Referat Fix Anestesi
-
Upload
novia-maulani -
Category
Documents
-
view
98 -
download
1
Transcript of Referat Fix Anestesi
BAB I. PENDAHULUAN
Anestesi berasal dari bahasa Yunani yang berarti An- yang berarti "tidak, tanpa"
dan aesthētos yaitu yang berarti "persepsi, kemampuan untuk merasa", secara umum adalah
suatu tindakan yang bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan
dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Pertama kali istilah
anestesi digunakan oleh seorang ilmuwan Inggris bernama Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun
1846 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara. Analgesia ialah
pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran umum.
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral ditandai dengan
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak
diinginkan dari pasien. Selain itu, tujuan dari anestesi umum juga termasuk mengendalikan
pernafasan pasien dan memantau fungsi vital tubuh pasien selama prosedur anestesi berlangsung.
Anestesi umum diberikan oleh dokter yang terlatih khusus pada bidang anestesi ataupun bisa
juga dilakukan oleh perawat anestesi yang berkompeten.
Anestesi umum menggunakan berbagai agen intravena, inhalasi, intramuskular dan per
rektal. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi
pilihan terbaik, tergantung pada presentasi klinis pasien. Maka dari itu dapat kita lihat
berdasarkan klasifikasi untuk menilai kebugaran pasien, yang bertujuan untuk menilai anestesi
apa yang akan dipakai nantinya.
Anestesia tidak perlu dilakukan terlalu dalam hanya sekedar supaya pasien sadar menjadi
tidak sadar. Selain itu dapat juga diberikan analgesia yaitu seperti obat-obat opioid dosis tinggi
serta untuk otot lurik dapat relaksasi maka dapat diberikan obat-obat pelumpuh otot. Ketiga
kombinasi ini dikenal sebagai Trias Anesthesia serta ada pula yang masukkan ventilasi kendali.
1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 DEFINISI
Anestesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anesthesia yang ideal adalah terdiri
dari: (1)
1. Hipnotik
2. Analgesia
3. Relaksasi otot
Perbedaan dengan anestesi local antara lain, pada anestesi local hilangnya rasa sakit
setempat, sedang pada anestesi umum seluruh tubuh. Pada anestesi local yang terpengaruhi
adalah syaraf perifer, sedang pada anestesi umum, yang terpengaruhi adalah syaraf pusat dan
disertai dengan penurunan kesadaran.
Keadaaan anestesi biasanya disebut anestesi umum, ditandai oleh tahap tidak sadar
diinduksi, yang selama itu rangsang operasi hanya menimbulkan respon reflek autonom. Jadi
pasien tidak boleh memberikan gerak volunteer, tetap perubahan kecepatan pernapasan dan
kardiovaskuler dapat dilihat.
Keadaan anestesi berbeda dengan keadaan analgesia, yang didefinisikan sebagai tidak
adanya nyeri. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh agen narkotika yang dapat menghilangkan
nyeri sampai pasien sama sekali tidak sadar.
II. 2 TEORI ANESTESI UMUM
1. Meyer dan Overton (1899) mengemukakan teori kelarutan lipid (lipid solubility theory). Obat
anestetik rata-rata larut dalam lemak.Efeknya berhubungan langsung terhadap kelarutan dalam
lemak. Makin mudah larut di dalam lemak, makin kuat daya anestesinya. Ini hanya berlaku
pada obat inhalasi (volatile anaesthetics), tidak pada obat anestetika parentral seperti pentotal.
2
2. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (the inert gas effect). Potensi analgesia
gas-gas yang lembab dan menguap terbalik terhadap tekanan gas-gas dengan syarat tidak ada
reaksi secara kimia. Jadi tergantung dari konsentrasi molekul-molekul bebas aktif.
3. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikro hidrat (the hidrate micro-crystal theory).
Obat anestetika berpengaruh terutama pada interaksi molekul-molekul obatnya dengan
molekul-molekul diotak.
4. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan interaksi dengan
membrane lipid meningkatkan keenceran (mengganggu membran).
Metode Anestesia umum dilihat dari cara pemberian obat.
I. Parentral
Anestesia umum yang diberikan secara parentral baik intravena maupun intra muskular
biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi anesthesia. Obat yang umum
dipakai adalah thiopental. Kecuali untuk kasus-kasus tertentu dapat digunakan ketamine,
propofol, diazepam, dan lain-lain. Untuk tindakan yang lama biasanya di kombinasi dengan obat
anestetika lain.
II. Perektal
Anestesia umum yang diberikan melalui rektal kebanyakan dipakai pada anak, terutama
untuk induksi anesthesia atau tindakan singkat.
III. Perinhalasi, melalui pernafasan.
Anestesi inhalasi ialah anesthesia dengan menggunakan gas atau cairan anestetika yang
mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetika melalui udara pernafasan. Zat anestetika
yang dipergunakan berupa suatu campuran gas (dengan O2) dan konsentrasi zat anestetika
tersebut tergantung dari tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan otak menentukan
kekuatan daya anesthesia, zat anestetika disebut kuat bila dengan tekanan parsial rendah sudah
mampu memberi anesthesia yang adekuat. Anestesia inhalasi masuk dengan inhalasi / inspirasi
melalui peredaran darah sampai ke jaringan otak. Faktor-faktor lain seperti respirasi, sirkulasi,
dan sifat-sifat fisik zat anestetika mempengaruhi kekuatan maupun kecepatan anesthesia.
3
Keuntungan dari anesthesia umum adalah sebagai alat untuk mengurangi kesadaran
pasien intraoperatif, memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama,
memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi, serta dapat diberikan
dalam keadaan kasus sensitivitas terhadap agen anestesi local dan dapat disesuaikan dengan
mudah untuk prosedur durasi yang tidak terduga.
Kekurangan dari anestesi umum antara lain diperlukannya beberapa derajat persiapan pra
operasi pasien, terkait dengan komplikasi seperti mual atau muntah, sakit tenggorokan, sakit
kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk mengembalikan fungsi mental kembali normal.
II. 3. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP ANESTESI UMUM
A. Faktor Respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestetika akan masuk ke dalam paru-paru (alveolus).
Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Makin tinggi konsentrasi zat yang
dihirup, tekanan parsialnya semakin tinggi.Perbedaan tekanan parsial zat anestesi dalam zat
alveoli dan di dalam darah menyebabkan terjadinya difusi. Kemudian zat anestetika akan
berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat untuk difusi zat
anestetika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri
pulmonaris. Bila tekanan di dalam di dalam alveoli lebih tinggi maka difusi terjadi dari alveoli ke
dalam sirkulasi dan sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi ke dalam alveolus bila tekanan parsial
di dalam lebih rendah. Makin tinggi perbedaan tekanan parsial makin cepat terjadinya difusi.
Proses difusi akan terganggu apabila terdapat penghalang antara slveoli dan sirkulasi darah misal
pada udem paru atau fibrosis paru.
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus adalah :
1. Konsentrasi zat anestetika yang dihirup / diinhalasi; makin tiggi konsentrasinya, makin cepat
naik tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus.
2. Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat menigginya tekanan parsial
alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi.
B. Faktor Sirkulasi
4
Terdiri dari : 1. Sirkulasi arterial , 2. Sirkulasi vena
Waktu induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar daripada darah vena
Faktor yang mempengaruhi:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah vena. Dalam
sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena. Makin
lama jaringan tersebut menjadi jenuh, sehingga zat anestetika yang kembali ke paru-paru dan
vena lebih banyak. Akibatnya tekanan parsial dalam vena semakin tinggi dan hal ini akan
mempengaruhi difusi zat anestetika melalui membrane alveolus.
2. Koefisien partisi darah / gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah terhadap
konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang. Blood gas partition
coefisien adalah rasio konsentrasi zat anesthesia dalam darah dan dalam gas bila keduanya
dalam keadaan seimbang. Bila zat anestetika mempunyai koefisien partisi / gas rendah (kurang
larut dalam), konsentrasi alveolus akan naik cepat tergantung ventilasi. Karena konsentrasi ini
menentukan tekanan zat anestetika dalam darah arteri, maka tekanan parsial dalam darah pun
naik dengan cepat, anestesia dapat cepat didalamkan dan zat anestetika ini tergolong kuat
(poten). Contoh: N2O dan siklopropan. Karena otak mendapat aliran yang banyak, maka
tekanan parsial zat anestetika dalam otak cepat naik sehingga pasien cepat kehilangan
kesadaran. Demikian pula waktu pulih sadar cepat. Makin tinggi nilai koefisien partisi darah /
gas makin lama diperlukan untuk mencapai anesthesia yang adekuat, masa pulihpun lambat.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak aliran darah yang
melalui paru makin banyak zat anestetika yang diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus
turun sehingga induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat
anesthesia yang adekuat.
C. Faktor Jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan
5
2. Koefisien partisi jaringan / darah : kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat anestetika, kecuali
halothan (koefisien partisi lemak / darah 60,0). Jaringan lemak walaupun hanya menerima
sebagian kecil curah jantung tapi mempunyai daya ikat kuat terhadap zat anestetika yang
umumnya larut dalam lemak.
3. Aliran darah terdapat 4 kelompok jaringan :
a. Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar, ginjal. Organ-organ ini
menerima 70 – 75% curah jantung hingga tekanan parsial zat anestetika meninggi dengan
cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b. Kelompok intermediate. Otot skelet dan kulit.
c. Lemak : jaringan lemak
d. Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD): relative tidak ada aliran darah : ligament dan
tendon.
Penggolongan ini penting untuk zat anestetika yang kurang dapat larut, misalnya N2O,
yang mula-mula akan memasuki JKPD dulu dan keseimbangan dalam alveolus dan JSPD ini
tercapai dalam 10 menit, setelah itu masuk kelompok lain. Obat Anestetika yang masuk ke
pembuluh darah / sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat
anestetika ialah jaringan yang kaya akan pembuluh darah, seperti otak, sehingga kesadaran
menurun/hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya.
Selain itu pada jaringan factor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum diantaranya
adalah perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan, kecepatan
metabolisme obat, dan aliran darah dalam jaringan.
D. Faktor Zat Anestetika
Bermacam-macam zat anestetika mempunya potensi yang berbeda-beda. Untuk
menentukan derajat potensi ini kita kenal adanya MAC (minimal alveolus concentration atau
konsentrasi minimal alveolus) yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara alveolus
yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Makin
rendah nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestetika tersebut.
6
E. Faktor Lain.
1. Ventilasi : zat anestetika dengan koefisien partisi darah . gas rendah, efek ventilasi minimal
terhadap kecepatan pendalaman anestesi. Pada koefisien partisi gas / darah tinggi, makin besar
ventilasi makin cepat meninggi tekanan parsial dalam alveolus dan darah ini mempercepat
dalam anesthesia.
2. Curah jantung : zat anestetika dengan koefisien partisi gas / darah rendah, efek terhadap curah
jantung minimal. Pada zat anestetika dengan koefisien partisi darah / gas tinggi, makin tinggi
curah jantung, makin lambat induksi dan kedalaman anesthesia, demikian juga sebaliknya.
3. Suhu : makin turun suhu makin banyak larut dalam darah makin banyak zat anestetika masuk
dalam darah. Sehingga makin cepat dalam anesthesia.
Potensi obat-obat inhalasi ditentukan oleh :
1. Konsentrasi alveolar minimal (minimal alveolar concentration = MAC). Makin rendah MAC,
makin kuat obat tersebut.
2. Koefisien partisi minyak / gas. Makin tinggi koefisien ini makin kuat obatnya.
Stadia anesthesia
Seseorang yang memberika anesthesia sangat penting mengetahui stadia anesthesia
pasien terutama dalam menentukan stadia terbaik untuk pembedahan pasien ini dan mencegah
terjadinya kelebihan dosis. Stadia anesthesia sudah dikenal sejak Morton mendemonstrasikan
eter. Pomley (1817) membaginya menjadi 3 stadia. Satu tahun kemudian John Snow menambah
stadia IV yaitu stadia paralisis atau kelebihan dosis. Pembagian secara sistemati dilakukan oleh
Guedel yaitu pada pasien-pasien yang mendapat anesthesia umum dengan eter, premedikasi
dengan sulfas atropine, yang dipantau adalah respirasi, pergeseran bola mata, perubahan pada
besarnya pupil dan reflex kelopak mata. Tahun 1943 Gillespie menambahkan tanda-tanda
perubahan pada pernafasan karena pengaruh insisi kulit, sekresi mata dan refleks laring pada
pembagian menurut Guedel. (2)
Stadia (St) Respirasi Pupil Depresi-
7
refleks
Ritme Volume Ukuran Letak
I. Anelgesia sampai hilang
kesadaran
Tidak
teratur
Kecil Kecil Divergen Tidak ada
II. Sampai pernafasan teratur,
otomatis
Tidak
teratur
Besar Lebar Divergen Bulu mata,
Kelopak mata
III.
P1. Sampai hilang gerakan bola
mata
P2. Sampai awal parese otot
pernafasan
P3. Sampai lumpuh otot
pernafasan
P4. Sampai lumpuh diafragma
Teratur
Teratur
Teratur,
pause
setelah
ekspirasi
Tidak
teratur,
Jerky,
Inspirasi
cepat dan
memanjang
Besar
Sedang
Sedang
Kecil
Kecil
½ Lebar
¾ Lebar
Melebar
maksimal
Divergen
Menetap
di tengah
Menetap
di tengah
Menetap
di tengah
Kulit,
Konjungtiva
Kornea
Faring,
Peritoneum
Sfingter ani,
Karina
IV. Henti nafas sampai henti
jantung
Keterangan macam-macam tanda/refleks pada mata.
Pupil :
Derivat opiate cenderung menyebabkan miosis. Dosis besar atropine / hiosin
menyebabkan midriasis. Bila keduanya diberika bersama-sama, golongan opiate lebih dominan.
Pada satadium I , pupil melebar karena pengaruh emosi dan rangsang psikosensorik reflek. Pada
stadium III : pupil kembali normal pada stadium III P1, kemudia terus membesar sampai
8
maksimal pada P4. Hal ini terjadi karena pelepasan adrenalin pada anesthesia dengan eter dan
siklopropan, tapi tidak terjadi pada halothan atau berbiturat intravena.
Refleks bulu mata : Yaitu dengan meraba bulu mata, menyebabkan kontraksi kelopak mata.
Refleks ini biasa menghilang pada stadium I awal sampai stadium II.
Refleks kelopak mata : Yaitu dengan menarik kelopak mata secara aktif, timbul kontraksi atau
tahanan. Refleks ini biasa menghilang waktu masuk stadium III.
Refleks cahaya : Yaitu denga menyinarkan cahaya di tengah mata, lihat apakah terjadi miosis
atau tidak. Refleks ini biasa menghilang pada stadium P1 sampai
permulaan P3.
II. 4. PROSEDUR ANESTESI UMUM
A. Penilaian dan Persiapan Pasien Pra-Anestesi.
Persiapan pra bedah yang kurag memadai merupakan factor penyumbang sebab-sebab
terjadinya kecelakaa anesthesia. Dokter anestesi sebaiknya mengunjungi pasien sebelum pasien
dibedah, agar ia dapat menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan
bugar. Terkadang dokter anestesi mempunya waktu terbatas untuk menyiapkan pasien, sehingga
persiapan kurang sempurna. Penundaan jadwal operasi akan merugikan semua pihak, terutama
pasien dan keluarganya. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1 – 2
hari sebelumnya, namun apabila pada bedah darurat umumnya waktu kunjungan akan lebih
singkat. Tujuan utama kunjungan pra anestesi adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Selain itu tujuan kunjungan pra anestesi tak lain adalah untuk mempersiapkan mental dan
fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan
pemeriksaan lain. Adapun tujuan lain adalah sebagai perencanaan dan pemilihan teknik serta
obat-obatan anestesi yang sesuai keadaaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian,
komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin. Penentuan klasifikasi yang
sesuai dalam hal ini penentuan klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) dapat
dilakuakan saat kunjungan pra anesthesia yang berguna sebagai gambaran prognosis pasien
secara umum.
9
I. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh berdasarkan keterangan dari pasien itu sendiri
(autoanamnesis) atau dapat juga diperoleh melalui keluarga atau kerabat pasien yang menemani
pasien (alloanamnesis). Yang perlu diperhatikan pada saat anamnesis adalah identitas pasien.
Identitas setiap pasien harus lengkap dan dicocokkan dengan gelang identitas yang dikenakan
pasien kembali agar tidak terjadi salah operasi. Terjadinya kasus salah identitas dan salah operasi
bukan cerita untuk menakut-nakuti tau dibuat-buat karena memang pernah terjadi. Pasien
ditanyakan kembali mengenai bagian tubuh mana yang akan dioperasi.
Riwayat Penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit
dalam anestesi sebelumnya, riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi,
obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti
digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.
Riwayat Operasi dan anestesi yang pernah dialami di waktu yang lalu, berapa kali, dan
selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar,
perawatan intensif pasca bedah. Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi
sebelumnya sangat penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah,
sehingga dapat merancang anestesi berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitian
menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah di masa lalu sebaiknya jangan diulang
lagi, misalnya halothan jangan digunakan ulang dalam waktu 3 bulan, suksinilkolin yang
menimbulkan apnea berkepanjangan juga jangan diulang.
Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti
merokok dan alkohol. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1 – 2 hari sebelumnya untuk
mengeliminasi nikotin yang mempengaruhi system kardiovaskular untuk mengaktifkan kerja
silia pada jalan pernafasan sekaligus untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum
alcohol juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar.
II. Pemeriksaan Fisik
10
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,tindakan buka mulut,
lidah relative besar yang berfungsi sangat penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan
tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi
intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi semua system organ tubuh pasien.
III. Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang
sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin
walaupun pasien sehat untuk bedah minor,misalnya pemeriksaan darah Hb, leukosit, masa
perdarahan, dan masa pembekuan, serta pemeriksaan urinalisa. Pada pasien usia diatas 50 tahun
ada anjuran untuk pemeriksaan EKG dan foto torak.
IV. Kebugaran untuk Anestesi.
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien
dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
Maka dari itu digunakan skala klasifikasi status fisik untuk menilai apakah seseorang bugar
secara fisik untuk dioperasi atau tidak. Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesi,
karena dampak samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
Klasifikasi fisik yang lazim digunakan berasal dari The American Society of Anesthesiology
(ASA) yaitu : (3)
ASA I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan
penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak
akan lebih dari 24 jam.
11
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E
V. Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien-pasien yang
menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan resiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anesthesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anesthesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak
kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan yang berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan
minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.
B. Premedikasi, Induksi dan Rumatan Obat-obat Anestesia
a. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya untuk meredakan
kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anesthesia, mengurangi sekresi kelenjar ludah
dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetika, mengurangi mual-muntah pasca bedah,
menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, dan mengurangi refleks yang
membahayakan.
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak
pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangung kepercayaan dan
mententramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan dapat digunakan diazepam peroral 10-15 mg
beberapa jam sebelum induksi anesthesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan
opioid misalnya pethidin 50 mg intramuscular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk
meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan atagonis reseptor H2 histamin misalnya oral
simetidine 600 mg atau oral ranitidine (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi. Untuk
mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambah premedikasi suntikan intramuscular
untuk dewasa droperidol 2,5 – 5 mg atau ondansentron 2-4 mg (Zofran, Narfroz)
12
b. Induksi dan Rumatan Obat-Obat Anestesia
Induksi anesthesia ialah tindakan untuk membuat pasien sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan.Induksi anesthesia dapat
dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rektal. Setelah pasien tidur
akibat induksi anesthesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anesthesia sampai tindaka
pembedahan selesai. Sebelum memulai induksi anesthesia sebaiknya disiapkan peralatan dan
obat-oabatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan
lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita mempersiapkan
STATICS :
S = Scope : Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-scope.
Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Lampu laringoskop harus cukup terang.
T = Tubes : Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5
tahun dengan balon (cuffed)
A = Airway : Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga lidah
supaya tidak menyumbat jalan nafas.
T = Tape : Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I = Introducer : Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus dengan plastic (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C = Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S = Suction : Penyedot lender, ludah, dan lain-lain.
Untuk menjaga agar penderita tidak jatuh ke dalam keadaan hipoksia, maka sebelum
induksi perlu diberikan oksigenisasi selama 5 menit lebih dulu, cara ini disebut preoksigenasi.
13
Dengan memberikan pre oksigenasi, kapasitas residual fungsional paru akan terisi oleh oksigen.
Selain itu, oksigen yang larut dalam darah juga menigkat, sehingga bila terjadi gangguan
respirasi waktu induksi maka sudah ada cadangan oksigen, yang diharapkan cukup memenuhi
kebutuhan sampai gangguan respirasi dapat diatasi.
I. Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang jalur
vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati,
perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara
30-60 detik ke dalam pembuluh darah pasien. Selama induksi anesthesia, pernafasan pasien, nadi
dan tekanan darah harus selalu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan
pada pasien yang kooperatif.
Obat-Obat Anestesi Intravena
Anestetik intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk rumatan anesthesia,
tambahan pada analgesia regional atau untuk membantu prosedur diagnostic misalnya thiopental,
ketamine dan propofol. Untuk anesthesia intravena total biasanya menggunakan propofol. Obat-
obat ini dipakai secara tunggal atau kombinasi, kadang-kadang dipakai bersama narkotik dengan
atau tanpa pelumpuh otot
Golongan Barbiturat
Tergolong obat hipnotik sedatif, yang merupakan derivate asam barbiturate yaitu
thiopental (penthotal). Penthotal atau Thiopental sodium atau Thiopenton adalah termasuk
golongan ultra short acting barbiturate. Obat ini tersedia dalam bentuk serbuk higroskopis,
bersifat basa, berbau belerang, larut dalam air dan alcohol. Dalam larutan hanya bertahan antara
24-48 jam. Obat ini mempunyai kelarutan dalam lemak yang tinggi, di dalam darah 65 – 75%
terikat oleh protein plasma dan sedikit terionisasi. Sesudah disuntikkan intravena, penthotal cepat
masuk ke dalam jaringan otak dan pada dosis yang cukup akan menimbulkan tidur. Selain dalam
otak obat ini juga akan masuk ke dalam jaringan yang kaya akan pembuluh darah dan
selanjutnya akan di redistribusi dari jaringan otak dna jaringan kaya pembuluh darah menuju
otot, lemak, dan jaringan lain.Penggunaan penthotal biasa digunakan sebagai anestesi untuk
14
tindakan operasi yang waktunya pendek. Bisa juga diberikan untuk terapi pada status
convulsivus atau untuk menurunkan metabolism otak pada penderita yang memerlukan resusitasi
otak.
Tetapi pentothal tidak boleh disuntikkan selain melalui vena. Penyuntikkan melalui
subcutan dapat menyebabkan nyeri dan bahkan bisa menyebabkan nekrosis. Selain itu apabila
mengenai intra arterial dapat menyebabkan nyeri hebat, spasme, dan konstriksi arteri. Karena itu
dianjurkan melakukan test dose yaitu menyuntikkan sedikit pentothal lebih dulu, sebelum
seluruhnya disuntikkan. Pemakaian khusus pentothal diberikan pada penderita hipotensi, asma,
myasthenia gravis, insufisiensi adrenal, insufisiensi tiroid, gangguan faal hati dan ginjal. Dosis
yang diberikan adalah 4 – 5 mg/kgBB.
Propofol
Propofol (diprova, safol, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih
susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Emulsi ini antara lain teridir dari
gliserol,phospatid dari telur, sodium hidroksida, minyak kedelai, dan air.Propofol mempunyai
sifat sangat larut dalam lemak, sehingga setelah disuntikkan intravena, dengan cepat
didistribusikan menuju jaringan, dan dengan mudah obat ini menembus blood brain barrier dan
didistribusikan ke jaringan otak. Obat ini juga dengan cepat dieliminasi dan dimetabolisme
terutama di dalam hati. Kirk Patrick dkk mendapatkan penurunan total klirens dan distribusi
volume propofol terjadi pada penderita usia tua, maka dari itu usia diatas 55 tahun dosisnya perlu
dikurangi.
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat
diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan
1% menggunakan dosis 2-3 mg/kgBB.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anesthesia intravena total 4-
12 mg / kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif di ICU 0,2 mg/kg.Onset
berlangsungnya yaitu 30-60 detik. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%.
Pada manusia dosis harus dikurangi, pada anak <3 tahun dan pada wanital hamil tidak dianjurkan
karena dapat menembus placenta.
15
Ketamin
Ketamin merupakan kristal putih yang larut dalam air mempunyai Ph 3,5 – 5,5 dan
dimetabolisme di dalam system microsomal P450 hati dan di ekskresi melalui urin dan hepar.
Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anesthesia dengan ketamine
sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan sedative seperti
midazolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi >
160 mmHg. Tetapi karena adanya efek stimulasi kardiovaskuler maka ketamine bagus dipakai
untuk induksi pasien syok. Ketamin dapat menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata
terbuka. Ketamin (ketalar) kurang digemari untuk induksi anesthesia, karena sering
menimbulkan takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
Kalau harus diberikan sebaiknya sebelumnya diberikan sedasi midazolam (dormikum)
atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salivasi
diberikan sulfas atropine 0,01 mg/kg. Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan
untuk intramuskular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (I ml = 10
mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg).
Etomidat (6)
Adalah suatu imidazole karboksilat yang larut dalam air pada pH asam dan larut dalam
lipid pada pH fisiologis. Etomidat digunakan untuk induksi anestesi, pemeliharaan anestesi dan
sedasi pada pasien kritis. Onsetnya cepat, aksi kerja singkat. Dosis untuk induksi dapat dikurangi
dengan memberikan premedikasi benzodiazepine, opiate atau barbiturate. Pada anak induksi
dapat diberikan melalui rektal, pada induksi ini hypnosis terjadi dalam 4 menit dan tidak
menimbulkan perubahan hemodinamik yang berarti, pemulihan kesadarannya terjadi dengan
cepat.
Pemeliharaan anestesi bisa dicapai dengan memberikan etomidat secara kontinu untuk
mempertahankan kadar etomidat dalam plasma antara 300 – 500 ng/ml. Biasanya pasien bangun
10 menit setelah pemberian dihentikan. Metabolisme terjadi di hepar lalu diekskresikan 85%
lewat ginjal dan 13% lewat empedu. Hanya 2 % obat diekskresi dalam bentuk asli. Metabolisme
dapat terganggu bila terjadi gangguan sirkulasi darah ke hepar atau penyakit hepar. Kekurangan
16
obat ini adalah dapat menimbulkan nausea/mual, muntah, myoklonia, menghambat sintesis
steroid, dan nyeri pada tempat suntikan. Dosis induksi adalah 0,2 – 0,6 mg/kgBB intravena dan
dosis rumatan 10 µg/kgBB/menit intravena dengan N2O dan opiate.
Deksmedetomidin
Adalah obat α2 agonis selektif yang mempunyai efek sedasi. Pemakaian obat ini dalam
anestesi didasari oleh menurunnya kebutuhan obat anestesi bagi pasien-pasien yang mendapat
terapi kronis dengan klonidin.Karena bersifat sinergis dengan sedatif atau hipnotik maka
pemakaian obat anestesi atau hipnotik lain perlu dikurangi dosisnya. Dosis awal 1 µ/kgBB/jam.
Onsetnya cepat. Pada pasien-pasien dengan gangguan hepar atau ginjal dosisnya perlu dikurangi.
Untuk premedikasi dapat dipakai sebagai obat tunggal karena mempunyai sifat anxiolitik,
analgetik, dan simpatolitik. Efek analgesi terjadi pada dosis lebih dari 0,5 µ/kgBB. Dari
penelitian Adhy Sugiharto dan Ery Leksana (2004) dengan dosis 0,6 µ/kgBB obat ini efektif
mencegah gejolak kardiovaskuler pada tindakan laringoskopi intubasi. Metabolisme terjadi
dengan cepat di hepar serta hasilnya diekskresi lewat empedu dan urin.
II. Induksi Intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamine (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuskular
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur. Diberikan dengan menyuntikkan
obat anesthesi ke dalam otot dan dikerjakan biasa pada anak-anak.
III. Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi dapat dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara induksi
ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut
disuntik. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi
dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N2O : O2 = 3 : 1 aliran > 4 liter/menit,
dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk
konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai
konsentrasi yang diperlukan. Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang
batuk, walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. Seperti dengan
halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan enfluran (etran), isofluran
17
(foran, aeran) atau desfluran jarang dilakukan,karena pasien sering batuk dan waktu induksi
menjadi lama.
Obat-obat Anestesia Inhalasi
Obat-obat anestetik inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk membantu
pembedahan ialah N2O. Kemudian menyusul eter, kloroform, etil-klorida, etilen, divinil eter,
siklo-propan, trikloro-etilen , iso-propenil-vinil-eter, propenil-metil-eter, fluoroksan, etil-vinil-
eter, halotan, metoksi-fluran, enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran. Dalam dunia
modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek klinik ialah N2O, halotan,
enfluran, isofluran, desfluran dan sevofluran. Obat-obat lain ditinggalkan karenfa efek
sampingnya yang tidak dikehendaki misalnya eter, kloroform, etil-klorida, trilor-etilen, dan
metoksifluran.
Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit masih merupakan misteri dalam
farmakologi modern. Pemberian anestetik inhalasi melalui pernafasan menuju organ sasaran
yang jauh merupakan suatu hal yang unik dalam dunia anestesiologi. Ambilan alveolus gas atau
uap anestetik inhalasi ditentukan oleh sifak fisiknya yaitu ditentukan oleh ambilan paru, difusi
gas dari paru ke darah, dan distribusi darah ke otak serta organ lainnya.
Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan hipoventilasi akan menurunkan
ambilan alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama yang
penting dalam menentukan kecepatan induksi dan pemulihannya. Induksi dan pemulihan
berlangsung cepat pada zat yang tidak larut dan lambat pada yang larut. Kadar alveolus minimal
(KAM atau MAC) ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir yang
diperlukan untuk mencegah gerakan pada 50% pasien yang dilakukan insisi standar. Pada
umumnya immobilitas tercapai pada 95% pasien jika kadarnya dinaikkan diatas 30% nilai KAM.
Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial zat anestetik dalam alveoli sama dengan tekanan zat
dalam darah dan otak tempat kerja obat. Eliminasi sebagian besar gas anestetik dikeluarkan lagi
oleh badan lewat paru. Sebagian besar dimetabolisir oleh hepar dengan system oksidase sitokrom
P450. Sisa metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal.
N2O
18
N2O (gas gelas, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) diperoleh dengan
memanaskan ammonium nitrat sampai 240°C. N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna,
bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikmas dalam bentuk
zat cair dalam silinder warna biru 9000 liter atau 18000 liter dengan tekanan 750 psi atau 50 atm.
Pemberian anesthesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik
lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mnegurangi nyeri menjelang
persalinan. Pada anesthesia inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah
satu cairan anestetik lain seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anesthesia setelah N2O
dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan
terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi maka berikan O2 100%
selama 5-10 menit.
Halotan
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya yang enak dan tak
merangsang jalan nafas, maka sering digunakan sebagai induksi anesthesia kombinasi dengan
N2O. Halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat tua) supaya tidak dirusak oleh cahaya
dan diawetkan oleh timol 0,01%. Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi intubasi,
asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesia semprot
lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja, umumnya
laringoskopi intubasi dapat dikerjakan dengan mudah, karena relaksasi otot cukup baik.
Pada nafas spontan rumatan anesthesia sekitar 1-2 vol% dan pada nafas kendali sekitar
0,5 – 1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan respons klinis pasien. Halotan menyebabkan
vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik
anesthesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai oleh bedah otak. Kelebihan dosis menyebabkan
depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadinya hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi reflex baroreseptor. Kebalikan dari N2O,
halotan analgesinya lemah tapi anestesinya kuat sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang
tidak ada kontraindikasi. Kombinasi dengan adrenalin serring menyebabkan disritmia, sehingga
penggunaan adrenalin harud dibatasi. Sdrenalin dianjurkan dengan pengenceran 1:200.000 (5µg /
ml) dan maksimal penggunaannya 2 µg /kg. Pada bedah cesar, halotan dibatasi maksimal 1vol%,
karena relaksasi uterus akan menimbulkan perdarahan. Halotan menghambat pelepasan insulin
19
sehingga meninggikan kadar gula darah. Kira-kira 20% halotan dimetabolisisr terutama di hepar
secara oksidatif menjadi komponen bromin, klorin, dan asam trikloro asetat. Secara reduktif
menjadi komponen fluorida dan produk non volatile yang dikeluarkan lewat urin. Metabolisme
reduktif ini menyebabkan hepar kerja keras, sehingga merupakan kontraindikasi pada penderita
dengan gangguan hepar atau pernah dapat halotan dalam waktu < 3 bulan atau pada pasien
kegemukan. Pasca pemberian halotan sering menyebabkan pasien menggigil.
Enfluran
Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenasi eter dan cepat popular setelah ada
kecurigaan gangguan fungsi hepar oleh halotan pada penggunaan ulang. Pada EEG menunjukkan
tanda-tanda epileptic, apalagi disertai hipokapnia, karena itu hindari penggunaannya pada pasien
dengan riwayat epilepsi, walaupun ada yang beranggapan bukan kontraindikasi untuk dipakai
pada kasus dengan riwayat epilepsi. Kombinasi dengan adrenalin lebih aman 3 kali disbanding
halotan. Enfluran yang dimetabolisme hanya 2-8 % oleh hepar menjadi produk non-volatile ayng
dikeluarkan lewat urin.Sisanya dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli. Induksi dan pulih dari
anestesi lebid cepat disbanding halotan. Tetapi efek deprefi nafas lebih kuat disbanding halotan
dan enfluran lebih iritatid disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat disbanding
halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik
disbanding halotan.
Isofluran
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter pada dosis anestetik atau subanestetik
menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meniggikan aliran darah otak dan
tekanan intracranial. Peninggian alirn darah otak dan tekanan intracranial ini dapat dikurangi
dengan teknik anesthesia hiperventilasi,sehingga isofluran banyak digunakan unutk bedah otak/
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia
teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan coroner. Isofluran dengan
konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan kurang responsif jika
diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis
pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.
Desfluran
20
Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efeklinisnya
mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan anestetik volatile lainnya,
sehingga perlu menggunkan vaporizer khusus (TEC-6). Titik didihnya mendekati suhu ruangan
(23.5 °C). Potensinya rendah (MAC 0,6%) dan ia bersifat simpatomimetik menyebabkan
takikardia dan hipertensi. Efek depresi nafasnya seperti isofluran dan etran. Desfluran
merangsang jalan nafas atas, sehingga tidak digunakan untuk induksi anesthesia.
Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anesthesia lebih
cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
nafas, sehingga digemari untuk induksi anesthesia inhalasi disamping halotan. Efek terhadap
kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek erhadap saraf pusat seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran
cepat dikeluarkan oleh badan. Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime), tetapi
belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh manusia.
IV. Induksi per rektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental, midazolam, atau etomidat.
Pada anak biasa diberikan etomidat melalui rektal dengan dosis 6,5 mg/kgBB.
V. Induksi mencuri (steal induction)
Biasa dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Untuk yang sudah ada jalur vena
tidak masalah, tetapi pada yang belum terpasang jalur vena, harus kita kerjakan dengan hati-hati
supaya pasien tidak terbangun, Induksi mencuri inhalasi seperti induksi inhalasi biasa hanya
sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita beri jarak beberapa sentimeter,
sampai pasien tertidur baru sungkup muka kita tempelkan.
c. Rumatan anesthesia
Rumatan anesthesia atau maintenance dapat dikerjakan dengan secara intravena (total
intravena anestesi) atau dengan inhalasi atau dengan camputa intravena inhalasi. Rumatan
anesthesia biasanya mengacu pada trias anesthesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak
21
sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan
relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanyl 10-50 µg
/ kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis
biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg / kgBB / jam. Bedah lama anestesi
total intravena menggunakan oipioid, pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan
paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3 : 1 ditambah halotan
0,5 – 2 vol % atau enfluran 2-4 vol % atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4 vol%
bergantung apakah pasien bernafas spontan, dibantu atau assisted atau dikendalikan (controlled).
Obat-Obat Pelumpuh Otot
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesi umum inhalasi,
melakukan blokade saraf regional dan memberikan pelumpuh otot. Pendalaman anesthesia
beresiko depresi nafas dan depresi jantung, blokade saraf terganggu penggunaannya. Sebellum
dikenal obat penawar pelumpuh otot, penggunaan pelumpuh otot sangat terbatas. Sejak
ditemukan penawar pelumpuh otot dan penawar opioid, maka penggunaan pelumpuh otot dan
opioid hampir rutin. Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot lurik dan
sambungan ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf-otot. Pelumpuh otot disebut
juga sebagai obat blokade neuro-muskular.
a. Pelumpuh otot depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerjanya seperti asetil kolin,
tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah
sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi yang ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot
lurik. Termasuk golongan pelumpuh otot depolarisasi ialah suksinil kolin (diasetil kolin) dan
dekamentonium. Di dalam vena, suksinil kolin dimetabolisir oleh kolin-esterase plasma, pseudo
22
kolin esterase, menjadi suksinil monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin)
dikontraindikasikan, karena menghambat kerja pseudokolinesterase.
b. Pelumpuh otot non-depolarisasi
Pelumpuh otot non depolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan
reseptor nikotinik kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetik
kolin menempatinya, sehingga asetil kolin tidak dapat bekerja. Berdasarkan susunan molekulnya
maka pelumpuh otot nondepolarisasi digolongkan menjadi :
1. Bensiliso-kuinolium : d-tubokurarin, metokurin, atrakurium, doksakurium, mivakurium
2. Steroid : pankokurium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rukoronium.
3. Eter-felonik : gallamin
4. Nortoksiferin : allokuronium
Pilihan penggunaan obat-obat pelumpuh otot. (2)
1. Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium
2. Gangguan faal hati : atrakurium
3. Miastenia gravis : jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
4. Bedah minor / singkat : atrakurium, rukoronium, mivakuronium
5. Kasus obstetric : semua dapat digunakan kecuali gallamin
Tanda-tanda apabila dosis obat-obat pelumpuh otot mulai berkurang adalah adanya cegukan
(hiccup), dinding perut sudah mulai kaku, atau adanya tahanan pada inflasi paru.
Obat-obat penawar pelumpuh otot atau obat antikolinesterase bekerja pada sambungan
saraf otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja.
Asetilkolinesterase yang paling sering digunakan ialah neostigmine (prostigmin), piridostigmin,
dan edrophonium. Physostigmin (eserin) hanya untuk penggunaan per-oral.
Obat-obat Analgesik Anestesia
Rasa nyeri (nosisepsi) merupakan masalah unik, disatu pihak melindungi badan kita dan
dilain pihak merupakan suatu siksaan. Definisi nyeri merupakan pengalaman sensoris dan
amosional yang tidak menyenangkan yang disertai dengan kerusakan jaringan secara potensial
23
dan actual menurut The International Association for the Study of Pain. Nyeri sering dilukiskan
sebagai suatu yang berbahaya atau yang tidak berbahaya ,isalnya seperti sentuhan ringan,
kehangatan, tekanan ringan. Metoda penghilang nyeri biasanya digunakan analgetik golongan
opioid untuk nyeri hebatdan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID) untuk nyeri sedang
dan ringan. Metoda menghilangkan nyeri dapat dengan cara sistemis melalui oral, rektal,
transdermal, sublingual, subkutan, intramuskular, intravena, atau perinfus. Cara yang paling
digemari ialah intramuskular opioid.
Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
morfin. Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika yang sering digunakan dalam
anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Malahan
kadang-kadang digunakan untuk anesthesia narkotik total pada pembedahan jantung. Opium
adalah getah candu, sedangkan opiate adalah obat yang dibuat dari opium. Narkotik ialah istilah
tidak spesifik untuk semua obat yang dapat menyebabkan tidur.
Klasifikasi Opioid
Dalam klinik opioid digolongkon menjadi natural (morfin, kodein, papaverin, dan
tebain), semisintetik (heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (pethidin,
fentanyl, alfentanil, sufentanil, dan remifentanil)
Morfin
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan
lebih menguntungkan dibuat dari getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam
air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang. (long acting).
Terhadap system saraf pusat mempunyai 2 sifat yaitu depresi dan stumulasi. Digolongkan
depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk
stimulasi parasimpatis, miosis, muntah mual, hiperaktif reflex spinal, konvulsi dan sekresi
hormone ADH. Terhadap system jantung-sirkulasi dosis besar merangsang vagus dan berakibat
bradikardia, walaupun tidak mendepresi miokardium. Morfin dapat menyebabkan hipotensi
ortostatik. Terhadapr system respirasi harus hati-hati karena morfin dapat melepaskan histamine,
24
sihngga menyebabkan konstriksi bronkus. Oleh sebab itu kontraindikasi pada kasus asma dan
bronchitis kronis.
Morfin dapat diberikan secara subkutan, intramuscular, intravena epidural, dan intratekal.
Absorpsi dosis paruh waktu kira-kira 30 menit setelah suntikan subkutan dan 8 menit setelah
intramuscular. Sepertiga morfin yang diabsorpsi akan berikatan dengan albumin plasma.
Sebagian besar morfin akan dikonjugasikan dengan asam glukuronat di hepar dan di
metabolitnya akan dikeluarkan oleh urin 90% dan feses 10%.
Morfin masih popular sampai sekarang. Pada premedikasi sering dikombinasikan dengan
atropine dan fenotiasin (largaktil). Pada pemeliharaan anesthesia umum di kamar bedah sering
digunakan sebagai tambahan analgesia dan diberikan secara intravena. Untuk digunakan sebagai
obat utama anesthesia harus ditambahkan benzodiazepine atau fenotiasin atau anestetik inhalasi
volatile dosis rendah. Dosis anjuran untuk menghilangakn dan mengurangi nyeri sedang ialah
0,1-0,2 mg/kgBB subkutan, intramuscular dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat
dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yang diperlukan. Untuk mengurangi nyeri
dewasa pasca bedah atau nyeri persalinan digunakan dosis 2-4 mg epidural atau 0,05-0,2 mg
intratekal. Dan dapat diulang antara 6-12 jam.
Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan
morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Perbedaan dengan
morfin adalah petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut
dalam air. Selain itu dia dimetabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan
normeperidin,asam meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi 2 kali lipat dari petidin, tetapi sifat analgesinya sudah
berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin. Kemudian petidin
bersifat seperti atropine dapat menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan
takikardia. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi lebih
ringan. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetara pasca bedah yang tak ada
hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa, sedangakan morfin
tidak. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
25
Dosis petidin intramuskular 1-2 mg/kgBB (morfin 10x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan karena iritasi. Rumus
bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan untuk analgesia spinal paada
pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kgBB.
Fentanil
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Lebih larut
dalam lemak dibanding petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan
intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi fraksi
terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi
dan hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek depresi nafasnya lebih
lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-3 µg/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung
30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anesthesia pembedahan dan tidak untuk pasca
bedah. Dosis besar 50 – 150 µg/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan
anesthesia dengan kombinasi benzodiazepine dan anestetik inhalasi dosis rendah, pada bedah
jantung. Efek tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan
pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH,
renin, aldosterone dan kortisol.
Sufentanil
Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanyl. Efek pulihnya lebih cepat dari fentanyl.
Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanyl. Dosisnya 0,1-0,2 mg/kgBB
Alfentanil
Kekuatan analgesinya 1/5 – 1/3 fentanil. Insiden mual muntahnya sangat besar. Mula
kerjanya cepat. Dosis analgesi 10-20 µg/kgBB.
Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor µ (mu)
dan kelemahan analgesinya 10-20% disbanding morfin. Tramadol dapat diberikan secara oral,
26
i.m atau i.v dengan dosis 50-100 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal
400 mg per hari.
C. Tata Laksana Jalan Nafas
Syarat utama yang harus diperhatikan pada anesthesia umum adalah menjaga agar jalan
nafas selalu bebas dan nafas berjalan lancer dan teratur. Salah satu cara adalah dengan
memasang pipa khusus atau pipa endotrakea ke dalam trakea.Kadang-kadang anesthesia umum
dilakukan tanpa pemasangan pipa endotrakea terutama di daerah-daerah dimana tenaga
anesthesia terlatih belum tersedia.
Pada anesthesia umum tanpa pemasangan pipa endotrakea ada kalanya terjadi gangguan
nafas yang disebabkan obstruksi jalan nafas atas (JNA).Bila obstruksi ini berat dan akut,
akibatnya dapat fatal. Karena itu harus memahami gejala-gejalanya, cara pencegahan maupun
penanggulangannya. Gejala obstruksi jalan nafas sebenarnya mudah dikenal dan apapun
penyebabnya langkah-langkah penanggulangannya hampir sama.
Tanda-tanda obstruksi jalan sebagian (parsial)
1. Stridor (nafasnya berbunyi), terdengar seperti ngorok, bunyi kumur-kumur atau melengking.
2. Retraksi otot dada ke dalam di daerah supraklavikular, suprasternal, sela iga, dan epigastrium
selama inspirasi.
3. Nafas paradoksal (pada waktu inspiradi dinding dada menjadi cekung/ datar bukannya
mengembang/membesar).
4. Balon cadangan pada mesin anesthesia kembang-kempisya lemah
5. Nafas makin berat dan sulit (kerja otot-otot nafas tambahan meningkat)
6. Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan nafas yang lebih berat.
Tanda-tanda obstruksi total jalan nafas atas.
Serupa dengan obstruksi parsial, akan tetapi gejalanya lebih hebat dan stridor justru menghilang:
1. Retraksi lebih jelas
2. Gerak paradoksal lebih jelas
27
3. Kerja otot nafas tambahan meningkat dan makin jelas
4. Balon cadangan tidak kembang-kempis lagi
5. Sianosis lebih cepat timbul.
Secara klinis, salah satu tanda/gejala tersebut diatas sudah merupakan suatu peringatan
untuk segera mengatasinya, dengan lebih dulu dan bila mungkin mencari penyebabnya. Sebab-
sebab obstruksi jalan nafas yang paling sering adalah lidah terjatuh ke belakang ke bagian
hipofaring, adanya lender pada jalan nafas atau muntahan, perdarahan, benda asing, gigi palsu
terlepas, serta adanya spasme laring. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa apapun
penyebabnya langkah-langkah penanggulangannya hampir sama yaitu dengan cara misalnya
dengan maneuver tripel jalan nafas , pemasangan alat jalan nafas faring pemasangan alat jalan
nafas sungkup laring, pemasangan pipa trakea. Obstruksi dapat juga disebabkan karena spasme
laring pada saat anesthesia ringan dan mendapat rangsangan nyeri atau rangsangan oleh sekret.
1.. Manuver tripel jalan nafas
Manuver tripel jalan nafas terdiri dari :
a. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
b. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibular.
c. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan nafas bebas, sehingga gas atau
udara lancer masurk trakea lewat hidung atau mulut.
2. Jalan Nafas Faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan nafas mulut faring lewat
mulut (Oropharyngeal mask-OPA) atau jalan nafas hidung-faring lewat hidung (Nasopharyngeal
mask-NPA),
NPA : Berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat dari bahan karet lateks lembut.
Pemasangan harus hati-hati dan untuk menghindari trauma mukosa hidung pipa diolesi
dengan jelly
28
OPA : Berbentuk pipa gepeng lengkung seperti huruf C berlubang ditengahnya dengan salah
satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih keras untuk mencegah kalau pasien
menggigit lubang tetap paten, sehingga aliran udara tetap terjamin. OPA juga dipasang
bersama pipa trakea atau sungkup laring untuk menjaga patensi kedua alat tersebut dari
gigitan pasien.
3. Sungkup muka dan Sungkup Laring
Sungkup muka (face mask) mengantar udara/gas anestesi dari alat resusitasi atau system
anestesi ke jalan nafas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan
untuk bernafas spontan atau dengan tekana positif tidak bocor dan gas masuk semua ke semua
trakea lewat mulut atau hidung. Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung usia dan
pembuatnya. Ukuran 03 untuk bayi baru lahir; 02,01,1 untuk anak kecil ; 2,3 untuk anak besar;
dan 4,5 untuk dewasa.Sebagian sungkup muka dibuat dari bahan transparan supaya udara
ekspirasi kelihatan (berembun) atau kalau ada muntahan atau bibir terjepit kelihatan.
Sungkup laring (Laryngeal Mask Airway-LMA) ialah alat jalan nafas berbentuk sendok
terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembang kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras dari
polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring :
1. Sungkup laring standar dengan pipa nafas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa nafas standar dan lainnya pipa tambahan yang
ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.
Ukuran LMA dan peruntukannya
Ukuran LMA Berat (kg)
1.0
1.3
Neonatus
Bayi
< 3 kg
3 – 10 kg
29
2.0
2.3
3.0
4.0
5.0
Anak kecil
Anak
Dewasa kecil
Dewasa sedang
Dewasa besar
10 – 20 kg
20 – 30 kg
30 – 40 kg
40 – 60 kg
> 60 kg
Cara pemasangan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan laringoskop.
Sebenarnya alat ini dibuat dengan tujuan diantaranya supaya dapat dipasang langsung tanpa
bantuan alat dan dapat digunakan jika intubasi trakea diramalkan bakal mendapat kesulitan
LMA memang tidak dapat mengganti kedudukan intubasi trakea, tetapi ia terletak di antara
sungkup muka dan intubasi trakea. Pemasangan hendaknya menunggu anesthesia cukup dalam
atau menggunakan pelumpuh otot utnuk menghindari trauma rongga mulut, faring-laring.
Setelah alat terpasang, untuk menghindari pipa nafasnya tergigit maka dapat dipasang gulungan
kasa kain (bite block) atau pipa nafas mulut – faring (OPA)
4. Pipa trakea (endotracheal tube)
Pipa trakea menghantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan
stndar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam millimeter. Karena penampang
trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil dibawah
usia 5 tahun hampir bulat, sedangkan dewasa seperti hurud D, maka untuk bayi dan anak digunakan
tanpa cuff dan untuk anak besar-dewasa dengan cuff., supaya tidak bocor. Penggunaan kaf pada bayi-
anak kecil dapat membuat trauma selaput lender trakea dan selain itu jika kita ingin menggunakan pipa
trakea dengan cuff pada bayi harus meggunakan ukuran pipa trakea yng diameternya lebih kecil dan ini
membuat resiko tahanan nafas menjadi leih besar. Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut
(orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube). Di pasaran bebas dikenal beberapa ukuran
dan perkiraan ukuran yang diperlukan.
Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai Bibir (cm)
30
Prematur
Neonatus
1 – 6 bulan
½ - 1 tahun
1 – 4 tahun
4 – 6 tahun
6 – 8 tahun
8 – 10 tahun
10 – 12tahun
12 – 14 tahun
Dewasa wanita
Dewasa pria
2.0 – 2.5
2.5 – 3.5
3.0 – 4.0
3.5 – 3.5
4.0 – 5.0
4.5 – 5.5
5.0 – 5.5 *
5.5 – 6.0 *
6.0 – 6.5 *
6.5 – 7.0
6.5 – 8,5
7,5 – 10.0
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28 – 30
28 – 30
32 - 34
10
11
11
12
13
14
15 – 16
16 – 17
17 – 18
18 – 22
20 – 24
20 - 24
*Tersedia dengan atau tanpa cuff
Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:
Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4.0 + ½ umur (th)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (th)
Panjang pipa nasotrakeal = 12 + ½ umur (th)
5. Laringoskop dan Intubasi
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop ialah alat yang
digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea
dengan baik dan benar.Secara garis besar dikenal 2 macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Magill, Miller) untuk bayi- anak dewasa
2. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak-anak besar – dewasa.
31
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang dijumpai. Oleh
karena itu dibuat suatu klasifikasi untuk menilai kelainan anatomi tersebut. Klasifikasi tampakan
faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksinal menurut Mallampati dibagi
menjadi 4 gradasi
Gradasi Pilar Faring Uvula Palatum Molle
1
2
3
4
+
-
-
-
+
+
-
-
+
+
+
-
Hal-hal yang harus diperhatikan setelah pipa endotrakea masuk adalah :
1. Rongga dada kiri dan kanan harus sama mengembang serta bunyi udara inspirasi paru kanan
dan kiri harus terdengar sama keras dengan memakai stetoskop. Bila pipa masuk terlalu dalam
sering masuk ke bronkus kanan sehingga bunyi nafas hanya terdengar pada satu paru. Pipa
harus ditarik kembali sedikit. Periksa kembalil dengan stetoskop.
2. Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor yang dapat diketahui melalui dengan
mendengar bunyi di mulut pada saat paru diinflasi/ditiup.
3. Pasang alat pencegah tergigitnya pipa
4. Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat pipa agar tidak bergerak (malposisi)
Indikasi intubasi trakea
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan
bifurkasio trakea. Anestesi umum dengan teknik endotrakea dilakukan pada operasi lama-operasi
lama yang memerlukan nafas kendali, operasi daerah leher – kepala, operasi dengan posisi
miring, tengkurap atau duduk dimana jalan nafas bebas sulit dipertahankan. Indikasi sangat
32
bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut yaitu untuk menjaga patensi jalan nafas
oleh sebab apapun seperti pada kelainan anatomis,bedah khusus, bedah posisi khusus,
pembersihan sekret jalan nafas, dan lain-lain. Kemudian mempermudah ventilasi positif dan
oksigenasi. Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,
ventilasi jangka panjang. Lalu sebagai pencegahan terhadap adanya aspirasi dan regurgitasi
Tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat membantu memudahkan atau mengurangi
trauma pada waktu intubasi trakea adalah : (4)
1. Penderita harus tidak sadar/tidur. Pada penderita sadar teknis lebih sulit
2. Posisi kepala (kepala sedikit ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala)
3. Relaksasi otot yang baik
Kesulitan intubasi adalah antara lain apabila pasien leher pendek berotot, mendicula
menonjol, maksila atau gigi depan menonjol, Uvula tak terlihat (Mallampati 3 dan 4), Gerak
sendi temporo-mandibula terbatas, Gerak vertebra servikal terbatas.
Komplikasi intubasi
1. Selama intubasi bisa terjadi komplikasi dari intubasi, antara lain trauma pada gigi geligi,
laserasi bibir, gusi, dan laring, merangsang saraf simpatis atau terjadi hipertensi-takikardia,
intubasi bronkus, intubasi esophagus, aspirasi, atau terjadi spasme bronkus.
2. Setelah ekstubasi bisa juga terjadi spasme laring, aspirasi, ganguan fonasi, edema glottis-
subglottis, infeksi laring, faring, trakea.
Ekstubasi
Ektubasi adalah tindakan mengeluarkan alat-alat intubasi yang dilakukan sesaat setelah
operasi pembedahan selesai. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi
kembali akan menimbulkan kesulitan atau dikhawatirkan pasca ekstubasi ada resiko terjadinya
aspirasi. Ekstubasi dikerjakan umumnya pada anesthesia sudah ringan dengan catatan tak akan
terjadi spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan
cairan lainnya.
33
Dibawah ini merupakan tabel perbandingan sifat alat-alat jalan nafas yang sudah dijelaskan
diatas.
Sungkup Muka Sungkup Laring Pipa Trakea
Intervensi
Kualitas jalan nafas
Akses kepala leher
Ventilasi spontan
Ventilasi kendali
Perlu dipegang
Cukup baik
Jelek
Prosedur sangat pendek
Prosedur sangat pendek
Tak perlu dipegang
Cukup atau baik
Baik
Prosedur lama
Prosedur lama
Tak perlu dipegang
Sangat baik
Baik
Prosedur lama
Prosedur sangat lama
6. Krikotiroidotomi dan Trakeostomi
Krikotiroidotomi dipertimbangkan apabila intubasi gagal padahal jalan nafas masih
tersumbat dan pada pasien yang tidak dapat diberikan nafas buatan dari atas. Krikotiroidotomi
merupakan jalur darurat untuk oksigenasi. Tindakan ini hanya dapat dipertahankan dalam 10
menit karena dapat membuang CO2.
Tiroidektomi merupakan suatu tindakan yang tidak darurat dan benar-benar boleh
dilakukan apabila pasien berada dalam kondisi khusus seperti pada pasien dengan bantuan nafas
ventilator jangka panjang, obstruksi jalan nafas atas seperti adanya tumor atau stenosis, atau
untuk mempermudah pengendalian nafas pada operasi tumor jalan nafas.
D. Monitoring Perianestesia
Tujuan monitoring untuk membantu anestetis mendapatkan informasi fungsi organ vital
selama peri anesthesia, supaya dapat bekerja dengan aman. Kemajuan dalam bidang
mikroelektronik dan bioengineering memungkinkan kita memonitor lebih efektif dan dapat
mengetahui peringatan awal dari masalah yang potensial, sehingga kita dapat cepat mengerjakan
hal-hal yang perlu untuk mengembalikan fungsi organ vital sefisiologis mungkin. Tetapi alat
34
monitor kurang manfaat, dikarenakan berbagai macam factor salah satunya kalau arti dan
limitasi dari informasi yang diberikan kurang dimengerti.
Monitoring standar yang biasa dilakukan adalah melihat rekam medis sebelum tindakan.
Hal ini sangat penting diketahui apakah pasien berada dalam segar bugar atau sedang menderita
suatu penyakit sistemi. Monitoring dasar pada pasien dalam keadaan anesthesia ialah monitoring
tanpa alat atau dengan alat sederhana seperti stetoskop dan tensimeter secara inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi. Monitoring rutin atau monitoring standar pada pasien dalam
perianestesia berbeda antara satu rumah sakit dan rumah sakit lain dan tergantung banyak hal.
Kemajuan dalam bidang teknologi merubah monitoring standar dari waktu ke waktu yaitu terdiri
dari stetoskop precordial / esophageal, manset tekanan darah, EKG, oksimeter, dan
thermometer.Adapun juga bisa ditambahkan dengan monitoring fungsi ginjal, blokade
neuromuskular, dan system saraf.
E. Tatalaksana Pasca Anestesia (3)
Pulih dari anesthesia umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola di kamar
pulih atau unit perawatan pasca anesthesia atau ruang pemulihan. Idealnya bangun dari
anesthesia secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataannya sering dijumpai hal-hal yang
tidak menyenangkan akibat stress pasca bedah atau pasca anesthesia yang berupa gangguan
nafas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang
perdarahan. Unit Perawatan Pasca Anestesi (UPPA) harus selalu berada dalam 1 lantai dengan
kamar bedah supaya kalau ada timbul kegawatan dan perlu segera diadakan pembedahan ulang
tidak akan banyak mengalami hambatan. Pengawasan ketat di UPPA harus seperti sewaktu
berada di kamar bedah karena sebenarnya pasien masih dalam keadaan setengah anesthesia.
Pengawasan dilakukan sampai bebas bahaya., karena itu peralatan monitor yang baik harus
disediakan seperti tensimeter, oksimeter denyut (pulse oksimeter), EKG, peralatan resusitasi
jantung paru dan obatnya harus disediakan tersendiri dan terpisah dari kamar bedah.
Gangguan pernafasan.
Obstruksi nafas parsial apabila napas masih berbunyi atau total, tak ada ekspirasi apabila
tidak ada suara nafas paling sering dialami pada pasien pasca anestesi umum yang belum sadar,
karena lidah jatuh menutup faring atau oleh edema laring. Penyebab lain ialah kejang laring atau
35
spasme laring pada edema laring pasca intubasi, atau benda asing, sekret, ludah, darah dan lain-
lain. Kalau penyebab obstruksi pasien masih dalam anestesi dan lidah menutup faring, maka
lakukanlah maneuver tripel, pasang jaln nafas OPA atan NPA dan berikan O2 100%. Kalau hal
tersebut tidak terlalu menolong, pasang sungkup laring, berikan preparat kortikosteroid dan kalau
tidak berhasil perlu dipertimbangkan memberikan pelumpuh otot lagi.
Obstruksi nafas mungkin tidak terjadi tetapi pasien sianosis yang ditandai dengan
hiperkarbi, hiperkapni, PaCO2 > 45 mmHg atau ada tanda-tanda saturasi O2 menurun yaitu
hipoksemia, SaO2 <90 mmHg. Hal ini menyebabkan pernafasan pasien dangkal atau
hipoventilasi dan lambat. Pernafasan lambat sering akibat opioid dan dangkal sering akibat
pelumpuh otot masih bekerja. Kalau penyebab jelas karena opioid dapat diberikan obat-obat
antagonis dari opioid dan kalau oleh pelumpuh otot dapat diberikan prostigmin-atropin.
Hipoventilasi tersebut apabila di biarkan akan berlanjut menjadi asidosis, hipertensi, takikardia
yang berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung.
Gangguan kardiovaskular
Hipertensi dapat disebabkan karena stress akibat pembedahan, cairan infus berlebihan,
buli-buli penuh dan tidak dipasang kateter atau aktivitas saraf simpatis akibat hipoksia,
hiperkapni dan asidosis. Hipertensi akut yang berat yang berlangsung lama akan menyebabkan
gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema paru atau perdarahan otak. Terapi
hipertensi diarahkan pada factor penyebabnya kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres)
atau nitropusid (niprus) 0,5 – 1.0 µg/kg/menit.
Hipotensi akibat isian balik vena menurun disebabkan perdarahan, terapi cairan kurang
adekuat adekuat, hilangnya cairan ke rongga ketiga, keluaran air kemih belum di ganti, kontriksi
miokardium kurang kuat atau tahanan vascular perifer menurun. Hipotensi harus segera
ditangani kalau tidak akan terjadi hipoperfungsi organ vital yang berlanjut dengan hipoksemia
dan kerusakan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan dengan factor penyebabnya. Berikan O2
100% dan infus kristaloid RL atau Asering 300-500 ml. Disritmia disebabkan oleh hypokalemia,
asidosis alkalosis, hipoksia,hiperkapnia, atau pasien memang menderita penyakit jantung.
Gelisah
36
Gelisah pasca anesthesia dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis, hipotensi, kesakitan
atau penuhnya vesika urinaria. Setelah disingkirkan sebab-sebab diatas pasien dapat diberikan
penenang seperti midazolam (dormikum) 0,05-0,1 mg/kg BB.
Nyeri
Nyeri pasca bedah dikategorikan sebagai nyeri berat, sedang, dan ringan. Untuk meredam
nyeri pasca bedah pada analgesia regional pasien dewasa, sering ditambahkan morfin 0.05 – 0.10
mg atau 2-5 mg saat memasukkan anestesi local. Tindakan ini sangat bermanfaat karena dapat
membebaskan nyeri pasca bedah sekitar 10 – 16 jam. Setelah itu nyeri yang timbul biasanya
bersifat sedang atau ringan dan jarang diperlukan tambahan opioid dan kalaupun perlu cukup
diberikan analgetik golongan AINS misalnya ketorolac 10-30 mg iv atau im
Mual muntah
Mual muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama penggunaan
opioidm bedah intra-abdomen, hipotensi dna pada analgesia regional. Obat mual muntah yang
sering digunakan pada perianestesi adalah dehydrobenzperidol (droperidol) 0,05-0,1 mg/kgBB
(amp 5 mg/ml) i.m atau iv, metoklopramid 0,1 mg/kgBB iv, Ondansentron 0,05 – 0,1 mg/kgBB
iv, Cyclizine 25-50 mg.
Menggigil (Shivering)
Menggigil terjadi akibat hipotermia dari efek vasodilatasi obat-obat anestesi kebanyakan.
Hipotermi juga terjadi akibat suhu ruang operasi yang terlalu dingin, ruang UPPA, cairan infus,
cairan irigasi, bedah abdomen luas dan lama. Menggigil selain akibat turunnya suhu dapat juga
disertai oleh naiknya suhu dan biasanya akibat obat anestetik inhalasi. Terapi petidin 10-20 mg
iv pada dewasa sering dapat membantu menghilangkan menggigil didukung dengan tambahan
selimut hangat, infus hangat dengan animac atau infusion warmer, lampu penghangat dan
menaikkan suhu tubuh.
Nilai Pulih dari anesthesia
Selama di UPPA pasien dinilai tingkat pulih sadarnya untuk kriteria pemindahan ke ruang perawatan
biasa
37
Nilai 2 1 0
Kesadaran Sadar, orientasi baik Dapat dibangunkan Tak dapat
dibangunkan
Warna Merah muda (pink),
Tanpa O2 SaO2
>92%
Pucat atau kehitaman,
Perlu O2 agar SaO2
> 90%
Sianosis dengan O2
SaO2 tetap <90%
Aktivitas 4 Ekstremitas
bergerak
2 Ekstremitas
bergerak
Tak ada ekstremitas
bergerak
Respirasi Dapat napas dalam
dan Batuk
Napas dangkal, Sesak
nafas
Apneu atau obstruksi
Kardiovaskular Tekanan Darah
berubah <20%
Berubah 20-30 % Berubah >50%
Pada anak-anak nilai pulih ditentukan berdasarkan steward score yaitu
2 1 0
Pernafasan Batuk - menangis Pertahankan jalan
nafas
Perlu bantuan
Pergerakan Gerak yang bertujuan Gerak yang tidak
bertujuan
Tidak bergerak
Kesadaran Menangis Bereaksi terhadap
rangsangan
Tidak bergerak
38
BAB III. KESIMPULAN
Anestesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anesthesia yang ideal adalah terdiri
dari hipnotik (tidur sementara), analgesia dan relaksasi otot. Keadaan anestesi berbeda dengan
keadaan analgesia, yang didefinisikan sebagai tidak adanya nyeri. Keadaan ini dapat ditimbulkan
oleh agen narkotika yang dapat menghilangkan nyeri sampai pasien sama sekali tidak sadar.
Secara garis besar yang perlu diperhatikan dalam anestesi umum adalah penilaian dan
persiapan pasien pra anestesi, induksi dan rumatan obat-obat anestesi apa saja yang akan dipakai,
tatalaksana jalan nafas, monitoring selama operasi berlangsung serta perawatan anestesi.
Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot
tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien. Selain itu, tujuan dari anestesi
umum juga termasuk mengendalikan pernafasan pasien dan memantau fungsi vital tubuh pasien
selama prosedur anestesi berlangsung. Anestesi umum diberikan oleh dokter yang terlatih khusus
pada bidang anestesi ataupun bisa juga dilakukan oleh perawat anestesi yang berkompeten.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Desai AM, General Anesthesia. Accessed on October 17 2012. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview#showall
2. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S. Anesthesiologi. Edisi Pertama. Jakarta. Penerbit Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2002
3. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anesthesiologi. Edisi kedua. Jakarta.
Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2011
4. Anestesi Umum. Accessed on October 16 2012. Available at
http://www.scribd.com/doc/94016793/ANESTESI-UMUM
5. General Anesthesia. Accessed on October 15 2012.Available at
http://www.mayoclinic.com/health/anesthesia/MY00100
6. Soenarjo, Marwanto H, Witjaksono, Satoto H, Jatmiko HD, dkk. Anestesiologi. Edisi pertama.
Semarang. Penerbit Bagian Anestesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Undip /
RSUP Dr. Kariadi ; 2002
40