REFERAT DEVY.doc
-
Upload
brahma-putra-juliansyah -
Category
Documents
-
view
225 -
download
6
Transcript of REFERAT DEVY.doc
I. PENDAHULUAN
Imunisasi merupakan intervensi yang paling efektif dalam pencegahan
berbagai penyakit infeksi, dan merupakan salah satu perangkat terpenting dalam
pemeliharaan kesehatan masyarakat dan kesehatan anak (Peter G, 2004).
Imunisasi rutin pada anak-anak telah menyebabkan penurunan secara bermakna
kejadian penyakit infeksi di berbagai negara pada akhir abad ke-20, dan
menyelamatkan lebih dari 3 juta jiwa setiap tahun – sekitar 10 ribu jiwa perhari-
serta melindungi jutaan anak dari penyakit dan kecacatan menetap (Kane, 2002).
Pada umumnya, jadwal vaksinasi ditujukan pada anak sehat akan tetapi beberapa
kondisi atau keadaan khusus dapat menempatkan anak pada risiko kesakitan atau
kemungkinan menghadapi efek samping yang lebih berat akibat tindakan
imunisasi. Untuk kondisi khusus ini mungkin membutuhkan vaksin khusus, atau
memerlukan penundaan bahkan dapat merupakan suatu kontraindikasi pemberian
vaksin (Syawitri,2008).
Oleh karena itu, perlu diidentifikasi apakah bayi atau anak yang akan
dilakukan imunisasi termasuk ke dalam kelompok berisiko atau tidak. Kelompok
berisiko dibagi atas bayi berisiko dengan ibu berisiko. Pada bayi/anak yang
mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi atau perhatian khusus diperlukan
panduan. Kelompok ini termasuk bayi atau anak yang menderita defisiensi imun
/imunokompromais seperti bayi/ anak yang menderita infeksi HIV, anak dengan
penyakit keganasan, anak yang mendapat pengobatan imunosupresi, radioterapi,
transplantasi sumsum tulang/organ dari splenektomi, dan bayi prematur atau
mereka yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi
(Thomas,2008).
Kelompok ibu yang berisiko dapat menularkan infeksi yang diderita
terhadap bayi yang dilahirkan, perlu mendapat pertimbangan saat bayi akan
diimunisasi seperti pada ibu yang menderita HIV, hepatitis B, dan tuberkulosis.
Dalam kesempatan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pemberian imunisasi
pada anak dengan kondisi khusus yaitu bayi atau anak dalam keadaan defisiensi
imun dan keadaan khusus lainnya secara garis besar.
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Imunisasi Pada Anak Imunokompromais
1. Imunisasi Pada Bayi Kurang Bulan Dan Berat Lahir Rendah
Usia gestasi dan berat badan lahir tidak membatasi pemberian vaksin
sesuai jadwal bila secara klinis kondisinya stabil. Pada prinsipnya
imunisasi pada bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah yang telah
mencapai usia kronologis 2 bulan dan masih dirawat di rumah sakit, dapat
dipertimbangkan bila kondisinya stabil sehingga imunitas dan safety
vaksin akan optimal. Kondisi bayi dianggap stabil bila telah tertanganinya
masalah kardiovaskuler, respirasi, infeksi berat, penyulit metabolik dan
adanya kenaikan berat badan yang sesuai (Pickering,2009).
Vaksin Hepatitis B merupakan satu-satunya vaksin yang terbukti
menimbulkan respon lebih rendah pada bayi prematur dan berat badan
lahir rendah, sehingga pada bayi yang lahir dari ibu Hb-Ag negatif
pemberiannya ditunda hingga bayi mencapai berat 2000 gram atau usia 1
bulan. Bayi yang lahir dari ibu seropositif diberikan Imunoglobulin
Hepatitis B (HBIG) dalam 12 jam pertama dan vaksin HBV 0, selanjutnya
2 dosis selanjutnya pada usia kronologis 1 dan 6 bulan. Sedangkan pada
bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2000 gram, vaksin HBV
selanjutnya diberikan 3 kali pada usia kronologis 1, 2-3, dan 6-7 bulan
(Tabel 1) (Esposito,2009).
Tabel 1 Skema imunoprofilaksis Hepatitis B pada bayi kurang bulan dan BBLR
2
Status Ibu Bayi > 2000 gram Bayi < 2000 gramHBs positif HBV + HBIG (12 jam paska
lahir)HBV+HBIG (12 jam paska lahir)
3 dosis HBV (0,1,6 bulan) 4 dosis HBV (0,1,2-3 bulan, 6-7 bulan)
HbsAg dan ant HBs negatif, imunisasi 3 dosis dengan interval 2 bulan kemudian periksa kembali serologi
HbsAg dan ant HBs negatif, imunisasi 3 dosis dengan interval 2 bulan kemudian periksa kembali serologi
HBs tidak diketahui
HBV (12 jam) + HBIG (dalam 7 hari paska lahir) bila ibu seropositif
HBV + HBIG (12 jam paska lahir)
Periksa serologi ibu segera Periksa serologi ibu segera, bila tidak tersedia dalam 12 jam, berikan HBIG
HBs negatif HBV saat lahir HBV 1 pada usia kronologis 30 hari (bila stabil) atau saat keluar dari RS sebelum usia 30 hari
3 dosis HBV (usia kronologis 0-2, 1-4 dan 6-18 bulan)
3 dosis HBV saat usia kronologis 1-2, 2-4 dan 6-18 bulan
HBV kombinasi dapat diberikan mulai usia kronologis 6-8 minggu
HBV kombinasi dapat diberikan mulai usia kronologis 6-8 minggu
Tidak diperlukan pemeriksaan serologis
Tidak diperlukan pemeriksaan serologis
Sumber : Saari, 2003 2. Imunisasi Pada Anak Imunokompromais
Sebelum memberikan vaksinasi pada anak dengan imunokompromais,
harus dilakukan penilaian terlebih dahulu atas hal-hal sebagai berikut,
yaitu:
a. Intensitas dan lama pemberian zat imunosupresan
b. Risiko dan keuntungan yang diperoleh dalam usaha menghindari
tertular suatu penyakit
Kondisi imunokompromais dapat terjadi primer dan sekunder.
Gangguan imunitas primer berkaitan dengan defek bawaan yang
melibatkan defek sel B ,sel T, atau defek pada sistim komplemen dan
fungsi fagosit, sehingga respon imun tidak berjalan sebagaimana mestinya
dan anak menjadi rentan terhadap penyakit infeksi. Kondisi
3
imunokompromais sekunder atau didapat pada penderita infeksi HIV,
keganasan, transplantasi organ atau splenektomi, pengobatan
imunosupresif, antimetabolik atau radiasi dan penyakit lain yang
mengganggu sistem imun seperti malnutrisi berat (Pickering, 2009).
Respon imun pada anak dengan keganasan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yang terkait dengan pemberian kemoterapi dan transfusi komponen
darah. Selama kemoterapi fase intensif, vaksin biasanya tidak efektif.
Kemoterapi menurunkan respons imun sehingga vaksinasi tidak akan
optimal apabila diberikan pada sebelum atau segera setelah kemoterapi,
terapi ,atau terapi dengan kortikosteroid dosis tinggi/prednison 2
mg/kg/hari selama minimal 14 hari. Seorang anak tidak dianggap
mengalami imunosupresi bila mendapat kortikosteroid sistemik dosis
rendah sampai sedang, termasuk pemberian topikal dan injeksi lokal
(Allen,2007).
Anak dengan keganasan memiliki risiko yang lebih besar untuk
mengalami kejadian ikutan paska imunisasi (KIPI) dibandingkan anak
sehat (Pickerin,2009). Pengaruh obat imunosupresan lebih besar pada
respons imun primer dibandingkan pemberian booster.,13,15 Untuk anak
yang mendapat kortikosteroid dosis tinggi selama lebih dari 2 minggu,
imunisasi ditunda sedikitnya 1 bulan dan bila steroid dosis tinggi diberikan
kurang dari 2 minggu imunisasi hanya ditunda 2 minggu setelah dosis
terakhir (Allen,2007).
Vaksin yang berisi virus/bakteri hidup (MMR, BCG, varisela, tifoid
oral, polio oral, yellow fever, influenza intranasal) merupakan
kontraindikasi pada anak dalam keadaan imunosupresi dan pemberiannya
harus ditunda sampai respons imun kembali normal. Khusus pada anak
penderita leukemia limfoblastik akut (ALL) yang mendapat kemoterapi,
AAP merekomendasikan pemberian vaksin hidup bila penderita telah
remisi selama 1 tahun, hitung limfosit total mencapai 700/mm3 dan
trombosit diatas 100.000/mm3 atau 24 bulan setelah transplantasi sumsum
tulang tanpa penyakit rejeksi jaringan.
4
Transfusi darah turut mempengaruhi respons terhadap vaksin berisi
virus hidup sehingga diperlukan waktu washout, yakni periode waktu
tertentu yang diperlukan oleh tubuh untuk mengembalikan respon imun
setelah diberikan imunoglobulin atau komponen darah sehingga optimal
untuk memberikan respon terhadap vaksin hidup, yang lamanya
tergantung pada jumlah dan jenis komponen yang diberikan (tabel 2)
(Sung,2001). Vaksin yang berisi bakteri/virus inaktif atau komponen atau
konjugat bukan kontraindikasi bagi anak dengan kondisi imunosupresi.
Vaksinasi DTaP, IPV, HiB, influenza, pneumokokus dan meningokokus
dapat diberikan setelah 3 minggu sampai 1 tahun setelah kemoterapi atau
imunosupresan, dan dengan mempertimbangkan anak telah dalam kondisi
imun yang adekuat, yaitu hitung limfosit total lebih dari 1000/mm.
Vaksinasi dapat pula diberikan selama kemoterapi fase maintainance,
dengan ditambahkan booster setelah 3 bulan kemoterapi selesai ( Esposito,
2009). Perhatian khusus mengenai vaksinasi bagi anak imunokompromais
meliputi pemberian vaksinasi terhadap anggota keluarga/kontak serumah
dan petugas kesehatan terhadap penyakit infeksi yang berpotensi menular.
Anggota keluarga harus mendapat imunisasi varisela, MMR, IPV dan
influenza. Sedangkan OPV tidak disarankan untuk diberikan kepada
anggota keluarga karena berpotensi menjadi sumber penularan bagi anak
imunokompromais (Gedalia,2004).
5
Tabel 2 Periode washout untuk pemberian imunisasi MMR setelah transfusi
komponen darah
Produk Indikasi Dosis Interval (bulan)
Imunoglobulin Hepatitis AProfilaksis KontakInternational travel
0.2 ml/kg0.3 ml/kg
33
Profilaksis CampakKontak normalKontak imunokompromais
0.25 ml/lg0.5ml/kg
56
IVIG Terapi defisinesi antibodi
Terapi ITP atau penyakit Kawsaki
160mg/kg320mg/kg640mg/kg
>1280mg/kg
789
>10 bulanHBIG Profilaksis Hepatitis B 0.06ml.kg 3IG Rabies Profilaksis rabies 20 IU/kg 4IG Tetanus Profilaksis tetanus 250 IU 3IG Varisela Zoster Profilaksis varisela 125 IU/10 kg 5
Washed red cell 10ml/kg 0Packed red cell 10ml/kg 6Whole blood 10ml/kg 6Plasma/ trombosit 10ml/kg 7IG RSV 75mg/kg 10Sumber : Sung dkk,2001
3. Imunisasi Pada Anak Dengan Infeksi Hiv
Imunogenitas dan efektivitas vaksinasi bagi anak dengan infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah banyak dipelajari dan WHO
merekomendasikan pemberian vaksin bagi anak dengan infeksi HIV
meskipun secara umum responnya lebih rendah dibandingkan anak sehat.
Respons imun yang tidak optimal setelah vaksinasi berkaitan dengan defek
respons memori atau tidak adanya sel memori pada anak dengan infeksi
HIV. Komplikasi serius pernah dilaporkan setelah pemberian vaksinasi
BCG dan yellow fever. Panduan vaksinasi yang dikeluarkan WHO untuk
anak yang lahir dari ibu terinfeksi HIV sedikit berbeda dengan panduan
umum imunisasi, terutama pemberian vaksinasi BCG dan yellow fever
yang tidak dianjurkan bagi anak dengan infeksi HIV simtomatik. Selain itu
imunisasi berpotensi mengaktivasi proliferasi sel T, pelepasan sitokin dan
6
meningkatkan replikasi HIV-1 sehingga menimbulkan gangguan
imunologis (Moss, 2003).
Risiko meningkatnya morbiditas dan mortalitas penyakit yang dapat
dicegah melalui imunisasi pada anak dengan HIV dipertimbangkan lebih
berbahaya dibandingkan efek samping dari vaksinasi tersebut, sehingga
WHO membuat rekomendasi imunisasi rutin yang dimodifikasi untuk anak
dengan infeksi HIV. Anak yang telah diketahui atau dicurigai terinfeksi
HIV namun asimptomatik direkomendasikan untuk mendapat semua
imunisasi rutin dengan modifikasi;
a. Dosis ekstra imunisasi campak pada usia 6 bulan yang ditujukan untuk
mendapatkan perlindungan terhadap penyakit lebih awal dibandingkan
anak yang tidak terinfeksi HIV
b. Anak dengan infeksi HIV simtomatik tidak diberikan imunisasi BCG,
hal ini didasarkan pada risiko paparan tuberkulosis.Anak dengan HIV
asimtomatis , bila daerah risiko TBC tinggi maka tetap diberikan BCG
pada saat baru lahir, sesuai jadwal standar pada Expanded Programme
on Immunization. Sebaliknya bila risiko TBC rendah dan maka
pemberian imunisasi BCG tidak diperlukan
c. Anak dengan infeksi HIV simtomatik tidak diberikan vaksin hidup
yellow fever (Moss,2003).
Pemberian imunisasi pada anak dengan infeksi HIV dalam
rekomendasi WHO dan Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP) dirangkum dalam tabel 3.
4. Imunisasi Pada Anak Dengan Asplenia/Hiposplenia
Asplenia anatomis maupun fungsional menyebabkan peningkatan
risiko terjadinya bakteriemai fulminan dengan angka kematian yang tinggi.
Pneumokokus dan HiB merupakan mikroorganisme penyebab tersering,
selanjutnya yaitu meningokokus, streptokokus lainnya, serta E. coli.
Pemberian vaksin konjugat pneumokokus dan meningokokus serta HiB
sangat dianjurkan.
Pada splenektomi dianjurkan untuk pemberian imunisasi pneumokok
dan Hib sebelum pengangkatan limpa. Pemberian profilaksis antibiotik 7
dengan penisilin dianjurkan untuk penderita anemia sickle cell dan
thalasemia terhadap infeksi pneumokok. Dosis yang dianjurkan 2 x 125mg
sehari untuk anak kurang dari 5 tahun dan 2 x 250mg sehari untuk anak >
5 tahun. Dapat juga profilaksis dengan amoksilin 20 mg/kg sehari. Harus
dijelaskan kepada orang tua bahwa walaupun sudah mendapat profilaksis
antibiotika anaknya masih dapat menderita infeksi oleh kuman lain,
sehingga bila demam harus segera berobat untuk menghindarkan sepsis
( CDC, 2011).
Tabel 3. Rekomendasi Imunisasi pada anak dengan infeksi HIV
VaksinWHO/ UNICEF ACIP
Asimptomatik Simptomatik Anak dengan HIV/AIDS
BCG Lahir Tidak Tidak
DPT Usia 6,10,14 minggu
Tidak DTaP
OPV Usia 0,6,10,16 minggu
Ya Tidak (gunakan IPV)
Campak(dalam MMR)
Usia 6 dan 9 bulan
Ya (tidak bila imunodefisiensi
berat)
Ya (tidak bila CD4+ < 15%)
Hepatitis B Ya (anak tidak terinfeksi)
Ya Ya
Yellow fever Ya Tidak Ya
Pneumokokus Ya Ya Ya
Hib Ya Ya Ya
Meningokokal Ya Ya Ya
Influenza Setiap tahun Setiap tahun Ya (usia >6 bulan)
Varisela Ya Ya (tidak bila CD4+ <15%)
Bila ada indikasi
Antraks Belum ada rekomendasi Bila ada indikasi
Sumber : Obaro dkk, 2004; Pickering dkk,20065. Imunisasi Pada Anak Yang Menerima Transplantasi
Resipien transplantasi sumsum tulang (TST) alogenik akan menjadi
defisiensi imun disebabkan 4 komponen
a. pengobatan imunosupresi terhadap penyakit primer,
b. kemoterapi dan radioterapi yang diberikan pada pejamu
c. reaktivitas imunologi antara graft dan pejamu, serta
8
d. pengobatan imunsupresi yang diberikan setelah transplantasi
dilakukan.
Sedangkan pada transplantasi sumsum tulang otology hanya
komponen (1) dan (2) yang berperan. Rekomendasi yang dianjurkan pada
pasien transplantasi sumsum tulang tampak pada Tabel 3. Pada TST
alogenik, system imun resipien digantikan oleh system imun pejamu
(IAPCOI,2006).
Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan, pada pasien diberikan
imunisasi polio dan DPT terlebih dahulu; karena terbukti setelah
transplantasi, imunitas terhadap virus polio, tetanus, dan difteri hampir
tidak ada. Penelitian klinis menunjukkan bahwa bila donor diberikan
imunisasi difteri dan tetanus sebelum transplantasi dilakukan kemudian
segera setelah itu diberikan imunisasi pada resipien dengan antigen yang
sama akan memberikan respons yang baik. Hal yang sama dapat dilakukan
dengan vaksin inaktif pertusis, Hib, hepatitis B, pneumokok dan IPV
(inactivated polio vaccine).
Pada TST otologus tidak terdapat perbedaan imunologik antara graft
dan pejamu, sehingga regenerasi sistem imun lebih cepat dan bahaya
infeksi pun tidak seperti pada transplantasi alogenik. Pada transplantasi
TST alogenik, sistem imun resipien digantikan oleh sistem imun pejamu.
Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan diberikan imunisasi terlebih
dahulu kepada resipien (Succi, 2006).
Imunisasi influenza dapat diberikan 1 tahun setelah transplantasi, dan
diulangi setiap tahun sebelum epidemi tiba. Imunisasi dengan hepatitis B
diberikan setelah 1 tahun transplantasi. Pasien berumur di atas 12 tahun
yang akan mendapat organ transplantasi sebaiknya diperiksa terlebih
dahulu titer antibodi campak, rubela dan varisela. Mereka yang berisiko
tinggi harus mendapat imunisasi MMR sebelum transplantasi dilakukan.
Waktu terbaik adalah 1 bulan sebelum transplantasi dilakukan. Titer
antibodi setelah setahun transplantasi sebainya diperiksa. Pada mereka
yang rentan infeksi bila kontak dengan pasien campak, varisela dan rubella
sebaiknya diberikan imunisasi pasif dengan imunoglonulin dan bila
9
mungkin titer antibodi diperiksa terlebih dahulu. Karena hanya sedikit data
mengenai imunisasi pada pasien transplantasi, setiap senter mempunyai
pengalaman dan cara yang berbeda ( CDC, 2011).
Tabel 4.Rekomendasi imunisasi untuk pasien transplantasi sumsum tulang
Vaksin Transplantasi TST alogenik
Transplantasi TST otologus
Keterangan
DPT Ya YaPolio (IPV) Ya YaCampak Epidemik
campakHanya pada penderita anak
Tidak diberikan dalam 24 bulan setelah transplantasi. Tidak pada GVHD.
Rubella Ya Ya Terutama wanitaHib Ya Ya 2 dosis mulai 6-12 bulan
setelah transplantasiHepatitis B Ya Ya 12 bulan setelah
transplantasi. Pneumokok Ya ? Hasil tidak baik pada
GVHD.Varisela Tidak Anak dan
dewasa mudaTidak dalam masa 24 bulan setelah transplantasi. Tidak pada GVHD.
Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA, 2004Keterangan : TST = Transplantasi Sumsum Tulang, GVHD = Graft Versus Host Disease
6. Imunisasi Sehubungan Dengan Pemberian Produk Darah Yang
Mengandung Antibodi
Vaksin inaktif dapat secara aman diberikan secara simultan pada
tempat yang berbeda dengan jalur pemberian produk darah mengandung
antibodi, tanpa menyebabkan kehilangan imunogenisitas dan efikasinya
(kecuali pemberian RIG 7 hari setelah pemberian vaksin rabies). Vaksin
hidup seperti MMR dan varisela harus dihindari sekurangnya 3 bulan
setelah pemberian produk darah, demikian juga produk darah tersebut
dihindari diberikan sekurangnya 2 minggu setelah pemberian vaksin di
atas. Bila terlanjur terjadi, maka perlu diperiksakan respon serologi dan re-
vaksinasi bila diperlukan. Vaksin tifoid oral, OPV, LAIV, dan yellow fever
vaccine dapat diberikan kapan saja sehubungan dengan pemberian produk
darah yang mengandung antibodi tersebut (IAPCOI, 2006).
10
B. Imunisasi Dalam Keadaan Khusus Lainnya
1. Imunisasi Pada Anak Sakit
Seluruh imunisasi ditunda hanya pada kasus dengan keadaan sakit
yang serius. Vaksinasi boleh diberikan saat anak mengalami infeksi
saluran pernafasan atas yang ringan maupun dengan diare ringan, sehingga
jadwal imunisasi tidak terlewat. Anak yang dirawat dapat melengapi
jadwal imunisasinya segera setelah dipulangkan dari rumah sakit
( IAPCOI, 2006).
2. Imunisasi Pada Anak Dengan Penyakit Kronis
Anak dengan kelainan neurologis, endokrinologis (diabetes), liver,
renal, hematologi, kardiologi, pulmonal dan gaastrointestinal sangat peka
terhadap infeksi, sehingga harus diberikan imunisasi seperti anak sehat,
kecuali sudah terjadi defisiensi imun sekunder. Vaksin hidup dapat
diberikan secara aman pada anak-anak ini. Sangat dianjurkan untuk
imunisasi terhadap influenza dan pneumokokus. Imunogenisitas dan
efikasi serta durasi proteksi vaksin memang lebih rendah dibandingkan
anak sehat, sehingga penting untuk secara berkala memeriksakan titer
antibodi terhadap vaksin dan dipertimbangkan pemberian boosters
(CDC,2011).
3. Imunisasi Pada Anak Dengan Riwayat Alergi
Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius
setelah imunisasi, harus diberikan imunisasi berikutnya di rumah sakit
dengan pengawasan dokter. Imunisasi pada anak dengan riwayat
hipersensitivitas dan anafilaksis terhadap komponen vaksin tentunya
merupakan kontraindikasi. Produk vaksin harus selalu diperiksa baik
tanggal pembuatan, nomor batch, kandungan pengawet dan antibiotika di
dalamnya. Anak dengan riwayat alergi protein telur sebaiknya tidak
menerima vaksin influenza dan yellow fever, namun dengan aman dapat
menerima vaksin lain termasuk campak dan MMR. Rekasi
hipersensitivitas yang ringan tidak menjadi suatu kontraindikasi terhadap
pemberian vaksin tersebut kembali. Dengan demikian, setelah pemberian 11
vaksin, maka anak perlu dimonitor sekurangnya 15 menit untuk melihat
adanya reaksi alergi. Dengan demikian perlu disiapkan alat resusitasi pada
tempat yang memberikan pelayanan vaksinasi (Succi, 2006).
4. Imunisasi Pada Riwayat Paparan Dengan Penyakit Infeksi Menular
Pemberian vaksinasi setelah terpapar dengan penyakit menular bertujuan
untuk mencegah penyebaran penyakit, sebagai bagian dari sistem
surveilans epidemiologi. Berikut adalah jadwal pemberian imunisasi
setelah paparan dengan penyakit infeksi menular ( Syawitri, 2008).
Tabel 5. Imunisasi dan kondisi terpapar infeksi
Paparan infeksi Inkubasi Pemberian vaksinasiCampak 8-12 hari 0-72 jam paparanVarisela 14-16 hari 0-72 jam paparanRubella 14-23 hari Tidak perluGondongan 12-25 hari Tidak perluHepatitis B 14-160 hari Perlu aktif dan pasif segera dalam 12
jamTetanus 24jam – beberapa
bulanPerlu aktif dan pasif
Hepatitis A 15-50 hari Tidak perlu
5. Imunisasi Pada Anak Dengan Gangguan Perdarahan Dan Atau
Menerima Terapi Antikoagulan
Bila tidak merupakan kontraindikasi, jalur pemberian vaksinasi yaitu
secara subkutan. Pada vaksin yang mengandung adjuvan alumunium yang
hanya bisa diberikan secara intramuskuler, pemberian ditunda sampai anak
mendapat terapi antikoagulan, dengan menggunakan jarum berukuran
paling kecil, dan setelah disuntik dilakukan penekanan sekurangnya 5
menit untuk membantu pembekuan dan mencegah perdarahan ( IAPCOI,
2006).
6. Imunisasi Pada Ibu Menderita Tuberkulosis
Bayi dilahirkan ibu menderita (TB) paru aktif sesaat sebelum,
sesudah lahir, dan mendapat pengobatan kurang 2 bulan sebelum
melahirkan, tidak cukup terlindungi dengan vaksinasi BCG. Tindakan
yang dilakukan,
a. Jangan diberi BCG pada saat setelah lahir.
12
b. Beri pencegahan dengan isoniazid (INH) 5 mg/kg BB sekali sehari per
oral.
c. Pada umur 8 minggu evaluasi bayi kembali, berat badan, dan lakukan
pemeriksaan uji tuberkulin dan foto dada bila memungkinkan.
d. Apabila ditemukan kemungkinan TB aktif, mulai diberi pengobatan
anti TB sesuaikan program pengobatan TB pada bayi.
e. Apabila kondisi bayi baik dan hasil uji tuberkulin negatif lanjutkan
pencegahan dengan isoniazid dalam waktu 6 bulan.
f. Tunda pemberian BCG sampai 2 minggu setelah pengobatan selesai.
Bila BCG sudah terlanjur diberikan, ulangi pemeriksaan 2 minggu
setelah pengobatan INH selesai.
g. Yakinkan ibu bahwa ASI tetap boleh diberikan dan catat berat badan
bayi tiap 2 minggu.
III KESIMPULAN
Imunisasi merupakan intervensi yang paling efektif dalam pencegahan
berbagai penyakit infeksi, dan merupakan salah satu perangkat terpenting dalam
pemeliharaan kesehatan masyarakat dan kesehatan anak. Pada umumnya, jadwal
vaksinasi ditujukan pada anak sehat akan tetapi beberapa kondisi atau keadaan
13
khusus dapat menempatkan anak pada risiko kesakitan atau kemungkinan
menghadapi efek samping yang lebih berat akibat tindakan imunisasi. Untuk
kondisi khusus ini mungkin membutuhkan vaksin khusus, atau memerlukan
penundaan bahkan dapat merupakan suatu kontraindikasi pemberian vaksin.
Pada keadaan khusus, dimana kemungkinan respon vaksinasi tidak adekuat
atau dikhawatirkan terjadi efek samping dari vaksin yang mungkin merugikan,
maka pemberian vaksinasi harus dipertimbangkan secara individual. Dengan
pengetahuan dan keterampilan yang memadai mengani vaksinasi, maka dapat
dijadwalkan pemberian vaksin yang aman dan dapat memberikan efek proteksi
maksimal bagi setiap anak.
DAFTAR PUSTAKA
Allen U. 2007. Immunizations for children with cancer. Pediatr Blood
Cancer.49:1102-8.
Center for Disease Control. 2009. Immunization programme. (diakses 05
September 2015). Diunduh dari www.cdc.gov.
14
Esposito S, Serra D, Gualtieri L, Cesati L, Principi N.2009. Vaccines and preterm
neonates: why, when and with what. Earl Hum Dev.85:S43-S5.
Gedalia A, Shetty A. 2004. Chronic steroid and immunosuppressant therapy in
children. Ped Rev.25:425-34.
Halsey NA, Asturias EJ.1999. Immunization. Dalam: McMillan JA, DeAngelis
CD, Feigin RD, Warshaw JB, editor. Oski’s pediatrics principles and
practice. Edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.h.479-91.
IAPCOI.2006. Immunization in special situations. (diakses 05 September 2015).
Diunduh dari www.iapcoi.com
Kane Mark, Lasher H. 2002. The Case for childhood immunization. Washington:
Chidren’s vaccine program.
Moss W, Clements C, Halsey N.2003. Immunization of children at risk of
infection with human immunodeficiency virus. Bull WHO. 81(1):61-70.
Obaro S, Pugatch D, Luzuriaga K.2004. Immunogenicity and efficacy of
childhood vaccines in HIV-1-infected children. Lancet Infect Dis. 4:510-8.
Peter G.2004. Immunization practices. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
WB Saunders Co.h.1174-84.
Pickering L, Baker C, Kimberlin D, Long S. Red Book Online: 2009 Report of the
Committee on Infectious Diseases.Edisi ke 27. Elk Grove Village: American
Academy of Pediatrics.
Saari TN.2003. Immunization of preterm and low birth weight infants. Pediatrics.
112(1):193-8.
Succi RC, Farhat CK. 2006. Vaccination in special situations. Jour Ped.
82(3):S91-100
Sung L, Heurter H, Zokvic K, Ford-Jones E, Weitzman S, Freedman R, dkk.
2001. Practical vaccination guidelines for chidren with cancer. Pediatr Child
Health.6(6):379-83.
Syawitri P S. 2008. Imunisasi Kelompok Beresiko . Dalam Ranuh IGN, Soeyitno
H, Hadinegoro SR, Kartasasmita C, Ismudiyanto, Soedjatmiko, penyunting .
Buku imunisasi di Indonesia. Jakarta: Satgas Imunisasi IDAI, 2008:303-314.
15
Tavares E, Ribeiro J, Oliveira L.2005. Active and passive immunization in the
extremely preterm infant. J Pediatr. 81:s89-s94.
Thomas C.m. 2008. Immunization consideration for children receiving
immunosuppressive therapy. (diakses 05 September 2015). Diunduh dari
www.childrenhospital.go.th
16