Pterygium (Dr. Djoko)
-
Upload
miftah-ahmad -
Category
Documents
-
view
86 -
download
1
description
Transcript of Pterygium (Dr. Djoko)
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
1/22
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Mata merupakan salah satu dari indera tubuh manusia yang sangat kompleks dan
berfungsi sebagai penglihatan. Meskipun fungsinya bagi kehidupan manusia sangat
penting, namun sering kali kurang diperhatikan, sehingga banyak penyakit yang
menyerang mata menjadi tidak terobati dengan baik dan menyebabkan terjadinya
gangguan penglihatan sampai menimbulkan kebutaan.
Pterygium merupakan kelainan pada bola mata yang umumnya terjadi di wilayah
beriklim tropis, dan dialami oleh orang-orang yang bekerja atau beraktivitas di bawah
terik sinar matahari dan umumnya terjadi pada usia 20-30 tahun.
Di Amerika, kasus Pterygium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geograftisnya. Di daratan Amerika Serikat prevalensinya berkisar kurang dari 2%
untuk daerah di atas 40olintang utara, dan 5-15% untuk daerah garis lintang 28o36o.
Pterygium sering ditemukan pada petani, nelayan, dan orang-orang yang tinggal di
daerah dekat khatulistiwa, jarang mengenai anak-anak. Paparan sinar matahari dalam
jangka waktu lama, terutama sinar ultraviolet, serta iritasi kronis oleh debu dan
kekeringan diduga kuat sebagai penyebab utamaPterygium.
Pterygiumdapat menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual
atau penglihatan bila kasusnya telah lanjut. Mata dapat mengalami proses inflamasi
sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.
Pada orang-orang yang memiliki aktivitas luar ruangan yang tinggi dan berada di
bawah terik matahari dalam waktu yang lama, disarankan untuk melindungi mata
dengan kacamata atau topi pelindung untuk melindungi mata dari paparan sinar
matahari dan terpaan angin.
B. TUJUAN
Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk memenuhi persyaratan dalam
menempuh Program Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata di Rumah Sakit Umum
Daerah Kudus.
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
2/22
2
C. MANFAAT
1. Menambah informasi dan pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenai
Pterygium.
2. Dapat bermanfaat bagi mahasiswa kedokteran untuk belajar secara mendalam
mengenai penangananPterygium.
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
3/22
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel
kornea di limbus.
Konjungtiva palpebralismelapisi permukaa posterior kelopak mata dan
melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke
posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera
menjadi konjungtiva bulbaris.
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan
melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Konjungtiva
bulbaris melekat longgar pada kapsul Tenon dan sklera di bawahnya, kecuali di
limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sepanjang 3 mm).
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, lunak, dan mudah bergerak
(plica semilunaris) terletak di kantus internus dan merupakan selaput pembentuk
kelopak mata dalam pada beberapa hewan kelas rendah. Struktur epidermoid kecil
semacam daging (caruncula) menempel secara superfisial ke bagian dalam plica
semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung baik elemen kulit
maupun membran mukosa (Vaughan, 2009).
B.
HISTOLOGI KONJUNGTIVA
Lapisan epitel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel
epitel silindris bertingkat, superfisial, dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di
dekat limbus, di atas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamosa bertingkat. Sel-sel epitel
superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus.
Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. Sel-sel epitel basal berwarna
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
4/22
4
lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat
mengandung pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial)
dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan
limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa
sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi
berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosatersusun dari jaringan penyambung yang
melekat pada lempeng tarsus. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.
Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar Krause dan Wolfring), yang
struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian
besar kelenjar Krause berada di forniks atas, sisanya ada forniks bawah. Kelenjar
Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas (Vaughan, 2009).
C. DEFINISI
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada
celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah
kornea. Pterygium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian
pterygiumakan berwarna merah. Pterygium dapat mengenai kedua mata (Ilyas,
2009).
Pterygium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan
penebalan, berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke dalam
kornea, dengan puncak segitiganya di kornea, kaya akan pembuluh darah yang
menuju ke arah puncak Pterygium. Kebanyakan Pterygium ditemukan di bagian
nasal, dan bilateral. Pada kornea penjalaran Pterygium mengakibatkan kerusakan
epitel kornea dan membran Bowman (Perdami, 2002).
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
5/22
5
D. EPIDEMIOLOGI
Umumnya terjadi pada usia 20-30 tahun pada daerah yang beriklim
tropis. Di seluruh dunia, terdapat penurunan insidensi pada daerah bagian atas
lintang utara dan relatif terjadi peningkatan di bawah garis lintang utara.
Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat yaitu
daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah
garis lintang utara ini (Juliansyah, 2009).
E. ETIOLOGI
Pterygium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar
matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan
diduga merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi (Ilyas, 2009).
F. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia
Prevalensi Pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui
pada usia dewasa, tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak
(Hamurwono et al., 1984). Tan berpendapatPterygiumterbanyak pada usia 2
dekade dua dan tiga (Tan, 2002). Di RSUD AA tahun 2003-2005 didapatkan
usia terbanyak 3140 tahun, yaitu 27,20%.
2. Pekerjaan
Pertumbuhan Pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan
sinar UV (Raihana, 2007).
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari Pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa
memiliki angka kejadian Pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga
menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada
garis lintang kurang dari 30 memiliki risiko penderitaPterygium36 kali lebih
besar dibandingkan daerah yang lebih selatan (Tan, 2002).
4.
Jenis kelamin
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
6/22
6
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan (Hamurwono
et al., 1984).
5.
Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal
dominan (Tan, 2002).
6.
Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab
Pterygium (Tan, 2002).
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu
seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
Pterygium (Tan, 2002).
G. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen
dan proliferasi jaringan fibrovaskular pada stroma subepitel yang tervaskularisasi,
dengan permukaan yang menutupi epitelium. Histopatologi kolagen abnormal
pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila diberi pewarnaan
dengan hematoksilin dan eosin. Jaringan ini juga dapat diwarnai dengan pewarna
jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya oleh karena
jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase (Juliansyah, 2009).
H. KLASIFIKASI DAN GRADE
KlasfikasiPterygium:
1. Pterygium simpleks : jika terjadi hanya di bagian nasal atau temporal
saja.
2.
Pterygium dupleks : jika terjadi pada nasal dan temporal.
Grade padaPterygium:
1. Grade 1
Meluas kurang dari 2 mm di atas kornea. Timbunan lesi (ditunjukkan
dengan Stocker line) dapat terlihat di epitel kornea bagian anterior/depan
Pterygium. Lesi/jejas ini asimptomatis, meskipun sebentar-sebentar dapat
meradang (intermitenly inflamed). Jika memakai soft contact lens, gejala
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
7/22
7
dapat timbul lebih awal karena diameter lensa yang luas bersandar pada
ujung kepala Pterygium yang sedikit naik/terangkat dan hal ini dapat
menyebabkan iritasi.
2. Grade 2
Melebar hingga 4 mm dari kornea, dapat kambuh (recunrrent) sehingga
diperlukan tindakan pembedahan. Dapat menggangguprecorneal tear film
dan menyebabkan astigmatisme.
3. Grade 3
Meluas hingga lebih dari 4 mm dan melibatkan daerah penglihatan (visual
axis). Lesi/jejas yang luas (extensive), jika kambuh, dapat berhubungan
dengan fibrosis subkonjungtiva dan meluas hingga ke fornix yang
terkadang dapat menyebabkan keterbatasan pergerakan mata (Juliansyah,
2009).
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia derajat pertumbuhan
Pterygiumdibagi menjadi :
a.
Derajat I : hanya terbatas pada limbus
b. Derajat II : sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm
melewati kornea.
c. Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir
pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4
mm)
d. Derajat IV : Jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan (Perdami, 2006).
I. TANDA KLINIK
Bila masih baru, banyak mengandung pembuluh darah, warnanya
menjadi merah, kemudian menjadi membran yang tipis berwarna putih dan
stasioner. Bagian sentral melekat pada kornea dapat tumbuh memasuki kornea dan
menggantinkan epitel, juga membran Bowman, dengan jaringan elastis dan hialin.
Pertumbuhan ini mendekati pupil. Biasanya didapat pada orang-orang yang
banyak berhubungan dengan angin dan debu, terutama pelaut dan petani. Kelainan
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
8/22
8
ini merupakan kelainan degenerasi yang berlangsung lama. Bila mengenai kornea,
dapat menurunkan visus karena menimbulkan astigmat dan juga dapat menutupi
pupil, sehingga cahaya terganggu perjalanannya. Pterygiumjuga dapat meradang
dan berwarna merah, terasa mengganjal disertai mata yang berair (Wijana, 1983).
J. DIAGNOSIS
Pterygium dapat berupa berbagai macam perubahan fibrovaskular pada
permukaan konjungtiva dan pada kornea. Penyakit ini lebih sering menyerang
konjungtiva nasal dan akan meluas ke kornea bagian nasal. Pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik sering didapatkan berbagai macam keluhan, mulai dari tidak
ada gejala yang berarti sampai mata menjadi sangat merah, mata gatal, iritasi,
berair, dan pandangan kabur, disertai jejas pada konjungtiva yang membesar.
Gambaran klinis bisa dibagi menjadi 2 kategori umum, sebagai berikut :
1. Kelompok pasien yang mengalami Pterygiumberupa ploriferasi minimal dan
penyakitnya lebih bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini cenderung
lebih pipih dan pertumbuhannya lambat mempunyai insidensi yang lebih
rendah untuk kambuh setelah dilakukan eksisi.
2.
Pada kelompok kedua, Pterygiummempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat
dan terdapat komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Pterygiumdalam grup
ini mempunyai perkembangan klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan
yang lebih tinggi untuk setelah dilakukan eksisi (Juliansyah, 2009).
K. DIAGNOSIS BANDING
a. Pseudopterygium
Apabila terjadi ulkus kornea atau kerusakan permukaan kornea, dapat
terjadi bahwa dalam proses penyembuhan, konjungtiva menutupi luka
kornea tersebut, sehingga terlihat seolah-olah konjungtiva menjalar ke
kornea.
Pada pseudopterygium dapat dimasukkan sonde di bawahnya, dan tidak
bersifat progresif.
Pseudopterygium tidak memerlukan pengobatan, serta pembedahan
kecuali sangat mengganggu visus atau alasan kosmetik.
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
9/22
9
b. Pannus
Merupakan pertumbuhan pembuluh darah ke dalam sekeliling kornea.
Pada individu normal, kornea seharusnya avaskuler, hipoksia lokal kronis
(seperti pada penggunaan contact lens berlebihan) atau inflamasi dapat
menyebabkan vaskularisasi di sekeliling kornea. Pannus juga dapat terjadi
pada penyakitstem cellkornea seperti aniridia.
c. Pinguekula
Kelainan ini juga terdapat pada konjungtiva bulbi, baik bagian nasal
maupun bagian temporal, di daerah celah kelopak mata. Pinguekula
terlihat sebagai penonjolan berwarna putih kuning keabuan berupa
hipertrofi, yaitu penebalan selaput lendir.
Pada umumnya pinguekula tidak memerlukan pengobatan. Pinguekula
yang menunjukkan adanya peradangan, diobati dengan steroid untuk
mempercepat redanya peradangan.
d. Kista Dermoid
Merupakan tumor kongenital berasal dari lapisan mesodermal dan
ektodermal, jaringan tumor terdiri dari jaringan ikat, jaringan lemak,
folikel rambut, kelenjar keringat, dan jaringan kulit. Lokasinya dapat pada
limbus konjungtiva bulbi atau tumbuh jauh ke orbita posterior dan dapat
menyebabkan ptosis. Kista dermoid diterapi dengan eksisi tumor atau kista
(Ilyas, 2009).
L. PENATALAKSANAAN
Pterygium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih
muda. Bila Pterygium meradang, dapat diberikan steroid atau tetes mata
dekongestan.
Pengobatan Pterygium adalah dengan sikap konservatif. Dapat juga
dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya
astigmatisme ireguler atau bilaPterygium telah menutupi media penglihatan. Hal-
hal ini merupakan indikasi dari operasi pengangkatanPterygium.
Prinsip penangananPterygiumdibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian
obat-obatan jika Pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
10/22
10
dilakukan pada Pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga
dipertimbangkan pada Pterygium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami
gangguan penglihatan (Ilyas, 2009).
Lindungilah mata dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan
kacamata pelindung. Bila terdapat dellen (lekukan kornea) dapat diberikan air
mata buatan dalam bentuk salep.
Tindakan bedah yang dapat dilakukan dalam kasusPterygium antara lain
adalah:
a. Bare Sklera
Pterygium diangkat, lalu dibiarkan saja. Tindakan ini tidak dilakukan
untuk Pterygium progresif karena dapat menimbulkan terjadinya
granuloma.
b. Mc Reynold Opperation
Puncak Pterygium yang terdapat pada kornea dilepaskan dari dasarnya,
sementara bagian yang lai dilepaskan dari konjungtiva bulbi. Bekasnya di
kornea dan sklera dibersihkan dan dilakukan elektrokauterisasi untuk
menghindari perdarahan. Bila membran tersebut terlalu tebal atau panjang,
dapat digunting sebagian untuk kemudian disisipkan di bawah konjungtiva
bulbi. Maksudnya agar bila terjadi kekambuhan, tidak masuk ke dalam
kornea. Tetapi menurut pengalaman, meskipun telah dioperasi, masih
dapat kambuh kembali dengan cepat. Bila sering residif, dapat diberi
penyinaran sinar , atau dilakukan eksterpasi dan transplantasi mukosa
mulut atau konjungtiva forniks.
c.
Amnion Graft / Konjungtiva Graft
Setelah Pterygium diambil lalu digraft dari amnion atau selaput mukosa
mulut atau konjungtiva bulbi pars superior.
Dengan teknik amnion graft ini tingkat rekurensi kasus Pterygium dapat
ditekan sebesar sekitar 5%.
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
11/22
11
d. Fibrin Tissue Adhesive (GLUE)
Metode pembuatan fibrin menggunakan teknik dari Hratman denganmodifikasi minor. Sehari sebelum dioperasi, ambil dengan spuit yang
diberi heparin 10 l darah vena pasien untuk setiap 100 cm2 kulit yang
akan digraft/dibuat flap. Lalu dilakukan sentrifuge dengan kecepatan 3000
rpm selama 10 menit. Lalu plasma yang terpisah diambil dengan jarum
spinal. Seluruh prosedur dilakukan dengan kondisi yang sangat steril.
Plasma inilah yang akan menjadi bahan dari fibrinogen dan disimpan di
dalam syringe dengan suhu -200oC. konsentrasi dari fibrinogen dalam
plasma ini adalah 350-450 mg/100 ml.
Komponen thrombin disiapkan menurut cara Armand J. Quick. Komponen
ini didapat dari Fresh Frozen Plasma (FFP) dari donor sehat yang telah
dilakukan screening ngeatif dari HIV dan Hepatitis B. 10 ml FFP
dipanaskan hingga suhu 2-4oC dan diencerkan 10x dengan air suling,
sehingga tercipta 100 ml cairan ini. Pada cairan ini, 1 ml asam asetat 1%
ditambahkan untuk membuat larutan dengan pH 5.3 dan terbentuk suatu
presipitat. Lalu dibiarkan selama 1,5 jam dan dilakukan sentrifuge dengan
kecepatan 3000 rpm selama 5 menit, kemudian presipitat diambil dan
ditambah cairan saline hingga 10 ml, lalu pH larutan dinaikkan hingga 7
dengan cara titrasi dengan sodium karbonat. Cairan ini dihangatkan di
dalam air dengan suhu 37oC dan ditambahkan 0,1 ml CaCl2 0,1 M.
Gumpalan yang terbentuk dalam waktu 45-120 detik dikeluarkan. Larutan
thrombin yang telah terbentuk ini bersifat jernih seperti air dan disimpan
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
12/22
12
dalam keadaan beku dengan suhu -200oC untuk mempertahankan
konsistensi dan dapat digunakan hingga 1 bulan.
Sebelum digunakan, fibrinogen dan thrombin dikeluarkan dari suhu dingin
dan dihangatkan pada suhu kamar.
Teknik operasi:
i.
Mata yang sakit dianestesi dengan propacaine HCl.
ii. Mata dan alat dipersiapkan dengan steril.
iii. Mata dibuka dengan spekulum.
iv. Suntikkan solutio lidocaine-epinefrin ke dalam Pterygium untuk
mengembangkan konjungtiva untuk memperlihatkan area yang
akan dilakukan graftt agar dapat dipisahkan dari capsula Tenon.
v.
Dilakukan pembebasan tumpul dan tajam untuk melepaskan sklera
dan konjungtiva sekitarnya sehingga sklera terbuka.
vi. Graft donor dari limbus superior dieksisi sepanjang 1 mm dengan
conjungtiva forseps dan gunting vannas.
vii. Konjungtiva dipisahkan dari capsula Tenon secara hari-hati dengan
manipulasi minimal.
viii.
Graft yang telah diseksi diletakkan terbalik di atas kornea pasien
dan dijaga agar tetap lembab.
ix. Cairan fibrinogen diteteskan pada sklera yang telanjang dan
diratakan dengan jarum kanula.
x. Cairan thrombin dioleskan pada graft donor yang diletakkan
terbalik pada kornea pasien.
xi.
Dengan 2 forseps McPherson, graft donor dibalikkan dari kornea
untuk menutup sklera yang telah diteteskan fibrinogen. Fibrinogen
dan thrombin akan membentuk lem alami.
xii.
Setelah proses pengeringan selama 5 menit, tepi graft yang tidak
rata akan diratakan dengan gunting vannas.
xiii. Oleskan Neomycin Sulfat/Polymixin B Sulfat/Dexamethasone zalf
pada mata yang dioperasi dan pasang eye patchselama 24 jam.
xiv. Teteskan Prednisone Asetat 1% dan Levofloxacine 0,5% pada mata
yang dioperasi 4x/hari selama 1 bulan untuk maintenance.
Keunggulan teknik operasi dengan fibrin glue untuk Pterygium yaitu
mengurangi waktu operasi, fotofobia, sensasi benda asing, iritasi, epifora, gatal,
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
13/22
13
hiperemis lokal, konjungtiva kemosis, mata kering, dan kesakitan pasien. Sampai
saat ini belum ditemukan komplikasi pada teknik operasi dengan fibrin glue,
tetapi masih terus dilakukan evaluasi untuk menilai tingkat rekurensi dan
kemungkinan komplikasi jangka panjang.
Teknik lain untuk menurunkan tingkat rekurensi (misalnya dengan aplikasi
mitomycin atau dengan radiasi) dapat digunakan walaupun dalam situasi sulit,
tetapi bukan merupakan pilihan pertama karena dapat menyebabkan masalah lain
dalam jangka waktu yang panjang ke depan.
Setelah dilakukan operasi pengangkatanPterygium,penderita disarankan untuk:
a.
Setelah pengangkatan mata pasien dapat terasa sangat sakit dalam jangka
waktu 3-4 hari, maka mungkin diperlukan obat penahan rasa sakit.
Sedangkan pada hari pertama dapat diberikan obat hipnotik sedatif.
Kompres dingin juga dapat diberikan untuk mengurangi rasa sakit pada
hari-hari awal setelah operasi.
b. Bekas jahitan mungkin akan terasa sedikit gatal, tapi hal ini akan
berkurang secara perlahan sampai hari kedua setelah operasi. Pasien juga
diberitahu untuk tidak mengucek-ucek matanya.
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
14/22
14
c. Mata pasien yang dioperasi akan terasa silau selama kurang lebih 1
minggu, maka disarankan untuk menggunakan kacamata hitam untuk
mengurangi rasa silau.
d. Gunakan tetes mata atau salep mata untuk mengurangi peradangan dan
untuk mencegah infeksi pada luka setelah operasi. Setelah mata terasa
lebih baik maka tetes mata dapat dihentikan.
e. Sesudah dilakukan eksisi Pterygium juga dapat diberikan steroid topikal
dengan pemberiannya yang ditingkatkan secara perlahan-lahan. Namun
penggunaan steroid ini harus sangat diperhatikan karena efek samping
yang dapat mengakibatkan katarak, glaukoma bahkan sampai kehilangan
penglihatan atau kebutaan.
Selain tindakan operatif pengangkatan Pterygium, penatalaksanaan Pterygium
dengan pemberian obat atau dengan medikamentosa, yaitu dengan pemberian:
a.
Air mata artifisial untuk membasahi permukaan okuler dan untuk mengisi
kerusakan pada lapisan air mata.
b. Obat tetes anti inflamasi untuk mengurangi inflamasi pada permukaan
mata dan jaringan okuler lainnya, bahan kortikosteroid akan sangat
membantu dalam penatalaksanaan Pterygium yang mengalami inflamasi
dengan mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi pada
permukaan okuler di dekat jejasnya, namun penggunaannya harus sangat
diperhatikan karena kortikosteroid dapat menyebabkan terjadinya katarak,
glaukoma hingga terjadi kebutaan (Hyun, 2008).
M.KOMPLIKASI
a.
Sebelum operasi
i.
Penurunan penglihatan
ii. Kemerahan pada mata
iii. Iritasi
iv. Diplopia
b. Setelah operasi
i. Sikatrik pada kornea
ii.
Pengeringan fokal kornea mata (hal ini sangat jarang terjadi)
iii. Infeksi
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
15/22
15
iv. Reaksi material jahitan
v. Diplopia
vi.
Conjungtival graft dehiscence
vii. Corneal scaring
viii. Komplikasi yang jarang terjadi, meliputi: perforasi bola mata,
perdarahan vitreus atau retinal detachment.
Komplikasi juga dapat terjadi karena terlambatnya dilakukan operasi dengan
radiasi beta pada pterygium yaitu terjadinya pengenceran sklera dan kornea
(Juliansyah, 2009).
N. PENCEGAHAN
Secara teoritis adalah dengan memperkecil terpaparnya radiasi UV untuk
mengurangi risiko berkembangnya Pterygium, pada individu yang mempunyai
risiko lebih tinggi. Pasien disarankan untuk menggunakan kacamata atau topi
pelindung dari cahaya matahari.
Pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah
tropis dan subtropik atau pada pasien yang memiliki aktivitas di luar dengan suatu
risiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet, misalnya memancing, berkebun, atau
pekerja bangunan. Jadi sebaiknya untuk para pekerja lapangan dianjurkan untuk
menggunakan kacamata dan topi pelindung.
Rekurensi pterygium dipengaruhi oleh riwayat keluarga, paparan sinar
matahari yang lama, serta teknik operasi yang dilakukan. Rekurensi pterygium
setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk mengatasinta
berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau
antineoplasia maupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan recurrent
pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograf
atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan
pertama setelah operasi (Juliansyah, 2009).
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
16/22
16
BAB III
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Tn. S
Umur : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Gempolsongo RT 01/0, Mijen, Demak
No. MR : 615.373
Tanggal pemeriksaan: 6 Juli 2011
Pemeriksa : Marcella Trixie Kartika .N.
Moderator : dr. Djoko Heru S., SpM
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara Autoanamnesis pada tanggal 6 Juli 2011 jam 10.45.
Keluhan Utama :
Mata kir i terasa ngganjel dan sepet yang semakin bertambah berat sejak 1
minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan mata ki r i terasa ngganjel dan sepet yang semakin
bertambah berat sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluhakan kadang-
kadang mata kir i merah dan berair. Sekitar + 3 tahun yang lalu, pasien merasa
timbul benj olan seperti daging tumbuh berwarna putih di mata sebelah kir i dan
benjolan tersebut dirasakan semakin lama semakin besar. Pasien adalah
seorang petani, pasien mengaku jarang menggunakan topi dan tidak pernah
menggunakan kacamata saat bekerja di sawah. Oleh karena pasien sering terpapar
angin dan debu, pasien sering kali merasa ada sesuatu yang masuk ke matanya.
Sebelum ini, pasien pernah periksa ke dokter dan diberi obat namun gejala yang
dirasakan tidak lekas berkurang. Pasien kemudian datang ke poli mata untuk
memeriksakan diri.
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
17/22
17
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien sudah + 3 tahun yang lalu pernah menderita seperti ini dan sudah diobati,
tetapi mata masih tetap ngganjel dan benjolan di mata kiri dirasakan semakin
lama semakin besar.
Riwayat penyakit mata (-)
Riwayat terpapar sinar matahar i terus menerus (+)
Riwayat trauma pada mata (-)
Riwayat terpapar bahan kimia (-)
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita sakit sama seperti pasien
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien adalah seorang petani. Biaya pengobatan ditanggung Jamkesmas. Kesan
ekonomi kurang.
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital Tekanan Darah : 100/90 mmHg
Nadi : 74 kali/menit
Pernapasan : 22 kali/menit
Suhu : 36C
Status gizi : Baik
B.
STATUS OFTALMOLOGI
Gambar:
OD OS
1 2
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
18/22
18
Keterangan:
1. OS Injeksi konjungtiva (+)
2.
OS pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva berwarna putih, di nasal, bentuk
segitiga, puncak ke arah kornea.
OCULI DEXTRA(OD) PEMERIKSAAN OCULI SINISTRA(OS)
6/6 Visus 6/6
- Koreksi -
Gerak bola mata normal,
enoftalmus (-),
eksoftalmus (-),
strabismus (-)
Bulbus okuli
Gerak bola mata normal,
enoftalmus (-),
eksoftalmus (-),
strabismus (-)
Edema (-), hiperemis (-),
nyeri tekan (-),
blefarospasme (-),
lagoftalmus (-),
ektropion (-),
entropion (-)
Palpebra
Edema (-), hiperemis(-),
nyeri tekan (-),
blefarospasme (-),
lagoftalmus (-),
ektropion (-),
entropion (-)
Edema (-),injeksi
konjungtiva (-), injeksi
siliar (-), bangunan
patologis (-), infiltrat (-)
Konjungtiva
Edema (-), injeksi
konjungtiva (+),
bangunan patologis (+)
penonjolan jari ngan ikat
bentuk segiti ga, infiltrat
(-)
Warna putih dan
tidak ikterik
Sklera Warna putih dan tidak
ikterik
Bulat, edema (-),
infiltrat (-), sikatriks (-)
Kornea Bulat, edema (-),
infiltrat (-), sikatriks (-)
Jernih, kedalaman cukup,
hipopion (-), hifema (-)
Camera Oculi Anterior
(COA)
Jernih, kedalaman cukup,
hipopion (-), hifema (-)
Kripta (+), warna coklat,
edema (-), sinekia (-), Iris
Kripta (+), warna coklat,
edema (-), sinekia (-),
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
19/22
19
atrofi (-) atrofi (-)
Reguler, letak sentral,
diameter: 3mm,
refleks pupil L/TL: +/+
Pupil
Reguler, letak sentral,
diameter: 3mm,
refleks pupil L/TL: +/+Jernih Lensa Jernih
Jernih Vitreus Jernih
Papil edema (-),
Vaskularisasi normal,
perdarahan (-), rasio
A/V: 2/3, eksudat (-)
Retina
Papil edema (-),
Vaskularisasi normal,
perdarahan (-), rasio A/V:
2/3, eksudat (-)
+ (Cemerlang) Fundus Refleks + (cemerlang)
Tidak dilakukan TIO Tidak dilakukan
Epifora (-), lakrimasi (-) Sistem Lakrimasi Epifora (-), lakrimasi (+)
IV. RESUME
Subjektif:
Pasien datang dengan keluhan mata ki r i terasa ngganjel dan sepet yang semakin
bertambah berat sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluhakan kadang-
kadang mata kir i merah dan berair. Sekitar + 3 tahun yang lalu, pasien merasa
timbul benj olan seperti daging tumbuh berwarna putih di mata sebelah kir i dan
benjolan tersebut dirasakan semakin lama semakin besar. Pasien adalah
seorang petani, pasien mengaku jarang menggunakan topi dan tidak pernah
menggunakan kacamata saat bekerja di sawah. Oleh karena pasien sering terpapar
angin dan debu, pasien ser ing kali merasa ada sesuatu yang masuk ke matanya.
Objektif:
OSjar ingan f ibrovaskuler berwarna putih, di nasal, bentuk segitiga,
puncak ke arah kornea, warna lebih merah dibanding jaringan sekitarnya.
OS I njeksi konjungtiva (+), OS lakr imasi (+), Riwayat terpapar debu,
angin, sinar matahar i terus menerus (+)
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
20/22
20
V. DIAGNOSA DIFFERENSIAL
i. OS pterigium simpleks
ii.
OS pseudopterigium
iii. OS pannus
iv. OS kista dermoid
v.
OS pinguekula
VI. DIAGNOSA KERJA
OS pterigium simpleks
Dasar diagnosis:
OS Fibrovaskuler, di nasal, bentuk segitiga, puncak ke arah kornea, warna lebih
merah dibanding jaringan sekitarnya. OS Injeksi konjungtiva (+), OS lakrimasi (+),
Riwayat terpapar debu, angin, sinar matahari terus menerus (+)
VII. TERAPI
a. Terapi medikamentosa
Na. Diclofenac 2,5 mg 1 tetes 2 kali sehari.
Diazepam diminum 2 kali sehari 1 tablet.
Air mata artifisial
b. Terapi operatif
Pengangkatan pterygium
VIII. PROGNOSIS
OKULI DEKSTRA (OD) OKULI SINISTRA (OS)
Quo Ad Visam : Dubia Ad bonam Dubia Ad bonam
Quo Ad Sanam : Dubia Ad bonam Dubia Ad bonam
Quo Ad Kosmetikam : Ad bonam Ad bonam
Quo Ad Vitam : Ad bonam Ad bonam
IX. USUL DAN SARAN
o Pasien sebaiknya menggunakan topi dan kacamata yang memiliki pinggiran pada
saat bekerja untuk mengurangi paparan terhadap sinar matahari.
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
21/22
21
o Pasien disarankan untuk kembali lagi berobat apabila masih terasa gejala-gejala
(ngganjel dan sepet) pada mata kiri.
o Memotivasi pasien untuk dilakukan ekstirpasi pengangkatan pterygium.
-
5/20/2018 Pterygium (Dr. Djoko)
22/22
22
DAFTAR PUSTAKA
Hamurwono, G.D., Nainggolan, S.H. 1984.Buku Pedoman Kesehatan Mata dan Pencegahan
Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas
Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan. 14-17
Ilyas S. 2003.Ilmu Penyakit Mata, Edisi kedua. Jakarta: Balai Penelitian FKUI.
Kim, H.H, Mun, H.J. 2008. Conjunctivolimbal Autograft Using a Fibrin Adhesive in
Pterygium Surgery. Dalam: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2629906/.
Diakses tanggal: 7 Juli 2011.
Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI). 2006. Editor Tahjono. Dalam
panduan manajermen klinik PERDAMI. CV Ondo Jakarta
Raihana. 2007. Karakteristik penderita pterygium di poliklinik mata RSUD Arifin Achmad
Pekanbaru Periode Januari 2003 Desember 2005. Pekanbaru ; FK UNRI.
Tan, D.T.H. 2002. Ocular Surface Diseases Medical and Surgical Management. New York:
Springer. 6583
Vaughan, D.G., 2009, Oftalmologi Umum, Widya Medika: Jakarta.
Wijana, N., 1983,Ilmu Penyakit Mata, Jakarta : 41-42.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2629906/http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2629906/