REFERAT PTERYGIUM
-
Author
ayu-ningtiyas-nugroho -
Category
Documents
-
view
219 -
download
7
Embed Size (px)
description
Transcript of REFERAT PTERYGIUM

Referat
PTERYGIUM
Disusun Oleh :
Andrew Leonardo Pandjaitan
030.05.027
Pembimbing :
Dr. Sri S Lukman, Sp.M
Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi
Periode 7 Juli 2014 – 16 Agustus 2014
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

2014
LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui referat berjudul
“PTERYGIUM”
Disusun Oleh
Andrew Leonardo Pandjaitan
Diajukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi
Pada tanggal : 14 Juli 2014
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
Dr. Sri S Lukman, Sp.M
2

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga saya
dapat memperoleh kesempatan dan kemampuan untuk menyelesaikan referat yang
berjudul Pterygium. Referat ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan
persyaratan dalam menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Dokter Departemen
Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi.
Dengan segala kerendahan hati, saya mengakui bahwa rererat ini masih jauh
dari sempurna dan banyak kekurangan, sehingga saya membuka hati untuk menerima
segala bentuk kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan referat ini.
Akhir kata, saya berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat
berupa tambahan ilmu pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk
mahasiswa kedokteran dan masyarakat pada umumnya.
Bekasi, 14 Juli 2014
Penulis
3

DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan 2
Kata Pengantar 3
BAB I Pendahuluan …………………………………………….. 5
BAB II Pembahasan ………………………………………...…… 6
Anatomi ……………………………………………. 6
Pterygium …………………………………………….. 8
BAB III Kesimpulan …………………………………………….. 21
Daftar Pustaka 22
4

BAB I
PENDAHULUAN
Pterygium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Seperti daging, berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah
temporal maupun nasal konjungtiva menuju kornea pada arah intrapalpebra. Asal kata
pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini
mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.
Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan
hialin dan elastik.
Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet,
daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada
orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar
matahari, berdebu atau berpasir. Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia
sangat bervariasi, tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah
iklim panas dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat
ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan kering. Insiden pterygium di
Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%. Insiden tertinggi pterygium
terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 – 49 tahun. Pasien dibawah umur 15
tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia
muda dibandingkan dengan pasien usia tua.
Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus
diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah
perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi
resiko kekambuhan.
5

BAB II
PEMBAHASAN
1. Anatomi
1.1. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata
bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.
Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar
digerakkan dari tarsus.
- Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera
dibawahnya.
- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di
bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak
Gambar 1. Anatomi mata
1.2. Kornea
Kornea merupakan dinding depan bola mata, berupa jaringan transparan dan
avaskular. Faktor-faktor yang menyebabkan kejernihan korena adalah letak epitel
kornea yang tertata sangat rapi, letak serabut kolagen yang tertata sangat rapi dan
6

padat, kadar air yang konstan, dan tidak adanya pembuluh darah. Kornea merupakan
suatu lensa cembung dengan kekuatan refraksi +43 dioptri. Kornea melanjutkan diri
sebagai sklera ke arah belakang dan perbatasan antara kornea dan sklera ini disebut
limbus.
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
a. Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng.
b. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan
ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan
barrier.
c. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
a. Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
b. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
Merupakan lapisan paling tebal, terdiri atas lamel yang merupakan susunan
kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman
yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang;
terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-
kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau
sesudah trauma.
4. Membrana descement
a. Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
7

b. Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40µm.
5. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40µm.
endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan
zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung
schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa
ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus.
Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system
pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea.
Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata
di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri
dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
Gambar 2. Lapisan kornea
2. Pterygium
2.1. Definisi
8

Pterygium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga,
mirip daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif .
Menurut Ivan R. Schwab dan Chandler R. Dawson (1995) dalam General
Ophthalmology, pterygium merupakan suatu pelanggaran batas suatu pinguicula
berbentuk segitiga berdaging ke kornea, umumnya di sisi nasal, secara bilateral.
Sedangkan menurut Sidharta Ilyas, Pterygium merupakan suatu pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat invasif dan degeneratif. Pertumbuhan ini
biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang
meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian
sentral atau di daerah kornea. Asal kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron
yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang
berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.
Gambar 3. Mata dengan pterygium
2.2. Epidemiologi
Kasus pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung
pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor
yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada
daerah berdebu dan kering.
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2%
untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-
36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena
paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan
penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di
lintang bawah.
9

Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus pterygium
cukup sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari
(UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan alergen, iritasi berulang
(misal karena debu atau kekeringan).
Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 – 49
tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih sering
terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua. Laki-laki
lebih beresiko 2 kali daripada perempuan.
2.3. Mortalitas/Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi
visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi
sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.
Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :
1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih
banyak dibandingkan wanita.
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk
pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi,
sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi
pterygium yang paling tinggi.
2.4. Faktor Resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi
ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor
herediter.
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterygium adalah paparan
sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva
menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya waktu
di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.
2. Faktor genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium
dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga
dengan pterygium, kemungkinan diturunkan secara autosom dominan.
10

3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Yang
juga menunjukkan adanya “pterygium angiogenesis factor“ dan penggunaan
farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembapan yang
rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus
papilloma juga penyebab dari pterygium.
2.5. Etiologi dan patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan
ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan
konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Karena penyakit ini lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling
diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti
paparan terhadap sinar ultraviolet dari matahari, daerah kering, inflamasi, daerah
angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Diduga pelbagai faktor risiko
tersebut menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan kolagen dan proliferasi
fibrovaskular. Dan progresivitasnya diduga merupakan hasil dari kelainan lapisan
Bowman kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi genetik untuk
kondisi ini.
Teori lain menyebutkan bahwa patofisiologi pterygium ditandai dengan
degenerasi elastik kolagen dan proliferasi fibrovaskular dengan permukaan yang
menutupi epitel. Hal ini disebabkan karena struktur konjungtiva bulbi yang selalu
berhubungan dengan dunia luar dan secara intensif kontak dengan ultraviolet dan
debu sehingga sering mengalami kekeringan yang mengakibatkan terjadinya
penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi sampai menjalar ke kornea. Selain itu,
pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film
menimbulkan fibroplastik baru. Tingginya insiden pterygium pada daerah beriklim
kering mendukung teori ini.
Teori terbaru pterygium menyatakan kerusakan limbal stem cell di daerah
interpalpebra akibat sinar ultraviolet. Limbal stem cell merupakan sumber regenarasi
epitel kornea dan sinar ultraviolet menjadi mutagen untuk p53 tumor supressor gene
pada limbal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi
11

dalam jumlah berlebihan dan meningkatkan proses kolagenase sehingga sel-sel
bermigrasi dan terjadi angiogenesis. Akibatnya, terjadi perubahan degenerasi kolagen
dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi
perubahan degenerasi elastik dan proliferasi jaringan vaskular di bawah epitelium
yang kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan
membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang sering disertai
inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal, atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva
pada permukaan kornea.
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan
phenotype, yaitu lapisan fibroblast mengalami proliferasi sel yang berlebihan. Pada
fibroblast pterygium menunjukkan matriks metalloproteinase, yaitu matriks
ekstraselular yang berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang rusak, penyembuhan
luka, dan mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan penyebab pterygium cenderung terus
tumbuh dan berinvasi ke stroma kornea sehingga terjadi reaksi fibrovaskular dan
inflamasi.
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi
kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat
dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan
elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini
tidak bisa dihancurkan oleh elastase.
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel
yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E . Berbentuk ulat
atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari
jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular
sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic,
hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari
sel goblet.
12

Gambar 4. Histopatologi pada pterigium
2.6. Gejala Klinis
Pterygium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris,
karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar
ultraviolet, debu dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal karena daerah
nasal konjungtiva secara relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak
dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain. Selain secara langsung, bagian
nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat
pantulan dari hidung.
Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan
walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Perluasan pterygium dapat
sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan dan
menyebabkan penglihatan kabur.
Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang
meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi
dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian
epitel kornea anterior dari kepala pterygium (stoker’s line).
Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien
antara lain:
Mata sering berair dan tampak merah
Merasa seperti ada benda asing
Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium
Pada pterygium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam penglihatan
Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.
2.7. Pemeriksaan Fisik
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata
(sclera) pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan
kornea. Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari
iritasi dan peradangan.
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya ke
arah kantus
Apex (head), bagian atas pterygium
13

Cap, bagian belakang pterygium
A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas
pinggir pterygium.
Pterigyum terbagi berdasarkan perjalanan penyakit menjadi 2 tipe, yaitu :
- Progressif pterygium : Memiliki gambaran tebal dan vascular dengan
beberapa infiltrat di kornea di depan kepala
pterygium
- Regressif pterygium : Dengan gambaran tipis, atrofi, sedikit
vaskularisasi, membentuk membran tetapi tidak
pernah hilang
Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea
dan badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea
yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis
menurut Youngson) :
Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari
2 mm melewati kornea
Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4
mm)
Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
2.8. Diagnosis
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau
kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin
telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada
akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan
iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering
dari biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap
sinar matahari atau partikel debu.
Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh.
Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium
tersebut. Dengan menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat
dilalui oleh sonde seperti pada pseudopterigium.
14

2.9. Diagnosis Banding
2.9.1. Pinguekula
Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan
dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan
kadang terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada kelainan
ini. Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur.
Pingecuela sering pada iklim sedang dan iklim tropis. Angka kejadian
sama pada laki laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan
faktor resiko pinguecula.
Gambar 5. Mata dengan pinguekula
2.9.2. Pseudopterigium
Pertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut
miring atau Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut
fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi pun menuju kornea.
Namun berbeda dengan pterygium, pseudopterygium merupakan akibat
inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti pada trauma, trauma
kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea.
Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka
probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian
bawah pseudopterigium pada limbus, sedangkan pada pterygium tak
dapat dilakukan. Pada pseudopteyigium tidak didapat bagian head, cap
dan body dan pseudopterygium cenderung keluar dari ruang
interpalpebra fissure yang berbeda dengan true pterigium.
15

Gambar 6. Mata dengan pseudopterigium
2.10. Terapi
2.10.1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat
1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata
kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.
Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan
pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami
kelainan pada kornea.
2.10.2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian
konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok
konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium
yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan
komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang rendah.
Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium
yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup
berat.
2.10.2.1. Indikasi operasi
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
2.10.2.2. Teknik pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah
kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di
limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun
16

tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan
yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi
pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter
mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea
yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih
cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan
kornea.
2.10.2.2.1. Teknik bare sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara
memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan
tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan
dalam berbagai laporan.
2.10.2.2.2. Teknik autograft konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen
dan setinggi 40 persen pada beberapa studi
prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft,
biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit
di atas sclera yang telah di eksisi pterygium
tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang
optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima,
manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari
grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia
merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi
pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat
rendah dengan teknik ini.
2.10.2.2.3. Cangkok membran amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk
mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari
penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi,
sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah
membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat
peradangan dan fibrosis dan epithelialisai.Sayangnya, tingkat
kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada, diantara 2,6
17

persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5
persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari
teknik ini selama autograft konjungtiva adalah
pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya
ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap
ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi
terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk
membantu cangkok membran amnion menempel jaringan
episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam
autografts konjungtiva.
2.10.3. Terapi tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke
dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat
rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada
komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative
MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang
menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun
tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun,
efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan
pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak
merekomendasikan terhadap penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan
pemberian:
18

1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian
tappering off sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.
2.11. Komplikasi
2.11.1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
- Gangguan penglihatan
- Mata kemerahan
- Iritasi
- Gangguan pergerakan bola mata.
- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
- Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan penglihatan
sentral berkurang
- Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat
menyebabkan diplopia
- Dry Eye sindrom
- Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium
2.11.2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
- Rekurensi
- Infeksi
- Perforasi korneosklera
- Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan
- Korneoscleral dellen
- Granuloma konjungtiva
- Epithelial inclusion cysts
- Conjungtiva scar
- Adanya jaringan parut di kornea
- Disinsersi otot rektus
19

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan.
Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka
ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari
konjungtiva atau transplant membran amnion pada saat eksisi
2.12. Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan,
petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai
kacamata pelindung sinar matahari.
2.13. Prognosis
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau
beta radiasi.
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien dapat
beraktivitas kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren pterygium
dapat dilakukan eksisi ulang dengan conjungtiva autograft atau transplantasi
membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama setelah operasi.
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau
karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan
mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.
BAB III
20

KESIMPULAN
Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan
merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di
karenakan oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak
terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari
piterigium. Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-
laki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena
faktor degeneratif.
Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun
(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi
benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.
Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara
konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif. Pada
pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu bagi
penderita semisal gangguan visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga kurang
maksimal karena angka kekambuhan yang cukup tinggi mengingat tingginya
kuantitas sinar UV di Indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat dicegah dengan
menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar matahari.
DAFTAR PUSTAKA
21

1. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Diunduh dari :
http://www.aao.org/aao/publications /eyenet /201011/ pearls.cfm?. 2014
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007.
hal:2-6, 116 – 117. 2007
3. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 1. Jogjakarta : Bagian
Ilmu Penyakit Mata FK UGM. 2007
4. Fisher JP, Trattler WB. Pterygium. Diunduh
dari :http://emedicine.medscape.com/ article/ 1192527-overview. 2014
5. Riordan P, Whitcher JP. Voughan & Asbur’s General Ophthalmology 17 th
edition. Philadelpia : McGrawHill. 2007
6. Lang GK. Pterygium. In : Atlas Ophthalmology a Short Textbook. New York :
Thieme. 2000
7. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6.
Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.
8. Miller SJH. Parson’s Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill
Livingstone ; 1996. p.142
22