Problem Fix (New)

16
MENGATASI PROBLEMATIKA PARADIGMA MULTIDISIPLINER DAN INTERDISIPLINER RUANG LINGKUP KETERPADUAN ANTAR MAPEL DALAM KURIKULUM 2013 DENGAN MAPEL BAHASA INDONESIA SEBAGAI INTEGRATOR DAN PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MENULIS KARYA ILMIAH INTERDISIPLINER Oleh : Tristan Rokhmawan, 120211538588 S2. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Pascasarjana Universitas Negeri malang A. STUDI PENDAHULUAN A.1 KURIKULUM 2013 Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan bagian dari strategi meningkatkan capaian pendidikan. Disamping kurikulum, terdapat sejumlah faktor diantaranya: lama siswa bersekolah; lama siswa tinggal di sekolah; pembelajaran siswa aktif berbasis kompetensi; buku pegangan atau buku babon; dan peranan guru sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan. Orientasi Kurikulum 2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge). Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 sebagaimana tersurat dalam penjelasan Pasal 35: kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Hal ini sejalan pula dengan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Sejumlah hal yang menjadi alasan pengembangan Kurikulum 2013 adalah (a) Perubahan proses pembelajaran [dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu] dan proses penilaian 1

description

problematika pembelajaran bahasa indonesia kurikulum 2013

Transcript of Problem Fix (New)

MENGATASI PROBLEMATIKA PARADIGMA MULTIDISIPLINER DAN INTERDISIPLINER

RUANG LINGKUP KETERPADUAN ANTAR MAPEL DALAM KURIKULUM 2013

DENGAN MAPEL BAHASA INDONESIA SEBAGAI INTEGRATORDAN

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MENULIS KARYA ILMIAH INTERDISIPLINER

Oleh : Tristan Rokhmawan, 120211538588S2. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Pascasarjana Universitas Negeri malang

A. STUDI PENDAHULUANA.1 KURIKULUM 2013

Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan bagian dari strategi meningkatkan capaian pendidikan. Disamping kurikulum, terdapat sejumlah faktor diantaranya: lama siswa bersekolah; lama siswa tinggal di sekolah; pembelajaran siswa aktif berbasis kompetensi; buku pegangan atau buku babon; dan peranan guru sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan.

Orientasi Kurikulum 2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge). Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 sebagaimana tersurat dalam penjelasan Pasal 35: kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Hal ini sejalan pula dengan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu.

Sejumlah hal yang menjadi alasan pengembangan Kurikulum 2013 adalah (a) Perubahan proses pembelajaran [dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu] dan proses penilaian [dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output] memerlukan penambahan jam pelajaran; (b) Kecenderungan akhir-akhir ini banyak negara menambah jam pelajaran [KIPP dan MELT di AS, Korea Selatan]; (c) Perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat, dan (d) Walaupun pembelajaran di Finlandia relatif singkat, tetapi didukung dengan pembelajaran tutorial.

Sementara itu, Kurikulum 2006 memuat sejumlah permasalahan diantaranya: (1) Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; (2) Kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan; (3) Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum; (4) Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi

1

pada tingkat lokal, nasional, maupun global; (5) Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru; (6) Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala; dan (7) Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir.

Tiga faktor lainnya juga menjadi alasan Pengembangan Kurikulum 2013 adalah, pertama, tantangan masa depan diantaranya meliputi arus globalisasi, masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi, konvergensi ilmu dan teknologi, dan ekonomi berbasis pengetahuan.

Kedua, kompetensi masa depan yang antaranya meliputi kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang efektif, dan kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda.

Ketiga, fenomena sosial yang mengemuka seperti perkelahian pelajar, narkoba, korupsi, plagiarisme, kecurangan dalam berbagai jenis ujian, dan gejolak sosial (social unrest). Yang keempat adalah persepsi publik yang menilai pendidikan selama ini terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif, beban siswa yang terlalu berat, dan kurang bermuatan karakter.

Melalui pengembangan kurikulum seperti ini, para peserta didik di sekolah dasar sampai sekolah menengah diharapkan memiliki tidak saja jumlah pengetahuan dan kemampuan teknis yang memadai tetapi juga sikap dan karakter sebagai individu, anggota masyarakat, dan warga negara Indonesia yang multikultur.

Banyak aspek dalam pengembangan kurikulum mulai dari kompetensi lulusan, struktur kurikulum, materi pembelajaran, proses pembelajaran, standar penilaian, hingga pengelolaan kurikulum itu sendiri. Dalam kurikulum 2013,  kompetensi lulusan harus lengkap memuat aspek-aspek karakter mulia, keterampilan yang relevan, dan pengetahuan-pengetahuan  yang memadai.

Untuk struktur kurikulum, terkait dengan banyaknya mata pelajaran yang merupakan wadah untuk mengasah kompetensi dan jumlah jam belajar perminggu yang diperlukan untuk mencapai standar komptensi lulusan yang diiinginkan.

Untuk materi pembelajaran diarahkan pada penyediaan materi esensial yang relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan dan sesuai dengan tingkat perkembangan anak sehingga peserta didik tidak terbebani terlalu berat. Sedangkan untuk proses pembelajarannya berpusat pada peserta didik (student centered active learning) dan pembelajaran yang bersifat kontekstual yang mengacu pada pendekatan sains melalui proses mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Untuk aspek penilaian, Kurikulum 2013, akan menekankan aspek kognitif, afektif, psikomotorik secara proporsional melalui penilaian berbasis test dan portofolio yang saling melengkapi.

A.2 TEMATIK INTEGRATIF DALAM KURIKULUM 2013Salah satu ciri kurikulum 2013, khususnya untuk SD adalah bersifat tematik

integratif. Dalam pendekatan ini, mata pelajaran IPA dan IPS sebagai materi pembahasan pada semua mata pelajaran. Prosesnya, tema-tema yang ada pada dua pelajaran itu

2

diintegrasikan kedalam sejumlah mata pelajaran. Untuk IPA menjadi materi pembahasan pelajaran Bahasa Indonesia , Matematika, dan lain sebagainya. Untuk IPS menjadi materi pembahasan pelajaran PPKN, Bahasa Indonesia, dan lain sebagainya.

Dua hal penting lain dalam Kurikulum 2013 adalah muatan lokal dan pengembangan diri. Muatan lokal menjadi materi pembahasan Seni Budaya dan Prakarya serta Penjasorkes. Mata pelajaran Pengembangan Diri diintegrasikan ke semua mata pelajaran.

Dengan demikian tidak ada substansi pelajaran yang hilang dari kurikulum SD ini. Substansi pelajaran sains justru menjadi muatan kurikulum. Dengan demikian kurikulum 2013 untuk tingkat SD merupakan kurikulum berbasis sains.

Untuk bahasa Inggris di SD, keberadaannya dipertahankan. Seperti halnya pada kurikulum 2006, bahasa Inggris tetap sebagai mata pelajaran dalam kelompok muatan lokal dalam Kurikulum 2013. Jadi setiap sekolah dapat menyesuaikan untuk membukanya sebagaimana telah berlangsung selama ini.

Sementara itu, untuk kurikulum SMP, SMA dan SMK pendekatannya adalah mata pelajaran. Hal ini juga sejalan dengan kenyataan bahwa guru di SMP, SMA dan SMK adalah guru mata pelajaran. Sementara untuk SD adalah guru kelas.

Sebagaimana penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa kurikulum 2013 memperhatikan aspek keterpaduan multidisipliner dan interdisipliner antar mapel (selain diantaranya keterpaduan intradisipliner dalam mapel dan transdisipliner), sebagaimana terlihat dalam bagan berikut :

Multidisipliner dan interdisipliner adalah hal baru sebagai paradigma berpikir yang mulai diperkenalkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Paradigma ini menyarankan adanya bentuk pengintegrasian antar dua disiplin ilmu. Dengan begitu, siswa diharapkan untuk dapat mengkaji objek keilmuan dari dua atau bahkan lebih ranah keilmuan sekaligus.

Hal inipun dapat dilihat dalam tabel esensi kurikulum 2013 SD, SMP, dan SMA/K berikut :

3

PARADIGMA INTEGRATIF

4

B. PEMBAHASANDengan adanya bentuk tematik integratif yang disusun melalui perpaduan antar mapel

dalam kurikulum 2013 dengan paradigma multidisipliner dan interdisipliner, maka penulis mencoba untuk memahami bagaimanakah sebenarnya deskripsi kedua paradigma tersebut. Sehingga dengan begitu, akan dapat diketahui bagaimana kurikulum 2013 memandang integrasi tematik antar mapel. Selain itu, dengan memahami bentuk multidisipliner dan interdisipliner, kita dapat pula memahami bagaimana kita memperlakukan tiap-tiap unit mapel untuk dapat diintegrasikan satu sama lain dalam bentuk bentuk multidisipliner dan interdisipliner.

Selain mendeskripsikan paradigma multidisipliner dan interdisipliner, berkaitan dengan pembelajaran Bahasa Indonesia, penulis mencoba mengarahkan kepada bagaimana Bahasa Indonesia sebagai disiplin ilmu praktis bertindah sebagai jembatan antar mapel untuk dapat berintegrasi satu sama lain. Sebagaimana yang tersurat dalam tabel esensi kurikulum diatas, Bahasa Indonesia bertindak sebagai :

- penghela (penarik) mapel lain, dalam kurikulum SD

- alat komunikasi dan carier of knowledge (pembawa ilmu), dalam kurikulum SMP, SMA, dan SMK.Dengan begitu, dapat diambil sebuah hipotesis bahwa Bahasa Indonesia dapat

menjadi integrator untuk menunjang hadirnya paradigma multidisipliner dan interdisipliner dalam kurikulum 2013.

Dengan ini, penulis merumuskan beberapa sub pembahasan diantaranya :1. Bagaimana sebenarnya multidisipliner dan interdisipliner?2. Bagaimana kita merumuskan kurikulum multidisipliner dan interdisipliner?3. Bagaimana kita dapat memanfaatkan pembelajaran bahasa indonesia sebagai

integrator?4. Bagaimana mengembangkan pembelajaran Bahasa Indonesia kearah pembelajaran

multidisipliner?

B.1 PARADIGMA MULTIDISIPLINER DAN INTERDISIPLINERMultidisipliner dan interdisiplinerseringkali disalah artikan sebagai hal yang sama

sehingga banyak menyebabkan kebingungan akan esensi keduanya. Selain multi dan interdisipliner, ada beberapa paradigma lain yang juga merupakan bentuk penyudutpandangan sebuah objek dengan beberapa studi diantaranya krosdisipliner dan transdisipliner.

Multidisipliner merujuk pada penempatan secara berdampingan wawasan dari dua atau lebih disiplin ilmu. Contohnya, seperti mengundang instruktur dari berbagai disiplin ilmu untuk menjelaskan sesuatu (topik) berdasarkan perspektif wawasannya sengan model serial, namun tidak mencoba untuk mengintegrasikan perspektif wawasan yang diproduksi oleh setiap disiplin dalam memahami topik. Tidak ada pengintegrasian nyata (eksplisit) diantara tiap-tiap disiplin ilmu. Kerja multidisipliner hanyalah membawa wawasan dari setiap disiplin ilmu namun gagal untuk terlibat dalam kerja keras integrasi. Perbedaan yang memisahkan setiap disiplin ada pada mekanisme proses penelitian dan produk akhir yang berbeda dan tidak saling berhubungan.

5

Multidisipliner mengkombinasikan beberapa daerah konten yang berkaitan dengan satu masalah, tetapi tanpa dengan sengaja mengintegrasikannya. Variasi-variasi disiplin (ilmu) ditawarkan secara serempak, namun tanpa membuat hubungan yang memungkinkan secara eksplisit diantaranya.

Interdisipliner terdiri atas dua bagian : inter dan disipliner. Prefiks “inter” berarti “diantara, di tengah-tengah”. “Disipliner” berarti “berelasi pada atau terkait bidang studi tertentu” atau spesialisasi. Jadi, poin awal definisi interdisipilner adalah “diantara bidang studi”. “inter” juga berarti “berasal dari dua atau lebih”. Interdisiplinaritas adalah esensi studi interdisipliner, yang mana termanifestasi melalui penelitian yang terdisi atas dua atau lebih domain pengetahuan. “Inter” berarti diantara bidang studi. Ruang “antara” yang dimaksud adalah ruang perdebatan. Banyak studi interdisipliner meneliti medan perdebatan—permasalahan atau pertanyaan yang merupakan fokus berbagai disiplin ilmu. William H. Newell menekankan bahwa uji interdisiplineritas permasalahan bukanlah jarak dari setiap disiplinyang berkontribusi melalinkan apakah permasalahan secara fundamental multi-faceted (bersisi ganda) atau kompleks. Poin pentingnya adalah bahwa disiplin bukan fokus perhatian pelaku interdisipliner; fokusnya adalah permasalahan atau persoalan atau pertanyaan intelektual yang diatasi setiap disiplin. Disiplin ilmu hanyalah sarana untuk itu. “Inter” berarti sesuatu yang berasal dari bidang studi. “sesuatu yang berasal dari bidang studi” adalah wawasan (yaitu, tulisan ilmiah pada sebuah topik) kedalam permasalahan spesifik yang dihasilkan oleh disiplin yang tertarik. Tindakan yang diambil dalam wawasan ini oleh pelaku interdisipliner disebut integrasi.Integrasi adalah bagian dari proses penelitian intersidipliner yang berusaha mendamaikan disiplin yang saling bertentangan wawasan. Hasil integrasi—dan aspek lain atas prefiks inter—adalah sesuatu yang samasekali baru, khas, terpisah dari, dan melampaui batas-batas dari setiap disiplin dan, dengan demikian, menambah ilmu pengetahuan. Hasil integratif adalah pemahaman interdisipliner atas permasalahan. Pemahaman ini dapat digunakan untuk memformulasikan kebijakan baru, bingkai pertanyaan-pertanyaan baru, memproduksi produk baru, dan memupuk kesempatan baru atas penelitian. Ini menjadi tambahan pengetahuan, namun, tidak menutup interdiplinaritas mengkritik disiplin atau menginterogasi struktur pengetahuan dan nilai sosial.Di dalam paradigma interdisipliner, aksiomatik umum untuk kelompok disiplin yang berelasi didefinisikan pada tingkat level hirarki berikutnya yang lebih tinggi atau sub-level, dengan demikian memperkenalkan pengertian tujuan ; dorongan aksi interdisiplineritas antara level empiris dan pragmatis, interdisiplineritas normatif antara level pragmatik dan normatif, interdisiplineritas bertujuan antara level normatif dan purposif. Setiap disiplin ilmu yang berintegrasi membentuk sebuah ilmu baru dengan level yang lebih tinggi dari level disiplin ilmu pembentuknya. Tujuan dari integrasi adalah untuk memenuhi kebutuhan akan integrasi disiplin dalam menjelaskan objek kajian secara pragmatis (sesuai kebutuhan), empiris, normatif, dan purposif (untuk tujuan tertentu).

6

Kita dapat memberikan metafora pada perbedaan antara multi dan interdisipliner dengan salad buah dan jus buah. Multi disipliner kita ibaratkan sebagai salad buah yang berisikan berbagai macam buah-buahan. Setiap buah mewakili satu disiplin ilmu dan setiap buah saling berdekatan. Proporsi setiap potongan buah dalam mengisi salad tidak didasarkan pada sesuatu yang lebih penting selain daya tarik visual. Begitupun dengan apa yang kita lakukan dengan berbagai sudut pandang disiplin dalam multidisipliner. Kita menggunakan berbagai macam wawasan yang berbeda untuk mengisi penjelasan terhadap sebuah topik dengan caranya masing-masing tanpa peduli dimana kita memberikan porsi yang lebih untuk sebuah disiplin ilmu. Pada intinya, tujuan kita hanyalah menjelaskan sesuatu dari berbagai disiplin ilmu untuk memperkaya sudut pandang.

Lain daripada itu, interdisipliner dapat kita ibaratkan dengan jus buah. Moti Nissani (1995) membandingkannya dengan “smoothie”. “smoothie” adalah campuran yang halus sehingga rasa yang khas dari setiap buah tidak dikenali lagi, dan sebaliknya, memberikan kesan rasa baru yang khas dan “smoothie” yang lezat. Metafora smoothie dalam jus buah untuk menggambarkan interdisipliner menggambarkan 4 karakteristik penting interdisipliner yang patut dipelajari diantaranya : 1) seleksi buah-buahan (disiplin ilmu) tidak secara acak, namun tapi mengarah pada tujuan akhir produk dengan perkiraan yang jelas. 2) proses terintegratif, dengan arti bahwa merubah kontribusi (rasa) masing-masing buah (disiplin ilmu). 3) produk, dibandingkan dengan bahan-bahan yang digunakan, merupakan sesuatu yang baru dan komprehensif. 4) aktifitas terbatas pada satu ruang dan waktu tertentu untuk menghasilkan suatu produk baru dan tunggal.

B.2 RUMUSAN KURIKULUM MULTIDISIPLINER DAN INTERDISIPLINER DALAM KURIKULUM 2013

Landasan dari pemikiran kurikulum interdisipliner adalah dengan adanya beberapa tema umum yang bergerak kearah pemikiran hubungan diantara ladang pengetahuan dari berbagai disiplin yang berbeda (atau mungkin sengaja dibedakan). Tema-tema yang muncul pasca pemikiran interdisipliner ini diantaranya adalah (Mathison dan Freeman, 1997):

Kritik atas disiplin yang terisolasi sebagai hal yang statis dan lepas dari realita pengalaman sehari-hari (Braunger & Hart-Landsberg, 1994; Hurd, 1991; Nielsen, 1989; Tanner, 1989);

Inklusi pengetahuan personal, pengalaman, atau sudut pandang sebagai hal yang relevan untuk perkembangan semua kegiatan belajar (Beane, 1992, 1995; Harter & Gehrke, 1989; Hurd, 1991; Kovalik & Olsen, 1994; Nielsen, 1989; St Clair & Hough, 1992; Yager, 1981);

Pendekatan pedagogic yang menempatkan penelitian dan kecakapan inkuiri pada tengah-tengah pengorganisasian kurikulum (Berlin & White, 1994; Martinello & Cook, 1994; Marzano, 1994; McBride & Silverman, 1991; St Clair & Hough, 1992); dan

7

Pandangan bahwa belajar tentang atau membentuk koneksi diantara ladang-ladang pengetahuan adalah esensi pembelajaran yang dibutuhkan untuk sukses di abad 21 (Boyer, 1991; Caine & Caine, 1991; Dwyer, 1995; Jacobs, 1989; Martinello & Cook, 1994; Nielsen, 1989).

Untuk tujuan dari perkembangan inilah pembelajaran berbasis metode interdisipliner mulai dibicarakan. Coffey dalam sebuah artikel jurnal berjudul Interdisciplinary Teaching, memberikan beberapa pertimbangan dalam mengembangkan kurikulum interdisipliner yang dikutipnya dari Jacobs, H. H. & Borland, J.H. (1986) "The Interdisciplinary Concept Model: Design and Implementation”. Hal tersebut diantaranya diantaranya :

Siswa dapat memiliki cakupan pengalaman kurikulum yang merefleksikan kedua simpanan-disiplin ilmu dan orientari interdisipliner…siswa tidak dapat mendapat manfaat secara penuh melalui studi interdisipliner sampai mereka memperoleh landasan yang kuat pada variasi disiplin yang secara interdisipliner dicoba untuk dipertemukan.

Guru harus mendesain dan mengimplementasikan kurikulum berbasis pada cakupan dan rangkaian disiplin yang terintegrasi dan menjadi cukup fleksibel untuk membangun dan merevisi kurikulum menurut kebutuhan siswa

Kurikulum interdisipliner dapat hanya bisa digunakan ketika masalah merefleksikan kebutuhan untuk mengatasi pemecahan, relevansi, dan pengembangan pengetahuan

Unit interdisipliner dapat dibagi dengan semua anggota fakultas, administrasi, dan komunitas, sehingga dengan begitu dapat memiliki kesempatan untuk berkontribusi terhadap pengetahuan dan kemampuan mereka.

Unit interdisipliner dapat melibatkan siswa dalam pertanyaan epistemologis seperti “apa itu pengetahuan?” “bagaimana kita bisa tahu?” dan “bagaimana kita dapat menghadirkan pengetahuan di sekolah?”

Unit interdisipliner menawarkan kepada siswa kesempatan untuk melihat koneksi dan relevansi diantara topik dan menyediakan variasi perspektif.

Siswa dapat terlibat dalam perencanaan dan pengembangan unit interdisipliner.Agaknya, model pembelajaran dengan unit inerdisipliner ini akan sangat mudah

dilakukan dalam tingkat satuan pendidikan sekolah dasar. Hal ini berdasarkan adanya pertimbangan bahwa pengembangan unit interdisipliner membutuhkan pengalaman dan penguasaan guru atas unit-unit yang diintegrasikan. Dengan dasar inilah kurikulum 2013 menerapkan kurikulum berbasis tematik sains sebagai muatan umum dalam kurikulumnya.

Bagaimana dengan kurikulum ditingkat SMP, SMA, dan SMK? Kurikulum SMP, SMA dan SMK pendekatannya adalah mata pelajaran. Hal ini juga sejalan dengan kenyataan bahwa guru di SMP, SMA dan SMK adalah guru mata pelajaran. Namun apakah paradigma interdisipliner dan multidisipliner tidak dapat diterapkan pada tingkatan ini?

Jika melihat kembali dalam kurikulum tingkat SMP, SMA, dan SMK, kurikulum 2013 mengikat tiap-tiap mapel dan mengaitkannya satu sama lain dengan kompetensi dasar yang diikat oleh kompetensi inti tiap kelas. Selain itu, kita mendapati bahwa bahasa Indonesia ditetapkan sebagai alat komunikasi dan pembawa pengetahuan.

Nampaknya, paradigma interdisipliner tidak benar-benar ada dalam kurikulum 2013. Baik di tingkat SD, SMP, SMA, maupun SMK. Paradigma berfikir kita masih berada pada ranah multidisipliner yang menghadirkan konten melalui tematik kurikulum dan mengupasnya dengan menggunakan beberapa disiplin ilmu secara terpisah dengan kaca mata wawasan yang berbeda. Tema atau konten yang ada hanya dikaji secara terpisah oleh setiap disiplin. Agaknya, kita pun masih memiliki kesulitan untuk bersikap interdisipliner. Dimana dalam paradigma ini, kita dituntut untuk mengintegrasikan tiap-tiap disiplin dalam mengupas sebuah materi.

8

Selama ini, kita biasa menghadirkan sebuah tema problematis seperti “Tidak Meratanya Perkembangan Penduduk di Indonesia” kemudian menggunakannya sebagai tema dalam pembelajaran ekonomi, sosiologi, dan geografi bukanlah suatu bentuk integrasi, melainkah multidisipliner. Dengan tema tersebut, selama ini kita memanfaatkannya sebagai topik dalam pembicaraan mapel sosiologi, misalnya dengan menghitung jumlah penduduk dan pendapatan perkapitanya dalam mapel ekonomi, menganalisis ketimpangan sosial pada wilayah tertentu dalam mapel sosiologi, dan menganalisis demografi wilayah dalam mapel geografi.

Hal ini jelas tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap perkembangan ilmu dan paradigma berfikir terintagrasi pada diri siswa. Padahal, kita bisa saja menerapkan sudut pandang sosio-ekonomi dengan melihat bagaimana secara ketimpangan jumlah dan pendapatan perkapita dapat mempengaruhi bentuk-bentuk ksisis sosial dalam masyarakat, atau melalui sudut pandang sosio-geografi dengan melihat bagaimana kondisi demografi kewilayahan dapat mempengaruhi keberagaman perilaku sosial dalam masyarakat. Pertanyaan akhir yang muncul dalam benak kita adalah siapa yang akan memikirkan hal itu?

B.3 PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI INTEGRATORKita dapat memanfaatkan bahasa indonesia sebagai integrator yang mampu membawa

konsep pembelajaran pada paradigma interdisipliner. Proses mengintegrasikan disiplin ilmu dalam interdisipliner adalah proses berfikir logis menuju pada perumusan penjelasan-penjelasan pragmatis, empiris, normatif, dan pusposif baru dengan menggunakan dua atau lebih sudut wawasan disiplin yang disatukan. Hal ini adalah proses pengembangan kognitif terkait pengembangan logika ilmu pengetahuan. Selain sebagai sebuah mata pelajaran, Bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013 juga dianggap sebagai pembawa ilmi pengetahuan (carrier of knowledge). Maka dengan ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa melalui pengajaran bahasa Indonesia, kita dapat sekaligus membangun pola berfikir kita kearah interdisipliner.

Selain itu, sebagaimana yang kita ketahui, bahwa pengembangan konsep, kognitif, proses berfikir, dan keilmuan biasa dilakukan melalui serangkaian penelitian. Hal inilah yang belum kita sisipkan dalam mengajarkan materi penelitian ilmiah dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Kita terbiasa mengajarkan materi penelitian sebagai seperangkat sistem kaku yang wajib diikutisebagaimana prosedur.

Kita melupakan esensi pengajaran penelitian ilmiah sebagai salah satu sarana mengembangkan sikap berfikir ilmiah dengan dimulai dari memahami latar belakang fakta dan fenomena empiris, merumuskan permasalahan, menentukan tujuan, membangun landasan teoritis atau grand theory sebagai modal dalam menjelaskan permasalahan, melakukan telaah dan pembahasan, atau membangun grounded theory jika teori dasar tidak ada atau tidak dapat menjelaskan fakta empiris. Hal ini, secara otomatis menuntut para pengampu mata pelajaran bahasa Indonesia untuk menjadikan mata pelajaran ini sebagai mata pelajaran dengan muatan ilmiah (sebagaimana mata pelajaran sains).

B.4 PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MENULIS KARYA ILMIAH INTERDISIPLINER

Materi pembelajaran menulis karya ilmiah telah menjadi salah satu kompetensi dasar yang disampaikan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dengan ini, kita dapat memanfaatkan materi ini untuk menjadi integrator dari berbagai mata pelajaran lain untuk

9

kemudian mengarahkannya pada paradigma interdisipliner sebagaimana yang diharapkan dalam kurikulum 2013.

Langkah-langkah pembelajaranBeberapa langkah pembelajaran yang dapat dilakukan dalam pembelajaran menulis

karya ilmiah interdisipliner ini diantaranya :1. Menjelaskan sistematika karya ilmiah sebagai proses berpikir ilmiah dalam

membangun kerangka teoritis untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan berpikir ilmiah.

Penjelasan terkait sistematika penelitian tidak hanya ditujukan untuk menetapkan seperangkat aturan penulisan karya ilmiah, melainkan juga diharapkan untuk mampu membangun pengembangan kemampuan kognitif siswa untuk dapat berfikir ilmiah. Melalui sistematika penelitian, kita diharapkan untuk dapat : menjelaskan bagaimana proses berpikir ilmiah; mengeksplorasi fakta; menemukan fenomena; merumuskan permasalahan; merumuskan hipotesis/asumsi; mencari pendukung penjelasan teoritis; menelaah permasalahan secara teoritis; dan menemukan jawaban, kesimpulan, hubungan-hubungan (korelasi), perbedaan-perbedaan (komparasi), dan lain sebagainya.

2. Siswa mengeksplorasi fakta dan memilih fenomena dan permasalahan empiris yang multi-faced atau memungkinkan untuk ditelaah dengan lebih dari satu wawasan keilmuan / disiplin ilmu.

3. Membangun dasar teoritis atas permasalahan empiris dari dua atau lebih ranah ilmu yang digunakan, sesuai dengan fokus disiplin yang digeluti siswa (misal : siswa IPS yang menkaji sosio-ekonomi, siswa IPA yang mengkaji bio-kimia, siswa IB mengkaji sosio-bahasa, dll).

4. Memberikan penjelasan atas permasalahan berdasarkan teori dari dua atau lebih ranah keilmuan secara terpisah (multidisipliner).

5. Merumuskan rasional hubungan (integrasi) antara hasil penjelasan dari dua ranah keilmuan dengan logika hubungan korelas sebab akibat (interdisipliner).

10

-

11

Multi-faced

problem

KEPADATAN

PENDUDUK YANG TIDAK

MERATA

Contoh penerapan pembelajaran multi & interdisipliner di kelas XII IPS - SMA

Sosiolog

i

Ekonom

i PKN

Geografi

Mapel

TEMA

Kesenjangan sosial dalam masyPendapatan

perkapitaNorma sosial dalam masyarakat multikultur

Peta topografi wilayah dan kepadatan penduduk

Perbedaan pendapatan perkapita berdasarkan topografi kewilayahan

Sosiologi

Ekonom

i PKN

Geografi

MAPEL Kesenjangan sosial dalam masyPendapatan

perkapita

Peta topografi wilayah dan kepadatan penduduk

Kesenjangan sosial dalam masy akibat

kesenjangan pendapatan

Sosio-ekonomi

Perbedaan norma masyarakat

berdasarkan peta topografinya

Geografi kemasyarakat

an

Geografi-ekonomi

Norma sosial dalam masyarakat multikultur

Multidisiplin

Interdisiplin