REFERAT OBESITAS.doc
-
Upload
anisadestya -
Category
Documents
-
view
452 -
download
14
description
Transcript of REFERAT OBESITAS.doc
PENDAHULUAN
American Society of Anesthesiology (ASA) mulai gencar dalam memberikan
informasi yang jelas kepada masyarakat tentang hal-hal yang menjadi
pertimbangan sebelum mereka menghadapi pisau bedah atau operasi. Masyarakat
dahulu tidak terlalu peduli akan bahaya yang dapat menjadi kesulitan tersendiri
untuk anestesi, terkait akan masalah kelebihan berat badan atau obesitas ini.
Begitu banyak komplikasi dari obesitas seperti contoh : diabetes tipe dua,
obstructive sleep apnea, hipertensi atau penyakit kardiovaskular yang dapat
memberikan implikasi signifikan pada pasien yang akan menghadapi operasi dan
tindakan anestesi. Hambatan jalan napas akibat obstructive sleep apnea dapat
menurunkan aliran udara masuk saat inspirasi bahkan terjadi reduksi pada
inhalasi O2 ketika seseorang diberikan sedasi anestesi. Dokter Martin Nitsun,
asisten professor sekolah kedokteran Pritzker universitas Chicago menerangkan
bahwa faktor-faktor diatas memang timbul ketika seseorang mengalami
kelebihan berat badan(1). Pada obesitas terjadi perubahan anatomi yang membuat
manajemen jalan napas akan berbeda dengan mereka tanpa keadaan obesitas.
Tindakan intubasi akan lebih sulit dan dibutuhkan peralatan dan teknik khusus.
Dokter anestesi harus siap dan antisipatif terhadap kesulitan-kesulitan yang
mungkin terjadi.
Maka sebelum pasien masuk ruang operasi, ASA merekomendasikan
dilakukannya preoperative assesment yang meliputi anamnesis lengkap tentang
riwayat pasien, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang yang bermakna
pada pasien tersebut. Sehingga pada saat pelaksanaan operasi, dokter anestesi
dapat meminimalisir resiko yang mungkin terjadi dan menurunkan tingkat
terjadinya komplikasi. Motivasi akan pentingnya mengubah gaya hidup hingga
menurunkan berat badan secara bertahap juga menjadi tugas dokter yang
menangani atau dokter anestesi sehingga diharapkan dengan penurunan berat
badan, komorbiditas dapat ditekan semaksimal mungkin
1 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
OBESITAS DAN MASALAH YANG DIHADAPI
Secara spesifik, yang dikatakan obesitas adalah merupakan suatu keadaan
kelebihan jumlah lemak dalam tubuh, sedangkan overweight adalah kelebihan
berat badan bukan hanya dari jumlah lemaknya namun juga termasuk otot, tulang,
dan total air dalam tubuh. Para ahli sepakat bahwa laki-laki dengan jumlah lemak
tubuh lebih dari 25 persen dan wanita lebih dari 30 persen masuk dalam golongan
kelebihan berat badan atau obesitas.(2)
Body Mass Index (BMI) menjadi indikator awal yang membantu professional
untuk mencari tahu perkiraan kelebihan berat badan seseorang yang nantinya
dihubungkan dengan resiko terjangkit suatu penyakit. Pada obesitas, seseorang
mengkonsumsi kalori lebih dari yang dapat dibakar secara normal, dalam arti kata
mereka makan banyak namun tidak diseimbangkan dengan aktivitas atau
olahraga. Namun ada faktor lain yang juga menjadi predisposisi seseorang
menjadi obesitas. Faktor-faktor tersebut diantaranya(3) :
a. Genetik. Genetik memainkan peran sangat besar terhadap kejadian
obesitas. Pada suatu studi didapatkan kesimpulan umum yaitu ketika ibu
biologis mengalami obesitas, maka kira-kira 75 persen anak-anaknya akan
mengalami obesitas. Sedangkan jika ibu biologis memang kurus atau tidak
mengalami obesitas, kira-kira 75 persen anak-anaknya juga berbadan
kurus. Maka mereka yang memang memiliki “bakat” genetik seperti ini
sudah seharusnya lebih bisa menerima keadaan yang sulit untuk diubah
namun dapat dilakukan manajemen yang baik.
b. Usia. Ketika seseorang menginjak usia tua, tubuh mengalami penurunan
kemampuan untuk metabolisme makanan atau kalori. Makanan lebih lama
diolah, diubah menjadi energi dan pada akhirnya walaupun jumlah
makanan yang dikonsumsi sejak orang tersebut usia 20 hingga usia tua
tidak berubah namun sebenarnya ia tidak memerlukan jumlah kalori yang
sama. Hal ini terlihat jelas ketika mereka yang berusia 20-an
mengkonsumsi banyak kalori namun seimbang dengan aktivitas, pada
2 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
mereka yang berusia diatas 40-an dengan jumlah konsumsi kalori yang
sama malah bertambah bobotnya karena aktivitas dan metabolisme tubuh
yang sudah menurun secara alamiah.
c. Gender. Wanita dikatakan mengalami tendensi lebih sering menjadi
overweight dibanding laki-laki. Laki-laki memiliki kemampuan untuk
metabolisme saat istirahat yang berarti energi juga digunakan saat itu.
Sehingga laki-laki membutuhkan jauh lebih banyak kalori untuk menjaga
keseimbangan metabolisme yang menghasilkan energi itu. Pada wanita,
terutama yang sudah mengalami menopause, rasio metabolisme mereka
justru akan menurun, sehingga jelas mereka akan mengalami penambahan
berat badan setelah menopause.
d. Lingkungan. Walaupun genetik merupakan faktor utama pada obesitas,
namun pada beberapa kasus, lingkungan juga merupakan faktor signifikan.
Yang termasuk faktor lingkungan adalah gaya hidup seperti apa yang
dimakan dan seberapa aktif seseorang.
e. Aktivitas fisik. Seseorang yang aktivitas fisiknya tinggi membutuhkan
kalori untuk dibakar jauh lebih besar untuk menyeimbangkan kebutuhan
tubuhnya. Sebagai tambahan, aktivitas fisik rupanya membantu seseorang
dengan obesitas untuk ‘menggunakan’ lemak sebagai sumber energinya.
Sehingga ketika lemak tersebut dibakar, berkurang pula bobot tubuhnya.
Dalam 20 tahun terakhir diketahui bahwa mereka yang obesitas memang
mengurangi aktivitas fisiknya dan berlebihan dalam urusan konsumsi
kalori atau makanan berlemak.
f. Penyakit. Ada beberapa penyakit yang juga berhubungan dengan kejadian
obesitas. Diantaranya hipotiroidisme (kerja hormon tiroid yang menurun
sehingga metabolisme tubuh ikut menurun), suatu penyakit pada otak yang
meningkatkan nafsu makan (agak jarang terjadi), dan depresi.
3 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
g. Psikologis. Kebiasaan makan terkait dengan faktor psikis pada seseorang.
Banyak orang melarikan diri dari rasa sedih, bosan, depresi atau marah
dengan makan berlebihan. Rasa bersalah, diskriminasi, malu, atau ditolak
dari lingkungan sosial juga banyak berpengaruh pada kondisi psikis
seseorang yang berhubungan dengan perubahan pola makan. Binge eating
adalah sebagai contoh dimana orang tersebut makan berlebihan tanpa ia
sadari dan pada akhirnya ia akan mencari pengobatan serius karena
masalah ini. Hampir 30 persen orang dengan binge eating terkait faktor
psikis menyerah dengan pergi ke dokter untuk mencari bantuan akan
masalah ini.
h. Obat-obatan. Beberapa obat seperti steroid dan anti-depresan memiliki
efek samping penambahan berat badan.
CARA PENGUKURAN
Pengukuran berat badan seseorang secara tepat agak sulit. Cara yang paling
medekati akurat adalah mengukur orang tersebut dibawah air atau di dalam
chamber atau ruangan dengan isi air sehingga dapat diukur jumlah air yang
terbuang dan air sebelumnya untuk mengukur berat badan pasti. Dapat juga
digunakan alat X-ray untuk tes yang disebut Dual Energy X-ray Absorptiometry
(DEXA) namun di Indonesia sendiri belum dilakukan karena membutuhkan alat,
tenaga dan tempat khusus.(2)
Secara sederhana, metode untuk estimasi jumlah lemak atau body fat adalah
dengan mengukur ketebalan lapisan lemak yang berada dibawah lapisan kulit
pada beberapa bagian tubuh. Karena dalam mengukur body fat dan berat badan
pasti seseorang itu sulit, maka selama beberapa dekade, para ahli hanya
bergantung pada tabel berat badan dan tinggi yang merupakan ukuran rata-rata
pada semua orang. Yang menjadi kendala selain tabel ini tidak menggunakan
ukuran pasti adalah dikeluarkannya berbagai macam versi dengan rentang berat
badan dan tinggi yang juga berbeda-beda. Maka BMI saat ini masih menjadi
4 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
patokan universal untuk mengetahui status gizi seseorang (normal, obesitas, atau
overweight).
Body Mass Index (BMI) sangat sederhana dan digunakan untuk estimasi massa
lemak pada seseorang. Pada abad ke-19, seorang ahli statistik dan antropometris
Adolphe Quetelet mengembangkan pengukuran dengan cara ini. BMI merupakan
refleksi dari persentase body fat mayoritas orang dewasa pada populasi besar dan
universal. Walaupun begitu, tingkat akurasi BMI menurun jika digunakan pada
pengukuran ibu hamil atau orang dengan body builder yang massa atau bobot
tubuhnya terpengaruh dari komposisi ‘tambahan’. (4)
BMI = [berat badan (kg)] / [tinggi (dalam meter)]2
BMI Classification
Less than 18.5 underweight
18.5–24.9 normal weight
25.0–29.9 is overweight
30.0–34.9 is class I obesity
35.0–39.9 class II obesity
Over 40.0 class III obesity
Tabel 1 : BMI menurut WHO (1997) (4)
Beberapa modifikasi (WHO) (4) :
- BMI 35.0 atau lebih dengan adanya satu atau lebih kormobiditas
dimasukkan kedalam kelas III BMI.
5 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
- Untuk orang Asia, ukuran overweight adalah antara 23 dan 29.9, obesitas
adalah BMI > 30.
Literatur ilmu bedah membagi kelas III obesitas menjadi beberapa kategori4 :
- BMI > 40.0 dimasukan kedalam kategori obesitas berat (severe)
- BMI 40.0 – 49.9 dimasukkan kedalam kategori obesitas morbid
- BMI > 50.0 dimasukkan kedalam kategori super obesitas.
MASALAH YANG DIHADAPI
Kelebihan berat badan dihubungkan dengan timbulnya berbagai macam
penyakit atau masalah, bisa berupa penyakit kardiovaskular dan respiratori
(obstructive sleep apnea), diabetes mellitus tipe dua, dislipidemia, stroke,
penyakit kandung empedu, berbagai macam jenis kanker, sampai masalah tulang
yaitu osteoartritis. Obesitas akan menurunkan ekspektansi hidup.(5)
PENANGANAN SECARA UMUM
Penanganan obesitas tergantung tingkatan obesitas menurut BMI, kondisi
medis umum dan kesiapan untuk program secara khusus. Penanganan ini
termasuk diantaranya kombinasi diet, latihan atau olahraga, modifikasi perilaku
dan kadang juga dibutuhkan obat penurun berat badan (weight-loss drugs). Dalam
keadaan sangat parah kadang dibutuhkan bedah bariatric. Yang perlu diingat
bahwa penanganan obesitas membutuhkan waktu hampir seumur hidup. Adanya
motivasi untuk menurunkan berat badan hingga ideal cukup membantu
keberhasilan terapi.(6,7)
1. Diet. Program diet dapat menurunkan berat badan secara cepat, namun
untuk mempertahankan berat badan ideal yang sudah dicapai sangat sulit.
Rata-rata penurunan berat badan kurang lebih tiga kilogram atau tiga
persen dari jumlah total massa tubuh dalam sebulan sudah cukup baik.
Empat kategori dalam program diet diantaranya : rendah lemak (low-
6 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
fat),rendah karbohidrat (low-carbohydrate),rendah kalori (low-calorie)
dan very low-calorie.
a. Rendah lemak. Mengurangi presentase jumlah lemak yang dikonsumsi
normalnya dapat mengurangi hingga 3.2 kg berat badan per bulannya.
b. Rendah karbohidrat. Atkins dan Protein Power merupakan diet tinggi
lemak dan protein namun rendah karbohidrat. Diet jenis ini sangat
populer di masyarakat namun tidak menjadi rekomendasi American
Heart Association.
c. Rendah kalori. Diet rendah kalori akan menghasilkan defisit kalori dari
sebelumnya sekitar 500 – 1000 kalori. Artinya, dengan mengubah
asupan sehari-hari menjadi dominan protein dan limitasi karbohidrat
juga lemak, tubuh akan mengalami kelaparan dan imbasnya akan
terjadi penurunan berat badan sekitar 1.5 - 2.5 kilogram. Diet jenis ini
juga tidak menjadi rekomendasi mengingat efek sampingnya yaitu
kehilangan massa otot, peningkatan resiko penyakit Gout dan
ketidakseimbangan elektrolit. Kalaupun diet ini mau dilakukan, harus
ada pengawasan secara ketat dari dokter.(6)
2. Latihan atau olahraga. Kerja otot sangat bergantung dari lemak dan
glikogen dalam tubuh. Besarnya otot dipengaruhi dari aktivitas yang
dilakukan, seperti berjalan, berlari, bersepeda, dan aktivitas itu pula yang
dapat menurunkan lemak dalam tubuh. Dengan latihan yang benar dan
rutin, lemak akan digunakan sebagai energi. Dari suatu meta-analisa yang
dilakukan oleh Cochrane Collaboration, didapatkan dalam 43 kontrol yang
diambil secara random, dengan latihan saja sudah dapat menurunkan berat
badan. Jika dikombinasikan dengan diet, maka akan didaptkan penurunan
berat badan 1 kilogram. Dalam waktu 20 minggu dengan latihan setara
dengan militer tanpa diet, seorang obese akan kehilangan 12.5 kilogram
beban tubuhnya.(6)
7 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
3. Medikamentosa. Orlistat (Xenical) dan Sibutramine (Meridia) adalah obat
yang digunakan sebagai terapi untuk obesitas. Obat-obat ini bersifat
ananoreksia yang sifatnya menekan nafsu makan dan bekerja pada satu
atau lebih neurotransmitter yang berperan mengatur hal ini. Secara spesifik
kerja obat ini adalah meningkatkan sekresi neurotransmitter yaitu
dopamin, norepinefrin, serotonin, dan menghambat ambilan atau
kombinasi dari mekanisme neurotransmitter ini. Orlistat digunakan untuk
mengurangi absorpsi lemak intestinal dengan menghambat enzim lipase
pankreas, sedangkan sibutramine bekerja langsung pada otak dengan
menghambat deaktivasi dari neurotransmitter yang telah disebutkan
sebelumnya sehingga terjadi penurunan nafsu makan.Rimonabant, jenis
obat ketiga, bekerja melalui blokade sistem endokanabinoid, namun jenis
obat ini belum mendapatkan kesepakatan universal dalam penggunaannya.
Dalam jangka waktu yang lama, penggunaan orlistat akan menurunkan
berat badan sekitar 2.9 kg, sibutramine 4.2 kg dan rimonabant 4.7 kg.
Orlistat dan rimonabant juga mengurangi insidensi diabetes karena efek
penurunan kolesterol. Metformin, obat diabetes, dapat memberikan efek
penurunan berat badan yang ringan dan juga menurunkan resiko
kardiovaskular.(6)
4. Pembedahan. Pembedahan bariatrik adalah intervensi lain yang digunakan
dalam terapi obesitas. Pembedahan ini digunakan hanya pada kasus pasien
dengan obesitas berat / severe (BMI > 40) yang gagal dalam terapi diet,
latihan ataupun obat-obatan. Yang dilakukan adalah dengan mengurangi
volume dari gaster, meningkatkan kepuasan dalam nafsu makan, dapat
juga dilakukan pemendekan usus (gastric bypass) sehingga terjadi
penurunan absorpsi dari makanan. Pembedahan untuk kasus seperti ini
berhubungan dengan efektifitas dari penurunan berat badan jangka
panjang dan penurunan resiko kematian. Yang terlihat jelas adalah resiko
penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus dan kanker menurun seara
signifikan.(6)
8 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
5. Terapi kebiasaan.Terapi ini termasuk diantaranya dengan mengubah pola
makan (makan dengan porsi kecil namun sering), mengurangi konsumsi
lemak dan kalori, meningkatkan aktivitas fisik dan bergabung dengan
kelompok yang bertujuan sama dalam mendukung satu sama lain dan
diskusi hal-hal yang dapat membantu mereka mencapai target penurunan
berat badan. (6)
Protokol klinis dalam tatalaksana obesitas menurut American College of
Physicians (6) :
1. Pasien obesitas dengan BMI > 30 disarankan untuk melakukan diet,
latihan dan terapi kebiasaan, juga membuat rencana realistik untuk
mencapai target penurunan berat badan yang ideal.
2. Jika target ini tidak tercapai, dapat dilakukan terapi dengan obat-obatan.
Pasien harus dijelaskan efek samping dari obat-obatan sehingga mereka
turut menjaga keamanan dan efektivitas dari terapi yang sedang dilakukan.
3. Obat-obat yang dapat digunakan diantaranya : sibutramine, orlistat,
phentermine, diethylpropion, fluoxetine, bupropion. Dalam kasus obesitas
parah, dapat digunakan amfetamin atau methamphetamine.
4. Pasien obesitas dengan BMI > 40 yang gagal dalam terapi yang sudah
disebutkan diatas, dengan atau tanpa terapi medikamentosa, dapat
disarankan untuk dilakukan pembedahan bariatrik. Pasien juga harus
mendapat penjelasan tentang komplikasi yang dapat timbul sesudahnya.
5. Sebelum dilakukan pembedahan bariatrik, pasien harus dikonsulkan ke
pusat pembedahan dengan dokter bedah yang dapat melakukan prosedur
ini dengan komplikasi yang lebih sedikit.
9 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
ANASTESI PADA PASIEN OBESITAS
Dalam berbagai macam literatur, anestesi pada pasien obesitas tidak menjadi
bahasan khusus. Akan tetapi, tata laksana anestesi pada pasien obesitas rupanya
memiliki kendala yang patut diperhatikan. Secara umum, ketika datang pasien
obesitas kedalam ruang operasi, dokter anestesi sudah memikirkan kemungkinan-
kemungkinan yang akan dihadapi sebelum, selama dan sesudah tindakan anestesi.
Diantaranya adalah prediksi kesulitan intubasi, prevensi tromboemboli, prevensi
komplikasi pasca operasi seperti atelektasis, penggunaan obat anestesi seperti
analgesi yang dapat diberikan atau obat-obat yang harus dihindari pemberiannya,
maajemen pasien dengan obstructive sleep apnea, kriteria pemindahan ke ICU
dan penanganan mekanisme ventilasi yang harus dilakukan, juga terapi cairan,
eletrolit dan nutrisi. (7)
Masalah utama pasien obesitas masih seputar gangguan pada sistem
kardiovaskular, respirasi, dan gastrointestinal. Masalah lain adalah pada ibu hamil
dengan atau tanpa obesitas dan anak-anak yang sedari kecil sudah mengalami
obesitas.
SISTEM KARDIOVASKULAR PADA PENDERITA OBESITAS
Gangguan pada sistem kardiovaskular meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pasien obesitas. Manifestasinya berupa penyakit iskemia, hipertensi
sampai gagal jantung. Scottish Health Survey baru-baru ini menemukan
prevalensi gangguan pada sistem kardiovaskular 37 persen terjadi pada mereka
dengan BMI > 30, 21 persen pada BMI 25 – 30 dan 10 persen pada BMI < 25.
Semua pasien obesitas yang akan dilakukan anestesi harus diinvestigasi lebih jauh
pada premedikasi akan adanya komplikasi kardiovaskular. Bahkan sudah
seharusnya mereka dirujuk ke ahli jantung untuk monitor kesulitan yang mungkin
berpengaruh pada tindakan anestesi yang akan dilakukan.(8)
Manifestasi gangguan sistem kardiovaskular : (8,9,10)
10 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
Hipertensi. Hipertensi ringan – sedang terlihat pada 50 – 60 persen pasien
obesitas dan hipertensi berat pada 5 – 10 persen pasien. Terdapat
peningkatan tekanan sistolik sebesar 3 – 4 mmHg dan diastolik 2 mmHg
tiap kenaikan berat badan 10 kg. Adanya cairan pada ekstraseluler akan
berakibat terjadinya hipervolemia dan peningkatan cardiac output.
Meskipun mekanisme pasti terjadinya hipertensi pada pasien obesitas
masih belum diketahui, diduga ada pengaruh faktor genetik, hormonal,
renal dan hemodinamik yang berperan disini. Hiperinsulinemia sebagai
karakteristik pada obesitas juga memberikan kontribusi dengan
mengaktifkan sistem saraf simpatik yang menyebabkan retensi sodium.
Sebagai tambahan, resistansi insulin bertanggung jawab terhadap aktivitas
norepinefrin dan angiotensin II.
Iskemia jantung. Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya penyakit
iskemia jantung, terutama pada mereka dengan pusat distribusi lemak pada
bagian sentral. Faktor lain seperti hipertensi, diabetes mellitus,
hiperkolesterolemia dan rendahnya HDL (High Density Lipoprotein)
menambah beratnya resiko penyakit ini. Hal yang menarik, 40 persen
pasien obesitas dengan angina tidak memperlihatkan adanya penyakit
jantung koroner, namun angina itu sendiri merupakan gejala langsung dari
obesitas.
Volume darah. Total volume darah pada pasien obesitas bertambah akan
tetapi bila dibandingkan dengan pasien non-obese, pertambahannya lebih
rendah karena dominasi darah tersebut terdistibusi ke organ-organ penuh
lemak. Aliran darah dari limpa juga bertambah sekitar 20 persen
sedangkan aliran darah dari otak dan ren normal atau tidak bertambah.
Aritmia jantung. Ada berbagai macam faktor presipitasi yang
menyebabkan aritmia pada pasien obesitas, diantaranya : hipoksia,
hiperkapnia, ketidakseimbangan elektrolit akibat terapi dengan diuretik,
penyakit jantung koroner, bertambahnya konsentrasi katekolamin dalam
11 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
sirkulasi, obstructive sleep apnea, hipertrofi miokard dan penumpukan
lemak dalam sistem konduksi.
Fungsi jantung. Pada pasien obesitas, terjadi disfungsi dari jantung yang
dipercayai merupakan elanjutan dari penumpukan lemak dalam sistem
konduksi. Dalam suatu studi pada otopsi, ditemukan adanya penumpukan
lemak pada epikardium yang tidak disertai penumpukan lemak pada
miokardium, tampaknya keadaan ini mempengaruhi ventrikel kanan
jantung yang pada akhirnya menyebabkan abnormalitas konduksi dan
aritmia. Ada hubungan sejajar antara bertambahnya berat jantung dengan
kenaikan berat badan seseorang. Yang dikatakan penambahan berat
jantung merupakan konsekuensi dari dilatasi dan hipertrofi eksentrik dari
ventrikel kiri yang mempengaruhi ventrikel kanan pula.
Kardiomiopati. Obesitas berhubungan dengan kejadian bertambahnya
volume darah dan cardiac output akibat kenaikan bobot lemak 20 – 30 ml
per kg. Dilatasi ventrikel dan bertambahnya volume sekuncup
menyebabkan peningkatan cardiac output. Dilatasi ventrikel terjadi akibat
bertambahnya stress pada dinding ventrikel kiri yang menyebabkan
hipertrofi. Adanya hipertrofi eksentrik dari ventrikel kiri ini akan
menurunkan compliance dan fungsi diastolik ventrikel kiri. Pada keadaan
ini akan terjadi gangguan pengisian ventrikel, elevasi dari LVEDP dan
udem paru. Kapasitas dilatasi untuk ventrikel memilik batasan, sehingga
jika terjadi penebalan dinding ventrikel kiri maka terjadi kegagalan
ventrikel untuk diastolik atau sistolik yang juga berpengaruh pada ritme
jantung.
Gejala klinis (8,9,10)
Pada penderita obesitas, kadang tidak ditemukan gejala akibat
gangguan kardiovaskular, hal ini bisa dikarenakan mereka mengurangi
gerakan atau aktivitas fisik sehingga tertutupi semua gejala yang dapat
timbul. Seperti misalnya, gejala angina atau dispnoe mungkin hanya
12 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
terjadi sesekali ketika mereka bergerak lebih aktif dari biasanya. Banyak
dari penderita obesitas sengaja tidur dengan posisi duduk sehingga
menyangkal adanya orthopneu atau dispnoe paroksismal nokturnal. Tapi
penderita obesitas dapat kita minta untuk berjalan di dalam ruangan maka
akan terlihat berkurangnya pergerakan atau ketika diminta untuk tidur
dengan posisi supinasi maka akan timbul orthopneu bahkan bisa berujung
pada henti jantung. Penderita obesitas harus diperiksa lebih mendetail akan
adanya gangguan jantung, hipertensi, atau gagal jantung. Tanda gagal
jantung juga dapat dilihat dari kenaikan tekanan vena jugular, penambahan
bunyi jantung, gangguan pada paru, hepatomegali atau ditemukan udem
perifer.
Pemeriksaan
Untuk mengetahui kelainan yg terjadi pada jantung, dapat dilakukan
pemeriksaan preoperatif dengan EKG (elektrogardiogram) atau
Echocardiograph. Adanya deviasi axis, atau aritmia dapat terlihat pada
kedua gambaran tersebut. Foto thoraks dapat memberikan gambaran
kardiomegali yang jelas namun kadang tampak normal. Echocardiograph
mungkin sulit dilakukan namun memberikan informasi yang berguna bagi
kita. Konsul kepada ahli jantung dilakukan sebagai tindak awal dan
optimalisasi keadaan pasien preoperatif. (9,10)
Implikasi anestesi
Pada keadaan dimana terjadi gangguan napas, masalah pada ventrikel
mungkin tertutupi atau lolos dari pengamatan melalui pemeriksaan secara
klinis. Namun adanya penambahan berat badan secara cepat yang
ditemukan pada premedikasi dapat mengindikasikan adanya kegagalan
jantung walaupun orang tersebut memang sudah memiliki bobot yang
berat. Durante operasi, kegagalan ventrikel untuk memenuhi kebutuhan
(disfungsi dari diastolik ventrikel) dapat terjadi karena berbagai macam
alasan, seperti pengaruh dari agen anestesi yang sebelumnya diberikan
13 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
atau hipertensi pulmonal yang dipresipitasi keadaan hipoksia atau
hiperkapnia. Maka seorang dokter anestesi harus bersikap preventif
terhadap hal tersebut dengan mempersiapkan inotropik dan vasodilator
untuk mengembalikan keadaan menjadi normal kembali.(9)
Ketika induksi anestesi atau intubasi dilakukan pada penderita
obesitas, performa jantung akan mulai menurun. Dalam suatu penelitian,
ditemukan pada penderita obesitas yang menjalani operasi abdomen,
performa jantung menurun 17 -33 persen setelah induksi dan intubasi
dilakukan, keadaan ini menetap pasca operasi dengan index jantung 13 -23
persen menurun dibandingkan preoperatif. Hal ini tidak terjadi pada orang
normal dimana performa jantung setelah diberikan induksi anestesi atau
intubasi sempat menurun namun kembali normal pascaoperasi.(9)
Pengamatan terhadap tekanan arteri, gas darah dan tekanan vena
sentral dapat dilakukan sebagai acuan terhadap keadaan jantung selama
obat anestesi bekerja.
Premedikasi
Opioid dan obat sedatif dapat menyebabkan depresi pernapasan pada
orang obesitas. Rute pemberian obat secara intramuskular dan subkutan
dihindari mengingat absorbsinya yang belum jelas. Semua penderita
obesitas diberikan profilaksis terhadap aspirasi asam walaupun mereka
tidak mengeluhkan adanya refluks atau perasaan dada terbakar
(heartburn). Kombinasi H2-bloker (ranitidin 150mg peroral) dan
prokinetik (metoklopramid 10mg peroral) diberikan 12 jam dan 2 jam
sebelum operasi untuk menurunkan resiko pneumonitis akibat aspirasi.
Beberapa dokter anestesi bahkan mencoba memberikan 30ml dari 0.3 M
sitrat segera sebelum dilakukan induksi sebagai tambahan.(9)
Obat jantung dan steroid tetap diberikan sampai menjelang operasi,
walaupun ada yang merekomendasikan penghentian angiotensin
14 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
converting enzyme inhibitors sehari sebelum dilakukan operasi karena
efek hipotensi yang mungkin timbul. Pasien obesitas dengan diabetes
diberikan regimen dextrosa-insulin dalam prosedur singkat mengingat
kebutuhan insulin yang meningkat pascaoperasi.(9)
Karena pasien obesitas seringkali sulit mobilisasi terutama
pascaoperasi dan meningkatkan resiko terjadinya trombosis vena dalam,
maka dapat diberikan heparin dosis rendah secara subkutan dan tetap
dilanjutkan sampai pasien tersebut dapat mobilisasi total. Cara lain :
penggunaan legging atau stoking kompresi.(9)
Pada grup ini juga sering terjadi infeksi luka pascaoperasi. Maka
dapat diberikan antibiotik profilaksis namun pemberiannya juga harus di
diskusikan dengan ahli bedah yang menangani.
Posisi dan pemindahan
Kebanyakan meja operasi dirancang hanya untuk pasien dengan berat
badan mencapai 120 – 140 kg. Berat badan melebihi kapasitas tersebut,
membutuhkan meja operasi dengan rancangan khusus atau menggunakan
dua meja operasi ukuran biasa yang disusun bersebelahan. Pasien
dilakukan anestesi setelah ia nyaman berada di meja operasi tersebut.
Kompresi vena cava inferior harus dihindari dengan cara memposisikan
pasien secara lateral ke kiri dari meja operasi atau meletakan sanggahan
dibawah pasien. Terkadang pasien juga dapat diposisikan secara lateral
decubitus untuk mengurangi jumlah tekanan pada dada. (9)
Pasien dipindahkan dari ruangan ke ruang operasi memakai tempat
tidur yang mereka gunakan. Kadang dibutuhkan banyak tenaga dalam
proses pemindahan tersebut.
Analgesia regional
15 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
Penggunaan anestesi regional pada pasien obesitas memungkinkan
tidak perlunya dilakukan intubasi dan menurunkan resiko aspirasi asam.
Pada operasi thorakal dan abdominal, biasanya dipilih anestesi epidural
dengan kombinasi anestesi umum. Hal ini lebih bermanfaat dibandingkan
hanya digunakan anestesi umum, termasuk mengurangi penggunaan
opioid dan obat anestesi inhalasi, komplikasi pulmonal pascaoperasi,
peningkatan efek obat analgesik pascaoperasi, dan manfaat lainnya. (9,10)
Secara teknik, anestesi regional pada pasien obesitas menantang
karena sulitnya menentukan batasan pasti tulang, kulit dan lemak. Blok
saraf perifer lebih mudah dan aman dilakukan dengan bantuan stimulator
saraf dan jarum insulasi. Anestesi spinal dan epidural lebih mudah
dilakukan pada posisi berdiri dan menggunakan jarum yang panjang.
Dengan bantuan ultrasound dapat diidentifikasi ruang epidural dan
menuntun jarum Tuohy dalam posisi yang benar. Ada beberapa dokter
anestesi yang lebih menyukai kateter epidural telah terpasang sehari
sebelum operasi untuk menghemat waktu esok harinya dan memudahkan
pemberian profilaksis heparin pada pagi hari waktu operasi. Anestesi lokal
yang dibutuhkan pada saat melakukan anestesi spinal atau epidural
diturunkan hingga 80 persen mengingat terdapatnya infiltrasi lemak dan
meningkatnya volume darah yang disebabkan tekanan intraabdomen
menyempitkan ruang epidural. Hal ini perlu diwaspadai karena dapat
menyebabkan blokade yang lebih tinggi atau menyebarnya anestesi lokal
tersebut. Blokade diatas thorakal V akan menyebabkan gangguan respirasi
dan blokade otonom pada sistem kardiovaskular. Dalam keadaan ini,
dibutuhkan penggantian anestesi menjadi anestesi umum dengan peralatan
yang cukup dan bantuan orang lain untuk penanganan adekuat. (9,11)
Analgesia sistemik
Penggunaan analgesia opioid tidak dianjurkan pada pasien obesitas
terutama dengan rute intramuskular. Jika diberlakukan rute intravena,
16 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
maka dapat diberlakukan Patient-Controlled Analgesia System (PCAs).
Dengan cara ini, efektivitas analgesia bisa tercapai walaupun pernah
terdapat laporan depresi pernapasan. Harus diamati juga saturasi O2 dan
pulse oximetry.(9)
Analgesia pasca epidural anastesi dengan opioid atau anestesi lokal
memberikan analgesi yang efektif dan aman pada pasien obesitas.
Intravena epidural lebih disukai karena rendahnya efek mengantuk, mual,
depresi napas, bahkan mempercepat motilitas usus dan cepat kembalinya
fungsi pernapasan ke titik normal sehingga mengurangi waktu rawat di
rumah sakit. Namun, penggunaan opioid intravena tidak dianjurkan karena
adanya efek lambat dari analgesia tersebut terhadap fungsi pernapasan,
dengan kata lain depresi pernapasan baru muncul setelah beberapa waktu. (9)
Oral analgesik seperti Non-Steroid Anti Inflammation Drugs
(NSAID) atau paracetamol dapat diberikan sebagai tambahan.
SISTEM RESPIRASI PADA PENDERITA OBESITAS
Patofisiologi pernapasan pada penderita obesitas (9,10)
Volume paru-paru
Penurunan kapasitas residu fungsional (Functional Residual Capacity
atau FRC), volume ekspirasi cadangan (Expiratory Reserve Volume atau
ERV) dan kapasitas total dari paru-paru merupakan masalah yang dihadapi
penderita obesitas seiring dengan peningkatan berat badan. Kapasitas
residu fungsional menurun akibat penyempitan saluran napas,
ketidakseimbangan perfusi dan ventilasi, shunt dari kanan ke kiri, dan
hipoksemia arteri. Pemberian anestesi dikatakan menurunkan FRC sebesar
50 persen pada penderita obesitas, sedangkan pada orang normal terjadi
penurunan FRC sebesar 20 persen. Söderberg dan kolega dalam suatu
studi menemukan adanya shunt intrapulmonal dari 10 – 25 persen
17 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
penderita obesitas yang dilakukan anestesi dan 2 – 5 persen pada orang
normal. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dapat diberikan oksigen
dengan volume tidal yang besar ( 15 – 20 ml / kg ) walaupun hanya
ditemukan kenaikan saturasi oksigen yang minimal. Namun berbeda
halnya dengan tekanan positif pada akhir ekspirasi (Positive End-
Expiratory Pressure atau PEEP) yang meningkat pada FRC dan tekanan
oksigen arterial. Defek pada pertukaran gas dan penambahan shunt
preoperatif terlihat ketika dilakukan induksi anestesi dan intubasi.
Penambahan PEEP meningkatkan osigenasi namun menurunkan cardiac
output dan distribusi oksigen.
Karena kurangnya FRC, pada penderita obesitas terjadi kegagalan
toleransi ketika terjadi apnoe, selain itu terjadi desaturasi oksigen segera
setelah induksi anestesi. Hal ini karena kecilnya reservoir oksigen dan
meningkatnya pemakaian oksigen. Biasanya FRC berkurang sebagai
konsekuensi reduksi dari ERV dengan tidal volume dalam batas yang
normal. Bagaimanapun juga, pada beberapa penderita obesitas, tidal
volume yang tinggi menandai terperangkapnya gas di dalam paru-paru dan
menyertai penyakit saluran napas obstruktif. Volume ekspirasi paksa
dalam satu detik dan kapasitas vital paksa biasanya tidak terpengaruh
namun enam sampai tujuh persen mengalami perbaikan seiring penurunan
berat badan.
Ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida
Ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida meningkat sebagai
hasil dari aktivitas metabolik pada jumlah lemak yang berlebihan dan
bertambahnya simpanan pada jaringan. Aktivitas metabolik basal (Basal
Metabolic Activity atau BMA) berhubungan dengan luasnya permukaan
tubuh. Pemberian ventilasi beberapa menit akan meningkatkan oksigen
hingga terjadi normokapnia. Walaupun pada beberapa penderita obesitas
dapat berlanjut respon normal keadaan hipoksemia dan hiperkapnia yang
18 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
terjadi. Pada saat olahraga, penggunaan oksigen ini akan meningkat tajam
dan menandai adanya effisiensi yang buruk dari otot pernapasan
dibandingkan pada orang normal.
Pertukaran gas
Preoperatif, penderita obesitas biasanya hanya mengalami sedikit
defek pada pertukaran gas dengan reduksi pada PaO2, meningkatnya
perbedaan oksigen alveolar dengan arterial, dan fraksi shunt. Induksi
anestesi akan memperburuk keadaan ini, maka diperlukan fraksi oksigen
jumlah besar untuk memenuhi tahanan oksigen arterial.
Compliance dan resistensi thorak
Kenaikan berat badan sebanding dengan meningkatnya kesulitan
bernapas yang pada kasus berat bisa menurunkan hingga 30 persen dari
pernapasan normal. Walaupun terdapat akumulasi jaringan lemak di dalam
dan sekitar dinding dada yang berakibat tertahannya gerak dinding dada
(restriksi), namun pada beberapa penelitian dikemukakan bahwa hal ini
disebabkan peningkatan volume darah dalam paru-paru. Tertahannya
gerak dinding dada juga berhubungan dengan penurunan FRC,
terhimpitnya saluran napas dan kegagalan pertukaran gas. Perubahan
compliance dan resistensi thorak terlihat dengan adanya napas cepat dan
dangkal, frekuensi yang meningkat dan berkurangnya kapasitas paru.
Efisiensi pernapasan
Kombinasi dari tekanan intraabdomen, reduksi dari compliance, dan
meningkatnya kebutuhan metabolik dengan gerakan otot dada,
menghasilkan gerak inefisien dari otot dada tersebut, sehingga pada orang
tersebut terjadi usaha bernapas lebih berat. Penderita obesitas dengan
normokapnia pada waktu istirahat menunjukkan 30 persen peningkatan
usaha bernapas dan terkadang terjadi hipoventilasi. Hipoventilasi ini
menjadi empat kali lebih berat pada waktu istirahat.
19 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
Kelainan yang terjadi
Gangguan pernapasan yang paling sering terjadi pada penderita
obesitas adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA). Predisposisi terjadinya
OSA antara lain : laki-laki, usia pertengahan, obesitas dan konsumsi
alkohol (saat senja) atau penggunaan sedatif (saat malam). OSA memiliki
karakteristik (12):
a) Episode apnea atau hipopnea yang lebih sering terjadi saat tidur
dan yang membangunkan pasien tiba-tiba. Episode ini
digambarkan sebagai obstruktif apnea selama 10 detik atau lebih
yang menyebabkan penutupan total dari saluran bernapas dan
adanya usaha keras untuk tetap bernapas. Hipopnea tergambarkan
sebagai reduksi dari 50 persen aliran udara yang adekuat yang
berujung pada penurunan empat persen saturasi oksigen pada
arterial. Frekuensi episode apnea atau hipopnea tercatat lebih dari
lima kali per jam atau lebih dari 30 kali tiap malam. Yang perlu
diperhatikan adalah sekuele dari keadaan ini berupa : hipoksia,
hiperkapnia, hipertensi sistemik atau pulmonal dan aritmia.
b) Apnea terjadi ketika faring mengalami kolaps saat seseorang tidur.
Patensi dari faring tersebut bergantung pada kerja otot dilator yang
mencegah penutupan saluran napas atas. Tonus otot ini akan
menghilang ketika tidur, yang menyebabkan pemendekan dari
saluran napas, sehingga terjadi turbulensi aliran udara sehingga
terdengarlah snoring. Mengorok atau snoring biasanya terdengar
lebih keras jika obstruksi makin hebat. Ngorok ini juga diikuti
periode sunyi (silence) disaat tidak ada aliran udara yang masuk
dan setelahnya akan terjadi gasping atau choking yang
membangunkan pasien dari tidurnya, bernapas beberapa kali, dan
tidur kembali (siklus ini berulang sepanjang waktu tidur).
20 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
c) Efek samping : pada pagi hari, penderita OSA akan sering
mengantuk, kehilangan konsentrasi, masalah dalam memori atau
ingatan dan bisa terjadi kecelakaan saat menyetir atau bekerja.
Terkadang penderita mengeluhkan pusing di pagi hari akibat
retensi karbondioksida malam harinya dan vasodilatasi serebral.
d) Perubahan fisiologi : hipoksemia, hiperkapnia, vasokonstriksi
pulmonal dan sistemik. Hipoksemia berulang dapat berujung pada
polisitemia yang meningkatkan resiko penyakit jantung iskemia
dan penyakit serebrovaskular. Sedangkan vasokonstriksi pulmonal
berujung pada kegagalan ventrikel kanan (right ventricle failure).
Bila pada seseorang diketahui BMI > 30 kg/m2 , ada riwayat
hipertensi, apnea selama siklus tidur, lingkar leher > 16.5 cm, polisitemia,
hipoksemia, hiperkapnia, hipertrofi ventrikel kanan atau abnormalitas
EKG, maka perlu dilakukan diagnosis definitif dengan pemeriksaan
polysomnografi untuk memeriksa kemungkinan OSA.(12)
Implikasi anestesi
Premedikasi
Pemeriksaan preoperatif pada penderita obesitas diantaranya
memeriksa kemampuan pasien untuk bernapas dalam dan patensi dari
jalan napas. Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah lengkap,
foto thoraks, gas darah, fungsi paru dan oximetri. Mereka yang
dicurigai OSA disarankan melakukan tes polysomnografi. Pasien juga
harus diingatkan resiko spesifik dari anestesi, kemungkinan
dilakukannya intubasi dalam kesadaran penuh, pemberian ventilasi
pascaoperasi bahkan trakeostomi. (9)
Durante anestesi
21 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
Induksi anestesi menjadi saat paling berbahaya pada pasien
obesitas. Resiko kesulitan atau gagal intubasi karena adanya obstruksi
saluran napas bagian atas dan menurunnya compliance pulmonal
menjadi kekhususan tersendiri. Insuflasi gaster selama anestesi juga
meningkatkan resiko regurgitasi atau aspirasi isi gaster.(9)
Pendekatan awal adalah pemilihan intubasi dalam kesadaran
penuh atau tidur dalam yang merupakan pilihan sulit. Hal itu banyak
dipengaruhi pengalaman dokter anestesi yang akan melakukannya.
Beberapa penulis menyarankan intubasi dengan kesadaran penuh
terutama jika berat badan sesungguhnya > 175 persen berat badan
ideal. Apabila terdapat gejala OSA, maka sudah terpikirkan morfologi
jalan napas bagian atas yang sedikit berbeda yang membuat
pemakaian ballow dan sungkup menjadi sulit, sehingga intubasi dalam
kesadaran penuh lebih disarankan.
Pendekatan lain adalah penggunaan laringoskop setelah
pemberian lokal anestesi pada faring. Intubasi sadar dengan fiberoptic
dapat dipilih ketika struktur laring tidak terlihat jelas. Tidak
disarankan melakukan intubasi blind melalui hidung mengingat
kemungkinan epistaksis atau efek samping lainnya. (9)
Teknik teraman dan cepat untuk induksi anestesi menggunakan
succinylcholine dengan diikuti pemberian oksigen yang adekuat
sebelumnya.
Pasien obesitas tidak dibolehkan untuk bernapas spontan selama
anestesi berlangsung, mencegah terjadinya hipoventilasi, hipoksia dan
hiperkapnia. Posisi litotomi atau Tredelenburg dihindari mengingat
pada posisi ini terjadi reduksi volume paru. Ventilasi kontrol dengan
fraksi oksigen tinggi dibutuhkan untuk mencapai tekanan oksigen
arterial yang adekuat, yang nantinya pemeriksaan serial gas darah
diperiksa untuk mengontrol hal ini.(7,9)
22 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
Post anestesi
Komplikasi pulmonal sering terjadi pada penderita obesitas.
Pemeriksaan fungsi paru preoperatif tidak dapat memprediksi keadaan
yang sama pascaoperatif. Hal ini karena pada pasien obesitas
sensitivitas terhadap obat sedatif, analgesik opioid dan anestesi
meningkat. Pemberian ventilasi pascaoperasi bermanfaat untuk
eliminasi efek obat-obat tersebut, selain dapat diberikan pada mereka
dengan penyakit kardio-respiratori yang telah diketahui sebelumnya,
retensi karbondioksida, dan mereka yang baru menjalani operasi
dalam waktu lama atau mengalami pyrexia pasca operasi.(9)
Ekstubasi hanya boleh dilakukan ketika pasien sadar penuh dan
dipindahkan ke Recovery Room dengan posisi duduk 45 derajat. Oksigen
tambahan segera diberikan dan dilatih untuk bernapas seperti biasa. (9)
SISTEM GASTROINTESTINAL PADA PENDERITA OBESITAS
Kombinasi dari tekanan intraabdomen yang tinggi, tingginya volume dan
rendahnya pH dalam gaster, lambatnya pengosongan gaster dan tingginya faktor
resiko hiatus hernia dan gastro-esofageal refluks dipercayai menempatkan pasien
obesitas pada resiko terjadinya aspirasi asam lambung diikuti pneumonitis
aspirasi. Zacchi melakukan studi yang menunjukkan bahwa pada penderita
obesitas tanpa gejala gastro-esofageal refluks dan lintasan gastro-esofageal
ternyata struktur anatominya tidak berbeda dengan orang normal (baik pada posisi
duduk atau berbaring). Walaupun penderita obesitas memiliki volume dalam
gasternya 75 persen lebih besar dari orang normal, melalui studi tersebut juga
diketahui bahwa pengosongan gaster justru lebih cepat pada penderita obesitas,
terutama pada intake energi tinggi seperti emulsi lemak. Karena adanya resiko
aspirasi asam, maka ada keharusan diberikannya H2-receptor antagonis, antasid
dan prokinetik, juga dilakukannya induksi yang cepat dengan tekanan pada
krikoid dan ekstubasi trakea ketika pasien sadar penuh.(9,13)
23 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
Keadaan pada penderita obesitas yang menjadi perhatian sehubungan dengan
sistem gastrointestinal, diantaranya (9,13) :
Diabetes mellitus. Setiap penderita obesitas yang akan menjalani operasi,
harus diperiksa gula darahnya, baik gula darah sewaktu atau dapat juga
dilakukan tes toleransi glukosa. Respon katabolik selama operasi mungkin
mengindikasikan pemberian insulin pascaoperasi untuk mengontrol
konsentrasi glukosa dalam darah. Kegagalan dalam menjaga konsentrasi
ini akan berakibat tingginya resiko infeksi pada luka operasi dan infark
miokard pada periode iskemia miokard.
Penyakit tromboembolik. Resiko trombosis vena dalam pada penderita
obesitas dapat disebabkan karena imobilisasi yang lama. Polisitemia,
peningkatan tekanan intraabdomen dengan peningkatan stasis vena
terutama pada ekstremitas bawah, gagal jantung dan berkurangnya
aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan tingginya konsentrasi fibrinogen
juga menjadi predisposisi terjadinya keadaan ini. Oleh karena itu pada
penderita obesitas harus ada pengawasan terhadap keadaan-keadaan
tersebut.
KESIMPULAN
Obesitas menjadi kendala tersendiri bagi praktisi medis baik penanganan
secara umum maupun ketika dihadapkan dengan pertimbangan anestesi yang akan
dilakukan. Hal ini karena pada pasien obesitas, tiga masalah utamanya adalah
masalah kardiovaskular, respirasi dan gastrointestinal yang tiap penangannya juga
berbeda-beda. Maka bagi seorang dokter, perlu pemahaman menyeluruh tentang
apa yang harus dilakukan untuk keadaan seperti ini.
Dalam kaitan dengan anestesi, yang terpenting adalah setiap pasien yang akan
menjalani operasi atau dilakukan anestesi, perlu dimonitor berat badan, kelainan-
kelainan yang menyertai kondisi pasien atau kemungkinan kendala yang akan
dihadapi saat operasi atau pasca operasi. Pada premedikasi di ruangan atau di OK,
24 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
pasien dipersiapkan secara baik dan dilakukan pengamatan akan kelainan
metabolik yang mungkin ada. Jika harus diberikan terapi oral atau lainnya, maka
dapat dilakukan konsultasi dengan bagian lain. Proses pemindahan pasien juga
harus diperhatikan. Durante operasi, pemilihan jenis anestesi harus diperhatikan,
apakah nantinya dilakukan intubasi sadar atau tidak, obat-obatan yang boleh dan
tidak boleh diberikan, posisi pasien selama operasi tersebut dan pengamatan akan
metabolik pasien. Pasca operasi tidak boleh dilupakan, mengingat kemungkinan
banyaknya kejadian penurunan keadaan pasien dibanding sebelum operasi.
Premedikasi atau durante operasi atau durante anestesi tidak bisa meramalkan
keadaan pasien setelahnya. Bahkan bisa terjadi efek samping lambat baik dari
tindakan yang dilakukan maupun obat-obatan yang diberikan.(14)
Diperlukan kerjasama yang baik, dari dokter dan perawat anestesi, dokter
penyakit dalam maupun dokter bedah sehingga keberhasilan kesemuanya dapat
tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
1. Obesity and Anesthesia, Yes There is a Connection. [cite 2010 June 10]
Available from : www.health.am/ab/more/obesity-and-anesthesia-yes-
there-is-a-connection.
2. Understanding Cholelithiasis. [cite 2010 June 10] Available from :
http://win.nidkk.nih.gov/publications/understanding.htm.
3. What is obesity?.[cite 2010 June 10] Available from :
www.webmd.com/diet/what-is-obesity.
4. Body Mass Index. [cite 2010 June 10] Available from:
www.cdc.gov/nccdphp/dnpa/healthyweight/assesing/bmi/adult_BMI/about
_adult_BMI.html.
5. Obesity and Consequences.[cite 2010 June 10] Available from :
www.cdc.gov/nccdphp/dnpa/obesity/consequences.html
25 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )
6. Obesity. [cite 2010 June 10] Available from :
http://en.wikipedia.org/wiki/obesity.
7. Henthorn, T K, MD. Anesthetic Consideration in Morbidly Obese
Patients. [cite 2010 June 12] Available from :
http://cucrash.com/Handouts04/MorbObeseHenthorn.pdf.
8. Anesthesia and Morbidly Obesity. [cite 2010 June 11] Available from :
http://anestit.unipa.it/gta/obese.html.
9. Adams, J P and Murphy, P G. Obesity in Anesthesia and Intensive Care
(British Journal). [cite 2010 June 10] Available from :
http://bja.oxfordjournals.org/cgi/content/full/85/1/91.
10. Jr Morgan G E., Mikhail M S., Murray M J. Anesthesia For Patient with
Endocrine Disease : Obesity. Lange 4th Ed. Mcgraw-Hill Companies ;
2006 ; 813 - 15
11. Ingrande J., Brodsky J B., Lemmens H J M. Regional Anesthesia and
Obesity. [cite 2010 June 12] Available from :
http://www.csen.com/obesity.pdf.
12. Increase Anesthetic Risk For Patients With Obesity and Obstructive
Sleep Apnea.[cite 2010 June 11] Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2007481/pdf/anesthprog00
003-0005.pdf.
13. Anesthesia and Obesity. [cite 2010 June 12] Available from :
http://www.metrohealthanesthesia.com/edu/endocrine/obesity1.htm.
14. Anesthesia in Obese Patients. [cite 2010 June 10] Available from :
http://www.medin.ru/netcat_files/360_117.pdf.
26 | A l i f a M a z a y a A r d h i e ( 0 3 0 . 0 5 . 0 1 7 )