QUALITY OF DENTAL CARE DI KLINIK GIGI … · Web viewBAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil...
Transcript of QUALITY OF DENTAL CARE DI KLINIK GIGI … · Web viewBAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil...
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Karakteristik subjek penelitian dan karakteristik odontektomi.
Subjek penelitian ini adalah pasien yang menjalani tindakan odontektomi gigi molar
ketiga rahang bawah impaksi di RSGM Prof. Soedomo. Subjek penelitian berjumlah 171 pasien
yang terbagi ke dalam dua kelompok, yakni kelompok praimplementasi CPG (88 pasien) dan
kelompok pascaimplementasi CPG (83 pasien). Tabel 3 menyajikan perbandingan karakteristik
subjek penelitian antara kedua kelompok. Dilihat dari jenis kelamin subjek penelitian, dari 88
pasien kelompok praimplementasi, 39 (44,3%) diantaranya adalah laki-laki. Pada kelompok
pascaimplementasi, 44 (53,0%) dari 83 pasien adalah laki-laki. Perbandingan dari sisi jenis
kelamin antara kedua kelompok penelitian ini tidak bermakna secara statistik (p = 0,256).
Perbandingan umur, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan status higiene mulut antara
kedua kelompok juga tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p > 0,05).
Tabel 3. Karakterisitik Subjek PenelitianKelompok Praimplementasi dan Pascaimplementasi CPG
Variabel Praimplementasi (n = 88)
Pascaimplementasi (n = 83) Statistik p
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
39 (44,3%)49 (55,7%)
44 (53,0%)39 (47,0%)
χ2 = 1,292 0,256
Umur (Tahun) Rata-rata Simpang Baku Rentang
24,094,63
18 - 35
23,194,07
18 - 35
t = 1,343 0,181
Merokok Ya Tidak
7 (8,0%)81 (92,0%)
5 (6,0%)78 (94,0%)
χ2 = 0,244 0,621
Alkohol Ya Tidak
2 (2,3%)86 (97,7%)
2 (2,4%)81 (97,6%)
χ2 = 0,004 0,953
OHI-S Baik Sedang
62 (70,5%)26 (29,5%)
60 (72,3%)23 (27,7%)
χ2 = 0,070 0,791
Dalam Tabel 4 disajikan distribusi karakteristik subjek penelitian dari faktor
odontektomi. Dari sisi lama operasi, pada kelompok praimplementasi, rata-rata lama
operasinya adalah 33,17 menit dengan simpangan baku sebesar 16,46 menit, dan rentang antara
41
42
5-75 menit. Pada kelompok pascaimplementasi, rata-rata lama operasi adalah sebesar 33,28
dengan simpangan baku sebesar 14,75 menit dengan rentang antara 5-90 menit. Kedua rata-rata
lama operasi tersebut tidak berbeda bermakna (p = 0,965). Perbandingan lama operasi kedua
kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Dilihat dari karakteristik
odontektomi lainnya, variabel yang menunjukkan perbedaan antara kedua kelompok adalah
riwayat penggunaan medikasi pra-operasi (p = 0,05) dan riwayat dan kondisi klinis dental (p =
0,018).
Tabel 4. Karakterisitik OdontektomiKelompok Praimplementasi dan Pascaimplementasi CPG
Variabel Praimplementasi (n = 88)
Pascaimplementasi (n = 83) Statistik p
Lama Operasi (Menit) Rata-rata Simpang Baku Rentang
33,1716,465 - 75
33,2814,755 - 90
t = 0,045 0,965
Jenis Operasi Flap Ostectomy Odontectomy Ostec + Odontec
6 (6,8%) 7 (8,0%)15 (17,0%)60 (68,2%)
5 (6,0%) 6 (7,2%)17 (20,5%)55 (66,3%)
χ2 = 0,364 0,948
Jenis Impaksi (Winter) Vertikal Horizontal Mesioangular Distoangular
14 (15,9%)29 (33,0%)41 (46,6%) 4 (4,5%)
14 (16,9%)30 (36,1%)36 (43,4%) 4 (3,6%)
χ2 = 0,339 0,953
Jenis Impaksi (Pell & Gregory) IA IB IIA IIB IIIB
31 (35,2%) 4 (4,5%)38 (43,2%)15 (17,0%) 0 (0,0%)
44 (53,0%) 6 (7,2%)21 (25,3%)11 (13,3%) 1 (1,2%)
χ2 = 9,029 0,060
Medikasi Pra-op Ya Tidak
26 (29,5%)62 (70,5%)
14 (16,9%)69 (83,1%)
χ2 = 3,831 0,050
Riwayat dan Kondisi Klinis*)
Ya Tidak
42 (47,7%)46 (52,3%)
25 (30,1%)58 (69,9%)
χ2 = 5,557 0,018
*) Riwayat dan kondisi klinis dental 1 minggu sebelum dan pada saat odontektomi adalah kondisi klinis yang terjadi pada 1 minggu terakhir atau yang didiagnosis pada saat pemeriksaan praodontektomi yang meliputi kondisi-kondisi: gusi berdarah, sedang menjalani perawatan ortodonsi, perikoronitis, rasa sakit, edema, trismus, penyakit periodontal, dan infeksi.
43
2. Jenis dan Frekuensi Kejadian Komplikasi Pascaodontektomi Gigi Molar Ketiga Rahang Bawah Impaksi.
Kejadian komplikasi pada penelitian ini diamati dua kali, yakni pada hari ketiga dan
pada hari ketujuh pascaodontektomi. Jenis dan frekuensi kejadian komplikasi pada hari ketiga
pascaodontektomi disajikan dalam Tabel 5. Secara total, diperoleh data bahwa pada kelompok
praimplementasi CPG, frekuensi komplikasi hari ketiga adalah sebesar 80,7%, sedangkan pada
kelompok pascaimplementasi CPG, frekuensi komplikasinya adalah 67,5%. Perbedaan ini
bermakna secara statistik (p = 0,048).
Dalam penelitian ini, frekuensi kejadian komplikasi inflamasi lebih tinggi daripada
komplikasi operatif, baik pada kelompok praimplementasi maupun kelompok
pascaimplementasi. Pada kelompok praimplementasi, dari 88 pasien yang dilakukan operasi,
78,4% mengalami komplikasi inflamasi, dan hanya 5,7% yang mengalami komplikasi operatif.
Pada komplikasi inflamasi, jenis komplikasi yang paling sering terjadi adalah edema yang
terjadi pada 58% subjek penelitian praimplementasi.
Tabel 5. Jenis dan Frekuensi Komplikasi Hari Ketiga Pascaodontektomi Kelompok Praimplementasi dan Pascaimplementasi CPG
Komplikasi Praimplementasi (n = 88)
Pascaimplementasi (n = 83) Statistik p
Inflamasi Ya Nyeri Edema Trismus Dry Socket Infeksi Osteomielitis Hematoma Keterlambatan Penyembuhan Bony Spicule Tidak
69 (78,4%)39 (44,3%)51 (58,0%)34 (38,6%) 1 (1,1%) 2 (2,3%) 0 (0,0%) 3 (3,4%)
0 (0,0%) 0 (0,0%)19 (21,6%)
56 (67,5%)30 (36,1%)41 (49,4%)16 (19,3%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 2 (2,4%)
0 (0,0%) 0 (0,0%)27 (32,5%)
χ2 = 2,599 0,107
Operatif Ya Perdarahan Sisa Akar Fraktur Mandibula Fraktur Tulang Alveolus Parestesia Tidak
5 (5,7%)1 (1,1%)0 (0,0%)
0 (0,0%)
0 (0,0%)4 (4,5%)
83 (94,3%)
2 (2,4%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
0 (0,0%)
0 (0,0%) 2 (2,4%)81 (97,6%)
χ2 = 1,165 0,280
Total Ya Tidak
71 (80,7%)17 (19,3%)
56 (67,5%)27 (32,5%)
χ2 = 3,902 0,048
44
Tabel 6 menyajikan hasil pengamatan kejadian komplikasi pada hari ketujuh
pascaodontektomi. Pada pengamatan hari ketujuh pascaodontektomi, distribusi kejadian
komplikasi baik inflamasi maupun operatif pada kedua kelompok berbeda dengan pengamatan
hari ketiga. Selain frekuensinya yang menurun, jenis komplikasinya juga berbeda. Pada
kelompok praimplementasi, kejadian komplikasi hari ketujuh adalah sebesar 37,5%, sedangkan
pada kelompok pascaimplementasi, frekuensi kejadian komplikasinya adalah sebesar 10,8%.
Perbedaan ini bermakna secara statistik (p = 0,000).
Tabel 6. Jenis dan Frekuensi Komplikasi Hari Ketujuh PascaodontektomiKelompok Praimplementasi dan Pascaimplementasi CPG
Komplikasi Praimplementasi (n = 88)
Pascaimplementasi (n = 83) Statistik p
Inflamasi Ya Nyeri Edema Trismus Dry Socket Infeksi Osteomielitis Hematoma Keterlambatan Penyembuhan Bony Spicule Tidak
32 (36,4%)21 (23,9%)17 (19,3%) 9 (10,2%) 1 (1,1%) 2 (2,3%) 0 (0,0%) 1 (1,1%)
6 (6,8%) 0 (0,0%)56 (63,6%)
9 (10,8%) 6 (7,2%) 7 (8,4%) 2 (2,4%) 0 (0,0%) 1 (1,2%) 0 (0,0%) 1 (1,2%)
0 (0,0%) 0 (0,0%)74 (89,2%)
χ2 = 15,262 0,000
Operatif Ya Perdarahan Sisa Akar Fraktur Mandibula Fraktur Tulang Alveolus Parestesia Tidak
2 (2,3%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
0 (0,0%)
0 (0,0%)2 (2,3%)
86 (97,7%)
1 (1,2%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
0 (0,0%)
0 (0,0%) 1 (1,2%)82 (98,8%)
χ2 = 0,283 0,595
Total Ya Tidak
33 (37,5%)55 (62,5%)
9 (10,8%)74 (89,2%) χ2 = 16,381 0,000
3. Hubungan Antara Implementasi CPG, Karakteristik Subjek Penelitian, dan Karakteristik Odontektomi Dengan Kejadian Komplikasi Hari Ketiga dan Hari Ketujuh Pascaodontektomi.
Untuk mengetahui hubungan antara variabel pengaruh dan masing-masing kovariat
dengan luaran klinis hari ketiga dan hari ketujuh pascaodontektomi, dilakukan analisis bivariat
45
dengan menggunakan uji kai kuadrat. Tabel 7 menyajikan hasil analisis bivariat tersebut.
Dalam Tabel 7 terlihat bahwa implementasi CPG mempunyai OR = 2,014 (p = 0,048), tetapi
memiliki interval kepercayaan 0,999-4,058, sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara implementasi CPG dengan penurunan frekuensi kejadian komplikasi hari ketiga
pascaodontektomi.
Tabel 7. Hasil Analisis Bivariat Untuk Mengidentifikasi Faktor Risiko Komplikasi Hari Ketiga Pascaodontektomi
Variabel Komplikasi(n = 127)
Tidak(n = 44) OR IK (95%) p
Implementasi CPG Sebelum Sesudah
71 (55,9%)56 (44,1%)
17 (38,6%)27 (61,4%)
2,014 0,999 – 4,058 0,048
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki
73 (57,5%)54 (42,5%)
15 (34,1%)29 (65,9%)
2,614 1,278 – 5,347 0,007
Umur > 24 Tahun ≤ 24 Tahun
39 (30,7%)88 (69,3%)
12 (27,3%)32 (72,7%)
1,182 0,551 – 2,535 0,668
Lama Operasi > 30 Menit ≤ 30 Menit
51 (40,2%)76 (59,8%)
15 (34,1%)29 (65,9%)
1,297 0,633 – 2,658 0,476
Jenis Operasi Odont + Ostect Flap + Ostect
114 (89,8%)13 (10,2%)
33 (75,0%)11 (25,0%)
2,923 1,199 – 7,129 0,015
Klasifikasi Impaksi Sedang + Sulit Mudah
66 (52,0%)61 (48,0%)
24 (54,5%)20 (45,5%)
0,902 0,453 – 1,794 0,768
Medikasi Praodont Tidak Menggunakan
96 (75,6%)31 (24,4%)
35 (79,6%) 9 (20,4%)
0,796 0,345 – 1,839 0,593
Kebiasaan Merokok Ya Tidak
10 (7,9%) 117 (92,1%)
2 (4,6%)42 (95,4%)
1,795 0,378 – 8,529 0,456
Konsumsi Alkohol Ya Tidak
4 (3,2%) 123 (96,8%)
0 (0,0%)44 (100,0%)
– – 0,573*
Riwayat & Kondisi Klinis Dental Ya Tidak
48 (37,8%)79 (62,2%)
19 (43,2%)25 (56,8%)
0,799 0,399 – 1,604 0,528
OHI-S Sedang Baik
34 (26,8%)93 (73,2%)
15 (34,1%)29 (65,9%)
0,707 0,338 – 1,477 0,355
* Fisher exact probability test
46
Tabel 8 menyajikan hasil analisis bivariat antara faktor implementasi CPG dan 10
kovariat dengan kejadian komplikasi hari ketujuh pascaodontektomi gigi molar ketiga impaksi.
Dalam tabel ini terbukti bahwa implementasi CPG berhubungan dengan kejadian komplikasi
hari ketujuh dengan OR = 4,933 (IK: 2,183-11,151) (p = 0,000).
Tabel 8. Hasil Analisis Bivariat Untuk Mengidentifikasi Faktor Risiko Komplikasi Hari Ketujuh Pascaodontektomi
Variabel Komplikasi(n = 42)
Tidak(n = 129) OR IK (95%) p
Implementasi CPG Sebelum Sesudah
33 (78,6%) 9 (21,4%)
55 (42,6%)74 (57,4%)
4,933 2,183 – 11,151 0,000
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki
25 (59,5%)17 (40,5%)
63 (48,8%)66 (51,2%)
1,541 0,760 – 3,122 0,229
Umur > 24 Tahun ≤ 24 Tahun
13 (30,9%)29 (69,1%)
38 (29,5%)91 (70,5%)
1,074 0,504 – 2,286 0,854
Lama Operasi > 30 Menit ≤ 30 Menit
14 (33,3%)28 (66,7%)
52 (40,3%)77 (59,7%)
0,740 0,356 – 1,539 0,420
Jenis Operasi Odont + Ostect Flap + Ostect
38 (90,5%) 4 (9,5%)
109 (84,5%)20 (15,5%)
1,743 0,560 – 5,424 0,333
Klasifikasi Impaksi Sedang + Sulit Mudah
26 (61,9%)16 (38,1%)
64 (49,6%)65 (50,4%)
1,650 0,810 – 3,364 0,166
Medikasi Praodont Tidak Menggunakan
29 (69,1%)13 (30,9%)
102 (79,1%)27 (20,9%)
0,590 0,271 – 1,288 0,183
Kebiasaan Merokok Ya Tidak
3 (7,1%)39 (92,9%)
9 (7,0%) 120 (93,0%)
1,026 0,264 – 3,979 0,971
Konsumsi Alkohol Ya Tidak
3 (7,1%)39 (92,9%)
1 (1,0%) 128 (99,0%)
9,846 0,996 – 97,365 0,018
Riwayat & Kondisi Klinis Dental Ya Tidak
18 (42,9%)24 (57,1%)
49 (38,0%)80 (62,0%)
1,224 0,604 – 2,483 0,574
OHI-S Sedang Baik
11 (26,2%)31 (73,8%)
38 (29,5%)91 (70,5%)
0,850 0,388 – 1,863 0,684
47
Dalam Tabel 8 terbukti pula bahwa dengan analisis bivariat, variabel-variabel jenis
kelamin, umur, lama operasi, jenis operasi, klasifikasi impaksi, pemberian medikasi
praodontektomi, kebiasaan merokok, riwayat dan kondisi klinis dental, serta higiene mulut
tidak berhubungan dengan kejadian komplikasi hari ketujuh pascaodonetktomi gigi molar
ketiga rahang bawah impaksi (p > 0,05). Hanya variabel kebiasaan mengkonsumsi alkohol
yang menunjukkan adanya hubungan dengan komplikasi hari ketujuh dengan OR = 9,846 (p =
0,018), akan tetapi memiliki interval kepercayaan yang melewati angka 1 (0,996-97,365).
Untuk mengetahui peranan implementasi CPG dalam menurunkan kejadian komplikasi hari
ketujuh pascaodontektomi, dilakukan analisis multivariat dengan menggunakan analisis regresi
logistik berganda, seperti yang disajikan pada subbab 4 di bawah ini.
4. Pengaruh Implementasi CPG Terhadap Kejadian Komplikasi Hari Ketiga dan Ketujuh Pascaodontektomi.
Untuk mengetahui pengaruh implementasi CPG terhadap kejadian komplikasi hari
ketiga dan hari ketujuh pascaodontektomi, dilakukan analisis multivariat, yakni dengan
menggunakan uji regresi logistik berganda. Variabel yang dimasukkan ke dalam analisis
multivariat adalah variabel yang pada analisis bivariat memiliki nilai p ≤ 0,25. Hasil analisis
untuk kejadian komplikasi hari ketiga disajikan dalam Tabel 9. Dalam Tabel 9, terlihat bahwa
variabel implementasi CPG mempunyai OR = 2,028 (IK 95%: 0,972-4,228), akan tetapi secara
statistik tidak bermakna (p = 0,059). Sebaliknya variabel jenis kelamin pasien dan jenis operasi
menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik, dengan OR masing-masing sebesar
2,814 dan 3,609.
Tabel 9. Hasil Analisis Multivariat Untuk Mengidentifikasi Pengaruh Implementasi CPG Terhadap Kejadian Komplikasi Hari Ketiga Pascaodontektomi
Variabel B SE Wald df Sig Exp(B) IK 95%
Implementasi CPG 0,707 0,375 3,554 1 0,059 2,028 0,972-4,228
Jenis Kelamin 1,035 0,383 7,284 1 0,007 2,814 1,327-5,965
Jenis Operasi 1,283 0,483 7,067 1 0,008 3,609 1,401-9,295
Constant – 0,808 0,519 2,427 1 0,119 0,446 –
Hasil analisis bivariat untuk melihat faktor risiko kejadian komplikasi hari ketujuh
menunjukkan bahwa terdapat lima variabel yang memiliki nilai p ≤ 0,25, yakni variabel-
variabel: implementasi CPG, jenis kelamin, jenis impaksi, medikasi pra-operasi, dan kebiasaan
mengkonsumsi alkohol. Kelima variabel tersebut kemudian dianalisis secara multivariat
dengan menggunakan uji regresi logistik berganda. Hasil analisis multivariat tersebut disajikan
48
dalam Tabel 10. Dalam Tabel 10 ini diperoleh bukti bahwa dari lima variabel yang dimasukkan
ke dalam model, ternyata dua variabel di antaranya bermakna secara statistik, yakni
implementasi CPG (OR = 5,014; IK = 2,119-11,862; p = 0,000) dan kebiasaan mengkonsumsi
alkohol (OR = 17,612; IK = 1,486-208,744; p = 0,023).
Tabel 10. Hasil Analisis Multivariat Faktor Risiko Kejadian Komplikasi Hari Ketujuh Pascaodontektomi
Variabel B SE Wald df Sig Exp(B) IK 95%
Implementasi CPG 1,612 0,439 13,464 1 0,000 5,014 2,119-11,862
Jenis Kelamin 0,611 0,409 2,232 1 0,135 1,842 0,826-4,107
Jenis Impaksi 0,591 0,404 2,137 1 0,144 1,806 0,818-3,990
Medikasi Pra-Ops – 0,322 0,436 0,546 1 0,460 0,725 0,309-1,702
Konsumsi Alkohol 2,869 1,262 5,171 1 0,023 17,612 1,486-208,744
Constant – 2,638 0,625 17,799 1 0,000 0,071 –
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
Sen
sitiv
ity
0.00 0.25 0.50 0.75 1.001 - Specificity
Area under ROC curve = 0.7432
Gambar 6. Receiver Operating Characteristic (ROC) Curve(Area Under the ROC Curve = 0,7432)
Untuk mengetahui daya prediksi persamaan yang melibatkan variabel yang tersaji
dalam Tabel 10, dilakukan analisis sensitifitas dan spesifisitas. Hasil analisis menunjukkan
49
bahwa area under the receiver operating characteristic (AUROC) adalah sebesar 74,32%,
yang menunjukkan daya prediksi persamaan ini tinggi.
Untuk mendapatkan persamaan regresi yang paling baik (best fit model), dilakukan
kombinasi empat variabel pengaruh ke dalam tiga model. Hasil analisisnya disajikan dalam
Tabel 11. Variabel-variabel tersebut adalah: implementasi CPG, jenis kelamin pasien, jenis
impaksi, dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol. Dalam penentuan best fit model ini, dibuat tiga
model, yakni Model 1, Model 2, dan Model 3. Dalam Model 1 dilibatkan dua variabel bebas,
yakni implementasi CPG dan konsumsi alkohol. Dalam Model 2 dilibatkan tiga variabel bebas,
yakni: implementasi CPG, jenis kelamin, kebiasaan konsumsi alkohol. Dalam Model 3 juga
dilibatkan tiga variabel, yakni implementasi CPG, jenis impaksi, dan kebiasaan mengkonsumsi
alkohol.
Tabel 11. Hasil Analisis Pemodelan Pengaruh Implementasi CPG Terhadap Kejadian Komplikasi Hari Ketujuh Pascaodontektomi
VariabelModel 1 Model 2 Model 3
Exp(B)(IK 95%) p Exp(B)
(IK 95%) p Exp(B)(IK 95%) p
Implementasi CPG 5,359(2,29-12,52)
0,000 5,213(2,22-12,22)
0,000 5,339(2,28-12,51)
0,000
Jenis Kelamin – – 1,700(0,78-3,70)
0,181 – –
Jenis Impaksi – – – – 1,561(0,73-3,35)
0,253
Konsumsi Alkohol 14,561(1,25-169,78)
0,033 19,508(1,61-236,57)
0,020 12,832(1,13-145,58)
0,039
Constant 0,002 0,014 0,000 0,006 0,001 0,009
AIC 173,988 174,160 174,663
BIC 174,687 175,092 175,595
Keterangan: AIC = Akaike Information Criterion; BIC = Bayesian Information Criterion
Dalam Tabel 11, diketahui bahwa dalam Model 1, kedua variabel yang dimasukkan ke
dalam model bermakna secara statistik, dengan OR = 5,359 (p = 0,000) untuk implementasi
CPG, dan OR = 14,561 (p = 0,033) untuk kebiasaan mengkonsumsi alkohol. Dalam Model 2,
hanya dua dari tiga variabel yang bermakna, yakni implementasi CPG (OR = 5,213; p = 0,000)
dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol (OR = 19,508; p = 0,020). Dalam Model 3, juga
diperoleh bukti bahwa hanya 2 diantara 3 variabel yang bermakna, yakni implementasi CPG
(OR = 5,339; p = 0,000), dan variabel kebiasaan mengkonsumsi alkohol (OR = 12,832; p =
0,039).
50
Yang menarik dari pemodelan ini adalah bahwa dalam ketiga model, implementasi
CPG secara konsisten bermakna secara statistik, dengan OR lebih dari lima. Dari ketiga model
di atas, dipilih satu model terbaik. Model terbaik adalah model dengan jumlah variabel
pengaruh yang paling sedikit, tetapi dengan kemampuan prediksi yang paling tinggi.
Kemampuan prediksi tertinggi dinayatakan dengan nilai deviance terkecil. Parameter deviance
dinyatakan dalam nilai Akaike Information Criterion (AIC) (dihitung dengan persamaan: – 2
Log Likelihood + 2(p + 1)) dan Bayesian Information Criterion (BIC) (dihitung dengan
persamaan: – 2 Log Likelihood + log n x (p + 1)) (p = jumlah variabel independen, dan n =
jumlah subjek penelitian). Dari ketiga model yang disajikan dalam Tabel 14, Model 1 memiliki
jumlah variabel paling sedikit, dan sekaligus memiliki nilai AIC dan BIC terkecil (AIC =
173,988 dan BIC = 174,687). Hal ini menunjukkan bahwa implementasi CPG terbukti
menurunkan kejadian komplikasi hari ketujuh pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang
bawah impaksi.
Dalam analisis regresi logistik berganda terdapat asumsi tidak adanya collinearity,
yakni suatu kondisi adanya hubungan antar variabel bebas. Oleh karena itu, sebelum dilakukan
analisis multivariat telah dilakukan analisis untuk mengetahui collinearity statistics, yang
disajikan dalam Tabel 12 di bawah ini. Dua parameter yang digunakan untuk mengukur
collinearity adalah variance inflation factor (VIF) dan tolerance (tolerance = 1/VIF). Dalam
Tabel 12 tersaji angka VIF untuk tiap variabel bebas yang semua besarnya mendekati satu.
Demikian juga halnya dengan besaran tolerance, yang untuk semua variabel, angkanya
menunjukkan mendekati satu. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi tidak adanya collinearity
telah terpenuhi.
Tabel 12. Hasil Analisis Collinearity Dalam Analisis Multivariat Terhadap Kejadian Komplikasi Hari Ketujuh Pascaodontektomi
VariabelCollinearity Statistics
VIF Tolerance
Implementasi CPG 1,032 0,969
Jenis Kelamin 1,070 0,934
Jenis Impaksi 1,036 0,965
Medikasi Pra-Operasi 1,031 0,970
Konsumsi Alkohol 1,028 0,972
Keterangan: VIF = Variance Inflation Factor; Tolerance = 1/VIF
Asumsi lainnya dari analisis logistik berganda adalah tidak adanya interaksi antar
variabel bebas. Oleh karena itu, sebelum dilakukannya analisis multivariat, juga dilakukan
analisis untuk mendeteksi adanya interaksi antar variabel bebas. Hasil analisisnya disajikan
51
dalam Tabel 13 di bawah ini. Dalam Tabel 13 dan Lampiran 9, untuk semua interaksi baik dua
variabel maupun lebih, diperoleh nilai p > 0,05. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tidak
terjadi interaksi antar variabel bebas.
Tabel 13. Hasil Analisis Interaksi Antar Variabel Bebas Dalam Model Pengaruh Implementasi CPG Terhadap Kejadian Komplikasi Hari Ketujuh
Interaksi Antara Koefisien SE z P > ׀z׀ IK (95%)
A dan B 1,250 1,609 0,78 0,437 –1,903 – 4,403
A dan C 1,525 1,573 0,97 0,332 –1,558 – 4,608
A dan D 2,711 2,244 1,21 0,227 –1,688 – 7,109
A dan E – 2) – – – –
B dan C 0,182 1,924 0,09 0,924 –3,588 – 3,952
B dan D 0,152 1,779 0,09 0,932 –3,336 – 3,639
B dan E – 2) – – – –
C dan D 1,460 2,003 0,73 0,466 –2,465 – 5,386
C dan E – 2) – – – –
D dan E – 2) – – – –
Keterangan: 1. A = Implementasi CPG, B = Jenis Kelamin, C = Jenis Impaksi, D = Medikasi Pra-operasi,
dan E = Konsumsi Alkohol.2. Tidak dapat dilakukan analisis interaksi mengingat jumlah pasien yang mempunyai
kebiasaan mengkonsumsi alkohol frekuensinya sangat kecil (n = 4).3. Hasil analisis interaksi untuk 3 variabel atau lebih disajikan di Lampiran 9.
Dalam analisis regresi logistik berganda, terdapat asumsi independensi tiap data
terhadap data lainnya. Asumsi tersebut tidak dipenuhi dalam penelitian ini. Hal ini terjadi,
karena setiap operator melakukan odontektomi terhadap lebih dari satu pasien, sehingga data
dari setiap pasien tidak sepenuhnya independen satu sama lain. Oleh karena itu perlu dilakukan
suatu analisis untuk meng-adjusted efek operator, yakni dengan uji generalized estimating
equations. Hasil analisisnya disajikan di dalam Tabel 14. Dari Tabel 14, dapat disimpulkan
bahwa setelah dikendalikan dengan efek operator, pengaruh implementasi CPG terhadap
kejadian komplikasi hari ketujuh tetap bermakna, yakni dengan nilai OR = 4,971 (IK: 1,854-
13,327; p = 0,001).
Tabel 14. Hasil Analisis Multivariat Kejadian Komplikasi Hari Ketujuh
52
Dengan Uji Generalized Estimating Equations
Variabel B SE Wald df Sig Exp(B) IK 95%
Intercept – 2,047 2,196 0,869 1 0,351 0,129 0,002-9,557
Implementasi CPG 1,604 0,503 10,157 1 0,001 4,971 1,854-13,327
Jenis Kelamin 1,031 0,511 4,075 1 0,044 2,803 1,030-7,625
Jenis Impaksi 0,555 0,475 1,366 1 0,243 1,742 0,687-4,421
Medikasi Pra-Ops – 0,233 0,461 0,256 1 0,613 0,792 0,321-1,954
Konsumsi Alkohol 2,756 2,011 1,879 1 0,170 15,744 0,306-810,879
Operator 1 – 1,741 1,664 1,094 1 0,296 0,175 0,007-4,580
Operator 2 – 0,987 1,452 0,462 1 0,497 0,373 0,022-6,416
Operator 4 – 0,257 1,415 0,033 1 0,856 0,773 0,048-12,386
Operator 5 28,333 – – – – 2,02E12 –
Operator 6 – 2,434 1,507 2,609 1 0,106 0,088 0,005-1,681
Operator 7 – 2,174 0,926 5,507 1 0,019 0,114 0,019-0,699
Operator 8 – 1,360 0,982 1,919 1 0,166 0,257 0,037-1,758
Operator 9 – 0,060 0,956 0,004 1 0,950 0,942 0,145-6,134
Operator 10 – 0,205 0,960 0,046 1 0,831 0,814 0,124-5,343
Operator 11 26,218 1,035 641,631 1 0,000 2,434E11 3,2E10-1,9E12
Operator 12 – 0,269 1,059 0,064 1 0,800 0,764 0,096-6,088
Operator 13 – 0,953 1,029 0,859 1 0,354 0,386 0,051-2,895
Operator 14 – 0,929 1,183 0,617 1 0,432 0,395 0,039-4,013
Keterangan:Operator 3 tidak melakukan odontektomi. Operator 15 ditetapkan sebagai reference.
Untuk mengetahui apakah pemberian anti inflamasi non-steroid (AINS) merupakan
confounder dari pengaruh implementasi CPG terhadap kejadian komplikasi hari ketujuh
pascaodontektomi, dilakukan analisis multivariat untuk subgroup AINS dan subgroup tanpa
AINS. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa dalam subgroup AINS, nilai OR untuk
implementasi CPG adalah sebesar 3,092 (IK: 0,891-10,730; p = 0,075); sedangkan dalam
subgroup Tanpa AINS, nilai OR untuk pengaruh implementasi CPG terhadap terjadinya
komplikasi hari ketujuh pascaodontektomi adalah sebesar 4,171 (IK: 0,720-24,171; p = 0,111).
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa pemberian AINS memodifikasi efek implementasi CPG
terhadap kejadian komplikasi hari ketujuh. Perlu dicatat bahwa kedua nilai OR tersebut tidak
bermakna secara statistik. Karena terdapat perbedaan nilai OR antara kedua subgroup sebesar
34%, maka dilakukan analisis stratifikasi untuk menghitung nilai common OR. Hasil analisis
stratifikasinya disajikan dalam Tabel 15 di bawah ini.
53
Tabel 15. Hasil Analisis Stratifikasi Menurut Pemberian Medikasi AINS Pengaruh Implementasi CPG Terhadap Terjadinya Komplikasi
Hari Ketujuh Pascaodontektomi Dengan Menggunakan Mantel-Haenszel Chi-Square
Implementasi CPG
AINS Tanpa AINS Total
Komplikasi(n = 34)
Tidak(n = 64)
Komplikasi(n = 8)
Tidak(n = 65)
Komplikasi(n = 42)
Tidak(n = 129)
SebelumSesudah
29 (85,3%) 5 (14,7%)
44 (68,8%)20 (31,3%)
4 (50,0%) 4 (50,0%)
11 (16,9%)54 (83,1%)
33 (78,6%) 9 (21,4%)
55 (42,6%)74 (57,4%)
OR 2,636 4,909 4,933
IK (95%) 0,890 – 7,813 1,063 – 22,672 2,183 – 11,151
Common OR 3,117 (IK: 1,262 – 7,699; p = 0,014)
Dalam Tabel 15 tersaji hasil yang menunjukkan bahwa OR masing-masing strata
berbeda satu sama lain. Pada sub-kelompok AINS, diperoleh nilai OR sebesar 2,636, sedangan
pada sub-kelompok tanpa AINS diperoleh nilai OR sebesar 4,909. Perhitungan nilai common
OR dengan menggunakan uji Mantel-Haenszel chi-square diperoleh common OR sebesar
3,117. Jika dibandingkan dengan nilai OR hubungan antara implementasi CPG dengan
kejadian komplikasi hari ketujuh pascaodontektomi pada analisis multivariat sebesar 5,014 (IK:
2,119 – 11,862), maka status pemberian AINS memodifikasi efek pengaruh implementasi CPG
terhadap kejadian komplikasi hari ketujuh pascaodontektomi. Dilihat dari perbedaan nilai
crude OR (4,933) dan common OR (3,117), maka dapat disimpulkan bahwa pemberian AINS
adalah confounder.
Diketahui, bahwa pengalaman operator berhubungan dengan kejadian komplikasi
pascaodontektomi (Blondeau dan Daniel, 2007; Leung dan Cheung, 2011). Oleh karena itu,
dalam penelitian ini dilakukan analisis untuk mengetahui apakah pengalaman operator menjadi
confounder terhadap pengaruh implementasi CPG terhadap kejadian komplikasi hari ketujuh
pascaodontektomi. Operator odontektomi dalam penelitian ini adalah para residen pada
Program Studi Ilmu Bedah Mulut, Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis, FKG UGM.
Para residen yang terlibat dalam penelitian ini adalah mereka yang duduk di semester 1 (R1),
semester 2 (R2), dan semester 3 (R3). Dilakukan analisis terhadap subgroup R1 + R2 dan
subgroup R3. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai OR untuk hubungan implementasi CPG
dengan kejadian komplikasi hari ketujuh pascaodontektomi pada subgroup R1 + R2 adalah
sebesar 10,023 (IK: 2,189-45,902; p = 0,003), sedangkan untuk subgroup R3 adalah sebesar
3,128 (IK: 0,725-13,503; p = 0,126). Terdapat perbedaan yang sangat besar antara nilai OR di
54
kedua subgroup tersebut, yang juga disertai perbedaan tingkat kemaknaannya. Oleh karena itu
dapat disimpulkan bahwa pengalaman operator merupakan modifier pengaruh implmentasi
CPG terhadap kejadian komplikasi hari ketujuh. Untuk mengetahui apakah pengalaman
operator juga menupakan confounder, dilakukan analisis stratifikasi untuk menghitung
common OR. Hasil analisis stratifikasinya disajikan dalam Tabel 16 di bawah ini.
Tabel 16. Hasil Analisis Stratifikasi Menurut Pengalaman Operator Pengaruh Implementasi CPG Terhadap Terjadinya Komplikasi Hari Ketujuh Pascaodontektomi
Dengan Menggunakan Mantel-Haenszel Chi-Square
Implementasi CPG
Residen R 1 + R 2 Residen R 3 Total
Komplikasi(n = 12)
Tidak(n = 40)
Komplikasi(n = 12)
Tidak(n = 40)
Komplikasi(n = 42)
Tidak(n = 129)
SebelumSesudah
5 (41,7%) 7 (58,3%)
9 (68,8%)31 (77,5%)
5 (41,7%) 7 (58,3%)
9 (22,5%)31 (77,5%)
33 (78,6%) 9 (21,4%)
55 (42,6%)74 (57,4%)
OR 13,087 2,460 4,933
IK (95%) 2,939 – 58,276 0,627 – 9,650 2,183 – 11,151
Common OR 6,600 (IK: 2,570 – 16,952; p = 0,000)
Hasil analisis stratifikasi yang tersaji dalam Tabel 16 menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan antara nilai crude OR (4,933) dan common OR (6,600), yang menunjukkan bahwa
pengalaman operator (yang dalam hal ini direpresentasikan dengan: di semester keberapa para
operator odontektomi sedang berada dalam proses residensinya), telah memodifikasi efek dan
sekaligus merupakan confounder pengaruh implementasi CPG terhadap kejadian komplikasi
hari ketujuh pascaodontektomi. Akan tetapi, nilai common OR sebesar 6,600 menunjukkan
bahwa secara konsisten terdapat bukti bahwa implementasi CPG menurunkan frekuensi
kejadian komplikasi hari ketujuh pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi.
B. Pembahasan
55
1. Jenis dan frekuensi kejadian komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga
rahang bawah impaksi.
Dalam penelitian ini diperoleh data bahwa frekuensi kejadian komplikasi
pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi pada hari ketiga pada kelompok
praimplementasi CPG adalah sebesar 80,7%, sedangkan pada kelompok pascaimplementasi
CPG komplikasinya adalah sebesar 67,5%. Jenis komplikasi tertinggi adalah edema, yang
pada pengamatan hari ketiga, pada kelompok praimplementasi CPG frekuensinya adalah
sebesar 58,0% dan pada kelompok pascaimplementasi CPG frekuensinya adalah sebesar
49,4%. Pada pengamatan hari ketujuh, frekuensi kejadian komplikasi pascaodontektomi pada
kelompok praimplementasi CPG adalah sebesar 19,3%, dan pada kelompok
pascaimplementasi CPG adalah sebesar 8,4%.
Dalam penelitian ini, frekuensi kejadian komplikasi inflamasi lebih tinggi daripada
komplikasi operatif, baik pada kelompok praimplementasi CPG maupun kelompok
pascaimplementasi CPG. Pada kelompok praimplementasi CPG, dari 88 pasien yang
menjalani operasi, 78,4% mengalami komplikasi inflamasi, dan hanya 5,7% yang mengalami
komplikasi operatif. Pada komplikasi inflamasi, jenis komplikasi yang paling sering terjadi
adalah edema yang terjadi pada 58% subjek penelitian praimplementasi CPG, sedangkan
persentase terkecil adalah dry socket, dengan 1,1%. Dalam penelitian ini, tidak ditemukan
komplikasi osteomielitis, keterlambatan penyembuhan, dan bony spicule pada kelompok
praimplementasi CPG.
Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, frekuensi kejadian komplikasi ini adalah
tinggi. Dalam penelitiannya terhadap 583 pasien odontektomi, Bui dkk. (2003) mencatat
kejadian komplikasi sebesar 9,8%, dengan jenis komplikasi terbanyak adalah alveolitis dengan
3,4%. Blondeau dan Daniel (2007) dalam penelitiannya melaporkan bahwa kejadian
komplikasi pascaodontektomi adalah sebesar 6,9%, dengan komplikasi tertinggi juga alveolitis
dengan 3,6%. Sementara Pitekova dkk. (2010) dalam studi pustakanya menyatakan bahwa
komplikasi pascaodontektomi berkisar antara 2,6-30,9% dengan frekuensi pada usia sampai 30
tahun sebesar 11,8% dan pada pasien di atas 30 tahun, komplikasinya adalah sebesar 21,5%,
dengan jenis komplikasi yang paling sering terjadi adalah alveolitis, dengan frekuensi sebesar
3%.
Membandingkan hasil penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya tersebut
adalah kurang sebanding mengingat bahwa karakteristik subjek, karakteristik odontektomi,
dan karakteristik sarananya mungkin berbeda. Menurut Susarla dkk. (2003) perbedaan
frekuensi kejadian odontektomi dapat disebabkan perbedaan dalam kriteria diagnosisnya. Bui
dkk. (2003) menyatakan bahwa variabilitas frekuensi sangat tergantung pada definisi
operasional komplikasi, rancangan penelitian, teknik sampling, perbedaan metode pengamatan
variabel-variabelnya, persentase pasien yang mengalami drop-out (loss to follow-up), dan bias
56
misklasifikasi. Bello dkk. (2011), secara lebih rinci menyatakan bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi kejadian komplikasi pascaodontektomi. Faktor-faktor tersebut diklasifikasi
dalam tiga kelompok, yakni: faktor karakteristik pasien, faktor yang berhubungan dengan gigi,
dan faktor operasi. Yang termasuk ke dalam faktor pasien adalah: umur, jenis kelamin, etnis,
kebiasaan merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan higiene mulut. Faktor yang
berhubungan dengan gigi meliputi: adanya infeksi, jenis impaksi, kedalaman impaksi,
kedekatan akar gigi impaksi dengan syaraf alveolaris inferior, kepadatan tulang di sekitar gigi
impaksi, dan adanya kondisi patologis seperti kista atau neoplasma. Faktor risiko operasi
mencakup: penggunaan obat-obatan, jenis dan luasnya insisi, teknik penutupan luka operasi,
pengalaman dan ketrampilan dokter spesialis bedah mulut, dan lamanya operasi.
Pembandingan frekuensi komplikasi pada penelitian ini yang lebih masuk akal adalah
dengan penelitian yang dilakukan oleh Dwipayanti dkk. (2009). Dalam penelitiannya yang
dilakukan di RSGM FKG Universitas Jember, Dwipayanti dkk. (2009) mendapatkan hasil
frekuensi kejadian komplikasi pada hari pertama pascaodontektomi adalah sebesar 68,25%
dan kejadian komplikasi pada hari keempat adalah sebesar 36,51%.
Bahwa jenis komplikasi dalam penelitian ini yang memiliki persentase tertinggi adalah
edema dikonfirmasi oleh Dwipayanti (2009). Peneliti ini melaporkan bahwa pada pemeriksaan
hari pertama, komplikasi edema adalah sebesar 58,73%, diikuti oleh trismus, dengan 47,62%.
Pada pemeriksaan hari keempat, komplikasi edema adalah sebesar 30,16%, sedangkan trismus
sebesar 25,40%. Menurut Susarla dkk. (2003) dan Pitekova dkk. (2010), komplikasi nyeri,
edema dan trismus adalah kejadian yang sangat lazim dalam odontektomi gigi molar ketiga
impaksi. Ketiga jenis komplikasi ini merupakan reaksi inflamasi normal setelah adanya
trauma. Sebagaimana diketahui bahwa proses odontektomi adalah proses yang traumatik.
Edema bahkan hampir selalu terjadi. Edema mencapai puncaknya pada hari kedua atau ketiga
pascaoperasi, dan akan membaik pada hari ketujuh. Pemberian steorid praoperatif akan
mengurangi komplikasi edema (Susarla dkk., 2003).
Selain edema, jenis komplikasi lain yang frekuensinya cukup tinggi adalah trismus.
Pada pengamatan hari ketiga tahap praimplementasi CPG, frekuensi kejadian komplikasi
trismus adalah sebesar 38,6%. Pada kelompok pascaimplementasi CPG, frekuensinya adalah
19,3%. Pada pengamatan hari ketujuh, pada tahap praimplementasi CPG, frekuensi kejadian
komplikasi trismus adalah sebesar 10,2%; dan pada tahap pascaimplementasi CPG,
frekuensinya adalah sebesar 2,4%.
Sebagaimana telah disajikan sebelumnya, komplikasi nyeri, edema, dan trismus
merupakan komplikasi yang lazim dari suatu tindakan odontektomi (Pitekova dkk., 2010;
Graziani dkk., 2006). Ketiga jenis komplikasi ini merupakan reaksi inflamasi yang “normal”
dari suatu trauma. Aznar-Arasa dkk. (2012) menjelaskan bahwa trauma dalam proses
odontektomi yang terjadi pada jaringan akan menyebabkan lepasnya cyclooxygenase-2 (Cox-
57
2). Senyawa ini akan menginduksi aktifitas prostaglandin yang akan meningkatkan nociceptor
perifer dan menyebabkan munculnya gejala-gejala inflamasi.
Frekuensi kejadian komplikasi trismus yang dilaporkan dalam penelitian ini adalah
tinggi, mengingat hasil penelitian sebelumnya memberikan hasil yang lebih rendah.
Dwipayanti dkk. (2009) dalam penelitiannya mendapatkan hasil komplikasi trismus sebesar
47,5% pada pemeriksaan hari pertama pascaodontektomi. Pada pemeriksaan hari keempat,
frekuensinya adalah sebesar 25,40%. Susarla dkk. (2003) menyatakan bahwa kejadian
komplikasi trismus disebabkan selain oleh trauma, juga oleh karena terjadinya inflamasi pada
otot mastikatoris dan otot fasial.
Jenis komplikasi pascaodontektomi molar ketiga rahang bawah impaksi lain yang
frekuensinya relatif kecil tetapi merupakan indikator yang penting adalah kejadian parestesia.
Dalam penelitian ini, frekuensi kejadian parestesia pada pengamatan hari ketiga tahap
praimplementasi CPG adalah sebesar 4,5% dan pada tahap pascaimplementasi CPG
frekuensinya sebesar 2,4%. Pada pengamatan hari ketujuh, pada tahap praimplementasi CPG,
frekuensinya sebesar 2,3% dan pada tahap pascaimplementasi CPG, frekuensinya menurun
menjadi 1,2%.
Faculty of Dental Surgery, The Royal College of Surgeons of England (1997b)
melaporkan bahwa kejadian komplikasi parestesia adalah sebesar 2,7-36% (nervus alveolaris
inferior) dan untuk nervus lingualis adalah sebesar 0,25-23% (bersifat temporer) dan 0,14-2%
(bersifat permanen). Loescher dkk. (2003) menyebutkan bahwa frekuensi parestesia pada
nervus alveolaris inferior adalah sebesar 1,3-7,8%. Bui dkk. (2003) mendapatkan hasil
penelitian bahwa frekuensi parestesia pascaodontektomi adalah sebesar 1,0%.
Blondeau dan Daniel (2007) dalam penelitiannya mendapatkan hasil komplikasi
parestesia yang sama, yakni 1,1% (pada nervus alveolaris inferior). Pitekova dkk. (2010)
mendapatkan hasil komplikasi parestesia untuk nervus alveolaris inferior sebesar 1,1% dan
nervus lingualis sebesar 0,5%. Di Indonesia, Dwipayanti dkk. (2009) mendapatkan hasil
komplikasi parestesia pada pengamatan hari pertama pascaodontektomi sebesar 4,65% dan
pada hari keempat sebesar 3,17%.
Faktor lain yang mungkin mempengaruhi kejadian komplikasi adalah pelaksanaan
program asepsis. Di RSGM Prof. Soedomo, khususnya di Klinik Bedah Mulut sudah
dilakukan program asepsis. Program ini dilakukan dengan sterilisasi menggunakan autoclove,
desinfeksi dan dekontaminasi. Akan tetapi, hasil pengamatan menunjukkan bahwa dalam
pelaksanaan operasi, belum digunakan sterile gloves, yang digunakan adalah clean gloves.
Kemungkinan, hal ini tidak mempengaruhi kejadian komplikasi mengingat frekuensi infeksi
yang sangat rendah (2%). Chiu dkk. (2006) dalam penelitiannya yang membandingkan
penggunasan glove steril dan glove bersih menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan insidensi
komplikasi inflamasi akut, infeksi akut dan dry socket antara kelompok yang dioperasi dengan
58
menggunakan clean gloves dan sterile gloves. Rendahnya kejadian infeksi ini, mungkin juga
disebabkan karena dalam odontektomi di RSGM Prof. Soedomo dan di Indonesia pada
umumnya selalu diberikan antibiotika sebagai medikasi pascaodontektomi.
2. Efektifitas implementasi CPG untuk menurunkan kejadian komplikasi
pascaodontek-tomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah implementasi CPG meningkatkan
luaran klinik. Proposisi yang diajukan adalah bahwa implementasi CPG akan merubah
perilaku klinisi, yang akan meningkatkan quality of care process, yang pada akhirnya akan
meningkatkan luaran klinik. Bukti-bukti dalam penelitian ini telah mendukung proposisi
tersebut, meskipun penelitian ini tidak mengukur perilaku klinisi dan proses klinis. Hasil
penelitian ini mengkonfirmasi bahwa intervensi dalam sistem mikro mampu meningkatkan
luaran klinik. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan bukti empirik tentang teori
The Chain of Effect yang dikemukakan oleh Berwick (2002) khususnya dalam aspek sistem
mikro.
Dipandang secara lebih makro, hasil penelitian ini menegaskan bahwa sesuai dengan
filosofi clinical governance, implementasi clinical practice guidelines akan meningkatkan
mutu klinik pelayanan kesehatan. Seperti diketahui, clinical governance memiliki empat pilar,
yakni: consumer value, clinical performance and evaluation, clinical risk management, dan
professional development and management. Dalam pilar kedua, yakni clinical performance
and evaluation, terdapat beberapa elemen dasar, salah satunya adalah pengembangan CPG dan
clinical pathways yang disetujui bersama berdasar atas evidence-based clinical practices.
Dalam kaitan itu, penelitian ini telah mengkonfirmasi beberapa penelitian sebelumnya,
yakni yang dilakukan oleh Chu dkk. (2003), van der Sanden (2005) dan Hu dkk. (2006). Chu
dkk. (2003) melaporkan bahwa implementasi guidelines dalam tatalaksana pneumonia
meningkatkan kualitas perawatan pneumonia, sedangkan van der Sanden (2005) mendapatkan
hasil yang tidak konsisten, yakni implementasi CPG meningkatkan pengetahuan para dokter
gigi, tetapi tidak meningkatkan ketrampilan dalam pengambilan keputusan klinis.
Sebaliknya, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan studi-studi sebelumnya yang
dilakukan oleh: Massie dkk. (2003), Bahrami dkk. (2004), dan Soheilipur dkk. (2009).
Penelitian Massie dkk. (2003) menyimpulkan bahwa implementasi CPG tidak meningkatkan
frekuensi kunjungan ulang, tidak menurunkan morbiditas, dan tidak meningkatkan kualitas
hidup. Bahrami dkk. (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa implementasi CPG
dengan metode audit & feedback, computer aided learning, dan kombinasinya, tidak
meningkatkan kepatuhan para dokter gigi terhadap SIGN guidelines dalam manajemen gigi
molar ketiga impaksi. Soheilipour dkk. (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
59
implementasi CPG dalam pemberian profilaksis antibiotika untuk mencegah endokarditis
tidak efektif untuk meningkatkan kepatuhan.
Beberapa penelitian menjelaskan tentang mengapa implementasi CPG tidak efektif
untuk meningkatkan luaran klinik. Prior dkk. (2008) menyatakan bahwa kurang efektifnya
implementasi CPG bukan disebabkan oleh CPG-nya sendiri, tetapi karena efektifitas metode
implementasinya, yang tidak berhasil untuk merubah perilaku dokter. Menurut van der Sanden
dkk. (2003) implementasi CPG tidak efektif karena dokter gigi memiliki persepsi bahwa
pelaksanaan CPG akan mengurangi otonomi profesional. Hu dkk. (2006) menyatakan bahwa
kepatuhan terhadap CPG ditentukan oleh pemahaman terhadap CPG tersebut. Bonetti dkk.
(2006) melakukan penelitian untuk mengukur efektifitas CPG dalam pengambilan foto
radiograf pada perawatan gigi dan mulut. Disimpulkan oleh Bonetti dkk. (2006) bahwa
perilaku dokter gigi dapat ditingkatkan melalui intervensi yang berupa pemberian statement
persuasif melalui surat atau dalam suatu kursus pengembangan profesional.
Craney dkk. (2001) berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi
penghambat kepatuhan klinisi terhadap CPG. Faktor-faktor tersebut adalah: keraguan terhadap
aplikabilitas dari data hasil penelitian terhadap pasien tertentu, rendahnya kepatuhan terhadap
protokol perawatan, perilaku yang mendiskriminasi terhadap pasien dalam usia tertentu
(ageist attitude), pengaruh keterbatasan waktu dan pertimbangan finansial yang menyebabkan
implementasi CPG sebagai prioritas yang rendah, ketiadaan dukungan sistem komputer yang
efektif, dan ketiadaan pembimbing (mentor) bagi dokter yang lebih muda. Oleh karenanya,
Craney dkk. (2001) memberikan rekomendasi agar digunakan metode multifaset dalam
implementasi CPG. Oleh karena itu pula maka dalam penelitian ini dilakukan implementasi
CPG dalam perawatan odontektomi dengan metode multifaset. Metode implementasi ini
terdiri dari: (a) workshop tentang guidelines dengan para dokter/operator; (b) pemberian
dokumen clinical practice guidelines; (c) pemberian instruksi untuk melaksanakan CPG; (d)
penyediaan reminder sheet (lembar pengingat); dan (e) supervisi dan bimbingan teknis.
Dengan demikian, hasil penelitian ini mengkonfirmasi proposisi yang diajukan oleh Craney
dkk. (2001).
Efektifitas implementasi CPG untuk menurunkan frekuensi komplikasi hari ketujuh
pascaodontektomi dalam penelitian ini sesuai dengan kerangka konsep yang disusun Cabana
dkk. (1999). Dalam kerangka konsep tersebut Cabana dkk. (1999) mendasarkan proses adopsi
CPG yang baru melalui proses yang secara teoritis mempunyai urutan: pengetahuan, sikap,
dan perilaku. Metode multifaset yang digunakan dalam penelitian ini sekaligus menghilangkan
hambatan dalam ketiga simpul tersebut, yakni pengetahuan, sikap, dan perilaku secara
simultan, sehingga hasilnya efektif menurunkan frekuensi komplikasi hari ketujuh
pascaodontektomi.
60
Tidak bermaknanya perbedaan pada frekuensi komplikasi hari ketiga kemungkinan
disebabkan oleh tingginya frekuensi komplikasi edema, trismus, dan nyeri, yang ketiganya
termasuk dalam kategori komplikasi inflamasi. Dinyatakan oleh Susarla dkk. (2003) dan
Pitekova dkk. (2010) bahwa ketiga jenis komplikasi tersebut merupakan reaksi inflamasi
normal dari suatu trauma.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi CPG efektif menurunkan
kejadian komplikasi hari ketujuh pasca odontektomi. Secara teoritis, efektifitas implementasi
CPG dalam menurunkan komplikasi hari ketujuh ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni:
ketersediaan alat operasi, ketersediaan obat-obatan, kompetensi klinisi, pemahaman terhadap
CPG, dukungan dari supervisor, dan dukungan dari manajemen rumah sakit. Sebagai rumah
sakit pendidikan, RSGM Prof. Soedomo memiliki peralatan yang lengkap termasuk
didalamnya adalah alat-alat operasi dan alat sterilisasi (autoclove). Demikian juga halnya
dengan ketersediaan obat-obatan, yang sebagian besar adalah terdiri dari jenis antibiotika,
anti-inflamasi baik steroid maupun non-steroid, roburansia, maupun obat-obatan yang spesifik
untuk penyakit-penyakit di rongga mulut. Meskipun RSGM Prof. Soedomo belum
mendapatkan akreditasi baik KARS maupun JCI, manajemen rumah sakit sangat mendukung
program dan proses peningkatan mutu klinik yang dalam penelitian ini adalah berbentuk
implementasi CPG. Salah satu bentuk dukungan manajemen terhadap setiap upaya
peningkatan mutu klinik adalah dilakukannya continuing professional development dan
dilakukannya proses credentialing secara berkala bagi klinisi dan perawat di rumah sakit ini.
Proses ini menjamin terjaganya kompetensi para klinisi dan perawat di rumah sakit ini.
Dukungan dari supervisor (dokter gigi spesialis bedah mulut dan dokter gigi spesialis bedah
mulut konsultan) terhadap implementasi CPG sangat baik, mengingat bahwa sebagai rumah
sakit pendidikan, proses supervisi merupakan bagian integral dalam proses belajar mengajar
dalam pendidikan dokter gigi spesialis.
Penurunan komplikasi pada hari ketujuh pascaodontektomi setelah
diimplementasikannya CPG, kemungkinan juga disebabkan oleh adanya edukasi kepada para
pasien untuk merawat luka bekas operasi dan untuk patuh minum obat. Edukasi kepada pasien
pascaoperasi merupakan prosedur yang direkomendasikan dalam CPG. Sebelum implementasi
CPG, edukasi kepada pasien tidak selalu diberikan oleh para operator secara komprehensif.
Dalam penelitian ini, kepatuhan (compliance rate) para klinisi terhadap CPG tidak
diamati, karena penelitian ini tidak dirancang untuk mengamati clinical care process. Jika
variabel ini diamati (pada tahap pascaimplementasi CPG), harus dilakukan pula pengamatan
pada variabel yang sama pada tahap praimplementasi CPG. Pengamatan compliance pada
tahap praimplementasi CPG tidak relevan mengingat pada tahap itu CPG belum
diimplementasikan. Secara metodologis, pengamatan compliance juga akan mengurangi
validitas, mengingat bahwa hal ini akan menyebabkan bias eksperimental yang disebabkan
61
pengamatannya harus dilakukan secara langsung (direct observation). Untuk memastikan
adherence oleh para operator terhadap CPG, dilakukan supervisi berjenjang oleh para residen
yang lebih senior, dan akhirnya oleh pembimbing yakni para dokter gigi spesialis bedah mulut
dan dokter gigi spesialis bedah mulut konsultan. Meskipun kepatuhan klinisi terhadap CPG
tidak diamati, validitas internal penelitian ini tetap tinggi mengingat bahwa dalam penelitian
ini telah dilibatkan sebanyak mungkin confounder dan telah dilakukan pengendalian yang
ketat terhadap confounder tersebut dengan cara analisis data.
Dalam analisis stratifikasi diperoleh bukti bahwa pemberian AINS memodifikasi efek
implementasi CPG terhadap kejadian komplikasi hari ketujuh pascaodontektomi. Pada stratum
subjek yang mendapatkan AINS diperoleh nilai OR sebesar 2,636 yang justru lebih rendah
daripada kelompok yang tidak mendapatkan AINS (OR = 4,909). Padahal efektifitas AINS
untuk mencegah terjadinya komplikasi pascaodontektomi secara empiris telah didukung oleh
bukti-bukti terkini (Mehra dkk., 2013; Aznar-Arasa dkk., 2012; Liporaci Jr, 2012; Saito dkk.,
2012; De Menezes dan Cury, 2010; Kim dkk., 2009). Efek AINS yang berbeda kemungkinan
disebabkan karena pasien yang tidak menerima AINS adalah menerima steroid
pascaodontektomi. Dari 73 pasien yang tidak menerima AINS, 71 di antaranya menerima
steroid. Dilaporkan oleh Santos dkk. (2012) bahwa efek steroid untuk mencegah terjadinya
inflamasi lebih baik daripada AINS.
Penelitian ini dilakukan di rumah sakit pendidikan, yang memiliki budaya akademik
tinggi. Selain itu, variabel pengganggu dalam penelitian ini telah dikendalikan melalui upaya
memasukannya ke dalam model. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki validitas internal
yang tinggi. Akan tetapi jika hasil penelitian ini digeneralisasikan ke populasi yang lebih luas,
validitas eksternalnya mungkin rendah. Karena dalam praktik klinik di situasi nyata, terdapat
perbedaan dengan setting penelitian, misalnya: terdapatnya keterbatasan sumber daya,
rendahnya kepatuhan pasien, dan perawatan tidak dapat dilakukan hanya pada kelompok
pasien dengan pembatasan yang sempit, sehingga tidak bisa menyamai kondisi yang sangat
terkendali dalam suatu eksperimen (Haycox dkk., 1999).