Preskas Boyol Peritonitis
-
Upload
aisya-fikritama -
Category
Documents
-
view
225 -
download
4
description
Transcript of Preskas Boyol Peritonitis
LAPORAN KASUS STASE BOYOLALI
SEORANG LAKI-LAKI USIA TAHUN 38 TAHUN
DENGAN PERITONITIS GENERALISATA EC
PERFORASI GASTER
Oleh :
Nur Izah Ameta G99141143
Aisya Fikritama Aditya G99141150
MY Cendy N.B. G99141155
Namira Qisthina G99141158
Pembimbing :
dr. Anang Ma’ruf, Sp.B, FInaCS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD PANDAN ARANG
BOYOLALI
2015
STATUS PENDERITA
I. IDENTITAS
Nama : Tn. T
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Sudah menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan
Alamat : Jagoan, Sambi Boyolali
No. Catatan Medis : 15501725
Tanggal Pemeriksaan : 27 September 2015
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri seluruh lapang perut sejak 1 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari puskesmas Simo dengan keluhan nyeri perut sejak 1
hari SMRS. Nyeri perut dirasakan tiba-tiba dan sering hilang timbul. Pasien
mengaku lebih enak ketika posisi berbaring. Nyeri awalnya dirasakan di sekitar
ulu hati, kemudian nyeri dirasakan di seluruh lapang perut. Nyeri dirasakan tidak
menjalar ke punggung dan tidak berkurang dengan pemberian makanan. Pasien
juga mengeluhkan mual dan muntah. Pasien mengeluhkan muntah 4 kali sehari
berisi cairan (+), makanan (-), darah (-).
BAB dan BAK rutin, tidak ada keluhan. Flatus (+).
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat DM/Hipertensi/Jantung/Asma : disangkal
2. Riwayat penyakit serupa : disangkal
3. Riwayat operasi : disangkal
4. Riwayat mondok : disangkal
5. Riwayat trauma : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat DM/Hipertensi/Jantung/Asma : disangkal
2. Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat makan : 3 kali sehari, nafsu makan baik, jarang
mengkonsumsi daging.
2. Riwayat merokok :(+) sejak usia 20 tahun 5-6 batang sehari
Riwayat Sosial Ekonomi
Pekerjaan, pasien berobat menggunakan BPJS.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-tanda Vital
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis E4V5M6
Tanda Vital
o TD : 130/90 mmHg
o Nadi : 80 x/menit
o Respirasi : 20 x/menit
o Suhu : 36,8°C
o VAS : 6
Status Generalis
Kepala : Mesocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-),pupil isokor
(3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), refleks cahaya (+/+), hematom
periorbita (-/-), diplopia (-/-).
Hidung : deviasi septum (-), discharge (-)
Telinga : sekret (-/-), darah (-/-)
Mulut : Mukosa basah (+), Tonsil TI – TI tenang, Faring hiperemis
(-)
Leher : JVP R+ 2 cm, KGB tidak teraba membesar, trakea terletak
ditengah.
Thorak : Bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-), retraksi (-),
nyeri tekan (-), flailchest (-)
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V 2 cm
medial LMCS
Perkusi : Batas-batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I – II Intensitas normal, Reguler, bising (-), murmur
(-), Gallop (-)
Pulmo (Anterior/ Posterior)
Inspeksi : Pengembangan dada kanan= kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan=kiri
Perkusi : Sonor / Sonor
Auskultasi : SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Dinding perut > dada, Distended (+)
Auskultasi : BU (+) normal menurun
Perkusi : Hipertympani, pekak hepar menghilang
Palpasi : Nyeri tekan (+) diseluruh lapang pandang, hepar dan
lien tidak teraba membesar, Ballotement -/-, nyeri
ketok CVA -/-, defans muskuler (-).
Genitalia
Inspeksi : secret (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
Ekstremitas
Atas : Edema (-/-), Sianosis (-/-), CRT <2”, akral hangat
Bawah : Edema (-/-), Sianosis (-/-), CRT <2”, akral hangat
Rectal Toucher : TMSA (N), mukosa licin, ampula normal, NT(-),
STLD (-), Faeces (+)
Status Lokalis:
Regio abdomen :
Inspeksi : Dinding perut > dada, Distended (+)
Auskultasi : BU (+) normal menurun
Perkusi : Hipertympani, pekak hepar menghilang
Palpasi : Nyeri tekan (+) diseluruh lapang pandang, hepar dan
lien tidak teraba membesar, Ballotement -/-, nyeri
ketok CVA -/-, defans muskuler (-).
IV. ASSESSMENT I
Peritonitis Generalisata ec Susp Perforasi gaster
V. PLANNING I
1. MRS Bangsal Bedah
2. Infus RL 20 tpm
3. O2 3 lpm
4. Injeksi ketorolac 1 amp/8 jam
5. Injeksi ranitidine 1 amp/ 12 jam
6. Injeksi ceftriaxone 1 amp/12 jam
7. Injeksi ondancentrone 1 amp/8 jam
8. Pasang NGT
9. Cek lab DL, elektrolit, PT/APTT, ureum, creatinin, albumin, SGOT/PT.
10. Foto polos abdomen 3 posisi
11. Foto thorax PA
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Lab darah 26 Oktober 2015
Pemeriksaan Hasil Satuan RujukanDARAH RUTIN
Hemoglobin 13.8 g/dL 14-18Hematokrit 41,9 % 42-52Leukosit 950 ribu/µl 4.8– 10.8Trombosit 356 ribu/µl 150 – 450Eritrosit 4.92 juta/µl 4.7 – 6.1Eosinofil 7.40 % 1-3Basofil 0.00 % 0-1Neutrofil segmen 46.20 % 50-70Limfosit 45.30 % 20-40Monosit 1.10 % 2-8
SEROLOGI HEPATITISHbsAg Nonreactive Nonreactive
KIMIA KLINIKGula darah Sewaktu 132 mg/dl 70-125Creatinine 1.4 mg/dl 0.9-1.3Ureum 38 mg/dl 10 – 50SGOT 14 U/L < 35SGPT 12 U/l < 41Albumin 2.6 gr/dl 3.8-5.4
ELEKTROLITNatrium Darah 142 mmol/l 135-148Kalium Darah 4.2 mmol/l 3.5-5.3
Chlorida Darah 108 mmol/l 98-107
Foto Abdomen 2 posisi (26 Oktober 2015)
Hasil :
Pneumoperitoneum, sangat mungkin adanya perforasi
Tak tampak ileus
Foto Thorax PA (26 Oktober 2015)
Hasil :
Cor dan pulmo tak ada kelainan
VII. ASSESSMENT II
Peritonitis Generalisata ec perforasi gaster
VIII. PLANNING II
1. Infus RL 20 tpm
2. O2 3 lpm
3. Injeksi ketorolac 1amp/8 jam
4. Injeksi ranitidine 1 amp/ 12 jam
5. Injeksi ceftriaxone 1 amp/12 jam
6. Injeksi ondancentrone 1 amp/8 jam
7. Pasang NGT
8. Pro Laparotomy
IX. PROGNOSIS
ad vitam : bonam
ad functionam : bonam
ad sanationam : bonam
BAB I
PENDAHULUAN
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen.
Penyebab perforasi gastrointestinal adalah ulkus peptik, inflamasi divertikulum kolon
sigmoid, kerusakan akibat trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn, kolitis
ulserasi, dan tumor ganas di sistem gastrointestinal. Perforasi paling sering adalah
akibat ulkus peptik lambung dan duodenum. Perforasi dapat terjadi di rongga
abdomen (perforatio libera) atau adesi kantung buatan (perforatio tecta). Pada tahun
1799 gejala klinik ulkus perforasi dikenali untuk pertama kali, meskipun baru pada
tahun 1892, Ludwig Hensner, seorang Jerman, pertama kali melakukan tindakan
bedah pada ulkus peptik lambung. Pada tahun 1894, Henry Percy Dean melakukan
tindakan bedah pada ulkus perforasi usus kecil duodenum. Gastrektomi parsial,
meskipun sudah dilaksanakan untuk ulkus gaster perforasi dari awal 1892, tidak
menjadi terapi populer sampai tahun 1940. Hal ini karena dirasakan adanya rekurensi
yang tinggi dari gejala-gejala setelah perbaikan sederhana. Efek fisiologis vagotomi
trunkal pada sekresi asam telah diketahui sejak awal abad 19, dan pendekatan ini
diperkenalkan sebagai terapi ulkus duodenum pada tahun 1940. Perkembangan
selanjutnya terapi ulkus peptik adalah diperkenalkannya vagotomi selektif tinggi pada
akhir 1960. Namun, tidak ada satupun pencapaian ini yang terbukti berhasil, dan
beberapa komplikasi postoperatif, termasuk angka rekurensi ulkus yang tinggi, telah
membatasi penggunaan teknik-teknik ini. Akhir-akhir ini, pada pasien dengan
perforasi gaster, penutupan sederhana lebih umum dikerjakan daripada reseksi gaster.
Perforasi gastrointestinal, termasuk di dalamnya perforasi appendiks, perforasi
gaster dan penyakit duodenale, serta perforasi kolon, merupakan salah satu penyebab
paling sering dari peritonitis. Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh
infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Tanda-tanda peritonitis yaitu demam
tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi
hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat, dinding perut akan terasa tegang karena iritasi
peritoneum. Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas
dan mortalitas. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara
lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel
sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas
sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda,
pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis
lebih awal (Doherty, 2006).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. PERITONITIS
A. Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada
selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih
yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi
peritonitis bisa terlokalisir atau difus, riwayat akut atau kronik dan
patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawatdaruratan yang biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis.
Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus
(secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada
intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis. (Fauci et al,
2008)
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya
apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,
komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada
keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi
kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen,
resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif,
merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis. Keputusan
untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.
B. Etiologi
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk: ·
1. Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang
langsung dari rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari
peritonitis primer adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis
hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.
·
2. Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi
appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi
kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus,
kanker serta strangulasi usus halus (Brian,2011).
Tabel 1. Penyebab Peritonitis Sekunder
Regio Asal Penyebab
Esophagus Boerhaave syndrome
Malignancy
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Stomach Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma,
lymphoma, gastrointestinal stromal tumor)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Duodenum Peptic ulcer pe Peptic ulcer perforation
Trauma (blunt and penetrating) Iatrogenic*
Biliary tract Cholecystitis Stone perforation from
gallbladder (ie, gallstone ileus) or common
duct
Malignancy
Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic*
Pancreas Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)
Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Small bowel Ischemic bowel
Incarcerated hernia (internal and external)
Closed loop obstruction Crohn disease
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)
Large bowel and
appendix
Ischemic bowel
Diverticulitis Malignancy
Ulcerative colitis and Crohn disease
Appendicitis
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Uterus, salpinx, and
ovaries
Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-
oophoritis, tubo-ovarian abscess, ovarian
cyst) Malignancy (rare)
Trauma (uncommon) ·
3. Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman,
dan akibat tindakan operasi sebelumnya. Sedangkan infeksi
intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis)
dan localized (abses intra abdomen).
C. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara
perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila
infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus (Fauci et al, 2008).
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler
dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara
cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai
mediator, seperti interleukin, dapat memulai respon hiperinflamasi sehingga
menyebabkan kegagalan banyak organ. Hal ini terjadi karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal,
produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah
jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauci et al, 2008).
Organ-organ di dalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan di dalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra
peritoneal, dinding abdomen dan jaringan retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan
yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan
lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat
usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi
(Fauci et al, 2008).
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul
peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke
dalam lumen usus mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan
oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung usus yang meregang dan
mengganggu pulihnya pergerakan usus serta dapat mengakibatkan obstruksi
usus (Fauci et al, 2008). Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus
dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka
terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan.
Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai
terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi
iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya
terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci et al, 2008).
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan
peritoneum yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium
akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan
menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak
kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama
dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam
lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar ke seluruh
perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi
bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu
menunjukkan rangsangan peritoneum berupa pengenceran zat asam garam
yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bacteria (Fauci et al, 2008).
D. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di
dalam rongga abdomen. Beratnya gejala berhubungan dengan beberapa faktor
yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan
kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita
secara umum (Cole et al,1970).
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang
berasal dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik.
1. Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari
dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum peritoneum
dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum
parietalis dan menyebabkan ileus.
2. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat,
takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat
menjadi syok (Doherty, 2006).
Gejala
1. Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada
peritonitis. Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan
pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian
abdomen (Doherty, 2006). Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri
dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan
timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah
dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan
penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses
peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan
perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis
(Schwartz et al, 1989). ·
2. Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat
diikuti dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan
terasa seperti demam dansering disertai badan menggigil yang hilang
timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40OC
(Schwartz et al, 1989). ·
3. Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini
termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong,
kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat (Cole et
al,1970). Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates
biasanya berada pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi
mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang
terbatas karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen
(Schwartz et al, 1989). Tanda ini merupakan patognomonis untuk
peritonitis berat dengan tingkat kematian yang tinggi, akan tetapi dengan
mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik, angka
kematian dapat lebih banyak berkurang (Cole et al,1970).
4. Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor.
Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau
ke lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis
generalisata (Coleet al,1970). Yang utama dari septicemia pada peritonitis
generalisata melibatkan kuman gram negative yang dapat menyebabkan
terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena ini
belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari
endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala
yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada manusia (Cole et al,1970).
Tanda
1. Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau
komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolik
dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal
sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal.
Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang
menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti
ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus
dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk
mencegah keadaan yang lebih buruk (Schwartzet al, 1989). ·
2. Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya
distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen
tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa
pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat
tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari
cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus
paralitik (Cole et al,1970). ·
3. Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara
usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi
intestinal sampai hampir tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis
berat dengan ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar
tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara
bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut, penyebabnya
kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami
strangulasi (Cole et al,1970). ·
4. Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman
pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi
intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum
peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi.
Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Cole et al,1970). Jika
terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan
menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan
ditemukan pekak hepar yang menghilang (Schwartz et al, 1989). ·
5. Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen
pada kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi
daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah
yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak
dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat semua
pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding
abdomen seperti pada wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak
dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau
spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting adalah
adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut
nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot
abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah
dirangsang mungkin cukup gelisah, namun pada kebanyakan kasus hal
tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan
lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi.
Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau
dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas
dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik
peradangan yang maksimal (Cole et al,1970). Pada peradangan di
peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme secara
involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme
otot menjadi sangat berat seperti papan (Schwartz et al, 1989).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara
riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana
dilakukan adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus
peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, Pada
perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi
oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan,
meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata
(Schwartz et al, 1989). Analisa gas darah, serum elektrolit, faal
pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan ginjal dapat
dilakukan (Doherty, 2006).
2. Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya
mencakup foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto
thorak dapat memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang
menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos
thorak diafragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya
akibat adanya udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan
menggunakan foto polos abdomen (Cole et al,1970). Ileus merupakan
penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar
mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto
polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi
berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat
ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan
pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus (Cole et
al,1970).
F. PENATATALAKSANAAN
Penatalaksanaan utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan
dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik
sistemik (Doherty, 2006).
Penanganan Perioperatif
1. Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum
menyebabkan perpindahan cairan (Schwartz et al, 1989). Pengembalian
volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat
diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status
hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari
hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB
(Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk
mengganti cairan yang hilang (Doherty, 2006). Secara teori, cairan
koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler,
tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah,
mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena
kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz et al, 1989).
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan
dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty, 2006).
2. Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan
menjadi bakteri aerob yaitu E.
Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri
anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,
Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terapi peritonitis,
pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob
atau anaerob yang menginfeksi peritoneum (Schwartz et al, 1989).
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil
kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas
jika masih terdapat tanda infeksi. Jika terjadi perbaikan secara klinis
yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel
darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati
meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas (Cole et al,1970).
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga
untuk gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme
anaerob (Doherty, 2006). Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan
anerob lebih penting daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi.
Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam
kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan
hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis
dari peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu
aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai
penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang
normal (Doherty, 2006).
3. Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada
peritonitis cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan
dari metabolisme tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada
ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-
kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar
yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih
tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55
mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).
4. Intubasi
5. Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari
abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting
mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk
mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin.
6. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate)
Tanda vital dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia
preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah,
bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz et al, 1989).
Penanganan Operatif
1. Operasi
Operasi biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber dari
kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus,
reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur
operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama
operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum
peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung
dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri
virulen (Schwartz et al, 1989).
2. Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk
menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi
penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut.Kecuali
pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik
operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan
menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang.
Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan
peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup.
Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi
(ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau
drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan
yang yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan
setelah memasuki kavum peritoneum (Doherty, 2006).
3. Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (>
3 liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan
fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan
irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi
(misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara
parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan
tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih
lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan
depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini
menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah
dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi
karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan
melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit
menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).
4. Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan
peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum
peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena
drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang
dapat menyebabkan kontaminasi.Drainase profilaksis pada peritonitis
difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu
terbentuknya abses atau fistula.Drainase berguna p pada infeksi fokal
residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk
peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi
(Doherty, 2006).
Penanganan Postoperatif
1. Monitor intensif
Bantuan ventilator mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil.
Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk
perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik
disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari,
bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai
dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis,
ileus menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan
bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis.
2. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat
menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).
G. KOMPLIKASI
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi
komplikasi lokal dan sistemik.Infeksi pada luka dalam, abses residual dan
sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir
minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema
generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan
merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan
pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel yaitu organ
respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun (Doherty, 2006).
H. PROGNOSIS
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe
penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum
pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas
sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia
muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang
terdiagnosis lebih awal (Doherty, 2006).
II. PERFORASI GASTER
A. Anatomi dan Fisiologi Lambung
Lambung merupakan bagian sistem gastrointestinal yang terletak di
antara esofagus dan duodenum. Dari hubungan anatomi topografik lambung-
duodenum dengan hati, pankreas, dan limpa, dapat diperkirakan bahwa tukak
peptik akan mengalami perforasi ke rongga sekitarnya secara bebas atau
penetrasi ke dalam organ di dekatnya, bergantung pada letak tukak.
Berdasarkan faalnya, lambung dibagi dalam dua bagian. Tiga perempat
proksimal yang terdiri dari fundus dan korpus, berfungsi sebagai penampung
makanan yang ditelan serta tempat produksi asam lambung dan pepsin,
sedangkan dinding korpus, apalagi antrum, tebal, dan kuat lapisan ototnya.
Ciri yang cukup menonjol pada anatomi lambung adalah peredaran darahnya
yang sangat kaya dan berasal dari empat jurusan dengan pembuluh nadi besar
di pinggir kurvatura mayor dan minor serta dalam dinding lambung. Di
belakang dan tepi medial duodenum, juga ditemukan arteri besar
(a.gastroduodenalis). Perdarahan hebat bisa terjadi karena erosi dinding arteri
itu pada tukak peptik lambung atau duodenum. Vena dari lambung duodenum
bermuara ke vena porta. Peredaran vena ini kaya sekali dengan hubungan
kolateral ke organ yang ada hubungan embrional dengan lambung dan
duodenum. Saluran limfe dari lambung juga cukup rumit. Semuanya akan
berakhir di kelenjar paraaorta dan preaorta di pangkal mesenterium embrional.
Antara lambung dan pangkal embrional itu terdapat kelenjar limfe yang
letaknya tersebar di mana-mana akibat putaran embrional.
Fungsi utama lambung adalah penerima makanan dan minuman,
dikerjakan oleh fundus dan korpus, dan penghancur dikerjakan oleh antrum,
selain turut bekerja dalam pencernaan awal berkat kerja kimiawi asam
lambung dan pepsin. Motilitas fungsi lambung yang berkaitan dengan gerakan
adalah penyimpanan dan pencampuran makanan serta pengosongan lambung.
Kemampuan lambung menampung makanan mencapai 1500 ml karena
mampu menyesuaikan ukurannya dengan kenaikan tekanan intraluminal tanpa
peregangan dinding (relaksasi reseptif).
Fungsi ini diatur oleh n.vagus dan hilang setelah vagotomi. Ini antara
lain yang mendasari turunnya kapasitas penampungan pada penderita tumor
lambung lanjut sehingga cepat kenyang. Peristalsis terjadi bila lambung
mengambang akibat adanya makanan dan minuman. Kontraksi yang kuat
pada antrum (dindingnya paling tebal) akan mencampur makanan dengan
enzim lambung, kemudian mengosongkannya ke duodenum secara bertahap.
Daging tidak berlemak, nasi, dan sayuran meninggalkan lambung dalam tiga
jam, sedangkan makanan yang tinggi lemak dapat bertahan di lambung 6-12
jam. Cairan lambung Cairan lambung yang jumlahnya bervariasi antara 500-
1500 ml/hari mengandung lendir, pepsinogen, faktor intrinsik dan elektrolit,
terutama larutan HCl. Sekresi basal cairan ini selalu ada dalam jumlah sedikit.
Produksi asam merupakan hal yang kompleks, namun secara
sederhana dibagi atas tiga fase perangsangan. Ketiga fase, yaitu fase sefalik,
fase gastrik, dan fase intestinal ini saling mempengaruhi dan berhubungan.
Fase sefalik rangsang yang timbul akibat melihat, menghirup, merasakan,
bahkan berpikir tentang makanan akan meningkatkan produksi asam melalui
aktivitas n.vagus. Fase gastrik distensi lambung akibat adanya makanan atau
zat kimia, seperti kalsium, asam amino, dan peptida dalam makanan akan
merangsang produksi gastrin, refleks vagus, dan reflek kolinergik intramural.
Semua itu akan merangsang sel parietal untuk memproduksi asam lambung.
Fase intestinal hormon enterooksintin merangsang produksi asam lambung
setelah makanan sampai di usus halus. Seperti halnya proses sekresi dalam
tubuh, cairan lambung bertindak sebagai penghambat sekresinya sendiri
berdasarkan prinsip umpan balik. Keasaman yang tinggi di daerah antrum
akan menghambat produksi gastrin oleh sel G sehingga sekresi fase gastrik
akan berksekresi fase gastrik akan berkurang. Pada pH di bawah 2.5 produksi
gastrin mulai dihambat.
B. Perforasi Gaster
Pada orang dewasa, perforasi ulkus peptik adalah penyebab umum dari
morbiditas dan mortalitas akut abdomen sampai sekitar 30 tahun lalu. Angka
kejadian menurun secara paralel dengan penurunan umum dari prevalensi
ulkus peptic .Ulkus duodenum 2-3 kali lebih sering dari perforasi ulkus gaster.
Sekitar satu pertiga perforasi gaster berkaitan dengan karsinoma gaster.
C. Etiologi
a. Perforasi non-trauma, misalnya :
Akibat volvulus gaster karena overdistensi dan iskemia
Spontan pasa bayi baru lahir yang terimplikasi syok dan stress ulcer.
Ingesti aspirin, anti inflamasi non steroid, dan steroid : terutama pada
pasien usia lanjut.
Adanya faktor predisposisi, termasuk ulkus peptik
Perforasi oleh malignansi intraabdomen atau limfoma
Benda asing dapat menyebabkan perforasi esofagus, gaster, atau usus
dengan infeksi intraabdomen, peritonitis, dan sepsis.
b. Perforasi trauma (tajam atau tumpul), misalnya :
Trauma iatrogenik setelah pemasangan pipa nasogastrik saat
endoskopi.
Luka penetrasi ke dada bagian bawah atau abdomen (misalnya tusukan
pisau)
Trauma tumpul pada gaster, trauma seperti ini lebih umum pada anak
daripada dewasa dan termasuk trauma yang berhubungan dengan
pemasangan alat, cedera gagang kemudi sepeda, dan sindrom sabuk
pengaman.
Dari hasil penelitian di RS Hasan Sadikin Bandung sejak akhir tahun
2006 terhadap 38 kasus perforasi gaster, 32 orang di antaranya adalah
pengonsumsi jamu (84,2 persen) dan dari jumlah itu, sebanyak 18 orang
mengonsumsi jamu lebih dari 1 tahun (56,25 persen). Pasien yang paling lama
mengonsumsi jamu adalah sekitar 5 tahun. Frekuensi tersering mengonsumsi
jamu adalah seminggu tiga kali. Namun jamu yang mereka konsumsi adalah
jamu plus obat kimia atau yang sering dikenal dengan jamu oplosan. Dari uji
laboratorium, ternyata jamu tersebut mengandung bahan kimia. Sebagian
besar zat kimia tersebut merupakan golongan obat yang bersifat
antiperadangan dan antinyeri (anti-inflamasi) nonsteroid (NSAID) di
antaranya fenilbutazon, antalgin, dan natrium diclofenac, serta golongan obat
anti-inflamasi steroid di antaranya deksametosan dan prednisone. Ruptur
lambung akan melepaskan udara dan kandungan lambung ke dalam
peritoneum. pasien akan menunjukkan rasa nyeri hebat, akut, disertai
peritonitis. Dari radiologis, sejumlah besar udara bebas akan tampak di
peritoneum dan ligamentum falsiparum tampak dikelilingi udara.
D. Patofisiologi
Dalam keadaan normal, lambung relatif bersih dari bakteri dan
mikroorganisme lain karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi.
Kebanyakan orang yang mengalami trauma abdominal memiliki fungsi gaster
normal dan tidak berada dalam resiko kontaminasi bakteri setelah perforasi
gaster. Namun, mereka yang sebelumnya sudah memiliki masalah gaster
beresiko terhadap kontaminasi peritoneal dengan perforasi gaster. Kebocoran
cairan asam lambung ke rongga peritoneal sering berakibat peritonitis kimia
yang dalam. Jika kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mencapai
rongga peritoneal, peritonitis kimia bertahap menjadi peritonitis bakterial.
Pasien mungkin bebas gejala untuk beberapa jam antara peritonitis kimia awal
sampai peritonitis bakterial kemudian. Adanya bakteri di rongga peritoneal
merangsang influks sel-sel inflamasi akut. Omentum dan organ dalam
cenderung untuk melokalisasi tempat inflamasi, membentuk flegmon (ini
biasanya terjadi pada perforasi usus besar). Hipoksia yang diakibatkan di area
memfasilitasi pertumbuhan bakteri anaerob dan menyebabkan pelemahan
aktivitas bakterisid dari granulosit, yang mengarah pada peningkatan aktivitas
fagosit granulosit, degradasi sel, hipertonisitas cairan membentuk abses, efek
osmotik, mengalirnya lebih banyak cairan ke area abses, dan pembesaran
abses abdomen. Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general, kegagalan
multi organ, dan syok dapat terjadi.
E. Tanda dan gejala
Penderita yang mengalami perforasi akan tampak kesakitan hebat, seperti
ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak, terutama dirasakan di daerah
epigastrium karena rangsang peritoneum oleh asam lambung, empedu
dan/atau enzim pankreas. Cairan lambung akan mengalir ke kelok parakolika
kanan, menimbulkan nyeri perut kanan bawah, kemudian menyebar ke
seluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut. Pada awal perforasi, belum
ada infeksi bakteria, fase ini disebut fase peritonitis kimia.
Adanya nyeri di bahu menunjukkan adanya rangsangan peritoneum di
permukaan bawah diafragma. Reaksi peritoneum berupa pengenceran zat
asam yang merangsang itu akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bakteria. Rangsangan peritoneum menimbulkan
nyeri tekan dan defans muskuler. Pekak hati bisa hilang karena adanya udara
bebas di bawah diafragma. Peristaltis usus menurun sampai menghilang
akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis bakteria, suhu
badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi, dan penderita
tampak letargik karena syok toksik. Rangsangan peritoneum menimbulkan
nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritoneum dengan
peritoneum. Nyeri subjektif dirasakan waktu penderita bergerak, seperti
berjalan, bernapas, menggerakkan badan, batuk, dan mengejan. Nyeri objektif
berupa nyeri ketika digerakkan seperti pada saat palpasi, tekanan dilepaskan,
colok dubur, tes psoas, dan tes obturator.
F. Penatalaksanaan
Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan
umumnya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit,
pemasangan pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak diberikan. Jika
gejala dan tanda-tanda peritonitis umum tidak ada, kebijakan nonoperatif
mungkin digunakan dengan terapi antibiotik langsung terhadap bakteri gram-
negatif dan anaerob. Tujuan dari terapi bedah adalah :
a. Koreksi masalah anatomi yang mendasari
b. Koreksi penyebab peritonitis
c. Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat
menghambat fungsi leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri
(seperti darah, makanan, sekresi lambung)
Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan.
Jahitan saja setelah eksisi tukak yang perforasi belum mengatasi penyakit
primernya, tetapi tindakan ini dianjurkan bila keadaan umum kurang baik,
penderita usia lanjut, dan terdapat peritonitis purulenta. Bila keadaan
memungkinkan, tambahan tindakan vagotomi dan antrektomi dianjurkan
untuk mencegah kekambuhan. perforasi gaster pada periode neonatal.
Meskipun perforasi gaster jarang terjadi, penyakit ini lebih sering terjadi
pada anak daripada dewasa, dan biasanya terjadi di ICU neonatal. Tiga
mekanisme telah diajukan untuk perforasi gaster pada neonatal :
traumatik, iskemik, dan spontan. Etiologi spesifik dapat sulit ditentukan
karena bayi biasanya sakit dan patologi aktual menyediakan hanya sedikit
petunjuk.
Sebelum intervensi bedah, selama evaluasi dan resusitasi bayi,
dekompresi jarum abdomen dengan kateter intravena besar mungkin
diperlukan. Pipa nasogastrik sebaiknya dipasang ketika resusitasi cepat
dikerjakan. Pada bayi dengan berat lahir yang sangat rendah yang
mengalami perforasi terisolasi, drainase peritonel saja dapat mencukupi.
Udara bebas persisten atau asidosis berkelanjutan dan bukti peritonitis
mengamanatkan eksplorasi bedah. Perbaikan bedah kebanyakan perforasi
terdiri dari debrideman dan penutupan dua lapis gaster. Suatu gastrostomi
mungkin menjamin reseksi lambung signifikan sebaiknya dihindari.
Kerusakan sering melibatkan dinding posterior lambung sepanjang
kurvatura mayor membuat pembagian omentum gastrokolik dan
eksplorasi dinding lambung posterior diperlukan bahkan jika gangguan
ditemukan juga di dinding anterior. Area multipel dari cedera harus
dikecualikan. Terapi suportif yang giat post operatif bersama dengan
penggunaan antibiotik spektrum luas secara intravena diperlukan. Faktor
yang paling penting yang mempengaruhi angka ketahanan hidup
tampaknya adalah interval antara onset gejala dan dimulainya terapi
definitif, luas kontaminasi peritonel, derajat prematuritas dan keparahan
konsekuensi asfiksia. Berkaitan dengan masalah-masalah yang
berhubungan dengan sepsis dan gagal napas sering ditemukan pada bayi
prematur, angka mortalitas perforasi gaster menjadi tinggi, berkisar antara
45% sampai 58%.
DAFTAR PUSTAKA
Azer, Samy A., Intestinal Perforation – emedicine available
from, http://www.emedicine.com/med/topic2822.htm
Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis.Diakses pada 6 Juni
2012. http://emedicine.medscape.com/article/180234overview#aw2aab6b2b
4aa Cole et al. 1970.
Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. Appelton-Century Corp, Hal
784-795 Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical
Diagnosis & Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is not
An Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra
Abdominal Infection. Surgical Infection (Larchmt); 2(4) : 255-63 Fauci et al,
2008, Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1, McGraw Hill,
Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917
Gharehbaghy, Manizheh M., Rafeey, Mandana., Acute Gastric Perforation in
Neonatal Period, available
from http://www.medicaljournal-ias.org/14_2/Gharehbaghy.pdf
Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4 Heemken,
R. 1997. Peritonitis: Pathophydiology and Local Defense Mechanisms.
Hepatogastroenterology; Jul-Aug; 44(16): 927-36 Iwagaki, H. 1997. Clinical
Value of Cytokine Antagonists in Infectious Complications. Res
CommunMol Pathol Pathol Pharmacol; Apr: 96(1): 25-34
Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, editor : Mansjoer, Arif., Suprohalta.,
Wardhani, Wahyu Ika., Setiowulan, Wiwiek., Fakultas Kedokteran UI,
Media Aesculapius, Jakarta : 2000
Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection.
Critical Care Medicine; 31(8) : 2228-37 Schwartz et al. 1989. Priciple of
Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill, Hal 1459-1467
Medcyclopaedia – Gastric rupture, available
from http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vii/g/gastric_r
upture
Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 : Lambung dan
Duodenum, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC : Jakarta, 2004. Hal.541-
59.
Sofić, Amela., Bešlić, Šerif., Linceder, Lidija., Vrcić, Dunja., Early radiological
diagnostics of gastrointestinal perforation, available from http://www.onko-
i.si/uploads/articles/Radiology_40_2_2.pdf