pterygium

39
IDENTITAS PASIEN Nama : Hj. S Umur : 54 tahun Agama : Islam Jenis kelamin : Perempuan Suku / Bangsa : Makassar / Indonesia Alamat : Puri Pattene, Makassar Pekerjaan : Guru Tanggal masuk: 10 Oktober 2015 No. Reg : 730005 Pemeriksa : dr. J, Sp.M Tempat : Poliklinik Mata RSWS I. ANAMNESIS Keluhan utama : Rasa mengganjal pada mata kiri Anamnesa Terpimpin : Dialami sejak 2 bulan yang lalu, secara perlahan-lahan, awalnya tampak selaput kecil yang lama-kelamaan semakin membesar. Penglihatan terganggu (-), nyeri dimata (-), air mata berlebih (-), silau (-), kotoran mata berlebih (-), rasa berpasir (-), riwayat mata merah sebelumnya (+). Riwayat sering terpapar sinar matahari (+) dan Riwayat terpapar debu (+), tiap hari di proyek papan kapur. Riwayat menggunakan kacamata (+). Riwayat hipertensi (-) dan riwayat DM(-), riwayat trauma(-).Riwayat operasi mata kanan akibat penyakit yang sama pada tahun 1995. 1

description

pterigium

Transcript of pterygium

Page 1: pterygium

IDENTITAS PASIEN

Nama : Hj. S

Umur : 54 tahun

Agama : Islam

Jenis kelamin : Perempuan

Suku / Bangsa : Makassar / Indonesia

Alamat : Puri Pattene, Makassar

Pekerjaan : Guru

Tanggal masuk: 10 Oktober 2015

No. Reg : 730005

Pemeriksa : dr. J, Sp.M

Tempat : Poliklinik Mata RSWS

I. ANAMNESIS

Keluhan utama : Rasa mengganjal pada mata kiri

Anamnesa Terpimpin : Dialami sejak 2 bulan yang lalu, secara perlahan-lahan,

awalnya tampak selaput kecil yang lama-kelamaan semakin membesar.

Penglihatan terganggu (-), nyeri dimata (-), air mata berlebih (-), silau (-), kotoran

mata berlebih (-), rasa berpasir (-), riwayat mata merah sebelumnya (+). Riwayat

sering terpapar sinar matahari (+) dan Riwayat terpapar debu (+), tiap hari di

proyek papan kapur. Riwayat menggunakan kacamata (+). Riwayat hipertensi (-)

dan riwayat DM(-), riwayat trauma(-).Riwayat operasi mata kanan akibat penyakit

yang sama pada tahun 1995.

1

Page 2: pterygium

II. FOTO KLINIS

III. PEMERIKSAAN

A. INSPEKSI OD OS

1. Palpebra Edema(-) Edema(-)

2. Apparatus Lakirmalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)

3. Silia Sekret (-) Sekret (-)

4. Konjungtiva Hiperemis (-)

Tidak tampak adanya

kelainan

Hiperemis(+)

Terdapat selaput

berbentuk segitiga di

nasal bola mata dengan

apeks sudah melewati

limbus dan mencapai

pupil.

5. Mekanisme muskular

6. Kornea Jernih Jernih

7. Bilik Mata Depan Normal Normal

8. Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)

9. Pupil Bulat sentral, RC (+) Bulat sentral, RC (+)

2

Page 3: pterygium

10. Lensa Sedikit keruh Sedikit keruh

B. PALPASI OD OS

1. Tensi Okular Tn Tn

2. Nyeri tekan - -

3. massa tumor - -

4. glandula pre-

aurikuler

Pembesaran (-) Pembesaran (-)

C. TONOMETRI

TOD : 17,3 mmHg

TOS : 17,3 mmHg

D. VISUS :

VOD: 6/30

VOS: 6/19

E. CAMPUS VISUAL: Tidak dilakukan pemeriksaan.

F. COLOR SENSE: Tidak dilakukan pemeriksaan.

G. LIGHT SENSE: Tidak dilakukan pemeriksaan.

H. PENYINARAN OBLIK DEKSTRA SINISTRA

1. Konjungtiva Hiperemis (-), Hiperemis (+), selaput

segitiga di nasal bola

mata dengan apeks

melewati limbus dan

mencapai pupil

2. Kornea Jernih Jernih

3. BMD Normal Normal

4. Iris Coklat, kripte(+) Coklat, kripte(+)

3

Page 4: pterygium

5. Pupil Bulat, sentral, Refleks

cahaya (+)

Bulat sentral, Refleks

cahaya (+)

6. Lensa Sedikit keruh Sedikit keruh

I. DIAFANOSKOPI: Tidak dilakukan pemeriksaan.

J. OFTALMOSKOPI: Tidak dilakukan pemeriksaan.

K. SLIT LAMP:

-SLOD : Konjungtiva hiperemis (-), BMD normal, iris coklat, kripte (+),

pupil bulat, sentral, RC (+), lensa sedikit keruh.

- SLOS : Konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput segitiga di bagian nasal,

mengarah ke limbus kornea, tampak apeks melewati limbus dan mencapai

pupil, BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa

sedikit keruh.

L. USG B-SCAN : Tidak dilakukan pemeriksaan

M. LABORATORIUM : Tidak dilakukan pemeriksaan

N. RESUME

Seorang Perempuan, umur 54 tahun datang ke poli mata RSWS dengan keluhan

utama mengganjal pada mata kiri, dialami sejak 2 bulan sebelum datang ke poli

mata, secara perlahan-lahan, awalnya tampak selaput kecil yang lama-kelamaan

membesar. Riwayat mata merah sebelumnya (+). Riwayat sering terpapar sinar

matahari (+). Riwayat terpapar debu (+) setiap hari di papan kapur.

VOD:6/30, VOS:6/19.

Pada pemeriksaan Slit Lamp,

-SLOD: Konjungtiva hiperemis (-), BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil

bulat, sentral, RC (+), lensa jernih

4

Page 5: pterygium

- SLOS: Konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput segitiga di bagian nasal,

mengarah ke limbus kornea, tampak apeks melewati limbus dan mencapai pupil,

BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa jernih.

IV. DIAGNOSIS:

OS Pterygium Stadium III

V. DIAGNOSIS BANDING:

- Pseudopterygium

- Pinguekula

VI. TERAPI:

Rencana OS Eksisi Pterygium

VII. DISKUSI:

Pasien ini didiagnosis dengan OS Pterygium Stadium III berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis di

dapatkan ada rasa selaput pada mata kiri yang dialami sekitar dua bulan

sebelum masuk rumah sakit

Pada pemeriksaan inspeksi OS di dapatkan adanya selaput berbentuk

segitiga pada konjungtiva dengan tepi melewati limbus dan mencapai

pupil, yang menunjukkan tanda pterygium stadium III. Tidak ada

pengobatan medikamentosa yang spesifik untuk pterygium. Tujuan

pengobatan medikamentosa adalah untuk mengurangi peradangan. Bila

terjadi peradangan dapat diberikan steroid topikal. Tindakan pembedahan

pada pterygium adalah suatu tindakan definitif untuk mengangkat jaringan

pterygium dengan berbagai teknik operasi.

Teknik operasi yang direncanakan pada pasien ini adalah teknik graft

konjungtiva dengan alasan karena teknik ini dianggap paling bagus dalam

menurunkan rekurensi pterygium.

Diharapkan agar penderita sedapat mungkin menghindari faktor pencetus

timbulnya pterygium seperti sinar matahari, angin dan debu serta rajin

5

Page 6: pterygium

merawat dan menjaga kebersihan kedua mata. Oleh karena itu dianjurkan

untuk selalu memakai kacamata pelindung bila bekerja atau keluar rumah.

Menurut kepustakaan, umumnya pterygium bertumbuh secara perlahan

dan jarang sekali menyebabkan kerusakan yang bermakna sehingga

prognosisnya adalah baik.

PTERYGIUM

I. DEFINISI

Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang artinya

sayap (wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan

fibrovaskuler pada subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan

kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga

dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap

lipatan semilunar pada cantus.1,2,3

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular

konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini

biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal

konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga

dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah

meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna

merah. 4

II. EPIDEMIOLOGI

Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah

iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan

kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan

ekuator yaitu daerah <370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi

6

Page 7: pterygium

tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas

lintang 400.5

Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung

pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya

berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-

15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara

peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih

tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan

angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di

lintang bawah. Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium.

Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3

kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium

rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua.

Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan

dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di

luar rumah.5,6

III. ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan

tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva

palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).

Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu

sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.3

Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola

mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva

terlipat ke bola mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau

lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior

terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm

dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut

dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara

kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak

7

Page 8: pterygium

ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris

yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat

lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.7

Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:7

1. Konjungtiva Palpebra

Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian

posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi

menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan

dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona

marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada

mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara

pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga

terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal.

Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva

palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler

dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung

perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan

perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka.

Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi

patologis bisa ditemui.

2. Konjungtiva Bulbi

Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.

Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat

translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan.

Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan

alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva

bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula

tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan

kapsula tenon dan sklera.

3. Konjungtiva Forniks

8

Page 9: pterygium

Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan

konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat

erat pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara

longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator

palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat

longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola

mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi. 7

Gambar 1. Anatomi Konjugtiva penampang sagital

(Gambar dikutip dari kepustakaan 7)

9

Page 10: pterygium

Gambar 2.anatomi konjuntiva penampang depan

Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri

palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak

vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-

jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva

tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan

pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima

persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini

memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.7

Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel

konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan

basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat

persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel

skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval

yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi

dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. 7

Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial

dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2

lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung

jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam

10

Page 11: pterygium

folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai

setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada

nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi

folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada

lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang

konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal

aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar

lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di

forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus

atas.7

IV. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Hingga saat ini etiologi pasti pterygium masih belum diketahui secara

pasti. Beberapa faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet,

mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa

kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas,

konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan

pterygium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium

merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan

banyak angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya

berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan

berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,

kemungkinan diturunkan autosom dominan.2,5,8

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium.

Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya.

Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen

suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa

adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta

akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada

sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut

11

Page 12: pterygium

termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular,

seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal

atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia. 8

Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi,

bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko

pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan

aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula

dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan.

Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau

olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang

multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter). 8

Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab

dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun

kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area

tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja

seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke

area nasal tersebut. 8

Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang

menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan

setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi,

antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan apoptosis

ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan pertumbuhan

yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan

degeneratif. 11

1. Paparan sinar matahari (UV)

Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam

perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa

insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat

equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di

lapangan. 8

2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

12

Page 13: pterygium

Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah

alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan).

UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel

limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi

dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan

angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah

degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler

subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat

pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. 8

Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :

1. Usia

Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak

ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak.

Tan berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga. 8

2. Pekerjaan

Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering

dengan sinar UV. 8

3. Tempat tinggal

Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi

geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang

dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di

khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei

lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama

kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita

pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan. 8

4. Jenis kelamin

Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.

5. Herediter

Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara

autosomal dominan. 8

6. Infeksi

13

Page 14: pterygium

Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab

pterygium. 8

7. Faktor risiko lainnya

Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel

tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko

terjadinya pterygium. 8

V. KLASIFIKASI PTERYGIUM 5,9

Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan

tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh

darah episklera , yaitu:

1. Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :

- Tipe I : Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus

atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm

dari kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada

epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis,

meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang

memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.

- Tipe II : di sebut juga pterygium tipe primer advanced atau

ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh

pterygium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi

menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren

setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan

astigmat.

- Tipe III: Pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan

zona optik. Merupakan bentuk pterygium yang paling berat.

Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain.

Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual.

Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat

berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke

forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola

mata serta kebutaan

14

Page 15: pterygium

2. Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:

Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea

Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum

mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak

melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal

(diameter pupil sekitar 3-4 mm).

Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil

sehingga mengganggu penglihatan.

Gambar 2. Pterygium stadium 1 Gambar 3. Pterygium stadium 2

ptrygium duplex Pterygium stadium 3

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2

yaitu:

- Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa

infiltrat di kornea di depan kepala pterygium (disebut cap

dari pterygium)

- Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya

menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.

15

Page 16: pterygium

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium

dan harus diperiksa dengan slit lamp pterygium dibagi 3 yaitu:

- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat

- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian

terlihat

- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.

VI. PATOFISIOLOGI

Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar

matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan

paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor

mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di

limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-β dan VEGF (vascular

endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan

angiogenesis.8

Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan

subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi

elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di

bawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan

kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh

pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan.

Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan

untuk pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang

terjadi displasia.5,8

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan

defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.

Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,

vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan

jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu

banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi

dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium

16

Page 17: pterygium

ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler

yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen

abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia

dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan

Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya

normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan

sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet 2,5,6,8

VII. GAMBARAN KLINIK

Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan

sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering

berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul

astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterygium lanjut stadium 3 dan 4 dapat

menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun. 1,6,8

Gambar 5. Bagian-bagian mata yang terkena pterygium

Pterygium memiliki tiga bagian :

i. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-

abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area

ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada

kornea. Garis zat besi (iron line/Stocker’s line) dapat dilihat

pada bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan area

kornea yang kering.

ii. Bagain whitish.Terletak langsung setelah cap, merupakan

sebuah lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti

halnya kepala.

iii. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat

bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva

bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi

17

Page 18: pterygium

tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi

pembedahan10

VI. DIAGNOSIS

Anamnesis

Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata

merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga

ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja

di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi,

serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.1,2, 6

Pemeriksaaan fisik

Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular

pada permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang

vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium yang avaskuler dan flat.

Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi

ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah

temporal. 6

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium

adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa

astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.6

VII. PENATALAKSANAAN

1. Konservatif

Penanganan pterygium pada tahap awal adalah berupa tindakann

konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi

maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti

UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.8

2 . Tindakan operatif

Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu:8

Menurut Ziegler :

1. Mengganggu visus

18

Page 19: pterygium

2. Mengganggu pergerakan bola mata

3. Berkembang progresif

4. Mendahului suatu operasi intraokuler

5. Kosmetik

Menurut Guilermo Pico :

1. Progresif, resiko rekurensi > luas

2. Mengganggu visus

3. Mengganggu pergerakan bola mata

4. Masalah kosmeti

5. Di depan apeks pterygium terdapat Grey Zone

6. Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat

7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik

Pada prinsipnya, tatalaksana pterygium adalah dengan tindakan

operasi. Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam

penanganan pterygium di antaranya adalah:8

1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva

dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah

tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat

mencapai 40-75%.

2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang

terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva

relatif kecil.

3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas

eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka

bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva

yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.

5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya

diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai

19

Page 20: pterygium

dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau

difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH,

Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).

Gambar 6. Teknik Operasi Pterygium

(Gambar dikutip dari kepustakaan 8)

Amniotic membrane transplantation

Ada juga teknik lain yaitu Amniotic membrane transplantation, yaitu

teknik gafting dengan menggunakan membran amnion, yang merupakan lapisan

paling dalam dari plasenta yang mengandung membrana basalis yang tebal dan

matriks stromal avaskular. Dalam dunia oftalmologi, membran amnion ini

digunakan sebagai draft dan dressing untuk infeksi kornea, sterile melts, dan

untuk merekonstruksi permukaan okuler untuk berbagai macam prosedur.

Dokumentasi pertama penggunaan membran amnion ini yaitu yang dilakukan

oleh De Rotth pada tahun 1940 untuk rekonstruksi konjungtiva. Dengan angka

kesuksesan yang rendah. Sorsby pada tahun 1946 dan 1947. Ada juga Kim dan

Tseng yang memperkenalkan kembali ide ini dan mempopulerkannya. Cara kerja

teknik ini adalah dimana komponen membran basalis dari membran amnion ini

serupa dengan komposisi dalam konjungtiva. Untuk alasan inilah teori terkini

menyatakan bahwa membran amniotik memperbesar support untuk limbal stem

cells dan cornea transient amplifying cells. Klonogenisitas dipelihara dengan

meningkatkan diferensiasi sel goblet dan non goblet . lebih jauh lagi, hal tersebut

20

Page 21: pterygium

dapat menekan diferensiasi miofibroblast dari fibroblas normal untuk mengurangi

scar dan pembentukan vaskuler. Mekanisme ini membantu penyembuhan untuk

rekonstruksi konjungtiva, defek epitel, dan ulserasi stromal. 9

6.1 Indikasi

A.Eksisi pterigium

setelah operasi pengangkatan pterigium, maka akan menyisakan sebuah defek

konjungtival. Defek ini dapat dibiarkan sembuh sendiri, dijahit secara langsung

melalui pendekatan primer, diberikan graft dengan sebuah autograft konjungtiva,

atau diberikan graft dengan membran amniotik. Dengan injeksi steroid

intraoperatif pada defek jaringan yang mengitarinya. 9

B.Rekonstruksi permukaan konjungtiva

selain untuk operasi pterigium, AMT juga digunakan untuk teknik rekonstruksi

konjungtiva lainnya. Untuk pengangkatan tumor-tumor konjungtiva yang meninggalkan

defek, maka defek tersebut akan diperbaiki dengan membran amniotik. Telah dilaporkan

penggunaan AMT untuk pembedahan scar dan symblepharon. AMT juga dapat

digunakan untuk merekonstruksi permukaan okuler pada kasus

konjungtivokalasis, scleral melts dengan sklera kadaverik. Satu laporan lainnya

menyatakan bahwa trabeculectomy bleb dapat diperbaiki dengan membran

amniotik. 9

C.Defisiensi stem sel Limbal

membran amniotik dapat digunakan pada kasus-kasus defisiensi stem sel Limbal parsial

dan total. Pada kasus-kasus kehilangan stem sel Limbal total, AMT saja tidak mencukupi

dan perlu penggunaan bersamaan dengan transplantasi stem sel allogenik. Untuk kasus-

21

Page 22: pterygium

kasus yang parsial, membran amniotik menunjukkan dapat meningkatkan epitelisasi dan

memperbaiki penglihatan dengan dan tanpa transplantasi sel Limbal allogenik. 9

Teknik terbaru termasuk penggunaan stem sel otolog dan allogenik yang diolah di

laboratorium pada membran amniotik lalu mentransplantasikan jaringan gabungan

ini pada kornea yang rusak berat tanpa adanya stem-stem sel endogen.9

6.2 Prosedur

Banyak laporan dalam literatur yang menggambarkan penggunaan membran amniotik

yang diambil dari plasenta pada saat operasi sesar dan diawetkan hingga digunakan pada

permukaan okuler. Tersedia teknik pengawetan cryopreserved amniotic membrane

dan lazim digunakan dan menjaga sifat histologis dan morfologis dari jaringan

sehat. AMT dapat ditempelkan pada permukaan okuler secara pembedahan

dengan benang absorbable ataupun yang non-absorbable. Adesivitas jaringan

biologis juga dapat digunakan untuk menempelkan AMT pada permukaan okuler.9

6.3 Resiko

Jaringan alogenik mempunyai resiko transmisi penyakit menular yang tidak terlihat.

Secara umum, membran amniotik didapatkan dari donor potensial yang menjalani

operasi sesar yang telah diskrining untuk penyakit menular, seperti; HIV, hepatitis,

dan sifilis. Plasenta kemudian dibersihkan dengan campuran larutan garam yang

seimbang, penisilin, streptomisin, neomisin, dan amfoterisin B. Lalu amnion

dipisahkan dari korion dengan blunt dissection pada kondisi yang steril,

ditempelkan pada strip kertas nitroselulosa dan disimpan dalam larutan gliserol.

Jaringan tersebut juga disimpan dalam larutan itu untuk fresh use atau

menggunakan cryopreserved pada suhu -80 derajat celcius. Hingga saat ini tidak

ada laporan mengenai transmisi penyakit menular pada AMT. 9

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Pterygium harus dapat dibedakan dengan pseudopterygium.

Pseudopterygium terjadi akibat pembentukan jaringan parut pada konjungtiva

yang berbeda dengan pterygium, dimana pada pseudopterygium terdapat adhesi

antara konjungtiva yang sikatrik dengan kornea dan sklera. Penyebabnya termasuk

22

Page 23: pterygium

cedera kornea, cedera kimiawi dan termal. Pseudopterygium menyebabkan nyeri

dan penglihatan ganda. Penanganan pseudopterygium adalah dengan melisiskan

adhesi, eksisi jaringan konjungtiva yang sikatrik dan menutupi defek sklera

dengan graft konjungtiva yang berasal dari aspek temporal.10, 11

Selain itu pterygium juga didagnosis banding dengan pinguekula yang

merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau

temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun

karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi

tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.10,11

Gambar 7. Pinguekula Gambar 8. Pseudopterigium

IX. KOMPLIKASI

Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut:6,11

Pra-operatif:

1. Astigmat

Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah

astigmat karena pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk

kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterygium serta

terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang

berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu

sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat “tear meniscus” antara puncak

kornea dan peninggian pterygium. Astigmat yang ditimbulkan oleh

pterygium adalah astigmat “with the rule” dan iireguler astigmat.

23

Page 24: pterygium

2. Kemerahan

3. Iritasi

4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea

5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan

dan menyebabkan diplopia.

Intra-operatif:

Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (thinning),

dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan

conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat sementara

dan tidak mengancam penglihatan. 11

Pasca-operatif:

Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:

1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea,

graft konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi

retina.

2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau

nekrosis sklera dan kornea

3. Pterygium rekuren.

X. PROGNOSIS

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.

Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi.

Pasien dengan pterygium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft

dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion6

24

Page 25: pterygium

DAFTAR PUSTAKA

1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of Pterygium. Opthalmic Pearls.2010

2. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2015 October 23]. Available from : www.eyewiki.aao.org/Pterygium

3. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.

4. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009.

5. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2015 October 23] http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

25

Page 26: pterygium

6. Anonymus.Pterygium. [online] 2009. [ cited 2015 October 18]. Available from : http://www.webmd.com/eye-health/pterygium-surfers-eye

7. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [cited 2015 October 08] Available from : repository.usu.ac.id/bitstream/.../4/Chapter%20II.pdf .

8. Cason, John B., .Amniotic Membrane Transplantation. [online] 2007. [cited 2015 October 23]. Available from : http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant

9. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas. New York : Thieme Stutgart. 2000

10. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In: External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366

11. Anonim. Pterygium. [online] 2007. [cited 2015 October 23]. Available from : http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/963/follow-up/complications.html

26