Presus Observasi Ikterus Ec Hepatitis
-
Upload
rizqiie-ierestiana -
Category
Documents
-
view
493 -
download
6
Transcript of Presus Observasi Ikterus Ec Hepatitis
BAB 1
PRESENTASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Usia : 77 tahun
Alamat : Sraten, Tuntang, Kab. Semarang
Pasien : Paviliun lantai 4
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri dada disertai batuk kering, serta kulit
dan sklera tampak berwarna kuning.
Riwayat Penyakit Sekarang : Sudah sejak lama pasien mengeluh
nyeri dada yang dirasakan hingga ke pinggang dan kulit berwarna
kuning, nyeri dada semakin berat dirasakan jika pasien batuk.
Pasien juga mengeluhkan warna urin yang lebih coklat seperti air
teh, adanya penurunan nafsu makan serta gatal pada beberapa
bagian tubuhnya. Tidak ada nyeri perut serta tidak ada tanda
pembengkakan pada tubuhnya. Selama di rumah sakit pasien
belum BAB. Pasien juga menyangkal riwayat bepergian ke daerah
endemis.
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien mengaku pernah dirawat di
rumah sakit karena gejala penyakit liver yang dialaminya kurang
1
lebih 3 bulan yang lalu, sejak saat itu pasien rajin memeriksakan
dirinya ke dokter spesialis, tetapi tidak semua obat yang diberikan
dokter dihabiskannya. Tidak ada riwayat konsumsi alkohol serta
konsumsi obat-obatan ataupun jamu. Tidak ada riwayat transfusi
darah dalam 6 bulan terakhir.
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang
mengalami penyakit yang sama.
Riwayat Alergi : Tidak ada riwayat alergi
III. PEMERIKSAAN FISIK
KU: CM, tampak lemah
Vital Sign : TD : 130/80 Nadi: 128 kali/menit RR: 28 kali/menit T: 37,2
oC
Status Generalis:
Pemeriksaan Kepala: CA: +/+ SI: +/+ , palatum mole ikterik (+), mukosa
bawah lidah ikterik (+).
Pemeriksaan Leher : Pembesaran Lnn (-), JVP meningkat (-)
Pemeriksaan Thorax :
- Inspeksi : spider navy (-), retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
- Palpasi : nyeri tekan (+) pada SIC 1 dx, masa (-), vokal fremitus
menurun
- Perkusi : redup pada paru kanan
- Auskultasi : terdengar bunyi ronkhi
Pemeriksaan Abdomen:
2
- Inspeksi : asites (-), venektasi (-), masa (-)
- Auskultasi : bising usus (+) Normal
- Palpasi : nyeri tekan (-), masa (-), hepar tak teraba, splen tak teraba
- Perkusi : tympani, meteorismus (+), asites (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan Lab:
- Bilirubin total: 6,5
mg/dl
- Bilirubin direct: 3,9
mg/dl
- Bilirubin indirect: 2,6
mg/dl
- Protein total: 7,8 gr/dl
- Albumin : 2,9 gr/dl
- Globulin : 4,9 gr/dl
- Anti HCV : negative
- Hbs Ag : negative
- Pemeriksaan hematologi:
- AL: 10,1 x 103
- AE: 2,32 x 103
- Hb: 8,0 g/dL
- MCV: 106
- MCH: 34,2
- MCHC: 32,3
- AT : 345
- LED: 1 jam : 95 m
II jam :119 m
- Pemeriksaan Kimia:
- GDS: 97
- Ureum : 23
- Creatinin: 0,6
- SGOT: 81
- SGPT: 71
3
- USG: kesan:
- Tidak tampak adanya kelainan pada organ hepar, lien, vesica felea,
pankreas, ren, vessica urinaria, aorta dan uterus.
- Terdapat gambaran udara intraintestinal
- Meteorismus
- Ro thorax : kesan :
- COR: cardiomegali dengan elongasi dan kalsifikasi arcus aorta
suspect LVH
- Pulmo: BrPn dd proses spesifik dengan efusi pleura dekstra
- EKG: kesan: sinus takikardi
V. DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
- Observasi ikterik ec suspect hepatitis dengan efusi pleura
- Observasi ikterik ec suspect kolestasis dengan efusi pleura
VI. DIAGNOSIS KERJA
Observasi ikterus ec kolestasis dengan efusi pleura
VII. THERAPY
- Celebrex 2 x 1
- Cipro 2x 500
- Urdahex 2 x 1
- Rejuvit 2 x 1
- Ceftriaxon 1
VIII. USULAN
- USG ulang
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
OBSERVASI IKTERUS EC KOLESTASIS DENGAN EFUSI
PLEURA
I. IKTERUS
Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit
dan sklera akibat akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan.
Ikterus adalah gambaran fisik sehubungan dengan gangguan metabolisme
bilirubin. Kata ‘ikterus’ berasal dari kata perancis ‘jaune’ yang berarti
‘kuning’.1
Metabolisme bilirubin diawali dengan pembuangan sel darah
merah yang sudah tua atau rusak dari aliran darah yang dilakukan oleh
empedu. Selama proses tersebut berlangsung, hemoglobin akan dipecah
menjadi bilirubin. Bilirubin kemudian dibawa ke dalam hati dan dibuang
ke dalam usus sebagai bagian dari empedu. Gangguan dalam pembuangan
mengakibatkan penumpukan bilirubin dalam aliran darah yang
menyebabkan pigmentasi kuning pada plasma darah yang menimbulkan
perubahan warna pada jaringan yang memperoleh banyak aliran darah
tersebut. Kadar bilirubin akan menumpuk kalau produksinya dari heme
melampaui metabolisme dan ekskresinya. Ketidakseimbangan antara
produksi dan klirens dapat terjadi akibat pelepasan perkursor bilirubin
secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibat proses fisiologi yang
5
mengganggu ambilan (uptake) hepar, metabolisme ataupun ekskresi
metabolit ini.2
Dalam metabolisme bilirubin terdapat 5 faktor penting yaitu :
a. Pembentukan bilirubin
b. Transpor plasma
c. Liver uptake
d. Konjugasi
e. Ekskresi bilier
Ikterus secara teoritik terjadi berdasarkan gangguan metabolisme
kelima faktor tersebut.3
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus
dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar hasil bilirubin berasal dari
degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi berasal dari hem bebas atau
dari proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi
dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta
beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi
bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi
larut dalam lemak, karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi
dan mudah melalui membrane biologic seperti placenta dan sawar darah
otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan
dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga
bilirubin terikat dengan oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke
dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan
6
dengan ligandin ( protein-Y), protein-Z, dan glutation hati lain yang
membawanya ke reticulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses
konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase
yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini
larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal.
Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskesi melalui duktus
hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi
urobilinogen dan keluar dari tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus
sebagian diarbsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses
arbsorpsi enterohepatik.
Gambar 1. Metabolisme bilirubin
(http://ahdc.vet.cornell.edu/clinpath/modules/chem/tbili.htm )
7
Proses terjadinya ikterus merupakan hasil dari terganggunya proses
metabolisme bilirubin sehingga menimbulkan akumulasi pigmen bilirubin
dalam darah dan jaringan (hiperbilirubinemia).4
Ada dua macam ikterus, yakni:
1. Ikterus hemolitik
Pada ikterus hemolitik fungsi ekskresi hati hanya terganggu sedikit, tapi
sel darah merah dihemolisis dengan cepat dan sel hati tidak dapat
mengekskresi bilirubin secepat pembentukannya. Oleh karena itu,
konsentrasi plasma bilirubin bebas (indirect) meningkat diatas normal.
Juga kecpatan pembentukan urobilinogen dalam usus sangat meningkat,
dan sebagian besar urubilinogen diabsorpsi kedalam darah dan akhirnya
diekskresikan ke dalam urin.
2. Ikterus obstruktif (kolestasis)
Ikterus obstruktif disebabkan oleh obstruksi duktus biliaris (yang
sering terjadi bila sebuah batu empedu atau kanker menutupi duktius
koledokus) atau kerusakan sel hati (yang terjadi pada hepatitis),
kecepatan pembentukan bilirubin normal, tapi bilirubin yang dibentuk
tidak dapat lewat dari darah kedalam usus. Bilirubin indirect biasanya
masih masuk ke sel hati dan dikonjugasi dengan cara yang biasa.
Bilirubin terkonjugasi ini kemudian kembali ke dalam darah, mungkin
karena pecahnya kanalikuli biliaris yang terbendung dan pengosongan
langsung ke saluran limfe yang meninggalkan hati. Dengan demikian,
8
kebanyakan bilirubin dalam plasma menjadi bilirubin terkonjugasi dan
bukan bilirubin bebas.5
Untuk membedakan antara ikterus hemolitik dan ikterus obstruktif
dapat digunakan uji laboratorium kimia untuk mengetahui adanya
bilirubin bebas atau bilirubin terkonjugasi dalam plasma. Pada ikterus
hemolitik, hampir semua bilirubin dalam bentuk bebas, pada ikterus
obstruktif bilirubin terutama dalam bentuk terkonjugasi.1,5
Ikterus obstruktif (kolestasis) dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Kolestatis intrahepatik
Penyebab paling sering kolestatik intrahepatik adalah
hepatitis, keracunan obat, penyakit hati karena alkohol dan penyakit
hepatitis autoimmun. Peradangan intrahepatik mengganggu transport
bilirubin konjugasi dan menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan
penyakit self limited dan dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang
timbul secara akut. Hepatitis B dan C akut sering tidak menimbulkan
ikterus pada awal (akut), tetapi bisa berjalan kronik dan menahun dan
mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi
sirosis hati. Tidak jarang penyakit hati menahun juga disertai gejala
kuning, sehingga kadang-kadang didiagnosa salah sebagai hepatitis
akut.
2. Kolestatis ekstrahepatik.
Penyebab paling sering adalah batu duktus koledokus dan kanker
pankreas. Penyebab lainnya yang relatif lebih jarang adalah striktur
9
jinak (oprasi terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus
koledokus, dan pankreatitis.1
Kolestasis ekstrahepatik sukar dibedakan dengan kolestasis
intrahepatik, padahal membedakan keduanya sangat penting dan urgent.
Gejala awal teerjadinya perubahan warna urin menjadi lebih kuning, gelap,
tinja pucat, dan gatal (pruritis) yang menyeluruh adalah tanda klinis
adanya kolestasis. Kolestasis kronik bisa menimbulkan pigmentasi kulit
kehitaman ekskoriasi karena pruritis, perdarahan diatesis, sakit tulang dan
endapan lemak kulit (xantelasma atau xantoma). Gambaran seperti diatas
tidak tergantung penyebabnya. Keluhan sakit perut, gejala sistemik seperti
anoreksia, muntah, demam atau tambahan gejala lain mencerminkan
penyebab penyakit dasarnya daripada kolestasisnya dan karenanya dapat
memberi petunjuk etiologinya.
Pembagian diagnosis banding kedalam penyebab prehepatik,
intrahepatik dan posthepatik walaupun mempunyai kekurangan namun
masih dapat membuat penatalaksanaan menjadi lebih mudah. Misalnya
penyebab ikterus yang tergolong prehepatik termasuk hemolisis dan
penyerapan hematom akan menyebabkan peningkatan bilirubin tak
terkonjugasi (indirect). Kelainan intrahepatik dapat berakibat
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi maupun konjugasi. Pembentukan batu
merupakan keadaan yang paling sering yang bersifat jinak dalam
kelompok kelainan posthepatik yang menyebabkan kuning.1
10
Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal
hati.
Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin
dan feses, rasa gatal, keluhan saluran cerna, nyeri perut, nafsu makan
berkurang, pekerjaan, adanya kontak dengan pasien ikterus lain,
alkoholisme, riwayat transfusi, obat-obatan, suntikan atau tindakan
pembedahan.
Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, limpa,
mencari tanda-tanda stigmata sirosis hepatis, seperti spider naevi, eritema
palmaris, bekas garukan di kulit karena pruritus, tanda-tanda asites. Anemi
dan limpa yang membesar dapat dijumpai pada pasien dengan anemia
hemolitik. Kandung empedu yang membesar menunjukkan adanya
sumbatan pada saluran empedu bagian distal yang lebih sering disebabkan
oleh tumor.
Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien jaundice
termasuk serum bilirubin direk dan indirek, alkali fosfatase, transaminase,
amilase, dan hitung sel darah lengkap. Hiperbilirubinemia (indirek) tak
terkonjugasi terjadi ketika ada peningkatan produksi bilirubin atau
menurunnya ambilan dan konjugasi hepatosit. Kegagalan pada ekskresi
bilirubin (kolestasis intrahepatik) atau obstruksi bilier ekstrahepatik
menyebabkan hiperbilirubinemia (direk) terkonjugasi mendominasi.
Elevasi tertinggi pada bilirubin serum biasanya ditemukan pada pasien
11
dengan obstruksi maligna, pada mereka yang levelnya meluas sampai 15
mg/dL yang diamati. Batu kandung empedu umumnya biasanya
berhubungan dengan peningkatan lebih menengah pada bilirubin serum (4
– 8 mg/dL). Alkali fosfatase merupakan penanda yang lebih sensitif pada
obstruksi bilier dan mungkin meningkat terlebih dahulu pada pasien
dengan obstruksi bilier parsial.
Pemeriksaan faal hati dapat menentukan apakah ikterus yang
timbul disebabkan oleh gangguan pada sel-sel hati atau disebabkan adanya
hambatan pada saluran empedu. Bilirubin direk meningkat lebih tinggi
dari bilirubin indirek lebih mungkin disebabkan oleh sumbatan saluran
empedu dibanding bila bilirubin indirek yang jelas meningkat. Pada
keadaan normal bilirubin tidak dijumpai di dalam urin. Bilirubin indirek
tidak dapat diekskresikan melalui ginjal sedangkan bilirubin yang telah
dikonjugasikan dapat keluar melalui urin. Karena itu adanya bilirubin
lebih mungkin disebabkan akibat hambatan aliran empedu daripada
kerusakan sel-sel hati. Pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya
perubahan warna feses menjadi akolis menunjukkan terhambatnya aliran
empedu masuk ke dalam lumen usus (pigmen tidak dapat mencapai usus).
Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi (USG)
sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan
pemeriksaan penunjang pencitraan yang pertama dilakukan sebelum
pemeriksaan pencitraan lainnya. Dengan sonografi dapat ditentukan
kelainan parenkim hati, duktus yang melebar, adanya batu atau massa
12
tumor. Ketepatan diagnosis pemeriksaan sonografi pada sistem
hepatobilier untuk deteksi batu empedu, pembesaran kandung empedu,
pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi sekali. Tidak
ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan
penyebab ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan
pelebaran saluran empedu memperkuat diagnosis ikterus obstruktif.
Keuntungan lain yang diperoleh pada penggunaan sonografi ialah
sekaligus kita dapat menilai kelainan organ yang berdekatan dengan sistem
hepatobilier antara lain pankreas dan ginjal. Aman dan tidak invasif
merupakan keuntungan lain dari sonografi.
Biopsi hati. Pemeriksaan dengan menggunakan biopsi hati akan
menjelaskan diagnosis pada kolestasis intrahepatik.walaupun demikian,
bisa juga timbul kesalahan, terutama jika penilaian dilakukan oleh orang
yang kurang berpengalaman. Umumnya, biopsi aman pada kasus dengan
kolestasis, namun berbahaya pada keadaan obstruksi ekstrahepatik yang
berkepanjangan, karenanya harus disingkirkan dahulu dengan pemeriksaan
pencitraan sebelum biopsi dilakukan.6
Dalam hal ini terapi kolestasis dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu:
1. Tindakan medis
Perbaikan aliran empedu: pemberian fenobarbital dan kolestiramin.
Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase (untuk
mengubah bilirubin indirect menjadi bilirubin direct).
13
Melindungi hati dari zat toksik dengan pemberian ursodioxy cholic acid
(UDCA). UDCA adalah asam empedu yang memiliki efek sitoprotektif,
antiapoptosis dan imunonodulator. UCDA menurunkan asam empedu
hidrofobik endogen dan meningkatkan fraksi asam empedu.
2. Tindakan bedah
Tujuannya untuk mengadakan perbaikan langsung terhadap kelainan
saluran empedu yang ada.
II. EFUSI PLEURA
Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses
penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat
penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan
transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus.7
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang
terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer
jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap
penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil
cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan
permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi.8
Etiologi efusi pleura meliputi :
Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya
bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal,
tumor mediatinum, sindroma meig (tumor ovarium) dan sindroma
vena kava superior.
14
Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis,
pneumonia, virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang
menembus ke rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan
berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80% karena
tuberculosis.
Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada
proses penyakit neoplastik, tromboembolik, kardiovaskuler, dan
infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat mekanisme
dasar :
Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik
Penurunan tekanan osmotic koloid darah
Peningkatan tekanan negative intrapleural
Adanya inflamasi atau neoplastik pleura
Penyebab lain dari efusi pleura adalah:
Gagal jantung
Kadar protein darah yang rendah
Sirosis
Pneumonia
Blastomikosis
Koksidioidomikosis
Tuberkulosis
Histoplasmosis
Kriptokokosis
Abses dibawah diafragma
Artritis rematoid
Pankreatitis
Emboli paru
Tumor
Lupus eritematosus sistemik
15
Pembedahan jantung Cedera di dada
. Tanda dan Gejala
Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena
pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila
cairan banyak, penderita akan sesak napas.
Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil,
dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak.
Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi
penumpukan cairan pleural yang signifikan.
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan
berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit
akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan
vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk
permukaan cairan membentuk garis melengkung.
Patofisiologi efusi pleura Didalam rongga pleura terdapat + 5ml cairan
yang cukup untuk membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura
viseralis. Cairan ini dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya
tekanan hodrostatik, tekanan koloid dan daya tarik elastis. Sebagian cairan ini
diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya
(10-20%) mengalir kedalam pembuluh limfe sehingga pasase cairan disini
mencapai 1 liter seharinya.
16
Terkumpulnya cairan di rongga pleura disebut efusi pleura, ini terjadi
bila keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu misalnya pada
hyperemia akibat inflamasi, perubahan tekanan osmotic (hipoalbuminemia),
peningkatan tekanan vena (gagal jantung). Atas dasar kejadiannya efusi dapat
dibedakan atas transudat dan eksudat pleura. Transudat misalnya terjadi pada
gagal jantung karena bendungan vena disertai peningkatan tekanan hidrostatik,
dan sirosis hepatic karena tekanan osmotic koloid yang menurun. Eksudat
dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan infeksi. Cairan keluar
langsung dari kapiler sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi.
Cairan ini juga mengandung banyak sel darah putih. Sebaliknya transudat
kadar proteinnya rendah sekali atau nihil sehingga berat jenisnya rendah.
Diagnosis efusi pleura Pada pemeriksaan fisik, dengan bantuan stetoskop
akan terdengar adanya penurunan suara pernafasan.
Untuk membantu memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan berikut:
Rontgen dada .Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang
dilakukan untuk mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya menunjukkan
adanya cairan.
CT scan dada .CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan
cairan dan bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor
USG dada .USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan
cairan yang jumlahnya sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran
cairan.
17
Torakosentesis .Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat
diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang
diperoleh melalui torakosentesis (pengambilan cairan melalui sebuah
jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke dalam rongga dada dibawah
pengaruh pembiusan lokal).
Biopsi . Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya,
maka dilakukan biopsi, dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil
untuk dianalisa.
Penatalaksanaan
Pada efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa
intubasi melalui selang iga. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit keluar
atau bila empiemanya multiokuler, perlu tindakan operatif. Mungkin
sebelumnya dapat dibantu dengan irigasi cairan garam fisiologis atau larutan
antiseptik. Pengobatan secara sistemik hendaknya segera dilakukan, tetapi
terapi ini tidak berarti bila tidak diiringi pengeluaran cairan yang adequate.
18
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Berdasarkan tinjauan pustaka, maka kasus pada pasien dapat kita analisis
sebagai berikut, Pasien datang ke rumahsakit dengan keluhan nyeri dada
serta kulit berwarna kuning. Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien
telah lama menderita penyakit kuning dan nyeri dada, nyeri dada meningkat
jika pasien batuk. Pasien juga mengatakan bahwa kencingnya berwarna
coklat seperti teh, serta merasa gatal pada beberaapa bagian tubuhnya.
Pasien memiliki riwayat penyakit hepar sebelumnya.
Dari pemeriksaan fisik diketahui adanya ikterik pada mata, serta mukosa
bawah lidah dan palatum mole serta kulit diseluruh tubuh. Pada
pemeriksaan dada ditemui adanya suara redup terutama pada paru kanan,
vokal fremitus yang menurun serta suara ronkhi pada paru. Pada
pemeriksaan abdomen tidak ditemukan nyeri tekan serta pembesaran pada
hepar dan lien.
Pada pemeriksaan lab didapatkan hasil peningkatan kadar bilirubun total,
indirect dan direct yang menunjukkan adanya kelainan obstruktif
intrahepatik. Pada pemeriksaan pencitraan Tidak tampak adanya kelainan
pada organ hepar, lien, vesica felea, pankreas, ren, vessica urinaria, aorta
dan uterus. Terdapat gambaran udara intraintestinal dan Meteorismus. Pada
USG abdomen jika terdapat udara di intraintestinal sering menyebabkan
19
sulitnya menilai gambaran organ-organ intraabdomen sehingga diusulkan
untuk dilakukannya USG abdomen ulang pada pasien.
Pada pemeriksaan foto thorax COR: cardiomegali dengan elongasi dan
kalsifikasi arcus aorta suspect LVH . Pulmo: BrPn dd proses spesifik
dengan efusi pleura dekstra. Sedangkan pada pemeriksaan EKG tidak
ditemukan adanya kelainan pada jantung melainkan adanya irama jantung
sinus takikardi. Kemungkinan yang terjadi pada pasien adalah adanya efusi
pleura pada paru kanan yang menyebabkan terdesaknya jantung ke arah
yang lebih sehat sehingga tampak adanya gambaran LVH pada Ro. Thorax.
Hal ini menjelaskan mengapa pasien merasa nyeri dada, karena adanya
timbunan cairan menyebabkan terjadinya pergesekan pada pleura.
Berdasarkan temuan klinis serta hasil pemeriksaan laboratorium maka kita
bisa mendiagnosis pasien menderita ikterus obstruktif (kolestasis)
intrahepatik serta efusi pleura .
Terapi
Terapi yang diterima pasien adalah sebagai berikut:
1. Celebrex :2 x 1
2. Urdahex :2 x 1
3. Rejuvit :2 x 1
4. Ocuson :2 x 1
Celebrex (celecoxib) adalah sulfa non-steroid anti-inflamasi obat
(NSAID) yang digunakan dalam pengobatan osteoarthritis,
20
rheumatoid arthritis, nyeri akut, nyeri haid dan gejala menstruasi.
Obat ini diberikan untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien.
Urdahex (Asam urodeoxycholic (UCDA)) Adalah asam empedu
yang memiliki efek sitoprotektif, antiapoptosis dan imunonodulator.
UCDA menurunkan asam empedu hidrofobik endogen dan
meningkatkan fraksi asam empedu. Obat ini digunakan untuk
mengobati hepatitis, kolestasis, hepatitis kronis serta batu empedu.
Rejuvit merupakan hepatoprotector yang memiliki formulasi 5 zat
aktif sebagai regenerasi sel hati untuk menjaga kesehatan fungsi
saluran cerna. Ocuson merupakan antihistamin yang memiliki
indikasi untuk antialergi.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo,Aru.W, dkk, eds., 2006: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Dep.
Ilmu Penyakit Dalam : Jakarta, vol. I, hlm. 422-425
2. Kaplain, Lee M., Isselbacher, Kurt.J, 2000 : “Harrison”, in Prinsip-
Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, H.A,Ahmad, eds., EGC : Jakarta, ,vol.I,
hlm. 263-269
3. Price A.S & Wilson M.L.,1995 :Patofisiologi proses-proses penyakit,
Alih bahasa Anugerah P., Edisi 4, ECG, Jakarta, hal: 482-490
4. Jaundice, http://en.wikipedia.org/wiki/ Jaundice , last modified : 30
November 2007, acces : 05 Nopember 2007
5. Guyton A.C & Hall J.E.,1997: Fisiologi Kedokteran., Edisi 9, ECG,
Jakarta, hal: 1108-1109
6. Pratt ,D., 2005 : Cholestasis and Cholestasis Syndromes, Curr Opin
Gastroenterology. Lippincott, Williams & Wilkins. Boston,: 21 (3) :
270-71.
7. Baughman C Diane,. 2000: Keperawatan medical bedah, EGC.,
Jakarta, hal: 405-407
8. Doenges E Mailyn., 1999: Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Ed3.
EGC., Jakarta, hal:113-115
22
23