Pterygium

18
Pterygium I. DEFINISI Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang artinya sayap (wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus. 1,2,3 Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. 4 II. EPIDEMIOLOGI Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <37 0 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 40 0 . 5 Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika Serikat,prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40 o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36 o . Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah. Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada

description

medical

Transcript of Pterygium

Page 1: Pterygium

Pterygium

I.          DEFINISI

Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang artinya sayap

(wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler

pada subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi

nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis

menghadap lipatan semilunar pada cantus.1,2,3

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal

ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga

dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila

terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. 4

II.                EPIDEMIOLOGI

Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering.

Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah

daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi

tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400.5

Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada lokasi

geografisnya. Di daratan Amerika Serikat,prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di

atas 40olintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat

antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi  di bawah

garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan

peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah. Pasien di bawah umur 15 tahun jarang

terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3

kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada

umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan

dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar

rumah.5,6

III.             ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus

permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera

(konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu

sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.3

Page 2: Pterygium

Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak

mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas

maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks

superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus.

Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang

bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial

konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris

yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih dalam hingga 14

mm dari limbus.7

Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:7

1. Konjungtiva Palpebra

Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak mata

yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva

melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi

zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus

junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona marginal

konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal.

Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat

erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir  adalah zona

orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan

perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara fungsional,

konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.

2. Konjungtiva Bulbi

Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva bulbi

dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera dibawahnya dapat

divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar,

yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon

muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi

menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.

3. Konjungtiva Forniks

Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya

dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini

melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra

superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks

dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi. 7

Page 3: Pterygium

Gambar 1. Anatomi Konjugtiva penampang sagital

(Gambar dikutip dari kepustakaan 7)

Gambar 2.anatomi konjuntiva penampang depan

            Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua

arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya

mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak.

Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung

dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima

persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki

serabut nyeri yang relatif sedikit.7

Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel konjungtiva

terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel

konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi

kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-

sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel

goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata  prakornea secara merata. 7

Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat

limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan

adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa

tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan

adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan

konjungtivitis inklusi pada nenonatus  bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian

menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada

lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan

fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar krause dan

wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian

besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak

di tepi tarsus atas.7

IV.       ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Hingga saat ini etiologi pasti pterygium masih belum diketahui secara pasti. Beberapa

faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata,

infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik

secara kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi

menimbulkan pterygium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium

merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin

Page 4: Pterygium

karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang

berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Beberapa kasus dilaporkan sekelompok

anggota keluarga dengan pterygium dan berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga

dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.2,5,8

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium. Disebutkan

bahwa  radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar

yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di

basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan

faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem

kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga

degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan

inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan

dysplasia. 8

Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan lainnya

atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium. Orang yang banyak

menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami

pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam

ruangan. Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau

olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang multifaktorial

dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter). 8

Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab dominannya pterygium

terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan disebabkan

meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut. Sebuah penelitian

menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat

memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut. 8

Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang menyerupai tumor.

Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya reseksi dan jenis

terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda

neoplasia dan apoptosis  ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan

pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan

degeneratif. 11

1.         Paparan sinar matahari (UV)

Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya

pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada

pada daerah dekat equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di

lapangan. 8

Page 5: Pterygium

2.         Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia

berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53

tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over

produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis.

Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya

jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat

pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. 8

Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :

1. Usia

Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia

dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak

pada usia dekade dua dan tiga. 8

2. Pekerjaan

Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV. 8

3. Tempat tinggal

Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya.

Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir

menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih

tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya

pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar

dibandingkan daerah yang lebih selatan. 8

4. Jenis kelamin

Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.

5. Herediter

Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. 8

6. Infeksi

Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium. 8

7. Faktor risiko lainnya

Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap

rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium. 8

V.          KLASIFIKASI PTERYGIUM 5,9

Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,

progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:

1.      Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :

Page 6: Pterygium

-       Tipe I : Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada

tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai

pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami

inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.

-          Tipe II : di sebut juga pterygium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren tanpa

keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterygium sering nampak kapiler-kapiler yang

membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi,

berpengaruh dengantear film dan menimbulkan astigmat.

-          Tipe III: Pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan bentuk

pterygium yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang

lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya

pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks

dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan

2.      Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:

Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea

Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih dari 2

mm melewati kornea.

Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata

dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).

Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu

penglihatan.

                                

Gambar 2. Pterygium  stadium 1             Gambar 3. Pterygium  stadium 2

                    

          4. ptrygium duplexGambar                     Pterygium  stadium 3               

3.  Berdasarkan  perjalanan penyakitnya, pterygium dibagimenjadi 2 yaitu:

-        Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala

pterygium (disebut cap dari pterygium)

-        Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi

tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium dan harus diperiksa dengan slit

lamp pterygium dibagi 3 yaitu:

-        T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat

Page 7: Pterygium

-        T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat

-        T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.

VI.             PATOFISIOLOGI

Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari, walaupun

dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu

atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang

terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-β dan VEGF

(vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan

angiogenesis.8

Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial

fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan

proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnya

menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan

oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan

membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan

pterygium.  Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.5,8

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal

stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah

pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan

membranbasement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium

dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterygium merupakan

manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium

ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi

oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami

degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin

dan eosin, Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel

diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan

sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet 2,5,6,8

VII.          GAMBARAN  KLINIK

            Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali.

Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak merah,

merasa seperti ada benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterygium

lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan

menurun. 1,6,8

Page 8: Pterygium

Gambar 5. Bagian-bagian mata yang terkena pterygium

            Pterygium memiliki tiga bagian :

                                   i.              Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang

kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman

pada kornea. Garis zat besi (iron line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala.

Area ini juga merupakan area kornea yang kering.

                                 ii.              Bagain whitish.Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan vesikuler tipis yang

menginvasi kornea seperti halnya kepala.

                               iii.              Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan

area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda

khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan10

VIII.       DIAGNOSIS

           Anamnesis

                        Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal,

mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata

merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar

mathari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.1,2, 6

            Pemeriksaaan fisik

                        Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan

konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga

pterygium yang avaskuler dan flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan

berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah temporal. 6

Pemeriksaan penunjang

                        Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi

kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme  ireguler yang disebabkan

oleh pterygium.6

IX.        PENATALAKSANAAN

1.    Konservatif

Page 9: Pterygium

Penanganan pterygium pada tahap awal adalah berupa tindakann konservatif seperti

penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar ultraviolet dengan

menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.8

2 . Tindakan operatif

Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu:8

Menurut Ziegler :

1.      Mengganggu visus

2.      Mengganggu pergerakan bola mata

3.      Berkembang progresif

4.      Mendahului suatu operasi intraokuler

5.      Kosmetik

Menurut Guilermo Pico :

1.                           Progresif, resiko rekurensi > luas

2.                           Mengganggu visus

3.                           Mengganggu pergerakan bola mata

4.                           Masalah kosmeti

5.                           Di depan apeks pterygium terdapat Grey Zone

6.                           Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat

7.                           Terjadi kongesti (klinis) secara periodik

Pada prinsipnya, tatalaksana pterygium adalah dengan tindakan operasi.  Ada berbagai

macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterygium di antaranya adalah:8

1.        Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan sklera.

Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat

mencapai 40-75%.

2.        Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman teknik ini dilakukan

bila luka pada konjuntiva relatif kecil.

3.        Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk memungkinkan

dilakukannya penempatan flap.

4.        Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk  membentuk

seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.

5.        Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi

bagian superior,dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau

Page 10: Pterygium

difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield,

Illionis).

Gambar 6. Teknik Operasi Pterygium

(Gambar dikutip dari kepustakaan 8)

                Amniotic membrane transplantation

            Ada juga teknik lain yaitu Amniotic membrane transplantation,yaitu

teknik gafting dengan menggunakan membran amnion, yang merupakan lapisan paling dalam

dari plasenta yang mengandung membrana basalis yang tebal dan matriks stromal avaskular.

Dalam dunia oftalmologi, membran amnion ini digunakan sebagai draft dan dressing untuk

infeksi kornea, sterile melts, dan untuk merekonstruksi permukaan okuler untuk berbagai macam

prosedur. Dokumentasi pertama penggunaan membran amnion ini yaitu yang dilakukan oleh De

Rotth pada tahun 1940 untuk rekonstruksi konjungtiva. Dengan angka kesuksesan yang rendah.

Sorsby pada tahun 1946 dan 1947. Ada juga Kim dan Tseng yang memperkenalkan kembali ide

ini dan mempopulerkannya. Cara kerja teknik ini adalah dimana komponen membran basalis dari

membran amnion ini serupa dengan komposisi dalam konjungtiva. Untuk alasan inilah teori

terkini menyatakan bahwa membran amniotik memperbesar support untuk limbal stem

cells dan cornea transient amplifying cells. Klonogenisitas dipelihara dengan meningkatkan

diferensiasi sel goblet dan non goblet . lebih jauh lagi, hal tersebut dapat menekan diferensiasi

miofibroblast dari fibroblas normal untuk mengurangi scar dan pembentukan vaskuler.

Mekanisme ini membantu penyembuhan untuk rekonstruksi konjungtiva, defek epitel, dan

ulserasi stromal. 9

6.1 Indikasi

A.Eksisi pterigium

Page 11: Pterygium

setelah operasi pengangkatan pterigium, maka akan menyisakan sebuah defek

konjungtival. Defek ini dapat dibiarkan sembuh sendiri, dijahit secara langsung melalui

pendekatan primer, diberikan graft dengan sebuahautograft konjungtiva, atau

diberikan graft dengan membran amniotik. Dengan injeksi steroid intraoperatif pada defek

jaringan yang mengitarinya. 9

B.Rekonstruksi permukaan konjungtiva

selain untuk operasi pterigium, AMT juga digunakan untuk teknik rekonstruksi konjungtiva

lainnya. Untuk pengangkatan tumor-tumor konjungtiva yang meninggalkan defek, maka defek

tersebut akan diperbaiki dengan membran amniotik. Telah dilaporkan penggunaan AMT untuk

pembedahan scar dan symblepharon. AMT juga dapat digunakan untuk merekonstruksi

permukaan okuler pada kasus konjungtivokalasis, scleral melts dengan sklera kadaverik. Satu

laporan lainnya menyatakan bahwatrabeculectomy bleb dapat diperbaiki dengan membran

amniotik. 9

C.Defisiensi stem sel Limbal

membran amniotik dapat digunakan pada kasus-kasus defisiensi stem sel Limbal parsial dan

total. Pada kasus-kasus kehilangan stem sel Limbal total, AMT saja tidak mencukupi dan perlu

penggunaan bersamaan dengan transplantasi stem sel allogenik. Untuk kasus-kasus yang parsial,

membran amniotik menunjukkan dapat meningkatkan epitelisasi dan memperbaiki penglihatan

dengan dan tanpa transplantasi sel Limbal allogenik. 9

Teknik terbaru termasuk penggunaan stem sel otolog dan allogenik yang diolah di laboratorium

pada membran amniotik lalu mentransplantasikan jaringan gabungan ini pada kornea yang rusak

berat tanpa adanya stem-stem sel endogen.9

6.2 Prosedur

Banyak laporan dalam literatur yang menggambarkan penggunaan membran amniotik yang

diambil dari plasenta pada saat operasi sesar dan diawetkan hingga digunakan pada permukaan

okuler. Tersedia teknik pengawetancryopreserved amniotic membrane dan lazim digunakan dan

menjaga sifat histologis dan morfologis dari jaringan sehat. AMT dapat ditempelkan pada

permukaan okuler secara pembedahan dengan benang absorbable ataupun yang non-

absorbable. Adesivitas jaringan biologis juga dapat digunakan untuk menempelkan AMT pada

permukaan okuler.9

6.3 Resiko

Jaringan alogenik mempunyai resiko transmisi penyakit menular yang tidak terlihat. Secara

umum, membran amniotik didapatkan dari donor potensial yang menjalani operasi sesar yang

telah diskrining untuk penyakit menular,seperti; HIV, hepatitis, dan sifilis. Plasenta kemudian

dibersihkan dengan campuran larutan garam yang seimbang, penisilin, streptomisin, neomisin,

dan amfoterisin B. Lalu amnion dipisahkan dari korion dengan blunt dissection pada kondisi

Page 12: Pterygium

yang steril, ditempelkan pada strip kertas nitroselulosa dan disimpan dalam larutan gliserol.

Jaringan tersebut juga disimpan dalam larutan itu untuk fresh use atau

menggunakancryopreserved pada suhu -80 derajat celcius. Hingga saat ini tidak ada laporan

mengenai transmisi penyakit menular pada AMT. 9

X.        DIAGNOSIS BANDING

Pterygium harus dapat dibedakan dengan pseudopterygium. Pseudopterygium terjadi

akibat pembentukan jaringan parut pada konjungtiva yang berbeda dengan pterygium, dimana

pada pseudopterygium terdapat adhesi antara konjungtiva yang sikatrik dengan kornea dan

sklera. Penyebabnya termasuk cedera kornea, cedera kimiawi dan termal. Pseudopterygium

menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda. Penanganan pseudopterygium adalah dengan

melisiskan adhesi, eksisi jaringan konjungtiva yang sikatrik dan menutupi defek sklera dengan

graft konjungtiva yang berasal dari aspek temporal.10, 11

Selain itu pterygium juga didagnosis banding dengan pinguekula yang merupakan lesi kuning

keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak seperti

penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada

umumnya tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.10,11

Gambar 7. Pinguekula                                        Gambar 8. Pseudopterigium

XI.             KOMPLIKASI

            Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut:6,12

Pra-operatif:

1.        Astigmat

        Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah astigmat karena pterygium

dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh

pterygium serta terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang berhubungan

dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat

“tear meniscus” antara puncak kornea dan peninggian pterygium. Astigmat yang ditimbulkan

oleh pterygium adalah astigmat “with the rule” dan iireguler astigmat.

Page 13: Pterygium

2.        Kemerahan

3.        Iritasi

4.        Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea

5.        Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan 

menyebabkan diplopia.

Intra-operatif:

            Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen(thinning), dan perdarahan

subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan conjunctival autografting, namun

komplikasi ini secara umum bersifat sementara dan tidak mengancam penglihatan. 12

Pasca-operatif:

Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:

1.        Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft konjungtiva longgar,

perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina.

2.        Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis sklera dan

kornea

3.        Pterygium rekuren.

XII.          PROGNOSIS 

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien dapat

beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterygium rekuren dapat dilakukan

eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion6

Page 14: Pterygium

DAFTAR PUSTAKA1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of

Pterygium. Opthalmic Pearls.2010

2.      Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]. Available

from : www.eyewiki.aao.org/Pterygium3. Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asbury’s Oftalmologi Umum: edisi 17.

Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.

4.      Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2006.p.2-7,117.

5.      Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata.

Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009.6. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October

23]http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

7.      Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2011 Maret 08]. Available

from : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi

8.      Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available from :http://www.dokter-

online.org/index.php.htm .

9.      Cason, John B.,   .Amniotic Membrane Transplantation. [online] 2007. [cited 2011 October 23].

Available from :http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant

10.  Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas. New York : Thieme

Stutgart. 2000

11.  Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and

Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In: External Disease and Cornea. San

Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366

12.  Anonim. Pterygium. [online] 2007. [cited 2011 October 23]. Available

from : http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/963/follow-up/complications.html