Proposal Ta Meity

29
PEMANFAATAN KEMBALI (RECOVERY) LIMBAH PADAT LUMPUR PDAM KOTA PONTIANAK SEBAGAI KOAGULAN Proposal Penelitian untuk Skripsi Program Studi Teknik Lingkungan Jurusan Teknik Sipil Oleh: MEITY MOERDIYANTI NIM D14109011 FAKULTAS TEKNIK

Transcript of Proposal Ta Meity

Page 1: Proposal Ta Meity

PEMANFAATAN KEMBALI (RECOVERY) LIMBAH PADAT

LUMPUR PDAM KOTA PONTIANAK SEBAGAI KOAGULAN

Proposal Penelitian untuk Skripsi

Program Studi Teknik Lingkungan

Jurusan Teknik Sipil

Oleh:

MEITY MOERDIYANTI

NIM D14109011

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

MEI, 2013

Page 2: Proposal Ta Meity

HALAMAN PERSETUJUAN

PEMANFAATAN KEMBALI (RECOVERY) LIMBAH PADAT

LUMPUR PDAM KOTA PONTIANAK SEBAGAI KOAGULAN

Proposal Penelitian untuk Skripsi

Program Studi Teknik Lingkungan

Jurusan Teknik Sipil

Oleh:

Meity Moerdiyanti

NIM D14109011

Disetujui untuk diajukan melakukan sidang proposal

Pembimbing I,

Titin Anita Zaharah, M.ScTanggal ………………………NIP 196904191996012002

Pembimbing II,

Dian Rahayu Jati, ST, M. SiTanggal ……………………….NIP

Page 3: Proposal Ta Meity

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok setiap manusia yang

dibutuhkan secara berkelanjutan. Penggunaan air bersih sangat penting untuk

kebutuhan konsumsi rumah tangga, kebutuhan produksi di sektor industri serta

kebutuhan air untuk fasilitas perkantoran dan umum. Kebutuhan terhadap air

bersih menyebabkan sektor pengelolaan dan pengolahan air bersih menjadi

prioritas utama di setiap wilayah karena menyangkut kebutuhan banyak orang. Di

daerah perkotaan seperti di Kota Pontianak, pengelolaan dan pengolahan air

dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Sungai Kapuas merupakan sumber air baku yang digunakan oleh PDAM

untuk memenuhi kebutuhan air bersih oleh warga Kota Pontianak. Namun kondisi

air Sungai Kapuas saat ini tidak layak untuk langsung didistribusikan ke warga.

Hal tersebut dikarenakan air Sungai Kapuas memiliki kandungan bahan organik

yang tinggi yaitu mencapai 194 mg/L, sementara baku mutu untuk bahan organik

pada air bersih yaitu hanya sebesar 10 mg/L (Irianto, 1998). Tingginya kandungan

zat organik (bahan humus) yang terlarut terutama dalam bentuk asam humus dan

turunannya, menyebabkan warna coklat kemerahan pada air (Syarfi, 2007). Dalam

berbagai kasus, warna akan semakin gelap disebabkan oleh adanya logam besi

yang terikat oleh asam-asam organik yang terlarut dalam air tersebut. Selain itu

meningkatnya aktivitas seperti penebangan hutan di hulu sungai menyebabkan

semakin meningkat pula kekeruhan air Sungai Kapuas, yaitu mencapai 53,5 NTU

sementara batas yang diperbolehkan hanya 5 NTU (PDAM, 2012). Sehingga air

baku ini secara fisik akan terlihat berwarna kemerahan dan keruh.

Kualitas air Sungai Kapuas yang belum memenuhi standar kualitas air

minum inilah yang menyebabkan perlu dilakukannya pengolahan terlebih dahulu

sebelum didistribusikan. Salah satu upaya pengelolaan adalah dengan melakukan

Page 4: Proposal Ta Meity

proses koagulasi, yaitu proses destabilisasi pada suatu sistem koloid yang berupa

penggabungan dari partikel-partikel koloid akibat pembubuhan bahan kimia. Pada

proses ini terjadi pengurangan besarnya gaya tolak menolak antara partikel-

partikel koloid di dalam larutan karena adanya penambahan koagulan (Reynold,

1977). Sehingga akan terbentuk flok yang berukuran lebih besar dan dapat

diendapkan. Pada proses ini koagulan ditambahkan ke dalam air untuk

menggabungkan partikel-partikel penyusun bahan organik serta partikel koloid

penyebab kekeruhan di air, agar membutuhkan waktu yang lebih cepat untuk

mengendap.

Seperti yang terdapat pada penelitian Manurung (2001) diketahui bahwa

penggunaan koagulan sintetik untuk penjernih air, sudah umum dilakukan

misalnya tawas atau Al2(SO4)3, besi(III)klorida hidrat atau FeCl3.6H2O, dan juga

besi(II)sulfat atau FeSO4.7H2O. Koagulan yang lain seperti poli alumunium

klorida atau PAC, juga sudah lazim digunakan. Meskipun koagulan tersebut

kelihatan lebih praktis dalam penggunaan dan mudah diperoleh tetapi tetap saja

mempunyai kelemahan, seperti menambah jumlah ion-ion Al3+, Fe3+, serta ion klor

ke dalam air dan justru menimbulkan pencemaran

Semakin besar kebutuhan akan air bersih, maka akan semakin banyak pula

koagulan yang digunakan oleh PDAM dan menyebabkan tingginya jumlah

Limbah Padat Lumpur (LPL) yang dihasilkan. LPL tersebut masih mengandung

alumunium yang cukup tinggi dan berpotensi menyebabkan pencemaran jika

langsung dibuang ke badan air. PDAM di Kota Pontinak saat ini masih belum

memanfaatkan kembali LPL yang dihasilkan dari proses produksi air bersih. LPL

tersebut hanya ditampung sementara dalam bak-bak pengendap dan akhirnya

dibuang ke lingkungan. Padahal menurut Suherman (2003), LPL PDAM sebagian

besar masih mengandung Al(OH)3 yang sebenarnya masih dapat dimanfaatkan

kembali sehingga mengurangi beban pencemar di badan air.

Alumunium dalam tawas adalah ion logam berat yang toksik dan

kebanyakan masuk ke dalam tubuh manusia bersama dengan makanan. Menurut

penelitian yang dilakukan Fitri (2013) diketahui bahwa nilai konsentrasi

alumunium dengan jarak 200 m dari sumber pembuangan lumpur PDAM Tirta

Page 5: Proposal Ta Meity

Khatulistiwa di Jalan Imam Bonjol diperoleh hasil konsentrasi sebesar 17, 43

mg/L, sementara kadar maksimum yang diperbolehkan untuk parameter

alumunium di air hanya sebesar 0,2 mg/L. Dampak yang dapat ditimbulkan akibat

terpapar alumunium bagi manusia adalah gangguan pada sistem syaraf, kerusakan

paru-paru, demensia, kehilangan memori ingatan, kelesuan, gemetar berat,

gangguan ginjal dan gangguan sistem pencernaan (Departemen Kesehatan, 2007).

Dari data perbandingan 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Kampung

Bangka di Jalan Imam bonjol dan Puskesmas Kom Yos Soedarso di Jalan Apel

pada tahun 2010 dan 2011 diketahui bahwa penyakit gangguan sistem syaraf

berada di urutan 7 dan 4 untuk Puskesmas Bangka dan urutan 10 untuk

Puskesmas Kom Yos Soedarso. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Indrasari

(2006) bahwa sejumlah kandungan Al yang cukup tinggi terdapat pada sel

penderita Alzheimer dan telah ditemukan hubungan yang kuat antara akumulasi

kandungan mikromineral ini dengan kelainan otak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengolah limbah padat lumpur (LPL)

PDAM dengan memanfaatkannya sebagai tawas recovery, serta mengetahui

efektifitsnya apabila digunakan kembali sebagai koagulan untuk menurunkan

kekeruhan dan mengetahui pengaruhnya terhadap pH, serta penurunan kandungan

bahan organik dan kekeruhan pada air baku dengan pengujian menggunakan Jar

Test Apparatus.

1.2 Perumusan Masalah

Berikut adalah rumusan masalah yang dapat disusun, yaitu:

1. Bagaimanakah pengaruh perolehan kembali koagulan dari LPL PDAM Kota

Pontianak terhadap kondisi optimum yang diberikan yaitu berupa variasi

konsentrasi HCl, lama pengadukan dan berat lumpur kering yang digunakan?

2. Seberapa efektifkah kinerja dari koagulan recovery dari limbah padat lumpur

PDAM Kota Pontianak, jika dibandingkan dengan koagulan komersil baru ?

Page 6: Proposal Ta Meity

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1. Menentukan kondisi optimum berupa konsentrasi HCl, lama pengadukan dan

berat lumpur kering yang digunakan perolehan kembali koagulan dari LPL

PDAM Kota Pontianak.

2. Menentukan efektifitas pembentukan flok dan penyisihan bahan organik oleh

koagulan dari limbah padat lumpur PDAM dibandingkan dengan koagulan

komersil yang dijual di pasaran.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah

mengenai keberadaan Alumunium dalam limbah padat lumpur PDAM untuk

dapat dimanfaatkan kembali pada proses pengolahan air.

1.5. Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini akan dilakukan pengambilan dan penggunaan kembali

alumunium dalam bentuk Al3+ dari LPL PDAM. Pengambilan kembali alumunium

dilakukan dengan menemukan kondisi optimum dengan memberikan beberapa

perlakuan, yaitu penggunaan HCl dengan konsentrasi 1 – 10 N, pemberian lama

pengadukan dengan variasi waktu 30, 60, 90, 120, 150 dan 180 menit, serta

penggunaan berat LPL kering dengan variasi sebesar 0,5; 1; 1,5; 2; 2,5; 3 dan 3,5

gram untuk mengetahui perlakuan yang dapat menghasilkan ion Al3+ terbanyak.

Kecepatan pengadukan yang digunakan adalah sebesar 40 rpm dan waktu

pengendapan ditentukan selama 45 menit. Hasil akhir berupa koagulan recovery

yang akan dibandingkan efektifitasnya terhadap koagulan komersil yang dijual di

pasaran dengan menggunakan jar test. Parameter yang akan diuji adalah tingkat

kekeruhan, kandungan bahan organik dan pH akhir dari air olahan yang

dihasilkan. Adapun penelitian ini masih dilakukan dalam skala laboratorium.

Page 7: Proposal Ta Meity

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Padat Lumpur PDAM

Lumpur akan selalu dihasilkan di setiap proses pengolahan air, apapun

jenis dan bentuk teknologi pengolahan yang digunakan. Semakin besar debit

pengolahan pada suatu Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM), maka akan

semakin tinggi konsentrasi padatannya, baik padatan kasar (coarse solid), padatan

tersuspensi (suspended solid) maupun koloid dan akan makin besar pula

lumpurnya. Lumpur di Instalasi Pengolahan Air Minum umumnya berasal dari

unit sedimentasi, baik yang bersifat diskrit maupun flok (Gede, 2009 dalam Fitri,

2013).

Jumlah lumpur dapat dikeathui berdasarkan jumlah pemakaian bahan

kimia untuk proses koagulasi-flokulasi. Produksi lumpur meningkat pada musim

hujan. Hal ini diakibatka oleh adanya peningkatan kekeruhan yang disebabkan

oleh erosi yang merupakan salah satu cirri air permukaan. Jumlah pemakaian

bahan kimia yang meningkat mengindikasikan adanya peningkatan produksi

lumpur. Lumpur yang dihasilkan dari proses koagulasi-flokulasi mengandung

banyak pengotor, material inert tanah, material organik dan logam (Mary et al.,

2002)

Lumpur endapan sedimentasi atau biasa dikenal dengan Limbah Padat

Lumpur Perusahaan Daerah Air Minum (LPL PDAM) diperoleh melalui

pengolahan air baku yang ditambahkan zat kimia (koagulan) seperti tawas

(Al2(SO4)3. 18H2O) dan PAC (Poly Alumunium Cloride). Penambahan koagulan

dalam air baku bertujuan mengikat partikel-partikel pengotor dalam air (Kusnaedi,

2000). Pada umumnya LPL PDAM hanya disimpan dalam bak penampungan

sementara dan tidak dilakukan proses lanjutan untuk memanfaatkannya, sehingga

LPL PDAM hanya menjadi limbah buangan. Menurut penelitian lanjutan oleh

Isma dan Eka (2009) dalam Mirwan dkk (2011) diketahui bahwa pengolahan LPL

PDAM dapat dimanfaatkan sebagai adsorben logam berat. Selain itu, LPL PDAM

Page 8: Proposal Ta Meity

dapat dimanfaatkan sebagai koagulan dalam bentuk tawas cair seperti yang telah

dilakukan oleh Sugiantoro (2009) untuk menjernihkan air Sungai Barito dan

penelitian yang dilakukan Puput dan Anis (2009) dalam upaya menjernihkan air

sungai Martapura. Menurut Suherman (2003), LPL PDAM yang sebagian besar

masih mengandung Al(OH)3, yang dibuang dan ditimbun dalam kolam

penampungan sebenarnya dapat diolah dan dimanfaatkan kembali sebagai

koagulan.

Lumpur yang berasal dari proses koagulasi, berbentuk seperti agar-agar

dihasilkan dari bak pengendapan dan dari aliran balik saringan. Lumpur ini

mengandug konsentrasi alumunium atau garam besi dengan konsentrasi yang

tinggi dari pemakaian koagulan seperti tawas. Kandungan tawas di dalam padatan

total terlarutya sekitar 1000 mg/L (0,1 %) sampai 17.000 mg/L (1,7 %) (Reynolds

et al., 1995). Lumpur ini sulit dikeringkan (dewatering), hal ini dikarenakan

Al(OH3) yang terbentuk dari proses koagulasi membentuk matriks seperti agar-

agar yang mengikat banyak air. Matriks Al(OH3) membentuk sistem yang sangat

besar namun padatan totalnya rendah (Goldman et al., 1975).

2.2 Koagulan

Kekeruhan dalam air dapat dihilangkan melalui penambahan sejenis bahan

kimia yang disebut koagulan. Pada umumnya bahan seperti alumunium sulfat

[ Al2(SO 4)3. xH 2 O ] atau sering disebut alum atau tawas, fero sulfat, Poly

Alumunium Chloride (PAC) dan poli elektrolit organik dapat digunakan sebagai

koagulan (Alearts dan Santika, 1984). Koagulan adalah zat kimia yang

menyebabkan destabilisasi muatan negatif partikel di dalam suspense. Zat ini

merupakan donor muatan positif yang digunakan untuk mendestabilisasi muatan

negatif pastikel. Dalam pengolahan air sering dipakai garam Alumunium, Al (III)

atau garam besi (II) dan besi (III) (Joko, 2010).

2.2.1. Alumunium Sulfat [ Al2(SO 4)3.18 H 2 O ] Alumunium sulfat atau “alum”, mudah didapat di pasaran bebas. Alum

berwarna abu-abu kotor berbentuk padatan dengan kadar kurang lebih 17%

Page 9: Proposal Ta Meity

alumunium sulfat. Alum adlah koagulan yang sering digunakan dalam proses

pengolahan air minum. Alum di dalam air dapat bereaksi dengan garam. Jika di

dalam air tidak terdapat garam-garam alami, maka diperlukan penambahan kapur

sehingga dapatlah terjadi reaksi alum. Koagulasi dengan alum berjalan dengan

baik pada pH antara 6,5 – 8,5.

2.2.2. Poly Alumunium Chloride (PAC)

Poly Alumunium Chloride (PAC) telah dikembangkan sebagai suatu

koagulan alternatif pengganti tawas. Koagulan PAC merpakan sebuah polimer

alumunium yang relative baru dan semakin banyak digunakan dalam proses

pengolahan air. PAC dihasilkan melalui netralisasi larutan alumunium klorida

dengan kondisi dibawah kontrol. Senyawa ini memiliki rumus umum

(Aln(OH)mCl(3-m))x dan mempunyai struktur polimer yang larut dalam air (Gebbie,

2001).

PAC memiliki rentang pH yang luas daripada tawas dan koagulan lainnya.

Umumnya PAC bekerja dalam rentang pH 6-9 namun dalam beberapa kasus juga

bekerja pada rentang pH 5 – 10. PAC juga menghasilkan proses koagulasi yang

lebih baik daripada tawas pada temperature rendah yang menghasilkan jumlah

lumpur yang sedikit (Childrress et al., 1999 ; Gregory & Duan, 2001).

2.2.3. Kandungan Alumunium

Alumunium merupakan logam yang paling banyak terdapat di kerak bumi,

dan merupakan unsur ketiga terbanyak setelah oksigen dan silicon. Alumunium

tergolong dalam ion renik (trace) yaitu ion yang terdapat di perairan dalam jumlah

yang sangat sedikit, biasanya dinyatakan dalam satuan nanogram/liter. Di

perairan, alumunium (Al) biasanya terserap ke dalam sedimen atau mengalami

presipitasi. Alumunium dan bentuk oksida alumunium bersifat tidak larut

(Effendi, 2010 ).

Alumunium dan garam – garam besi adalah bahan kimia yang efektif bekerja

pada kondisi air yang mengandung alkalin. Reaksi yang terjadi sebagai berikut:

Page 10: Proposal Ta Meity

Al2(SO4)3 2 Al+3 + 3(SO4)-2

Air mengalami

H2O H+ + OH-

Sehingga:

2Al+3 + 6OH- 2Al(OH)3

Partikel pengotor air biasanya berbentuk koloid yang melayang didalam air

dan mempuyai 2 lapisan muatan listrik di permukaanya, positif dan negatif.

Walaupun secara alami ada yang disebut gaya tarik menarik antar partikel (Van

der Walls force) namun karena adanya lapisan negatif dipermukaan koloid

tersebut, terjadi gaya tolak menolak (repulsion force) yang menyebabkan koloid

tidak langsung bergabung. Kondisi tersebut stabil sepanjang tidak ada campur

tangan dari luar.

2.3 Pemanfaatan Limbah Padat Lumpur PDAM

Pemanfaatan Limbah Padat Lumpur PDAM dengan cara perolehan

kembali (recovery) alumunium merupakan satu cara untuk mmperoleh kembali

alumunium yang terdapat di dalam lumpur pengolahan air untuk digunakan

kembali sebagai koagulan. Garam yang diperoleh kembali oleh asam kuat dari

lumpur pengolahan air menunjukkan hasil yang baik dalam pengolahan dua jenis

limbah yang berbeda pada industry tekstil di Iran (Vaezi and Batebi, 2001).

Di dalam skala laboratorium, dilakukan proses kimia untuk memperoleh

kembali alumunium dalam bentuk garamnya baik berupa alumunium sulfat

[ Al2(SO 4)3 ] maupun alumunium klorida (AlCl3). Faktor penting yang harus

diperhatikan untuk memperoleh kembali alumunium yang terdapat dalam lumpur

adalah konsentrasi alumunium dan nilai pH yang sesuai pada proses pengolahan

air (Sobral et al. 2002).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh SenGupta (2002) diketahui bahwa

alumunium yang terdapat di dalam lumpur mencapai 5600 mg/L dan konsentrasi

alumunium yang dapat diperoleh kembali adalah sekitar 360 sampai 3700 mg/L.

Page 11: Proposal Ta Meity

menurut Panswad dan Chamnan (1992) dalam Kurniawan (2009) perolehan

kembali alumunium dengan asam terjadi pada pH antara 1,0 – 3,0 dimana dapat

mencapai perolehan kembali sebesar 70 – 90 %. Perolehan kembali dengan basa,

efisiensi yang paling tinggi ditemukan pada rentang pH 11,4 – 11,8 dan 11,2 –

11,6 dengan menggunakan NaOH dan Ca(OH)2 secara berturut-turut.

Pada penelitian ini akan dilakukan proses perolehan kembali dengan

proses asidifikasi, yaitu salah satu teknik peroleha kembali alumunium di dalam

lumpur dengan menggunakan asam kuat yang disertai dengan pengadukan dan

pengendapan. Menurut Kurniawan (2009) proses asidifikasi dengan asam kuat

bertujuan untuk mengikat kandungan alumunium yang terdapat dalam lumpur

sehingga akan dihasilkan cairan atau filtrate yang kaya akan alumunium. Melalui

proses asidifikasi menggunakan asam kuat diharapkan alumunium dapat diperoleh

kembali dari Al(OH)3.

2.4 PDAM

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Pontianak didirikan pertama

kali pada tanggal 14 Mei 1975 berdasarkan Peraturan Daerah Kotamadya Dati II

Pontianak Nomor 03 tahun 1975, yang disahkan oleh Kepala Daerah Tingkat I

Kalimantan Barat dengan SK No. 42 tahun 1976 pada tanggal 8 Maret 1976.

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Pontianak merupakan salah satu

BUMD yang dimiliki Pemerintah Kota Pontianak, yang bergerak dalam bidang

jasa pelayanan air bersih bagi masyarakat Kota Pontianak dan sekitarnya (PDAM,

2011 dalam Fitri, 2012).

Tujuan didirikannya perusahaan ini adalah untuk mengupayakan

peningkatan pelayanan umum kepada masyarakat, dalam rangka pemenuhan

kebtuhan akan air bersih dan merupakn salah satu penyumbang pada sumber

Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kegiatan penyediaan air bersih Kota Pontianak

dimulai tahun 1959 yang ditandai oleh pembangunan sarana dan prasarana

penyediaan air bersih melalui pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA)

dengan kapasitas 100 l/det di kompleks IPA Imam Bonjol dan mulai dioperasikan

pada tahun 1962. Sumber air baku yang digunakan adalah air permukaan yang

Page 12: Proposal Ta Meity

berasal dari Sungai Kapuas yang diolah secara konvensional melalui instalasi

dengan sistem pengolahan lengkap (PDAM, 2011 dalam Fitri, 2012).

Sungai Kapuas terletak di sebelah barat Pulau Kalimantan, tepatnya di

Kota Pontianak yang memiliki panjang 1.038 km dengan posisi geografisnya

terletak antara 0M 4’ LU - 0M 23’LS dan 109M 9’ - 109M 40’ BT. Lebar alur Sungai

Kapuas bervariasi menurut musim dengan lebar rata-rata antara 250 sampai 400

m. sebagaimana halnya lebar sungai, kedalaman Sungai Kapuas juga bervariasi

mengikuti musim dengan kedalaman rata-rata antara 12 sampai 16 m. debit sungai

Kapuas berfluktuasi menurut musim dengan debit rata-rata 8.000 m3/detik

(Erlanda, 2012) . Air Sungai Kapuas dimanfaatkan baik secara langsung oleh

masyarakat yang tinggal dipinggir sungai dan juga oleh masyarakat yang menjadi

konsumen air bersih.

2.5 Jar Test

Jar test merupakan metode standar yang digunakan untuk menguji proses

koagulasi (Kemmer, 2002). Data yang didapat dengan melakukan jar test antara

lain dosis optimum penambahan koagulan, lama pengendpaan serta volume

endapan yang terbentuk. Jar test sebaiknya dilakukan setiap beberapa hari, bulan

atau tahun bahkan musim terutama pada saat dimana terjadi perubahan keadaan

air secara kimia. Jar test terdiri dari enam buah batang pengaduk yang masing-

masing mengaduk satu buah gelas dengan kapasitas satu liter. Satu buah gelas

berfungsi sebagai control dan kondisi operasi dapat bervariasi diantara lima gelas

yang tersisa. Penggunaan sebuah pengukuran rpm di bagian atas perangkat jar test

ini berpern sebagai pengontrol keseragaman keceptan pencampuran pada keenam

gelas tersebut. hasil dari uji ini menjadi acuan dalam pemberian dosis koagulan

pada proses koagulasi.

Berdasarkan jurnal-jurnal penelitian diketahui bahwa penelitan untuk

memanfaatkan kembali (recovery) Limbah Padat Lumpur (LPL) PDAM sebagai

koagulan mungkin dilakukan, untuk mengurangi pencemaran logam Alumunium

Page 13: Proposal Ta Meity

di perairan. Selain itu recovery dari LPL PDAM juga dapat menambah nilai

ekonomis dari lumpur yang dihasilkan karena secara teori dapat digunakan

sebagai koagulan pada proses pengolahan air bersih.

Page 14: Proposal Ta Meity

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat3.1.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini akan memakan waktu 17 minggu, mulai dari pembuatan

proposal hingga melakukan uji untuk mengetahui efisiensi dari proses resirkulasi

lumpur endapan sebagai koagulan. Berikut adalah tabel yang berisikan rencana

waktu penelitian.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 171 Penyusunan Proposal

a. Menyusun Proposalb. Sidang Proposalc. Perbaikan Proposal

2 Pelaksanaan Skripsi

a. Disain Percobaan (Bahan dan Metode)b. Percobaan/Hasilc. Pembahasan Hasild. Penulisan Draft Skripsie. Bimbingan Skripsi

3 Sidang Skripsia Persiapan Admnistrasi

b. Penyerahan Draft Skripsi ke Tim Pengujic. Sidang Skripsid. Perbaikan, Evaluasi Akhir dan Penyerahan Skripsi

NO. KegiatanMinggu

3.1.2 Tempat Penelitian

Tempat penelitian meliputi tempat pembuatan sampel, tempat running

penelitian dan tempat analisis sampel akan dilakukan di Laboratorium Konservasi

Tanah Fakultas Pertanian dan Laboratorium Lingkungan Fakultas Teknik.

Page 15: Proposal Ta Meity

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Adapun alat yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

1. Alat uji jartest

2. Batang pengaduk

3. Gelas ukur

4. Gelas beker

5. Hot plate stirrer

6. Labu ukur

7. Motor pengaduk

8. Neraca analitik

9. Pipet volumetric

10. pH meter

11. Stopwatch oven

12. Termometer

13. Turbidimeter

3.2.2 Bahan

Adapun bahan yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

1. Akuades

2. Kertas saring Whatman No. 41

3. Limbah Lumpur Padat PDAM

4. HCl

5. PAC

Page 16: Proposal Ta Meity

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Preparasi Sampel

Preparasi sampel ini mengacu pada metode Goldman and Watson (1975),

serta Boaventura et al (2000). Sampel limbah lumpur (sludge) diambil dari bak

sedimentasi Instalasi Pengolahan Air Minum PDAM Kota Pontianak. Sampel ini

kemudian dicuci dengan akuades dan disaring menggunakan kertas saring.

Padatan yang diperoleh lalu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 100MC

selama 12 jam. Sebanyak 2 gram sampel dianalisis kandungan alumunium nya

menggunakan spektrofotometer serapan atom.

3.3.2. Perolehan Kembali (Recovery) Alumunium yang Terdapat dalam

Lumpur (Sludge)

a. Penentuan pengaruh konsentrasi HCl terhadap perolehan kembali

alumunium

Disiapkan botol dengan volume 250 mL sebanyak 10 buah dan dimasukkan

2 gram lumpur kering yang telah diturunkan kandungan bahan organiknya ke

dalam masing-masing botol. Berikutnya ditambahkan HCl dengan variasi

konsentrasi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 M. Semua botol diaduk dengan

kecepatan 40 rpm selama 90 menit, didiamkan selama 45 menit dan disaring

(Boaventura et al., 2000; SenGupta et al. 2002). Kadar alumunium dalam filtrat

yang diperoleh dianalisis menggunakan spektrofotometer serapan atom.

b. Penentuan pengaruh waktu pengadukan terhadap perolehan kembali

alumunium

Disiapkan botol dengan volume 250 mL sebanyak enam buah dan

dimasukkan 2 gram lumpur kering ke dalam masing-masing botol. Selanjutya

ditambahkan HCl dengan konsentrasi optimum hasil pengukuran (a). Semua

botol diaduk pada kecepatan 40 rpm dengan variasi waktu 30, 60, 90, 120, 150

dan 180 menit, didiamkan selama 45 menit dan disaring (Boaventura et al,

2000). Kadar alumunium dalam filtrat yang diperoleh dianalisis menggunakan

spektrofotometer serapan atom.

Page 17: Proposal Ta Meity

c. Penentuan pengaruh massa lumpur kering terhadap perolehan

kembali alumunium

Disiapkan botol dengan volume 250 mL sebanyak 7 buah dan dimasukkan

lumpur kering ke dalam botol dengan variasi massa 0,5; 1; 1,5; 2; 2,5; 3 dan

3,5 gram. Selanjutnya ditambahkan HCl dengan konsentrasi optimum hasil

pengukuran (a). Semua botol diaduk pada kecepatan 40 rpm dengan waktu

optimum pengadukan hasil pengukuran (b), didiamkan selama 45 menit dan

disaring (Boaventura et al., 2000). Kadar alumunium dalam filtrate yang

diperoleh dianalisis menggunakan spektrofotometer serapan atom.

d. Adsorpsi bahan organik pada tawas yang dihasilkan pada proes

perolehan kembali (recovery) oleh karbon aktif

Ditimbang lumpur kering sesuai dengan massa optimal yang didapat (c)

kemudian dimasukkan ke dalam botol dengan volume 250 mL. Kemudian

ditambahkan dengan HCl sesuai dengan konsentrasi optimal yang telah

didapat (a) dan diaduk dengan kecepatan 40 rpm. Lama pengadukan

disesuaikan dengan waktu optimum yang didapat sebelumnya (b). Setelah itu

didiamkan selama 45 menit dan disaring. Filtrat yang diperoleh kemudian

dianalisis kandungan alumunium nya menggunakan spektrofotometer serapan

atom. Filtrat ini yang kemudian digunakan sebagai koagulan recovery.

Selanjutnya untuk proses adsorpsi, sebanyak 200 mL filtrat (koagulan

recovery) dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 20 gram

karbon aktif. erlenmeyer kemudian dikocok dengan shaker pada kecepatan

aduk 120 rpm selama 10 menit kemudian disaring. Kandungan alumunium

pada filtrat dianalisis menggunakan spektrofotometer serapan atom.

3.3.3. Uji Koagulan Recovery

Koagulan padat lalu diuji menggunakan metode jar test, dengan

memvariasikan berat dari koagulan tersebut. Proses pengadukan dilakukan dengan

kecepatan 200 rpm selama 1 menit untuk mewakili proses koagulasi. Dan

Page 18: Proposal Ta Meity

dilanjutkan dengan pengadukan lambat pada kecepatan 40 rpm selama 5 menit

untuk mewakili proses flokulasi dan disertai dengan proses dekantasi

(pengendapan) selama 15 menit lalu dilakukan penyaringan.

Berikut adalah parameter yang divariasikan untuk mendapatkan koagulan

recovery dalam penelitian ini, yaitu: perbandingan konsentrasi antara CaCl2 dan

lumpur yang digunakan, konsentrasi molar H2SO4 yang digunakan, berat koagulan

saat uji jar test.

Page 19: Proposal Ta Meity

1.3 Diagram Alir Penelitian

3.3.1. Ekstraksi Alumina (Pembuatan Alumina Recovery)

3.3.2. Pengujian Efektifitas Koagulan Recovery

MULAI

Lumpur basah

Dipisahkan fase padat dan cair dengan vakum

Kalsinasi

Pelindian

Koagulan padat

Koagulan padat

Uji jartest untuk tiap-tiap koagulan

Uji pH dan kandungan bahan organik

Diuji kandungan Al

Diuji dengan variasi berat koagulan

Page 20: Proposal Ta Meity

DAFTAR PUSTAKA

(MENLH) Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun

2003.

Barker, RW. 2004. Membrane Technology and Application. John Wille and Sons.

Vol 11.

Departemen Pertanian. 2004. Luas Areal Tebu MTT 2003/2004, Per perusahaan

s/d Januari 2004. (terhubung berkala) http://www.deptan.go.id (18 Mei

2012).

Diapati, M. 2009. Ampas Tebu sebagai Adsorben Zat Warna Rdioaktif Cibarcron

Red. Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Hadi, Sutrisno. 1986. Metodologi Research. Yogyakarta: YP Fakultas Psikologi

UGM.

Harsono, H. 2002. Pembuatan Silika Amorf dari Limbah Sekam Pai. Jurnal Ilmu

Dasar 3. Jilid 2.

Hindarko, S. 2003. Mengolah Air Limbah Supaya Tidak Mencemari Orang Lain.

Jakarta: Esha.

Jurgen, C. 2005. Zeolite Mebranes: From the Laboratory Scale to Technical

Applications. Germany: University of Hanover, Institute of Physical

Chemistr and Electrochemistry.

McNevin D., Barford J. 2000. Biofiltration as an Odour Abatement Strategy.

Biochemicak Engineering Journal.

Misran, E. 2005. Industry Tebu Menuju Zero Waste Industry. Jurnal Teknologi

Proses. Vol

Selesai