dikenal sebagai komplikasi dari diabetes melitus, dengan sekitar 50% pasien dengan DM lebih dari 20 tahun, akan mengalami komplikasi ini. Penyakit ginjal diabetik biasanya tidak muncul dalam 10 tahun mengidap DM tipe 1 (atau dikenal dengan insulin-dependent diabetes mellitus). Sekitar 3% pasien yang baru terdiagnosis DM tipe 2 (atau disebut dengan non-insulin-dependent diabetes mellitus) yang mengalami nefropati. Insidens paling tinggi ditemukan pada pasien yang sudah mengidap DM sekita 10-20 tahun.(1)Resiko terkena penyakit ginjal diabetik menurun pada pasien diabetes dengan normoalbuminuria walaupun telah mengidap DM lebih dari 30 tahun. Pasien tanpa proteinuria setelah 20-25 tahun memliki resiko untuk terjadinya penyakit ginjal diabetik sekitar 1% per tahun. Di Amerika Serikat sendiri, penyakit ini mulai meningkat prevalensinya dari 1988-2008 pada proporsi yang terkena diabetes.(1)

3.2.1 PGD di Luar NegeriPerbedaan epidemiologi ditemukan juga di Eropa. Di beberapa negara Eropa, khususnya Jerman, proporsi pasien yang mengikuti terapi pengganti ginjal jumlahnya melebihi kasus yang dilaporkan di Amerika Seikat. Peningkatan End-Stage Renal Disease (ESRD) dari DM tipe II ditemukan pada beberapa negara yang memiliki insiden DM tipe II rendah, seperti Denmark dan Asutralia.(1)

3.2.2 Distribusi Jenis KelaminTidak ada perbedaan bermakna antara laki-laki dan perempuan untuk terjadinya nefropati diabetik.(1)

3.2.3 Distribusi UsiaRata-rata usia pasien yang sudah mencapai tahap akhir kegagalan ginjal (ESRD) adalah sekitar 60 tahun. Semakin lama durasi seseorang mengidap DM, dan semakin muda seseorang mengidap DM, maka semakin tinggi insiden terjadi ESRD.(1)

3.2.4 Distribusi RasTingkat keparahan dan insiden nefropati diabetik paling tinggi pada kelompok ras kulit gelap (sekitar 3-6 kali lebih beresiko daripada kulit putih), Mexican-Amerika, dan Pima-Indians yang mengalami DM tipe 2. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara sosioekonomi, diet, kontrol yang buruk terhadap hiperglikemia, hipertensi, dan obesitas, dengan terjadinya penyakit ginjal diabetik.(1)

3.2.5 Penyakit Ginjal Diabetik di IndonesiaDari berbagai penelitian epidemiologi di Indonesia yang dilakukan oleh pusat-pusat diabetes, sekitar tahun 1980-an prevalensi diabetes melitus pada penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 1,5-2,3% dengan prevalensi rural/pedesaan lebih rendah dari pada di perkotaan. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) mendapatkan prevalensi diabetes melitus pada penduduk usia 25-64 tahun di Jawa dan Bali sebesar 7,5%.(5)Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2013 melakukan wawancara untuk menghitung proporsi diabetes melitus pada usia 15 tahun ke atas. Didefinisikan sebagai diabetes melitus jika pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir megalami gejala sering lapar, sering haus, sering buang air kecil dengan jumlah banyak dan berat badan turun. Hasil wawancara tersebut didapatkan bahwa proporsi diabetes melitus pada Riskesdas 2013 meningkat hampir 2 kali lipat dibandingkan tahun 2007.(5)Dari survei didapatkan bahwa terdapat 0,6% penduduk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 1 juta orang yang sebenarnya merasakan gejala diabetes melitus dalam sebulan terakhir namun belum dipastikan/diperiksa apakah menderita diabetes atau tidak. Proporsi terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tengah, sedangkan jumlah terbesar di Provinsi Jawa Barat.(5) Hiperglikemia yang terjadi dari waktu ke waktu dapat menyebabkan kerusakan berbagai sistem tubuh terutama saraf dan pembuluh darah. Beberapa konsekuensi dari diabetes yang sering terjadi adalah: Meningkatnya resiko penyakit jantung dan stroke Neuropati (kerusakan saraf) di kaki yang meningkatkan kejadian ulkus kaki, infeksi, dan bahkan keharusan untuk amputasi kaki. Retinopati diabetikum, yang merupakan salah satu penyebab utama kebutaan, terjadi akibat kerusakan pembuluh darah kecil di retina. Diabetes merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal. Resiko kematian penderita diabetes secara umum adalah dua kali lipat dibandingkan bukan penderita diabetes.Penderita komplikasi diabetes melitus di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSCM) adalah sebagai berikut:

Keterangan: MCI : Mild Cognitive Impairment; PAD : Peripheral Arterial DiseaseGambar 1. Presentase Komplikasi Diabetes Melitus di RSCM Tahun 2011 (5)Dari Gambar 1 dapat terlihat bahwa komplikasi paling sering di Jakarta adalah neuropati diabetika, yang diikuti dengan retinopati diabetik. Proteinuria dan dialisis adalah masing-masing 26,5% serta 0,5%, yang memungkinkan adanya penyakit ginjal diabetik.(5)

3.3 EtiologiPenyebab utama dari PGD adalah diabetes melitus. Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang penyebabnya multifaktorial, ditandai dengan kadar gula darah tinggi (hiperglikemi) dan terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Gangguan metabolisme ini disebabkan karena adanya defek pada sekresi insulin, kerja insulin, maupun keduanya. Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) 1997 dan World Health Organization (WHO) dikategorikan menjadi: DM tipe 1, tipe 2, dan tipe lain.(2) Diabetes melitus tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas. Adanya DM tipe 1 dapat diidentifikasi dengan ditemukannya antibodi anti glutamic acid dehydrogenase, sel islet autoantibodi, atau autoantibodi insulin dalam darah. Pada pasien ini, diperlukan insulin untuk mengontrol kadar gula dalam darah, sehingga dapat mencegah ketosis spontan.(3) Diabetes melitus yang sering dijumpai adalah yang tipe 2, yaitu karena adanya penurunan sensitivitas insulin dan adanya gangguan sekresi insulin. Hiperglikemi pada DM tipe 2 dapat dicegah dengan menggunakan obat antihiperglikemi oral di samping modifikasi diet.(3) Sedangkan pada DM tipe lain, biasanya disebabkan oleh genetik, atau mutasi sel genetik yang menyebabkan gangguan fungsi sel beta. Contohnya adalah DM infantil dan gestasional. DM infantil adalah DM sejak bayi, sedangkan gestasional adalah DM karena hamil, dan berkurang seiring bertambahnya waktu setelah partus. Gejala DM gestasional mirip dengan gejala DM tipe 2.(3)3.4 Faktor ResikoTidak semua pasien DM tipe 1 maupun tipe 2 berakhir dengan PGD. Ada beberapa faktor resiko yang dapat mendukung terjadinya PGD, antara lain:1. Hipertensi2. Genetik. Genetik adalah faktor penentu lain yang erat kaitannya dengan terjadinya nefropati diabetik. Hanya sekitar 40% pasien DM tipe I maupun tipe II yag jatuh ke dalam nefropati diabetik. Lainnya terbebas dari penyulit diabtes ini. Telah banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa terjadinya nefropati terkumpul pada kelompok keluarga tertentu. Pada jurnal lain, ditemukan 20-40% individu dengan diabetes, mengalami mikroalbuminuria dan berlanjut menjadi End-Stage Renal Disease (ESRD), di mana diperlukan pergantian fungsi ginjal untuk mengontrol uremia dan konsekuensi metabolik lain dari kegagalan ginjal.(6) 3. Adanya kerentanan terhadap Nefropati Diabetika, yaitu:a. Antigen HLA (Human Leukosit Antigen): kelompokk penderita diabetes dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9.b. Glucose Trasnporter: pasien DM yang mempunyai GLUT 1-5 mempunyai potensi untuk terjadinya Nefropati Diabetik.4. Hiperglikemia5. Komsumsi protein hewani (7)

3.5 Patofisiologi3.5.1 Diabetes MelitusDiabetes tipe 2 adalah diabetes yang paling sering terjadi dari tipe-tipe diabetes lainnya. Diabetes merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan adanya hiperglikemia akibat kerusakan pada insulin baik sekresi maupun kerja, ataupun keduanya.Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormon glukagon yang disekresikan oleh sel- kelenjar pankreas.(8)Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.(8)Mekanisme di atas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal, karena fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada dalam darah. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Di samping glukosa, beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta. Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas.(8)Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membrane sel. Untuk dapat melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai kendaraan pengangkut glukosa masuk dari luar kedalam sel jaringan tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.(8) (Gambar 1)

Gambar 2. Mekanisme sekresi insulin pada sel- akibat stimulasi glukosa (9)Dinamika Sekresi InsulinDalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti dikemukakan, sekresi insulin normal yang biphasic ini akan terjadi setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi glukosa darah agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi insulin yang berlangsung secara sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah selalu dalam batas-batas normal, sebagai cerminan metabolisme glukosa yang fisiologis.(8) Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi insulin yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan. Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi regulasi glukosa yang normal karena pasa gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa darah postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan untuk mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara fisiologis. AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah postprandial (postprandial spike) dengan segala akibat yang ditimbulkannya termasuk hiperinsulinemia kompensatif.(8)Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained phase, latent phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan dalam waktu relatif lebih lama. Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan glukosa darah selanjutnya diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang berlangsung relatif lebih lama, seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa darah di akhir fase 1, disamping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila sekresi fase 1 tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut pada hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah (postprandial) tetap dalam batas batas normal. Dalam prospektif perjalanan penyakit, fase 2 sekresi insulin akan banyak dipengaruhi oleh fase 1. Pada gambar dibawah ini (Gambar 2) diperlihatkan dinamika sekresi insulin pada keadaan normal, Toleransi Glukosa Terganggu ( Impaired Glucose Tolerance = IGT ), dan Diabetes Mellitus Tipe 2.(8)Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh aksi insulin yang juga normal di jaringan (tanpa resistensi insulin), sekresi fase 2 juga akan berlangsung normal. Dengan demikian tidak dibutuhkan tambahan (ekstra) sintesis maupun sekresi insulin pada fase 2 diatas normal untuk dapat mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah keadaan fisiologis yang memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang dapat memberikan dampak glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai dampak negatifnya.(8)

Gambar 3.Dinamika sekresi insulin setelah beban glukosa intravena pada keadaan normal dan keadaan disfungsi sel beta (10)Aksi Insulin Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme dalam tubuh terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam proses utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak, dan hepar.(8)Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam meningkatkan kuantitas (sintesis) GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada mendorong penempatannya pada membran sel (translokasi). Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami metabolism (Gambar 4). Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal. Jika jumlah GLUT-4 cukup namun reseptor insulin tidak cukup peka terhadap insulin, maka GLUT-4 akan tetap berada di intrasel dan tidak dapat memasukkan glukosa dari ekstraseluler ke dalam intraseluler. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.(8)Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana GLUT-2 berfungsi sebagai kendaraan pengangkut glukosa melewati membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon insulin. Manakala jaringan ( hepar ) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan menjadi tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar.(8)

Gambar 4. Mekanisme normal dari aksi insulin dalam transport glukosa di jaringan perifer(11) Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan gangguan pada metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada dasarnya ini bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar glukosa darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai gejala diabetes melitus.Perkembangan radioimunoesai insulin memimpin kepada penemuan bahwa pasien dengan diabetes menghasilkan insulin dan mengsekresikan hormon ini dalam responnya terhadap nutrisi dalam pencernaan. Berikutnya, ditemukan kegagalan pada kemampuan sel- untuk menghasilkan insulin setelah pemberian glukosa intravena pada pasien diabtes, Sebagai tambahan, pasien ini juga tidak berespon baik terhadap insulin, yang kemudian disebut dengan resistensi insulin. Ketidaksensitivitas pada insulin ini mengakibatkan peningkatan produksi glukosa oleh hepar dan penurunan uptake glukosa pada otot dan jaringan adiposa. Sekarang ini, ketidakmampuan ini berkontribusi pada adiposa, terutama adiposa pada kavitas intra-abdominal.(12) Pada diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering ditemukan, gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin), disertai oleh faktor lingkungan ( environment ). Sedangkan pada diabetes tipe 1 (DMT1), gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi insulin secara absolut.(8,12)Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada dinamika sekresi insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan (inadekuat). Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk terhadap homeostasis glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut pascaprandial (HAP) yakni peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30 menit) setelah beban glukosa (makan atau minum).(8)Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi yang bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, perjalanan penyakit ini bersifat progressif dan cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar glukosa darah oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna pada gilirannya secara klinis sering memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan kadar glukosa yang normal dalam darah diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta untuk peningkatan sekresi insulin ( insulin secretagogue ) atau bila diperlukan secara substitusi insulin, disamping obat-obatan yang berkhasiat menurunkan resistensi insulin ( insulin sensitizer ).(8) Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase 2 sekresi insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah. Secara klinis, barulah pada tahap dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan Toleransi Glukosa Terganggu yang disebut juga sebagai prediabetic state. Pada tahap ini mekanisme kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang mungkin secara relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Pada toleransi glukosa terganggu (TGT) didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban larutan 75 g glukosa dengan Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO), berkisar diantara 140-200 mg/dl. Juga dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah puasa antara 100 126 mg/dl, yang disebut juga sebagai Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT).(8)Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap diabetes, atau hiperglikemia akut postprandial yang terjadi ber-ulangkali setiap hari sejak tahap TGT, memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka panjang menimbulkan komplikasi kronis dari diabetes.Tingginya kadar glukosa darah (glucotoxicity) yang diikuti pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan baik secara langsung melalui stres oksidatif, dan proses glikosilasi yang meluas.(8) Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau konversi fase TGT menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor resistensi insulin mulai dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Ini terlihat dari kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2, meskipun dengan kadar insulin serum yang cukup tinggi, namun hiperglikemia masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama mikrovaskular, meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan makrovaskular telah muncul semenjak prediabetes. Semakin tingginya tingkat resistensi insulin dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun postprandial. Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa dari hepar.(8)Jadi, dapat disimpulkan perjalanan penyakit DMT2, pada awalnya ditentukan oleh kinerja fase 1 yang kemudian memberi dampak negatif terhadap kinerja fase 2, dan berakibat langsung terhadap peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiperglikemia terjadi tidak hanya disebabkan oleh gangguan sekresi insulin (defisiensi insulin), tapi pada saat bersamaan juga oleh rendahnya respons jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin). Gangguan atau pengaruh lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan mempercepat progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut pada gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai jaringan tubuh. Rangkaian kelainan yang dilatarbelakangi oleh resistensi insulin, selain daripada intoleransi terhadap glukosa beserta berbagai akibatnya, sering menimbulkan kumpulan gejala yang dinamakan sindroma metabolik.(8)Pada keadaan normal, sekresi insulin berespon terhadap glukosa secara bifasik, dimana sekresi fase pertama terjadi ledakan sekresi yang diikuti dengan sekresi fase kedua yang merupakan penopang. Namun pada pasien DM, ditemukan adanya ketidakseimbangan kadar insulin yang disekresi oleh sel-. Sel- pada tubuh manusia bersifat mudah diserang oleh gangguan yang disebabkan oleh nutrisi. Oleh karena itu, gangguan pada sel- sangat berkontribusi terhadap terhadinya DM tipe 2. Sel- memiliki kewajiban untuk memelihara sintesis proinsulin, memastikan bahwa granula sekretori siap untuk disekresikan, merasakan konsentrasi kadar glukosa dalam darah, serta merasakan rangsangan lain dari neurohormonal, dan pada akhirnya meneksekusikan granula insulin secara tepat jumlah dengan mekanisme eksositosis yang kompleks. Kegagalan sel- umumnya terjadi ketika dibutuhkan kompensasi kadar insulin untuk mengatasi kelebihan glukosa, yang dimana jika terjadi defisiensi sedikit saja berdampak sangat besar.(13,14) Selain mekanisme yang disebutkan di atas, pada DM tipe 2 juga ditemukan jumlah sel- yang menurun. Dasar dari pengurangan jumlah ini bersifat multifaktorial, dan termasuk glukolipotoksisitas dan apoptosis sel- yang diakibatkan oleh deposito amiloid melalui penekanan oksidatif dan retikulum endoplasma. Pengurangan ini tidak diimbangi dengan penggantian oleh sel yang baru, karena pankreas manusia tidak mampu untuk memperbaharui sel ini setelah usia 30 tahun. Walaupun reduksi jumlah sel- terjadi pada diabetes tipe 2, namun tidak cukup menjelaskan keterkaitan antara derajat DM tipe 2.(8)Walaupun hanya sedikit diketahui, hiperglikemia juga terjadi akibat kegagalan sel- untuk meregulasi sekresi glukagon, sehingga meningkatkan glukagon puasa dan saat setelah makan. Apakah kegagalan sel- ini adalah murni dari sel- atau akibat sekunder dari rusaknya sel-, masih belum diketahui. Namun begitu, dengan adanya kegagalan supresi pada sekresi glukagon sehingga mengakibatkan peningkatan kadarglukosa dalam darah, dapat merepresentasikan keadaan DM tipe 2.(14)Terdapat juga peranan penting oleh usus halus dan otak. Saluran pencernaan memproduksi berbagai jenis peptida, yang tidak semuanya memodulasi absorbsi nutrien secara langsung. Glukagon-like peptide 1 (GLP-1) dan Glucose-Dependent Insulinotropic Polypeptide (GIP), yang secara umum dikenal sebagai inkretin, beraksi pada pankreas. GLP-1 lebih penting, dan berfungsi pada sel- untuk meningkatkan sekresi insulin, dan juga pada sel- untuk mengsupresi sekresi glukagon. Konsentrasi GLP-1 plasma pada orang normal maupun orang diabetes tidak jauh berbeda. Namun, respon sel- terhadap GLP-1 setelah makan terlihat menurun.(14) Sistem saraf juga berperan penting dalam regulasi proses metabolisme. Baik simpatetik dan parasimpatetik mengontrol metabolisme glukosa, secara langsung melalui jaras saraf,dan secara tidak langsung melalui sirkulasi insulin dan glukagon. Pada manusia, nervus vagus berperan penting pada sel pankreas, sebab kerusakan nervus ini mengakibatkan kegagalan sekresi insulin. Hipotalamus juga meregulasi produksi glukosa hepatik, melalui aksi insulin, glukosa, dan asam lemak. Aksi insluin melalui jalur ini juga esensial pada regulasi berat badan, yang di mana penurunan aktivitas mengakibatkan obesitas. Tidak lupa juga irama sirkaridian, termasuk dengan kualitas tidur, menjadi fokus pada pola diurnal karena mempengaruhi proses metabolisme.(14)

3.5.2 Dampak DM terhadap GinjalHiperglikemia pada pembuluh darah yang terus menerus akan mengakibatkan tejadinya kerusakan endotel. Kerusakan endotel ini lebih banyak terjadi di kapiler, salah satunya di pembuluh darah ginjal. Pembuluh darah kapiler ginjal akan melewati glomerulus melalui pembuluh darah aferen dan keluar lagi melalui eferen. Dalam melewati proses aferen ke eferen, dilakukan filtrasi glomerulus, yang gunanya adalah untuk menyaring darah dalam pembuatan urin. Pada pasien diabetes, kerusakan endotel ini menyebabkan penyaringan darah tidak berlangsung sebagaimana mestinya, sehingga dapat ditemukan mikroalbuminuria sebagai tanda kebocoran dari glomerulus.(14)Selain itu, kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitas glucose transporter (GLUT) terutama GLUT 1, mengakibatkan aktivitas beberapa mekanisme seperti poloy pathway, hexoamine pathway, Protein Kinase C (PKC) pathway, dan penumpukan zat yang disebut sebagai advanced glycation end-products (AGEs). Beberapa zat biologis aktif ternyata dapat dijumpai pada beberapa percobaan baik in vitro maupun in vivo, yang dapat berperan penting dalam pertumbuhan sel, diferensiasi sel, dan sintesis bahan matriks ekstraselular. Pada jurnal yang didapat, dikatakan bahwa beberapa faktor pertumbuhan (growth factors) dan sitokin berperan dalam proliferatif dan diferensiasi sel dan perubahan struktural maupun fungsional pada perkembangan penyakit ginjal diabetik. Faktor perkembangan ini bekerja melalui kaskade tertentu dan dimulai dengan hormon tropik dari hipotalamus yang dikeluarkan ke hipotalamus dan ke sirkulasi darah dan akhirnya sampai di kelenjar endokrin di perifer, sehingga menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel pada organ tersebut. Beberapa faktor perkembangan tidak memediasi secara langsung efek dari hormon tersebut karena efek beberapa organ tersebut dimediasi secara mekanisme autokrin atau parakrin.(15,16)Growth hormone (GH) adalah faktor perkembangan yang berhubungan dengan diabetes melitus. Pada penelitian disebutkan bahwa anjing yang diinjeksi secara GH secara terus menerus akan menyebabkan objek penelitian tersebut mengalami diabetes melitus. Lalu pada penelitian selanjutnya, ditemukan bahwa pada orang diabetes melitus, memiliki kadar GH yang lebih besar daripada orang normal. Setelah itu pada saat yang hampir bersamaan, dihasilkan sebuah penemuan bahwa GH berkontribusi besar terhadap terjadinya mikroangiopati. Dikenal pula insulin-like growth factor (IGFs) adalah faktor pertumbuhan yang bekerja seperti insulin yaitu sebagai transporter untuk memasukkan glukosa ke dalam jaringan. Namun pada pasien DM, didapatkan bahwa perburukan metabolisme pada diabetes melitus tipe 1 menurunkan pembentukan IGF-I di hepar dan menurunkan konsentrasi IGF-I dalam serum, sehingga merangsang hipersekresi GH melalui mekanisme feedback di hipotalamus. Peninggian konsentrasi GH pada sirkulasi darah dipercaya dapat merangsang penbentukan IGF-I secara lokal pada organ-organ non-hepatik (misalnya ginjal).(16)Sistem GH/IGF berkontribusi secara kompleks pada sirkulasi, ekstraselular, dan sebagian besar jaringan. GH yang dihasilkan hipotalamus menginduksi sintesis IGF-I pada berbagai organ dengan mengaktivasi Growth Hormone Receptor (GHR) spesifik, yaitu GH Binding Protein (GHBP) pada manusia. Setelah aktivasi GHR dan GHBP oleh GH/IGF-I, maka dilakukan ekspresi dengan mekanisme mRNA. Pada pasien DM, konsentrasi GHBP serum menurun dan jumlah GHR hepar pun menurun. Pada percobaan dengan tikus dengan diabetes, ditemukan adanya perubahan pada GHR dan mRNA GHBP pada ginjal secara nyata pada observasi jangka panjang. Pada 6 bulan pertama observasi, tidak ditemukan kelainan apapun. Namun secara statistik ditemukan kelainan yang signifikan yaitu peningkatan jumlah mRNA GHBP pada ginjal satu bulan setelahnya. Perubahan itu terlihat pada ginjal bagian korteks, namun perubahan pada bagian medula tidka terlalu terlihat. Dengan meningkatnya mRNA GHBP, akan meningkatkan availabilitas GH pada ginjal, sehingga meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel.(16)Selain itu, ada pula ditemukan peningkatan transforming growth factor (TGF-) pada pasien DM. TGF- adalah protein yang berfungsi untuk memodulasi atau mengatur produksi ekstraselular matriks dan dipercaya juga mengstimulasi mesangeal glomerulus dan sel epitel untuk memproduksi protein ekstraselular matriks yaitu proteoglikan, fibronektin, kolagen tipe IV, dan laminin. Sebagai tambahan, TGF- juga menghambat sintesis kolagen dan mengstimulasi jaringan untuk memproduksi metalloproteinase inhibitor. Oleh karena itu, TGF- memainkan peranan penting dalam perubahan struktur matriks eksraselular jika terjadi gangguan pada ginjal. Pada hiperglikemia, ditemukan jumlah TGF- ini meningkat. Pada penelitian disebutkan bahwa jumlah TGF-1 glomerulus pada tikus yang disuntikkan glukosa, ditemukan meningkat 1 jam setelah onset hiperglikemia. Lalu tikus tersebut diobservasi selama 2 minggu kemudian dan masih ditemukan peningkatan jumlah TGF- 3 kali lipat dari jumlah awal. Dengan meningkatnya ekspresi TGF- mRNA, terjadilah apa yang disebut dengan diabetes-associated renal hypertrophy. Sebagai tambahan juga, ditemukan jumlah TGF- tetap meningkat pada tikus diabetes 24 minggu kemudian. Oleh karena matriks ekstraseluler meingkat, maka komponen matriks ekstraseluler juga meningakt, yaitu laminin dan kolagen tipe IV.(16) Meningkatnya TGF- pada ginjal dengan diabetes, tidak secara langsung terjadi. Peningkatan TGF- distimulasi dengan adanya aktivasi dari sistem reninangiotensin, yaitu sel mesangeal in vitro terpapar dengan angiotensin II. Hal ini mengstimulasi TGF- dan matriks ekstraseluler. Sebagai tambahan, captopril (ACE-Inhibitor) ternyata dapat mengurangi jumlah TGF- dan kolagen tipe IV.(16)Protein kinase C (PKC) juga mempunyai peranan yang penting dalam penyakit ginjal diabetik. Ditemukan pada penelitian bahwa PKC berperan penting dalam disfungsi endotel dan komplikasi vaskular jangka panjang pada diabetes. Aktivasi PKC pada sel glomerulus distimulasi hiperglikemia, pada akhirnya dapat mengakibatkan peningkatan jumlah TGF- dan mitogen-activated protein (MAP) kinase. Pada percobaan in vivo yang diberikan PKC inhibitor pada tikus dengan diabtes selama 3 bulan, ditemukan hasil bahwa TGF- glomerulus, MAP, serta disfungsi vaskuler (seperti peningkatan GFR) mengalami penurunan. Selain itu, Advaced Glycation End-product (AGE) inhibitor juga menurunkan jumlah TGF- pada glomerulus dengan diabetes.(16)Faktor perkembangan lainnya, yaitu vascular endothelial-growth factor (VEGF) mempunyai peranan dalam fungsi endotel pada ginjal. Pada pasien diabetes, ekspresi VEGF terstimulasi karena adanya hiperglikemia, yang kemungkinan melalui jalur PKC. VEGF dalam ginjal juga terstimulasi melalui beberapa faktor perkembangan lain, sitokin, termasuk TGF- dan IGF-I. Pada penelitian dengan tikus diabetik berdurasi 3-32 minggu, ditemukan perubahan konsentrasi VEGF ginjal. Ekspresi ini terutama terlokalisir pada sel epitel glomerulus.(16)

3.6 Gejala KlinisPada tahap awal dari penyakit ginjal diabetik, pasien tidak mengalami keluhan apapun, hanya ditandai dengan penurunan GFR dan mikroalbuminuria: 150-300 mg/hari. Dari anamnesis mungkin akan didapatkan sebagai berikut: Adanya riwayat diabetes melitus yang lama Kencing yang berbusa Adanya gangguan pada mata, atau riwayat retinopati diabetika Kaki yang bengkak Lemas, pusing Adanya gejala-gejala khas maupun keluhan yang tidak khas dari gejala penyakit diabetes: banyak BAK (poliuri), banyak minum (polidipsi), banyak makan (Polifagi), dan penurunan berat badan. Sedangkan gejala tidak khas: kesemutan, luka sukar sembuh, gatal-gatal pada kulit, ginekomastia, dan impotensi. Adanya riwayat hipertensi, atau Penyakit Jantung Koroner (PJK).(1,6)

3.7 Pemeriksaan FisikPada umumnya, diabetik nefropati ditegakkan setelah urinalisis dan skrining terhadap mikroalbuminuria pada pasien diabetes. Pasien mungkin memiliki tanda-tanda klinis sebagai akibat dari diabetes melitus yang lama, seperti: Hipertensi Penurunan pulsasi perifer (sebagai akibat dari oklusi vaskuler perifer), carotid bruits Mati rasa, atau sensitivitas berkurang, dan berkurangnya refleks tendon Adanya bunyi jantung IV pada auskultasi jantung Adanya luka pada kulit yang lama sembuhnya. Neuropati. Retinopati. Pada pemeriksaan funduskopi, ditemukan kelainan pada retina, berupa: Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam kapiler retina Mikroaneurisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah kapiler vena. Eksudat berupa: Hard exudate: berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang lama, Cotton wool patches: berwarna putih, tak berbatas tegas, dihubungkan dengan iskemia retina. Shunt-arteri-vena: akibat pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi kapiler. Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler. Neovaskularisaasi (1)

3.8 Pemeriksaan PenunjangPenyakit ginjal diabetik ditandai dengan: Persisten albuminuria (>300mg/dL atau >200g/min) yang dikonfirmasikan setidaknya 2 kali dalam 3-6 bulan. Penurunan yang tajam terhadap Glomerular Filtration Rate (GFR) Peningkatan tekanan darah. Bila penderita sudah jatuh pada stadium end-stage (stadium IV-V) atau CRF end stage, didapatkan perubahan pada rontgen thoraks: Jantung: kardiomegali Paru: Odem pulmonal (7)Penurunan fungsi ginjal dapat diukur dengan kalkulasi GFR dengan kreatinin maupun dengan sistatin-C. Pada penelitian kohort terhadap 448 pasien diabetes tipe 2 disebutkan bahwa kalkulasi dengan kreatinin ditemukan lebih akurat daripada sistatin-C, yang mendukung praktek untuk menggunakan GFR berdasarkan kreatinin dalam perhitungan diet pada orang dengan penyakit ginjal diabetik.(7) 3.8.1 UrinalisisUrinalisis 24 jam untuk urea, kreatinin, dan protein, adalah pemeriksaan yang sangat berguna untuk menghitung kadar protein yang hilang dan mengestimasi GFR. Secara umumnya, urinalisis pada pasien dengan penyakit ginjal diabetik memberikan hasil proteinuria yang bervariasi dari 150mmg/dL bahkan sampai lebih dari 300mg/dL, glukosuria, dan kadang ditemukan cetakan hyaline.(1)Mikroalbuminuria adalah ekskresi albumin lebih dari 20g/min atau ratio albumin-kreatinin (g/g) adalah lebih dari 30. Tingkat kerusakan ginjal dapat dilihat dari jumlah albumin di dalam urin, yaitu pada tabel 1.

Tabel 1. Tingkat kerusakan ginjal berdasarkan eksresi albumin/protein dalam urin (15)KategoriKumpulan urin 24 jam (mg/24hr)Kumpulan urin sewaktu (g/min)Urin sewaktu(g/mg creat)

Normal