Probing Promting Problem Posing Dan Problem Solving
-
Upload
safran-as-shoufiyah -
Category
Documents
-
view
13 -
download
2
Transcript of Probing Promting Problem Posing Dan Problem Solving
PERBEDAAN PROBING PROMTING, PROBLEM POSING DAN PROBLEM
SOLVING DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
1. PROBING PEOMTING
Probing (Question)
Secara bahasa kata “probing” memiliki arti menggali atau melacak, sedangkan menurut
istilah probing berarti berusaha memperoleh keterangan yang lebih jelas atau lebih
mendalam. Pengertian probing dalam pembelajaran di kelas didefinisikan sebagai suatu
teknik membimbing siswa menggunakan pengetahuan yang telah ada pada dirinya guna
memahami gejala atau keadaan yang sedang diamati sehingga terbentuk pengetahuan
baru (Wijaya, 197). Teknik menggali (probing) ini dapat digunakan sebagai teknik untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas jawaban murid. Pertanyaan itu bermaksud untuk
menuntun murid agar isinya dapat menemukan jawaban yang lebih benar.Teknik probing
diawali dengan menghadapkan siswa pada situasi baru yang mengandung teka-teki atau
benda-benda nyata. Situasi baru itu membuat siswa mengalami pertentangan dengan
pengetahuan yang sudah dimilikinya sehingga memberikan peluang kepada siswa untuk
mengadakan asimilasi, disinilah probing mulai diperlukan.
Prompting (question)
Secara bahasa “prompting” berarti “mengarahkan, menuntut”, sedangkan menurut istilah
adalah pertanyaan yang diajukan untuksmemberi arah kepada murid dalam proses
berfikirnya. Bentuk pertanyaan prompting dibedakan menjadi 3 macam yaitu 1)
Mengubah susunan pertanyaan dengan kata-kata yang lebih sederhanayang membawa
mereka kembali pada pertanyaan semula, .2) Menanyakan pertanyaan-pertanyaan dengan
kata-kata berbeda atau lebih sederhana yang disesuaikan dengan pengetahuan murid
muridnya saja, 3) Memberikan suatu review informasi yang diberikan dan pertanyaan
yang membantu murid untuk mengingat atau melihat jawabannya (E. C.Wragdan George
Brown, 1997: 43). Dengan kata lain prompting adalah cara lain dalam merespon
(menanggapi) jawaban siswa apabila siswa gagal menjawab pertanyaan,atau jawaban
kurang sempurna. Dengan demikian salah satu bentuk prompting adalah menanyakan
pertanyaan lain yang lebih sederhana yang jawabannya dapat dipakai menuntun siswa
untuk menemukan jawaban yang tepat (Suwandi dan Tjetjep S, 1996: 18). Jadi dari
keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya teknik Probing Prompting
adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya
menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berfikir yang mengaitkan pengetahuan
siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya
siswa mengkonstruksikan sendiri konsep menjadi pengetahuan baru, dengan demikian
pengetahuan baru tidak diberitahukan.Dengan model pembelajaran seperti ini proses
tanya jawab dilakukan secara acak. Sehingga mau tidak mau setiap siswa harus
berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa menghindar dari proses pembelajaran,karena setiap
saat mereka akan dilibatkan dalam proses tanya jawab
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2201098-pengertian-probing-
prompting/#ixzz1xGNHxpdK
2. PROBLEM POSING
Problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, yang mempunyai
padanan arti ``pembentukan soal'', ``pengajuan soal.'' Problem posing merupakan istilah
dalam bahasa Inggris, yang padanan katanya digunakan istilah ``pembentukan soal.''
Dalam pustaka pendidikan matematika, problem posing memiliki beberapa pengertian.
Pertama, Problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal
yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam
rangka memecahkan soal yang rumit. Kedua, Problem posing adalah perumusan soal
yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka
mencari alternatif pemecahan lain . Ketiga, Problem posing adalah perumusan soal dari
informasi atau situasi yang telah tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika, atau setelah
penyelesaian suatu soal. Sehingga, problem posing merupakan model pembelajaran yang
menekankan siswa mengajukan pertanyaan sendiri atau memecahkan suatu soal menjadi
pertanyaanpertanyaan yang lebih sederhana yang mengacu pada penyelesaian soal
tersebut.
Pengajuan soal mandiri dapat diaplikasikan dalam 3 bentuk aktivitas kognitif matematis,
yaitu: (1) Pre Solution Posing, suatu pengembangan masalah awal dari situasi stimulus
yang diberikan, (2) Within Solution Posing, yaitu merumuskan kembali masalah agar
menjadi lebih mudah untuk diselesaikan, dan (3) Post Solution Posing, yaitu
memodifikasi tujuan atau kondisi dari masalah yang sudah diselesaikan untuk
merumuskan masalah baru.
Klasifikasi informasi atau situasi problem posing menjadi situasi Problem Posing yang
bebas, semi terstruktur, dan terstruktur. Pada situasi Problem Posing yang bebas, siswa
diberikan suatu informasi yang harus dipatuhi, tetapi siswa diberikan kesempatan seluas-
luasnya untuk membentuk soal sesuai dengan apa yang dia kehendaki. Sedangkan dalam
situasi Problem Posing yang semi terstruktur, siswa diberi situasi atau informasi terbuka.
Kemudian siswa diminta mencari atau menyelidiki situasi atau informasi tersebut dengan
cara menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Siswa juga harus mengaitkan
informasi itu dengan konsepkonsep dan prinsipprinsip matematis yang diketahuinya
untuk membentuk soal. Pada situasi Problem Posing yang terstruktur, informasi atau
situasinya berupa soal atau selesaian dari suatu soal.
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PROBLEM POSING
A. Belajar Matematika dengan Pemahaman
Menurut Hudojo (1990:5), dalam proses belajar matematika terjadi juga proses
berpikir, sebab seseorang dikatakan berpikir bila orang itu melakukan kegiatan mental.
Seseorang yang belajar matematika, mempersiapkan mentalnya dalam proses penerimaan
pengetahuan baru yang disertai tindakan-tindakan konkret oleh orang itu melalui
penyelesaian masalah matematika.
Sebelum tahun 1935, pembelajaran matematika (atau lebih tepatnya aritmetika)
dilakukan dengan menggunakan pendekatan psikologi stimulus-respon (As’ari, 1998:2).
Perhatian utama pendekatan stimulus-respon adalah kemampuan siswa menghafal dan
menggunakan rumus atau algoritma secara efektif. Guru sudah cukup puas bila siswa
sudah mampu mengoperasikan bilangan dan trampil menggunakannya untuk
menyelesaikan masalah. Guru tidak memikirkan bahwa apakah siswa betul-betul
memahami sesuatu yang dilakukan. As’ari (1998:3) juga mengemukakan bahwa guru
tidak terlalu dipusingkan untuk membedakan dua istilah “know” dan “know how to”.
Situasi ini berakhir setelah seorang pakar matematika Brownell (1935) menyoroti
pentingnya pemahaman dalam pengajaran aritmetika dan membedakan kedua istilah di
atas. Orang mulai menyadari bahwa ada dua pengetahuan yang dapat dipelajari dalam
matematika, yaitu pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural. Kedua
pengetahuan itu mempunyai peran yang sama pentingnya dan keduanya perlu diajarkan
di sekolah (Hiebert dan Lindquist dalam As’ari, 1998:3). Suydam dan Higgins (dalam
As’ari,1998:3), menyatakan bahwa sejak Brownell mengemukakan pendapatnya
tersebut, pentingnya pemahaman dalam pengajaran aritmetika semakin diakui
keberadaannya.
Menurut Hiebert dan Carpenter (dalam Grouws, 1992:67), memahami dalam
matematika adalah membuat hubungan antara ide-ide, fakta, atau prosedur yang
semuanya merupakan bagian dari jaringan. Dengan demikian masalah yang sudah
dipahami dapat diselesaikan dengan cara memahami hubungan antara ide-ide, fakta atau
prosedur yang terdapat dalam jaringan.
Hiebert dan Carpenter (dalam Grouws, 1992:70) menyatakan bahwa pemahaman
matematika memerlukan suatu proses untuk menempatkan secara tepat informasi atau
pengetahuan yang sedang dipelajari ke dalam jaringan internal dari representasi
pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya di dalam struktur kognitif siswa. Misalnya
untuk menyelesaikan soal cerita yang memuat pengerjaan hitung penjumlahan,
pengurangan, perkalian, dan penjumlahan, diperlukan pemahaman tentang konsep
penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian itu sendiri. Siswa yang hanya
memahami sebagian dari hal-hal tersebut, tentu belum dapat menyelesaikan masalah itu.
Menurut Sutawidjaja (1997:177) memahami konsep saja tidak cukup, karena di
dalam praktek kehidupan siswa memerlukan keterampilan matematika, sedangkan
dengan memahiri keterampilannya saja siswa tidak mungkin memahami konsepnya. Oleh
karena itu, guru harus menyampaikan konsep dengan benar dan kemudian melatihkan
keterampilannya. Untuk pemahaman konsep, guru perlu memberikan latihan bervariasi,
sedangkan untuk meningkatkan keterampilan, perlu dilakukan banyak latihan atau dapat
juga melalui permainan agar lebih menarik. Bila pengetahuan matematika SD, baik yang
konseptual maupun yang prosedural, tidak disajikan dengan cara yang sesuai, maka siswa
akan mengalami kesulitan dalam memahami dan memahirinya.
Menurut Hiebert dan Carpenter (dalam As’ari, 1998:3-4) pengajaran yang
menekankan kepada pemahaman mempunyai sedikitnya lima keuntungan berikut.
1. Pemahaman memberikan generatif artinya bila seorang telah memahami suatu
konsep, maka pengetahuan itu akan mengakibatkan pemahaman yang lain karena
adanya jalinan antar pengetahuan yang dimiliki siswa, sehingga setiap pengetahuan
baru melalui keterkaitan dengan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
2. Pemahaman memacu ingatan artinya suatu pengetahuan yang telah dipahami
dengan baik akan diatur dan dihubungkan secara efektif dengan pengetahuan-
pengetahuan yang lain, melalui pengorganisasian skema atau pengetahuan secara
lebih efisien di dalam struktur kognitif berfikir sehingga pengetahuan itu lebih
mudah diingat.
3. Pemahaman mengurangi banyaknya hal yang harus diingat artinya jalinan yang
terbentuk antara pengetahuan yang satu dengan yang lain dalam struktur kognitif
siswa yang mempelajarinya dengan penuh pemahaman merupakan jalinan yang
sangat baik. Dengan memahami salah satu dari pengetahuan tersebut, maka segala
pengetahuan yang terkait dapat diturunkan darinya, dengan demikian siswa tidak
perlu mengahafalkan semuanya.
4. Pemahaman meningkatkan transfer belajar artinya pemahaman suatu konsep
matematika akan diperoleh siswa yang aktif menemukan keserupaan dari berbagai
konsep tersebut. Hal ini akan membantu siswa untuk menganalisis apakah suatu
konsep tertentu dapat diterapkan, untuk suatu kondisi tertentu.
5. Pemahaman mempengaruhi keyakinan siswa artinya siswa yang memahami
matematika dengan baik akan mempunyai keyakinan yang positif yang selanjutnya
akan membantu perkembangan pengetahuan matematikanya.
Hiebert dan Carpenter (dalam Grouws,1992:69) menyatakan bahwa pada
dasarnya terbentuknya pemahaman ketika belajar berlangsung dalam proses yang
digambarkan sebagai berikut.
1. Menangkap ide yang dipelajari melalui pengalaman konkret.
2. Menyatukan informasi dengan skema pengetahuan yang sudah dimiliki.
3. Mengorganisasikan kembali pengetahuan yang sudah dimiliki, dengan membuat
hubungan antara pengetahuan lama dan pengetahuan yang baru sehingga
terbentuklah hubungan baru dengan hubungan lama yang dimodifikasikan.
B. Pengertian Problem Posing
Problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, yang mempunyai
beberapa padanan dalam bahasa Indonesia. Suryanto (1998:1) dan As’ari (2000:4)
memadankan istilah problem posing dengan pembentukan soal. Sedangkan Sutiarso
(1999:16) menggunakan istilah membuat soal, Siswono (1999:7) menggunakan istilah
pengajuan soal, dan Suharta (2000:4) menggunakan istilah pengkonstruksian masalah.
Problem posing memiliki beberapa pengertian. Pertama, problem posing ialah
perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa
perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal yang
rumit. Kedua, problem posing ialah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat
pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka mencari alternatif pemecahan lain (Silver
& Cai, 1996:294). Ketiga, problem posing ialah perumusan soal dari informasi atau
situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika, atau setelah penyelesaian suatu soal
(Silver & Cai, 1996:523).
Menurut Brown dan Walter (1993:15) informasi atau situasi problem posing dapat
berupa gambar, benda manipulatif, permainan, teorema atau konsep, alat peraga, soal,
atau selesaian dari suatu soal. Selanjutnya Suryanto (1998:3) menyatakan bahwa soal
dapat dibentuk melalui soal-soal yang ada dalam buku. Stoyanova (1996)
mengklasifikasikan informasi atau situasi problem posing menjadi situasi problem posing
yang bebas, semiterstuktur, dan terstruktur. Pada situasi problem posing yang bebas,
siswa tidak diberikan suatu informasi yang harus ia patuhi, tetapi siswa diberi
kesempatan yang seluas-luasnya untuk membentuk soal sesuai dengan apa yang ia
kehendaki. Siswa dapat menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai
acuan dalam pembentukan soal. Sedangkan dalam situasi problem posing yang semi
terstruktur, siswa diberi situasi atau informasi yang terbuka. Kemudian siswa diminta
untuk mencari atau menyelidiki situasi atau informasi tersebut dengan cara menggunakan
pengetahuan yang dimilikinya. Selain itu, siswa harus mengaitkan informasi itu dengan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika yang diketahuinya untuk membentuk soal.
Pada situasi problem posing yang terstuktur, informasi atau situasinya berupa soal atau
selesaian dari suatu soal (Yuhasriati, 2002:12).
Pada penelitian ini, problem posing yang digunakan adalah perumusan soal yang
sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar menjadi
lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka menyelesaikan soal cerita operasi
hitung campuran. Penelitian ini menggunakan informasi problem posing yang terstruktur,
yaitu informasi berupa soal yang perlu diselesaikan oleh siswa. Berdasarkan soal cerita
yang diberikan, siswa menyusun informasi dan kemudian membuat soal berdasarkan
informasi yang telah disusun. Selanjutnya, soal-soal tersebut diselesaikan dalam rangka
mencari selesaian sebenarnya dari pertanyaan soal cerita yang diberikan.
Respon siswa yang diharapkan dari situasi atau informasi problem posing adalah
respon berupa soal buatan siswa. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan siswa
membuat yang lain, misalnya siswa hanya membuat pernyataan. Silver dan Cai
(1996:526) mengklasifikasikan respon tersebut menurut jenisnya menjadi tiga kelompok,
yaitu pertanyaan matematika, pertanyaan non matematika dan pernyataan.
Pertanyaan matematika adalah pertanyaan yang memuat masalah matematika dan
mempunyai kaitan dengan informasi yang diberikan. Pertanyaan matematika ini,
selanjutnya diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu pertanyaan matematika yang
dapat diselesaikan dan pertanyaan matematika yang tidak dapat diselesaikan. Pertanyaan
matematika yang dapat diselesaikan adalah pertanyaan yang memuat informasi yang
cukup dari situasi yang ada untuk diselesaikan, atau jika pertanyaan tersebut memiliki
tujuan yang tidak sesuai dengan informasi yang ada. Selanjutnya pertanyaan matematika
yang dapat diselesaikan juga dibedakan atas dua hal, yaitu pertanyaan yang memuat
informasi baru dan pertanyaan yang tidak memuat informasi baru.
Pertanyaan non matematika adalah pertanyaan yang tidak memuat masalah
matematika dan tidak mempunyai kaitan dengan informasi yang diberikan. Sedangkan
pernyataan adalah kalimat yang bersifat ungkapan atau berita yang tidak memuat
pertanyaan, tetapi sekedar ungkapan yang bernilai benar atau salah.
Respon yang dihasilkan siswa mungkin lebih dari satu pertanyaan matematika.
Antara pertanyaan yang satu dengan pertanyaan lainnya dapat dilihat hubungan yang
terjadi. Menurut Silver dan Cai (1996:302) ada dua jenis hubungan antara respon-respon
tersebut, yaitu hubungan simetrik dan berantai. Respon yang mempunyai hubungan
simetrik disebut respon simetrik yaitu serangkaian respon yang objek-objeknya
mempunyai hubungan. Sedangkan respon yang mempunyai hubungan berantai disebut
respon berantai. Pada respon berantai, untuk menyelesiakan respon berikutnya diperlukan
penyelesaian respon sebelumnya. Sehubungan itu, Kilpatrik (dalam Siver & Cai,
1996:354) menyatakan bahwa salah satu dasar kosep koginitif yang terlibat dalam
pengajuan soal adalah assosiasi, yaitu kecendrungan siswa menggunakan respon pertama
sebagai pijakan untuk mengajukan soal kedua, ketiga, dan seterusnya.
Berdasarkan tingkat kesukarannya, Silver dan Cai (1996:526), mengklasifikasikan
respon siswa menjadi dua dua kelompok, yaitu: (1) tingkat kesukaran respon terkait
dengan stuktur bahasa (sintaksis), dan (2) tingkat kesukaran respon terkait dengan stuktur
matematika (semantik). Tingkat kesukaran respon yang berkaitan dengan sintaksis dapat
dilihat dari proposisi yang dikandungnya. Proposisi yang digunakan dibedakan menjadi
tiga, yaitu proposisi penugasan, proposisi hubungan, dan proposisi pengandaian.
Proposisi penugasan adalah pertanyaan (soal) yang memuat tugas untuk dikerjakan.
Proposisi hubungan adalah pertanyaan yang memuat tugas untuk membandingkan.
Sedangkan proposisi pengandaian adalah pertanyaan yang menggunakan informasi
tambahan.
Tingkat kesukaran respon berkaitan dengan stuktur semantik, dapat diketahui dari
hubungan semantiknya. Menurut Marshall (dalam Silver & Cai, 1996:528) hubungan
semantik respon siswa dapat dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu mengubah,
mengelompokkan, membandingkan, menyatakan kembali, dan memvariasikan.
C. Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika
Problem posing adalah pembelajaran yang menekankan pada pengajuan soal oleh
siswa. Oleh karena itu, problem posing dapat menjadi salah satu alternatif untuk
mengembangkan berpikir matematis atau pola pikir matematis. Menurut Suryanto
(1998:3) merumuskan soal merupakan salah satu dari tujuh kriteria berpikir atau pola
berpikir matematis.
Dewasa ini, problem posing merupakan kegiatan penting dalam pembelajaran
matematika. NCTM merekomendasikan agar dalam pembelajaran matematika, para siswa
diberikan kesempatan untuk mengajukan soal sendiri (dalam Siver dan Cai, 1996:521).
Silver dan Cai (1996:293) juga menyarankan agar pembelajaran matematika lebih
ditekankan pada kegiatan problem posing. Menurut Cars (dalam Suryanto, 1998:9) untuk
meningkatkan kemampuan menyelesaikan dapat dilakukan dengan cara membiasakan
siswa mengajukan soal. Sejalan dengan itu, Suparno (1997:83) menyatakan bahwa
mengungkapkan pertanyaan merupakan salah satu kegiatan yang dapat menantang siswa
untuk lebih berpikir dan membangun pengetahuan mereka.
Menurut Killpatrich (dalam Silver dan Cai, 1996:530) salah satu dasar kognitif
yang ada dalam problem posing adalah asosiasi. Selanjutnya, menurut As’ari (2000:9)
dalam kegiatan problem posing, ketika terjadi proses asosiasi antara informasi baru
dengan struktur kognitif yang dimiliki seseorang, maka proses selanjutnya yang terjadi
adalah proses asimilasi dan akomodasi.
Di samping itu, Brown dan Walter (1996:15) yang menyatakan pembuatan soal dalam
pembelajaran matematika melalui dua tahap kegiatan kognitif, yaitu accepting
(menerima) dan challenging (menantang). Menerima terjadi ketika siswa membaca
situasi atau informasi yang diberika guru dan menantang terjadi ketika siswa berusaha
untuk mengajukan soal berdasarkan situasi atau informasi yang diberikan. Sehubungan
dengan hal tersebut, As’ari (2000:9) menegaskan bahwa proses kognitif menerima
memungkinkan siswa untuk menempatkan suatu informasi pada suatu jaringan struktur
kognitif sehingga struktur kognitif tersebut makin kaya, sementara proses kognitif
menantang memungkinkan jaringan stuktur kognitif yang ada menjadi semakin kuat
hubungannya. Dengan demikian pembelajaran matematika dengan pendekatan problem
posing akan menambah kemampuan dan penguatan konsep dan prinsip matematika
siswa.
3. PROBLEM SOLVING
Pemecahan masalah ( problem solving ) didefinisikan sebagai suatu proses penghilangan
perbedaan atau ketidaksesuaian yang terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil hasil
yang diinginkan ( Hunsaker,2005 ).
Mu’Qodin ( 2002 ) mengatakan bahwa problem solving adalah merupakan suatu
keterampilan yang meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi,
mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan,
kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang dicapai
dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat..
Berdasarkan dari beberapa definisi problem solving yang dikemukakan diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa problem solving merupakan suatu keterampilan yang meliputi
kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi dan mengidentifikasi masalah
dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif sehingga dapat mengambil suatu tindakan
keputusan untuk mencapai sasaran.
Bentuk Problem Solving
Ada beberapa bentuk dalam problem solving menurut Chang, D’Zurilla dan Sanna
(2004), yaitu :
a) Rational Problem Solving
Sebuah bentuk problem solving yang konstruktif yang didefinisikan seperti rasional,
berunding dan aplikasi yang sistematik dalam kemampuan menyelesaikan masalah.
Model ini terdiri dari 4 tahapan, yaitu :
1) Identifikasi Masalah
Problem solver memncoba mengelompokkan dan mengerti masalah yang
dihadapi dengan mengumpulkan banyak spesifikasi dan fakta konkrit tentang
kemungkinan masalah, mengidentifikasi permintaan, rintangan dan tujuan yang
realistik dalam menyelesaikan masalah.
2) Mencari Solusi Alternatif
Fokus pada tujuan untuk menyelesaikan masalah tersebut dan mencoba untuk
mengidentifikasi banyak solusi yang memungkinkan termasuk yang
konvensional.
3) Mengambil Keputusan
Problem solvers mengantisipasi terhadap keputusannya dalam solusi yang
berbeda, mempertimbangkan, membandingkan dan kemudian memilih yang
terbaik atau solusi yang efektif yang paling berpotensial.
4) Mengimplementasi Solusi dan Pembuktian
Seseorang harus berhati-hati dalam menerima dan mengevaluasi solusi yang
menjadi pilihan setelah mencoba untuk melaksanakan solusi tersebut kedalam
situasi masalah dalam kehidupan nyata.
b). Mengabaikan Kata Hati
Ini adalah salah satu pola karakteristik penyelesaian masalah yang difungsional dalam
usaha aktif yang digunakan dalam strategi menyelesaikan masalah dan tekhniknya,
tetapi usaha ini menyempit, implosif, berhati-hati, sangat cepat, dan tidak lengkap.
c) Bentuk Menghindari Masalah
Bentuk ini adalah salah satu karakteristik penyelesaian masalah yang disfungsional
berupa penundaan, pasif atau tidak melakukan apapun dan ketergantungan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Problem Solving
Menurut Rahmat (2001) terdapat 4 faktor yang mempengaruhi proses dalam problem
solving yaitu motivasi, kepercayaan dan sikap yang salah, kebiasaan dan emosi.
a) Motivasi
Motivasi yang rendah akan mengalihkan perhatian, sedangkan motivasi yang tinggi
akan membatasi fleksibilitas.
b) Kepercayaan dan Sikap yang Salah
Asumsi yang salah dapat menyesatkan kita. Bila kita percaya bahwa kebahagiaan
dapat diperoleh dengan kekayaan material, kita akan mengalami kesulitan ketika
memecahkan penderitaan batin kita. Kerangka rujukan yang tidak cermat
menghambat efektifitas pemecahan masalah.
c) Kebiasaan
Kecenderungan untuk mempertahankan pola pikir tertentu atau melihat masalah
hanya dari satu sisi saja, atau kepercayaan yang berlebihan dan tanpa kritis pada
pendapat otoritas menghambat pemecahan masalah yang efisien. Ini menimbulkan
pemikiran yang kaku ( rigid mental set ), lawan dari pemikiran yang fleksibel
( flexible mental set )
d) Emosi
Dalam menghadapi berbagai situasi, kita tanpa sadar terlibat secara emosional.
Emosi ini mewarnai cara berpikir kita sebagai manusia yang utuh, kita tidak dapat
mengesampingkan emosi. Tetapi bila emosi itu sudah mencapai intensitas yang
begitu tinggi sehingga menjadi stress, barulah kita menjadi silit untuk berpikir
efisien.
D. Referensi
As’ari, A.R. 1998. Penggunaan Alat Peraga Manipulatif dalam Penanaman Konsep Matematika. Jurnal Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam dan Pengajaran. 27(I):1-13
As’ari, A.R. 2000, Problem Posing untuk Peningkatan Profesionalisme Guru Matematika. Jurnal Matematika. Tahun V, Nomor 1, April 2000.
Brown, S. & Walter, R.. 1990. The Art of Problem Posing. London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers
Brown, S. & Walter, R.. (Ed). 1993. Problem Posing : Reflections and Aplications. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Hiebert, J. & Carpenter, T.. 1992. Learning and Teaching with Understanding. Dalam D Grouws (ed). Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning (hlm.65-419). New York: Macmillan Publishing Company.
Hudojo, H.. 1990. Strategi Belajar Mengajar Matematika. IKIP Malang
Silver, E.A. & Cai, S.. 1996. An Analysis of Arithmetic Problem Posing by Middle School Students, Journal for Research in Mathematics Education. 27: 521-539
Siswono, Y.T.E., 2000. Pengajuan Soal (Problem Posing) dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah (Implementasi dari Hasil Penelitian). Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pengajaran Matematika Sekolah Menengah, 25 Maret 2000. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang.
Stoyanova, E. 1996. Developing a Framework for Research into Students’ Problem posing in School Mathematics, (Online), crsma@cc newcastel.edu.au, diakses 11 Juni 2001
Suharta, I.G.P. 2000. Pengkonstruksian Masalah oleh Siswa (Suatu Strategi Pembelajaran Matematika). Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pengajaran Matematika di Sekolah Menengah yang dilaksanakan oleh Jurusan Matematika FMIPA UM. Malang, 25 Maret 2000.
Suparno, P. 1997. Filsafat Kontruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.Suryanto, 1998. Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan pada Seminar Nasional: Upaya-upaya Meningkatkan Peran Pendidikan dalam Menghadapi Era Globalisasi. Program Pascasarjana IKIP Malang, 4 April 1998.
Sutawidjaja, A. 1997. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Jurnal Matematika, Ilmu Pengetahuan, dan Pengajarannya. Volume 26(2):175-187.
Sutiarso, S. 1999. Pengaruh Pembelajaran dengan Pendekatan Problem Posing Terhadap Hasil Belajar Aritmatika Siswa SMPN 18 Malang. Tesis tidak diterbitkan. Program Pascasarjana UM.
Yuhasriati, 2002. Pembelajaran Persamaan Garis Lurus yang Memuat Problem Posing di SLTP Laboratorium Universitas Negeri Malang. Tesis tidak diterbitkan. Program Pascasarjana UM.
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2260489-pengertian-problem-posing/#ixzz1xGO1rsX9