Pterygium
-
Upload
yohanes-tjandra -
Category
Documents
-
view
12 -
download
0
description
Transcript of Pterygium
Pterygium
I. DEFINISI
Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang artinya sayap
(wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler
pada subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi
nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis
menghadap lipatan semilunar pada cantus.1,2,3
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga
dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila
terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. 4
II. EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering.
Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah
daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi
tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400.5
Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika Serikat,prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di
atas 40olintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat
antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah
garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan
peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah. Pasien di bawah umur 15 tahun jarang
terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada
umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan
dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar
rumah.5,6
III. ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.3
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak
mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas
maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks
superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus.
Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang
bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial
konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris
yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih dalam hingga 14
mm dari limbus.7
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:7
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak mata
yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva
melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi
zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus
junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona marginal
konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal.
Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat
erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona
orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan
perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara fungsional,
konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva bulbi
dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera dibawahnya dapat
divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar,
yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon
muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi
menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.
3. Konjungtiva Forniks
Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya
dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini
melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra
superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks
dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi. 7
Gambar 1. Anatomi Konjugtiva penampang sagital
(Gambar dikutip dari kepustakaan 7)
Gambar 2.anatomi konjuntiva penampang depan
Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua
arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya
mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung
dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima
persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki
serabut nyeri yang relatif sedikit.7
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel konjungtiva
terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel
konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-
sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel
goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. 7
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat
limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan
adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa
tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan
adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan
konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian
menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan
fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar krause dan
wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian
besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak
di tepi tarsus atas.7
IV. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Hingga saat ini etiologi pasti pterygium masih belum diketahui secara pasti. Beberapa
faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata,
infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik
secara kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi
menimbulkan pterygium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium
merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin
karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang
berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Beberapa kasus dilaporkan sekelompok
anggota keluarga dengan pterygium dan berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga
dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.2,5,8
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium. Disebutkan
bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar
yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di
basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan
faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem
kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga
degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan
inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan
dysplasia. 8
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan lainnya
atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium. Orang yang banyak
menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami
pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam
ruangan. Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau
olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang multifaktorial
dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter). 8
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab dominannya pterygium
terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan disebabkan
meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut. Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat
memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut. 8
Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang menyerupai tumor.
Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya reseksi dan jenis
terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda
neoplasia dan apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan
pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan
degeneratif. 11
1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya
pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada
pada daerah dekat equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di
lapangan. 8
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia
berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53
tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over
produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis.
Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya
jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat
pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. 8
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia
dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak
pada usia dekade dua dan tiga. 8
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV. 8
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya.
Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir
menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih
tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya
pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar
dibandingkan daerah yang lebih selatan. 8
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. 8
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium. 8
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap
rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium. 8
V. KLASIFIKASI PTERYGIUM 5,9
Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:
1. Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada
tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai
pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami
inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterygium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren tanpa
keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterygium sering nampak kapiler-kapiler yang
membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi,
berpengaruh dengantear film dan menimbulkan astigmat.
- Tipe III: Pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan bentuk
pterygium yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang
lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya
pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks
dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan
2. Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea
Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih dari 2
mm melewati kornea.
Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata
dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).
Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.
Gambar 2. Pterygium stadium 1 Gambar 3. Pterygium stadium 2
4. ptrygium duplexGambar Pterygium stadium 3
3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagimenjadi 2 yaitu:
- Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala
pterygium (disebut cap dari pterygium)
- Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi
tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium dan harus diperiksa dengan slit
lamp pterygium dibagi 3 yaitu:
- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.
VI. PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari, walaupun
dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu
atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang
terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-β dan VEGF
(vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan
angiogenesis.8
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan
proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnya
menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan
oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan
membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan
pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.5,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal
stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah
pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan
membranbasement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium
dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterygium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium
ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi
oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami
degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin
dan eosin, Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel
diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan
sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet 2,5,6,8
VII. GAMBARAN KLINIK
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali.
Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak merah,
merasa seperti ada benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterygium
lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan
menurun. 1,6,8
Gambar 5. Bagian-bagian mata yang terkena pterygium
Pterygium memiliki tiga bagian :
i. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang
kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman
pada kornea. Garis zat besi (iron line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala.
Area ini juga merupakan area kornea yang kering.
ii. Bagain whitish.Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan vesikuler tipis yang
menginvasi kornea seperti halnya kepala.
iii. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan
area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda
khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan10
VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal,
mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata
merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar
mathari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.1,2, 6
Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan
konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga
pterygium yang avaskuler dan flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan
berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah temporal. 6
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi
kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang disebabkan
oleh pterygium.6
IX. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Penanganan pterygium pada tahap awal adalah berupa tindakann konservatif seperti
penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar ultraviolet dengan
menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.8
2 . Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu:8
Menurut Ziegler :
1. Mengganggu visus
2. Mengganggu pergerakan bola mata
3. Berkembang progresif
4. Mendahului suatu operasi intraokuler
5. Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :
1. Progresif, resiko rekurensi > luas
2. Mengganggu visus
3. Mengganggu pergerakan bola mata
4. Masalah kosmeti
5. Di depan apeks pterygium terdapat Grey Zone
6. Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik
Pada prinsipnya, tatalaksana pterygium adalah dengan tindakan operasi. Ada berbagai
macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterygium di antaranya adalah:8
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan sklera.
Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat
mencapai 40-75%.
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman teknik ini dilakukan
bila luka pada konjuntiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk memungkinkan
dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk membentuk
seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi
bagian superior,dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau
difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield,
Illionis).
Gambar 6. Teknik Operasi Pterygium
(Gambar dikutip dari kepustakaan 8)
Amniotic membrane transplantation
Ada juga teknik lain yaitu Amniotic membrane transplantation,yaitu
teknik gafting dengan menggunakan membran amnion, yang merupakan lapisan paling dalam
dari plasenta yang mengandung membrana basalis yang tebal dan matriks stromal avaskular.
Dalam dunia oftalmologi, membran amnion ini digunakan sebagai draft dan dressing untuk
infeksi kornea, sterile melts, dan untuk merekonstruksi permukaan okuler untuk berbagai macam
prosedur. Dokumentasi pertama penggunaan membran amnion ini yaitu yang dilakukan oleh De
Rotth pada tahun 1940 untuk rekonstruksi konjungtiva. Dengan angka kesuksesan yang rendah.
Sorsby pada tahun 1946 dan 1947. Ada juga Kim dan Tseng yang memperkenalkan kembali ide
ini dan mempopulerkannya. Cara kerja teknik ini adalah dimana komponen membran basalis dari
membran amnion ini serupa dengan komposisi dalam konjungtiva. Untuk alasan inilah teori
terkini menyatakan bahwa membran amniotik memperbesar support untuk limbal stem
cells dan cornea transient amplifying cells. Klonogenisitas dipelihara dengan meningkatkan
diferensiasi sel goblet dan non goblet . lebih jauh lagi, hal tersebut dapat menekan diferensiasi
miofibroblast dari fibroblas normal untuk mengurangi scar dan pembentukan vaskuler.
Mekanisme ini membantu penyembuhan untuk rekonstruksi konjungtiva, defek epitel, dan
ulserasi stromal. 9
6.1 Indikasi
A.Eksisi pterigium
setelah operasi pengangkatan pterigium, maka akan menyisakan sebuah defek
konjungtival. Defek ini dapat dibiarkan sembuh sendiri, dijahit secara langsung melalui
pendekatan primer, diberikan graft dengan sebuahautograft konjungtiva, atau
diberikan graft dengan membran amniotik. Dengan injeksi steroid intraoperatif pada defek
jaringan yang mengitarinya. 9
B.Rekonstruksi permukaan konjungtiva
selain untuk operasi pterigium, AMT juga digunakan untuk teknik rekonstruksi konjungtiva
lainnya. Untuk pengangkatan tumor-tumor konjungtiva yang meninggalkan defek, maka defek
tersebut akan diperbaiki dengan membran amniotik. Telah dilaporkan penggunaan AMT untuk
pembedahan scar dan symblepharon. AMT juga dapat digunakan untuk merekonstruksi
permukaan okuler pada kasus konjungtivokalasis, scleral melts dengan sklera kadaverik. Satu
laporan lainnya menyatakan bahwatrabeculectomy bleb dapat diperbaiki dengan membran
amniotik. 9
C.Defisiensi stem sel Limbal
membran amniotik dapat digunakan pada kasus-kasus defisiensi stem sel Limbal parsial dan
total. Pada kasus-kasus kehilangan stem sel Limbal total, AMT saja tidak mencukupi dan perlu
penggunaan bersamaan dengan transplantasi stem sel allogenik. Untuk kasus-kasus yang parsial,
membran amniotik menunjukkan dapat meningkatkan epitelisasi dan memperbaiki penglihatan
dengan dan tanpa transplantasi sel Limbal allogenik. 9
Teknik terbaru termasuk penggunaan stem sel otolog dan allogenik yang diolah di laboratorium
pada membran amniotik lalu mentransplantasikan jaringan gabungan ini pada kornea yang rusak
berat tanpa adanya stem-stem sel endogen.9
6.2 Prosedur
Banyak laporan dalam literatur yang menggambarkan penggunaan membran amniotik yang
diambil dari plasenta pada saat operasi sesar dan diawetkan hingga digunakan pada permukaan
okuler. Tersedia teknik pengawetancryopreserved amniotic membrane dan lazim digunakan dan
menjaga sifat histologis dan morfologis dari jaringan sehat. AMT dapat ditempelkan pada
permukaan okuler secara pembedahan dengan benang absorbable ataupun yang non-
absorbable. Adesivitas jaringan biologis juga dapat digunakan untuk menempelkan AMT pada
permukaan okuler.9
6.3 Resiko
Jaringan alogenik mempunyai resiko transmisi penyakit menular yang tidak terlihat. Secara
umum, membran amniotik didapatkan dari donor potensial yang menjalani operasi sesar yang
telah diskrining untuk penyakit menular,seperti; HIV, hepatitis, dan sifilis. Plasenta kemudian
dibersihkan dengan campuran larutan garam yang seimbang, penisilin, streptomisin, neomisin,
dan amfoterisin B. Lalu amnion dipisahkan dari korion dengan blunt dissection pada kondisi
yang steril, ditempelkan pada strip kertas nitroselulosa dan disimpan dalam larutan gliserol.
Jaringan tersebut juga disimpan dalam larutan itu untuk fresh use atau
menggunakancryopreserved pada suhu -80 derajat celcius. Hingga saat ini tidak ada laporan
mengenai transmisi penyakit menular pada AMT. 9
X. DIAGNOSIS BANDING
Pterygium harus dapat dibedakan dengan pseudopterygium. Pseudopterygium terjadi
akibat pembentukan jaringan parut pada konjungtiva yang berbeda dengan pterygium, dimana
pada pseudopterygium terdapat adhesi antara konjungtiva yang sikatrik dengan kornea dan
sklera. Penyebabnya termasuk cedera kornea, cedera kimiawi dan termal. Pseudopterygium
menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda. Penanganan pseudopterygium adalah dengan
melisiskan adhesi, eksisi jaringan konjungtiva yang sikatrik dan menutupi defek sklera dengan
graft konjungtiva yang berasal dari aspek temporal.10, 11
Selain itu pterygium juga didagnosis banding dengan pinguekula yang merupakan lesi kuning
keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak seperti
penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada
umumnya tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.10,11
Gambar 7. Pinguekula Gambar 8. Pseudopterigium
XI. KOMPLIKASI
Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut:6,12
Pra-operatif:
1. Astigmat
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah astigmat karena pterygium
dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh
pterygium serta terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang berhubungan
dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat
“tear meniscus” antara puncak kornea dan peninggian pterygium. Astigmat yang ditimbulkan
oleh pterygium adalah astigmat “with the rule” dan iireguler astigmat.
2. Kemerahan
3. Iritasi
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan
menyebabkan diplopia.
Intra-operatif:
Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen(thinning), dan perdarahan
subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan conjunctival autografting, namun
komplikasi ini secara umum bersifat sementara dan tidak mengancam penglihatan. 12
Pasca-operatif:
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft konjungtiva longgar,
perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina.
2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis sklera dan
kornea
3. Pterygium rekuren.
XII. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien dapat
beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterygium rekuren dapat dilakukan
eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion6
DAFTAR PUSTAKA1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of
Pterygium. Opthalmic Pearls.2010
2. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]. Available
from : www.eyewiki.aao.org/Pterygium3. Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asbury’s Oftalmologi Umum: edisi 17.
Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.
4. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2006.p.2-7,117.
5. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata.
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009.6. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October
23]http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
7. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2011 Maret 08]. Available
from : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi
8. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available from :http://www.dokter-
online.org/index.php.htm .
9. Cason, John B., .Amniotic Membrane Transplantation. [online] 2007. [cited 2011 October 23].
Available from :http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant
10. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas. New York : Thieme
Stutgart. 2000
11. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and
Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In: External Disease and Cornea. San
Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366
12. Anonim. Pterygium. [online] 2007. [cited 2011 October 23]. Available
from : http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/963/follow-up/complications.html