Referat RA Bedah

download Referat RA Bedah

of 29

Transcript of Referat RA Bedah

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    1/29

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Tulang membentuk formasi endoskeleton yang kaku dan kuat dimana otot-

    otot skeletal menempel sehingga memungkinkan terjadinya pergerakan. Tulang

    juga berperan dalam penyimpanan dan homeostasis kalsium. Kebanyakan tulang

    memiliki lapisan luar tulang kompak yang kaku dan padat. Tulang dan kartilago

    merupakan jaringan penyokong sebagai bagian dari jaringan pengikat tetapi

    keduanya memiliki perbedaan pokok antara lain tulang memiliki system

    kanalikuler yang menembus seluruh substansi tulang, tulang memiliki jaringan pembuluh darah untuk nutrisi sel-sel tulang, serta tulang hanya dapat tumbuh

    secara aposisi. Kerusakan tulang akibat infeksi akan menyebabkan proses

    homeostasis tulang terganggu hingga terjadi manifestasi klinis suatu penyakit

    tulang. 1,2

    Sendi merupakan suatu organ yang komplek dan tersusun atas berbagai

    komponen yang spesifik antara lain air, serabut kolagen, proteoglikan,

    glikoprotein lain serta lubrikan asam hialuronat. Struktur yang kompleks di atas

    memungkinkan suatu pergerakan sendi yang luas, Frictionless dan tidak

    mengakibatkan kerusakan luas dalam jangka panjang. 2

    Kerusakan sendi yang terjadi pada penyakit reumatik dalam bentuk

    peradangan sendi (artritis) tentu saja akan mempengaruhi komponen- komponen

    spesifik tersebut. Pada dasarnya proses kerusakan sendi pada penyakit reumatik

    melibatkan banyak komponen dari sendi itu sendiri yaitu: sinovium, kapsul sendi,

    rawan sendi, tulang subkhondral dan ligamentum sendi. 2

    Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas

    serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan

    suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif

    simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga

    melibatkan organ tubuh lainnya. Sebagian besar penderita menunjukkan gejala

    penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan menyebabkan

    terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progresif yang

    menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon

    1

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    2/29

    sex, infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola

    morbiditas penyakit ini .hingga etiologi AR yang sebenarnya tetap belum dapat

    diketahui dengan pasti. 3

    2

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    3/29

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Definisi

    RA adalah penyakit inflamasi sistemik yang dapat mengenai berbagai

    organ terutama mengenai jaringan ikat sendi dan cenderung menjadi kronik

    dan progresif. Dapat terjadi erosi tulang, destruksi (kehancuran) rawan sendi

    dan kerusakan total sendi. Karena bersifat sistemik, disamping sendi, dapat juga mengenai organ lain seperti mata kulit, SSP, paru, jantung ginjal, hati,

    lien, usus dan otot. 2,4

    B. Epidemiologi

    Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan

    tersebar luas di seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik.

    Di Indonesia, prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi

    (berkisar antara 0,3 sampai 2,1 persen) kelompok orang dewasa dan 1:100 ribu

    jiwa kelompok anak-anak. Total, diperkirakan terdapat 360 ribu pasien di

    Indonesia. Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita, dengan

    perbandingan wanita dan pria sebesar 2-3:1. Perbandingan ini mencapai 5:1

    pada wanita dalam usia subur. Artritis Reumatoid menyerang 2,1 juta orang

    Amerika, yang kebanyakan wanita. Dapat ditemui pada semua usia, akan tetapi

    umumnya terutama menyerang usia pertengahan > 40 tahun. 1,5 juta wanita

    mempunyai artritis reumatoid yang dibandingkan dengan 600.000 pria. 3,4

    C. Etiologi

    Penyebab Artritis Reumatoid masih belum diketahui. Faktor genetik dan

    beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya

    penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk

    3

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    4/29

    kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR 4 dengan AR

    seropositif. Pengemban HLA-DR 4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita

    penyakit ini. Kecenderungan wanita untuk menderita AR dan sering

    dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan

    terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang

    berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian hormon

    estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang

    diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal

    memang merupakan penyebab penyakit ini. 2,5,6

    Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab AR juga timbul karena umumnya

    onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh

    gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun hingga kini belum berhasil

    dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak

    menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan

    atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya AR. Agen

    infeksius yang diduga merupakan penyebab AR antara lain adalah bakteri,

    mikoplasma atau virus.

    Heat shock protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang

    (60 sampai 90 kDa) yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respons

    terhadap stress. Walaupun telah diketahui terdapat hubungan antara HSP dan

    sel T pada pasien AR, mekanisme ini belum diketahui dengan jelas. 5,6,7

    D. Anatomi dan Fisiologi sendi

    Beberapa komponen penunjang sendi:

    4

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    5/29

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    6/29

    atas bonggol sendi (kapsul retikuler), bursa sendi dan ikat sendi

    (ligamentum).

    Dapat dikelempokkan menjadi:

    Sendi peluru : persendian yang memungkinkan pergerakan ke segala arah.

    Contoh: hubungan tulang lengan atas dengan tulang belikat .

    Sendi pelana : persendian yang memungkinkan beberapa gerakan rotasi,

    namun tidak ke segala arah. Contoh: hubungan tulang telapak tangan dan

    jari tangan.

    Sendi putar : persendian yang memungkinkan gerakan berputar (rotasi).

    Contoh: hubungan tulang tengkorak dengan tulang belakang I (atlas).

    Sendi luncur : persendian yang memungkinkan gerak rotasi pada satu

    bidang datar. Contoh: hubungan tulang pergerlangan kaki.

    Sendi engsel : persendian yang memungkinkan gerakan satu arah. Contoh:

    sendi siku antara tulang lengan atas dan tulang hasta .

    Amfiartosis

    Persendian yang dihubungkan oleh jaringan tulang rawan sehingga

    memungkinkan terjadinya sedikit gerakan. Misalnya sendi sacro iliaka dan

    sendi- sendi antara corpus vertebra. Sendi sinovial umumnya dijumpai pada

    ekstremitas. Pada sendi ini ditemukan adanya celah sendi, rawan sendi,

    membran sinovium serta kapsul sendi Simfisis

    Tulang dihubungkan oleh jaringan tulang rawan yang berbentuk seperi

    cakram. Contoh: hubungan antara ruas-ruas tulang belakang. 8

    6

    http://id.wikipedia.org/wiki/Tulang_lengan_atashttp://id.wikipedia.org/wiki/Tulang_belikathttp://id.wikipedia.org/wiki/Tulang_lengan_atashttp://id.wikipedia.org/wiki/Tulang_lengan_atashttp://id.wikipedia.org/wiki/Tulang_hastahttp://id.wikipedia.org/wiki/Tulang_hastahttp://id.wikipedia.org/wiki/Tulang_lengan_atashttp://id.wikipedia.org/wiki/Tulang_belikathttp://id.wikipedia.org/wiki/Tulang_lengan_atashttp://id.wikipedia.org/wiki/Tulang_hasta
  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    7/29

    Gambar 1. Sendi synovial 3

    E. Peran Sinovium Dalam Kerusakan Sendi

    Sinovium merupakan bagian penting dari sendi diartrodial dan secara

    fisiologis berfungsi dalam transpor nutrien ke dalam rongga sendi serta

    mengeluarkan sisametabolismenya, membantu stabilitas sendi dan bersifat low-

    friction lining. Secara normal, sinovium diharapkan mampu memelihara,

    mendukung dan mengganti substansiyang diperlukan dalam kerja sendi sebagai

    suatu organ sepanjang hidup individu yang bersangkutan(2,3). Perubahan-

    perubahan yang terjadi pada sinovium tentu saja akan sangat berpengaruh

    terhadap sendi. Sebagian besar perubahan tersebut disebabkan oleh peningkatan

    dari volume sinovium itu sendiri seperti perubahan dari jumlah dan komposisi

    dari sel yang secara normal ditemukan pada sinovium yaitu sinoviosit, fibroblast,

    makrofag, sel mast, sel vaskular dan sel limfatik ataupun adanya infiltrasi sel- sel

    tertentu ke dalam sinovium (2). Peranan sinovium dalam kerusakan sendi pada

    berbagai penyakit memiliki mekanisme yang berbeda. Pada RA ditemukan pada sinovium adanya hyperplasia yang didominasi oleh sel sinoviosit A dan sinoviosit

    B pada bagian luar. Selain hyperplasia sinovium ditemukan juga vaskularisasi

    yang meningkat dan infiltrasi sel-sel inflamasi terutama sel limfosit T CD4, yang

    merupakan peran utama pada respon imun seluler. Daerah utama terjadinya

    kerusakan sendi terletak pada pertemuan jaringan sinovium yang meradang

    (pannus) dengan rawan sendi dan tulang. Pada stadium lanjut terdapat

    kerusakan periartikuler dan erosi tulang (16).3

    7

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    8/29

    F. Patofisiologi

    Peranan sinovial mediator pada AR Synovial mediator ataupun sitokin

    yang dihasilkan akibat adanya aktivasi berbagai sel imunokompeten mengaktivasi

    endotel vaskuler, dan sel-sel inflamasi lainnya yang akhirnya sel-sel tersebut

    mensekresi sitokin. Pada AR tampak gangguan keseimbangan sitokin pro

    inflamasi dan anti inflamasi yang menyebabkan otoimunitas berjalan. Berbagai

    sitokin terlibat pada kerusakan dan inflamasi sinovium. Interleukin-1 dan TNF-

    merupakan sitokin yang memiliki peran penting dalam pathogenesis AR. Kedua

    sitokin ini merupakan stimulator yang kuat sel-sel fibroblastsinovium, osteoklas

    dan kondrosit. 2,5

    Tabel 1. Sitokin- sitokin yang terlibat dalam patologi RA5

    8

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    9/29

    Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses

    oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel

    sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi

    determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses akan

    dikenali dan diikat oleh sel CD 4+ bersama dengan determinan HLA-DR yang

    terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks

    trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang

    dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya

    aktivasi sel CD 4+.

    Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan

    mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD 4+. IL-2 yang

    diekskresi oleh sel CD 4+ akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada

    permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi

    sel tersebut. Proliferasi sel CD 4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap

    berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD 4+ yang telah teraktivasi juga

    mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis

    factor (TNF-), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-

    macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain

    yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya

    dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi.

    Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.

    Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan

    membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang

    sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang

    akan membebaskan komponen-komplemen C 5a. Komponen-komplemen C 5a

    merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular

    juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke

    9

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    10/29

    arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan

    bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah peningkatan permeabilitas

    mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada

    membran sinovial.

    Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan

    dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease

    neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi

    dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi

    hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi.

    Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan

    sendi.

    Prostaglandin E 2(PGE 2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat

    merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan

    TNF. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen

    penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR,

    antigen atau komponen antigen umumnya akan menetap pada struktur persendian,

    sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak terhentinya

    destruksi persendian pada AR kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya

    faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop

    fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien AR. Faktor reumatoid akan

    berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses

    peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan

    terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan

    histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat. 2,5,8

    10

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    11/29

    Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan

    kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang

    paling destruktif dalam patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi

    yang terbentuk dari makrofag dan sel-sel radang lainnya, factor pertumbuhan

    (Fibroblast Growth Factor, FGF) yang menyebabkan proliperasi fibroblast serta

    faktor angiogenesis (Vascular Endothelial Growth Factor, VEGF) yang

    membentuk pembuluh darah baru ( neovaskularisasi).

    Secara histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus

    terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan jaringan

    kolagen dan proteoglikan.2,5, 9,10

    Gambar 2. Mekanisme erosi sendi oleh osteoklast pada AR

    11

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    12/29

    Gambar 3. Peran sentral IL-1 dan TNF- dalam pathogenesis AR

    G. Gejala Klinis

    Gejala klinis Intra & Ekstra artikuler bervariasi dari yang ringan sampai

    berat sehingga terjadi poliartritis, destruktis dan vaskulitis sistemik. Biasanya

    dimulai dengan gejala prodromal : lemah, lekas lelah, nafsu makan, BB , sakit

    seluruh tubuh dan kaku. 20% akan mengalami remisi, kemudian serangan

    datang lagi secara tiba-tiba, disertai demam dan lemah. Sendi yang diserang

    sehingga menimbulkan rasa nyeri hebat & tanda radang

    Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita

    artritis reumatoid antara lain:

    1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun

    dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.

    12

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    13/29

    2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan,

    namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua

    sendi diartrodial dapat terserang.

    3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata tatapi

    terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi

    pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan

    selalu kurang dari 1 jam.

    4. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik.

    Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat

    dilihat pada radiogram.

    5. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan

    penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal,

    deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang

    sering dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput

    metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar

    juga dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama

    dalam melakukan gerak ekstensi.

    6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar

    sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang paling sering

    dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku ) atau di sepanjang

    permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini dapat

    juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya

    merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.

    13

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    14/29

    7. Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-

    organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan

    spembuluh darah dapat rusak. 1,7,9

    Gambaran klinis intra artikuler :

    Serangan mulai dari sendi kecil seperti jari tangan, pergelangan tangan, lutut

    dan kaki serta bersifat simetris dan bilateral serta mengenai banyak sendi

    (poliartikular). Bila penyakit menetap serangan dapat menyebar pada sendi siku

    bahu, strenoklavikularis, pinggul, pergelangan kaki dll.

    Nama Sendi % keterlibatan Nama Sendi % keterlibatanTemporomandibula

    r

    30 Koksae50

    Cervical40 Pergelangan tangan 80

    Krikoaritenoid10

    MCP90

    Akromioklavikular 50 PIP 90Bahu 60

    Lutut80

    Sternoklavikular 30Pergelangan kaki

    80

    Siku 50 MTP 90Tabel 2. Keterlibatan Sendi-sendi

    Sendi pada tangan

    Berlainan dengan persendian distal interphalangeal (DIP) yang relatif jarang

    dijumpai, keterlibatan persendian pergelangan tangan, MCP dan PIP hampir

    selalu dijumpai pada AR. Gambaran swan neck deformities akibat fleksi

    kontraktur MCP, heperekstensi PIP dan fleksi DIP serta boutonniere akibat fleksi

    PIP dan hiperekstensi DIP dapat terjadi akibat kontraktur otot serta tendon fleksor

    dan interoseus merupakan deformitas patognomonik yan g banyak dijumpai pada

    AR.

    Sendi pergelangan tangan

    14

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    15/29

    Selain gejala yang berhubungan dengan sinovitis, pada AR juga dapat

    dijumpai nyeri atau disfungsi persendian akibat penekanan nervus medianus yang

    terperangkap dalam rongga karpalis yang mengalami sinovitis sehingga

    menyebabkan gejala carpal tunnel syndrome. Walaupun jarang, nervus ulnaris

    yang berjalan dalam kanal Guyon dapat pula mengalami penekanan dengan

    mekanisme yang sama. AR dapat pula menyebabkan terjadinya tenosinovitis

    akibat pembentukan nodul reumatoid sepanjang sarung tendon yang dapat

    menghambat gerakan tendon dalam sarungnya. Tenosinovitis pada AR dapat

    menyebabkan terjadinya erosi tendon dan mengakibatkan terjadinya ruptur

    tendon yang terlibat.

    Sendi Siku

    Dapat terjadi fleksi kontraktur dan tertekannya N Ulnaris (paraestesi jari 4 dan

    jari 5).

    Sendi bahu

    Dapat terjadi kekakuan gelang bahu frozen shoulder syndrome

    Vertebrae

    Sering mengenai V. cervical 1-6 sehingga menimbulkan kaku leher

    Panggul

    Karena sendi panggul terletak jauh di dalam pelvis, kelainan sendi panggul

    akibat AR umumnya sulit dideteksi dalam keadaan dini. Pada keadaan dini

    keterlibatan sendi panggul mungkin hanya dapat terlihat sebagai keterbatasan

    gerak yang tidak jelas atau gangguan ringan pada kegiatan tertentu seperti saat

    mengenakan sepatu. Walaupun demikian, jika destruksi rawan sendi telah terjadi,

    gejala gangguan sendi panggul akan berkembang lebih cepat dibandingkan

    gangguan pada persendian lainnya.

    Lutut

    Penebalan sinovial dan efusi lutut umumnya mudah dideteksi pada pemeriksaan.

    Herniasi kapsul sendi kearah posterior dapat menyebabkan terbentuknya kista

    Baker.

    Kaki dan Pergelangan Kaki

    15

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    16/29

    Keterlibatan persendian MTP, talonavikularis dan pergelangan kaki

    merupakan gambaran yang khas AR. Karena persendian kaki dan pergelangan

    kaki merupakan struktur yang menyangga berat badan, keterlibatan ini akan

    menimbulkan disfungsi dan rasa nyeri yang lebih berat dibandingkan dengan

    keterlibatan ekstremitas atas. Peradangan pada sendi talonavikularis akan

    menyebabkan spasme otot yang berdekatan sehingga menimbulkan deformitas

    berupa pronasio dan eversio kaki yang khas pada AR. Walaupun jarang, nervue

    tibialis posterior dapat pula mengalami penekanan akibat sinovitis pada rongga

    tarsalis (tarsal tunnel) yang dapat menimbulkan gejala parestesia pada telapak

    kaki.

    Gambaran klinis ekstraartikuler:

    Kulit : Nodul reumatik Jarang dijumpai di Indonesia (tapi patognomonik).

    Timbul pada fase akut (20-25%). Lokasi pada siku dan bag. Ekstensor lengan dan

    tendoan achilles.

    Vaskulitis : Jarang menimbulkan keluhan klinis. Proliferasi tunika intima.

    Mata : Keratokunjungtivitis sicca (sindroma sjogren), episkleritis (dapat sem

    buh secara spontan).

    Neuropati : RA dapat menyebabkan kelainan saraf perifer seperti Foot dan

    Wrist drops, kelainan sensibilitas, dll.

    Jantung : Jarang menimbulkan gejala klinis . Perikarditis dapat menimbul

    nyeri dada atau gangguan faal jantung.

    Paru-paru: Dapat berupa pleuritis, hipertensi pulmonal (ok.vaskulitis arteri

    pulmonal, nodul reumatoid pada paru, fibrosis interstitiel.

    Hematologi : Anemia normositer normokrom

    KGB : Limadenopati p

    Sindroma Felty : AR berat, splenomegali, leukopenia dan ulkus pada

    tungkai. 1,7,9,11

    16

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    17/29

    17

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    18/29

    H. Diagnosis

    Berdasarkan kriteria ARA diagnosa arthritis reumatoid dapat dikatakan positif

    apabila sekurang-kurangnya satu sampai empat dari criteria yang berlangsung

    sekurang-kurangnya selama 6 minggu. Kriteria tersebut adalah:

    1. Kekakuan dipagi hari lamanya paling tidak 1 jam

    2. Arthritis pada tiga atau lebih sendi

    3. Arthritis sendi-sendi jari tangan

    4. Arthritis yang simetris

    5. Nodul rheumatoid

    6. Faktor rheumatoid dalam serum

    7. Perubahan-perubahan radiologik, seperti: Pembengkakan jaringan lunak,

    erosi, Osteopororosis artikular.

    I . Pemeriksaan Penunjang

    Tidak banyak berperan dalam diagnosis artritis reumatoid, namun dapat

    menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien. Pada

    pemeriksaan laboraturium terdapat:

    1. Tes faktor reumatoid biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis

    reumatoid terutama bila masih aktif. kadarnya lebih tinggi dari serum dan

    berbanding terbalik dengan cairan sinovium.

    2. Pemeriksaan cairan synovial, warna kuning sampai putih dengan derajat

    kekeruhan yang menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih.

    3. Protein C-reaktif biasanya positif.

    4. LED meningkat.

    18

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    19/29

    5. Leukosit normal atau meningkat sedikit 5.000 50.000/mm 3, menggambarkan

    adanya proses inflamasi. Leukosit menurun bila terdapat splenomegali; keadaan

    ini dikenal sebagai Feltys Syndrome.

    6. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.

    7. Trombosit meningkat.

    8. Pemeriksaan kadar sero-imunologi : Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita

    ; 95% + pada penderita dengan nodul subkutan.

    Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis rheumatoid dini.

    9. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.

    Pada pemeriksaan rontgen, semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering

    adalah sendi metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka juga sering

    terkena. Pada awalnya terjadi pembengkakan jaringan lunak dan demineralisasi

    juksta artikular. Kemudian terjadi penyempitan sendi dan erosi. 6,7,10

    J. Pengobatan

    Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan pada penderita AR ditujukan

    untuk:

    1. Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik

    2. Mencegah terjadinya destruksi jaringan

    3. Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar

    tetap dalam keadaan baik.

    4. Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persen dian yang terlibat agar

    sedapat mungkin menjadi normal kembali.

    Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuhkan pendekatan

    multidisipliner. Suatu team yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli

    fisioterapi, ahli terapi okupasional, pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli

    psikologi, semuanya memiliki peranan masing masing dalam pengelolaan

    19

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    20/29

    penderita AR baik dalam bidang edukasi maupun penatalaksanaan pengobatan

    penyakit ini.

    a. Obat

    Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus

    dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara

    pasien dengan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya.

    Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk dapat memelihara

    ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup lama.

    1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan

    dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien untuk

    tetap berobat dalam jangka waktu yang lama.

    2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang

    sering dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:

    a. Aspirin

    Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari, kemudian

    dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis

    terapi 20-30 mg/dl.

    b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dll sebagainya

    . Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan

    komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki

    efek samping yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-7,5 mg

    satu kali sehari) sangat bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi

    sinovitis sebelum DMARD mulai bekerja, yang kemudian dihentikan secara

    bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosteroid intraartikular jika terdapat

    20

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    21/29

    peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi harus disingkirkan terlebih

    dahulu.dan sebagainya.

    3. DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses

    destruksi akibat artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12

    bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses

    reumatoid akan berkurang. Keputusan penggunaannya bergantung pada

    pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah

    diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak baik, meski

    masih dalam status tersangka.

    Jenis-jenis obat DMARD yang dapat digunakan adalah:

    a. Klorokuin , paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, klorokuin

    memiliki beberapa keterbatasan. Banyak diantara para ahli yang berpendapat

    bahwa khasiat dan efektivitas klorokuin agaknya lebih rendah dibandingkan

    dengan DMARD lainnya, walaupun toksisitasnya juga lebih rendah dibandingkan

    dari DMARD lainnya. Dari pengalaman penggunaan klorokuin di Indonesia

    diketahui bahwa sebagian penderita akan menghentikan penggunaan klorokuin

    pada suatu saat karena merasa bahwa obat ini kurang bermanfaat bagi

    penyakitnya.

    Toksisitas

    K lorokuin sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Klorokuin dapat

    digunakan dengan aman jika dilakukan pemantauan yang baik selama

    penggunaannya dalam jangka waktu yang panjang. Efek samping pada mata,

    sebenarnya hanya terjadi pada sebagian kecil penderita saja. Mackenzie and

    Scherbel, pada penelitiannya telah dapat menunjukkan bahwa toksisitas

    klorokuin pada retina hanya bergantung pada dosis harian saja dan bukan dosis

    kumulatifnya. Dosis antimalaria yang dianjurkan untuk pengobatan AR adalah

    klorokuin fosfat 250mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Pada dosis ini

    jarang sekali terjadi komplikasi penurunan ketajaman penglihatan. Efek samping

    lain yang mungkin dijumpai pada penggunaan antimalaria adalah dermatitis

    21

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    22/29

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    23/29

    Trolovol 300 mg) digunakan dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis

    ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk mencapai dosis

    total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping DP antara lain adalah ruam kulit

    urtikarial atau morbilformis akibat reaksi alergi, stomatitis dan pemfigus. DP

    juga dapat menyebabkan trombositopenia, lekopenia dan agranulositosis. Pada

    ginjal DP dapat menyebabkan timbulnya proteinuria ringan yang reversible

    sampai pada suatu sindroma nefrotik. Efek samping lain yang juga dapat timbul

    adalah lupus like syndrome, polimiositis, neuritis, miastenia gravis, gangguan

    mengecap, nausea, muntah, kolestasis intrahepatik dan alopesia.

    d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD . Khasiatnya tidak diragukan

    lagi meski sering timbul efek samping seperti Auro sodium tiomalat (AST).

    Penggunaan obat ini seringkali menyertakan efek samping dari yang ringan

    sampai yang cukup berat. AST (Tauredon ampul 10, 20 dan 50 mg) diberikan

    secara intramuskular yang dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10

    mg, disusul dengan dosis percobaan kedua sebesar 20 mg setelah 1 minggu

    kemudian. Setelah 1 minggu, dosis penuhdiberikan sebesar 50 mg / minggu

    selama 20 minggu. Jika respons penderita belum memuaskan setelah 20 minggu,

    pengobatan dapat dilanjutkan dengan pemberiandosis tambahan sebesar 50 mg

    setiap 2 minggu sampai 3 bulan. Kalau masih diperlukan AST kemudian dapat

    diberikan dalam dosis sebesar 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi

    yang memuaskan dapat tercapai. Efek samping AST antara lain adalah pruritus,

    stomatitis, proteinuria, trombositopenia dan aplasia sumsum tulang. Efek

    samping AST agaknya terjadi lebih sering pada pengemban HLA- DR3A. Jika

    timbul efek samping yang ringan, dosis AST dapat dikurangi atau dihentikan

    untuk sementara. Jika gejala efek samping tersebut menghilang, AST kemudian

    dapat diberikan lagi dalam dosis yang lebih rendah.

    23

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    24/29

    Ridaura, (auranofin tablet 3 mg) adalah preparat garam emas oral dianggap

    sebagai DMARD yang berlainan sifatnya dariAST. Walaupun obat ini terbukti

    berkhasiat dalam pengobatan AR, lebih mudahdigunakan serta tidak memerlukan

    pemantauan yang ketat seperti AST, banyak para ahli yang berpendapat bahwa

    khasiat auranofin tidaklah lebih baik dibandingkan dengan AST. Auranofin sangat

    berguna bagi penderita AR yang menunjukkan efek samping terhadap AST.

    Auranofin diberikan dalam dosis 2 x 3 mg sehari. Efek samping proteinuria dan

    trombositopenia lebih jarang dijumpai dibandingkan dari penggunaan AST. Pada

    awal penggunaan auranofin, banyak penderita yang mengalami diare, yang

    dapat

    diatasi dengan menurun- kan dosis pemeliharaan yang digunakan.

    e. Methotrexate (MTX) adalah suatu sitostatika golongan antagonis asam folat

    yang banyak digunakan sejak 15 tahun yang lalu. Obat ini sangat mudah

    digunakan dan rentang waktu yang dibutuhkan untuk dapat mulai bekerja relatif

    lebih pendek (3 4 bulan) jika dibandingkan dengan DMARD yang lain. Dalam

    pengobatan penyakit keganasan, MTX bekerja dengan menghambat sintesis

    thymidine sehingga menyebabkan hambatan pada sintesis DNA dan proliferasi

    selular. Apakah mekanisme ini juga bekerja dalam penggunaannya sebagai

    DMARD belum diketahui dengan pasti.

    Pemberian MTX umumnya dimulai dalam dosis 7.5 mg (5 mg untuk orang tua)

    setiap minggu. Walaupun dosis efektif MTX sangat bervariasi, sebagian besar

    penderita sudah akan merasakan manfaatnya dalam 2 sampai 4 bulan setelah

    pengobatan. Jika tidak terjadi kemajuan dalam 3 sampai 4 bulan maka dosis

    MTX harus segera ditingkatkan.

    Efek samping MTX dalam dosis rendah seperti yang digunakan dalam

    pengobatan AR umumnya jarangdijumpai akan tetapi juga dapat timbul berupa

    kerentanan terhadap infeksi, nausea, vomitus, diare, stomatitis, intoleransi

    gastrointestinal, gangguan fungsi hati, alopesia, aspermia atau leukopenia. Efek

    samping ini biasanya dapat diatasi dengan mengurangi dosis atau menghentikan

    pemberian MTX. Kelainan

    24

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    25/29

    hati dapat dicegah dengan tidak menggunakan MTX pada penderita AR yang

    obese, diabetik, peminum alkohol atau penderita yang sebelumnya telah memiliki

    kelainan hati.

    Pada penderita AR yang menunjukkan respons yang baik terhadap MTX,

    pemberian asam folinat (Leucovorin) dapat mengurangi beratnya efek samping

    yang terjadi. Leucovorin diberikan dalam dosis 6 sampai 15 mg/m2 luas

    permukaan badan setiap 6 jam selama 72 jam jika terdapat efek samping MTX

    yang dapat membahayakan penderita. Walaupun penggunaan MTX memberikan

    harapan yang baik dalam pengobatan AR, akan tetapi seperti halnya penggunaan

    sitostatika lain, MTX sebaiknya hanya diberikan kepada penderita AR yang

    progresif dan gagal di kontrol dengan DMARD standard lainnya.

    f. Cyclosporin A (CS-A), adalah suatu undecapeptida siklik yang di isolasi dari

    jamur Tolypocladium inflatum Gams pada tahun 1972. Dalam dosis rendah, CS-A

    telah terbukti khasiatnya sebagai DMARD dalam mengobati penderita AR.

    Pengobatan dengan CS-A terbukti dapat menghambat progresivitas erosi dan

    kerusakan sendi. Kendala utama penggunaan obat ini adalah sifat nefrotoksik

    yang sangat bergantung pada dosis yang digunakan. Gangguan fungsi ginjal ini

    dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum atau hipertensi. Efek samping lain CS-A adalah gangguan fungsi hati, hipertrofi gingiva,

    hipertrikosis, rasa terbakar pada ekstremitas dan perasaan lelah. Dosis awal

    CS-A

    yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah 2,5 mg/KgBB/hari yang

    diberikan terbagi dalam 2 dosis setiap 12 jam. Dosis dapat ditingkatkan sebesar

    25% dosis awal setelah 6 minggu hingga mencapai 4 mg/KgBB/hari sehingga

    sehingga tercapai kadar CS-A serum sebesar 74 - 150 ng/ml atau jika kadar kreatinin serum meningkat mencapai lebih dari 50% nilai basal. Dosis peme-

    liharaan rata rata berkisar antara 4 mg/KgBB/hari. Dalam dosis tersebut

    ternyata terjadi perbaikan yang bermakna dalam beberapa outcome yang

    diukur. 6,7,9

    b. Operasi

    Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta

    terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis

    25

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    26/29

    pengobatan ini pada pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya

    sinovektoni, artrodesis, total hip replacement , memperbaiki deviasi ulnar, dan

    sebagainya.

    c. Rehabilitasi

    Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan

    pasien AR dengan cara:

    Mengurangi rasa nyeri

    Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi

    Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot

    Mencegah terjadinya deformitas

    Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri

    Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang lain.

    Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan

    mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan modalitas

    terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri

    dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam pengobatan AR telah ternyata

    terbukti dan saat ini merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam

    penatalaksanaan AR. 2,3

    26

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    27/29

    BAB III

    KESIMPULAN

    Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit autoimun sistemik menahun

    yang proses patologi utamanya terjadi di cairan sinovial. Penderita Artritis

    Reumatoid seringkali datang dengan keluhan artritis yang nyata dan tanda-tanda

    keradangan sistemik. Baisanya gejala timbul perlahan-lahan seperti lelah, demam,

    hilangnya nafsu makan, turunnya berat badan, nyeri, dan kaku sendi.

    Meskipun penderita artritis reumatoid jarang yang sampai menimbulkan

    kematian, namun apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan gejala

    deformitas/cacat yang menetap.

    Meskipun prognosis untuk kehidupan penderita tidak membahayakan, akan

    tetapi kesembuhan penyakit sukar tercapai.

    Tujuan pengobatan adalah menghasilkan dan mempertahankan remisi atau

    sedapat mungkin berusaha menekan aktivitas penyakit tersebut. Tujuan utama dari

    program terapi adalah meringankan rasa nyeri dan peradangan, mempertahankan

    fungsi sendi dan mencegah dan/atau memperbaiki deformitas.

    27

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    28/29

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2007. BUKU AJAR FISIOLOGI

    KEDOKTERAN Edisi 11 . Alih bahasa : Irawati, et al. Jakarta : EGC

    2. Harris ED Jr., 1993, Etiology and Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis . Dalam:

    Textbook of Rheumatology.Philadhelpia:Saunders Co

    3. Bermawan. Penyakit Radang Sendi 2011. Diunduh dari :

    http://naturindonesia.com/artikel-berbagai-penyakit-degeneratif/449-artritis-

    reumatoidhttp://cpddokter.com/home/index.php?

    option=com_content&task=view&id=1670&Itemid=1

    4. Hirmawan, Sutisna., 1973. PATOLOGI . Jakarta : Bagian Patologi Anatomik

    Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp : 437, 1

    5. Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007. BUKU AJAR PATOLOGI Edisi

    7 . Jakarta : EGC

    6. Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, Wahyu I., Setiowulan, W., 2000. KAPITA

    SELEKTA KEDOKTERAN Edisi Ketiga Jilid Kedua . Jakarta : Media

    Aesculapius

    7. Nasution, 1996. . Aspek Genetik Penyakit Reumatik dalam Noer S (Editor) Buku

    Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Balai penerbit FKUI.

    8. Velyn C. Pearce. 2006. Sendi atau persambungan pada kerangka dalam Anatomi

    dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

    9. Chairudin Rasjaad. Patofisiologi Artritis Reumatoid. 2010. Diunduh dari :

    http://albadroe.multiply.com/journal/item/16/Atritis_Reumatoid_patofisiologi_P

    emeriksaan_Penunjang_Progn osis http://bangkitarie.com/2010/11/artritis-

    reumatoid-ar.html http://www.scribd.com/doc/39580114/ .

    28

  • 7/27/2019 Referat RA Bedah

    29/29

    10. Price, SA. Dan Wilson LM., 1993, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses

    Penyakit bag 2 . Jakarta: EGC.

    11. Priguna Sidharta, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktek, Jakarta : Dian

    Rakyat, 1996. Muhamad Ibnu Sina di 20:22

    http://referensiartikelkedokteran.blogspot.com/2010/11/arthritis-reumatoid.htmlhttp://referensiartikelkedokteran.blogspot.com/2010/11/arthritis-reumatoid.html