Preskes Dr Amru

38
PRESENTASI KASUS SEORANG LAKI-LAKI 21 TAHUN DENGAN FRAKTUR MAXILLOFACIAL DAN FRAKTUR EKSTREMITAS Oleh : Zenia Purnama Murti G.99141002 Rifni Arneswari G.99141010 Pembimbing: dr. Amru Sungkar, Sp.B., Sp.BP-RE. KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH SUB BAGIAN PLASTIK & REKONSTRUKSI

description

kesehatan

Transcript of Preskes Dr Amru

Page 1: Preskes Dr Amru

PRESENTASI KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 21 TAHUN DENGAN

FRAKTUR MAXILLOFACIAL DAN FRAKTUR EKSTREMITAS

Oleh :

Zenia Purnama Murti G.99141002

Rifni Arneswari G.99141010

Pembimbing:

dr. Amru Sungkar, Sp.B., Sp.BP-RE.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

SUB BAGIAN PLASTIK & REKONSTRUKSI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2014

Page 2: Preskes Dr Amru

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. AA

Umur : 21 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Karyawan

Alamat : Tegal Gaden Rt 03 Trucuk, Klaten

No. RM : 01278440

Masuk RS : 9 November 2014

B. ANAMNESA

1. Keluhan Utama

Nyeri pada ekstremitas atas dan bawah pada sisi kanan dan wajah kanan

2. Riwayat Penyakit Sekarang

3 hari SMRS saat pasien mengendarai sepeda motor dengan memakai

helm standar, pasien bertabrakan dengan sepeda motor lain dari arah

berlawanan. Pingsan (+), muntah (-), kejang (-).Posisi jatuh tidak diketahui.

Setelah terjatuh, pasien mengeluh tangan dan kaki kanan nyeri dan tidak dapat

digerakan. Oleh penolong pasien dibawa ke RSI Klaten diinfus, injeksi obat,

dipasang selang kencing, luka di dagu dibersihkan dan dijahit, dilakukan

rontgen lengan kanan dan kaki kanan, dan rontgen kepala serta dipasang bidai

pada lengan kanan . Oleh permintaan keluarga, pasien dibawa ke RSDM.

2

Page 3: Preskes Dr Amru

3. Riwayat Penyakit Dahulu

R. Asma : disangkal

R. Alergi makanan : disangkal

R. Alergi makanan : disangkal

R. Jatuh sebelumnya : disangkal

R. Mondok : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga

R. Sakit jantung : disangkal

R. Hipertensi : disangkal

R. DM : disangkal

R. Asma : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK

Primary Survey

1. Airway : bebas

2. Breathing I : pengembangan dada kanan = kirim RR 20 x/menit

P : krepitasi (-/-)

P : sonor/sonor

A: SDV (+/+), ronkhi (-/+)

3. Circulation : Tekanan darah : 120/70 mmHg, Nadi 88 x/menit

4. Disability : GCS E3V5M6, reflek cahaya (-/+), pupil anisokor

(5 mm/3 mm), lateralisasi (-)

5. Exposure : suhu 36,7 ºC, jejas (+) lihat status lokalis

3

Page 4: Preskes Dr Amru

Secondary Survey

1. Keadaan Umum

- Keadaan umum : baik

- Derajat kesadaran : compos mentis

- Derajat gizi : gizi normal

2. Kepala

Bentuk mesosefal, jejas (+) lihat status lokalis

3. Wajah

Odema (+) lihat status lokalis

4. Mata

Hematom periorbita (-/+), visus (0/N), pergerakan bola mata (-/+), vulnus

appertum 0,5 x 0,5 x 0,3 cm di cantus lateralis

5. Hidung

Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (+/-), deviasi(-/-)

6. Mulut

Mukosa basah (+), sianosis (-), maloklusi gigi (+)

7. Telinga

Daun telinga dalam batas normal, sekret (-), luka (-)

8. Tenggorok

Uvula di tengah, mukosa pharing hiperemis (-), tonsil T1 - T1

9. Leher

Bentuk normocolli, limfonodi tidak membesar, glandula thyroid tidak

membesar, kaku kuduk (-), gerak bebas, deviasi trakhea (-), JVP tidak

meningkat

10. Toraks

Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat

Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar

4

Page 5: Preskes Dr Amru

Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri

Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)

Suara tambahan (-/-)

11. Abdomen

Inspeksi : Perut distended (-)

Palpasi : Supel

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal,

12. Ekstremitas

Akral dingin Oedem Ikterik

Jejas (+) lihat status lokalis

13. Genital

Terpasang DC Folley 16, dengan produk urin kuning jernih

14. Status Lokalis

a. Regio Facial

I : oedem (+/-), pendataran mallar imminens (+/-)

P : hipoestesi (+/-)

b. Regio intraoral

I : vulnus laserasi, gigi goyang 4.5, 3.2, 3.3

P : Gigi goyang 4.3

5

- -

- -

- -

+ -

- -

- -

Page 6: Preskes Dr Amru

c. Regio Antebrachii

L : oedem (+), deformitas (+)

F : NVD (-), false movement (+)

M : ROM wrist joint (D) full

ROM Elbow joint (D) terbatas karena nyeri

d. Regio Femur (D)

L : oedem (+), deformitas (+)

F : NVD (-)

M : ROM ankle joint terbatas bkarena nyeri

ROM hip joint (D) terbatas karena nyeri

D S

Apparent leg length 87 89

True leg length 79 81

Anatomical leg length 38 41

LLD = 2cm

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium

Darah Rutin

Hb : 14,9 g/dl

Hct : 44 %

AL : 16,4 . 103 UL

AT : 330 . 103 UL

AE : 5,00 . 106 UL

HbsAg : (-)

Gol. Darah : O

6

Page 7: Preskes Dr Amru

Analisa Gas Darah

pH : 7,42

BE : - 0,2 mmol/L

PCO2 : 38,0 mmHg

PO2 : 70,0 mmHg

HCO3 : 24,3 mmol/L

Saturasi O2 : 98 %

2. Pemeriksaan radiologi

Foto Waters

Kesimpulan :

Suspek hematosinus maxillaris kanan

Suspek fraktur margo inferior orbita kanan dan maxilla kanan

7

Page 8: Preskes Dr Amru

3. Tampak Klinis pasien

Nampak wajah pasien

8

Page 9: Preskes Dr Amru

E. ASSESMENT

- CF Femur 1/3 tengah cominutif (D)

- CF Tibia 1/3 tengah cominutif (D)

- CF Radius ulna 1/3 tengah cominutif (D)

- Fraktur maxilla (D) dengan hematosinus (D)

- Fraktur ZMC (D)

- Fraktur mandibular segmental parasymphisis dan corpus (D)

- Fraktur symphisis mandibula

F. PLANNING

- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm

- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam

- Inj ketorolac 30g/8 jam

- Cek Lab lengkap

- Rontgen Thorax PA

- Rontgen femur AP

- Rontgen antebrachii

- Foto waters

- Pro ORIF elektif dengan miniplate

-

9

Page 10: Preskes Dr Amru

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

TRAUMA MAKSILOFACIAL

Trauma maksilofacial ini dibagi atas fraktur pada organ yang terjadi yaitu1 :

1. Fraktur tulang hidung

2. Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma

3. Fraktur tulang maksila (mid facial)

4. Fraktur tulang orbita

5. Fraktur tulang mandibula

1. Fraktur Tulang Hidung

Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung.1,2,5 Diagnosis fraktur

hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan hidung bagian

dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai oleh adanya

pembengkakan mukosa hidung, terdapatnya bekuan dan kemungkinan adanya

robekan pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau deviasi pada

septum.

Arah gaya cedera pada hidung menentukan pola fraktur. Bila arahnya dari

depan akan menyebabkan fraktur sederhana pada tulang hidung yang kemudian

dapat menyebabkan tulang hidung menjadi datar secara keseluruhan. Bila arahnya

dari lateral dapat menekan hanya salah satu tulang hidung namun dengan kekuatan

yang cukup, kedua tulang dapat berpindah tempat. Gaya lateral dapat menyebabkan

perpindahan septum yang parah. Sedangkan gaya dari bawah yang diarahkan ke

atas dapat menyebabkan fraktur septum parah dan dislokasi tulang rawan

berbentuk segi empat.3,5

10

Page 11: Preskes Dr Amru

Gambaran klinis yang biasa ditemukan pada pasien dengan riwayat trauma

pada hidung atau wajah, antara lain 4,5 :

- Epiktasis

- Perubahan bentuk hidung

- Obstruksi jalan nafas

- Ekimosis infraorbital

Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal posisi Water

dan juga bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan CT scan untuk melihat fraktur

hidung atau kemungkinan fraktur penyerta lainnya.2,4

Fraktur nasal dapat diklasifikasikan menjadi 2,6,22 :

1. Fraktur hidung sederhana, merupakan fraktur pada tulang hidung saja sehingga

dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut dalam analgesi lokal. Akan tetapi pada

anak-anak atau orang dewasa yang tidak kooperatif tindakan penanggulangan

memerlukan anestesi umum.

2. Fraktur tulang hidung terbuka, menyebabkan perubahan tempat dari tulang

hidung tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum

rongga hidung. Kerusakan atau kelainan pada kulit dari hidung diusahakan

untuk diperbaiki atau direkonstruksi pada saat tindakan.

3. Fraktur tulang nasoorbitoetmoid kompleks

Jika nasal piramid rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat akan

menimbulkan fraktur yang hebat pada tulang hidung, lakrimal, etmoid, maksila

dan frontal. Tulang hidung bersambungan dengan prosesus frontalis os maksila

dan prosesua nasalis os frontal. Bagian dari nasal piramid yang terletak antara

dua bola mata akan terdorong ke belakang. Terjadilah fraktur nasoetmoid,

fraktur nasomaksila dan fraktur nasoorbita.

11

Page 12: Preskes Dr Amru

Untuk memperbaiki patah pada tulang hidung tersebut, tindakan yang dapat

dilakukan ialah 2,5,7,21 :

1. Reduksi tertutup, yang dilakukan dengan analgesia lokal atau analgesia lokal

dengan sedasi ringan.

Indikasi :

- Fraktur sederhana tulang hidung

- Fraktur sederhana septum hidung

Reduksi tertutup paling baik dilakukan 1-2 jam sesudah trauma karena pada

waktu tersebut edem yang terjadi mungkin sangat sedikit.

2. Reduksi terbuka, dilakukan dengan sedasi yang kuat atau analgesi umum.

Indikasi :

- Fraktur dislokasi ekstensif tulang dan septum hidung

- Fraktur septum terbuka

- Fraktur dislokasi septum kaudal

- Persisten deformitas setelah reduksi tertutup

2. Fraktur Tulang Zigoma dan Arkus Zigoma

a. Fraktur Zigoma

Fraktur tulang zigoma atau tulang malar selalu disebabkan oleh kekerasan

langsung. Tulang ini biasanya ke belakang atau ke medial menuju antrum

maksila sehingga berdampak disana. Fraktur sering berupa communited

fracture dan mungkin memiliki ekstensi sepanjang dasar dari rongga orbita atau

rima orbita.1,3,5,8

Tulang zigoma ini dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari tulang

temporal, tulang frontal, tulang sfenoid dan tulang maksia. Bagian-bagian dari

tulang yang membentuk zigoma ini memberikan sebuah penonjolam pada pipi

12

Page 13: Preskes Dr Amru

di bawah mata sedikit ke arah lateral. Fraktur tulang zigoma ini agak berbeda

dengan fraktur tripod atau trimalar.2,9,10,24

Gejala dari fraktur zigoma antara lain adalah 2,6,7,11 :

1) Pipi menjadi lebih rata (jika dibandingkan dengan sisi kontralateral atau

sebelum trauma)

2) Diplopia dan terbatasnya gerakan bola mata

3) Edem periorbita dan ekinosis

4) Perdarahan subkonjungtiva

5) Enoftalmus

6) Ptosis

7) Karena kerusakan saraf infra-orbita

8) Terbatasnya gerakan mandibula

9) Emfisema subkutis

10) Epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum

Penanggulangan fraktur tulang zigoma 2,12 :

1) Reduksi tidak langsung dari fraktur zigoma (oleh Keen dan Goldthwaite)

Pada cara ini reduksi fraktur dilakukan melalui sulkus gingivobukalis.

Dibuat sayatan kecil pada mukosa bukal di belakang tuberositas maksila.

Elevator melengkung dimasukkan di belakang tuberositas tersebut dan

dengan sedikit tekanan tulang zygoma yang fraktur dikembalikan pada

tempatnya. Cara reduksi fraktur ini mudah dikerjakan dan memberi hasil

yang baik.

2) Reduksi terbuka dari tulang zigoma

Tulang zigoma yang patah harus ditanggulangi dengan reduksi terbuka

dengan menggunakan kawat atau mini plate. Laserasi yang timbul di atas

zigoma dapat dipakai sebagai marka untuk melakukan inisis permulaan

pada reduksi terbuka tersebut. Adanya fraktur pada rima orbita inferior,

dasar orbita, dapat direkonstruksi dengan melakukan insisi di bawah

13

Page 14: Preskes Dr Amru

palpebra inferior untuk mencapai fraktur di sekitar tulang orbita tersebut.

Tindakan ini harus dilakukan hati-hati karena dapat merusak bola mata.

b. Fraktur arkus zigoma

Arkus zigoma merupakan bagian dari subunit wajah yang dikenal sebagai

zygomaticomaxillary complex (ZMC), yang memiliki 4 fusi tulang dengan

tengkorak.7 Fraktur arkus zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab pada tempat

ini timbul rasa nyeri waktu bicaraatau mengunyah. Kadang-kadang timbul

trismus. Gejala ini timbul karena terdapatnya perubahan letak dari arkus zigoma

terhadap prosesus koroid dan otot temporal. Fraktur arkus zigoma yang tertekan

atau terdepresi dapat dengan mudah dikenal dengan palpasi.2,8,22

Terdapatnya fraktur arkus zigoma yang ditandai dengan perubahan tempat

dari arkus dapat ditanggulangi dengan melakukan elevasi arkus zigoma

tersebut. Pada tindakan reduksi ini kadang-kadang diperlukan reduksi terbuka,

selanjutnya dipasang kawat baja atau mini plate pada arkus zigoma yang patah

tersebut. Insisi pada reduksi terbuka dilakukan di atas arkus zigoma, diteruskan

ke bawah sampai ke bagian zigoma preaurikuler.

3. Fraktur Tulang Maksila (Mid Facial)

Maksila (rahang atas) menggambarkan jembatan antara superior dasar

tengkorak dengan bidang oklusal gigi inferior. Hubungan intim dengan rongga

mulut, rongga hidung dan orbita serta banyak struktur yang terkandung di dalam

dan bersebelahan dengannya membuat maksila merupakan struktur yang penting

secara fungsional dan kosmetik. Fraktur dari tulang maksila ini berpotensi

mengancam nyawa karena dapat menimbulkan gangguan jalan nafas serta

perdarahan hebat yang berasal dari arteri maksilaris interna atau arteri ethmoidalis

sering terjadi pada fraktur maksila.2,9,14

Menstabilkan pasien dengan menangani penyulit yang serius seperti pada jalan

nafas, sistem neurologis, tulang belakang leher dan perut harus dilakukan segera

14

Page 15: Preskes Dr Amru

sebelum pengobatan definitif pada maksila. Jika kondisi pasien cukup baik sesudah

trauma tersebut, reduksi fraktur maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali

kerusakan tulang yang sangat hebat dan disertai infeksi.2,9

Mathog menggunakan pembagian klasifikasi fraktur maksila menjadi 3

kategori 2,7,9,15 :

a. Fraktur Maksila Le Fort I

Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal bagian bawah

antara maksila dan palatum atau arkus alveolar kompleks. Garis fraktur berjalan

ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral.

Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah trauma dari anteroposterior bawah

dapat mengenai nasomaksila dan zigomatikomaksila vertikal buttress, bagian

bawah lamina pterigoid, anterolateral maksila, palatum durum, dasar hidung,

septum dan apertura piriformis.

Gambar 1. Le Fort I

http://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview#a0104

b. Fraktur Maksila Le Fort II

Garis fraktur Le Fort II (fraktur piramid) berjalan melalui tulang hidung dan

diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan

menyebarang ke bagian atas dari sinus maksila juga ke arah lamin pterigoid

15

Page 16: Preskes Dr Amru

samapi ke fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina kirimbiformis dan atap sel

etmoid dapat merusak sistem lakrimalis.

Gambar 2. Le Fort II

http://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview#a0104

c. Fraktur Maksila Le Fort III

Fraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang

memisahkan secara lengkap antara tulang dan tulang kranial. Garis fraktur

berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang taut etmoid melalui

fisura orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura

zigomatiko frontal dan sutura temporo-zigomatik. Fraktur Le Fort III ini

biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan dishface. Fraktur maksila Le

Fort III ini sering menimbulkan komplikasi intrakranial seperti timbulnya

pengeluaran cairan otak melalui atap sel etmoid dan lamina kribriformis.

16

Page 17: Preskes Dr Amru

Gambar 3. Le Fort III

http://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview#a0104

Fiksasi dari segmen fraktur yang tidak stabil menjadi strutur yang stabil adalah

tujuan pengobatan bedah definitif pada fraktur maksila. Prinsip ini tampak

sederhana namun menjadi lebih kompleks pada pasien dengan fraktur luas.9,21

Fiksasi yang dipakai pada fraktur maksila ini dapat berupa 2,19 :

1) Fiksasi inter maksilar menggunakan kawat baja untuk mengikat gigi.

2) Fiksasi inter maksilar menggunakan kombinasi dari reduksi terbuka dan

pemasangan kawat baja atau mini plate.

3) Fiksasi dengan pin.

Penanggulangan fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang

bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi inter maksilar sehingga oklusi gigi

menjadi sempurna.2

4. Fraktur Tulang Orbita

Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita

terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor.2,17 Orbita dibentuk

oleh 7 tulang wajah, yaitu tulang frontal, tulang zigoma,tulang maksila, tulang

lakrimal, tulang etmoid, tualang sphenoid dan tulang palatina.10,13,18

17

Page 18: Preskes Dr Amru

Gambar 4. Orbita mensch

http://en.wikipedia.org/wiki/File:Orbita_mensch.jpg

Di dalam orbita, selain bola mata, juga terdapat otot-otot ekstraokuler, syaraf,

pembuluh darah, jaringan ikat, dan jaringan lemak, yang kesemuanya ini berguna

untuk menyokong fungsi mata. Orbita merupakan pelindung bola mata terhadap

pengaruh dari dalam dan belakang, sedangkan dari depan bola mata dilindungi oleh

palpebra. Dasar orbita yang tipis mudah rusak oleh trauma langsung terhadap bola

mata, berakibat timbulnya fraktur blow out dengan herniasi isi orbita ke dalam

antrum maksilaris. Infeksi dalam sinus sphenoidalis dan ethmoidalis dapat

mengikis dinding medialnya yang setipis kertas (lamina papyracea) dan mengenai

isi orbita.10,16

Fraktur orbita ini menimbulkan gejala-gejala berupa 2 :

a. Enoftalmus

b. Eksoftalmus

c. Diplopia

d. Asimetris pada muka

Kelainan ini tidak lazim terdapat pada blow out fracture dari dasar orbita.

Kelainan ini sangat spesifik terdapat pada fraktur yang meliputi pinggir orbita

inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zigoma.

e. Gangguan saraf sensoris

Hipestesia dan anestesia dari saraf sensoris nervus infra orbitalis berhubungan

erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila pada fraktur timbul

kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai kanalis infra orbitalis. Selanjutnya

gangguan fungsi nervus infra orbita sangat mungkin disebabkan oleh timbulnya

kerusakan pada rima orbita.

18

Page 19: Preskes Dr Amru

5. Fraktur Tulang Mandibula

Disebabkan oleh kondisi mandibula yang terpisah dari kranium. Penanganan

fraktur mandibula ini sangat penting terutama untuk mendapatkan efek kosmetik

yang memuaskan, oklusi gigi yang sempurna, proses mengunyah dan menelan

yang sempurna.2,10,16

Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakkan berdasarkan adanya riwayat

kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan gejala sebagai berikut 2,7 :

a. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang meliputi mandibula.

b. Rasa nyeri yang disebabkan kerusakan pada nervus alveolaris inferior.

c. Anestesia dapat terjadi pada satu bibir bawah, pada gusi atau pada gigi dimana

nervus alveolaris inferior menjadi rusak.

d. Maloklusi, adanya fraktur mandibula sangat sering menimbulkan maloklusi.

e. Gangguan morbilitas atau adanya krepitasi.

f. Rasa nyeri saat mengunyah.

g. Gangguan jalan nafas, kerusakan hebat pada mandibula menyebabkan

perubahan posisi, trismus, hematoma, serta edema pada jaringan lunak.

Dingman mengklasifikasi fraktur mandibula secara simpel dan praktis.

Mandibula dibagi menjadi 7 regio 2,7 :

a. Badan atau korpus mandibula

b. Simfisis mandibula

c. Angulus mandibula

d. Ramus mandibula

e. Prosesus koronoid

f. Prosesus kondilus

g. Prosesus alveolaris

19

Page 20: Preskes Dr Amru

Fraktur yang terjadi dapat pada satu, dua atau lebih pada regio mandibula ini.

Frekuensi tersering terjadinya fraktur ialah prosesus kondilus kemudian diikuti oleh

korpus mandibula, angulus mandibula, simfisis mandibula, prosesus alveolaris,

ramus mandibula dan prosesus koronoid.2,7,11,19

Gambar 5. Mandibula dan bagiannya

http://www.darplastic.com/umum/bagian-ketiga.html

Perbaikan fraktur mandibula menerapkan prinsip-prinsip umum pembidaian

mandibula dengan geligi utuh terhadap maksila. Lengkung geligi atas biasanya

diikatkan pada lengkung gigi bawah memakai batang-batang lengkung ligasi

dengan kawat. Batang-batang lengkung ini memiliki kait kecil yang dapat

menerima simpai kawat atau elastis guna mengikatkan lengkung gigi atas ke

lengkung kiki bawah. Fraktur mandibula yang lebih kompleks mungkin

memerlukan reduksi terbuka dan pemasangan kawat ataupun pelat secara langsung

pada fragmen-fragmen guna mencapai stabilitas, disamping melakukan fiksasi

intermaksilaris dengan batang-batang lengkung. 7

20

Page 21: Preskes Dr Amru

6. Evaluasi dan Penatalaksanaan

Perawatan awal bergantung pada kepatahan cedera. Cedera rahang wajah dan

sedera laring dapat bervariasi mulai dari fraktur tulang hidung tanpa epistaksis

bermakna dan hanya dengan deeformitas hidung minor hingga cedera remuk

wajah yang paling luas dimana melibatkan secara luas seluruh kepala dan leher.

Perawatan awal berupa evaluasi umum secara cepat dari tanda-tanda vital pasien

dan bila perlu pelaksanaan tindakan-tindakan dasar penyokong hidup.11,19,25

Pemeliharaan jalan nafas merupakan prioritas pertama dan dapat memerlukan

penghisapan rongga mulut dan hidung untuk mengeluarkan darah atau debris

lainnya. Bila pasien dalam keadaan koma atau bila fraktur mandibula

mengakibatkan dasar mulut menjadi tidak stabil disertai prolaps lidah ke dalam

faring, maka suatu jalan nafas oral mungkin diperlukan. Jika untuk alasan apapun

suatu jalan nafas oral ternyata tidak memuasakan dan ventilasi trakea merupakan

keharusan maka intubasi endotrakea merupakan metode terpilih. Trakeostomi

darurat perlu dihindarkan bila mungkin, oleh karena prosedur ini penuh bahaya jika

operator tidak btul-betul mengenal anatomi dan telah berpengalaman dalam teknik

bedah ini. Trakeostomi darurat perlu harus dibatasi pada keadaan dimana segala

tindakan lain telah gagal atau jika dicurigai terjadi cedera laring.11,19,23

Prioritas kedua dalam penatalaksanaan awal pasien trauma adalah pemeliharaan

curah jantung yang memadai. Penyebab tersering dari curah jantung yang tidak

adekuat pada pasien trauma adalah syok hipovolemik. Keadaan ini biasany

berespon dengan penggantian volume dan tindakan hemostatik yang tepat. Setelah

stabilitas tercapai maka menyusul tindakan resusitatif awal, dilakukan pemeriksaan

kepala dan leher secara sistematis.11,23

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Seperti cedera pada sistem organ lain, maka evaluasi awal pada trauma

kepala dan leher memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap

dan akurat. Riwayat peristiwa trauma harus termasuk saat cedera serta deskripsi

21

Page 22: Preskes Dr Amru

rinci mengenai keadaan sekeliling pada saat insiden terjadi. Detil seperti apakah

pasien mengenakan sabuk pengaman, kecepatan kendaraan, dapat memberi

petunjuk cedera yang harus dicari. 1,5,11

Pemeriksaan fisik harus dilakukan sesegera mungkin oleh karena

pembengkakan akan menyamarkan deformitas tulang maupun tulang rawan.

Hal pertama yang harus diamati adalah status kesadaran pasien, oleh karena

adanya cedera otak merupakan prioritas pertama dalam penatalaksanaan pasien

setelah fungsi pernapasan dan kardiovaskular stabil. Jaringan lunak yang

menutup kepala dan leher perlu di inspeksi secara cermat dan menyeluruh guna

mencari laserasi termasuk bagian dalam telinga, hidung dan mulut. Mobilitas

wajah perlu perhatian khusus karena ada tidaknya paralisis saraf ketujuh sangat

penting artinya dalam penatalaksanaan pasien berikutnya. Semua luka perlu

dieksplorasi cukup dalam untuk menentukan apakah ada cedera tulang atau

tulang menjadi terpapar atau apakah terdapat benda asing dalam luka.11, 19

Pemeriksaan mempalpasi seluruh kepala dan leher mulai dari puncak kepala

dan bergerak kebawah, untuk mencari fraktur yang tergeser atau struktur gerak

yang abnormal. Integritas sutura frontozigomatikus perlu diperhatikan, dimana

biasanya mengalami fraktur. Perhatian khusus diarahkan pada daerah frontal

dimana fraktur sinus dapat menimbulkan komplikasi intrakranial yang cukup

bermakna, seperti fistula cairan cerebrospinal, yang mana memerlukan

penanganan segera. Fraktur sinus frontalis biasanya ditandai dengan suatu

lekukan pada daerah tengah dahi. Terkadang fragmen-fragmen fraktur dapat

dipalpasi pada lapisan epidermis, atau sedalam luka jaringan lunak. Pada

palpasi hidung, perlu diperhatikan adanya deformitas tulang atau gerakan

abnormal, khususnya septum. Mobilitas septum paling baik ditentukan dengan

memegang septum anterior dengan ibu jari dan jari tengah dan ditekan dari

samping. Pipi perlu dipalpasi apakah ada nyeri tekan yang biasanya

menunjukan fraktur zigoma. Seluruh mandibula seharusnya dipalpasi untuk

22

Page 23: Preskes Dr Amru

menentukan ada nyeri tekan yang mengesankan fraktur. Gerakan mandibula

yang abnormal ataupun fraktur tergeser dapat juag diketahui dari palpasi. Gigi

perlu duperiksa apakah ada gerakan abnormal ataupun peka nyeri oleh karena

fraktur dan luksasi gigi memerlukan penanganan segera. Leher perlu dipalpasi

untuk menentukan apakah ada udara bebas yang memberi kesan ruptur

percabangan trakeobronkhial, serta untuk mencari krepitasi atau nyeri tekan di

atas laring yang mengesankan fraktur laring.11,23

Cedera vertebra cervikalis, seperti cedera ataupun dislokasi dapat

disyaratkan oleh spasme otot tengkuk, namun hal itu tidak selalu terjadi.

Dianjurkan imobilisasi pada cedera berat adalah seolah-olah telah terjadi suatu

cedera vertebra servikalis, sampai secara radiografi danklinis dapat dibuktikan

bahwa vertebra servikalis dalam keadaan normal.11,25

b. Pemeriksaan radiografi

Pemeriksaan radiografi dan pemeriksaan lainnya dapat membantu mencapai

diagnosis yang akurat setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Fraktur hidung biasanya paling baik terlihat dengan radiogram lateral,

sementara fraktur sepertiga tengah wajah dan sinus paranasal paling jelas

diperlihatkan dengan proyeksi waters. Penilaian laminagrafik dapat sangat

membantu dalam usaha menentukan apakah ada fraktur dasar orbit ataupun

fossa kranii anterior. Fraktur mandibula paling jelas terlihat dalam pandangan

oblik atau lebih disukai dengan radiogram panoramik. CT scan mungkin akan

sangat membantu dalam mendiagnosis cedera tulang wajah ataupun laring.

Laserasi pipi yang hebat dapat dievaluasi menggunakan teknik sialografi guna

menentukan apakah duktus parotis masih utuh.11,19

c. Prioritas tindakan

Dalam perawatan pasien trauma telah dikembangkan suatu skala prioritas

yang sangat jelas menyusul tindakan resusitasi yang bertujuan menstabilkan

jalan napas dan mempertahankan curah jantung. Urutannya adalah : 1. Evaluasi

23

Page 24: Preskes Dr Amru

dan penanganan tiap cedera SSP, 2. Evaluasi dan penanganan tiap cedera

abdomen ataupun toraks, 3. Penanganan trauma pada jaringan lunak, wajah dan

ekstremitas dan 4. Reduksi dan fiksasi dari fraktur wajah dan ekstremitas.

Bilamana diterapkan pada kasus trauma wajah maka panduan ini mengharuskan

luka jaringan lunak ditutup dalam empat hingga enam jam pertama setelah

cedera.11,25

DAFTAR PUSTAKA

24

Page 25: Preskes Dr Amru

1. Ceallaigh PO, Ekanaykaee K, Beirne CJ, Patton DW. 2006. Diagnosis and management of common maxillofacial injuries in the emergency department. Part 1: advanced trauma life support. Emerg Med J, volume : 23, pp. 796-797.

2. Ranjit BS, Jeevan VP, Chaitan SN, Prakash ST, Shilpa Kokate. 2011. Maxillofacial injuries in the pediatric patient: an overview. World Journal of Dentistry, volume 1, pp. 77-81.

3. Scariot R, Oliveira IA, Luis AP, Rebellato NL, Muller PR. 2009. Maxillofacial injuries in a group of brazilian subjects under 18 years of age. J Appl Oral Sci, volume : 17 (3), pp 195-8.

4. Exadaktylos AK, Bournakas T, Eggli S, Zimmermann H, Lizuka T. 2001. Maxillofacial injuries related to work accidents: a new concept of a hospital-based full electronic occuptional traum surveillance system. Occup. Med, volume: 52(1), pp: 45-48.

5. Stewart C, Flechti JF, Wolf SJ. 2008. Maxillofacial Trauma: Challenges in ED diagnosis and management. Emerg Med Practice, volume 10 (2), pp 1-20.

6. Raval CB, Rashiduddin M. 2011. Airway management in patients with maxillofacial trauma – A retrospective study of 177 cases. Saudi Journal of Anaesthesia, volume : 5, pp 9-14.

7. Adeyemo WL, Ldeinde AL, Ogunlewet MO, James O. 2005. Trends and characteristics of oral and maxillofacial injuries in Nigeria: a review of the literature. Head and Face Medicine, volume 1(7), pp 1-9.

8. Yadav SK, Mandal BK, Karn A, Sah AK. 2012. Maxillofacial trauma with head injuries at a tertiary care hospital in Chitwan, Nepal: clinical, medico-legal, and critical care concerns. Turk J Med Sci, volume : 42, pp 1505-1512.

9. Aldelaimi TN. 2012. Surgical management of maxillofacial injuries in Iraq. Dentistry volume : 2, p 113

10. Agrawal M, Kang LS. 2010. Midline submental orotracheal intubation in maxillofacial injuries: a substitute to tracheostomy where postoperative mechanical ventilation is not required. J Anaesth Clin Pharmacol, volume : 26 (4), pp:498-502

11. Peterson K, Hayes DK, Blice JP, Hale RG. 2008. Prevention and management of infections associated with combat-related head and neck injuries. J Trauma, volume : 64, pp 265-276.

12. Saddki N, Suhaimi AA, Daud R. 2010. Maxillofacial injuries associated with intimate partner violence in women. BMC Public Health. Volume : 10, p: 268

13. Chen CT, Chen YR (2010). Traumatic superior orbital fissure syndrome : current management. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction, 3: 9-16

25

Page 26: Preskes Dr Amru

14. Kraft A, Abermann E, Stigler R, Zsikovits C, Pedross F, Kloss F , Gassner R (2012). Craniomaxillofacial trauma : synopsis of 14654 cases with 35129 injuries in 15 years. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction, 5 : 41-50.

15. Krausz A, el Naaj IA, Barak M (2009). Maxillofacial trauma patient : coping with the difficult airway. World Journal of Emergency Surgery, 4 : 21.

16. Pappachan B, Alexander M (2012). Biomechanics of cranio-maxillofacial trauma. J. Maxillofac Ora; Surg, 11(2) : 224-230.

17. Bali R, Sharma P, Ggarg A, Dhillon G (2013). A comprehensive study on maxillofacial trauma conducted in Yamunanagar, India. J Inj Violence Res, 5(2): 108-116.

18. Movahed R, Pinto L, Ryan CM, Allen W, Wolford L (2013). Application of cranial bone grafts for reconstruction of maxillofacial deformities. Proc (Bayl Univ Med Cent), 26(3):252–255.

19. Lee E, Mohan K, Koshy J, Holier L (2010). Optimizing the Surgical Management of Zygomaticomaxillary Complex Fractures. Semin Plast Surg, 24:389–397.

20. Engin D Arslan. (2014). Assessment of maxillofacial trauma in emergency. Arslan et al. World Journal of Emergency Surgery 2014, 9 :13

21. Pau C, Barrera J, Kwon J, Most S (2010). Three-Dimensional Analysis of Zygomatic-Maxillary Complex Fracture Patterns. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction, 3:167–176.

22. Guly CM, Guly HR, Bouamra O, Gray RH, Lecky FE (2010). Ocular injuries in patients with major trauma. Emerg Med J, 23:915–917.

23. Yates DW (1990). Scoring systems for trauma. BMJ, 301 : 1090-1094.

24. Kretlow J, Aisha J, Izaddost S (2010). Facial Soft Tissue Trauma. Semin Plast Surg, 24:349-356.

25. Elitsa G. Deliverska, Lachesar P. Stefanov. (2013). Maxillofacial trauma management in polytraumatized patients-the use of advanced trauma life support principles. J of IMAB. Vol 19.

26