REFERAT FIX

41
REFERAT MANAGEMEN NYERI PADA BEDAH MINOR Disusun Oleh: Putri Fitrania G1A210102 Nindia E. Winda G1A210103 SMF ANESTESI DAN RAWAT INTENSIF

description

REFERAT FIX

Transcript of REFERAT FIX

Page 1: REFERAT FIX

REFERAT

MANAGEMEN NYERI PADA BEDAH MINOR

Disusun Oleh:

Putri Fitrania G1A210102

Nindia E. Winda G1A210103

SMF ANESTESI DAN RAWAT INTENSIF

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

2011

Page 2: REFERAT FIX

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya

kerusakan atau penyakit di dalam tubuh. Tujuan dari manajemen nyeri pada bedah

minor adalah untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan

ketidaknyamanan pasien dengan efek samping seminimal mungkin. Pereda nyeri

pada bedah minor haruslah mencerminkan kebutuhan masing-masing pasien dan

hal ini dapat dicapai dengan mempertimbangkan berbagai macam faktor. Faktor-

faktor tersebut dapat dirangkum sebagai faktor klinis, patient-related factors, dan

faktor lokal. Pada analisa akhir, ditemukan bahwa penentu utama kecukupan dari

pereda nyeri pascaoperasi adalah persepsi pasien itu sendiri terhadap rasa sakit.

Pengolahan nyeri pada bedah minor yang tidak tepat atau keterlambatan

penanganannya dapat menimbulkan perubahan fisiologi tubuh, berupa

peningkatan aktivitas simpatis, gangguan neuroendokrin dan metabolisme, serta

menggangu kerja otot-otot tubuh, memperlambat mobilisasi sehingga

meningkatkan resiko trombosis, selain itu juga menyebabkan gangguan psikologis

seperi rasa takut, cemas dan gangguan tidur. Dengan semakin berkembangnya

pemahaman terhadap patofisiologi dan epedimiologi nyeri, perhatian terhadap

penatalaksanaan nyeri semakin meningkat sebagai usaha untuk meningkatkan

pelayanan dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasca bedah pada bedah

minor.

Page 3: REFERAT FIX

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. NYERI

A.1. Definisi Nyeri

Nyeri adalah perasaan yang tidak menyenangkan pada tubuh yang

menandakan ada sesuatu yang “salah” pada tubuh. Nyeri didefinisikan

sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya

diketahui bila seseorang pernah mengalaminya.

Menurut IASP (International Association for the Study of Pain), nyeri

di definisikan sebagai “an unpleasant sensory and emotional experience

associated with actual or potential tissue damage or described in term of

such damage”. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang

tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun

potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.

Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa pengertian antara lain:

1. Nyeri adalah perasaan inderawi yang tidak menyenangkan, artinya

unsur utama yang harus ada untuk disebut nyeri, adalah rasa tidak

menyenangkan. Tanpa unsur itu, tak dapat dikategorikan sebagai nyeri,

walaupun sebaliknya, tidak semua yang tidak menyenangkan dapat

disebut sebagai nyeri.

2. Nyeri merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan,

artinya persepsi nyeri seseorang ditentukan oleh pengalamannya dan

status emosionalnya. Persepsi nyeri sangat bersifat pribadi dan

subjektif. Oleh karena itulah maka, suatu rangsang yang sama dapat

Page 4: REFERAT FIX

dirasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda, bahkan suatu

rangsang yang sama dapat dirasakan berbeda oleh satu orang karena

keadaan emosionalnya yang berbeda.

3. Nyeri terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain

associated with actual tissue damage). Nyeri yang demikian disebut

sebagai nyeri akut (acute pain) yang diharapkan menghilang seiraima

dengan proses penyembuhannya. Nyeri yang demikian inilah yang

banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

4. Nyeri dapat juga terjadi oleh suatu rangsang yang cukup kuat

(rangsang noksius), yang berpotensi merusak jaringan. Nyeri yang

demikian disebut sebagai nyeri fisiologik (physiological pain) yang

fungsinya untuk membangkitkan refleks proteksi guna mencegah

terjadinya kerusakan jaringan lebih lanjut.

5. Nyeri dapat juga terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan, tetapi

tergambarkan seolah-olah terdapat kerusakan jaringan yang hebat

(pain described in term such damage). Nyeri yang terakhir ini justru

timbul setelah penyembuhan usai, dan jika berlangsung lebih dari 3

bulan digolongkan sebagai nyeri kronik (chronic pain).

A.2. Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah

ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus

kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga

Page 5: REFERAT FIX

nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang

bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam

beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep

somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda,

nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor

kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah

ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan

kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta.

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det)

yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang

apabila penyebab nyeri dihilangkan.

b. Serabut C.

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)

yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat

tumpul dan sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang

terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan

penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang

timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini

meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan

sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif

Page 6: REFERAT FIX

terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,

iskemia dan inflamasi.

Mekanisme nyeri antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang

nyeri, sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri, terdapat suatu rangkaian

proses elektro fisiologik yang secara kolektif disebut nosisepsi

(nociception). Ada empat proses yang jelas yang terjadi pada suatu

nosisepsi, yakni:

1. Proses transduksi (transduction), merupakan proses di mana suatu

rangsang nyeri (noxious stimuli) diubah menjadi suatu aktifitas listrik,

yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf (nerve endings). Rangsang

ini dapat berupa rangsang fisik, suhu, ataupun kimia.

2. Proses transmisi (transmission), dimaksudkan sebagai perambatan

rangsang melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi. Transmisi

nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari tempat

transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di medulla

spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medulla

spinalis ke otak.

3. Proses modulasi (modulation), adalah proses di mana terjadi interaksi

antara sistem analgesilk endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke

kornu posterior. Modulasi nyeri melibatkan aktifitas saraf melalui

jalur-jalur saraf desendens dari otak yang dapat mempengaruhi

transmisi nyeri setinggi medulla spinalis. Modulasi juga melibatkan

faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktivitas

di reseptor nyeri aferen primer. Analgesik endogen ini meliputi

Page 7: REFERAT FIX

endorfin, serotonin, dan noradrenalin yang memiliki kemampuan

menekan asupan nyeri pada kornu posterior. Kornu posterior ini dapat

diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup atau terbuka

dalam menyalurkan asupan nyeri. Peristiwa terbuka dan tertutupnya

pintu gerbang tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen di

atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi

sangat pribadi dan subjektif pada setiap orang. Hal ini sangat

dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pendidikan, atensi, serta

makna atau arti dari suatu rangsang;

4. Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang

kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan

modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang

subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

A.3. Respon Fisiologis Terhadap Nyeri

1. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

a. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

b. Peningkatan heart rate

c. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

d. Peningkatan nilai gula darah

e. Diaphoresis

f. Peningkatan kekuatan otot

g. Dilatasi pupil

h. Penurunan motilitas GI

Page 8: REFERAT FIX

2. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

a. Muka pucat

b. Otot mengeras

c. Penurunan HR dan BP

d. Nafas cepat dan irreguler

e. Nausea dan vomitus

f. Kelelahan dan keletihan

3. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

a. Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus

mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang

melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan

fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena

mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani

dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal

jika nyeri diperiksakan.

b. Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda

secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi

faktor budaya

c. Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka

berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut

kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena

Page 9: REFERAT FIX

mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada

nyeri.

d. Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap

nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.

e. Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang

meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan

upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.

Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi

nyeri.

f. Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa

menyebabkan seseorang cemas.

g. Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan

saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah

mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri

tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

h. Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri

dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan

seseorang mengatasi nyeri.

Page 10: REFERAT FIX

i. Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada

anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan

perlindungan

A.4. Respon tingkah laku terhadap nyeri

a. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas,

Mendengkur)

b. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

c. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan

gerakan jari & tangan

d. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari

percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian,

Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)

A.5. Pembagian Nyeri

Secara klinis nyeri dibagi ke dalam dua kategori yaitu

1. Nyeri akut ( biasanya karena nosisepsi)

Merupakan nyeri yang disebabkan stimulus noksious karena suatu

cidera, proses penyakit atau fungsi abnormal otot dan visera. Sifatnya

hampir selalu nosisepsi. Pengalaman sensoris pada nyeri akut

disebabkan oleh stimulus noksious yang diperantarai oleh sistem

sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui

spinalis, batang otak, talamus, dan korteks cerebri. Dua tipe nyeri akut

yaitu nyeri somatik dan nyeri viseral, yang dibedakan berdasarkan asal

nyeri dan gambaran klinisnya.

Page 11: REFERAT FIX

2. Nyeri kronis

Merupakan nyeri yang menetap melebihi rentang waktu suatu

proses akut atau melebihi kurun waktu normal tercapainya suatu

penyembuhan, periodenya dapat bervariasi dari 1 hingga 6 bulan. Nyeri

kronik dapat bersifat nosiseptif, neuropatik, atau gabungan keduanya.

Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat

perbaikan kerusakan jaringan. Sensitivitas akan meningkat, sehingga

stimulus nonnoksious atau noksious ringan yang mengenai bagian yang

meradang akan menyebabkan nyeri.

A.6. Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

1. Skala intensitas nyeri deskriptif

2. Skala nyeri intensitas numerik

Page 12: REFERAT FIX

3. Skala analog visual

4. Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :

0 : Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti

perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat, secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti

perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan

lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan

alih posisi nafas panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,

memukul.

Page 13: REFERAT FIX

B. BEDAH MINOR

B.1. Definisi Bedah Minor

Bedah Minor adalah tindakan operasi ringan yang biasanya

dikerjakan dengan anestesi lokal.

Bedah Minor merupakan pembedahan dimana secara relatif

dilakukan secara simple, tidak memiliki resiko terhadap nyawa pasien

dan tidak memerlukan bantuan asisten untuk melakukannya. Contoh

kasus pada bedah minor antara lain luka robek, membuka abses

superficial, pembersihan luka, inokulasi, dll.

B.2. Anestesi lokal pada bedah minor

Anestesi lokal pada bedah minor bergantung pada kelarutan

dalam lemak, ikatan protein, dan aktivitas visodilator. Teknik anestesi

pada anestesi lokal yaitu jarum ditusukkan dengan sudut 45o sampai

mencapai jaringan lemak subcutan.

B.3. Peralatan pada bedah minor

Peralatan pada bedah minor antara lain instrumen pemotong,

instrumen penarik, instrumen penghisap, jarum, dan benang.

C. MANAJEMEN NYERI PADA BEDAH MINOR

The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan

untuk meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker.

Namun, formula ini dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena

memiliki strategi yang logis untuk mengatasi nyeri. Formulasi ini

Page 14: REFERAT FIX

menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan adalah Obat

Anti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol yang merupakan

obat-obatan yang bekerja di perifer. Apabila dengan obat-obatan ini, nyeri

tidak dapat teratasi, maka diberikan obat-obatan golongan Opioid lemah

seperti kodein dan dextropropoxyphene disertai dengan obat –obat lain

untuk meminimalisasi efek samping yang timbul. Apabila regimen ini

tidak juga dapat mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah

obat-obatan golongan Opioid Kuat, misalnya Morfin.

Belakangan, World Federation of Societies of

Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic Ladder telah dikembangkan

untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya, nyeri dapat dianggap sebagai

keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik yang

kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan berkurang seiring berjalannya

waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan dapat

dihentikan. Anak tangga kedua pada WFSA Analgesic Ladder adalah

pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid

kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh

dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat yang berkerja di perifer

dan opioid lemah. Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat

dikontrol hanya dengan menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.

Pendekatan Farmakologik

1. Anestesi Lokal

Penggunaan teknik anestesi regional pada pembedahan memiliki

efek yang positif terhadap respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait

Page 15: REFERAT FIX

dengan berkurangnya perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik.

Singkatnya, teknik apapun yang dapat digunakan dalam prosedur

bedah menghasilkan hasil yang nyaris sempurna untuk menghilangkan

nyeri pascaoperasi apabila efeknya diperpanjang hingga melebihi

durasi pembedahan. Ada beberapa teknik anestesi lokal sederhana

yang dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk memberikan

pain relief yang efektif. Sebagian besar dapat dilakukan dengan risiko

minimal termasuk infiltrasi anestesi lokal, blokade saraf perifer atau

pleksus dan teknik blok perifer atau sentral. Meskipun begitu, kita

tidak boleh mengharapkan anelgesi lokal saja dapat mengatasi nyeri

pasca operasi, karena nyeri pascaoperasi memiliki banyak faktor

penyebab. Karena nyeri timbul dari multifaktor, maka manajemen

nyeri pascaoperasi haruslah terdiri dari kombinasi pendekatan untuk

mencapai hasil terbaik. Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal

berdurasi panjang seperti bupivacaine dapat memberikan analgesia

yang efektif selama beberapa jam. Apabila nyeri berlanjut, dapat

diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan infus. Blokade

pleksus atau saraf perifer akan memberikan analgesia selektif di

bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau saraf tersebut.

Teknik-teknik ini dapat digunakan untuk memberikan anestesi

untuk pembedahan atau khusus untuk nyeri pasca-operasi. Teknik-

teknik ini dapat sangat berguna jika suatu blok simpatik diperlukan

untuk meningkatkan suplai darah pascaoperasi atau apabila blokade

pusat seperti blokade spinal atau epidural merupakan kontraindikasi.

Page 16: REFERAT FIX

Spinal anestesi memberikan analgesia yang sangat baik untuk operasi

di tubuh bagian bawah dan pain relief bisa berlangsung berjam-jam

setelah selesai operasi jika dikombinasikan dengan obat-obatan yang

mengandung vasokonstriktor. Penggunaan teknik epidural

membutuhkan praktisi yang berpengalaman dan pelatihan khusus bagi

staf perawat dalam pengelolaan pasca-operasi pasien. Kateter epidural

dapat ditempatkan baik di leher, toraks atau daerah lumbal tetapi

blokade epidural lumbal adalah yang paling umum digunakan.

Meskipun infus kontinu anestesi lokal dapat menghasilkan

analgesia sangat efektif, teknik ini juga menghasilkan efek samping

yang tidak diinginkan seperti hipotensi, blok sensorik dan motorik,

mual dan retensi urin. Kombinasi obat bius lokal dengan opioid yang

diberikan secara sentral dapat mengurangi sebagian dari masalah

ini.Analgesik Non-Opioid Obat-obatan analgesik non-opioid yang

paling umum digunakan diseluruh dunia adalah aspirin, paracetamol,

dan OAINS, yang merupakan obat-obatan utama untuk nyeri ringan

sampai sedang. Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia

secara luas di seluruh dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja

cepat karena segera dimetabolisme menjadi asam salisilat yang

memiliki sifat analgesik dan, mungkin, anti-inflamasi. Dalam dosis

terapeutik, asam salisilat memiliki waktu paruh hingga 4 jam.

Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga dosis tinggi akan

mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin dapat

berkurang apabila diberika bersama-sama dengan antasida. Aspirin

Page 17: REFERAT FIX

memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran

pencernaan, menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan

gastrointestinal akibat efek antiplateletnya yang irreversibel. Karena

alasan ini, penggunaan aspirin untuk pain relief pascaoperasi harus

dihindari apabila masih tersedia obat-obatan alternatif lainnya.

Aspirin juga memiliki keterkaitan epidemiologis dengan Reye’s

Syndrome dan harus dihindari untuk diberikan sebagai analgesia pada

anak-anak usia di bawah 12 tahun.Dosis berkisar dari minimal 500mg,

per oral, setiap 4 jam hingga maksimum 4g, per oral per hari. Obat

Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik

dan antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi

sintesis prostaglandin oleh enzim cyclo-oxygenase yang mengkatalisa

konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan

mediator utama peradangan. Semua OAINS bekerja dengan cara yang

sama dan karenanya tidak ada gunanya memberi lebih dari satu

OAINS pada satu waktu. OAINS pada umumnya, lebih berguna bagi

rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal, dan

permukaan sendi tulang. Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan

ketersediaan, biaya dan lamanya tindakan. Jika rasa sakit tampaknya

akan terus-menerus selama jangka waktu yang panjang maka dipilih

obat dengan waktu paruh yang panjang dan efek klinis yang lama.

Namun, obat-obatan kelompok ini memiliki insiden tinggi untuk efek

samping penggunaan jangka panjang dan harus digunakan dengan hati-

hati. Semua OAINS mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga

Page 18: REFERAT FIX

mengakibatkan pemanjangan waktu perdarahan. Obat-obatan ini juga

menghambat sintesis prostaglandin dalam mukosa lambung dan

dengan demikian menghasilkan pendarahan lambung sebagai efek

samping. Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain

adalah : setiap riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal;

operasi yang berhubungan dengan kehilangan darah yang banyak,

asma, gangguan ginjal sedang hingga berat , dehidrasi dan setiap

riwayat hipersensitif untuk OAINS atau aspirin.

Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini

secara klinis efektif, murah dan memiliki profil efek samping yang

lebih rendah dibandingkan dengan OAINSlainnya. Alternatif lainnya

adalah diclofenak, naproxen, piroxicam, ketorolac, indometasin dan

asam mefenamat. Apabila rute oral tidak tersedia obat dapat diberikan

dengan rute lain seperti supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan

sebagian besar OAINS tersedia sebagai supositoria dan diserap dengan

baik.Opioid LemahCodeine adalah analgesik opioid lemah yang

berasal dari opium alkaloid (seperti morfin). Codeine kurang aktif

daripada morfin, memiliki efek yang dapat diprediksi bila diberikan

secara oral dan efektif terhadap rasa sakit ringan hingga sedang.

Codeine dapat dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus

berhati-hati untuk tidak melampaui maksimum dosis yang dianjurkan

bila menggunakan kombinasi parasetamol tablet. Dosis berkisar antara

15 mg - 60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap hari.

Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon

Page 19: REFERAT FIX

tetapi memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal ini sering

dipasarkan dalam kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan

yang sama seperti Codeine harus diawasi.Dosis berkisar dari 32.5mg

(dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai 60mg setiap 4 jam

dengan maksimum 300mg setiap hari. Kombinasi opioid lemah dan

obat-obatan yang bekerja di perifer sangat berguna dalam prosedur

pembedahan kecil di mana rasa sakit yang berlebihan tidak

diantisipasisebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan: Parasetamol

500mg/codeine 8mg tablet. 2 tablet setiap 4 jam sampai maksimum 8

tablet perhari. Apabila analgesia tidak mencukupi - Parasetamol 1g

secara oral dengan Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6 per jam sampai

maksimum 4 dosis dapat digunakan.

Opioid Kuat Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan

struktur viseral membutuhkan Opioid kuat sebagai analgesianya.

Perawatan yang tepat dimulai dengan pemahaman yang benar tentang

obat, rute pemberian dan modus tindakan. Pemberian awal akan

mencapai konsentrasi obat yang efektif sehingga lebih mudah untuk

mempertahankan tingkat terapeutik obat di dalam darah. Pemberian

melalui rute oral mungkin tidak tersedia segera setelah pembedahan.

Jika fungsi gastrointestinal normal setelah operasi kecil atau

besar,maka analgesia kuat tidak diperlukan. Namun, rute oral

mungkin tersedia pada pasien yang telah sembuh dari pembedahan

mayor sehingga opioid kuat seperti morfin dapat digunakan karena

morfin sangat efektif per oral. Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi

Page 20: REFERAT FIX

obat melalui rute oral cara pemberian lain harus dilakukan. Secara

umum, analgesia yang efektif dapat diberikan melalui suntikan.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyerapan obat. Mungkin ada

variasi yang besar dalam darah dan tingkat penyerapan opioid setelah

injeksi intramuskular. Ini mungkin dipengaruhi oleh gangguan hepatik

atau penyakit ginjal, usia yang ekstrim dan adanya terapi obat yang

lain. Kondisi apapun yang mengurangi aliran darah perifer dapat

mengganggu penyerapan obat dan dengan demikian, mengurangi suhu

tubuh, hipovolemia dan hipotensi semua ini akan mengakibatkan

menurunnya penyerapan dari situs injeksi. Hipotermia dan

hipotiroidisme keduanya menyebabkan penurunan metabolisme

yang menyebabkanpeningkatan kepekaan terhadap obat-obatan.

2. Metode menggunakan obat opioid

Rute oral adalah yang paling banyak digunakan karena

merupakan rute yang paling dapat diterima oleh pasien. Kekurangan

dari rute oral untuk mengobati nyeri akut adalah bahwa penyerapan

opioid dapat berkurang akibat keterlambatan pengosongan lambung

pascaoperasi. Mual dan muntah dapat mencegah penyerapan obat-

obatan yang diberikan secara oral dan di samping itu,bioavailabilitas

berkurang setelah metabolisme di dinding usus dan hati. Jadi rute oral

mungkin tidak cocok dalam banyak kasus. Rute sublingual

menawarkan beberapa keuntungan teoritis administrasi obat.

Penyerapan terjadi langsung ke sirkulasi sistemik karena tidak

melewati metabolisme lintas pertama. Obat yang telah paling sering

Page 21: REFERAT FIX

digunakan oleh rute ini adalah buprenorfin yang cepat diserap dan

memiliki durasi kerja yang panjang (6 jam). Rute supositoria.

Kebanyakan analgesik opioid bergantung pada metabolisme jika

diberikan melalui mulut. Rute dubur adalah alternatif yang berguna,

terutama jika terdapat nyeri berat yang disertai dengan mual dan

muntah. Opioid dapat diberikan dengan efektif melalui supositoria

tetapi tidak ideal untuk terapi segera nyeri akut karena bereaksi lambat

dan kadang-kadang penyerapannya tidak menentu, meskipun secara

ideal cocok untuk pemeliharaan analgesia. Rektal dosis untuk sebagian

besar opioid kuat adalah sekitar setengah yang dibutuhkan oleh rute

oral. Ketersediaan opioid untuk penggunaan rektal sangat bervariasi di

seluruh dunia. Administrasi intramuskular mewakili teknik yang

optimal bagi negara berkembang. Seperti yang dinyatakan

sebelumnya, dengan metode ini efek analgesia akan

berhubungandengan banyak faktor. Sebuah cara sederhana untuk

mengatasi masalah ini adalah dengan melaksanakan analgesik secara

reguler setiap 4 jam. Bahkan, telah dibuktikan bahwa injeksi

intramuskular opioid dapat sebagus yang dari Patient Controlled

Analgesia (PCA). Untuk mencapai tingkat ini diperlukan penilaian

anlagesia reguler, pencatatan skor nyeri dan pengembangan algoritme

pemberian analgesia, tergantung dari tingkat nyeri. Intravena. Selama

bertahun-tahun telah menjadi tindakan yang umum untuk

memberikan bolus opioid baik dalam durante operasi dan pemulihan

pasca-operasi untuk menghasilkan analgesia langsung. Rute ini

Page 22: REFERAT FIX

memiliki kelemahan fluktuasi produksi konsentrasi plasma obat yang

disuntikkan, meskipun bila dilakukan dengan hati-hati injeksi

intravena dapat meredakan nyeri dengan lebih cepat dari metode lain.

Namun secara umum teknik infus, baik oleh suntikan intermiten atau

dengan infus, tidak sesuai kecuali dalam pengawasan ketat dan berada

dalam unit terapi intensif karena secara inheren berbahaya jika pasien

dibiarkan tanpa pengawasan bahkan untuk periode singkat.

3. Patient Controlled Analgesia (PCA)

Patient Controlled Analgesia (PCA) menjadi populer ketika

diketahui bahwa kebutuhan individu untuk opioid bervariasi. Oleh

karena itu disusun suatu sistem di mana pasien dapat mengelola

analgesia intravena mereka sendiri dan mentitrasi dosis titik akhir

penghilang rasa sakit mereka sendiri menggunakan mikroprosesor

kecil yang dikontrol dengan sejenis pompa. Berbagai perangkat

komersial sekarang tersedia untuk tujuan ini.. Dengan demikian

mereka dapat menyesuaikan tingkat analgesia yang diperlukan,

menurut keparahan rasa sakit. Secara teori, tingkat plasma dari

analgesik akan relatif konstan dan efek samping yang disebabkan oleh

fluktuasi tingkat plasma akan dihilangkan. Untuk mencapai

keberhasilan dan keamanan analgesia dengan PCA maka pasien harus

mengerti apa yang perlu dilakukan dan ini harus dijelaskan secara rinci

sebelumoperasi. Hampir setiap obat opioid telah digunakan untuk

PCA. Secara teori, obat yang ideal harus memiliki onset yang cepat,

durasi kerja sedang, dan memiliki margin keselamatan yang luas antara

Page 23: REFERAT FIX

efektivitas dan efek samping. Pilihan biasanya tergantung pada

ketersediaan, preferensi pribadi dan pengalaman. Sekali pilihan telah

dibuat parameter-parameter lainnya perlu ditentukan termasuk ukuran

bolus dosis, jangka waktu minimum antara dosis (kunci-habis) dan

dosis maksimum yang diperbolehkan.

Morfin adalah obat yang paling populer dan akan digunakan

sebagai contoh. Dosis ideal morfin telah ditemukan yaitu 1mg. Namun,

tinjauan ulang diperlukan dalam setiap kasus untuk memastikan bahwa

analgesia telah memadai. Tujuan jangka waktu minimum antar dosis

adalah untuk mencegah terjadinya overdosis. Jangka waktu minimum

antar dosis harus cukup lama untuk dosis sebelumnya memiliki efek.

Dalam prakteknya, jangka waktu ini berkisar antara 5 dan 10 menit

cukup untuk sebagian besar opioid. Dalam prakteknya, adalah lebih

logis untuk menerima bahwa persyaratan analgesik pasien akan sangat

bervariasi dan beberapa pasien mungkin memerlukan jumlah yang

sangat besar untuk mencapai nyeri yang memadai. Pasien yang

menggunakan PCA biasanya mentitrasi analgesia mereka ke titik di

mana mereka merasa nyaman dan bukannya rasa bebas nyeri. Alasan

untuk hal ini adalah tidak jelas tetapi mungkin berkaitan dengan

kekhawatiran akan overdosis, kebutuhan untuk kontakdengan anggota

staf rumah sakit dan harapan setelah operasi.

Pendekatan Nonfarmakologik

1. Terapi dan Modalitas Fisik

Page 24: REFERAT FIX

Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk

stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis,

akupungtur, aplikasi panas atau dingin, olahraga).

2. Strategi kognitif-perilaku

Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien

terhadap nyeri, dan memberi pasien perasaan yang lebih mampu untuk

mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup relaksasi,

penciptaan khayalan, hipnosis, dan biofeedback. Pada metode-metode

yang menekankan relaksasi otot, fasilitator meminta pasien untuk

memfokuskan diri ke kelompok otot yang berbeda dan secara

voluntary mengontraksikan dan melemaskan otot-otot tersebut secara

brurutan. Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah olahraga

bernapas dalam, meditasi dan mendengarkan music-musik yang

menenangkan. Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas,

ketegangan otot, dan stress emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-

stres-nyeri, saat nyeri dan stress saling memperkuat. Teknik-teknik

pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan perhatian pasien

pada stimulus lain dan menjauhi nyeri.

3. Prosedur ablatif pada jalur noniseptif

Neuroablasi adalah interupsi jalur nyeri oleh teknik-teknik kimiawi

atau termal atau dengan pembedahan. Indikasi dilakukannya

neuroablasia adalah :

1. Apabila terapi sistemik gagal untuk mengendalikan nyeri

secara adekuat atau efek samping tidak dapat ditoleransi

Page 25: REFERAT FIX

2. Pemberian obat neuraksial gagal

3. Apabila terdapat lesi domatik fokal, nyeri visceral atau

neuropatik yang sangat mungkin berespons baikterhadap

neuroablasia dengan resiko terbatas

4. Apabila keinginan pasien mengarah kepada ablasi.

Page 26: REFERAT FIX

KESIMPULAN

1. Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah

sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat

terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau

menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

2. Manajemen nyeri pada bedah minor, dapat digunakan obat-obatan seperti

opioid, OAINS, dan anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat dikombinasi untuk

mencapai hasil yang lebih sempurna. Karena kebutuhan masing-masing

individu adalah berbeda-beda, maka penggunaan Patient Controlled

Analgesia dirasakan sebagai metode yang paling efektif dan menguntungkan

dalam menangani nyeri pascaoperasi meskipun dengan tidak lupa

mempertimbangkan faktor ketersediaan dan keadaan ekonomi pasien.

Page 27: REFERAT FIX

DAFTAR PUSTAKA

1. Arifin, Hasanul., Pengelolaan Nyeri Akut pada Bedah Minor, Bagian/SMF

Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara, Medan, 2002.

2. Charlton ED. Postoperative Pain Management. World Federation of Societies of Anaesthesiologists. http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm2.

3. Chelly JE, Gebhard R, Coupe K, et al. Local anesthetic delivered via a femoral catheter by patient-controlled analgesia pump for pain relief after an anterior cruciate ligament outpatient procedure. Am J Anesthesiol. 2001;28:192-4.4.

4. Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of acute postoperative pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM, eds. Acute Pain: Mechanisms & Management. St Louis, Mo: Mosby-Year Book; 1992:253-683.

5. Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London ; Elsevier Churchill Livingstone. 2009.

6. Sylvia A.Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Volume 2. Edisi 6. Jakarta : FKUI

7. Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63