preskes boyol bedah2
-
Upload
anindita-ratna-gayatri -
Category
Documents
-
view
238 -
download
0
description
Transcript of preskes boyol bedah2
LAPORAN KASUS STASE BOYOLALI
SEORANG PEREMPUAN USIA TAHUN 32 TAHUN DENGAN CF
COLLUM FEMUR (S)
Oleh :
Anindita Ratna Gayatri (G99141032)
Pembimbing :
dr. Anang Ma’ruf, Sp.B, FInaCS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD PANDAN ARANG
BOYOLALI
2015
STATUS PENDERITA
I. IDENTITAS
Nama : Ny S
Umur : 32 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Sudah menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Sidorejo, Teras, Boyolali
No. Catatan Medis : 10498538
Tanggal Pemeriksaan : 16 September 2015
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri di paha kiri post KLL
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan nyeri di paha kiri post KLL. Kurang lebih 1 jam
sebelum masuk rumah sakit, pasien membonceng motor bersama 2 anaknya yang
dikendarai oleh suaminya. Pada saat akan menyeberang pasien ditabrak oleh
sebuah motor yang melaju kencang. Pasien tidak menggunakan helm standar.
Posisi jatuh pasien ke arah kanan dengan paha kiri berada di sisi yang tertabrak
motor. Pingsan (-), muntah (-), pusing (-), pandangan kabur (-).Pasien segera
dilarikan ke IGD RSUD Pandan Arang Boyolali dan mendapatkan pertolongan
pertama.
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat DM/Hipertensi/Jantung/Asma : disangkal
2. Riwayat penyakit serupa : disangkal
3. Riwayat operasi : disangkal
4. Riwayat mondok : disangkal
5. Riwayat trauma : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat DM/Hipertensi/Jantung/Asma : disangkal
2. Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat makan : 3 kali sehari, nafsu makan baik, jarang
mengkonsumsi daging.
2. Riwayat merokok : Disangkal
3. Riwayat olahraga : jarang
Riwayat Sosial Ekonomi
1. Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga
2. Pasien tidak memiliki asuransi (umum).
III. PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-tanda Vital
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
o TD : 120/70 mmHg
o Nadi : 80 x/menit
o Respirasi : 20 x/menit
o Suhu : 36,5°C
Status Generalis
Kepala : Mesocephal
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Mulut : Tonsil TI – TI tenang, Faring hiperemis (-)
Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak teraba membesar, trakea
terletak ditengah.
Thorak : Bentuk dan Gerak simetris
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Batas-batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I – II murni reguler, murmur (-), Gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus taktil pada hemithoraks kanan dan kiri
simetris
Perkusi : Sonor pada hemithoraks kanan dan kiri
Auskultasi : SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar,
Ballotement -/-, nyeri ketok CVA -/-
Perkusi : Timpani diseluruh lapang abdomen
Auskultasi : BU (+) normal
Genitalia
Inspeksi : secret (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
Ekstremitas
Atas : Edema (-/-), Sianosis (-/-), CRT <2”, akral hangat
Bawah : Edema (-/-), Sianosis (-/-), CRT <2”, akral hangat
Status Lokalis:
Regio Femoralis Sinistra
Look : Tampak deformitas (+) pada regio femoralis sinistra
Feel : Krepitasi (+)
Movement : False movement (+)
IV. ASSESSMENT I
CF femur sinistra
V. PLAN I
1. Infus RL 20tpm
2. MRS Bangsal Bedah
3. Cek lab DL, elektrolit, PT/APTT
4. Imobilisasi sementara dengan bidai
5. Injeksi Ketorolac 1 ampul/8 jam
6. Injeksi Ranitidin 1 ampul/12 jam
7. Rontgen pelvis AP
8. Rontgen femur AP/lateral
II. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Lab darah 8 Agustus 2015
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
DARAH RUTIN
Hemoglobin 12.3 g/dL 14-18
Hematokrit 43,2 % 42-52
Leukosit 12.1 ribu/µl 4.8– 10.8
Trombosit 277 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 5.21 juta/µl 4.7 – 6.1
Golongan Darah O
HEMOSTASIS
PT 15.6 Detik 12.0 – 16.0
APTT 31.3 Detik 25.0 – 42.0
INR 0.94
SEROLOGI HEPATITIS
HbsAg Nonreactive Nonreactive
KIMIA KLINIK
Creatinine 1.0 mg/dl 0.9-1.3
Ureum 38 mg/dl 10 - 50
ELEKTROLIT
Natrium Darah 133 mmol/l 132-145
Kalium Darah 4.1 mmol/l 3.3-5.1
Chlorida Darah 101 mmol/l 98-106
Pemeriksaan Rontgen Pelvis AP tanggal 8 September 2015
Hasil : Tampak fraktur trochanter mayor femur sinistra
Pemeriksaan Rontgen Femur AP/Lateral
Hasil : Tampak fraktur femur sinistra par medialis
III. ASSESMENT II
Fraktur femur sinistra pars medialis
Fraktur trochanter mayor femur sinistra
IV. PLAN II
1. Awasi KU
2. Pro ORIF
V. PROGNOSIS
ad vitam : bonam
ad functionam : bonam
ad sanationam : bonam
TINJAUAN PUSTAKA
FRAKTUR FEMUR
1.1 Definisi
A. Definisi Fraktur
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya yang biasanya disebabkan oleh
rudapaksa atau tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
oleh tulang4.
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan
membengkok, memutar dan tarikan akibat trauma yang bersifat langsung
maupun tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada
tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya
bersifat komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan sedangkan
trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari
daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan extensi dapat menyebabkan fraktur
pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh4.
Tekanan pada tulang dapat berupa: (1) tekanan berputar yang dapat
menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik, (2) tekanan membengkok yang
menyebabkan fraktur transversal, (3) tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat
menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi, (4) kompresi
vertikal dapat menyebabkan fraktur komunitif atau memecah misalnya pada
vertebra, (5) trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu
akan menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z, (6) trauma karena tarikan pada
ligamen atau tendo akan menarik sebagian tulang5.
Tulang femur adalah tulang terkuat, terpanjang, dan terberat yang dimiliki
tubuh yang berfungsi penting untuk mobilisasi atau berjalan. Tulang femur terdiri
dari tiga bagian, yaitu corpus femoris atau diafisis, metafisis proksimal, dan
distal metafisis. Corpus femoris berbentuk tubular dengan sedikit lengkungan ke
arah anterior, yang membentang dari trochanter minor melebar ke arah condylus.
Selama menahan berat tubuh, lengkung anterior menghasilkan gaya kompresi
pada sisi medial dan gaya tarik pada sisi lateral. Struktur femur adalah struktur
tulang untuk berdiri dan berjalan, dan femur menumpu berbagai gaya selama
berjalan, termasuk beban aksial, membungkuk, dan gaya torsial. Selama
kontraksi, otot-otot besar mengelilingi femur dan menyerap sebagian besar gaya5.
B. Kategori fraktur femur
Fraktur femur dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan letak
frakturnya7:
a. Fraktur femur proksimal
Yang meliputi fraktur femur proksimal antara lain adalah sebagai berikut:
1. Intracapsular fraktur termasuk caput femoris dan collum femoris
2. Entracapsular fraktur termasuk trochanters
3.
Gambar 1. Fraktur capital, (b) fraktur subcapital, (c) fraktur transervical, (d) fraktur intertrochanteric, (e) fraktur subtrochanteric
b. Fraktur Collum Femoris
Fraktur collum femoris dibagi atas intra- (rusaknya suplai darah ke head
femur) dan extra- (suplai darah intak) capsular. Diklasifikasikan berdasarkan
anatominya. Intracapsular dibagi kedalam subcapital, transcervical dan basicervical.
Extracapsular tergantung dari fraktur pertrochanteric.
Fraktur collum femoris disebabkan oleh trauma yang biasanya terjadi karena
kecelakaan, jatuh dari ketinggian atau jatuh dari sepeda dan biasanya disertai trauma
pada tempat lain. Jatuh pada daerah trochanter baik karena kecelakaan lalu lintas atau
jatuh dari tempat yang tidak terlalu tinggi seperti terpeleset di kamar mandi di mana
panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi dapat menyebabkan fraktur collum femoris5.
Berikut ini adalah klasifikasi fraktur collum femur berdasarkan Garden8,
yaitu: (a) stadium I adalah fraktur yang tak sepenuhnya terimpaksi; (b) stadium II
adalah fraktur lengkap tetapi tidak bergeser; (c) stadium III adalah fraktur lengkap
dengan pergeseran sedang; (d) stadium IV adalah fraktur yang bergeser secara hebat.
Gambar 2. Klasifikasi fraktur collum femoris menurut Garden
Fraktur collum femoris harus ditangani dengan cepat dan tepat sekalipun
merupakan fraktur collum femoris stadium I. Jika tidak, maka akan berkembang
dengan cepat menjadi fraktur collum femur stadium IV8. Selain Garden, Pauwel5 juga
membuat klasifikasi berdasarkan atas sudut inklinasi collum femoris sebagai berikut:
(a) tipe I, yaitu fraktur dengan garis fraktur 30; (b) tipe II, yaitu fraktur dengan garis
fraktur 50; dan (c) tipe III, yaitu fraktur dengan garis fraktur 70.
Anamnesis biasanya menunjukkan adanya riwayat jatuh dari ketinggian
disertai nyeri panggul terutama daerah inguinal depan. Tungkai pasien dalam posisi
rotasi lateral dan anggota gerak bawah tampak pendek. Pada foto polos penting
dinilai pergeseran melalui bentuk bayangan yang tulang yang abnormal dan tingkat
ketidakcocokan garis trabekular pada caput femoris dan ujung collum femoris.
Penilaian ini penting karena fraktur yang terimpaksi atau tak bergeser (stadium I dan
stadium II berdasarkan Garden) dapat membaik setelah fiksasi internal, sementara
fraktur yang bergeser sering mengalami non-union dan nekrosis avaskular8.
Pengobatan fraktur collum femoralis dapat berupa terpai konservatif dengan
indikasi yang sangat terbatas dan terapi operatif. Pengobatan operatif hampir selalu
dilakukan baik pada orang dewasa muda ataupun pada orang tua karena perlu reduksi
yang akurat dan stabil dan diperlukan mobilisasi yang cepat pada orang tua untuk
mencegah komplikasi. Jenis operasi yang dapat dilakukan, yaitu pemasangan pin,
pemasangan plate dan screw, dan artroplasti yang dilakukan pada penderita umur di
atas 55 tahun, berupa: eksisi artroplasti, herniartroplasti, dan artroplasti total9.
Komplikasi tergantung dari beberapa faktor, yaitu5: (a) komplikasi yang
bersifat umum: trombosis vena, emboli paru, pneumonia, dekubitus; (b) nekrosis
avaskuler caput femoris. Komplikasi ini biasanya terjadi pada 30% pasien fraktur
collum femoris dengan pergeseran dan 10% pada fraktur tanpa pergeseran. Apabila
lokasilisasi fraktur lebih ke proksimal maka kemungkinan untuk terjadi nekrosis
avaskuler menjadi lebih besar; (c) nonunion—lebih dari 1/3 pasien fraktur collum
femoris tidak dapat mengalami union terutama pada fraktur yang bergeser.
Komplikasi lebih sering pada fraktur dengan lokasi yang lebih ke proksimal. Ini
disebabkan karena vaskularisasi yang jelek, reduksi yang tidak akurat, fiksasi yang
tidak adekuat, dan lokasi fraktur adalah intraartikuler. Metode pengobatan tergantung
pada penyebab terjadinya nonunion dan umur penderita; (d) Osteoartritis sekunder
dapat terjadi karena kolaps caput femoris atau nekrosis avaskuler; (e) anggota gerak
memendek; (f) malunion; (g) malrotasi berupa rotasi eksterna.
c. Fraktur corpus femoris
Pada patah tulang diafisis femur biasanya mengalami pendarahan dalam yang
cukup luas dan besar sehingga dapat menimbulkan resiko syok. Secara klinis
penderita tidak dapat bangun, bukan saja karena nyeri, tetapi juga karena
ketidakstabilan fraktur. Biasanya seluruh tungkai bawah terotasi ke luar, terlihat lebih
pendek, dan bengkak pada bagian proksimal sebagai akibat pendarahan ke dalam
jaringan lunak dan adanya tarikan m. gluteus dan m. illiopsoas. Pertautan biasanya
diperoleh dengan penanganan secara tertutup, dan normalnya memerlukan waktu 20
minggu atau lebih10
Gambar 4. Fraktur 1/3 tengah corpus femoris; (b) Fraktur corpus femoris paska fiksasi internal
Berdasarkan klasifikasi Winguist-Hansen yang didasarkan pada pola dasar
fraktur dan derajat kestabilannya—meskipun sekarang lebih digunakan untuk
menentukan derajat kominutif dari fraktur, fraktur corpus femoris dapat
diklasifikasikan sebagai berikut11: (1) tipe 0—non kominutif—termasuk didalamnya
fraktur transfersal, oblik, dan spiral, (2) tipe I—kominutif non signifikan atau
fragmen kecil, (3) tipe II—fragmen besar dengan aposisi kortikal sampai dengan
50%, (4) tipe III—fragmen besar dengan aposisi kortikal kurang dari 50%, (5) tipe IV
—fraktur segmental, tidak ada kontak antara fragmen distal dan fragmen proksimal.
d. Fraktur femur distal
Yang meliputi fraktur femur distal adalah fraktur pada daerah supracondylar,
condylar, dan intercondylar10.
Gambar 5. Fraktur femur distalFraktur suprakondiler femur
Daerah suprakondiler adalah daerah antara batas proksimal kondilus femur
dan batas metafisis dengan diafisis femur. Fraktur terjadi karena tekanan varus atau
valgus disertai kekuatan aksial dan putaran. Klasifikasi fraktur suprakondiler femur
terbagi atas: tidak bergeser, impaksi, bergeser, dan komunitif5.
Gambar 6. Klasifikasi fraktur suprakondiler
Gambaran klinis pada pasien ditemukan riwayat trauma yang disertai
pembengkakan dan deformitas pada daerah suprakondiler. Krepitasi mungkin
ditemukan.
Pengobatan dapat dilakukan secara konservatif, berupa: traksi berimbang
dengan mempergunakan bidai Thomas dan penahan lutut Pearson, Cast-bracing, dan
spika panggul. Terapi operatif dapat dilakuan pada fraktur terbuka atau adanya
pergeseran fraktur yang tidak dapat direduksi secara konservatif. Terapi dilakukan
dengan mempergunakan nail-plate dan screw dengan macam-macam tipe yang
tersedia8.
Komplikasi dini yang dapat terjadi berupa: penetrasi fragmen fraktur ke kulit
yang menyebabkan fraktur menjadi terbuka, trauma pembuluh darah besar, dan
trauma saraf. Komplikasi lanjut dapat berupa malunion dan kekakuan sendi
C. Pemeriksaan Fraktur Femur
Diagnosis fraktur femur dapat ditegakkan dengan anamnesis yang lengkap
mengenai kejadian trauma meliputi waktu, tempat, dan mekanisme trauma;
pemeriksaan fisik yang lengkap dan menyeluruh, serta pemeriksaan imejing
menggunakan foto polos sinar-x.
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya tanda-tanda
syok, anemia atau pendarahan, kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak,
sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan
abdomen. Apabila kondisi jiwa pasien terancam, lakukan resusitasi untuk
menstabilkan kondisi pasien.
Setelah kondisi pasien stabil, perlu diperhatikan faktor predisposisi lain,
misalnya pada fraktur patologis5 sebagai salah satu penyebab terjadinya fraktur.
Pemeriksaan status lokalis dilakukan setelah pemeriksaan skrining awal
dilakukan. Berikut adalah langkah pemeriksaan status lokalis:
a. Inspeksi (Look)
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Keadaan umum penderita secara keseluruhan
- Ekspresi wajah karena nyeri
- Lidah kering atau basah
- Adanya tanda-tanda anemia karena pendarahan, Lakukan
survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ
lain
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai
beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
kependekan
- Perhatikan kondisi mental penderita
- Keadaan vaskularisasi5
b. Palpasi/Raba (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan palpasi
adalah sebagai berikut:
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri femoralis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal
daerah trauma, temperatur kulit.
- Pengukuran panjang tungkai untuk mengetahui adanya perbedaan panjang
tungkai5
c. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan
pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada penderita
dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji
pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf5.
2. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris
serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau neurotmesis.
Kelainan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan
masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk
pengobatan selanjutnya5.
3. Pemeriksaan radiologi
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat kecurigaan akan
adanya fraktur sudah dapat ditegakkan. Walaupun demikian pemeriksaan
radiologis diperlukan sebagai konfirmasi adanya fraktur, menentukan
keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur, untuk melihat adakah kecurigaan
keadaan patologis pada tulang, untuk melihat benda asing—misalnya
peluru, dan tentunya untuk menentukan teknik pengobatan atau terapi
yang tepat5.
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip rule of
two, yaitu: dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada
antero-posterior dan lateral; dua sendi pada anggota gerak dan tungkai
harus difoto, di atas dan di bawah sendi yang mengalami fraktur; dua
anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada ke dua
anggota gerak terutama pada fraktur epifisis; dua kali dilakukan foto,
sebelum dan sesudah reposisi5.
D. Penatalaksanaan
Tujuan terapi penderita fraktur adalah mencapai union tanpa
deformitas dan pengembalian (restoration) fungsi sehingga penderita dapat
kembali pada pekerjaan atau kegiatan seperti semula. Tujuan ini tidak selalu
tercapai secara utuh yang diharapkan dan setiap tindakan untuk mencapai hal
tersebut mempunyai resiko komplikasi. Sebagai contoh operasi pemasangan
fiksasi dalam maka resiko terjadi infeksi dan lain sebagainya dapat terjadi.
Oleh karena itu banyak variasi terjadi pada pengobatan fraktur akibat
perbedaan interpretasi terhadap kondisi penderita.
Opsi terapi untuk fraktur femur sangat bergantung terhadap
keparahan dari cidera yang terjadi. Namun. secara garis besar terdapat dua
jenis kategori terapi yaitu terapi konservatif/non operatif dan terapi operatif.
Baik terapi konservatif dan operatif, keduanya mengikuti prinsip
dasar pengobatan penyakit lain yang berpedoman kepada hukum
penyembuhan (law of nature), sifat penyembuhan, serta sifat manusia pada
umumnya. Disamping pemahaman tentang prinsip dasar pengobatan yang
rasional, metode pengobatan disesuaikan pula secara individu terhadap setiap
penderita. Pengobatan yang diberikan juga harus berdasarkan alasan mengapa
tindakan ini dilakukan serta kemungkinan prognosisnya5. Secara umum
prinsip tata laksana fraktur adalah sebagai berikut: (1) Jangan membuat
keadaan lebih buruk bagi penderita (Iatrogenik); (2) Pengobatan berdasarkan
pada diagnosis dan prognosis yang tepat; (3) Pilih jenis pengobatan yang
sesuai dengan keadaan penyakit penderita; (4) Ciptakan kerja sama yang baik
tanpa melupakan hukum penyembuhan alami; (5) Pengobatan yang praktis
dan logis; (6) Pilih pengobatan secara individu; (7) Jangan melakukan
pengobatan yang tidak perlu5.
Life saving dan life limb adalah tindakan prioritas utama pada
penderita trauma multipel, mungkin keadaan pasien tidak menguntungkan
untuk dilakukan pembiusan tapi demi kehidupan penderita tindakan operasi
tetapi dijalankan demi life saving seperti perdarahan intra abdominal massive
karena ruptur lien dan sebagainya. Tindakan pembebasan jalan nafas seperti
yang diterangkan sebelumnya perlu dilakukan terhadap gangguan jalan nafas.
Demikian juga penanganan sok karena perdarahan dengan mengontrol
perdarahan secara balut menekan dan resusitasi cairan kristalloid maupun
tranfusi.
Setelah tindakan life saving dan life limb diatasi, tindakan awal
untuk menangani fraktur dapat dilakukan. Tindakan awal yang dapat
dilakukan adalah dengan memberikan pembidaian sementara untuk
imobilisasi fraktur, selain itu dapat mengurangi rasa nyeri dan mengurangi
perdarahan. Adanya deformitas yang hebat perlu dikoreksi secara perlahan-
lahan dengan menarik bagian distal secara lembut. Pada fraktur femur
terbuka, perlu dilakukan debridement dan irigasi cairan fisiologis kemudian
luka ditutup dengan kasa steril untuk kemudian dilakukan pemeriksaan foto
rongent.
1. Terapi konservatif
Terapi konservatif fraktur femur antara lain meliputi tindakan
imobilisasi dengan bidai eksterna tanpa reduksi dan reduksi tertutup dan
imobilisasi dengan fiksasi kutaneus. Tindakan ini biasanya dilakukan jika
fraktur terjadi pada daerah proksimal, suprakondilar, dan corpus femoris
dengan menggunakan, Buck Extension, Weber Extensionsapparat, Well-
leg traction, atau traksi 90/90 femoral.
2. Terapi Operatif
Terapi operatif dilakukan bila terapi konservatif gagal, maupun
karena kondisi tertentu, misalnya pada fraktur terbuka, fraktur multipel,
adanya interposisi jaringan di antara fragmen, fraktur pada collum femoris
yang membutuhkan fiksasi yang rigit dan beresiko terjadinya nekrosis
avaskuler, dan adanya kontraindikasi pada imobilisasi eksterna sedangkan
diperlukan mobilisasi yang cepat, misalnya fraktur femur pada lansia.
Untuk kasus-kasus tertentu, misalnya pada fraktur collum femoris
pada orang tua karena terjadi nekrosis avaskuler dari fragmen, maupun
non union, dilakukan pemasangan protesis, yaitu alat dengan komposisi
metal tertentu untuk menggantikan jaringan tulang yang nekrosis.
E. Komplikasi
Komplikasi dari fraktur femur cukup beragam tergantung lokasi dan
tingkat keparahan fraktur. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi antara
lain9:
1. Infeksi
Pada kasus fraktur terbuka, dimana tulang merobek jaringan kulit, ada
kemungkinan resiko infeksi. Resiko infeksi ini dapat berkurang dengan
pemberian antibiotik.
2. Permasalahan dalam penyembuhan tulang
Jika pada proses penyembuhan angulasi tulang tidak baik serta timbul
iritasi pada bagian tulang yang patah akibat terjadinya infeksi, proses
penyembuhan tulang dapat terhambat bahkan membutuhkan terapi
operatif lebih lanjut.
3. Kerusakan saraf
Kerusakan saraf paska fraktur femur terbilang jarang, namun
kerusakan saraf pada fraktur femur dapat menyebabkan mati rasa serta
kelemahan yang persisten.
4. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen jarang terjadi pada fraktur femur, namun ini
dapat terjadi sehingga resiko terjadinya sindrom kompartemen harus
selalu diantisipasi. Sindrom kompartemen teradi akibat kompresi nervus,
pembuluh darah, dan otot di dalam spatium tertutup atau kompartemen di
dalam tubuh. Sindrom kompartemen terjadi pada tungkai yang mengalami
inflamasi dan perdarahan selama trauma yang sering diasosiasikan dengan
fraktur. Jika sindrom kompartemen terjadi, maka dibutuhkan tindakan
bedah segera9.
Berikut adalah hal yang perlu diperhatikan untuk identifikasi dini
terjadinya sindrom kompartemen:
a. Sindroma kompartemen dapat timbul perlahan dan berakibat berat
b. Dapat timbul pada ekstremitas karena kompresi atau remuk dan
tanpa cedera luar atau fraktur yang jelas
c. Reevaluasi yang sering sangat penting
d. Penderita dengan hipotensi atau tidak sadar meningkatkan resiko
terjadinya kejadian sindrom kompartemen
e. Nyeri merupakan tanda awal dimulainya iskemia kompartemen,
terutama nyeri pada tarikan otot pasif
f. Hilangnya pulsasi dan tanda iskemia lain merupakan gejala lanjut,
setelah kerusakan yang menetap terjadi
5. Komplikasi operatif
Komplikasi operatif biasanya terjadi karena kegagalan plate atau
piranti keras untuk menstabilisasi tulang, atau bagian piranti keras yang
menonjol mengakibatkan iritasi dan nyeri9.
F. Prognosis
Penyembuhan fraktur merupakan suatu proses biologis yang
menakjubkan. Tidak seperti jaringan lainnya, tulang yang mengalami fraktur
dapat sembuh tanpa jaringan parut. Pengertian tentang reaksi tulang yang
hidup dan periosteum pada penyembuhan fraktur mulai terjadi segera setelah
tulang mengalami kerusakan apabila lingkungan untuk penyembuhan
memadai smapai terjadi konsolidasi. Faktor mekanis yang penting seperti
imobilisasi fragmen tulang secara fisik sangat penting dalam penyembuhan,
selain faktor biologis yang juga merupakan suatu faktor yang sangat esensial
dalam penyembuhan fraktur5.