Proposal 3

download Proposal 3

of 47

Transcript of Proposal 3

A. JUDUL ANALISIS KETERKAITAN ANTARA ORGANIZATIONAL LEARNING CULTURE, KUALITAS LEADER-MEMBER EXCHANGE, KOMITMEN

ORGANISASIONAL, DAN NIAT UNTUK KELUAR (Studi pada Karyawan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surakarta)

B. LATAR BELAKANG MASALAH Persaingan dalam dunia usaha yang semakin ketat menuntut perusahaan atau organisasi untuk selalu melakukan perbaikan, baik dalam kegiatan operasionalnya maupun dalam perbaikan kualitas SDM sebagai salah satu faktor dominan dan langsung berpengaruh pada kehidupan dan kegiatan perusahaan. Untuk memotivasi dan mempertahankan karyawan berbakat secara efektif, banyak perusahaan mencoba menjadi perusahaan yang selalu menjadi pilihan pertama calon kelas satu karena status dan reputasinya dalam hal budaya perusahaan dan praktik SDM (Sutherland, Torricelli, & Karg, 2002). Dengan kata lain, perusahaan pilihan adalah perusahaan yang unggul dalam kompetisi mereka dalam menarik, mengembangkan, dan mempertahankan orang-orang dengan bakat yang diperlukan dalam bisnis. Mereka mencapai reputasi ini melalui organizational learning culture (budaya pembelajaran organisasional) dan praktik-praktik SDM yang inovatif dan menarik yang menguntungkan karyawan dan organisasi mereka. Perusahaan yang melakukan pembelajaran organisasional adalah perusahaan yang memiliki keahlian dalam menciptakan, mengambil, dan mentransfer pengetahuan, dan memodifikasi perilakunya untuk merefleksikan pengetahuan dan pengalaman barunya (Absah, 2007). Pembelajaran organisasional menolak stabilitas dengan cara terus menerus melakukan evaluasi diri dan eksperimentasi. Baldwin et al.

(1997) menyatakan bahwa anggota organisasi dari semua tingkatan, tidak hanya manajemen puncak, terus melakukan pengamatan lingkungan dalam upaya memperoleh informasi penting, perubahan strategi dan program yang diperlukan untuk memperoleh keuntungan dari perubahan lingkungan, dan bekerja dengan metode, prosedur, dan teknik evaluasi yang terus menerus diperbaiki. Organisasi yang bersedia untuk melakukan eksperimen dan mampu belajar dari pengalamanpengalamannya akan lebih sukses dibandingkan dengan organisasi yang tidak melakukannya (Wheelen & Hunger dalam Absah, 2007). Agar dapat mencapai dan mempertahankan keunggulan bersaing dalam lingkungan bisnis yang berubah dengan cepat, organisasi harus dapat meningkatkan kapasitas pembelajarannya.Pembelajaran individu dan pembelajaran organisasional tidak dapat dipisahkan. Organisasi belajar melalui individu-individu yang menjadi bagian dari organisasi. Pembelajaran individu merujuk pada perubahan keahlian, wawasan, pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai yang diperoleh seseorang melalui pengalaman, wawasan dan observasi (Marquardt, 1996). Dapat dikatakan bahwa pendidikan formal

merupakan satu cara untuk meningkatkan kemampuan individu dan bahwa organisasi memperoleh keuntungan dari berbagai aktivitas individu terdidik tersebut. Berdasarkan pandangan ini, pembelajaran merupakan sebuah fenomena di mana organisasi memperoleh

keuntungan dari anggota organisasinya yang terampil. Sekarang ini, pembelajaran individu tidak menjamin

pembelajaran organisasional, tetapi pembelajaran organisasional tidak akan terjadi tanpa pembelajaran individu (Garvin, 2000). Konsep pembelajaran individu menjelaskan secara implisit bahwa karyawan memiliki kemampuan untuk belajar dan berubah untuk mencapai

pendewasaan dirinya. Karyawan diharapkan untuk selalu mau belajar mengenai lingkungannya, dan sekaligus mengenal dan kemudian mengaktualisasikan dirinya. Karyawan diharapkan mampu

menempatkan dirinya sesuai dengan kapasitas dirinya, sehingga ia dapat memberikan kontribusi terbaik minimal untuk dirinya, dan lebih luas untuk menciptakan kesejahteraan bagi organisasi, masyarakat atau lingkungannya. Dengan kondisi demikian, maka akan tercipta lingkungan kerja yang baik.

Menurut Levering dalam Joo (2010) tempat kerja yang baik diyakini menghasilkan kualitas produk yang lebih tinggi, dukungan lebih banyak inovasi, memiliki kemampuan untuk menarik lebih banyak orang-orang berbakat, dan penerimaan terhadap perubahan dan biaya turnover yang lebih rendah, yang semuanya berpadu menuju ke arah yang lebih baik. Lingkungan tempat kerja yang baik menciptakan komitmen organisasional bagi karyawan. Salah satu perangkat utama dalam suatu organisasi yang juga mempengaruhi komitmen organisasional adalah atasan atau pemimpin. Karyawan akan berkomitmen dengan perusahaan dengan beberapa alasan yang berkaitan dengan atasannya. Misalnya, seorang karyawan memiliki banyak nilai-nilai, sikap, dan filsafat yang sama dengan atasannya, atau seorang karyawan mungkin akan senang dengan atasannya karena atasan memberikan dukungan sosial, sejauh mana karyawan tersebut dikelilingi oleh orang-orang yang bersimpati dan peduli (Noe et al. dalam Joo, 2008). Dalam beberapa teori kepemimpinan, sebagian besar mengandaikan bahwa para pemimpin memperlakukan para bawahan mereka dengan cara yang sama. Namun dalam kenyataan pemimpin membangun hubungan dan tindakan yang berbeda bagi anggota yang berbeda, atau dalam perkataan yang lain pemimpin tidak memperlakukan semua anggotanya dengan cara yang sama. Hubungan tersebut sesuai

dengan teori leader member-exchange (LMX) yang menyatakan bahwa para pemimpin membangun suatu hubungan yang istimewa dalam suatu kelompok anggota mereka sehingga pemimpin mengkategorikan bawahan itu sebagai seorang anggota dalam atau luar (Arsintadiani, 2002). Dalam teori LMX, anggota yang masuk dalam kelompok dalam akan memperoleh penilaian kinerja yang lebih tinggi daripada kelompok luar dan anggota yang masuk dalam kelompok dalam akan merasakan kepuasan kerja yang lebih tinggi dari anggota kelompok luar. Pengaruh kedekatan hubungan antara pemimpin dan anggotanya akan membiaskan penilaian kinerja yang dilakukan oleh pemimpin karena pemimpin tidak hanya memandang kinerja dari karyawan itu saja tetapi juga memasukkan nilai pertukaran yang ada. Perbedaan jarak hubungan pemimpin dengan satu bawahan dengan bawahan yang lain dapat mempengaruhi pemimpin dalam menilai kinerja dan perilaku extra role bawahan itu sendiri (Arsintadiani, 2002). Para karyawan yang mampu memberikan kemampuan yang terbaik dari dirinya baik fisik, mental, maupun intelektualitasnya adalah karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap pencapaian tujuan perusahaan. Dengan komitmen yang tinggi, mereka akan secara sadar memberikan yang terbaik bagi perusahaan mereka dan memiliki apa yang disebut self direction dan self control, yaitu kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri mereka sendiri secara mandiri dalam mencapai tujuan perusahaan (Confessore & Kops dalam Joo, 2010). Komitmen yang tinggi tidak begitu saja dapat dicapai dengan sendirinya. Komitmen yang tinggi dari pekerja akan dapat menumbuhkan kondisi dimana pekerja akan merasakan kepuasan dalam bekerja. Penelitian terhadap komitmen

organisasional menjadi penting dalam dunia industri karena diyakini bahwa komitmen

organisasional yang tinggi akan mendorong peningkatan kinerja atau prestasi individu dan kelompok, yang pada gilirannya akan meningkatkan efektivitas perusahaan secara keseluruhan (Joo, 2010). Studi tentang komitmen organisasional dewasa ini menjadi perhatian yang serius dari para manajer perusahaan karena berkaitan erat dengan tenaga kerja, produktivitas dan kelangsungan hidup perusahaan yang bersangkutan. Komitmen organisasional yang tinggi akan sangat mempengaruhi kondisi kerja positif dan dinamis sehingga mampu memberikan keuntungan yang nyata, tidak hanya bagi perusahaan tapi juga bagi karyawan itu sendiri. Kondisi inilah yang sangat didambakan oleh manajemen perusahaan atau organisasi (Joo, 2010). Sebaliknya, komitmen organisasional yang rendah menimbulkan berbagai dampak negatif seperti mangkir, kerja lamban, mogok kerja, pindah kerja (turnover), kerusakan yang disengaja, dan sebagainya. Hal ini tentu berakibat kerugian pada perusahaan walaupun manivestasi kerugiannya tidak tampak jelas. Pekerja yang memiliki komitmen rendah mungkin akan keluar dari masalah dengan meninggalkan pekerjaan. Jika alasan rendahnya komitmen karyawan berkaitan dengan kebijakan luas organisasi, pindah kerja kemungkinan besar akan terjadi. Karyawan yang tidak mampu mengubah situasi masalah atau keluar dari situasi masalah, kemungkinan secara psikologis karyawan akan menarik diri dari pekerjaan mereka (Noe et al. dalam Joo, 2008). Sedangkan jika alasan utama berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri, kinerja karyawan akan menjadi sangat rendah. Jika karyawan merasa bermasalah dan tidak puas dengan atasan organisasi secara keseluruhan, karyawan akan menunjukkan komitmen organisasional yang rendah, yang mengacu pada sejauh mana seorang karyawan mengidentifikasikan diri dengan organisasi dan kesediaan melakukan usaha atas nama perusahaan (Mowday,

1998). Individu-individu yang memiliki komitmen organisasional yang rendah sering hanya menunggu kesempatan bagus untuk keluar dari pekerjaan mereka. Dengan kesadaran akan biaya dari terjadinya pindah kerja dari orang-orang yang berkemampuan tinggi, banyak peneliti telah mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi niat untuk keluar karyawan, yang didefinisikan sebagai suatu kemauan secara sadar dan disengaja untuk meninggalkan organisasi (Bluedorn, 1982). Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam kesempatan ini penulis tertarik untuk menyusun penelitian dengan judul : Analisis Keterkaitan Antara Organizational Learning Culture, Kualitas Leader-Member Exchange, Komitmen Organisasional, Dan Niat untuk keluar (Studi pada Karyawan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surakarta)

C. PERUMUSAN MASALAH Bedasarkan latar belakang, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah budaya pembelajaran

organisasional berhubungan dengan kualitas LMX? 2. Adakah hubungan positif antara

budaya pembelajaran organisasional dan komitmen organisasional? 3. Adakah hubungan positif antara

kualitas LMX dan komitmen organisasional? 4. Adakah hubungan positif antara

komitmen organisasional dan niat untuk keluar?

D. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui hubungan

antara budaya pembelajaran organisasional dan kualitas LMX. 2. Untuk mengetahui hubungan

budaya pembelajaran organisasional dan komitmen organisasional. 3. Untuk mengetahui hubungan

antara kualitas LMX dan komitmen organisasional. 4. Untuk mengetahui hubungan

antara komitmen organisasional dan niat untuk keluar.

E. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk dapat menjadi salah satu referensi untuk kalangan akademisi serta referensi bagi peneliti selanjutnya yang mengadakan penelitian lebih lanjut dengan topik yang sama. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan atau penentu kebijakan bagi perusahaan tempat dilakukan penelitian atau perusahaan yang mengalami permasalahan yang serupa.

F. TINJAUAN PUSTAKA 1. Budaya Pembelajaran Organisasional Budaya pembelajaran organisasional merupakan salah satu komponen kunci kontekstual untuk meningkatkan komitmen organisasional. Menurut definisi,

merujuk pada "sebuah organisasi yang terampil dalam menciptakan, memperoleh, dan

mentransfer pengetahuan, dan memodifikasi perilakunya untuk mencerminkan pengetahuan dan wawasan baru" (Garvin, 2000). Organisasi yang telah

memprioritaskan pembelajaran dan pengembangan telah memperoleh peningkatan kepuasan kerja karyawan, produktivitas, dan profitabilitas (Marsick & Watkins, 2003). Untuk tujuan penelitian ini, budaya pembelajaran organisasional akan menjelaskan baik dimensi struktural maupun dimensi proses dari pembelajaran dalam konteks organisasi. Definisi ini konsisten dengan konstruksi dan langkah-langkah yang diutarakan oleh Marsick dan Watkins (2003) yang menyarankan bahwa konsep pembelajaran organisasional memiliki tujuh dimensi berbeda tetapi saling berhubungan, yang terhubung dengan sumber daya manusia dan struktur. Mereka mengidentifikasi tujuh tindakan keharusan untuk pembelajaran organisasional: (1) menciptakan kesempatan belajar yang berkesinambungan; (2) mempromosikan penyelidikan dan dialog; (3) mendorong kolaborasi dan pembelajaran tim; (4) membangun sistem untuk menangkap dan berbagi pembelajaran; (5) memberdayakan orang untuk memiliki visi kolektif; (6) menghubungkan organisasi terhadap lingkungan; dan (7) menggunakan model dan pemimpin yang mendukung pembelajaran di tingkat individu, tim, dan organisasi. Dengan demikian, pembelajaran organisasional melibatkan lingkungan di mana pembelajaran organisasional terstruktur sehingga kerja sama tim, kolaborasi, kreativitas, dan proses pengetahuan mempunyai arti dan nilai kolektif (Confessore & Kops dalam Joo, 2008). Sebuah organisasi yang melakukan pembelajaran dipandang sebagai salah satu yang memiliki kapasitas untuk mengintegrasikan sumber daya manusia dan struktur untuk menggerakkan organisasi ke arah pembelajaran dan perubahan yang berkesinambungan.

Konsep budaya pembelajaran organisasional adalah sebuah tipe budaya organisasional yang berintegrasi dengan pembelajaran organisasional. Menurut Bates and Khasawneh (2005), budaya pembelajaran organisasional adalah fenomena organisasional yang mendukung perolehan tambahan informasi, distribusi dan sharing pembelajaran, dan yang memperkuat dan mendukung pembelajaran yang berkelanjutan dan penerapannya pada kemajuan organisasional. Dengan demikian, budaya pembelajaran organisasional dibangun dengan konstan, menggerakkan rangkaian yang tak terbatas menuju lingkungan belajar yang harmonis (Graham & Nafukho, 2007). Dengan tambahan, tujuan budaya pembelajaran organisasional adalah sebuah pertukaran pengetahuan berharga yang mengarah ke inovasi, peningkatan kinerja, dan daya saing berkelanjutan (Lopez et al. dalam Hsu, 2009). 2. Kualitas Leader-Member Exchange (LMX) Teori LMX awalnya diusulkan oleh Graen (1995) dan fokus pada proses pertukaran hubungan sosial yang tertanam dalam hubungan antara pemimpin dan bawahan. Hal ini karena fokusnya pada proses pengaruh timbal balik di dalam

vertical dyad terdiri atas seseorang yang mempunyai otoritas atas orang lain. Graen dan Uhl-Bien (1995) mengungkapkan kualitas LMX merupakan kualitas hubungan timbal balik interpersonal antara seorang karyawan dan supervisornya. Kualitas

hubungan antara pemimpin dan anggota menentukan jumlah usaha fisik atau mental, sumber daya materi, informasi, dan dukungan sosial yang timbal balik antara pemimpin dan pengikut (Liden, Sparrowe, & Wayne dalam Joo, 2008). Dengan demikian, bawahan dalam hubungan semacam itu sering berinteraksi dengan para pemimpin mereka dan mendapatkan dukungan keyakinan, dorongan, dan

pertimbangan dari pemimpin mereka, dan mereka mengambil tugas tambahan atau

mencurahkan tambahan upaya untuk mencapai tujuan kelompok kerja di luar ekspektasi kontrak atau transaksi. Teori LMX, menguraikan proses pembuatan peran antara seorang pemimpin dan bawahan. Teori ini menguraikan langkah-langkah para pemimpin dalam mengembangkan hubungan pertukaran yang berbeda dari waktu ke waktu dengan bawahan. Robbins (2001) dalam teori LMX menyatakan: leader create in groups and out groups and subordinates with in groups status will have higher performance ratings, less turn over and greater satisfaction with their superior Struktur jaringan berangkat dari suatu hubungan yang dikembangkan oleh seorang pemimpin pada bawahannya yang bersifat individu. Teori leader-member exchange (LMX) berpandangan bahwa, pemimpin dapat menciptakan bawahan di dalam kelompok dan dapat berkinerja tinggi serta memperoleh kepuasan dengan atasan (Akhirudin, 2005). Teori LMX menyatakan bahwa dalam unit pekerjaan dikembangkan tipe hubungan yang berbeda antara pemimpin dan pengikutnya atau atasan dan bawahannya. Para pemimpin menciptakan in-group dan out-group

subordinates di mana status hubungan yang dikembangkan itu berbeda dari suatu bawahan ke bawahan lainnya. Pemimpin menominasikan bawahannya yang mempunyai kualitas hubungan kerja yang tinggi dengan sebutan in-group dan menominasikan bawahan yang mempunyai hubungan kualitas hubungan kerja yang rendah dengan sebutan out-group. Seseorang bawahan dapat dikategorikan sebagai anggota in-group bila bawahan diatributi oleh pemimpin dengan kepercayaan (trust), interaksi, perhargaan (respect) dan dukungan (sponsorship) yang tinggi. Suatu hubungan antara atasan dan bawahan dalam arti in-group ini disebut sebagai berkualitas pertukaran tinggi. Suatu hubungan antara atasan dan bawahan dalam arti out-group dikategorikan bila diatribut

oleh pemimpin dengan jarak, artinya bahwa bawahan menerima tingkat kepercayaan (trust), interaksi, perhargaan (respect) dan dukungan (sponsorship) yang rendah. Hubungan antara atasan dan bawahan dalam arti out-group ini dikatakan berkualitas pertukaran yang rendah (Arsintadiani, 2002). Teori yang sangat penting untuk menjelaskan LMX adalah social exchage theory, hal ini dipaparkan Blau dalam Wang et.al (2001). Social exchange teory adalah salah satu teori penting yang menjelaskan pengaruh LMX terhadap variabel outcomes. Social exchange teory, memiliki dua bentuk hubungan perubahan dalam organisasi, yaitu: Economic exchange, dan Social exchange (Akhirudin, 2005). Dienesch dan Liden dalam Wang et.al (2001) membagi LMX menjadi empat dimensi dasar: a. Affect, mengacu pada hubungan timbal balik anggota yang saling menguntungkan, yang mempunyai dasar utama pada hubungan interpesonal dibanding sekedar bekerja atau nilai professional. b. Loyalty, mengacu pada ungkapan dari dukungan publik terhadap tujuan dan karakter pribadi dari anggota lain LMX. c. Contribution, menggambarkan suatu persepsi jumlah, arah dan kualitas dari aktivitas orientasi kerja dari anggota, untuk mencapai tujuan yang menguntungkan (eksplisit atau implisit). d. Professional respect, mengacu pada derajat persepsi anggota lain dalam

membangun reputasi, di dalam atau di luar organisasi yang melampaui garis kerjanya. 3. Komitmen Organisasional Komitmen organisasional mencerminkan ikatan psikologis bahwa seorang individu berpihak/mengabdi kepada organisasi. Komitmen organisasional diartikan

sebagai suatu keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dari suatu organisasi tertentu, kemauan untuk berusaha secara maksimal demi kepentingan organisasi, serta keyakinan untuk menerima nilainilai dan tujuan organisasi (Luthans, 1998). Meyer dan Allen (1990) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai kelekatan emosi, identifikasi dan keterlibatan individu dengan organisasi serta keinginan untuk tetap menjadi anggota. Meyer dan Allen (1990) menyatakan bahwa fenomena komitmen adalah suatu upaya sosialisasi dari seseorang dengan cara bertindak tetap. Oleh karena itu, dibanding dengan keterikatan, komitmen meliputi hubungan yang aktif antara pekerja dengan majikan dimana pekerja tersebut bersedia memberikan sesuatu atas kemauan sendiri agar dapat menyokong tercapainya tujuan organisasi. Menurut Mowday (1998), komitmen organisasional didefinisikan sebagai "kekuatan relatif dari pengabdian dan keterlibatan individu kepada suatu organisasi. Hal ini dapat juga dilihat sebagai sebuah proses di mana tujuan dari individu dan organisasi menjadi terpadu secara bertahap atau kongruen (Hall, Schneider, & Nygren dalam Joo, 2008). Mowday (1998) juga mengidentifikasi tiga karakteristik komitmen organisasional: a. keyakinan yang kuat dan penerimaan dari tujuan dan nilai-nilai

organisasi b. kesediaan untuk mengerahkan cukup banyak upaya atas nama

organisasi c. keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam

organisasi. Meyer dan Allen (1990) menjelaskan tiga dimensi komitmen organisasional, yang terdiri atas:

a.

Komitmen afektif menunjukkan adanya keterikatan emosional

anggota, identifikasi dan keterlibatan anggota pada organisasi. Dapat dijelaskan bahwa kemauan anggota untuk tetap bekerja timbul dari pribadinya dan bukan karena pertimbangan ekonomis. Komitmen ini dikembangkan berdasarkan pertimbangan yang bersifat psikologis karena melibatkan aspek afeksi. b. Komitmen continuance merujuk pada adanya pertimbangan untung

rugi dalam diri anggota, berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau dengan kata lain, komitmen lebih didasarkan pada pertimbangan

pertimbangan ekonomis. Anggota terutama bekerja berdasarkan komitmen bersinambung ini bertahan dalam organisasi karena mereka tidak ada pilihan lain. Adanya pertimbangan rasional mengenai untung rugi antara bertahan atau meninggalkan organisasi, maka komitmen bersinambung sering disebut sebagai komitmen rasional. c. Komitmen normatif merefleksikan adanya perasaan wajib untuk tetap

bekerja dalam organisasi. Ini berarti, bahwa anggota yang memiliki sikap normatif tinggi merasa bahwa mereka wajib bertahan dalam organisasi. Dampak dari komitmen organisasional pada kinerja individu dan efektivitas organisasi telah mendorong banyak minat di antara para peneliti (Meyer & Allen, 1990). Hal ini telah menjadi lebih penting daripada sebelumnya dalam memahami, terkait dengan perilaku kerja karyawan karena diidentifikasi sebagai lebih stabil dan kurang tunduk pada fluktuasi harian dari kepuasan kerja (Mowday et.al. dalam Joo, 2010). Sebuah meta-analisis oleh Mathieu dan Zajac (1990) menemukan bahwa karakteristik demografis (misalnya, usia, kelamin, tingkat pendidikan), peran negara, karakteristik pekerjaan, hubungan kelompok / pemimpin, karakteristik organisasi,

motivasi, dan kepuasan kerja dapat meningkatkan komitmen organisasional. Selain itu, mereka menemukan bahwa komitmen organisasional mempengaruhi niat untuk keluar karyawan seperti halnya tindakan output. Faktor komitmen dalam organisasi menjadi satu hal yang dipandang penting karena karyawan yang memiliki komitmen tinggi terhadap organisasi akan memiliki sikap profesional dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah disepakati dalam sebuah organisasi. Meyer dan Allen (1990) mengemukakan bahwa komitmen afektif dapat dipengaruhi beberapa hal, misalnya daya tarik pekerjaan, kejelasan peran kerja, kejelasan tujuan, kesulitan tujuan, penerimaan terhadap gagasan karyawan, ikatan antar karyawan, perasaan dibutuhkan, perasaan dipentingkan, umpan balik, dan tingkat partisipasi. Hal yang harus dipentingkan untuk meningkatkan komitmen organisasional adalah bagaimana nilai dan tujuan organisasi ditanamkan terus menerus kepada karyawan sehingga muncul kesadaran bahwa karyawan tinggal karena karyawan meyakini hal tersebut merupakan tindakan yang benar (Meyer & Allen, 1990). 4. Niat Untuk Keluar (Turnover Intention) Pindah kerja atau tindakan keluar (turnover) merupakan pilihan terakhir bagi seorang karyawan jika mendapati kondisi kerja sudah tidak sesuai lagi dengan apa yang diharapkannya. Pindah kerja bagi karyawan merupakan salah satu jalan keluar untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik, tetapi bagi perusahaan dapat menjadi kerugian tersendiri apabila karyawan yang keluar tadi memiliki kemampuan yang dibutuhkan perusahaan. Selain hal itu, pindah kerja juga berarti penambahan biaya untuk perekrutan dan penempatan kembali. Oleh karena itu suatu organisasi harus menelaah lebih jauh tentang sebab-sebab seorang karyawan mempunyai keinginan untuk keluar, sehingga pindah kerja dapat ditekan seminimal mungkin.

Niat untuk keluar (turnover intention) adalah keinginan seseorang untuk pindah dari posisi kerjanya saat ini atau keinginan keluar dari organisasi yang pada akhirnya keinginan tersebut menjadi keputusan yang nyata untuk meninggalkan pekerjaannya dan mencari alternatif pekerjaan lain (Hudiwinarsih, 2005). Menurut Meyer dan Allen (1990), niat untuk keluar merupakan petunjuk yang jelas ketika seseorang mempunyai keinginan untuk keluar dari organisasi. Niat untuk keluar juga bisa berarti sebagai barometer yang lebih tepat untuk menilai aktivitas-aktivitas manajemen daripada pindah yang sebenarnya. Menurut Clugston dalam Siswanti (2006), niat untuk keluar merupakan dampak lanjutan dari adanya keinginan untuk meninggalkan organisasi (intent to leave). Sebagai ilustrasi konteks instansi yang menjanjikan jaminan masa tua seperti rumah sakit negeri, lebih tepat menggunakan variabel niat untuk keluar daripada variabel keluar sebenarnya karena walaupun niat untuk keluar tinggi tetapi pindah yang sebenarnya bisa saja rendah. Hal ini berkaitan dengan tingginya tingkat penganguran dalam suatu industri. Beberapa determinan yang mempengaruhi variabel niat untuk keluar melalui variabel kepuasan kerja dan kesempatan kerja yang dapat memberikan dasar proses motivasional secara sosial-psikologis (Martin dalam Hapsari, 2007) yaitu: 1. Pay yaitu sejumlah uang yang diberikan kepada

karyawan sebagai imbalan atas jasa mereka. 2. hubungan Integration yaitu besarnya partisipasi dalam hubunganorganisasional secara primer dan/atau kuasi-primer yang

ditunjukkan dengan adanya hubungan-hubungan teman dekat di tempat kerja. 3. Centralization yaitu besarnya kekuatan (power) yang

dikonsentrasikan dalam sebuah organisasi dalam bentuk partisipasi dalam pengambilan keputusan.

4.

Instrumental communication yaitu banyaknya informasi

yang berkaitan dengan kinerja peran (role performance) yang ditransmisikan kepada anggota-anggota organisasi yang diperjelas dalam on the job training. 5. Formal communication yaitu banyaknya informasi yang

ditransmisikan secara resmi kepada anggota-anggota organisasi melalui memo-memo maupun manual-manual pelatihan organisasi. 6. Routinization yaitu banyaknya pekerjaan yang sifatnya

berulang-ulang. Pekerjaan-pekerjaan dalam tingkat manajerial dan profesional biasanya mempunyai tingkat rutinitas yang lebih rendah daripada pekerjaan yang berkaitan dengan tulis-menulis (clerical). 7. Upward mobility yaitu pergerakan antara level status

yang berbeda dalam sebuah organisasi yang ditunjukkan dalam kecakapan melakukan pekerjaan serta promosi personel. 8. Length service yaitu berapa lama seseorang berada

dalam suatu organisasi serta memberikan pengabdiannya pada organisasi tersebut. 9. serta determinan lain seperti umur, pendidikan, status

perkawinan, dan jenis kelamin. Martin dalam Hapsari (2007) menyatakan determinan-determinan lain yang berdampak langsung pada keinginan pindah pada suatu organisasi diantaranya: 1. Community participation yaitu

besarnya keterlibatan dalam kehidupan sosial yang tergabung dalam sebuah komunitas. 2. Work commitment yaitu besarnya

peran pekerjaan mengkonstitusi minat hidup sentral (central life intent) dari

anggota-anggota organisasi. Anggota organisasi dengan komitmen kerja tinggi mempunyai kepercayaan dan penerimaan kuat dalam tujuan serta nilai kerja sehingga akan mempertahankan keanggotaannya. Khatri et al. (2001) melakukan penelitian terhadap perilaku pindah kerja dalam konteks wilayah Asia serta membuat suatu model tindakan keluar karyawan yang melibatkan tiga variabel yang berpengaruh terhadap niat untuk keluar: 1. Demografic factor : umur, jenis

kelamin, tingkat pendidikan, jabatan, tingkat penghasilan, kategori pekerjaan (manajerial atau non-manajerial) mempunyai hubungan yang stabil dengan keinginan pindah. 2. Uncontrolable factor : alternatif

peluang pekerjaan yang dipersepsikan (perceived alternative employment opportunity / PAEO) dan harapan kerja (job hoping) adalah faktor-faktor yang tidak dapat dikontrol dalam artian organisasi mempunyai kontrol yang relatif kecil atas faktor-faktor tersebut. Job hoping adalah sebuah fungsi dari kondisi pasar kerja yang kuat dan organisasi tidak punya banyak pengaruh pada pasar pekerja eksternal tersebut. PAEO diartikan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan tindakan keluar karyawan berupa pencarian kerja alternatif sebelum akhirnya mengundurkan diri dari pekerjaan saat ini atau bahkan mengundurkan diri sebelum mendapat pekerjaan baru. 3. Controlable factor : penggajian,

sifat dari pekerjaan, pengawasan, komitmen organisasional, keadilan distributif, dan keadilan prosedural adalah faktor-faktor yang dapat dikontrol atau dipengaruhi oleh organisasi tersebut.

Secara keseluruhan, niat untuk keluar muncul sebagai pendahulu yang terkuat dari tindakan keluar yang nyata dari karyawan. Pada awal perkembangan literatur tentang behavioral intentions, berkembang sebuah model tindakan beralasan yang mengidentifikasi prediktor tunggal terbaik dari perilaku individu menjadi ukuran dari keinginan/niat untuk melakukan perilaku itu. Dalam penyorotan niat untuk keluar sebagai elemen kunci dalam pemodelan perilaku pindah kerja karyawan, Bluedorn (1982) telah menetapkan bahwa niat untuk keluar adalah satu alat prediksi terbaik dari tindakan keluar yang nyata dari karyawan.

G. KERANGKA PENELITIAN Kerangka pemikiran digunakan untuk menunjukkan arah bagi suatu penelitian agar penelitian tersebut dapat berjalan pada lingkup konstruksi yang telah ditetapkan. Sebagai hasil dari tinjauan literatur yang komprehensif, satu set konstruksi dipilih: (a) organizational learning culture, (b) kualitas LMX, (c) komitmen organisasional, dan (d) turnover intention. Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan, maka model penelitian yang diajukan tampak seperti gambar berikut ini : Organization H2 H1 Komitmen Organisasional Kualitas LMX H3 Turnover Intention

H4

Gambar 1. Model Penelitian Berdasarkan model penelitian, dapat diketahui bahwa penelitian ini menguji hubungan antara variabel budaya pembelajaran organisasional, kualitas LMX,

komitmen organisasional, dan niat untuk keluar. Karyawan yang bekerja di perusahaan atau organisasi yang berkemampuan dalam menciptakan, memperoleh dan menyalurkan pengetahuan, dan memiliki hubungan interaksi yang baik dengan atasannya, maka karyawan akan menunjukkan komitmen yang tinggi pada perusahaan dan pada akhirnya menunjukkan niat untuk keluar yang rendah. H. HIPOTESIS Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap pernyataan yang

dikemukakan dalam perumusan masalah. Hipotesis yang dibentuk dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa penelitian sebelumnya sehingga diharapkan hipotesis tersebut cukup valid untuk diuji. Adapun hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Budaya Pembelajaran Organisasional dan Kualitas LMX Setiap organisasi atau perusahaan perlu memperhatikan pentingnya budaya pembelajaran dalam tim kerja yang mandiri (team learning). Norman dan Richard (1993) mengemukakan budaya pembelajaran organisasional merupakan faktor pendorong terciptanya dialog yang memperkenankan setiap orang membuka dirinya terhadap yang lain, benar-benar menerima sudut pandangnya sebagai pertimbangan berharga, dan memasuki yang lain dalam batasan bahwa dia mengerti, tidak sebagai individu secara khusus, namun isi pembicaraannya. Tujuannya bukan memenangkan argumen melainkan untuk pengertian lebih lanjut. Pembelajaran tim (team learning) memerlukan kapasitas anggota kelompok yang mengacu ke dalam pola berfikir bersama yang sesungguhnya. Penataan pekerjaan pada tim-tim kerja yang mandiri dianggap sebagai unit dasar organisasi dan kunci dalam meningkatkan fungsi organisasi (Hackman dalam Joo, 2008). Karena tim dapat mengelola sebagian besar kegiatan mereka sendiri,

maka ketergantungan terhadap pemimpin akan berkurang (Joo, 2010).

Dengan

demikian, pengembangan tim lebih membutuhkan pemimpin suportif. Norman dan Richard (1993) mengungkapkan pemimpin suportif merupakan pemimpin yang membantu bawahan untuk mengenali pekerjaannya, membimbing bawahan dalam pekerjaannya, dan mengerti kebutuhan bawahan. Perilaku suportif ini merujuk kadar keterlibatan pemimpin serta dalam komunikasi dua arah, dalam

mendengar,

mendorong,

melibatkan

bawahan

pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Dengan demikian akan tercipta hubungan interaksi atasan-bawahan yang berkualitas tinggi. Novliadi (2006) mengungkapkan apabila interaksi atasan-bawahan (Leader-Member mendorong proses pembelajaran organisasional yang tinggi pula. Dengan Exchange) berkualitas tinggi, maka akan

kualitas LMX yang tinggi, seorang atasan akan berpandangan positif terhadap bawahannya sehingga bawahannya akan merasakan bahwa atasan banyak memberikan dukungan dan motivasi. Hal tersebut akan meningkatkan rasa percaya dan hormat bawahan pada atasan sehingga mereka termotivasi untuk dengan mandiri melakukan lebih dari yang diharapkan oleh atasan mereka. Dengan demikian, akan tercipta proses pembelajaran organisasional yang berkelanjutan. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa kualitas LMX berhubungan secara positif terkait dalam mendukung dan menciptakan obligasi-obligasi dalam diri individu, yang kemudian menanggapinya dengan tingkat kinerja yang lebih tinggi

(Joo, 2008). Kepemimpinan adalah faktor yang paling penting yang mempengaruhi kinerja individu (Joo, 2008). Kualitas hubungan antara karyawan dan atasan memainkan peran penting dalam kinerja individual. Budaya pembelajaran organisasi merupakan sarana dalam mentransfer pembelajaran yang diperoleh ke dalam kinerja yang sesungguhnya. Budaya pembelajaran organisasional membutuhkan kepemimpinan yang suportif yang merujuk pada kualitas LMX yang tinggi (Norman & Richard, 1993), di mana pemimpin memberikan perhatian besar pada coaching (pelatihan) dan mentoring

(pembinaan) (Joo, 2008). Bagi organisasi, coaching dan mentoring dalam tingginya kualitas LMX adalah strategi penting bagi manajemen dalam menarik dan mempertahankan orang-orang terbaik, membantu karyawan bekerja dalam potensi mereka, dan membangun budaya pembelajaran organisasional. Berdasarkan paparan hasil-hasil penelitian terdahulu tersebut, maka

dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H1 : Budaya pembelajaran organisasional dan kualitas LMX berhubungan secara positif. b. Budaya Pembelajaran Organisasional dan Komitmen Organisasional Sebuah lingkungan yang berorientasi pembelajaran menciptakan banyak manfaat bagi individu dan organisasi; di antaranya adalah komitmen organisasional (Maurer & Lippstreu, 2008). Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kegiatan pelatihan dan pendidikan tidak hanya mengembangkan dan meningkatkan keterampilan dan kemampuan karyawan, tetapi juga meningkatkan komitmen mereka pada organisasi (Hsu, 2009). Meyer dan Allen (1990) menyimpulkan bahwa

komitmen dapat dipengaruhi oleh pengalaman pelatihan dan mempengaruhi motivasi karyawan untuk pelatihan di masa depan. Hsu (2009) menemukan bahwa tingkat komitmen yang tinggi dapat dihubungkan dengan sikap positif dari sharing pengetahuan. Tujuan pembelajaran dari suatu perusahaan memiliki hubungan positif dengan komitmen organisasional yang mempengaruhi aliansi dan kinerja perusahaan secara signifikan. Pool dan Pool (2007) melaporkan bahwa para eksekutif dengan tingkat komitmen organisasional dan motivasi kerja yang tinggi tercipta di dalam sebuah organisasi dengan tingkat pembelajaran organisasional yang lebih tinggi. Maurer dan Lippstreu (2008) berpendapat bahwa organisasi-organisasi yang menciptakan mekanisme dan sebuah lingkungan yang mendukung untuk belajar dan pengembangan, akan meningkatkan keterlibatan belajar karyawan, dan pengalaman belajar ini meningkatkan komitmen mereka. Dengan demikian, kemungkinan bahwa semakin banyak karyawan merasa bahwa organisasi menyediakan kesempatan untuk belajar, dialog dan penyelidikan, pembelajaran tim, sistem yang didirikan, pemberdayaan, koneksi sistem, dan kepemimpinan strategis, semakin tinggi mereka merasa dekat pada organisasi secara psikologis. Selain itu, sejumlah penelitian secara langsung menguji hubungan antara budaya pembelajaran organisasional dan komitmen organisasional. Lim dalam Joo (2008) juga melaporkan bahwa ada korelasi yang moderat tapi signifikan antara komitmen afektif organisasional dan sub-konstruksi budaya pembelajaran

organisasional. Sebuah korelasi positif antara budaya pembelajaran organisasional dan komitmen organisasional juga ditemukan oleh Wang dan Xie dalam Hsu (2009). Organisasi yang memiliki budaya pembelajaran organisasional dengan tingkat tinggi akan menciptakan komitmen organisasional dan motivasi kerja yang tinggi pula.

Berdasarkan

paparan

hasil-hasil

penelitian

terdahulu

tersebut,

maka

dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H2 : Budaya pembelajaran organisasional berhubungan secara positif dengan komitmen organisasional. c. Kualitas LMX dan Komitmen Organisasional Komitmen organisasional menggambarkan loyalitas seorang karyawan pada organisasi (sebagai contoh, bangga terhadap organisasi dan internalisasi tujuan-tujuan organisasi) dan keterlibatannya dalam organisasi (sebagai contoh, berusaha secara personal demi kepentingan-kepentingan organisasi) (Mowday, 1998). Beberapa penelitian telah menunjukkan pentingnya kualitas LMX sebagai anteseden dari komitmen organisasional. Karyawan yang merasakan rendahnya hubungan pertukaran dengan atasannya akan kurang berniat dalam berkomitmen pada organisasi, sebaliknya, karyawan yang merasakan tingginya kualitas hubungan pertukaran akan berkomitmen tinggi pada organisasi (Graen & Uhl-Bien, 1995) Banyak literatur tentang komitmen organisasional telah mengidentifikasi anteseden komitmen organisasional. Pertama adalah supportiveness; beberapa studi telah memberikan bukti pendukung memainkan peran penting dalam meningkatkan komitmen organisasional. Graen dan Uhl-Bien (1995) menunjukkan hubungan kuat antara persepsi karyawan atas dukungan dan komitmen organisasional. Meyer dan Allen (1990) menunjukkan bahwa komitmen organisasional yang kuat ada dalam organisasi yang suportif. Organisasi yang suportif ini merujuk kadar

keterlibatan pemimpin dalam komunikasi dua arah, mendengar, mendorong, serta melibatkan bawahan dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan (Norman & Richard, 1993). Dengan dilibatkannya karyawan dalam pemecahan masalah dan

pengambilan

keputusan

oleh

atasan,

akan

muncul

perasaan

dibutuhkan, perasaan dipentingkan, dan rasa memiliki terhadap perusahaan yang kuat dari karyawan, yang pada akhirnya akan meningkatkan komitmen karyawan terhadap perusahaan (Meyer & Allen, 1990). Bukti tambahan tentang pentingnya dukungan berasal dari laporan penelitian komitmen organisasional yang kuat di antara karyawan yang melihat kesesuaian antara tujuan-tujuan mereka sendiri dan orang-orang dari organisasi (Joo, 2008). Berdasarkan paparan hasil-hasil penelitian terdahulu tersebut, maka

dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H3 : Kualitas LMX berhubungan secara positif dengan Komitmen Organisasional. d. Komitmen Organisasional dan Niat Untuk Keluar Bidang manajemen dan psikologi telah mengeksplorasi tindakan untuk keluar dan niat untuk keluar dalam hubungannya dengan komitmen organisasional (Mowday, 1998). Hubungan antara niat untuk keluar, komitmen, dan kepuasan telah didukung dalam Bluedorn (1982). Konsekuensi dari komitmen organisasional telah dipelajari secara ekstensif. Didasarkan pada keyakinan bahwa komitmen

organisasional terkait dengan pergantian karyawan, sejumlah penelitian telah dilakukan terkait dengan niat untuk keluar (Meyer & Allen, 1990). Prediktor terbaik dari niat untuk keluar adalah kepuasan kerja, komitmen organisasional, komitmen profesional, dan kelelahan emosional (burnout) (Barak et al. dalam Hsu, 2009). Hubungan yang konsisten antara kepuasan, komitmen, dan niat untuk keluar sangat mendukung "dimasukkannya komitmen organisasional dalam proses kausal mengarah ke niat untuk keluar" (Bluedorn, 1982).

Di masa lampau, banyak studi tentang komitmen organisasional yang terkait dengan niat untuk keluar telah diperiksa. Mathieu dan Zajac (1990) mendukung prediksi Mowday bahwa komitmen organisasional memiliki hubungan negatif dengan niat untuk keluar. Penelitian mereka juga menyiratkan bahwa seorang karyawan yang berkomitmen untuk organisasi lebih mungkin untuk tetap bertahan di pekerjaan nya. Berdasarkan paparan hasil-hasil penelitian terdahulu tersebut, maka

dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H4 : Komitmen organisasional berhubungan secara negatif dengan Niat untuk keluar. I. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian Desain penelitian adalah rencana struktur penelitian yang mengarahkan proses dan hasil penelitian sedapat mungkin menjadi valid, obyektif, efisien, dan efektif (Jogiyanto, 2004). Penelitian ini menggunakan desain survey yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. 2. Populasi, sampling, dan teknik sampling a. Populasi Populasi adalah sekumpulan dari orang, kejadian atau sesuatu yang menjadi perhatian peneliti untuk diteliti (Sekaran, 2000). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surakarta sebanyak 370 karyawan. b. Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi yang terdiri atas sejumlah anggota yang dipilih dari populasi (Sekaran, 2000). Tujuan

penggunaan sampel adalah agar mampu menarik kesimpulan dari penggeneralisasian populasi yang dijadikan obyek penelitian. Hair et al. (1998) menyatakan bahwa ukuran sampel minimum yang sesuai untuk metode SEM adalah antara 100-200 dan minimum absolutnya adalah 50, demikian juga dalam Ghozali (2005) jumlah sampel yang diperlukan dalam SEM adalah minimal 100. Jadi peneliti mengambil sampel minimum 100 orang responden sebagai sampel yang akan digunakan. c. Teknik Sampling Teknik sampling adalah proses pemilihan sejumlah elemen dari populasi yang akan dijadikan sebagai sampel (Sekaran, 2000). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah convenience sampling. Convenience sampling adalah pengumpulan data atau informasi dari anggota populasi yang tersedia dan bersedia memberikannya (Sekaran, 2000). Teknik sampling dengan

convenience sampling dipilih karena perusahaan tidak bersedia untuk memberikan data berupa keterangan identitas karyawan yang akan diambil sebagai responden. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka teknik sampling yang memungkinkan untuk digunakan dalam penelitian ini adalah convenience sampling. Convinience Sampling dilakukan peneliti dengan jalan menitipkan kuesioner kepada petugas personalia PDAM Surakarta, karena peneliti tidak diperkenankan menyebar kuesioner sendiri langsung ke karyawan. Kuesioner tersebut nantinya oleh petugas personalia PDAM Surakarta dibagikan kepada responden.

3. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel Leader-Member Exchange, variabel Organizational Learning Culture, variabel Komitmen Organisasional, dan variabel Niat untuk keluar. Pengukuran setiap variabelnya menggunakan skala Likert jenjang 5 point (1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = netral, 4 = setuju, 5 = sangat setuju). a. Variabel Independen : Kualitas Leader-Member Exchange Kualitas Leader-member exchange (LMX) adalah kualitas

hubungan timbal balik interpersonal antara atasan dan bawahannya, yang menentukan jumlah dari usaha fisik maupun mental, sumber daya materi, informasi, dan dukungan sosial yang timbal balik antara atsan dan bawahan. Variabel Kualitas LMX diukur dengan menggunakan skala LMX 7-item yang dikembangkan oleh Scandura dan Graen dalam Joo (2008). b. Variabel Independen : Organizational Learning Culture Organizational organisasi dalam Learning menciptakan, Culture merupakan dan kemampuan menyalurkan

memperoleh

pengetahuan, dan memodifikasi perilaku organisasi untuk merefleksikan pengetahuan dan wawasan baru. Variabel Organizational Learning Culture diukur dengan

menggunakan 7 item pertanyaan versi yang diperpendek dari dimensidimensi dari kuesioner pembelajaran organisasional (DLOQ) yang disarankan Marsick dan Watkins (2003).

c.

Variabel Independen Untuk Niat Untuk Keluar : Komitmen

Organisasional Komitmen Afektif adalah suatu komitmen organisasional di mana karyawan memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bekerja pada organisasi karena ada kesamaan atau kesepakatan antara nilai-nilai personal individu dengan organisasi yang lebih menekankan kepada sikap emosional karyawan dan karyawan merasakan suatu keterikatan secara psikologis dengan organisasinya sehingga mempengaruhi perilakunya terhadap tugas yang diterimanya. Perilaku yang dimaksud adalah perilaku positif yang menunjang penyelesaian tugas dengan baik. Dari tiga karakteristik komitmen organisasional (yaitu, afektif, berkelanjutan, dan normatif), dalam studi ini peneliti menggunakan komitmen afektif organisasional karena penelitian terdahulu menunjukkan bahwa komitmen afektif organisasional, yang mengacu pada keterikatan emosional karyawan terhadap organisasi, identifikasi diri karyawan dengan organisasi, dan keterlibatannya dalam organisasi (Meyer dan Allen, 1990), adalah prediktor terkuat untuk faktor organisasional, seperti retensi karyawan, dibandingkan dengan komponen komitmen

organisasional yang lain (Joo, 2008). Variabel komitmen afektif organisasional diukur dengan skala komitmen afektif 8-item pertanyaan yang disarankan Meyer dan Allen (1990). d. Variabel Dependen : Niat Untuk Keluar Niat untuk keluar atau keinginan untuk berhenti merupakan maksud dan keinginan karyawan untuk berhenti bekerja atau keluar dari pekerjaannya.

Variabel Niat untuk keluar diukur dengan skala tiga item pertanyaan yang dikembangkan oleh Mobley, Horner, dan Hollingsworth dalam Joo (2008). 4. Sumber Data a. Data Primer Data primer adalah data utama yang diperlukan dalam penelitian. Data primer ini diperoleh melalui kuesioner yang disebarkan dan diisi oleh responden. Dalam penelitian ini data primer yang dibutuhkan meliputi hasil data kuesioner dan/atau hasil wawancara dengan responden. Data inilah yang nantinya akan dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan metode analisis yang telah ditentukan. a. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang dikumpulkan yang digunakan untuk melengkapi data primer dalam menyusun laporan penelitian. Dalam penelitian, data sekunder yang digunakan adalah hasil dari penelitianpenelitian sebelumnya. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka melalui buku-buku atau literature-literature yang ada kaitannya dengan penelitian seperti profil perusahaan dan kondisi institusi tersebut. 5. Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui kuesioner. Merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis reponden untuk dijawab dan kemudian responden memilih alternatif jawaban yang sudah disediakan sehingga responden tidak diberi kesempatan menjawab diluar jawaban yang telah disediakan.

6. a.

Metode Analisis Data Uji Validitas Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuisoner. Suatu kuisoner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuisoner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuisioner tersebut (Ghozali, 2005). Validitas konstruk dari masing-masing model pengukuran diperiksa oleh Confirmatory Factor Analysis (CFA), yang didalamnya memuat alat uji Kaiser-Mayer-Olkin Test (KMO), Bartletts Test of Spehericity (BTS) dan Variance Explained. CFA digunakan untuk mengestimasi validitas yang konvergen dan diskriminasi dari indikator empat konstruksi: budaya pembelajaran organisasional, kualitas LMX, komitmen organisasional, dan niat untuk keluar. Kriteria data yang dapat dianalisis factor adalah data yang menunjukan KMO (Kaiser-Mayer-Olkin Meansure of Sampling Adequency) > 0,5 dan Barletts Test of Spencity memiliki probabilitas 0,000. Tinggi rendahnya validitas suatu angket dapat melihat FL (Factor Loading). Menurut Hair et al., (1998), factor loading lebih besar 0.30 dianggap memenuhi level minimal, factor loading 0.40 dianggap lebih baik dan sesuai dengan rules of thumb yang dipakai para peneliti, dan factor loading 0.50 dianggap signifikan. Jadi semakin besar nilai absolut factor loading, semakin penting loading tersebut

menginterpretasikan konstruknya. Pada penelitian ini menggunakan pedoman factor loading 0,50 sesuai dengan rules of thumb yang dipakai para peneliti. Berdasarkan pedoman tersebut, peneliti menetapkan factor loading yang signifikan adalah lebih dari sama dengan 0,50.

b. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas merupakan tingkat kebebasan dari random errors sehingga alat ukur yang digunakan dapat memberi hasil yang konsisten. Uji reliabilitas digunakan untuk menunjukkan sejauh mana alat pengukur dapat dipercaya dan diandalkan. Reliabilitas merupakan faktor kondisional bagi validitas tetapi data yang reliabel belum tentu valid. Jadi, reliabilitas menyangkut akurasi konsistensi, dan stabilitas alat ukur. Reliabilitas sebenarnya adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Dalam penelitian ini uji reliabilitas dilakukan menggunakan metode Cronbachs Alpha dengan menggunakan bantuan program SPSS for Windows versi 11.5. Apabila angka alpha cronbachs mendekati 1, maka semakin tinggi tingkat reliabilitasnya. (Sekaran, 2000). c. Uji Hipotesis Dalam penelitian ini, pengukuran konstruk dan hubungan antara variabel yang dihipotesiskan diuji dengan menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) dengan menggunakan program Amos versi 4.01. SEM dapat mengestimasi beberapa persamaan regresi berganda secara terpisah namun interpenden secara simultan. Oleh karena itu, SEM adalah teknik yang sangat berguna ketika satu variabel dependen menjadi variabel independen dalam hubungan berikutnya. Structural Equation Model (SEM) adalah suatu teknik statistik multivariat untuk menguji teori struktural yang telah memperoleh popularitas dalam banyak disiplin bisnis.

Pendekatan ini menguji model yang dihipotesiskan secara statistik untuk menentukan sejauh mana model yang diajukan konsisten dengan data sampel. Hair et. al. (1998) mengajukan tahapan pemodelan dan analisis persamaan struktural menjadi beberapa langkah berikut ini: a. Pengembangan model berdasarkan teori Model persamaan struktural didasarkan pada hubungan kausalitas dimana perubahan satu variabel diasumsikan akan berakibat pada perubahan variabel lainnya. b. Menyusun diagram jalur Setelah hubungan kausalitas diketahui maka menyusun hubungan kausalitas dengan diagram jalurnya. c. Menyusun persamaan struktural Diagram jalur yang sudah dibuat diubah menjadi persamaan struktural. Menterjemahkan diagram jalur menjadi persamaan struktural yaitu setiap konstruk endogen merupakan dependen variabel di dalam persamaan yang terpisah. Sehingga variabel independen adalah semua kontruk yang mempunyai garis dengan anak panah yang menghubungkannya ke konstruk endogen. d. Memilih jenis input matrix dan estimasi model yang diinginkan Model persamaan struktural berbeda dari teknik analisis multivariate lainnya. SEM hanya menggunakan data input berupa matix varian / kovarian atau matrix korelasi. Pada penelitian ini analisis SEM di uji dengan menggunakan program AMOS. Data mentah observasi individu dapat dimasukkan dalam program

AMOS, tapi program AMOS akan merubah dahulu data mentah menjadi matrix kovarian atau matrix korelasi. e. Menilai identifikasi model struktural Selama proses estimasi berlangsung dengan program komputer, sering dapat hasil estimasi yang tidak logis atau meaning less dan hal ini berkaitan dengan masalah identifikasi model struktural. Problem identifikasi adalah ketidakmampuan proposed model untuk menghasilkan unique estimate. Cara melihat ada tidaknya problem identifikasi adalah dengan melihat hasil estimasi yang meliputi : 1). Adanya nilai standar error yang besar untuk satu atau lebih koefisien 2). Ketidakmampuan program untuk invert information matrix. 3). Nilai estimasi yang tidak mungkin misalnkan error variance yang negatif. 4). Adanya nilai korelasi yang tinggi (>0,90) antar koefisien estimasi. f. Menilai kriteria goodness of fit Model struktural dikategorikan sebagai good fit, bila memenuhi beberapa kruteria berikut ini: 1) Absolute Fit Measures Absolute fit measures adalah sebuah ukuran kesesuaian model yang tidak disertai penyesuaian derajat overfitting yang mungkin terjadi, meliputi ;

2)

Likelihood Ratio Chi-Square Statistic ( 2 ) Chi Square adalah ukuran goodness of fit yang dapat

dilihat spesifikasinya. Ukuran fundamental dari overall fit adalah Likelihodd Ratio Chi-Square Statistic ( 2 ). Nilai chisquare yang tinggi relatif terhadap degree of freedom

menunjukkan bahwa matik kovarian atau korelasi yang diobsevasi dengan yang diprediksi berbeda secara nyata. Sebaliknya nilai chi square yang kecil akan

menghasilkan niali probabilitas yang lebih besar dari tingkat signifikansi dan ini menunjukkan bahwa input marik

kovarian antara prediksi dengan observasi sesungguhnya tidak berbeda secara signifikan (Ghozali, 2005). 3) Goodness of Fit Index (GFI) GFI (Goodness of Fit Index) dikembangkan oleh Joreskog dan Sorbom (1984) yaitu ukuran non statistik yang nilainya berkisar dari nilai 0 (poor fit) sampai 1.0 (perfect fit). Semakin tinggi nilai GFI mengindikasikan fit yang semakin baik (Ghozali, 2005) 4) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) RMSEA digunakan untuk mengoreksi kecenderungan statistik chi square untuk menolak model yang dispesifikasi jika menggunakan sampel yang cukup besar. Nilai RMSEA antara 0.05 sampai 0.08 merupakan ukuran yang dapat diterima (Ghozali, 2005)

5)

Incremental Fit Measures Incremental Fit Measures membandingkan proposal

model dengan model lain yang ditentukan oleh peneliti yang disebut baseline model (null model), yaitu model yang mengasumsikan bahwa semua variabel laten tidak memiliki hubungan, meliputi : (1).Comparatif Fit Index (CFI) CFI adalah merupakan perbandingan antara model yang diestimasi dengan null model.Besaran indeks ini adalah pada rentang nilai sebesar 0-1 dimana semakin mendekati nilai 1 maka mengindikasikan tingkat fit yang paling tinggi (a very good fit) (Arbuckle dalam Ferdinand, 2002:60). Keunggulan dari indeks ini adalah indeksi ini besarannya tidak dipengaruhi oleh ukuran sampel karena itu sangat baik untuk mengukur tingkat penerimaan sebuah model (Hulland et al dan Tanaka dalam Ferdinand,2002:60). Sehingga CFI cocok digunakan untuk sampel kecil, nilai yang

direkomendasikan adalah > 0,95 (Ferdinand, 2005). (2).Normed Fit Index (NFI) Merupakan ukuran perbandingan antara

proposed model dan null model. Nilai NFI akan bervariasi dari 0 (no fit at all) sampai 1.0 (perfect fit).

Nilai NFI yang direkomendasikan adalah >0.90 (Ghozali, 2005) 6) Menguji kesesuaian model dengan beberapa indeks

tambahan, seperti: Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) dan Tucker-Lewis Index (TLI). Indeks-indeks yang digunakan untuk menguji kelayakan sebuah model dapat diringkas dalam tabel berikut ini:

Goodness of fit Indicies ) Goodness-of-fit Indicies 2 x - Chi Square Probabilitas CMIN/df RMR GFI AGFI TLI CFI RMSEA 1). K 2). 3). 4). 5). 6). Cut-off Value Diharapkan kecil > 0,05