Proposal Tpp Fix New(1)

90
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi organ tubuh yang terkena. Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme kelainan imunologi, dan gangguan faal berbagai organ. Penderita trauma berat mengalami gangguan faal yang penting, seperti kegagalan fungsi membran sel, gangguan integritas endotel, kelainan sistem imunologi, dan dapat pula terjadi koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC /diseminated intravascular coagulation) (Sjamsuhidajat, de jong. 2010). Banyak dari korban trauma tersebut mengalami cedera berupa fraktur, dislokasi, dan cedera jaringan lunak. Cedera cenderung meningkat dan akan mengancam kehidupan kita. Cedera dapat menyebabkan kematian dan juga dapat menimbulkan penderitaan fisik, stress mental dan kehilangan banyak waktu. Jadi dalam hal ini, cedera dapat meningkatkan angka kejadian morbiditas dan angka kejadian mortalitas (Rasjad C,2003). Trauma kepala merupakan kedaruratan neurologik yang memiliki akibat yang kompleks, karena kepala merupakan pusat kehidupan 1

description

jenis trauma

Transcript of Proposal Tpp Fix New(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja

sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang

didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi

organ tubuh yang terkena. Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi

sehingga terjadi gangguan metabolisme kelainan imunologi, dan gangguan faal

berbagai organ. Penderita trauma berat mengalami gangguan faal yang penting,

seperti kegagalan fungsi membran sel, gangguan integritas endotel, kelainan

sistem imunologi, dan dapat pula terjadi koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC

/diseminated intravascular coagulation) (Sjamsuhidajat, de jong. 2010).

Banyak dari korban trauma tersebut mengalami cedera berupa fraktur,

dislokasi, dan cedera jaringan lunak. Cedera cenderung meningkat dan akan

mengancam kehidupan kita. Cedera dapat menyebabkan kematian dan juga dapat

menimbulkan penderitaan fisik, stress mental dan kehilangan banyak waktu. Jadi

dalam hal ini, cedera dapat meningkatkan angka kejadian morbiditas dan angka

kejadian mortalitas (Rasjad C,2003). Trauma kepala merupakan kedaruratan

neurologik yang memiliki akibat yang kompleks, karena kepala merupakan pusat

kehidupan seseorang. Di dalam kepala terdapat otak yang mempengaruhi segala

aktivitas manusia, bila terjadi kerusakan akan mengganggu semua sistem tubuh.

Penyebab trauma kepala yang terbanyak adalah kecelakaan bermotor (50%), jatuh

(21%) dan cedera olahraga (10%). Angka kejadian trauma kepala yang dirawat di

rumah sakit di Indonesia merupakan penyebab kematian urutan kedua (4,37%)

setelah stroke, dan merupakan urutan kelima (2,18%) pada 10 pola penyakit

terbanyak yang dirawat di rumah sakit di Indonesia (Depkes RI, 2007).

Pada cedera fisik yang memerlukan tindakan pembedahan akut didapatkan

bahwa 10% diantaranya adalah akibat dari trauma tumpul didaerah abdomen.

Trauma tumpul abdomen dapat menyebabkan cedera organ intra abdomen berupa

ruptura organ padat seperti hepar dan lien atau perforasi organ berongga seperti

lambung dan usus. Cedera intra abdomen pada pemeriksaan awal sulit untuk

1

dideteksi. Apalagi bila penderita datang dalam keadaan tak sadar akibat trauma

didaerah kepala atau akibat intoksikasi alkohol (Soemarko, 2004). Menurut

National Consultant for Injury dari WHO Indonesia (dikutip dari data kepolisian

RI) terdapat kecelakaan selama tahun 2007 memakan korban sekitar 16.000 jiwa

dan di tahun 2010 meningkat menjadi 31.234 jiwa di Indonesia.

Dengan demikian masalah trauma memerlukan perhatian yang serius dan

sangat penting untuk diketahui oleh mahasiswa kedokteran, maka dari itu kami

akan melakukan Tugas Pengenalan Profesi yaitu Observasi pasien trauma/pasca

trauma di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa saja jenis trauma pada pasien yang dijumpai di IGD Rumah Sakit

Bhayangkara Palembang?

2. Apa etiologi trauma yang dialami pasien trauma/ pasca trauma yang

dijumpai di IGD Sakit Bhayangkara Palembang?

3. Apa saja manifestasi klinis pada pasien trauma/ pasca trauma yang dijumpai

di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang?

4. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien trauma/ pasca trauma yang

dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang?

5. Apa saja pemeriksaan penunjang pasien trauma/ pasca trauma yang dijumpai

di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang?

6. Apa saja kasus yang paling sering terjadi di IGD Rumah Sakit Bhayangkara

Palembang?

2

1.3. Tujuan Pelaksanaan

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk Mengatahui jenis trauma¸ etiologi trauma, manifestasi klnis,

penatalaksaan, dan pemeriksaan penunjang pada pasien yang mengalami trauma/

pasca trauma yang dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.

1.3.2.Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui jenis trauma yang dijumpai di IGD Rumah Sakit

Bhayangkara Palembang.

2. Untuk mengetahui etiologi trauma pada pasien trauma/pasca trauma yang

dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.

3. Untuk mengetahui manifestasi klinis pasien yang mengalami trauma/ pasca

trauma yang dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.

4. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien trauma/ pasca trauma yang

dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.

5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pasien trauma/ pasca trauma yang

dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.

6. Untuk mengetahui kasus yang paling sering terjadi di IGD Rumah Sakit

Bhayangkara Palembang?

1.4. Manfaat

Adapun manfaat dari Tugas Pengenalan Profesi kali ini, adalah sebagai berikut.

1. Untuk penulis dapat menambah ilmu pengetahuan dan sebagai bahan

pembanding antara teori yang di dapat selama kuliah dan praktek di lapangan.

2. Untuk masyarakat dapat berguna sebagai sumber bacaan untuk meningkatkan

ilmu pengetahuan terutama dalam bidang kesehatan.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Trauma

Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja

sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang

didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi

organ tubuh yang terkena. Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi sehingga

terjadi gangguan metabolisme kelainan imunologi, dan gangguan faal berbagai

organ. Penderita trauma berat mengalami gangguan faal yang penting, seperti

kegagalan fungsi membran sel, gangguan integritas endotel, kelainan sistem

imunologi, dan dapat pula terjadi koagulasi intravaskular menyeluruh

(DIC /diseminated intravascular coagulation) (Sjamsuhidajat, de jong. 2010).

Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cedera oleh

salah satu sebab. Penyebab yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas,

kecelakaan kerja, olah raga dan rumah tangga. Setiap tahun 60 juta penduduk

Amerika Serikat mengalami trauma dan 50% memerlukan tindakan medis. 3,6 juta

membutuhkan perawatan di Rumah Sakit. Didapatkan 300 ribu di antaranya

mendapatkan kecacatan yang bersifat menetap (1%) dan 8,7 juta menderita

kecacatan sementara ( 30% ) dan menyebabkan kematian sebanyak 145 ribu orang

per tahun (0,5%). Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas lebih kurang

12 ribu orang per tahun sehingga dapat disimpulkan bahwa trauma dapat

menyebabkan :

1. Angka kematian yang tinggi.

2. Hilangnya waktu kerja yang banyak sehingga biaya perawatan yang besar.

3. Kecacatan sementara dan permanen.

Banyak dari korban trauma tersebut mengalami cedera musculoskeletal

berupa fraktur, dislokasi, dan cedera jaringan lunak. Cedera sistem musculoskeletal

cenderung meningkat dan terus meningkat dan akan mengancam kehidupan kita

(Rasjad C,2003).

4

2.2. Klasifikasi Trauma

2.2.1. Trauma Kapitis

A. Definisi

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara

langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi

neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial baik temporer

maupun permanen (Asrini, 2008).

B. Mekanisme Trauma Kapitis

a. Akseleras

Bila kepala yang bergerak ke suatu arah atau kepala sedang dalam

keadaan tidak bergerak , tiba-tiba mendapat gaya yang kuat searah dengan

gerakan kepala maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada

arah tersebut.  Mula-mula tulang tengkorak yang bergerak lebih cepat,

jaringan otak masih diam, kemudian jaringan otak ikut bergerak ke arah

yang sama. Peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu yang sangat

singkat. Pada peristiwa ini terjadi gesekan antara jaringan otak dan dasar

tengkorak serta terjadi benturan antara jaringan otak dan dinding

tengkorak.

Mekanisme akselerasi dapat menyebabkan laserasi pada bagian

bawah jaringan otak dan memar pada jaringan otak serta putusnya vena–

vena kecil yang berjalan dari permukaan otak ke duramater (bridging

veins) (Anonim, 2013).

b. Deselerasi.

Bila kepala bergerak dengan cepat ke satu arah tiba-tiba dihentikan

oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba

akan terhenti gerakannya. Kepala mengalami deselerasi (perlambatan)

secara mendadak. Mula-mula tengkorak akan terhenti gerakannya,

jaringan otak masih bergerak kemudian jaringan otak terhenti gerakannya

karena menabrak tengkorak. Peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu

yang sangat singkat. Mekanisme deselerasi dapat menyebabkan kelainan

serupa seperti pada mekanisme akselerasi (Anonim, 2013).

c. Rotasi

5

Batang otak (brain stem) terletak di bagian tengah jaringan otak dan

berjalan vertikal ke arah foramen magnum sehinga otak seolah-olah

terletak pada sebuah sumbu (axis). Bila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya

mendadak yang membentuk sudut terhadap arah gerak kepala, misalnya

pada bagian frontal atau pada bagian oksipital maka otak akan terputar

pada sumbunya. Mekanisme rotasi dapat menyebabkan laserasi dari bagian

bawah jaringan otak dan kerusakan pada batang otak (Anonim, 2013).

C. Klasifikasi Trauma Kapitis

Cidera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yaitu

berdasarkan mekanisme, beratnya dan morfologi (ATLS, 2004).

a. Mekanisme cidera kepala

Cidera otak dibagi atas cidera tumpul dan cidera tembus. Cidera

tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor,

jatuh atau pukulan benda tumpul. Sedangkan cidera tembus

disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan (Asrini, 2008).

b. Beratnya cidera kepala

GCS atau Glasgow Coma Scale digunakan secara umum dalam

deskripsi beratnya penderita cidera otak (Asrini, 2008). Berdasarkan

beratnya cidera kepala dibagi menjadi 3 yaitu :

1) Cidera kepala ringan

GCS antara 15-13, pasien stabil dan sadar, tidak ada

muntah, dapat mengalami luka lecet atau laserasi di kulit kepala

dan pemeriksaan lainnya normal (Asrini, 2013).

2) Cidera kepala sedang

GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara 30 menit sampai

24 jam, dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan, dua

atau lebih episode muntah, sakit kepala persisten, kejang singkat

(kurang dari 2menit) satu kali segera setelah trauma, dapat

mengalami luka lecet, hematoma, atau laserasi di kulit kepala

dan pemeriksaan lainnya normal (Asrini, 2013).

3) Cidera kepala berat

6

GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam,

biasanya disertai kontusio, laserasi atau adanya hematoma dan

edema serebral. terdapat kebocoran LCS dari hidung atau

telinga, tanda-tanda neurologis lokal (pupil anisokoria), terdapat

tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial berupa herniasi

unkus yaitu dilatasi pupil ipsilateral akibat kompresi nervus

okulomotor, herniasi sentral yaitu kompresi batang otak

menyebabkan bradikardi dan hipertensi, trauma kepala yang

berpenetrasi dan dapat terjadi kejang (selain kejang singkat satu

kali segera setelah trauma) (Asrini, 2013).

Tabel 1. Glasgow Coma Scale (GCS)

Eye Opening Score

Mata terbuka dengan

spontan

4

Mata membuka setelah

diperintah

3

Mata membuka setelang

diberi rangsang nyeri

2

Tidak membuka mata

dengan rangsang apapun

1

Best Motor Response

Menurut perintah 6

Dapat melokalisir nyeri 5

Menghindari nyeri 4

Fleksi (decorticate) 3

Ekstensi (decerebrasi) 2

7

Tidak ada gerakan

dengan rangsang apapun

1

Best Verbal Response

Menjawab pertanyaan

dengan benar

5

Salah menjawab

pertanyaan

4

Mengeluarkan kata-kata

yg tidak sesuai

3

Mengeluarkan suara yg

tidak ada artinya

2

Tidak ada jawaban 1

Jumlah 15

c. Morfologi cidera kepala

1) Fraktur Cranium

Dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk

garis/linier atau bintang/stelata dan dapat pula terbuka atau

tertutup. Untuk memastikannya harus dilakukan CT scan dengan

teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Tanda-

tandanya antara lain raccoon eyes, ekimosis retroaurikule (battle

sign), rhinorrhea, otorrhea, paresis nervus facialis dan gangguan

pendengaran (Asrini, 2008).

2) Lesi intrakranial

Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau difus,

walaupun kedua jenis ini sering terjadi bersamaan. Yang

termasuk lesi fokal adalah perdarahan epidural, perdarahan

subdural dan perdarahan intracerebral (Asrini, 2013).

8

a) Perdarahan Epidural (Epidural Hemorrhage–EDH)

Perdarahan ini disebabkan karena fraktur di daerah

temporal yang memutuskan arteri meningea. Darah dengan

segera akan terkumpul di rongga di antara duramater dan

tulang tengkorak. Darah ini akan menekan jaringan otak ke

arah medial dan menyebabkan penekanan terhadap nervus III

sehingga pupil akan melebar (midriasis) dan perangsangan

cahaya pada pupil mata ini tidak akan menggerakkan

musculus ciliaris (rangsang cahaya negatif). Epidural

hematoma harus segera di operasi (craniotomy) (Asrini,

2013). Riwayat penyakit yang khas pada epidural hematoma

ialah adanya lucid interval. Pada waktu baru terjadi trauma

kapitis, penderita tetap berada dalam keadaan sadar bahkan

masih mampu menolong dirinya sendiri, baru beberapa jam

kemudian (biasanya antara 6 – 8 jam) kesadaran mulai

menurun, kedua pupil akhirnya berdilatasi penuh dan

rangsang cahaya pada kedua mata menjadi negatif dan

penderita meninggal (Asrini, 2013). Tenggang waktu antara

kejadian trauma kapitis dan mulai timbulnya penurunan

kesadaran disebut lucid interval. Kedua pupil yang berdilatasi

penuh dengan rangsang cahaya yang negatif menujukkan

keadaan yang disebut herniasi tentorial. Herniasi tentorial

terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial dimana batang

otak terdesak kearah caudal dan akhirnya terperangkap oleh

tentorium (Asrini, 2013).

b) Perdarahan Subdural (Subdural Hemorrhage–SDH)

Perdarahan ini terletak diantara permukaan jaringan

otak dan di bawah duramater biasanya di daerah parietal.

Perdarahan ini dapat terjadi karena mekanisme rotasi maupun

mekanisma aselerasi–deselerasi kepala sehingga memutuskan

bridging veins (vena-vena yang menghubungkan permukaan

jaringan otak dan duramater) atau pecahnya pembuluh–

9

pembuluh cortical jaringan otak baik arteri maupun vena

yang berada pada permukaan otak (Asrini, 2013).

Bila terjadi akut segera setelah trauma kapitis ini

menunjukkan suatu trauma kapitis yang cukup berat. Kasus

perdarahan subdural akut (acute SDH) memerlukan tindakan

operasi segera (Asrini, 2013).

Pada perdarahan subdural manifestasi klinik timbul

setelah 2–3 minggu setelah trauma kapitis, terdapat sakit

kepala, kelemahan anggota gerak sesisi dan bahkan

penurunan kesadaran. Keadaan ini disebut perdarahan

subdural kronis (chronic SDH). Dengan melakukan operasi

membuang darah tersebut, penderita akan segera pulih

kembali (Asrini, 2013).

c) Perdarahan Intracerebral (Intracerebral Hemorrhage–ICH)

Perdarahan ini terjadi karena putusnya pembuluh darah

di dalam jaringan otak. Penderita akan cepat kehilangan

kesadaran . Tergantung dimana letak perdarahan, operasi

dapat menolong penderita tetapi biasanya dengan cacat yang

menetap (Asrini, 2013). Perdarahan juga dapat terjadi di

dalan sistem ventrikel disebut perdarahan intraventrikular

(Intraventricular Hemorrhage–IVH). Darah akan menyumbat

sistem ventrikel sehingga liquor cerebrospinal tidak dapat

mengalir dan terkumpul di dalam sistem ventrikel dan

menyebabkan sistem ventrikel melebar dan mengandung

banyak cairan sehingga terjadi  hydrocephalus. Bila

perdarahan cukup banyak maka seluruh fungsi jaringan otak

akan terganggu (Asrini, 2013).

Sedangkan yang termasuk lesi difus adalah sebagai berikut :

a) Diffused Axonal Injury (DAI)

Tekanan yang berkurang menyebabkan kerusakan

mekanik akson secara cepat. Lebih dari 48 jam

kerusakan lebih lanjut terjadi melalui pelepasan

10

neurotransmiter eksitotoksik yang menyebabkan

influís Ca 2+ ke dalam sel dan memacu kaskade

fosfolipid. Kemungkinan genetik diketahui dapat

berperanan dalam hal ini. Dengan adanya gen APOE

tergantung dari tingkat keparahan dari luka, efek

dapat bervariasi dari koma ringan sampai kematian

(Asrini, 2013). DAI terjadi pada 10-15% CKB. 60%

DAI berakhir dengan kecacatan menetap dan

vegetative state, 35-50% berakhir dengan kematian.

Dalam proses biomekanis DAI terjadi karena adanya

proses deselerasi (Asrini, 2013).

b) Iskemia serebral

Iskemia serebral umumnya terjadi setelah cedera

kepala berat dan disebabkan baik karena hipoksia atau

perfusi serebral yang terganggu/rusak. Pada orang

normal, tekanan darah yang rendah tidak

mengakibatkan rendahnya perfusi serebral karena

adanya autoregulasi, Penyebab iskemia serebral

adalah lesi massa yang menyebabkan herniasi

tentorial, traksi atau perforasi pembuluh darah,

spasme arterial, dan kenaikan TIK karena edema otak.

Lokasi iskemia dapat terjadi pada korteks,

hipokampus, ganglion basalis dan batang otak (Asrini,

2013).

c) Komusio serebri 

Komusio serebri merupakan bentuk trauma kapitis

ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari 10 menit).

Gejala lain mungkin termasuk pusing. Berdasarkan

atas lokasi benturan, lesi dibedakan atas koup

kontusio dimana lesi terjadi pada sisi benturan dan

tempat benturan. Pada kepala yang relatif diam

biasanya terjadi lesi koup, sedang bila kepala dalam

11

keadaan bebas bergerak akan terjadi kontra koup

(Asrini, 2013).

D. Pembagian Trauma Kapitis

a. Simple Head Injury

Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan ada

riwayat trauma kapitis, tidak pingsan, gejala sakit kepala dan pusing

dan umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi

obat simptomatik dan cukup istirahat.

b. Commotio Cerebri

Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang

berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala yang

tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh

nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat. Vertigo

dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau

terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio

cerebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde yaitu hilangnya

ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya

kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman

kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu

dibuat adalah foto tengkorak, EEG dan pemeriksaan memori.

c. Contusio Cerebri

Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-

perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan

yang kasat mata meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau

terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya

akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran

otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi

yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak

membentang batang otak terlalu kuat sehingga menimbulkan

blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis difus.

Akibat blockade itu otak tidak mendapat input aferen dan karena itu

kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung.

12

Timbulnya lesi contusio di daerah coup, contrecoup dan

intermediate menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa

berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah

kesadaran puli kembali penderita biasanya menunjukkan organic

brain syndrome.

Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme

yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi

pembuluh darah cerebral terganggu sehingga terjadi vasoparalitis.

Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat atau

menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat maka

rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul (Harsono,

2005). Pemeriksaan penunjang seperti CT-scan berguna untuk

melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka

pendek. Terapi dengan antiserebral edema, anti perdarahan,

simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.

d. Laceratio Cerebri

Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai

dengan robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan

adanya perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut dan

intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung dan

tidak langsung (Harsono, 2005). Laceratio langsung disebabkan oleh

luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi

fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan

laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang

hebat akibat kekuatan mekanis.

e. Fracture Basis Cranii

Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media

dan fossa posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau

fossa mana yang terkena.

1) Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala hematom

kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding, epistaksis

dan rhinorrhoe.

13

2) Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala hematom

retroaurikuler, ottorhoe dan perdarahan dari telinga

Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio,

jadi terapinya harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi

untuk mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe

yang berlangsung lebih dari 6 hari (Asrini, 2013).

E. Manifestasi Klinis Trauma Kapitis

a. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk cidera kepala ringan

Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama

beberapa saat, sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan,

mual dan muntah, gangguan tidur dan nafsu makan yang

menurun, perubahan kepribadian diri dan letargi (Anonim, 2013).

b. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk cidera kepala berat

Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan

peningkatan di otak menurun atau meningkat, perubahan ukuran

pupil (anisokoria), triad cushing (denyut jantung menurun,

hipertensi, depresi pernafasan) (Anonim, 2013).

c. Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosis

Battle sign (warna biru atau ekimosis di belakang telinga di atas

os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran

timpani telinga), periorbital ekimosis (mata warna hitam tanpa

trauma langsung), rinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari

hidung), ottorhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga)

(Anonim, 2013).

F. Diagnosis Trauma Kapitis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan sebagai berikut :

a. Periksa kesadaran penderita (GCS)

b. Pemeriksaan pupil

Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi

terhadap cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang

lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir

14

untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf

okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap

cahaya merupakan akibat dari cedera kepala (Asrini, 2008).

c. Periksa jalan nafas penderita

d. Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf

kranial dan saraf perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi

dan refleks harus diperiksa (Asrini, 2008).

e. Pemeriksaan scalp dan tengkorak

Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan dan

memar. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan

adanya fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan

dan memar (Asrini, 2008).

f. Pemeriksaan penunjang yaitu :

1. X-ray Tengkorak

Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi

fraktur dari dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT

scan dapat mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio

atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila

CT scan tidak ada (Asrini, 2008).

2. CT-Scan

CT scan harus dilakukan secepat mungkin, segera setelah

hemodinamik normal.

CT scan penting dalam memperkirakan prognosis cedera

kepala berat (Asrini, 2008).

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat

berguna di dalam menilai prognosa. MRI mampu

menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang

sering luput pada pemeriksaan CT scan. Ditemukan bahwa

penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer atau

terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI

15

mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan

kesadaran walaupun hasil pemeriksaan CT scan awal

normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Asrini,

2008).

G. Penatalaksaan Trauma Kapitis

a. Penatalaksanaan non operatif

1. Primary survey dan resusitasi

Primary survey dan resusitasi berupa airway dan

breathing. Terhentinya pernafasan sementara sering terjadi

pada cidera otak dan dapat mengakibatkan gangguan

sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan

pada penderita koma. Dilakukan ventilasi dengan oksigen

100%. Kemudian sirkulasi, hipotensi biasanya disebabkan

oleh cidera otak itu sendiri kecuali pada stadium terminal

dimana medula oblongata sudah mengalami gangguan.

Perdarahan intrakranial tidak dapat menyebabkan

syok hemoragik. Pada penderita dengan hipotensi harus

segera dilakukan stabilisasi untuk mencapai euvolemia.

Pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang

(Lindsay, 1997).

2. Secondary survey

Pemeriksaan neurologis serial harus selalu dilakukan

untuk deteksi dini adanya gangguan neurologis. Tanda awal

dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil

dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya (Lindsay,

2997).

3. Terapi medikamentosa

Tujuan utama perawatan intensif adalah untuk

mencegah terjadinya kerusakan sekunder terhadap otak

yang telah mengalami cidera. Prinsip dasarnyaadalah bila

sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan,

16

maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali (Lindsay,

1997).

a) Cairan intravena

Bertujuan untuk resusitasi agar penderita tetap dalam

keadaan normovolemi. Cairan yang dianjurkan untuk

resusitasi adalah larutan garam fisiologi yaitu Ringer

laktat (Lindsay, 1997).

b) Hiperventilasi

Hiperventilasi dilakukan dengan menurunkan PCO2

dan akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah

otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan

agresif dapat menyebabkan iskemia otak akibat

terjadinya vasokontriksi serebri berat sehingga

menimbulkan gangguan perfusi otak. PCO2

dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih. Hiperventilasi

dalam waktu singkat (PCO2 antara 25-30 mmHg)

(Lindsay, 1997).

c) Manitol

Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan

intrakranial yang meningkat. Dosis yang dipakai

1g/kgBB diberikan secara bolus intravena. Indikasi

karena pemakaian manitol adalah deteriosasi neurologis

yang akut seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis

atau kehilangan kesadaran. Manitol menurunkan

tekanan atau volume cairan cerebrospinal dengan cara

meninggikan tekanan osmotik plasma. Dengan cara ini,

air dari cairan otak akan berdifusi kembali ke plasma

dan ke dalam ruangan ekstrasel (Lindsay, 1997).

d) Furosemid atau lasix

Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan

TIK. Dosisnya adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara

intravena. Pemberiannya bersamaan dengan manitol

17

karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang

efek osmotik serum manitol (Lindsay, 1997).

e) Barbiturat

Bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter

terhadap obat-obat lain. Namun barbiturat ini tidak

dianjurkan pada fase akut resusitasi (Lindsay, 1997).

f) Antikonvulsan

Epilepsi pasca trauma terjadi 5% dengan cidera otak

tertutup dan 15% pada cidera kepala berat. Fenitoin

bermanfaat untuk mengurangi terjadinya kejang dalam

minggu pertama. Untuk dosis awal adalah 1g secara

intravena dengan kecepatan pemberian 50mg/menit.

Dosis pemeliharaan biasanya 100mg/8 jam (Lindsay,

1997).

b. Penatalaksanaan operatif

1. Luka kulit kepala

Hal yang terpenting adalah membersihkan luka

sebelum melakukan penjahitan. Debridement yang

tidak adekuat akan menyebabkan infeksi luka kepala.

Perdarahan dari luka kulit kepala dapat diatasi dengan

penekanan, kauterisasi atau ligasi pembuluh darah

besar. Jahit, pasang klips atau staples. Inspeksi apakah

ada fraktur tengkorak atau benda asing (Lindsay, 1997).

Manajemen luka:

A. Mencuci luka

1. Luka diirigasi dengan cairan saline (NaCl

0,9%).

2. Bersihkan jaringan nekrotik dan benda asing

yang terdapat pada luka.

B. Menjahit luka

1. Luka yang telah dicuci diolesi dengan cairan

antiseptic (betadine) dari bagian tengah

18

memutar ke perifer.

2. Siapkan alat-alat menjahit

3. Bersihkan luka dan alat-alat setelah selesai

menjahit.

C. Membungkus luka

1. Luka yang telah dijahit diolesi antiseptik

kembali.

2. Bungkus luka dengan kasa steril dengan agak

kencang.

3. Kasa bisa diikat dengan simpul atau direkatkan

dengan plester.

2. Fraktur impresi tengkorak 

Fraktur depresi yang tidak signifikan dapat ditolong

dengan menutup kulit kepala yang laserasi (Lindsay,

1997).

3. Lesi massa intrakranial

Dilakukan kraniotomi dan atau burrhole. Burrhole pada

kranium untuk eksplorasi atau evakuasi hematom

(Lindsay, 1997).

c. Teknik operasi

1. Kraniotomi atau trepanasi

Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka

tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk

tindakan pembedahan definitif. Secarasementara

membuat bone flap dan disingkirkan dari kepala supaya

bisadilakukan pengeluaran dari bekuan darah SDH atau

EDH. Bone flap di dapat dengan mengebor empat titik

pada kranium dan membuat garis linear yang

menghubungkan empat titik tersebut sehingga

terbentuk bone flap (Lindsay, 1997).

2. Burrhole

19

Tindakan pembedahan yang ditujukan langsung pada

tempat lesi atau tempat adanya bekuan darah EDH dan

mengeluarkan bekuan darah tersebut dengan hanya

membuat satu lubang pada tempat lesi (Lindsay, 1997).

H. Komplikasi Trauma Kapitis

Komplikasi yang dapat ditimbulkan dalam jangka

pendek dapat berupa hematom epidural, hematom subdural,

perdarahan intraserebral dan oedema serebri. Sedangkan

untuk komplikasi jangka panjang dapat berupa gangguan

neurologis seperti gangguan visus, strabismus, parese

N.VII dan gangguan N. VIII, disfagia dan kadang terdapat

hemiparese, sindrom pasca trauma seperti palpitasi,

hidrosis, konsentrasi berkurang, mudah tersinggung, sakit

kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, dll (Lindsay, 1997).

I. Prognosis Trauma Kapitis

Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat

perhatian besar terutama pada pasien dengan cedera berat.

Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai

prognostik yang besar yaitu pada pasien dengan skor GCS 3-

4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam

kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12

atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 –

10% (Lindsay, 1997).

2.2.2. Trauma Ekstremitas

A. Definisi

Trauma ekstremitas merupakan trauma yang mengakibatkan cedera pada

ekstremitas. Secara umum dikenal dalam bentuk fraktur, dislokasi dan

amputasi. Trauma ekstremitas dapat menyebabkan disfungsi struktur di

sekitarnya dan struktur yang dilindungi atau disangganya serta kerusakan pada

otot, pembuluh darah dan saraf (Usman, 2013).

20

B. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan yaitu nyeri terus menerus,

hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,

pembengkakan lokal dan perubahan warna (Usman, 2013).

C. Klasifikasi Trauma Ekstremitas

Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan

sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau

terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (Usman,

2013). Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang

rawan epifisis baik yang bersifat total maupun yang parsial. Tulang

mempunyai daya lentur (elastisitas) dengan kekuatan yang memadai. Apabila

trauma melebihi dari daya lentur tersebut maka terjadi fraktur (patah tulang).

Penyebab terjadinya fraktur adalah trauma, stres kronis dan berulang maupun

pelunakan tulang yang abnormal (Usman, 2013).

Adapun jenis- jenis fraktur sebagai berikut :

1. Complete fraktur (fraktur komplet) yaitu patah pada seluruh garis

tengah tulang, luas dan melintang. Biasanya disertai dengan

perpindahan posisi tulang.

2. Closed frakture (simple fracture) yaitu tidak menyebabkan robeknya

kulit dan integritas kulit masih utuh.

3. Open fracture (compound frakture/ komplikata/ kompleks) yaitu

fraktur dengan luka pada kulit (integritas kulit rusak dan ujung tulang

menonjol sampai menembus kulit) atau membran mukosa sampai ke

patahan tulang. Fraktur terbuka digradasi menjadi grade I luka bersih

dengan panjang kurang dari 1 cm, grade II luka lebih luas tanpa

kerusakan jaringan lunak yang ekstensif dan grade III sangat

terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.

4. Greenstick yaitu fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang

sisi lainnya membengkok.

5. Transversal yaitu fraktur sepanjang garis tengah tulang.

6. Oblik yaitu fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.

21

7. Spiral yaitu fraktur memuntir seputar batang tulang.

8. Komunitif yaitu fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa

fragmen.

9. Depresi yaitu fraktur dengan frakmen patahan terdorong ke dalam

(sering terjadi pada tulang tengkorak dan wajah).

10. Avulsi yaitu tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada

perlekatannya.

11. Epifisial yaitu fraktur melalui epifisis.

12. Impaksi yaitu fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen

tulang lainnya (Usman, 2013).

D. Pembagian Trauma Ekstremitas dan Penatalaksanaannya

1. Patah tulang tertbuka dan Trauma Sendi

Pada patah tulang terbuka terdapat hubungan antara tulang dengan

lingkungan luar. Otot dan kulit mengalami cedera dan beratnya kerusakan

jaringan lunak ini akan berbanding lurus dengan energi yang

menyebabkannnya. Kerusakan ini disertai kontaminasi bakteri,

menyebabkan patah tulang terbuka mengalami masalah infeksi, gangguan

penyembuhan dan gangguan fungsi (ATLS, 2004).

Diagnosis didasarkan atas riwayat trauma  dan pemeriksaan fisik

ekstremitas yang menemukan fraktur dengan luka terbuka, dengan atau

tanpa kerusakan luas otot, serta kontaminasi. Pengelolaan didasarkan atas

riwayat lengkap kejadian dan pemeriksaan trauma. Jika terdapat luka

terbuka didekat sendi, harus dianggap luka ini  berhubungan dengan alat

masuk  kedalam sendi dan konsultasi bedah harus dikerjakan. Tidak boleh

memasukkan zat warna atau cairan untuk membuktikan   rongga sendi

berhubungan dengan   luka atau tidak. Cara terbaik membuktikan

hubungan luka terbuka dengan sendi adalah eksplorasi bedah dan

pembersihan luka (ATLS, 2004) .

Adanya patah tulang  atau  trauma sendi terbuka harus segera dapat

dikenali. Setelah deskripsi luka atau trauma jaringan lunak  serta

22

menentukan ada  atau tidaknya gangguan sirkulasi atau trauma syaraf

maka segera dilakukan imobilisasi (ATLS, 2004).

2. Trauma vaskuler termasuk amputasi traumatika

Trauma vaskuler harus dicurigai jika terdapat insufisiensi vaskuler

yang menyertai trauma tumpul, remuk, trauma tembus ekstremitas. Pada

mulanya ekstremitas mungkin masih tampak hidup karena sirkulasi

kolateral yang mencukupi aliran secara retrograd. Trauma vaskuler parsial

menyebabkan ekstremitas bagian distal dingin, pengisian kapiler lambat,

pulsasi melemah. Aliran yang terputus menyebabkan ekstremitas dingin,

pucat, dan nadi tak teraba (ATLS, 2004).

Ekstremitas yang avaskuler secara akut harus segera dapat dikenal

dan ditangani segera. Otot tidak mampu hidup tanpa aliran darah lebih dari

6 jam dan nekrosis akan segera terjadi. Saraf juga sangat sensitive terhadap

keadaan tanpa oksigen. Operasi revaskularisasi segera diperlukan untuk

mengembalikan aliran darah pada ekstremitas distal yang terganggu. Jika

gangguan vaskularisasi di sertai fraktur, harus dikoreksi segera dengan

meluruskan dan memasang bidai (ATLS, 2004).

Jika terdapat gangguan vaskuler ekstremitas trauma setelah dipasang

bidai atau gips, tanda-tandanya adalah menghilangnya atau melemahnya

pulsasi. Bidai, gips dan balutan yang menekan harus dilepaskan dan

vaskularisasi dievaluasi (ATLS, 2004).

3. Sindroma Kompartemen

Sindroma kompartemen akan ditemukan pada tempat dimana otot

dibatasi oleh rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit juga

berfungsi sebagi lapisan penahan. Daerah yang sering terkena adalah

tungkai bawah, lengan bawah, tangan, dan paha. Sindroma kompartemen

terjadi bila tekanan diruang osteofasial menimbulkan iskemia dan

berikutnya nekrosis. Iskemia dapat terjadi karena peningkatan isi

kompartemen akibat udema yang timbul akibat revaskularisasi sekunder

dari ekstremitas yang iskemi, atau karena penurunan isi kompartemen

yang disebabkan tekanan dari luar misalnya dari balutan yang menekan

(ATLS, 2004).

23

Gejala dan tanda sindroma kompartemen adalah nyeri bertambah

dan khususnya meningkat dengan gerakan pasif yang meregangkan otot,

parestesi di daerah distribusi saraf ferifer yang terkena, menurunnya

sensasi atau hilangnya fungsi dari saraf yang melewati kompartemen

tersebut, tegang serta bengkak di daerah tersebut. Pulsasi di daerah distal

biasanya masih teraba. Kelumpuhan atau parase otot dan hilanngnya

pulsasi (disebabkan oleh tekanan kompartemen melebihi tekanan sitolik)

merupakan tindak lanjut dari sindroma kompartemen (ATLS, 2004).

Penatalaksanaannya yaitu dibuka semua balutan yang menekan gips

dan bidai. Penderita harus diawasi dan diperiksa setiap 30 sampai 60

menit. Jika tidak terdapat perbaikan, fasciotomi diperlukan. Sindroma

kompartemen merupakan keadaan yang ditentukan oleh waktu. Jika

terlambat melakukan fasiotomi menimbulkan mioglobinemia, yang dapat

menimbulkan menurunnya fungsi ginjal (ATLS, 2004).

4. Trauma Neurologi akibat fraktur-dislokasi

Fraktur atau dislokasi dapat menyebabkan trauma saraf yang

disebabkan hubungan anatomi atau dekatnya posisis saraf dengan

persendian, misalnya nervus iskhiadikus dapat tertekan oleh dislokasi

posterior sendi panggul  atau nervus aksillaris oleh dislokasi posterior

sendi bahu. Kembalinya fungsi hanya akan optimal bila keadaan ini

diketahui dan ditangani secara cepat (ATLS, 2004).

Pada pemeriksaan biasanya akan didapatkan depormitas  dari

ekstremitas. Pemeriksaan fungsi saraf memerlukan kerja sama penderita,

setiap saraf ferifer yang besar di periksa fungsi motorik dan sensorik

(ATLS, 2004).

Ekstremitas yang cedera harus segera di immobilisasi dalam posisi

dislokasi dan konsultasi bedah segera dikerjakan. Jika terdapat indikasi

dan dokter yang menangani mempunyai kemampuan reposisi dapat dicoba

secara berhati-hati setelah reposisi (ATLS, 2004).

5. Kontusio dan laserasi

Kontusio dan laserasi sederhana harus diperiksa untuk

menyingkirkan trauma vaskuler dan saraf. Secara umum laserasi

24

memerlukan penutupan luka. Jika laserasi meluas  sampai dibawah fasia,

perlu intervensi operasi untuk membersihkan  luka dan memeriksa

struktur-struktur dibawahnya yang rusak. Kontusio umumnya dikenal

karena ada nyeri dan penurunan fungsi. Palpasi menunjukkan adanya

pembengkakan lokal dan nyeri tekan. Penderita tidak dapat

mempergunakan ootot itu dan terjadi penurunan fungsi karena nyeri

(ATLS, 2004).

Kontusio diobati dengan istirahat dan pemakaian kompres dingin

pada fase awal. Hati-hati akan luka kecil terutama akibat crush injury, jika

ekstremitas menderita beban sangat besar dan sangat perlahan,

vaskularisasi akan terganggu dan kerusakan otot akan  terjadi walaupun

ditemukan luka yang hanya kecil saja. (ATLS, 2004)

E. Komplikasi Trauma Ekstremitas

Komplikasi yang dapat ditimbulkan yaitu apabila tidak ditangani

dengan segera maka akan menimbulkan kerusakan yang permanen. Selain itu

juga dapat menyebabkan adanya kemungkinan infeksi (Usman, 2013).

F. Prognosis Trauma Ekstremitas

Prognosis pada kasus trauma ekstremitas yaitu tergantung berat

ringannya trauma dan tatalaksana yang diberikan. Jika ditatalaksana dengan baik

dan tepat maka prognosisnya akan baik pula (dubia ad bonam) (Usman, 2013).

2.2.3. Trauma Abdomen

A. Definisi

Trauma abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan daerah

antara diafragma atas dan panggul bawah (Guilon, 2011).

Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara

toraks dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding (abdominal

wall) yang terbentuk dari dari otot-otot abdomen, columna vertebralis, dan

ilium (Dorland, W.A. Newman. 2010).

Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling

sering dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan

25

horizontal dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut

membagi dinding anterior abdomen menjadi sembilan daerah (regiones). Dua

bidang diantaranya berjalan horizontal melalui setinggi tulang rawan iga

kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas crista iliaca dan dua bidang

lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang rawan iga kedelapan

hingga ke pertengahan ligamentum inguinale (Harjadi, W. 2008) . Daerah-

daerah itu adalah:

1. Hypocondriaca dextra

2. Epigastrica

3. Hypocondriaca sinistra

4. Lateralis dextra

5. Umbilicalis

6. Lateralis sinistra

7. Inguinalis dextra

8. Pubica

9. Inguinalis sinistra

Proyeksi letak organ abdomen yaitu:

1. Hypocondriaca dextra meliputi organ: lobus kanan hepar, kantung

empedu, sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal

kanan dan kelenjar suprarenal kanan.

2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan

sebagian hepar.

26

3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, lien, bagian kaudal

pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan

kelenjar suprarenal kiri.

4. Lateralis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal

kanan, sebagian duodenum dan jejenum.

5. Umbilicalis meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah

duodenum, jejenum dan ileum.

6. Lateralis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal

kiri, sebagian jejenum dan ileum.

7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum

dan ureter kanan.

8. Pubica meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada

kehamilan).

9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan

ovarium kiri.

B. Epidemiologi

Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas

biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk.

Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam.

Pada trauma tumpul dengan velositas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya

menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi

sering menimbulkan kerusakan organ multipel. Pada intraperitoneal, trauma

tumpul abdomen paling sering menciderai organlimpa (40-55%), hati (35-45%),

dan usus halus (5-10%) (Cho et al, 2012). Sedangkan pada retroperitoneal, organ

yang paling sering cedera adalah ginjal, dan organ yang paling jarang cedera

adalah pankreas dan ureter (Demetriades, 2000). Pada trauma tajam abdomen

paling sering mengenai hati (40%), usus kecil (30%), diafragma (20%), dan

usus besar (15%) (ATLS, 2004).

C. Klasifikasi

Trauma abdomen pada garis besarnya dibagi menjadi trauma tumpul

dan trauma tajam. Keduanya mempunyai biomekanika, dan klinis yang

27

berbeda sehingga algoritma penanganannya berbeda. Trauma abdomen dapat

menyebabkan laserasi organ tubuh sehingga memerlukan tindakan pertolongan

dan perbaikan pada organ yang mengalami kerusakan. Trauma pada abdomen

dapat di bagi menjadi dua jenis:

a. Trauma tajam/ penetrasi : Trauma Tembak, Trauma Tusuk

Trauma tajam abdomen adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan

luka pada permukaan tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum

yang disebabkan oleh tusukan benda tajam. Trauma akibat benda tajam

dikenal dalam tiga bentuk luka yaitu: luka iris atau luka sayat (vulnus

scissum), luka tusuk (vulnus punctum) atau luka bacok (vulnus caesum).

Luka tusuk maupun luka tembak akan mengakibatkan kerusakan jaringan

karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi

akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ

viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan

bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya.

Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau

organ yang padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar

ke dalam rongga perut dan menimbulkan iritasi pada peritoneum

(Sjamsuhidajat, de jong. 2010).

b. Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul :

Pada cedera fisik yang memerlukan tindakan pembedahan akut didapatkan

bahwa 10% diantaranya adalah akibat dari trauma tumpul didaerah

abdomen. Trauma tumpul abdomen dapat menyebabkan cedera organ intra

abdomen berupa ruptura organ padat seperti hepar dan lien atau perforasi

organ berongga seperti lambung dan usus. (Soemarko, M. 2004).

Trauma tumpul abdomen diklasifikasikan ke dalam 3 mekanisme utama,

yaitu:

1. Tenaga kompresi (hantaman)

Tenaga kompresi (compression or concussive forces) dapat berupa

hantaman langsung atau kompresi eksternal terhadap objek yang

terfiksasi. Misalnya hancur akibat kecelakaan, atau sabuk pengaman

yang salah (seat belt injury). Hal yang sering terjadi adalah

28

hantaman, efeknya dapat menyebabkan sobek dan hematom

subkapsular pada organ padat visera. Hantaman juga dapat

menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ berongga

dan menyebabkan ruptur.

2. Tenaga deselerasi (cedera perlambatan)

3. Akselerasi.

Kerusakan organ lunak karena trauma tumpul biasanya terjadi

sesuai dengan tulang yang terkena seperti terlihat pada tabel 2 sebagai

berikut:

Tabel 2.1 Pola cedera organ lunak pada trauma tumpul abdomen.

Organ yang terkena langsung Cedera yang mungkin terkait

Fraktur kosta kanan Cedera hepar

Fraktur kosta kiri Ruptur lien

Kontusio midepigastrium Perforasi duodenum, cedera

pankreas

Fraktur prosessus tranversalis

lumbal

Cedera ginjal

Fraktur pelvis Ruptur VU, cedera urethra

Pengeluaran darah yang banyak dapat berlangsung di dalam

kavum abdomen tanpa atau dengan adanya tanda-tanda yang dapat diamati

oleh pemeriksa, dan akhir-akhir ini kegagalan dalam mengenali

perdarahan intraabdominal adalah penyebab utama kematian dini pasca

trauma. Selain itu, sebagian besar cedera pada kavum abdomen bersifat

operatif dan perlu tindakan segera dalam menegakan diagnosis dan

mengirim pasien ke ruang operasi (Soemarko, M. 2004).

D. Mekanisme Trauma

Trauma pada abdomen dibagi menjadi trauma tumpul dan tembus.

Trauma tumpul abdomen disebabkan kompresi dan deselerasi. Kompresi

rongga abdomen oleh benda-benda terfiksasi, seperti sabuk pengaman atau

setir kemudi akan meningatkan tekanan intraluminal dengan cepat, sehingga

mungkin menyebabkan ruptur usus, atau pendarahan organ padat. Gaya

deselerasi (perlambatan) akan menyebabkan tarikan atau regangan antara

29

struktur yang terfiksasi dan yang dapat bergerak. Deselerasi dapat

menyebabkan trauma pada mesenterium, pembuluh darah besar, atau kapsul

organ padat, seperti ligamentum teres pada hati. Organ padat, seperti limpa dan

hati merupakan jenis organ yang tersering mengalami terluka setelah trauma

tumpul abdomen terjadi (Demetriades, 2000). Luka tembak adalah penyebab

paling umum (64%) dari trauma tembus abdomen, diikuti oleh luka tusukan

(31%) dan luka senapan (5%) (Todd, 2004). Luka tusuk dan luka tembak

kecepatan rendah menyebabkan kerusakan jaringan dengan laserasi dan

memotong. Kecepatan tinggi pada luka tembak mentransferenergi kinetic lebih

ke abdomen visera (ATLS, 2004).

2.2.4. Trauma Thorax

A. Definisi

Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks dan atau

organ intra toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma

tajam. Secara anatomis rongga toraks di bagian bawah berbatasan dengan

rongga abdomen yang dibatasi oleh diafragma, dan batas atas dengan bawah

leher dapat diraba incisura jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada

yaitu: m.latissimus dorsi, m.trapezius, m.rhomboideus mayor dan minor,

m.serratus anterior, dan m.intercostalis. Tulang dinding dada terdiri dari

sternum, vertebra torakalis, iga dan skapula. Organ yang terletak di dalam

rongga toraks : paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung, pembuluh darah

besar, saraf dan sistem limfatik (Sean O. 2006). Kurang lebih 20% kematian

akibat trauma terjadi karena trauma thorak. Banyak kematian bisa dicegah

seandainya kasus teridentifikasi dan tertangani lebih dini sewaktu proses

evaluasi trauma. Eksplorasi dan intervensi bedah perlu dilakukan pada sekitar

10-15% pasien trauma thoraks. Sebab-sebab tersering kematian langsung

pasca-trauma umumnya berkaitan dengan cedera pembuluh darah utama atau

obstruksi jalan nafas utama (Sean O. 2006).

B. Etiologi

30

Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan

trauma tajam. Penyebab trauma toraks tersering adalah oleh karena kecelakaan

kendaraan bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis

tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar dan

terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat

yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda.

Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3,

berdasarkan tingkat energinya yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energi

rendah, berenergi sedang dengan kecepatan kurang dari 1500 kaki per detik

(seperti pistol) dan trauma toraks oleh karena proyektil berenergi tinggi

(senjata militer) dengan kecepatan melebihi 3000 kaki per detik. Penyebab

trauma toraks yang lain oleh karena adanya tekanan yang berlebihan pada

paru-paru bisa menimbulkan pecah atau pneumotoraks (seperti pada scuba)

(Sjamsuhidajat, de jong. 2010).

C. Gangguan Anatomi dan Fisiologi akibat Trauma Thoraks

Akibat trauma daripada toraks, ada tiga komponen biomekanika yang

dapat menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan dan stres.

Kompresi terjadi ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan

terjadi ketika jaringan kulit terpisah dan stres merupakan tempat benturan pada

jaringan kulit yang bergerak berhubungan dengan jaringan kulit yang tidak

bergerak. Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai

berat tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan

anatomi yang ringan berupa jejas pada dinding toraks, fraktur kosta simpel.

Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple

dengan komplikasi, pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio paru. Trauma

yang lebih berat menyebabkan perobekan pembuluh darah besar dan trauma

langsung pada jantung (ATLS, 2004).

Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat

menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.

Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat

tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa

31

gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik/alat

pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan

faal jantung dan pembuluh darah (ATLS, 2004)

D.Klasifikasi

Trauma thoraks diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu :

1. Trauma Tajam

a. Pneumothoraks terbuka

b. Hemothoraks

c. Trauma tracheobronkial

d. Contusio Paru

e. Ruptur diafragma

f.  Trauma Mediastinal

2. Trauma Tumpul

a. Tension pneumothoraks

b. Trauma tracheobronkhial

c. Flail Chest

d. Ruptur diafragma

e. Trauma mediastinal

f. Fraktur kosta

(Sean O. 2006)

E. Patofisiologi

Trauma benda tumpul pada bagian thorax baik dalam bentuk kompresi

maupun ruda-paksa (deselerasi/akselerasi), biasanya menyebabkan memar/jejas

trauma pada bagian yang terkena. Jika mengenai sternum, trauma tumpul dapat

menyebabkan kontusio miocard jantung atau kontusio paru. Keadaan ini

biasanya ditandai dengan perubahan tamponade pada jantung, atau tampak

kesukaran bernapas jika kontusio terjadi pada paru-paru (Sean O. 2006)

Trauma benda tumpul yang mengenai bagian dada atau dinding thorax

juga seringkali menyebabkan fraktur baik yang berbentuk tertutup maupun

terbuka. Kondisi fraktur tulang iga juga dapat menyebabkan Flail Chest, yaitu

32

suatu kondisi dimana segmen dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan

keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel

pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya

segmen fail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada

pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi

sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabakan hipoksia yang

serius (Sean O. 2006).

Sedangkan trauma thorax dengan benda tajam seringkali berdampak

lebih buruk daripada yang diakibatkan oleh trauma benda tumpul. Benda tajam

dapat langsung menusuk dan menembus dinding dada dengan merobek

pembuluh darah intercosta, dan menembus organ yang berada pada posisi

tusukannya. Kondisi ini menyebabkan perdaharan pada rongga dada

(Hemothorax), dan jika berlangsung lama akan menyebabkan peningkatan

tekanan didalam rongga baik rongga thorax maupun rongga pleura jika

tertembus. Kemudian dampak negatif akan terus meningkat secara progresif

dalam waktu yang relatif singkat seperti Pneumothorax, penurunan ekspansi

paru, gangguan difusi, kolaps alveoli, hingga gagal nafas dan jantung.

Fraktur Iga

Fraktur iga sederhana merupakan kejadian yang relative sering

pada kasus trauma tumpul thoraks, dengan insidens sekitar 50%.

Fraktur iga sederhana paling sering terjadi di daerah rawan benturan

atau pada angulus costae posterior, bagian iga yang strukturnya paling

lemah. Fraktur paling sering terjadi pada iga 4-9. Pada fraktur iga harus

diwaspadai adanya trauma intra-abdomen penyerta bila dijumpai fraktur

pada iga 9-12, mengingat iga-iga ini terletak diatas hati dan limpa.

Fraktur pada iga 1-2, yang terlindungi dengan baik oleh struktur lain,

biasanya mengindikasikan trauma tumpul dengan gaya sangat kuat yang

menghantam dada pasien, adanya fraktur ini mengingatkan

kecenderungan cedera intrathorax yang bermakna. Fraktur iga lebih

sering terjadi pada pasien dewasa karena rangka iga orang dewasa tidak

selentur rangka iga anak-anak (Sean O. 2006)

33

Evaluasi klinis tujuan utamanya adalah untuk mendeteksi

apakah terdapat tanda-tanda adanya cedera thoraks yang mendasari,

seperti pneumothorak, hemothorak, kontusio paru, atau trauma vaskuler

yang bermakna. Temuan klinis khas pada fraktur iga berupa nyeri tekan

setitik (point tenderness) di lokasi fraktur, peningkatan intensitas nyeri

sewaktu bernafas atau menggerakkan badan, krepitus di titik nyeri

tekan, ekimosis, kekakuan atau spame otot pada daerah dinding dada

yang sakit. Pembacaan foto thorak PA posisi tegak dan oksimetri

denyut harus dikerjakan pada setiap pasien dengan kecurigaan fraktur

iga (Sean O. 2006)

Tatalaksana, sasaran utama dalam penatalaksanaan fraktur iga

sederhana ialah penanganan nyeri yang adekuat, nyeri yang tidak

ditangani dengan adekuat dapat menyebabkan gangguan ventilasi

pasien dan penurunan ventilasi ini dapat menyebabkan atelektasis dan

mungkin dapat menyebabkan pneumonia. Penggunaan sabuk iga dan

berbagai jenis alat pengikat dinding dada bukan merupakan anjuran

rutin. Sekalipun berguna untuk meredakan gejala, alat-alat ini

membatasi pergerakan normal dinding dada dan ventilasi sehingga

menimbulkan resiko tambahan menyebabkan atelaktasis. Pada beberapa

kasus, blok saraf intercostalis diindikasikan untuk membantu mengatasi

nyeri yang luar biasa (Sean O. 2006)

Pneumothoraks

Pneumothoraks adalah pengumpulan udara yang abnormal

didalam rongga pleura, yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul dan

trauma tembus, bahkan bisa juga terjadi secara spontan. Pneumothoraks

dapat menyebabkan kolapsnya paru (dalam derajat apapun) pada sisi

thoraks yang sakit serta berpotensi mengurangi oksigenasi dan ventilasi.

Pneumothorak terbuka, dikanal juga sebagai pneumothoraks

komunikan, disebabkan oleh trauma tembus ysng merusak integritas

dinding dada dan pleura pasien, mengakibatkan udara masuk ke rongga

pleura sehingga menimbulkan kolaps paru. Pneumaothorak sederhana,

tertutup, atau non-komunikan, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul,

34

ditandai dengan dinding dada yang intak. Pneumothoraks desak terjadi

kalau ada katup jaringan satu-arah yang dapat terbentuk akibat trauma

yang menembus dinding dada atau parenkim paru. Selama proses

pernafasan, udara terdorong masuk ke rongga pleura, tetapi tidak bisa

keluar lagi. Makin lama proses ini berlangsung, tekanan intrapleura di

sisi yang sakit makin meninggi sehingga menimbulkan desakan pada

paru. Struktur-struktur mediastinal terdesak dan tergeser ke sisi thoraks

kontralateral, desakan mediastinum ini menurunkan aliran balik darah

yang menuju jantung sehingga curah jantung berkurang. Sebagian paru

sisi kontralateral juga terdesak sehingga makin mengurangi oksigenasi

dan ventilasi. Situasi ini bisa dengan cepat mengakibatkan henti

jantung dan henti nafas bila tidak segera terdeteksi dan tertangani (Sean

O. 2006).

Evaluasi klinis gambaran klinis pada pasien dapat bevariasi, dari

asimptomatik hingga dispnea berat tergantung pada luas bagian paru

yang kolaps atau jaringan yang cedera. Di sisi dada yang sakit, dapat

ditemukan perlemahan suara nafas dan bunyi perkusi hipersonor.

Pneumothoraks desak ditandai dengan deviasi trakea, distensi vena

jugularis, gawat nafas, takikardia, hipotensi, hilangnya suara nafas di

sisi dada yang sakit, bunyi hipersonor pada perkusi, dan sianosis.

Oksigen sungkup, oksimeter denyut, dan monitor jantung harus

dipasang pada semua pasien yang dicurigai mengalami pneumothoraks

(tipe apapun), pemeriksaan foto thoraks juga mesti dikerjakan sesegera

mungkin ( Sean O. 2006)

Tatalaksana awal untuk pneumothoraks desak berupa

dekompresi cepat pada sisi dada yang sakit dengan menusukkan jarum

ukuran 14 di sela iga kedua pada linea midclavikularis. Dekompresi

dikatakan berhasil bila udara terdorong ke luar lewat jarum diikuti

perbaikan gejala pasien. Setelah itu, untuk tatalaksana definitive, selang

torakostomi mesti dipasang dan di sambungkan ke sistem penyalur

sekat air (WSD). Pada kasus pneumothorak terbuka atau komunikans,

penatalaksanaan awal harus berupa pemasangan balut tekan steril yang

35

menutupi defek jaringan pada dinding dada pasien. Dari keempat sisi

balut tekan ini, hanya tiga sisi yang ditempelkan sehingga berfungsi

seperti katup: memungkinkan keluarnya udara sewaktu ekspirasi dan

mencegah masuknya udara saat inspirasi (Sean O. 2006).

F. Manifestasi Klinis

Manifestasi klnis pada trauma thoraks, yaitu:

1. Nyeri pada tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi.

2. Pembengkakan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi.

3. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek.

4. Dyspnea, takipnea

5. Takikardi

6. Tekanan darah menurun.

7. Gelisah dan agitasi

8. Kemungkinan cyanosis.

9. Batuk mengeluarkan sputum bercak darah.

10. Hypertympani pada perkusi di atas daerah yang sakit.

11. Ada jejas pada thorak

12. Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher

13. Bunyi muffle pada jantung

14. Perfusi jaringan tidak adekuat

15. Pulsus paradoksus ( tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan

pernapasan ) dapat terjadi dini pada tamponade jantung.

(Sean O. 2006).

G. Penatalaksanaan

1. Gawat Darurat / Pertolongan Pertama

Pasien yang diberikan pertolongan pertama dilokasi kejadian maupun di

unit gawat darurat (UGD) pelayanan rumah sakit dan sejenisnya harus

mendapatkan tindakan yang tanggap darurat dengan memperhatikan prinsip

kegawatdaruratan. Penanganan yang diberikan harus sistematis sesuai dengan

keadaan masing-masing pasien secara spesifik. Bantuan oksigenisasi penting

36

dilakukan untuk mempertahankan saturasi oksigen pasien. Jika ditemui

dengan kondisi kesadaran yang mengalami penurunan/tidak sadar maka

tindakan tanggap darurat yang dapat dilakukan yaitu dengan memperhatikan:

a) Pemeriksaan dan Pembebasan Jalan Napas (Air-Way)

Pasien dengan trauma dada seringkali mengalami permasalahan pada jalan

napas. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan

berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang

dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat

dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut

dapat dibuka dengan tehnik Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan

berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban. Setelah jalan napas

dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada korban tidak sadar

tonus otot-otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup farink

dan larink, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan

jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara tengadah kepala topang

dagu (Head tild – chin lift) dan manuver pendorongan mandibula

(Jaw Thrust Manuver).

b) Pemeriksaan dan Penanganan Masalah Usaha Napas (Breathing)

Kondisi pernapasan dapat diperiksa dengan melakukan tekhnik melihat

gerakan dinding dada, mendengar suara napas, dan merasakan hembusan

napas pasien (Look, Listen, and Feel), biasanya tekhnik ini dilakukan

secara bersamaan dalam satu waktu. Bantuan napas diberikan sesuai

dengan indikasi yang ditemui dari hasil pemeriksaan dan dengan

menggunakan metode serta fasilitas yang sesuai dengan kondisi pasien.

c) Pemeriksaan dan Penanganan Masalah Siskulasi (Circulation)

Pemeriksaan sirkulasi mencakup kondisi denyut nadi, bunyi jantung,

tekanan darah, vaskularisasi perifer, serta kondisi perdarahan. Pasien

dengan trauma dada kadang mengalami kondisi perdarahan aktif, baik

yang diakibatkan oleh luka tembus akibat trauma benda tajam maupun

yang diakibatkan oleh kondisi fraktur tulang terbuka dan tertutup yang

mengenai/ melukai pembuluh darah atau organ (multiple). Tindakan

menghentikan perdarahan diberikan dengan metode yang sesuai mulai dari

37

penekanan hingga penjahitan luka, pembuluh darah, hingga prosedur

operatif. Jika diperlukan pemberian RJP (Resusitasi Jantung Paru) pada

penderita trauma dada, maka tindakan harus diberikan dengan sangat hati-

hati agar tidak menimbulkan atau meminimalisir kompilkasi dari RJP

seperti fraktur tulang kosta dan sebagainya.

d) Tindakan Kolaboratif

Pemberian tindakan kolaboratif biasanya dilakukan dengan jenis dan

waktu yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien yang

mengalami trauma dada. Adapun tindakan yang biasa diberikan yaitu;

pemberian terapi obat emergensi, resusitasi cairan dan elektrolit,

pemeriksaan penunjang seperti laboratorium darah vena dan AGD, hingga

tindakan operatif yang bersifat darurat.

2. Konservatif

a. Pemberian Analgetik

Pada tahap ini terapi analgetik yang diberikan merupakan kelanjutan dari

pemberian sebelumnya. Rasa nyeri yang menetap akibat cedera jaringan

paska trauma harus tetap diberikan penanganan manajemen nyeri dengan

tujuan menghindari terjadinya Syok seperti Syok Kardiogenik yang

sangat berbahaya pada penderita dengan trauma yang mengenai bagian

organ jantung.

b. Pemasangan Plak/Plester

Pada kondisi jaringan yang mengalami perlukaan memerlukan perawatan

luka dan tindakan penutupan untuk menghindari masuknya

mikroorganisme pathogen.

c. Jika perlu Antibiotika

Antibiotika yang digunakan disesuaikan dengan tes kepekaan dan kultur.

Apabila belum jelas kuman penyebabnya, sedangkan keadaan penyakit

gawat, maka penderita dapat diberi “broad spectrum antibiotic”,

misalnya Ampisillin dengan dosis 250 mg 4 x sehari.

d. Fisiotherapy

38

Pemberian fisiotherapy sebaiknya diberikan secara kolaboratif jika

penderita memiliki indikasi akan kebutuhan tindakan fisiotherapy yang

sesuai dengan kebutuhan dan program pengobatan konservatif.

3. Invasif Operatif

a. WSD (Water Seal Drainage)

WSD merupakan tindakan invasif yang dilakukan untuk mengeluarkan

udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan

mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.

Indikasi: Pneumothoraks, Hemothoraks, Thorakotomy, Efusi pleura,

Emfiema.

Jenis-jenis WSD:

a. WSD dengan sistem satu botol

Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien

simple pneumothoraks

Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2

lubang selang yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam

botol

Air steril dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang

terendam 2cm untuk mencegah masuknya udara ke dalam

tabung yang menyebabkan kolaps paru

Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk

memfasilitasi udara dari rongga pleura keluar

Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan gravitasi.

Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan:

Inspirasi akan meningkat

Ekpirasi menurun.

b. WSD dengan sistem 2 botol

Digunakan 2 botol ; 1 botol mengumpulkan cairan drainage dan

botol ke-2 botol water seal

39

Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang awalnya

kosong dan hampa udara, selang pendek pada botol 1

dihubungkan dengan selang di botol 2 yang berisi water seal.

Cairan drainase dari rongga pleura masuk ke botol 1 dan udara

dari rongga pleura masuk ke water seal botol 2.

Prinsip kerjasama dengan sistem 1 botol yaitu udara dan cairan

mengalir dari rongga pleura ke botol WSD dan udara

dipompakan keluar melalui selang masuk ke WSD.

Biasanya digunakan untuk mengatasi hemothoraks,

hemopneumothoraks, efusi peural.

c. WSD dengan sistem 3 botol

Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol

jumlah hisapan yang digunakan.

Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan

Yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada

botol ke-3. Jumlah hisapan tergantung pada kedalaman ujung

selang yang tertanam dalam air botol WSD.

Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang

ditambahkan.

Botol ke-3 mempunyai 3 selang :

Tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan tube pada

botol ke dua.

Tube pendek lain dihubungkan dengan suction.

Tube di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air

dan terbuka ke atmosfer.

40

b. Ventilator

Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian

atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi. Ventilasi

mekanik adalah alat pernafasan bertekanan negatif atau positif yang dapat

mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu yang lama.

Klasifikasi:

a) Ventilator Tekanan Negatif

Ventilator tekanan negatif mengeluarkan tekanan negatif pada dada

eksternal. Dengan mengurangi tekanan intratoraks selama inspirasi

memungkinkan udara mengalir ke dalam paru-paru sehingga memenuhi

volumenya. Ventilator jenis ini digunakan terutama pada gagal nafas

kronik yang berhubungn dengan kondisi neurovaskular seperti

poliomyelitis, distrofi muscular, sklerosisi lateral amiotrifik dan

miastenia gravis. Penggunaan tidak sesuai untuk pasien yang tidak

stabil atau pasien yang kondisinya membutuhkan perubahan ventilasi

sering.

b)  Ventilator Tekanan Positif

Ventilator tekanan positif menggembungkan paru-paru dengan

mengeluarkan tekanan positif  pada jalan nafas dengan demikian

mendorong alveoli untuk mengembang selama inspirasi. Pada ventilator

jenis ini diperlukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi. Ventilator ini

secara luas digunakan pada klien dengan penyakit paru primer.

Terdapat tiga jenis ventilator tekanan positif yaitu tekanan bersiklus,

waktu bersiklus dan volume bersiklus. Ventilator tekanan bersiklus

adalah ventilator tekanan positif yang mengakhiri inspirasi ketika

tekanan preset telah tercapai. Dengan kata lain siklus ventilator hidup

mengantarkan aliran udara sampai tekanan tertentu yang telah

ditetapkan seluruhnya tercapai, dan kemudian siklus mati. Ventilator

tekanan bersiklus dimaksudkan hanya untuk jangka waktu pendek di

ruang pemulihan. Ventilator waktu bersiklus adalah ventilator

mengakhiri atau mengendalikan inspirasi setelah waktu ditentukan.

41

Volume udara yang diterima klien diatur oleh kepanjangan inspirasi dan

frekuensi  aliran udara . Ventilator ini digunakan pada neonatus dan

bayi. Ventilator volume bersiklus yaitu ventilator yang mengalirkan

volume udara pada setiap inspirasi yang telah ditentukan. Jika volume

preset telah dikirimkan pada klien, siklus ventilator mati dan ekshalasi

terjadi secara pasif. Ventilator  volume bersiklus sejauh ini adalah

ventilator tekanan positif yang paling banyak digunakan. (Sean O.

2006).

42

BAB III

METODE PELAKSANAAN

3.1 Nama Kegiatan

Tugas Pengenalan Profesi dengan judul “Observasi pasien trauma/pasca trauma di

IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang”.

3.2 Lokasi Pelaksanaan

Tugas Pengenalan Profesi Blok XX dilakukan di IGD Rumah Sakit Bhayangkara

Palembang.

3.3 Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Tempat : IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.

Hari/ Tanggal : Minggu, 11 Oktober 2015.

Waktu : 08.00 s/d 20.00 WIB.

3.4 Subyek Tugas Mandiri

Subyek tugas mandiri pada tugas pengenalan profesi blok XX ini adalah pasien

yang mengalami trauma/pasca trauma di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang

3.5 Alat dan Bahan

1. Alat tulis

2. Kamera

3. Alat rekam

4. Daftar Wawancara

3.6 Metode Pelaksanaan

Metode pelaksanaan dilakukan secara langsung pada dokter dan pasien yang

mengalami trauma/pasca trauma di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.

43

3.7 Langkah Kerja

1. Membuat proposal TPP

2. Konsultasi dengan pembimbing

3. Meminta surat persetujuan izin pelaksanaan TPP yang ditandatangani

pembimbing

4. Meminta surat pengantar TPP ketempat/lokasi pada bagian akademik,

berdasarkan bukti surat persetujuan pembimbing

5. Melaksanakan TPP di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.

6. Mencatat hasil TPP

7. Konsultasi dengan pembimbing

8. Membuat laporan TPP dan meminta tanda tangan pembimbing untuk

persetujuan pelaksanaan pleno TPP

44

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Pasien 1

Nama pasien : Tn. Y

Umur : 23 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Tn. Y, 23 tahun, datang ke IGD RS Bhayangkara Palembang dengan

alasan ingin meminta surat Visum et Repertum kepada dokter. Tn. Y mengaku

telah dibegal oleh 30 orang bermotor pada pukul 02.00 WIB dini hari di Jalan R.

Sukamto, Palembang. Pada hasil pemeriksaan tanda vital didapatkan:

KU: Compos mentis, GCS: 15, RR: 23 x / menit, HR: 90 x / menit, TD:

140/100 mmHg, Temp: 36oC. Tn. Y dibegal dan mengalami vulnus laseratum

(luka robek) di bagian lengan kiri atas, dengan ukuran panjang ± 5 cm, lebar ± 2

cm dan kedalaman luka ± 1 cm dengan jenis luka terbuka. Tn. Y mengaku

belum pernah berobat, namun pasca kejadian tersebut, seorang temannya

langsung memberi kopi di bagian lukanya. Ketika di IGD RS Bhayangkara, dia

hanya meminta di Visum tanpa ingin dilakukan tatalaksana yang lain, namun

dokter menyarankan untuk dilakukan tatalaksana yaitu dengan manejemen luka

berupa membersihkan luka dan menjahit bagian yang terluka. Namun, Tn. Y

menolak dengan alasan takut disuntik dan dijahit.

Pasien 2

Nama pasien : Ny. D

Umur : 59 Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Ny. D, 59 tahun diantar oleh dua orang ke IGD RS Bhayangkara

Palembang karena mengalami kecelakaan lalu lintas di lampu merah macan

lindungan akibat roknya yang tersangkut di jari-jari motor. Ny. D mengalami

penurunan kesadaran ringan, dengan skor GCS 12. Eye: Membuka bila

dipanggil 3, Verbal: Bingung 4, Motorik: Melokalisir nyeri 5, GCS: 12

45

(Cedera kepala ringan), RR: 23 x /maenit, HR: 90 x/menit, /TD: 90 / 60 mmHg,

Temp: 36,5oC.

Ny. D juga mengalami trauma capitis dan trauma ekstremitas. Berupa

vulnus ekskoriatum (luka lecet) di regio genue dextra et sinistra, vulnus

ekskoriatum (luka lecet) di regio manus sinistra, vulnus insivum (luka sayat) di

regio halux dextra, vulnus ekskoriatum (luka lecet) di regio gluteus dextra et

sinistra, vulnus ekskoriatum (luka lecet) di regio frontalis, vulnus contusio (luka

memar) di regio frontalis dan Vulnus ekskoriatum (luka lecet) di Regio

zygomatica.

Dokter IGD memberikan tatalaksana berupa manejemen luka yaitu

pertama luka dibersihkan dahulu dengan menggunakan kasa yang diberi Nacl

0,9 % Gentamisin. Kemudian jaringan yang rusak atau nekrosis dibuang.

Selanjutnya luka tersebut diberi betadine. Lalu luka ditutup dengan framycetin

sulfate 1% sesuai dengan ukuran luka. Setelah itu luka ditutup dengan

menggunakan kasa dan kemudian difiksasi dengan plester. Setelah dilakukan

tatalaksana skor GCS Ny. D menjadi 15.

Pasien 3

Nama pasien : R

Umur : 14 tahun

Jenis kelamin : Laki- laki

R, 14 tahun, datang dengan ibunya ke UGD RS bhayangkara palembang

dengan keluhan luka robek dan lecet pada kaki kanan dan luka lecet di bagian

bahu dan daerah bawah mata. R mengatakan bahwa luka robek tersebut

dikarenakan benturan batu dijalan dan luka lecet akibat gesekan aspal. Saat

diperiksa tanda vitalnya didapatkan kesadaran (GCS) : 15, RR : 22 x/menit, HR :

80x/menit, Temperatur : 36,9 C, pada anak kami tidak melakukan pemeriksaan

tekanan darah, hal ini disebabkan tidak tersedianya sfigmomanometer anak-

anak. Selanjutnya dokter IGD melihat airway, breathing, circulation, disability

dalam batas normal. Sebelum dilakukan tatalaksana dilakukan pengukuran luka

dengan menggunakan alat ukur didapatkan Vulnus laseratum dorsum pedis (luka

robek) dengan Lebar : 1 cm, Panjang 2,5 cm.Vulnus ekskoriatum deltoid (luka

46

lecet) didapatkan dengan Lebar : 1 cm Panjang : 2 cm. Vulnus ekskoriatum

infraorbital didapatkan, Lebar : 3cm, Panjang 1cm.

Setelah melihat airway, breathing, dan circulation dokter memberikan

tatalaksana pada Vulnus laseratum dengan melakukan cuci luka menggunakan

Nacl 0.9% + Gentamicin lalu berikan betadine di daerah luka. Setelah itu

dilakukan anastesi lokal untuk melakukan penjahitan luka. Sebelumnya siapkan

alat jahit luka. Pada pasien R didapatkan luka jahitan sebanyak 4 jahitan. Lalu

tutup luka dengan perban yang diberikan betadine lalu berikan framycetin

sulphate untuk mempercepat pengeringan luka dengan berbentuk kasa steril

lengket. Untuk Vulnus ekskoriatum , Luka lecet di bersihkan dengan Nacl 0.9%

+ Gentamicin. Lalu oleskan betadine di sekitar luka. Setelah di tatalaksana

pasien di berikan obat antibiotik untuk mencegah infeksi lebih lanjut dan

analgetik untuk meringankan nyeri.

Pasien 4

Nama pasien : A

Umur :14 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

A, 14 tahun, datang dengan keluhan luka lecet pada tangan dan kaki serta

nyeri pada atas pergelangan tangan kiri ke UGD RS bhayangkara akibat

kecelakaan lalu lintas. Pada pergelangan tangan kiri terlihat tonjolan tulang. Saat

diperiksa tanda vitalnya didapatkan data yaitu kesadaran (GCS) : 14, RR : 23

x/menit, HR : 95x/menit, Temperatur : 36,90 C, , pada anak kami tidak

melakukan pemeriksaan tekanan darah, hal ini disebabkan tidak tersedianya

sfigmomanometer anak-anak. Lalu dokter igd melihat airway, breathing,

circulation, disability dalam batas normal.

Setelah melihat airway, breathing, dan circulation dokter memberikan

tatalaksana pada Vulnus ekskoriatum dengan pembersihan vulnus dengan

menggunakan NaCl 0,9% + Gentamicin lalu memberikan betadine di daerah

luka. Setelah di lakukan tatalaksana pasien di bawah ke ruang radiologi untuk di

lakukan foto rontgen daerah radius dan ulna pada pergelangan tangan kiri yang

47

terdapat tonjolan karena dicurigai dadanya fraktur, setelah dilakukan

pemeriksaan radiologi didapatkan hasil yaitu terjadi fraktur tertutup os radius

distal sinistra dan dokter melakukan tatalaksana yaitu pemasangan bidai

melibatkan 2 articulatio pada lengan atas dan lengan bawah setelah itu diberikan

antibiotik untuk mencegah infeksi lebih lanjut dan analgetik untuk meringankan

nyeri. Setelah itu dokter memberikan penjelasan kepada orangtua A. Dokter IGD

menyarankan A untuk di rujuk ke dokter spesialis ortopedi dan bedah tulang

untuk penatalaksanaan selanjutnya.

4.2 Pembahasan

Pada pelaksanaan TPP yang dilakukan pada hari Minggu tanggal 11 Oktober

2015 di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang pukul 08.00 WIB sampai 20.00

WIB kami mendapatkan 4 pasien trauma/pasca trauma yang terdiri dari 3 trauma

tumpul dan 1 trauma tajam.

Berdasarkan hasil observasi pada pasien pertama, Tn. Y, 23 tahun, datang ke

IGD RS. Bhayangkara Palembang karena mengalami vulnus laseratum di regio

brachialis dengan ukuran panjang ± 5 cm, lebar ± 2 cm dan kedalaman luka ± 1 cm

dengan jenis luka terbuka. Sebelumnya luka tersebut hanya diberi kopi oleh seorang

temannya pasca kejadian. Dokter IGD hanya melakukan visum atas permintaan Tn.

Y karena ia menolak untuk dilakukan tatalaksana oleh dokter IGD dengan alasan

takut disuntik dan dijahit. Dokter IGD telah menyarankan untuk membersihkan

luka dan penjahitan luka. Dokter IGD juga telah menjelaskan komplikasi yang akan

terjadi apabila luka tersebut tidak segera ditatalaksana, yaitu terjadi infeksi pada

luka, kejang, sepsis hingga kematian. Berdasarkan teori, seharusnya

penatalaksanaan pada luka terbuka adalah dilakukan pembersihan pada daerah luka

untuk kemudian dilakukan penjahitan pada luka tersebut agar tidak terjadi infeksi

dan komplikasi lainnya yang lebih berat.

Pada pasien kedua, Ny. D, 59 tahun mengalami trauma capitis dan trauma

ekstremitas akibat kecelakaan lalu lintas berupa vulnus ekskoriatum di regio genue

dextra et sinistra, vulnus ekskoriatum di regio manus sinistra, vulnus insivum di

regio halux dextra, vulnus ekskoriatum di regio gluteus dextra et sinistra, vulnus

ekskoriatum di regio frontalis, vulnus contusio di regio frontalis dan Vulnus

48

ekskoriatum di Regio zygomatica. Dokter IGD memberikan tatalaksana

berupa manejemen luka yaitu pertama luka dibersihkan dahulu dengan

menggunakan kasa yang diberi Nacl 0,9 % Gentamisin. Kemudian jaringan yang

rusak atau nekrosis dibuang (debridement). Selanjutnya luka tersebut diberi

betadine. Lalu luka ditutup dengan framycetin sulfate 1% sesuai dengan ukuran

luka. Setelah itu luka ditutup dengan menggunakan kasa dan kemudian difiksasi

dengan plester. Berdasarkan tatalaksana yang dilakukan dokter IGD sudah sesuai

dengan teori Lindsay (1997). Tatalaksana pada luka adalah:

a) Mencuci luka

1. Luka diirigasi dengan cairan saline (NaCl 0,9%).

2. Bersihkan jaringan nekrotik dan benda asing yang terdapat pada luka.

b) Menjahit luka

1. Luka yang telah dicuci diolesi dengan cairan antiseptic (betadine) dari

bagian tengah memutar ke perifer.

2. Siapkan alat-alat menjahit

3. Bersihkan luka dan alat-alat setelah selesai menjahit.

c) Membungkus luka

1. Luka yang telah dijahit diolesi antiseptik kembali.

2. Bungkus luka dengan kasa steril dengan agak kencang.

3. Kasa bisa diikat dengan simpul atau direkatkan dengan plester.

Pada responden ini tidak dilakukan penjahitan pada luka dikarenakan

responden tidak memiliki biaya dan takut untuk dijahit. Berdasarkan ATLS

2004,pada luka laceratum yang tidak dilakukan penjahitan dapat memperlambat

penyembuhan luka, meningkatkan resiko infeksi dan penutupan luka yang tidak

sempurna.

Pada pasien ketiga, adalah pasien A, laki-laki, 14 tahun, yang mengalami

Vulnus laceratum pada region antebrachii et region genue sinistra et dextra dan

fraktur tertutup pada os radius distal sinistra yang disebabkan trauma tumpul

sehingga menyebabkan inkontinuitas pada jaringan (ATLS, 2004). Dokter IGD

melakukan tatalaksana dengan memberikan NaCl 0.9% + Gentamisin sebagai

49

antiseptik pada luka tersebut, serta dilakukan pemasangan bidai pada regio

antebrachii sinistra dengan tujuan imobilisasi pada fraktur os radius distal sinistra.

Kemudian dokter memeberikan tatalaksana farmakologi berupa obat

antibiotik untuk mencegah infeksi serta memberikan analgetik untuk mengurangi

rasa nyeri. Setelah itu dokter IGD menyarankan untuk dirujuk ke dokter spesialis

orthopedi. Tatalaksana yang dilakukan oleh dokter IGD sudah sesuai dengan teori

ATLS (2004), pada pasien yang mengalami vulnus ekskoriatum dan laceratum

diberi antiseptik untuk mencegah terjadinya infeksi, dan diberikan juga analgetik

untuk mengurangin rasa nyeri. Pada pasien yang mengalami fraktur dilakukan

tatalakasana berupa imobilisasi dengan menggunakan bidai untuk mencegah

fragmen tulang fraktur mencederai daerah sekitar dan untuk mengurangi rasa nyeri

pada daerah fraktur.

Pada pasien keempat, pasien R, laki-laki, 14 tahun, mengalami Vulnus

laceratum pada regio dorsum pedis dan pada regio deltoidea yang disebabkan oleh

gesekan pada aspal di jalan raya ini merupakan jenis trauma tumpul. Pada pasien ini

Airway, Breathing, Circulation, dan Disability dalam batas normal. Berikutnya

dokter IGD melakukan tatalaksana antiseptik dengan NaCl 0,9% + Gentamisin dan

diberikan betadine pada Vulnus laseratum dorsum pedis, Vulnus ekskoriatum

deltoidea, dan Vulnus eskoriatum infraorbital. Selanjutnya dokter memberikan

anastesi lokal pada regio dorsum pedis dan melakukan penjahitan pada Vulnus

laceratum sebanyak empat jahitan, kemudian luka ditutup dengan perban dan

diberikan betadine serta framycetin sulphate 1% untuk mempercepat pengeringan

luka. Setelah dilakukan tatalaksana pasien diberikan antibiotik dan analgetik untuk

meringankan rasa nyeri. Tatalaksana yang dilakukan oleh dokter IGD sudah sesuai

dengan teori ATLS (2004), pada pasien yang mengalami vulnus ekskoriatum dan

laceratum diberi antiseptik untuk mencegah terjadinya infeksi, dan diberikan juga

analgetik untuk mengurangin rasa nyeri.

Kasus yang banyak terjadi di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang

pada tahun 2013 berdasarkan data yang diperoleh adalah ISPA (Infeksi Saluran

Pernapasan Atas) sebanyak 1079 kasus, gastritis sebanyak 610 kasus,

gastroenteritis sebanyak 410 kasus, hipertensi sebanyak 360 kasus, asma bronkialis

50

sebanyak 249 kasus, vertigo sebanyak 303, thypoid sebanyak 255 kasus, DBD

sebanyak 54 kasus, diabetes mellitus sebanyak 83 kasus dan TBC sebanyak 19

kasus. Dari data tersebut tidak ditemukan data untuk kasus trauma, hal ini

kemungkinan kasus trauma tidak terlalu banyak terjadi di IGD Rumah Sakit

Bhayangkara Palembang.

51

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Dari hasil observasi pasien trauma di IGD RS. Bhayangkara Palembang kami

mendapatkan empat orang pasien yaitu satu orang dengan trauma tajam dan 3

orang lainnya trauma tumpul. Jenis trauma pada keempat pasien adalah trauma

capitis dan trauma ekstremitas.

2. Manifestasi klinis pada keempat pasien adalah nyeri, hematom, penurunan

kesadaran dan perdarahan.

3. Penatalaksanaan yang dilakukan dokter IGD sudah sesuai dengan teori, yaitu

untuk luka dilakukan manajemen luka berupa irigasi dan debridement pada

luka. Untuk nyeri diberikan analgesic, serta antibiotic untuk pencegahan

infeksi.

4. Dari keempat pasien, pasien A dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu foto

rontgent pada antebrachii sinistra. Pada pasien Y, dia meminta dilakukan

visum. Sedangkan pada pasien D dan pasien R tidak dilakukan pemeriksaan

penunjang.

5. Menurut data yang didapatkan pada penatalaksanaan TPP kasus terbanyak

yang ditemukan pada tahun 2013 adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan

Atas) yaitu sebanyak 1079 kasus, Gastritis kurang lebih 600 kasus, gastro

entritis kurang lebih 400 kasus, hipotermi kurang lebih 370 kasus, asma kurang

lebih 300 kasus, vertigo kurang lebih 300 kasus, Thypoid kurang lebih 300

kasus, DBD kurang lebih 270kasus, DM kurang lebih 150 kasus, dan TBC

kurang lebih 100 kasus. Dalam hal ini kasus trauma tidak termasuk di antara

10 kasus terbanyak di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.

52

4.2 Saran

Adapun saran setelah melakukan Tugas Pengenalan Profesi, sebagai berikut:

1) Untuk Tugas Pengenalan Profesi berikutnya diharapkan mahasiswa mampu

memaksimalkan sarana dan alat dalam memperoleh pengetahuan dan

pengalaman khususnya segala hal yang berkaitan dengan kasus pasien

trauma/pascatrauma pada keadaan kegawatdarurat.

2) Sebaiknya dilakukan tatalaksana pada luka agar tidak terjadi infeksi dan

komplikasi lebih lanjut.

53

Lampiran dokumentasi

Gambar 1. Vulnus Laceratum pada region dorsum pedis.

Gambar 2. Fraktur tertutup regio antebrachii sinistra

54

Gambar 3. Pembidaian pada pasien A

Gambar 4. Vulnus Ekskoriatum

Gambar 5. Nacl 0.9%+ Gentamicin

55

Gambar 6: Vulnus Iaceratum (luka robek)

Gambar 7 : Vulnus ekskoriatum (luka lecet) di regio frontalis, Vulnus contusio (luka memar)

di regio frontalis, Vulnus ekskoriatum (luka lecet) di Regio zygomatica.

56

Gambar 8: Vulnus incivum (luka sayat) di regio halux dextra.

Gambar 9: Vulnus ekskoriatum (luka lecet) di regio genue dextra et sinistra.

Gambar 10: 10 Penyakit Terbanyak di IGD RS Bhayangkara Palembang Tahun 2013

57

Gambar 11: Foto bersamadr. IGD dan kelompok 6

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons Commite On Trauma 2004. ATLS 7th edition ; 4. Diakses pada 20 September 2013.

Anonim. 2013. Cedera kepala. Diakses 20 September 2013

Anonim. 2013. Trauma Kepala. Medan : Universitas Sumatera Utara. Diakses pada 20 September 2013.

Asrini. 2008. Trauma Kapitis. Medan : Universitas Sumatera Utara. Diakses pada 20 September 2013.

Dorland, W.A. Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. ed.31. penerbit EGC. Jakarta, Indonesia

Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC

Harjadi, W. 2008. Anatomi Abdomen. Penerbit EGC. Jakarta, Indonesia

Lindsay, Kenneth. 1997. Section IV localised Neurological Disease and Its management A Intracranial “Head Injury” Neurology and Neurosurgery Illustrated, Third Edition. Churcil Livingston. Diakses pada 20 September 2013.

M, Mardjono.2008. Neurologi klinis dasar. Edisi 5. Jakarta: Dian Rakyat

Rasjad. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Orthopaedi, Trauma, 12th Edition. Makassar : Bintang Lamupatue.

58

Soemarko, M. 2004. Hubungan Peningkatan tekanan Intravesika Urinaria dengan Perdarahan Intraperitoneal akibat Trauma Tumpul Abdomen. Jurnal Kedokteran Brawijaya. Vol.20, No. 1

Sjamsuhidajat, de jong. 2010. Buku ajar ilmu bedah.ed.3.penerbit EGC. Jakarta, Indonesia

Snell, Richard. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta : EGC.

Usman. 2013. Trauma ekstremitas. Diakses pada 23 Oktober 2013.

59