Preskes Anestesi

of 45 /45
BAB I PENDAHULUAN Istilah anestesia yang artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai maupun yang tidak disertai hilang kesadaran, diperkenalkan oleh Oliver W. Holmes pada tahun 1646. Sedangkan anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi ataupun analgesi, pengawasan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan atau tindakan lainnya, pemberian bantuan hidup dasar, perawatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. 1 Obat yang digunakan dalam menimbulkan anestesia disebut sebagai anestetik dan kelompok obat ini dibedakan dalam anestetik umum/ general dan anestetik lokal/ regional. Anestetik umum dapat memberikan efek analgesia (hilang sensasi nyeri) atau efek anestesia (analgesia disertai hilang kesadaran), sedangkan lokal hanya dapat memberikan efek analgesia saja. 1 Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional. Pungsi lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891. Anestesi spinal subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi bagian bawah tubuh penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal. Efek anestesi tercapai setelah 20 menit, 1

Embed Size (px)

Transcript of Preskes Anestesi

BAB I PENDAHULUAN

Istilah anestesia yang artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai maupun yang tidak disertai hilang kesadaran, diperkenalkan oleh Oliver W. Holmes pada tahun 1646. Sedangkan anestesiologi adalah cabang ilmu

kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi ataupun analgesi, pengawasan keselamatan penderita yang mengalami

pembedahan atau tindakan lainnya, pemberian bantuan hidup dasar, perawatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.1 Obat yang digunakan dalam menimbulkan anestesia disebut sebagai anestetik dan kelompok obat ini dibedakan dalam anestetik umum/ general dan anestetik lokal/ regional. Anestetik umum dapat memberikan efek analgesia (hilang sensasi nyeri) atau efek anestesia (analgesia disertai hilang kesadaran), sedangkan lokal hanya dapat memberikan efek analgesia saja. 1 Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional. Pungsi lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891. Anestesi spinal subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi bagian bawah tubuh penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal. Efek anestesi tercapai setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada ruang epidural. Indikasi penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah tindakan pada bedah obstetri dan ginekologi.1 Dalam persalinan membutuhkan tindakan anestesi karena nyeri sangat mungkin terjadi saat persalinan berlangsung. Nyeri karena persalinan terjadi karena kontraksi uterus, dilatasi servik, selain itu, tindakan dalam persalinan seperti ekstraksi cunam, vakum, versi dalam, versi luar, dan bedah caesar juga menimbulkan nyeri sehingga membutuhkan anestesi.1,2 Sectio caesaria berhubungan dengan peningkatan 2 kali lipat risiko morbiditas dan mortalitas ibu dibandingkan persalinan pervaginam. Kematian ibu akibat risiko sectio caesaria itu sendiri menunjukkan angka 1 per 1.000 persalinan. Kompliksi tindakan anestesi sekitar 10 persen dari seluruh angka kematian ibu. Kebanyakan kematian ibu ini sehubungan dengan anestesi umum, 50 persen

1

diantaranya karena aspirasi isi lambung. Dan lainnya mengalami cardiac arrest karena kesukaran intubasi. Dengan anestesi regional ibu masih sadar, refleks protektif masih ada, sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung kecil sekali dan ibu tidak menerima banyak macam obat dan perdarahannya lebih sedikit. Dari segi janin, anestesi regional ini bebas daripada obat obat yang mempunyai efek depresi terhadap janin.1,2 Ketuban pecah dini (KPD) terjadi bila ketuban pecah sebelum persalinan dimulai. Sulit untuk memahami etiologi, patogenesis, manajemen dan pencegahannya. KPD sering dihubungkan dengan komplikasi obstetri yang berefek pada outcome perinatal, misalnya kehamilan ganda, presentasi bokong, chorioamnionitis dan fetal distress intrapartum. Sebagai konsequensi dari adanya komplikasi ini maka 40% diakhiri dengan seksio sesaria. 4

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. PERSIAPAN PRAANESTESI Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan praanestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan praanestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan persiapan praanestesi adalah:1,2 1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal. 2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien. 3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology): a. ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa disertai kelainan faali,biokimiawi,dan psikiatris. Angka mortalitas 2%. b. ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%. c. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%. d. ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%. e. ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

3

f. ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan) Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak. Pemeriksaan praoperasi anestesi1,2,5 1. Anamnesis a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll. b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi. c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal. d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dll. e. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah. f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik, dan muntah. g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna. h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,

neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi. i. Makanan yang terakhir dimakan. 2. Pemeriksaan Fisik a. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.

4

b. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh. c. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu: i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior orofaring, tonsilla palatina dan tonsilla faringeal ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula iv. Mallampati IV : palatum durum saja d. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung. e. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi. f. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda regurgitasi. g. Ekstrimitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok saraf regional.

B. PREMEDIKASI ANESTESI Dewasa ini dengan kemajuan teknik anestesi, tujuan premedikasi bukan hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obatobatan yang digunakan, tetapi terutama untuk menenangkan pasien sebagai persiapan anestesi. Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari premedikasi antara lain:2,5 1. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam. 2. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam 3. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam

5

4. memberikan analgesia, misal pethidin 5. mencegah muntah, misal : droperidol, metoklopropamid 6. memperlancar induksi, misal : pethidin 7. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin 8. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin. 9. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin. Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat

hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan.2,5 Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:2,5,6 1. 2. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin. Transquillizer yaitu dari golongan benzodiazepin, misal diazepam dan midazolam 3. 4. 5. 6. 7. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin. Antihistamin, misal prometazine. Antasida, misal gelusil H2 reseptor antagonis, misal cimetidine Karena khasiat obat premedikasi yang berlainan tersebut, dalam pemakaian sehari-hari dipakai kombinasi beberapa obat untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, misalnya kombinasi narkotik, benzodiazepin, dan antikolinergik. Sebaiknya obat-obat premedikasi dilakukan 30 menit sampai 60 menit sebelum induksi.2,5,6

6

Obat yang dipakai untuk kasus ini adalah : Bupivakain Bupivakain (Decain, Marcain) adalah derivat butil yang 3 kali lebih kuat dan bersifat long acting (5-8 jam). Obat ini terutama digunakan untuk anestesi daerah luas (larutan 0,25%-0,5%) dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000. Plasma t1/2 1,5-5,5jam. Untuk kehamilan, sama dengan mepivakain dapat digunakan selama kehamilan dengan kadar 2,5-5 mg/ml. Dari semua anestetika lokal, bupivakain adalah yang paling sedikit melintasi plasenta.1,2,5,6

Fentanil Fentanil merupakan obat golongan opioid yang lebih banyak digunakan dibanding morfin karena menimbulkan analgesia anestesia yang lebih kuat dengan depresi nafas yang lebih ringan. Fentanil memiliki kekuatan hingga 100x dari morfin. Dosis fentanil adalah 0.05-0.1 mg IM/ IV. Berdasarkan lama kerjanya maka obat ini termasuk dengan lama kerja sedang yaitu 30 menit.

C. REGIONAL ANESTESI (SPINAL) Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedang penderita tetap sadar.5,6,7 Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau L4-L5 (obat lebih cenderung berkumpul di kaudal).5,6,7 Indikasi : anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki. Anestesi ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat dengan lidokain

7

hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat lain misalnya bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka lama operasi dapat diperpanjang sampai 2-3 jam.5,6,7 Kontra indikasi : pasien dengan hipovolemia, anemia berat, penyakit jantung, kelainan pembekuan darah, septikemia, tekanan intrakranial yang meninggi. Untuk tujuan klinik, pembagian tingkat anestesi spinal adalah sebagai berikut:5,6,7 Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal bawah dan segmen sakrum. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah umbilikus / Th X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan sakral. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk thoraks bawah, lumbal dan sakral. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk daerah thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih tinggi. Pada sectio caesaria, regional anestesi lebih disukai karena risiko untuk ibu dan berkaitan dengan apgar score yang lebih baik dibanding pada general anestesi (GA).3,7 1. Blok spinal (subarakhnoid) Pemasukan suatu anestetika lokal ke dalam ruang subarakhnoid untuk menghasilkan blok spinal merupakan teknik yang sering digunakan pada tindakan sectio caesaria (62%). Spinal anestesi mempunyai banyak keuntungan diantaranya :1,2,6,7 a. b. c. d. e. Tekniknya sederhana. Onsetnya cepat. Risiko keracunan sistemik lebih kecil. Blok anestesi yang baik. perubahan fisiologi, pencegahan dan penanggulangannya telah diketahui dengan baik. f. Pasien masih sadar sehingga mengurangi terjadinya aspirasi.

8

g.

Pengaruh terhadap bayi minimal. Potensi untuk hipotensi dengan teknik ini merupakan risiko

terbesar bagi ibu, yang disebabkan:1,2,6,7 a. Perubahan kardiovaskular pada ibu Yang pertama kali di blok pada analgesi subarakhnoid yaitu serabut saraf preganglionik otonom, yang merupakan serat saraf halus (serat saraf tipe B). Akibat denervasi simpatis ini akan terjadi penurunan tahanan pembuluh tepi, sehingga darah tertumpuk di pembuluh darah tepi karena terjadi dilatasi arteri, arteriol dan postarteriol. Besarnya perubahan kardiovaskuler tergantung pada

banyaknya serat simpatis yang mengalami denervasi. Bila hanya terjadi penurunan tahanan tepi saja, akan timbul hipotensi yang ringan. Tetapi bila disertai dengan penurunan curah jantung akan timbul hipotensi berat. Pada posisi terlentang terjadi penurunan rata rata tekanan darah, curah jantung (34%), dan isi sekuncup (44%). Sedangkan denyut jantung mengalami kenaikan rata-rata (17%). Pengaruh pengeluaran bayi terhadap hemodinamik menunjukkan kenaikan rata-rata curah jantung (52%) dan isi sekuncup (67%). Sedangkan denyut jantung menurun disertai kenaikan rata rata tekanan sistolik, diastolik, dan tekanan vena sentral. Hal ini disebabkan karena masuknya darah dari sirkulasi uterus ke dalam sirkulasi utama akibat kontraksi uterus b. Pengaruh terhadap bayi Pengaruh langsung zat analgetik lokal yang melewati sawar uri terhadap bayi dapat diabaikan. Penyebab utama gangguan terhadap bayi pasca sectio caesaria dengan analgesia subarakhnoid yaitu hipotensi yang menimbulkan berkurangnya arus darah uterus dan hipoksia maternal. Besarnya efek tersebut terhadap bayi tergantung pada berat dan lamanya hipotensi. Bila tekanan darah rata rata turun melebihi 31%, arus darah uterus turun sampai 17%. Sedangkan

9

penurunan tekanan darah rata-rata sampai 50% akan disertai dengan penurunan arus darah uterus sebanyak 65%. Efek hipotensi terhadap bayi berupa perubahan denyut jantung, keadaan gas darah, Apgar skor, dan sikap neurologi bayi. Beberapa penulis melaporkan bahwa pada pasien yang mengalami hipotensi karena analgesia subarakhnoid pada tindakan seksio sesaria, sering dijumpai bayi dengan Apgar skor yang rendah, lebih asidotik serta interval mulai menangis yang panjang. Lamanya hipotensi lebih penting daripada besarnya hipotensi. Ph arteri umbilical rendah mencerminkan asidosis respiratorik maupun metabolik, sedangkan kelebihan basa mencerminkan komponen metabolis saja (< -12mmol). 2. Anatomi Punggung untuk spinal anestesi Secara anatomis dipilih segemen L2 kebawah pada penusukan oleh karena ujung bawah daripada medula spinalis setinggi L2 dan ruang intersegmental lumbal ini relatif lebih lebar dan lebih datar dibandingkan dengan segmen segmen lainnya. Lokasi interspace ini dicari dengan menghubungkan crista iliaca kiri dan kanan. Maka titik pertemuan dengan segmen lumbal merupakan processus spinosus L4 atau L4-5 interspace.7 3. Kontra indikasi spinal anestesi2,5,7 a. Kontra indikasi absolut Pasien menolak Infeksi pada tempat suntikan Hipovolemia berat, syok Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan Tekanan intra kranial meninggi Fasiltas resusitasi minim Kurang pengalaman / tanpa didampingi konsultan anestesi. b. Kontra indikasi relatif Infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi ) Infeksi sekitar suntikan Kelainan neurologis

10

Kelainan psikis Bedah lama Penyakit jantung Hipovolemia ringan Nyeri punggung kronis 4. Persiapan Analgesi Spinal Pada dasarnya persiapan untuk analgesi spinal seperti persiapan pada anestesi umum. Hal hal yang perlu diperhatikan dibawah ini :5,7 a. Informed consent ( izin dari pasien ). b. Pemeriksaan fisik. Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang, punggung, dan lain- lainnya. c. Pemeriksaan laboratorium, dianjurkan hemoglobin, haemotokrit, PT (prothrombin time) dan PTT (partial thromboplastin time). 5. Teknik Spinal Anestesi1,2,5,6,7 Infus Dextrosa / NaCl / Ringer Laktat sebanyak 500 1500 ml. Oksigen 3 L/mnt. Posisi lateral merupakan posisi yang paling enak bagi penderita. Kepala memakai bantal dengan dagu menempel ke dada. L3 4 interspace ditandai. Skin preparation dengan betadin seluas mungkin. Sebelum penusukan betadin yang ada dibersikan dahulu. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1 2% 2 3 ml. Jarum 22 23 dapat disuntikkan langsung tanpa lokal infiltrasi dahulu juga tanpa introducer dengan bevel menghadap keatas. Kalau liquor sudah keluar lancar dan jernih, disuntikkan xylocain 5% sebanyak 1,25 1,5 cc. Penderita diletakkan telentang, dengan bokong kanan diberi bantal sehingga perut penderita agak miring ke kiri, tanpa posisi trendelenburg.

11

-

Monitoring tekanan darah, denyut jantung dan saturasi Oksigen. Apabila tensi turun dibawah 100 mmHg atau turun lebih dari 20 mmHg dibanding semula, efedrin diberikan 10 15 mg iv.

6. Komplikasi pada Spinal anestesi5,6 a. Hipotensi Hipotensi disebabkan sympathectomy temporer, komponen blokade midthoracic yang tidak dapat dihindari dan tidak diinginkan. Berkurangnya venous return dan penurunan afterload menurunkan maternal mean arterial pressure (MAP). Hal ini dapat disebabkan oleh karena posisi terlentang terjadi kompresi parsial atau total vena kava inferior dan aorta oleh masa uterus. b. Blokade Spinal total Penyebab tersering, oleh karena pemberian dosis agen analgesia jauh melebihi toleransi oleh wanita hamil. Hipotensi dan apneu cepat timbul dan harus segera diatasi untuk mencegah henti jantung. c. Kecemasan dan rasa sakit Wanita dalam kondisi tersebut biasanya menyadari setiap manipulasi bedah yang dilakukan dan menerima setiap perasat sebagai perasaan yang tertekan, ia merasa tidak enak terhadap manipulasi manipulasi diatas blokade spinal total seringkali, derajat penghilang rasa nyeri dari analgesia spinal tidak adekuat. d. Sakit kepala spinal (Pasca pungsi) Kebocoran cairan serebrospinal dari tempat pungsi meninges dianggap merupakan faktor utama timbulnya sakit kepala. Dengan tetap berbaring 24 jam pascaoperasi, nyeri kepala jelas membaik pada hari ketiga dan menghilang pada hari kelima. e. Disfungsi kandung kencing Dengan anelgesi spinal, sensasi kandung kencing mungkin dilumpuhkan dan pengosongan kandung kencing terganggu selama beberapa jam setelah persalinan. Akibatnya, distensi kandung kencing sering merupakan komplikasi masa nifas.

12

f. Oksitosin dan hipertensi Hipertensi yang ditimbulkan oleh ergonovi (Ergotrate) atau metilergonovin (methergin) yang disuntikan setelah persalinan, sangat sering terjadi pada wanita yang telah menerima blok spinal atau epidural g. Arakhnoiditis dan meningitis 7. Penatalaksanaan a. Hidrasi akut Sebelum induksi harus dipasang infus intravena, dengan memberikan cairan kristaloid sebanyak 1000 1500 ml tidak menimbulkan bahaya overhidrasi. Dianjurkan pemberian cairan tidak mengandung dekstrosa, karena infus dekstrosa 20 g/jam atau lebih sebelum melahirkan menimbulkan hipoglikemia pada bayi 4 jam setelah dilahirkan. Hal ini disebabkan pankreas bayi yang cukup umur akan menaikkan produksi insulin sebagai reaksi atas glukosa yang melewati sawar uri. b. Mendorong uterus kekiri Untuk mempertahankan perfusi uteroplacenta. Diharapkan dapat mencegah bahaya kompresi vena kava inferior dan aorta, sehingga mencegah sindroma hipotensi terlentang. c. Pemberian Vasopressor Pemberian efedrin, seringkali dipakai untuk pencegahan maupun terapi hipotensi pada pasien kebidanan. Obat ini merupakan suatu simpatomimetik non katekolamin dengan campuran aksi langsung dan tidak langsung. Meningkatkan curah jantung, tekanan darah, dan nadi melalui stimulasi adrenegik alfa dan beta, menimbulkan bronkhodilatasi melalui stimulasi reseptor beta 2. d. Pemberian oksigen Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obat obat narkotik, anestesi umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia yang berat. Faktor faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :

13

Turunnya FRC sehingga kemampuan paru paru untuk menyimpan O2 menurun. Naiknya konsumsi oksigen. Airway closure. Turunnya cardiac output pada posisi supine. Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena : Memperbaiki keadaan asam basa bayi yang dilahirkan. Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi. Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan.

D. TERAPI CAIRAN Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk:2,6 1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. 2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan. Pemberian cairan operasi dibagi :2,6 1. Pra operasi Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %. 2. Selama operasi Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi : a. Ringan b. Sedang c. Berat = 4 ml/kgBB/jam. = 6 ml / kgBB/jam = 8 ml / kgBB/jam. 14

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang. 3. Setelah operasi Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

E. PEMULIHAN Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pascaoperasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.7

F. SECTIO CAESARIA 1. Definisi3,4 Sectio caesaria adalah lahirnya janin, plasenta dan selaput ketuban melalui irisan yang dibuat pada dinding perut dan rahim. Syarat sectio caesaria: a. b. Uterus dalam keadaan utuh Berat janin diatas 500 gram

Indikasi sectio caesaria, prinsipnya: a. b. Keadaan yang tidak memungkinkan janin dilahirkan pervaginam. Keadaan gawat darurat yang memerlukan pengakhiran kehamilan / persalinan segera, yang tidak mungkin menunggu kemajuan persalinan per vaginam secara fisiologis.

15

c.

Indikasi ibu : panggul sempit absolut, tumor tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi, stenosis serviks / vagina, plasenta previa, disproporsi sefalopelvik.

d.

Indikasi janin : Kelainan letak ( malpresentasi dan malposisi), prolaps talipusat, gawat janin.

2. Teknik Sectio Caesaria3,4 a. Sectio casarea transperitonealis profunda. b. Sectio cesaria klasik. c. Secio cesaria yang dilanjutkan histerektomi (cesarean hysterectomy). d. Sectio cesarea transvaginal. 3. Komplikasi Sectio Caesaria3,4 Walaupun jarang tetapi fatal adalah komplikasi emboli air ketuban yang dapat terjadi selama tindakan operasi, yaitu masuknya cairan ketuban ke dalam pembuluh darah yang terbuka yang disebut sebagai embolus. Jika embolus mencapai pembuluh darah pada jantung, timbul gangguan pada jantung dan paru paru dimana dapat terjadi henti jantung dan henti nafas secara tiba tiba. Komplikasi lain yang dapat terjadi sesaat setelah operasi caesar adalah infeksi yang banyak disebut sebagai morbiditas pasca operasi.

G. KETUBAN PECAH DINI Kriteria diagnosis: 1. umur kehamilan lebih dari 20 minggu 2. keluar cairan jernih dari vagina 3. pada pemeriksaan fisik: suhu normal bila tidak ada infeksi 4. denyut jantung biasanya normal 5. terlihat cairan keluar dari ostium uteri eksternum, nitrasin tes (+).

16

BAB III LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA Nama Umur Jenis Kelamin No RM : Ny. YL : 37 tahun : Perempuan : 01189353

Diagnosis pre operatif : KPD 12 jam pada multigravida hamil aterm belum dalam persalinan dengan riwayat SC 7 tahun yang lalu dan cukup anak Macam Operasi Macam Anestesi Tanggal masuk Tanggal Operasi : SCTP - Em + MOW : RASAB (regional anestesi subarachnoid blok) : 11 April 2013 jam 04.05 : 11 April 2013 jam 08.45

B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI 1. Anamnesis a. Keluhan utama : ingin melahirkan b. Riwayat Penyakit Sekarang : Seorang wanita, G4P2A1, dengan usia 37 tahun, usia kehamilan 37 minggu kiriman Puskesmas Pucangsawit dengan keterangan RTW SC. Pasien merasa hamil 9 bulan. Gerak janin masih dirasakan. Air kawah dirasakan keluar sejak 12 jam yang lalu, kenceng-kenceng belum dirasakan teratur, lendir (-), darah (-). c. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Asma Riwayat Hipertensi Riwayat DM Riwayat Alergi 17 : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

Riwayat makan terakhir Riwayat minum terakhir Riwayat pemasangan gigi palsu Riwayat gigi goyah

: 10 April 2013 jam 15.00 : 11 April 2013 jam 03.00 : disangkal : disangkal

2. Pemeriksaan Fisik KU Vital Sign : Baik, CM, Gizi kesan baik, berat badan 60 kg : TD: 120/ 80 mmHg RR :20X/menit HR: 80 X/menit Mata Suhu: 36,50C

: Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), pupil isokor 3mm/3mm

Hidung Mulut Leher

: Sekret (-), deviasi septum (-) : Buka mulut >3cm, Mallampati I : JVP tidak meningkat, KGB servikal tidak membesar, gerak leher bebas

Thoraks Cor

: Retraksi (-) : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Ictus cordis tidak tampak : Ictus cordis tidak kuat angkat : Batas jantung kesan tidak melebar : BJ I-II, intensitas normal, reguler bising (-) : Pengembangan dada kanan = kiri : Fremitus raba kanan = kiri : sonor/sonor : Suara dasar vesikuler (+/+), Suara tambahan (-/-)

Pulmo

: Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

Abdomen

: Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra uterine, memanjang, punggung di kiri, presentasi kepala, kepala masuk panggul 1/3 bagian. Tinggi fundus uteri 34cm. Taksiran berat janin 3200 gram. His (-), DJJ (+) 12 12 12 reguler.

Vaginal tuocher : v / u tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio 18

tebal mencucu di belakang diameter - cm, eff 10%, kulit ketuban dan penunjuk janin belum dapat dinilai, kepala turun di Hodge II, air ketuban (+) jernih tidak berbau, nitrozin (+) STLD (-) Ekstremitas : CRT 6 jam pre op c. Infus RL 30 tetes / menit 2. Jenis Anestesi 3. Teknik Anestesi medial 4. Premedikasi : Metoklopramid 10 mg 5. Induksi : Bupivacain Spinal 12.5 mg + Fentanil 25 mg intradural : Regional Anestesi : Spinal Blok Anestesi, Spinal needle no 25 L3-4

6. Maintenance : 02 = 3 L/menit 7. Monitoring : tanda vital selama operasi tiap 5 menit, cairan, perdarahan, ketenangan pasien dan tanda-tanda komplikasi anestesi. 8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan

B. Tata Laksana Anestesi 1. Di ruang Persiapan a. Cek persetujuan operasi b. Periksa tanda vital dan keadaan umum c. Lama puasa > 6 jam d. Cek obat-obat dan alat anestesi e. Infus RL 30 tetes/menit f. Injeksi Metoklopropamid 10 mg IV

g. Posisi terlentang h. Pakaian pasien diganti pakaian operasi 2. Di ruang Operasi a. Jam 08.10 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang b. Jam 08.45 pasien diberikan infus cairan HES.

21

c. Jam 08.45 mulai dilakukan anestesi spinal dengan prosedur sebagai berikut : 1) Pasien diminta duduk dengan punggung flexi maksimal. 2) Dilakukan tindakan antisepsis pada daerah kulit punggung bawah pasien dengan menggunakan larutan iodin 1% + Alkohol 70% 3) Menggunakan sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan menyuntikkan jarum spinal no 25 pada bidang median dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horisontal ke arah kranial pada ruang antar vertebra lumbal 3-4. 4) Setelah jarum sampai di ruang subarachnoid yang ditandai dengan menetesnya cairan LCS, stilet dicabut dan disuntikkan Bupivacain Spinal 12.5 mg + Fentanil 25 mg . 5) Lokasi penyuntikan ditutup dengan perban. 6) Pasien dikembalikan pada posisi telentang, dan kepala

diekestensikan, kanul oksigen dipasang pada hidung dengan maintenance O2 3 L/menit. d. Jam 08.55 operasi dimulai, selama operasi dimonitor tanda vital dan saturasi O2 tiap 5 menit. e. Jam 09.10 bayi dilahirkan perabdominal, jenis kelamin perempuan, berat badan 3700 gram, panjang badan 49 cm, APGAR 8-9-10, anus (+), cacat (-). f. Jam 09.15 plasenta lahir lengkap perabdominal lalu diberikan methergin 0.4 mg 1 ampul IV, oxytocyn 20 IU per drip. Cairan infus HES habis lalu diganti dengan RL 500ml. g. Jam 09.20 diberikan midazolam 2.5 mg 1cc h. Jam 09.30 cairan infus RL 500ml habis lalu diganti dengan NaCl 500ml. i. j. Jam 10.00 cairan infus NaCl habis lalu diganti dengan RL 500ml. Jam 10.30 operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.

22

k. Monitoring Selama Anestesi

Jam 08.50 08.55 09.00 09.05 09.10 09.15 09.20 09.25 09.30 09.35 09.40 09.45

Tensi 100/55 100/60 100/55 100/55 100/60 100/60 100/55 100/55 100/60 95/55 100/55 100/55

Nadi 85 80 80 85 85 80 90 90 90 90 90 90

Sa02 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%

Jam 09.50 09.55 10.00 10.05 10.10 10.15 10.20 10.25 10.30 10.35 10.40 10.45

Tensi 95/55 95/55 100/55 110/60 105/60 100/60 100/60 105/60 105/60 100/60 100/60 100/60

Nadi 95 90 85 80 80 80 80 80 80 80 80 80

Sa02 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%

3. Di ruang pemulihan a. Jam 10.30 Operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Pasien diberikan infus RL 20tpm dengan piralen 10mg dan fentanyl 100mcg drip. b. Jam 12.30 dari OK IGD pasien dikembalikan ke PONEK c. Jam 13.00 injeksi asam traneksamat 500mg Monitoring Post Operasi: o TD o HR 4. : 124/74 o Sp02 : 100% : 89

Intruksi pasca anestesi a. Posisi supine dengan oksigen 3 L/ mnt b. Medikasi :

23

-

Ketorolac Ondansetron

: 30mg/ 8 jam : 4mg/ 8 jam

c. Lain-lain Antibiotik sesuai Obsgin Analgetik sesuai Obsgin Puasa sampai dengan flatus Post operasi, cek Hb. Bila