referat

27
Komplikasi General Anestesi Ivan Hugo - 406090058 BAB I PENDAHULUAN Komplikasi pada General Anestesi Efek samping yang serius dari general anestesi jarang terjadi pada orang-orang yang sehat. Tetapi karena general anestesi mempengaruhi seluruh tubuh, cenderung menyebabkan efek samping lebih sering daripada anestesi lokal atau regional. Untungnya, kebanyakan efek samping general anestesi ringan dan dapat dengan mudah dikelola. 1 Anestesi umum menekan refleks tenggorokan normal untuk mencegah aspirasi, seperti menelan, batuk, atau muntah. Aspirasi terjadi ketika suatu benda atau cairan dihirup ke saluran pernafasan (di tenggorokan atau paru-paru). Untuk membantu mencegah aspirasi, sebuah tabung endotracheal (ET) dapat dimasukkan selama general anestesi. Ketika sebuah tabung ET di tempat, paru-paru dilindungi sehingga isi perut tidak bisa masuk ke paru-paru. Aspirasi selama anestesi dan operasi sangat jarang. Untuk mengurangi risiko ini, pasien diperintahkan untuk tidak makan atau minum selama 6 jam sebelum anestesi sehingga perut kosong. 2 Walaupun evaluasi jalan nafas preanestesi dapat membantu klinisi mengantisipasi dan mempersiapkan untuk intubasi yang Kepaniteraan Klinik Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang Periode 18 Januari 2010 – 20 Febuari 2010 1

description

Komplikasi General Anestesi

Transcript of referat

Komplikasi General Anestesi

BAB IPENDAHULUAN

Komplikasi pada General AnestesiEfek samping yang serius dari general anestesi jarang terjadi pada orang-orang yang sehat. Tetapi karena general anestesi mempengaruhi seluruh tubuh, cenderung menyebabkan efek samping lebih sering daripada anestesi lokal atau regional. Untungnya, kebanyakan efek samping general anestesi ringan dan dapat dengan mudah dikelola. 1Anestesi umum menekan refleks tenggorokan normal untuk mencegah aspirasi, seperti menelan, batuk, atau muntah. Aspirasi terjadi ketika suatu benda atau cairan dihirup ke saluran pernafasan (di tenggorokan atau paru-paru). Untuk membantu mencegah aspirasi, sebuah tabung endotracheal (ET) dapat dimasukkan selama general anestesi. Ketika sebuah tabung ET di tempat, paru-paru dilindungi sehingga isi perut tidak bisa masuk ke paru-paru. Aspirasi selama anestesi dan operasi sangat jarang. Untuk mengurangi risiko ini, pasien diperintahkan untuk tidak makan atau minum selama 6 jam sebelum anestesi sehingga perut kosong. 2Walaupun evaluasi jalan nafas preanestesi dapat membantu klinisi mengantisipasi dan mempersiapkan untuk intubasi yang sulit, hal tersebut masih gagal untuk memprediksi masalah pada beberapa pasien yang tidak dapat diintubasi kecuali dengan teknik khusus. Walaupun pengaturan jalan nafas saat pembedahan adalah prosedur lifesaving, tetapi tetap akan merupakan komplikasi. 2

BAB IIPEMBAHASAN

Komplikasi dari general anestesi dibagi menjadi: 11. Komplikasi Respirasi2. Komplikasi Kardia3. Komplikasi Neural4. Komplikasi karena alergi obat5. Komplikasi akibat posisi 6. Perubahan Temperatur

A. Komplikasi RespirasiI. Komplikasi akibat laringoskopi dan intubasi

1. Kesalahan posisi ETT 1,2,4Kesalahan yang sering terjadi saat intubasi adalah masuknya ETT kedalam oesofagus. Hal ini dapat kita ketahui dengan beberapa cara, yaitu dengan melihat apakah dada mengembang saat udara di pompa, apakah kantong udara terisi udara kembali setelah dipompakan, dengan auskultasi paru apakah terdengar bunyi pernafasan. Apabila tidak terdapat tanda-tanda tersebut maka ETT harus segera dikoreksi karena pasien dapat mengalami hipoksia.Masuknya ETT kedalam salah satu endobronchial. Hal ini mengakibatkan paru-paru yang tidak terintubrasi tidak ikut berkontribusi dalam pertukaran udara, dan volme darah yang mengalir melewati paru-paru ini akan berakibat substantial shunt menyebabkan hipoksia karena terjadi oedem paru dan pneumonia karena konsolidasi paru.Laringeal Mask Airway (LMA) digunakan didalam anestesia dan didalam tindakan medis darurat untuk pembebasan jalan nafas. Pada LMA terdapat tabung dengan bagian masker dimasukkan kedalam faring. LMA ini menyebabkan rasa sakit dan batuk yang lebih sedikit daripada ETT, dan lebih mudah untuk dimasukkan. Namun, LMA tidak melindungi paru-paru dari aspirasi, sehingga tidak cocok untuk pasien yang memiliki resiko tinggi terjadi komplikasi ini.

2. Cedera Jalan Nafas 3,4Cedera umum seperti sakit pada tenggorokan dan disfagia biasanya self-limiting, namun trauma pada gigi berakibat permanen. Trauma pada gigi ini biasanya terjadi karena penggunaan laringoskop dan ETT, dan paling sering terjadi pada gigi incisi atas.Dislokasi kaput mandibula dapat terjadi akibat pembukaan mulut pasien yang terlalu besar. Sekitar 25% dari kasus ini terjadi pada pasien yang pernah mengalami hal ini sebelumnya.Cedera laring meliputi paralisis pita suara, granuloma, dan dislokasi aritenoid. Kebanyakan dari cedera trakea dihubungkan dengan pembedahan darurat trakeostomi, sedikit yang disebabkan ETT. Perforasi esofagus mengkontribusikan 5 dari 13 kematian pasien, yang biasanya ditandai dengan onset delay dari emfisem subkutan atau pneumothorak. Akhirnya, perforasi faringoesophageal secara jelas dihubungkan dengan kesulitan intubasi, umur diatas 60 tahun, dan jenis kelamin wanita.

3. Respon fisiologis dari instrumensasi jalan nafas 3,4Stimulasi simpatetik, laringospasm, dan bronkospasm dapat terjadi akibat instrumensasi dari jalan nafas.

II. Obstruksi Jalan Nafas 3,4Tanda-tanda dari obstruksi jalan nafas berupa: Inadekuat tidal volume Retraksi dinding dada dan supraclavicular, infraclavicular dan suprasternal. Pergerakan abdomen yang berlebih Penggunaan otot pernafasan tambahan Bising nafas (kecuali obstruksi complete dan absolut) Cyanosis

Terangkatnya dada dan perut secara alami menjadi digantikan oleh masuknya bagian atas dada dan perut terdorong karena tindakan diafragmatik kuat.Tempat-tempat terjadinya obstruksi bisa terjadi pada:a. Bibirb. Karena lidahc. Diatas glotisd. Pada glotis: spasme laring dan pita suara yang terelaksasi.e. Obstruksi dari ETT

Lidah merupakan penyebab yang sering terjadi karena pasien tidak sadar sehingga lidah jatuh kebelakang dan menyumbat jalan nafas. Hal ini dapat diatasi dengan memasukkan guede..III. Hipoksemia 1Hipoksemia terjadi apabila PaO2 kurang dari 60mmHg atau saturasi O2 kurang dari 90%. Penyebab terjadinya hipoksemia bisa dikarenakan menurunnya FiO2 (Fraction of Inspired Oxygen, yang berarti kandungan oksigen dalam udara yang dihirup), hipoventilasi, ketidaksesuaian v/q ratio, meningkatnya kebutuhan O2 oleh jaringan, dan jaringan yang hipoksia.Tanda-tanda pasien yang mengalami hipoksia non-spesifik yaitu berkeringat, takikardi, aritmia jantung, hipertensi, dan hipotensi. Sedangkan bradikardi, hipotensi, dan cardiac arrest merupakan gejala akhir.

IV. Hiperkapnea 2Hiperkapnea terjadi apabila PaCO2 > 40mmHg. Penyebab terjadinya hiperkapnea adalah meningkatnya FiCO2, hipoventilasi, meningkatnya jaringan yang mati, meningkatnya produksi CO2 oleh jaringan.

V. Aspirasi Pulomonal 1,2,3Aspirasi pulmonal adalah suatu material yang terinhalasi masuk kedalam jalan nafas sampai di bawah pita suara. Materi tersebut bisa berupa benda asing, saliva, sekret nasofaring, atau isi lambung, Aspirasi pulmonal terjadi karena hilangnya refleks protektif jalan nafas, seperti menurunya kesadaran dan ketidakmampuan untuk batuk atau refleks menelan. Pada pasien bedah hal ini sering terjadi saat induksi atau saat anestesia emergensi. Untuk membantu mencegah aspirasi, sebuah tabung endotracheal (ET) dapat dimasukkan selama general anestesi. Ketika sebuah tabung ET di tempat, paru-paru dilindungi sehingga isi perut tidak bisa masuk ke paru-paru. Aspirasi selama anestesi dan operasi sangat jarang. Untuk mengurangi risiko ini, pasien diperintahkan untuk tidak makan atau minum selama 6 jam sebelum anestesi sehingga perut kosong. Aspirasi material dengan pH kurang dari 2,5 menyebabkan cedera paru-paru, yang kemudian akan terjadi proses inflamasi ke bawah, yang di mediasi oleh aktivasi neutrofil. Cedera epitel alveolar dan endotel, dan disfungsi surfaktan paru, mengakibatkan atelektasis pulmonal. Cairan dan protein yang masuk kedalam alveoli dan bronkus akan mengakibatkan edem paru. Hasilnya adalah ketidaksesuaian ventilasi-perfusi dan hipoksia.Aspirasi benda padat dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas bagian atas, atau atelektasis terlokalisasi.

B. Komplikasi Kardiovaskular 1,2,3I. HipotensiHipotensi yang terjadi pada saat general anesthesia bisa terjadi karena hipoksemia, hipovolemia, menurunnya kontraktilitas miokard (miokard iskemi, edem pulmonal), menurunnya resisten vaskular sistemik, cardiac disaritmia, emboli paru, pneumothoraks, dan tamponade jantung.Hipotensi ini dapat diatasi dengan memasukan cairan melalui IV line, perawatan dengan obat termasuk obat vasokonstriktor (dopamin, dobutamin, epinefrin) dan agonis alfa receptor (penilefrin). Kateter Central Venous Pressure (CVP) dan Pulmonary Artery mungkin dibutuhkan untuk terapi.

II. HipertensiHipertensi pada saat general anesthesia terjadi biasanya disebabkan oleh adanya Sacral Nerve Stimulation (SNS), hipertensi preoperatif, hipervolemia, meningkatnya Tekanan Intra Kranial (TIK), dan obat-obat vasopressor.Perawatan hipertensi ini dengan cara mengkoreksi penyebab dari hipertensi; bermacam pengobatan bisa digunakan untuk merawat hipertensi termasuk beta blockers, calcium channel blockers, nitroprudsside, atau nitrogliserin.

III. Disaritmia JantungPada general anestesia, disaritmia jantung dapat terjadi karena adanya hipoksemia, hipercarbia, hipovolemia, nyeri, tidak seimbangnya elektrolit dan asam-basa, iskemi miokard, meningkatnya tekanan intra kranial, keracunan digitalis, hipotermis, antikolinesterase dan hipertermi maligna.Disaritmia jantung dtangani dengan menemukan dan merawat penyebabnya.

C. Komplikasi NeurologisI. AwarenessAwarness adalah keadaan sadar dalam general anesthesia yang insidensinya ditemukan sebanyak 0,2-0,4%. Pada situasi ini, pasien dapat merasakan nyeri selama operasi, mendengar percakapan, atau merasa seperti tidak bisa bernafas.1 Karena penggunaan rutin neuromuscular blocking agent (disebut juga paralytic) selama general anesthesia, maka pasian tidak dapat mengatakan kepada tim bedah apabila hal ini terjadi.Ketika awarness ini terjadi, pasien bisa menunjukan gejala-gejala post traumatic dari anxietas sampai posttraumatic stress disorder (seperti gangguan tidur, mimpi buruk, dan kesulitan sosial). Pada kebanyakan kasus, awarness paling sering terjadi pada bedah trauma mayor, obstetric dan jantung. Awarness ini dikorelasikan pada dalamnya anestesia yang bisa di toleransi. 5Pada tahun 1999, ASA Closed Claims Project melaporkan 79 klaim kasus awarness; Sekitar 20% berupa awake paralysis, dan sisanya berupa recall dalam keadaan general anesthesia. Kebanyakan klaim untuk awake paralysis disebabkan karena kesalahan pada pelabelan obat dan administrasi. Recall dalam general anesthesia lebih sering ditemukan pada wanita dan ketika anesthesi dengan opioid dan muscle relaxant, tanpa menggunakan anestetik volatile. 5Toleransi yang buruk terhadap anesthesia, kesalahan pengobatan, usia muda, merokok, dan penggunaan obat jangka panjang (alkohol, opiat, atau ampheramines) dapat meningkatkan syarat-syarat anesthesia untuk ketidaksadaran. 5Beberapa klinisi secara rutin mendiskusikan recall dan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk meminimalkan hal tersebut sebagai bagian dari inform consent untuk general anesthesia. Juga disarankan untuk mengingatkan pasien yang akan menjalani rawat monitor anesthesia dengan sedasi bahwa awarness sangat mungkin terjadi. 3Menurut issue of Anesthesiology dari ASA dan AANA pada Febuari 2000, ada beberapa rekomendasi spesifik yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya awarness pada general anesthesia: 41. Pertimbangkan premedikasi dengan obat amnestik, misalnya, benzodiazepin atau scopolamine, terutama ketika anestesi ringan sudah diantisipasi.2. Masukan lebih banyak "dosis tidur" induksi agen jika akan segera diikuti oleh intubasi trakea.Hindari kelumpuhan otot kecuali sangat diperlukan dan hindari lumpuh total [dengan menggunakan hanya jumlah yang secara klinis diperlukan].3. Melakukan pemeliharaan berkala mesin anestesi dan alat penguap, dan cermat memeriksa mesin dan ventilator sebelum pemberian anestesi.4. Selain itu, praktisi anestesi harus waspada terhadap pasien pada beta-blocker, calcium channel blockers dan obat lain yang dapat menutupi respon fisiologis anestesi yang tidak memadai.

II. Pemulihan Tertunda 1,5Pada akhir anestesi dan pembedahan pasien harus terjaga, kemudian melindungi jalan nafas, mempertahankan ventilasi yang memadai, dan rasa sakit yang di bawah kendali. Waktu untuk keluar dari anestesi sangat bervariasi dan tergantung pada banyak faktor yang berkaitan dengan pasien, jenis obat bius yang diberikan dan lamanya pembedahan.

Penyebab Pemulihan Tertunda:

a. Efek sisa obatOverdosis. Terlalu banyak obat yang mungkin telah diberikan atau pasien terlalu rentan terhadap obat. Pasien yang rapuh, kecil atau tua umumnya memerlukan dosis yang lebih rendah daripada yang biasanya digunakan pada orang dewasa. Metabolisme obat yang tertunda terjadi pada gagal ginjal atau hati, dan dosis yang lebih kecil mungkin diperlukan. Dalam keadaan tertentu mungkin ada peningkatan kepekaan terhadap agen tertentu. Sebagai contoh ada peningkatan kepekaan terhadap non-depolarising relaksan otot pada penyakit myasthenia gravis.

Durasi dan jenis anestesi yang diberikan. Untuk agen anestetik inhalasi kecepatan munculnya efek obat secara langsung berhubungan dengan ventilasi alveolar. Oleh karena itu hipoventilasi sering menjadi penyebab delayed recovery. Kecepatan munculnya juga berbanding terbalik dengan kelarutan agen dalam gas darah, jadi agen yang kurang larut misalnya: nitrous oxide dan halothane dihilangkan lebih cepat daripada eter. Untuk anestesi intravena, pemulihan terutama tergantung pada darah dan redistribusi dari otak ke otot dan lemak. Untuk induksi pasien yang diberikan propofol dan / atau pemeliharaan sembuh lebih cepat daripada mereka yang menerima agen lain karena propofol cepat dimetabolisasi oleh hati dan mungkin juga di situs extrahepatic lain.

b. Gagal NafasPasien yang tidak bernapas secara efektif selama atau setelah anestesi dapat menjadi hypercarbic (peningkatan CO2) ke tingkat yang mengakibatkan pasien tidur atau bahkan pingsan. Faktor-faktor risiko meliputi yang mendasari penyakit pernapasan, terutama mereka dengan retensi CO2 preoperasi, opioid dosis tinggi, saluran udara terhambat dan relaksan reverse yang kurang kuat. Diagnosis biasanya diduga secara klinis dan dapat dikonfirmasi dengan analisis gas darah arteri atau pengukuran end tidal CO2. Perhatikan bahwa pasien yang menerima oksigen mungkin memiliki pembacaan SpO2 normal bahkan mengangkat secara signifikan pembacaan CO2.

c. Metabolic DerangementsKelainan metabolik mungkin bertanggung jawab untuk pemulihan tertunda setelah anestesi. Kondisi meliputi:Hipoglikemia. Dapat terjadi pada anak kecil dan orang yang telah diberikan insulin atau obat hypoglycaemi oral. Mungkin juga terjadi pada kegagalan hati, akibat alkohol, dan akseptikemia dan malaria.Hiperglikemia tidak terkendali. Dapat terjadi pada penderita diabetes tidak terkompensasi yaitu: koma diabetes hyperosmotic hiper-glycaemic, atau ketoasidosis diabetes.Ketidakseimbangan elektrolit. Hal ini mungkin terjadi sekunder dari penyakit dasar atau sebagai konsekuensi dari prosedur operasi misalnya Hiponatremia terjadi pada trans-urethral reseksi prostat (di mana glisin atau cairan hipotonik digunakan untuk irigasi)

d. Komplikasi NeurologisCerebral hipoksia dari sebab apapun akan mengakibatkan berkurangnya tingkat kesadaran yang mungkin gejala pertama ditandai dengan pemulihan yang tertunda, terutama jika telah terjadi hipoksia selama anestesi.Kelainan Intraserebral seperti perdarahan, emboli atau trombosis. Hal ini sangat jarang kecuali di bedah saraf, bedah jantung, serebrovaskular dan operasi karotis.

D. Mual dan Muntah Postoperasi 1Pasien yang beresiko tinggi untuk timbulnya mual muntah postoperasi adalah pasien yang memiliki resik-resiko: status puasa yang pendek, pasien muda, obesitas, gastroparesis, kesakitan, riwayat mual/muntah post operasi atau mabuk perjalanan.Selain faktor-faktor tersebut, bisa juga karena faktor dari anestesia, misalnya premedikasi (morfin dan opioid lain), agen anestetik (N2O, agen inhalasi, etomidate, methohexital, ketamin), antikolinesterase reversal, distensi gaster, durasi anestesia yang lama, ventilasi masker, medikasi nyeri intraoperatif, anestesia regional.Faktor-faktor postoperatif yaitu nyeri, pusing, gerakan setelah operasi, makan sebelum waktunya, efek obat opioid.Mual muntah post operatif ini dapat diatasi dengan pemberian droperidol, metoclopramid, ondansentron, propofol 10-20mg IV. Untuk terapi yang lebih efektif dapat dikombinasikan dengan dexametason atau promethiazine.

E. Reaksi Alergi Obat 1,2Reaksi hipersensitivitas (atau alergi) adalah respon imunologi yang berlebihan terhadap stimulasi antigen pada orang yang peka. Antigen, atau alergen, bisa berupa protein, polypeptida, atau molekul yang lebih kecil yang secara kovalen terikat pada protein carrier. kelas khusus monosit / makrofag memproses antigen pada permukaan membran sel protein untuk CD4+ helper limfosit T. Yang kemudian dapat menimbulkan hipersensitivitas tertunda TH1, hypersensitivitas langsung TH2, atau TH0 anergic (tidak ada) respon.Berdasarkan pada antigen dan komponen sistem imun yang terlibat, reaksi hipersensitivitas diklasifikasikan menjadi 4 tipe:Tipe I (immediate)AtopyUrtikaria-angioedemaAnafilaksisTipe II (sitotoksik)Reaksi Hemolitik TransfusiAnemia autoimun hemolitikHheparin-induced trombositopeniaTipe III (kompleks imun)Arthus reactionSerum sicknessHipersensitivitas pneumonitis akutTipe IV (delayed, cell-mediated)Contact dermatitisHipersensitivitas Tuberculin-typeHipersensitiivitas pneumonitis kronis

Reaksi tipe I melibatkan antigen yang berikatan dengan antibodi IgE yang mengaktifkan pelepasan mediator inflamasi dari sel mast. Pada reaksi tipe II, antibodi IgG terikat kepada antigen pada permukaan sel, mengaktifkan jalr complemen klasik dan lisis dari sel. Reaksi tipe III terjadi ketikakompleks imun antigen-antiboid (IgG atau IgM) tertimbun di jaringan, mengaktifkan komplemen dan mengakibatkan terkumpulnya neutrofil di area tersebut. Reaksi tipe IV seringkali dihubungkan dengan hipersensitivitas yang tertunda, yang dimediasi oleh CD4+ limfosit T yang telah di sensitisasi oleh agen spesifik.

1. Reaksi Hipersensitivitas LangsungReaksi hipersensitivitas tipe I diklasifikasikan sebagai tipe atopic atau nonatopik. Gangguan atopik biasanya mempengaruhi kulit atau traktus respiratorius dan termasuk rinitis alergika, dermatitis atopik, dan asma alergi. Hipersensitivitas nonatopik termasuk urtikaria, angioedema, dan anafilaksis; ketika reaksi ini ringan biasanya tampak pada kulit (urtikaria) atau jaringan subkutan (angioedema), tapi ketika memburuk, reaksi ini menjadi general dan termasuk dalam kegawatdaruratan medis.

2. Reaksi anafilaktikAnafilaktik adalah respon yang berlebih terhadap alergen (misalnya antibiotik) yang dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Gejala-gejalnya timbul dalam beberapa menit setelah terekspos antigen spesifik pada orang yang peka dan tampak khas yaitu berupa acute respiratory distress, shock, atau keduanya. Kematian biasanya terjadi akibat asfiksi atau shock sirkular irreversible. Antibiotik adalah penyebab umum dari reaksi anafilaktik.

Gejala klinis dari manifestasi anafilaktik: Cardiovascular: Hipotensi*, takikardi, aritmia Paru-paru: Bronkospasme*, dispnea, edem paru, edem laring, hipoksia Kulit: Urtikaria*, edem facial, pruritus*Gejala utama selama general anestesiaPerlu diperhatikan bahwa manifestasi pada cardiovascular dan kulit lebih sering dijumpai pada anafilaktik daripada bronkospasme selama anestesia,Faktor-faktor predisposisi terjadinya reaksi ini yaitu: usia muda, kehamilan, atopi yang diketahui, dan riwayat obat sebelumnya.Idenifikasi laboratorium pasien yang pernah mengalami reaksi alergi atau yang dicurigai biasanya dilakukan tes intradermal, tes degranulasi leukosit atau basofil (tes pelepasan histamin), atau radioallergosorbent testing (RAST). Yang diperlukan selanjutnya adalah kemampuan mengukur level antibodi IgE spesifik obat dalam serum. Perawatan harus secepatnya dilakukan dan disesuaikan dengan tingkat parahnya reaksi. Perawatan-perawatan anafilaktik shock berupa:1. Menghentikan pemberian obat2. Berikan O2 100%3. Ephinephrine (0,01-0,5mg IV or IM) dosis ini bergantung parahnya reaksi4. Pertimbangkan intubasi atau trakeostomi5. Cairan intravena (1-2 L RL)6. Diphenhydramine (50-75 mg IV)7. Ranitidine (150 mg IV)8. Hydrocortisone (sampai 200 mg IV) atau metilprednisolon (1-2mg/kg BB)Reaksi Alergi terhadap agen anestetikReaksi anafilaksis terhadap agen anestetik adalah langka, reaksi anafilaktoid lebih umum. Muscle relaxants adalah penyebab tersering dari reaksi anafilaksis selama anestesia dengan perkiraan kejadian 1 dari 6500 pasien. Walaupun lebih jarang, agen hipnotik juga dapat menyebabkan reaksi alergi. Jumlah kejadian reaksi anafilaksis untuk tiopental dan proporol adalah 1 dari 30.000 dan 1 dari 60.000. Reaksi alergi terhadap etomidat, ketamin dan benzodiazepin jauh lebih langka. Reaksi anafilaktik terhadap opioid juga lebih jarang daripada nonimmune histamine release. Tidak ada laporan reaksi anafilaktik terhadap anestetik volatile.Alergi LatexBeratnya reaksi alergi yang timbul terhada produk yang mengandung latex berkisar dari dermatitis kontak ringan sampai anafilaksis yang mengancam jiwa. Alergi latex adalah penyebab kedua terbanyak yang menyebabkan anafilaksis selama anestesia. Petugas kesehatan dan pasien yang sering melakukan prosedur dengan prduk latex (misalnya kateter kandung kemih yang berulang, pemeriksaan barium enema) dapat meningkatkan resiko. Sekitar 5% - 17% petugas kesehatan diperkirakan memiliki alergi latex. Pasien dengan spina bifida, cedera medula spinalis, dan abnormalitas kongenital dari traktus genitourinarius memiliki insiden yang tinggi terhadap alergi latex. Reaksi anafilaktik terhadap latex mungkin mirip dengan reaksi terhadap substans lain (seperti obat, produk darah) karena onset dari gejala dapat tertunda lebih dari 1 jam setelah ekspos inisial. Pengobatan yang dilakukan sama seperti bentuk lain reaksi anafilaktik. Hanya alat yang diketahui tidak mengandung latex (misalnya polivinil atau sarung tangan neoprene, enndotracheal tube silikon atau laryngeal mask) dapat digunakan pada pasien-pasien ini.

F. Komplikasi Akibat Posisi 1,2Cedera nervus perifer yang timbul setelah operasi biasanya diakibatkan oleh posisi atau prosedur bedah. Biasanya terkena pada nervus peroneal, plexus brachial, atau nervus femoral dan isciatic. Tekanan dari luar pada nervus dapat menganggu perfusi, merusak integritas sel, dan berakibat edem, iskemi, dan nekrosis.Pasien dengan faktor resiko untuk komplikasi ini termasuk hipotensi, badan kurus, umur tua, dan riwayat penyakit vaskular, diabetes, atau merokok. Cedera nervus ulnaris diasosiasikan dengan bedah jantung karena retraksi iga dapat meregangkan plexus brachialis. Biasanya pasien akan komplain, namun pasien perlu diyakinkan bahwa ini adalah resiko medik, dan cedera ini biasanya hanya sementara. Fungsi motoris dan sensoris post operatif perlu di evaluasi dan dilakukan fisiological test, seperti konduksi saraf dan elektromyograph.Komplikasi-komplikasi yang dihubungkan dengan posisi pasienKomplikasi General AnestesiIvan Hugo - 406090058

Kepaniteraan Klinik Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Umum Daerah Kota SemarangPeriode 18 Januari 2010 20 Febuari 201018

KomplikasiPosisiPencegahan

Emboli udaraDuduk, pronasi, Trendelenberg terbalikPertahankan tekanan vena diatas 0 pada luka

Nyeri PunggungSemuaLumbar support, padding

Abrasi KorneaTerutama pronasiDibalut dengan/tanpa pelumas

Kelumpuhan Nervus Pleksus brachialis

Peroneus

Radial

UlnaSemua

Lithotomi, lateral decubitus

Semua

SemuaHindari peregangan atau tekanan langsung pada leher atau axilla

Pad lateral superior fibula

Hindari tekanan pada lateral Humerus

Pad pada siku, supinasi lengan atas

Iskemi RetinaPronasi, dudukHindari tekanan pada bola mata

Nekrosis KulitSemuaPad pada tulang yang menonjol

G. Perubahan Temperatur1. Hipotermia 1,6Dikatakan hipotermia apabila terjadi penurunan suhu tubuh sampai < 35 oC selama anestesi yang tidak disengaja, dan diklasifikasikan sebagai ringan (32 35 oC), sedang (28 - 32 oC), dan berat ( 1-2 mL/kg/jam. Jika dibutuhkan, mannitol 0,25g/kg IV atau flurosemid 1mg/kg IV (sampai 4x) dan/atau hidrasi.8. Laboratorium: PT, PTT, platelet, myoglobin urin, K, Ca, lactate, CPK.9. Pertimbangkan monitor invasif: tekanan darah arteri dan CVP.

Kesimpulan

Komplikasi dari general anestesi dapat berkisar dari ringan sampai berat. Bahkan walaupun prosedur anestesi telah dilakukan dengan baik komplikasi-komplikasi tersebut masih dapat timbul, yang dibagi menjadi komplikasi pada respirasi, cardia, neural, alergi obat, posisi tubuh, dan temperatur.Komplikasi tersebut dapat diatasi lebih baik apabila praktisi telah mengantisipasi dan mempersiapkan perawatan yang cepat dan adekuat apabila komplikasi tersebut timbul.Apabila litigasi tidak dapat dihindarkan walaupun telah diberikan penjelasan yang baik pada pasien dan keluarga tentang kejadian intraoperasi, keputusan tindakan keperawatan, dan penghindaran dari komplikasi yang gawat, maka penting untuk mendokumentasikan pemeriksaan jalan nafas preoperasi, mencatat menuver seperti preoksigenasi dan tekanan cricoid dan detil laringoskopi, dan menulis catatan postanestesi yang lengkap sehingga tindakan anestesiologis dapat dipertahankan.