REFERAT BEDAH

26
BAB 1 PENDAHULUAN Trombosis merupakan salah satu masalah kesehatan utama baik di negara maju maupun negara berkembang. Insiden penyakit terkait dengan trombosis semakin meningkat setiap tahunnya. Selain peningkatan angka mortalitas dan morbiditas, menurunnya kualitas hidup dan produktivitas kerja serta hilangnya hari kerja juga merupakan hal yang menyebabkan peningkatan pembiayaan kesehatan yang terkait dengan trombosis ini. 1,2 Trombosis merupakan penyebab kematian utama di Amerika Serikat. Sekitar 2 juta penduduk setiap tahunnya meninggal akibat trombosis arteri, vena, atau komplikasinya. Insiden tromboemboli vena di Amerika Serikat sekitar 100 per 100.000 orang per tahun dan meningkat seiring dengan bertambahnya umur, dua pertiga dari kasus tromboemboli vena adalah trombosis vena dalam dan sepertiganya adalah emboli paru dan sekitar 20% dari pasien dengan emboli paru meninggal sebelum terdiagnosis atau dalam hari pertama rawatan. Sementara data di Eropa, tromboemboli vena merupakan penyebab tingginya angka mortalitas, morbiditas, dan perawatan di rumah sakit. Berdasarkan data Eupean Union di enam negara Eropa di tahun 2004 didapatkan sekitar 317.000 orang meninggal yang dihubungkan dengan kejadian

description

Bedah

Transcript of REFERAT BEDAH

Page 1: REFERAT BEDAH

BAB 1

PENDAHULUAN

Trombosis merupakan salah satu masalah kesehatan utama baik di

negara maju maupun negara berkembang. Insiden penyakit terkait

dengan trombosis semakin meningkat setiap tahunnya. Selain

peningkatan angka mortalitas dan morbiditas, menurunnya kualitas hidup

dan produktivitas kerja serta hilangnya hari kerja juga merupakan hal yang

menyebabkan peningkatan pembiayaan kesehatan yang terkait dengan

trombosis ini.1,2

Trombosis merupakan penyebab kematian utama di Amerika Serikat.

Sekitar 2 juta penduduk setiap tahunnya meninggal akibat trombosis

arteri, vena, atau komplikasinya. Insiden tromboemboli vena di Amerika

Serikat sekitar 100 per 100.000 orang per tahun dan meningkat seiring

dengan bertambahnya umur, dua pertiga dari kasus tromboemboli vena

adalah trombosis vena dalam dan sepertiganya adalah emboli paru dan

sekitar 20% dari pasien dengan emboli paru meninggal sebelum

terdiagnosis atau dalam hari pertama rawatan. Sementara data di Eropa,

tromboemboli vena merupakan penyebab tingginya angka mortalitas,

morbiditas, dan perawatan di rumah sakit. Berdasarkan data Eupean

Union di enam negara Eropa di tahun 2004 didapatkan sekitar 317.000

orang meninggal yang dihubungkan dengan kejadian tromboemboli vena

dengan rincian 34 % meninggal tiba-tiba, 59 % meninggal selama proses

diagnosa, dan hanya 7% pasien meninggal yang sudah didiagnosa jelas

dengan emboli paru sebelum pasien meninggal.3,4,5,6

Trombosis adalah pembentukan suatu massa abnormal di dalam

sistem peredaran darah makhluk hidup yang berasal dari komponen-

komponen darah. Massa abnormal itu disebut trombus dan bila terlepas

dari dinding bekuan darah yang terjadi in vitro atau yang terdapat di dalam

rongga tubuh maupun yang terbentuk post mortem bukan merupakan

suatu trombus. Teori mengenai patogenesis trombosis sudah dikenal

Page 2: REFERAT BEDAH

sejak abad 19. Pada tahun 1845, Virchow pertama kali mengemukakan

adanya tiga faktor utama yang memegang peranan dalam patogenesis

trombosis yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah

dan perubahan daya beku darah. Ketiga faktor tersebut di atas disebut

“Triad of Virchow“.1,7

Page 3: REFERAT BEDAH

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Trombosis vena dalam atau deep Vein Thrombosis (DVT)

merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam (deep

vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan

jaringan perivena. DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh

darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena (stasis) yang

dikenal dengan trias virchow.1,2,3

2.2. Epidemiologi

DVT merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah

penyakit koroner arteri dan stroke.4 DVT terjadi pada kurang lebih 0,1%

orang/tahun. Insidennya meningkat 30 kali lipat dibanding dekade yang

lalu. Insiden tahunan DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih

50/100.000 populasi/tahun.3 Faktor resiko DVT antara lain faktor

demografi/lingkungan (usia tua, immobilitas yang lama), kelainan patologis

(trauma, hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid syndrome, vena

varikosa ekstremitas bawah, obesitas, riwayat tromboemboli vena,

keganasan), kehamilan, tindakan bedah, obat-obatan (kontrasepsi

hormonal, kortikosteroid).1,3,5,6 Meskipun DVT timbul karena adanya faktor

resiko tertentu, DVT juga dapat timbul tanpa etiologi yang jelas ( idiopathic

DVT).2,7 Untuk meminimalkan resiko fatal terjadinya emboli paru

didiagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan. Kematian

dan kecacatan dapat terjadi sebagai akibat kesalahan diagnosa,

kesalahan terapi dan perdarahan karena penggunaan antikoagulan yang

tidak tepat, oleh karena itu penegakan diagnosa dan penatalaksanaan

yang tepat sangat diperlukan.2,7

2.3. Patogenesis

Page 4: REFERAT BEDAH

Tiga hal utama yang mempengaruhi terjadinya pembentukkan

trombus disebut dengan Trias Virchow yaitu jejas endotel, turbulensi aliran

darah (stasis) dan hiperkoagulabilitas darah. Jejas endotel akibat injury

eksternal maupun akibat kateter intravena dapat mengikis sel endotel dan

mengakibatkan pajanan kolagen subendotel. Kolagen yang terpajan

merupakan substrat yang digunakan sebagai tempat pengikatan faktor

von Wilderbrand dan platelet yang menginstansi kaskade pembekuan

darah. Endotel yang mengalami disfungsi dapat menghasilkan faktor

prokoagulasi dalam jumlah yang lebih besar dan efektor antikoagulan

dalam jumlah yang lebih kecil (misalnya trombomodulin dan heparin

sulfat).

Statis Vena

Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi

statis terutama pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi

dalam waktu yang cukup lama.

Statis vena merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis

lokal karena dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih

terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga memudahkan

terbentuknya trombin.

Stasis merupakan faktor utama dalam pembentukan trombus

vena. Stasis dan turbulensi akan menyebabkan:

1. Mengganggu aliran laminar dan melekatkan trombosit pada

endotel,

2. Mencegah pengenceran faktor pembekuan yang teraktifasi oleh

darah segar yang terus mengalir,

3. Menunda aliran masuk inhibitor faktor pembekuan dan

memungkinkan pembentukan trombus,

4. Meningkatkan aktifitas sel endotel, mempengaruhi pembentukan

trombosis lokal, perlekatan leukosit serta berbagai efek sel

endotel lain.

Page 5: REFERAT BEDAH

Beberapa faktor yang menyebabkan aliran darah vena

melambat dan menginduksi terjadinya stasis darah adalah imobilisasi

(bed rest lama setelah selesai operasi, duduk di dalam mobil atau

pesawat terbang dalam perjalanan yang lama), gagal jantung dan

sindroma hi[perviskositas.

Kerusakan pembuluh darah

Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan

trombosis vena, melalui :

a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.

b. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai

akibat kerusakan jaringan dan proses peradangan.

Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel

endotel. Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel

endotel menghasilkan beberapa substansi seperti prostaglandin

(PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin,

yang dapat mencegah terbentuknya trombin.

Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub

endotel akan terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan sistem

pembekuan darah di aktifkan dan trombosir akan melekat pada

jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan

mikro-fibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin

difosfat dan tromboksan A2 yang akan merangsang trombosit lain

yang masih beredar untuk berubah bentuk dan saling melekat.

Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem

pembekuan darah.

Perubahan daya beku darah

Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem

pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya

trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah meningkat atau

aktifitas fibrinolisis menurun.

Page 6: REFERAT BEDAH

Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan

aktifitas pembekuan darah meningkat, seperti pada hiperkoagulasi,

defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S

dan kelainan plasminogen.

2.4. Faktor Resiko

Faktor utama yang berperan terhadap terjadinya trombosis vena

adalah status aliran darah dan meningkatnya aktifitas pembekuan darah.

Faktor kerusakan dinding pembuluh darah adalah relatif berkurang

berperan terhadap timbulnya trombosis vena dibandingkan trombosis

arteri. Sehingga setiap keadaan yang menimbulkan statis aliran darah dan

meningkatkan aktifitas pembekuan darah dapat menimbulkan trombosis

vena.

Faktor resiko timbulnya trombosis vena adalah sebagai berikut :

1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti

tripsin.

Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif

tidak di netralisir sehinga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.

2. Tindakan operatif

Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena

adalah operasi dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul

dan tungkai bawah.

Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami

trombosis vena, sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya

trombosis vena sekitar 10%-14%.

Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada

tindakan operatif, adalah sebagai berikut :

a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah

karena trauma pada waktu di operasi.

Page 7: REFERAT BEDAH

b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode

preperatif, operatif dan post operatif.

c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama

sesudah operasi.

d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena

secara langsung di daerah tersebut.

3. Kehamilan dan persalinan

Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas

fibrinolitik, statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor

pembekuan VII, VIII dan IX.

Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang

menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah,

sehingga terjadi peningkatkan koagulasi darah.

4. Infark miokard dan payah jantung

Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu

kerusakan jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan

proses pembekuan darah dan adanya statis aliran darah karena istirahat

total.

Trombosis vena yang mudah terjadi pada payah jantung adalah

sebagai akibat statis aliran darah yang terjadi karena adanya bendungan

dan proses immobilisasi pada pengobatan payah jantung.

5. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.

Page 8: REFERAT BEDAH

Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang

mempermudah timbulnya trombosis vena.

6. Obat-obatan konstrasepsi oral

Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan

dilatasi vena, menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik

dan meningkatnya faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan

mempermudah terjadinya trombosis vena.

7. Obesitas dan varices

Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan

penurunan aktifitas fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis

vena.

8. Proses keganasan

Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan “tissue

thrombo plastin-like activity” dan “factor X activiting” yang mengakibatkan

aktifitas koagulasi meningkat. Proses keganasan juga menimbulkan

menurunnya aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke dinding vena. Keadaan ini

memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan operasi terhadap penderita

tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat dibandingkan

penderita biasa.

2.5. Klasifikasi

DVT dibagi menjadi 2 tipe sentral (iliac DVT dan femoral DVT) dan

tipe perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan

Page 9: REFERAT BEDAH

gejala dan tanda klinis serta derajat keparahan drainase vena, DVT dibagi

menjadi DVT akut dan kronis.2,3

2.6. Gejala Klinis

Diagnosa DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda

yang ditemukan pada pemeriksaan fisik serta ditemukannya faktor resiko.7

Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan warna

kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue

leg).3 Skor dari Wells (tabel 1) dapat digunakan untuk stratifikasi (clinical

probability) menjadi kelompok resiko ringan, sedang atau tinggi.2,3

Tabel-1. Skor Wells (Hirsh, 2002)

Pada pasien dengan dugaan DVT terlebih dahulu ditentukan clinical

probability nya berdasarkan skoring oleh Wells. Jika skor > 3 dianggap

clinical probability nya tinggi, skor 1-3 dianggap clinical probability nya

intermediate, dan jika skor ≤ 0 dianggap memiliki clinical probability

rendah.2,3

2.7. Patofisiologi

2.8. Diagnosis

Page 10: REFERAT BEDAH

Pasien dengan DVT dapat memiliki tanda dan gejala yang minimal

dan tidak khas karena pemeriksaan tambahan seringkali diperlukan untuk

menegakkan diagnosa.2 Pemeriksaan D-dimer < 0,5 mg/ml dapat

menyingkirkan diagnosis DVT. Nilai prediktif negatif pemeriksaan D-dimer

pada DVT lebih dari 95%, pemeriksaan ini bersifat sensitif tapi tidak

spesifik, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosa

DVT.8,9 Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan pemeriksaan

baku yang paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non-

invasive ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi

pada kondisi tertentu. USG Doppler memberikan sensitivitas 95% dan

spesifisitas 96% untuk mendiagnosa DVT yang simptomatis dan terletak

pada bagian proksimal akan tetapi pada isolated calf vein thrombosis

sensitivitasny hanya 60% dan spesifisitasnya kurang lebih 70%.2,3,10,11 Jika

dengan metode pemeriksaan USG Doppler dan D-dimer diagnosa DVT

belum dapat ditegakkan maka Magnetic Resonance Venography (MRV)

harus dilakukan. Algoritme diagnosis DVT dapat dilihat pada gambar-1.

2.9. Terapi

Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan

trombus yang makin luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya

adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya sindrom post trombotik.

Tata laksana DVT bisa berupa non farmakologis maupun farmakologis.

Non farmakologis dilakukan dengan elevasi ekstremitas di atas level

jantung untuk mengurangi edema dan rasa sakit. Sedangkan terapi

farmakologis dilakukan dengan pemberian antikoagulan. Antikoagulan

inisial yang paling sering digunakan dan direkomendasikan adalah Low

Molecular-weight Heparin (LMWH), unfraction iv heparin (UFH) atau

adjusted dose subcuntaneus heparin.2,3

Kombinasi heparin dan antikoagulan oral merupakan terapi inisial

dan drug of choice DVT.7,11,12,13 Antikoagulan inisial yang paling sering

digunakan dan direkomendasikan adalah Low Molecular-weight Heparin

Page 11: REFERAT BEDAH

(LMWH), unfraction iv heparin (UFH) atau adjusted dose subcutaneus

heparin. Pemberian antikoagulan inisial ini dilakukan selama 5 hari. Dapat

diberikan sampai 10 hari bila terdapat emboli paru yang masif atau

trombus iliofemoral yang parah dan dilanjutkan (atau diberikan bersamaan

dari awal pengobatan) dengan oral antikoagulan seperti warfarin 5 mg.

Oral antikoagulan diberikan dalam waktu jangka panjang. Umumnya

diberikan 3-6 bulan tergantung dari penyebab yang mendasari terjadinya

DVT.

Unfractioned heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat

tapi harus diberikan secara intravena. UFH berikatan dengan antitrombin

dan meningkatkan kemampuannya untuk menginaktivasi faktor Xa dan

trombin.14,15 Dosis Unfractioned heparin (UFH) berdasarkan berat badan

dan dititrasi sesuai kadar activated partial-thromboplastin time (APTT).

Pemberian UFH memerlukan monitor APTT 6 jam setelah pemberian

bolus. Target APTT yang diinginkan adalah antara 1,5 sampai 2,3 kali

kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda tiap-tiap individu karena

obat ini berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein sel. Efek

samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi inisial

resiko terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung pada

dosis, usia, penggunaan bersama dengan antitrombotik atau trombolitik.

Trombositopeni transien terjadi pada 10-20 % pasien. Pemberian heparin

dapat dihentikan 4-5 hari setelah penggunaanya bersama warfarin jika

target International Normalized Ratio (INR) dari prothrombin clotting time

lebih dari 2,0.7,11

Low Molecular-weight Heparin (LMWH) bekerja dengan cara

menghambat faktor Xa melalui ikatan dengan antitrombin.14 LMWH

merupakan antikoagulan yang memiliki beberapa keuntungan dibanding

UFH antara lain respon antikoagulan yang lebih dapat diprediksi, waktu

paruh yang lebih panjang, dapat diberikan sub kutan satu sampai dua kali

sehari, dosis yang tetap, tidak memerlukan monitoring laboratorium,

bahkan lebih cost effective dibandingkan dengan pemberian UFH. Selain

Page 12: REFERAT BEDAH

itu resiko untuk terjadinya rekurens dan perdarahan pada pemberian

LMWH jauh lebih kecil. LMWH banyak menggantikan peranan UFH

sebagai antikoagulan.2,15

Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang

terjadi dibanding penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan

antara lain kelainan darah, riwayat stroke perdarahan, metastase ke

central nervous system (CNS), kehamilan peripartum, operasi abdomen

atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal.

Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan aman dan efektif terutama

jika pasien edukatif serta ada sarana untuk memonitor. Penggunaan

LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien

dengan trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang tinggi

seperti usia tua, baru saja menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal

dan liver serta memiliki penyakit penyerta yang berat.2,7,11 LMWH

diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu pada penderita gangguan

fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh UFH.12,14

Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin

selama empat sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah

penggunaannya bersama warfarin mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin

(lovenox) adalah LMWH pertama yang dikeluarkan oleh U.S. Food and

Drug Administration (FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB,

dua kali sehari.11

Pilihan lain adalah penggunaan fondaparinux (Arixtra). Fondaparinux

adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa dan

trombin.14 Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi

akut dengan dosis 5 mg (BB < 50 kg), 7,5 mg (BB 50 – 100 kg), atau 10

mg (BB > 100 kg) secara subkutan, satu kali perhari.14,16

Setelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan

dilanjutkan dengan pemberian derivat kumarin sebagai profilaksis

sekunder untuk mencegah kekambuhan.7 Warfarin adalah obat yang

paling sering diberikan. Warfarin adalah antagonis vitamin K yang

Page 13: REFERAT BEDAH

menghambat vitamin K-dependent clotting factor (faktor II, VII, IX, X)

melalui hambatan terhadap enzim vitamin K epoxide reductase.15 Dosis

awal yang diberikan adalah 5 mg pada hari pertama sampai hari keempat,

dosis dititrasi tiap 3 sampai 7 hari dengan target kadar INR berkisar 2,0

sampai 3,0. Dosis yang lebih kecil (2-4 mg) diberikan pada usia tua, BB

rendah dan kondisi malnutrisi.2,7

Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak

kelemahan antara lain onset of action yang lambat, dosis yang bervariasi

antar individu, interaksi dengan banyak jenis obat dan makanan,

therapeutic window yang sempit sehingga membutuhkan monitoring ketat.

Oleh karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral yang baru dan lebih

baik untuk menggantikannya. Ada beberapa macam antikoagulan baru

yang telah banyak dipakai sebagai profilaksis DVT seperti rivaroxaban

(inhibitor faktor Xa), apixaban (inhibitor faktor Xa) dan dabigatran etexilate

(inhibitor trombin) tetapi belum ada yang digunakan sebagai terapi pada

DVT akut. Secara teori, obat antikoagulan baru memiliki kelebihan

dibanding warfarin, antara lain onset of action yang cepat dan tidak

membutuhkan terapi inisial dengan antikoagulan parenteral, tapi belum

ada penelitian tentang hal ini. Kekurangan obat antikoagulan baru adalah

tidak adanya antidotum yang spesifik terhadap efek samping perdarahan

sehingga penggunaan obat-obat ini masih memerlukan penelitian lebih

lanjut, selain itu harganya jauh lebih mahal dari warfarin.14,17

Page 14: REFERAT BEDAH

BAB 3

KESIMPULAN

Patogenesis tromboemboli vena dapat diterangkan berdasarkan

Triad of Virchow’s. Kelainan perubahan aliran darah dan perubahan daya

beku darah pada trombosis vena memiliki peranan penting, perubahan

aliran darah berupa berupa statis aliran darah dan perubahan daya beku

darah dengan meningkatnya aktifitas pembekuan darah.

Terapi utama pada penatalaksanaan tromboemboli vena adalah

antikoagulan, antikoagulan parenteral direkomendasikan pada fase awal

terjadinya tromboemboli vena, dan kemudian dilanjutkan dengan

antikoagulan oral.

Peranan antikoagulan oral baru sebagai pengobatan terhadap

tromboemboli vena memiliki efikasi yang sama dengan terapi standar dan

bahkan menurunkan efek samping perdarahan.

Page 15: REFERAT BEDAH

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiabudy RD. Patofisiologi trombosis. Dalam : Hemostasis dan

trombosis. Edisi Kelima. Editor Setiabudy RD. Penerbit FKUI. 2012 :

34-47

2. Cushman M. Epidemiology and risk faktor for venous thrombosis.

Semin Hematol. 2007; 44: 62-69

3. Sukrisman L. Trombosis vena dalam dan emboli paru. Dalam: Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keenam. Editor Sudoyo AW,

Setiohadi, Alwi I, Simadibrata, Setiati S. Penerbit Interna Publising.

2014: 2818-2822

4. Wilbur J, Shian B. Diagnosis of deep venous thrombosis and

pulmonary embolism. Journal of American Family Physician. Vol.86,

2012

5. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D,

Gallie N, et all. 2014 ESC Guedlines on the diagnosis and

management of acute pulmonary embolism. European Heart Journal.

2014; 35: 3033-3080

6. Jaff MR, Murtry MS, Archer SL, Cushman M, Goldenberg N,

Goldhaber SZ, et all. Management of massive and submassive

pulmonary embolism, iliofemoral deep vein thrombosis, and chronic

thromboembolic pulmonary hypertension: A Scientific statement from

the american heart association. Circulation. 2011;123:1788-1830

7. Versteeg HH, Heemskerk JWM, Levi M, Reitsma PH. New

fundamentals in hemostasis. Physiol rev. 2013; 93: 327-358

8. Bailey A, Scantlebury D, Smyth S (2009). Thrombosis and

antithrombotic in women. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-88

9. Hirsh J. Lee A (2002). How we diagnose and treat deep ven

thrombosis. Blood. 99:3102-3110

Page 16: REFERAT BEDAH

10. JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and

prevention of pulmary thromboemboli and deep vein thrombosis

(JCS 2009). Circ J, 75:1258-1281

11. Patterson B, Hinchliffe R, Loftus I (2010). Indication for catheter-

directed thrombolysis in the management of acute proximal deep

vein thrombosis. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 30:669-674

12. Goldhaber S (2010), RIsk factors for venous thromboembolism.

Journal of the American College of Cardiology, 56:1-7

13. Sousou T, Khorana A (2009). New insights into cancer-associated

thrombosis. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:316-29

14. Bates S, Ginsberg G (2004). Treatment of deep vein thrombosis. N

Engl J Med, 351:268-77

15. Adam S, Key N, Greenberg C (2009). D-dimer antigen: current

concepts and future propects. Blood, 113:2878-87

16.

Page 17: REFERAT BEDAH

REFERAT

ILMU BEDAH

Pembimbing:

dr. Andi Abdullah, SpOT

Penyusun:

Fajar Setyo Nugroho 2009.04.0.0156

FAKULTAS KEDOKTERAH HANG TUAH SURABAYA

2015

Page 18: REFERAT BEDAH

LEMBAR PENGESAHAN

Page 19: REFERAT BEDAH

KATA PENGANTAR

Page 20: REFERAT BEDAH

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ……………………………………………………….. i

Kata Pengantar ………………………………………………………………ii

Daftar Isi ………………………………………………………………………iii

Bab 1 Pendahuluan ………………………………………………………… 1

Bab 2 Tinjauan Pustaka ……………………………………………………

Bab 3 Kesimpulan …………………………………………………………..

Daftar Pustaka ………………………………………………………………

Page 21: REFERAT BEDAH

DAFTAR GAMBAR