Pr Dr Trisulo

24
CKMB Ada 3 enzim dari CK (Creatine Kinase) yang terlihat pada elektroforesis, yaitu MM, BB dan MB. Isoenzim BB umumnya terdapat pada otak, MM pada otot skelet, dan MB pada otot jantung (Roebiono, 2003). Definisi AMI Pada tahun 1979, WHO menetapkan 3 kriteria spesifik dalam diagnosis infark miokard, yaitu: 1) gejala klinis tipikal yang sesuai dengan gejala penyakit jantung iskemik, 2) perubahan elektrokardiogram yang spesifik, dan 3) perubahan tipikal yang terjadi pada enzim jantung (cardiac enzyme) (Aakre dan Sandberg, 2010) Kriteria diagnosis IMA menurut AHA dan ACC tahun 1996 terdiri dari nyeri dada tipikal, perubahan karakteristik EKG yang mengarah pada infark miokard, dan peningkatan penanda biokimia yang cardio-spesifik melebihi nilai normal. Dua dari tiga kriteria ini memenuhi syarat diagnosis IMA (Beeleonie dan Kusmana, 2005). The American College of Cardiology and the European Society of Cardiology (ACC/ESC) memperbarui kriteria miokard infark pada tahun 2000. Menurut definisi ini, pengukuran cardiac troponin menjadi gold standard dalam penanda cedera

description

jantung

Transcript of Pr Dr Trisulo

CKMB

Ada 3 enzim dari CK (Creatine Kinase) yang terlihat pada elektroforesis,

yaitu MM, BB dan MB. Isoenzim BB umumnya terdapat pada otak, MM pada otot

skelet, dan MB pada otot jantung (Roebiono, 2003).

Definisi AMI

Pada tahun 1979, WHO menetapkan 3 kriteria spesifik dalam diagnosis infark

miokard, yaitu: 1) gejala klinis tipikal yang sesuai dengan gejala penyakit jantung

iskemik, 2) perubahan elektrokardiogram yang spesifik, dan 3) perubahan tipikal

yang terjadi pada enzim jantung (cardiac enzyme) (Aakre dan Sandberg, 2010)

Kriteria diagnosis IMA menurut AHA dan ACC tahun 1996 terdiri dari nyeri

dada tipikal, perubahan karakteristik EKG yang mengarah pada infark miokard, dan

peningkatan penanda biokimia yang cardio-spesifik melebihi nilai normal. Dua dari

tiga kriteria ini memenuhi syarat diagnosis IMA (Beeleonie dan Kusmana, 2005).

The American College of Cardiology and the European Society of

Cardiology (ACC/ESC) memperbarui kriteria miokard infark pada tahun 2000.

Menurut definisi ini, pengukuran cardiac troponin menjadi gold standard dalam

penanda cedera miokard. Untuk melengkapi kriteria diagnosis infark miokard,

peningkatan cardiac troponin harus diikuti oleh salah satu tanda berikut: perubahan

gelombang Q patologis pada EKG; perubahan EKG yang menunjukkan terdapat

iskemi (segmen ST elevasi atau depresi); atau intervensi arteri koroner (misalnya

angioplasti koroner) (Ferguson et al., 2002).

Daftar Pustaka

Aakre K.M. Sandberg S. 2010. Can Changes in Troponin Results Be Useful in

Diagnosing Myocardial Infarction? in Clinical Chemistry 56:7 (2010). pp:

1047–9

Beeleonie. Kusmana D. 2005. Role of general practitioner in the management of

acute myocardial infarction in Med J Indones Vol.14, No.4, October-

Desember 2005. Pp: 249-52

Ferguson J.L Beckett G.J. Stoddart M. Walker S.W. Fox K.A.A 2002. Myocardial

infarction redefined: the new ACC/ESC definition, based on cardiac troponin,

increases the apparent incidence of infarction in Heart 2002 October; 88(4).

Pp: 343-7

Roebiono P.S. 2003. Pemeriksaan laboratorium pada penyakit kardiovaskuler dalam

Rilantono, Lily Ismudiati. Baraas, Faisal. Karo, Santoso Karo. Roebiono,

Poppy Surwianti. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FKUI. Pp: 66-70

Gagal Jantung dan Syok Kardiogenik

Sindrom klinis syok kardiogenik adalah suatu keadaan yang terjadi karena

tidak cukupnya curah jantung untuk mempertahankan fungsi alat-alat vital akibat

disfungsi otot jantung (Kaligis, 2003).

Syok kardiogenik didefinisikan sebagai adanya tanda-tanda hipoperfusi

jaringan yang diakibatkan oleh gagal jantung rendah preload dikoreksi. Tidak ada

definisi yang jelas dari parameter hemodinamik, akan tetapi syok kardiogenik

biasanya ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik kurang dari 90 mmHg,

atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari 30 mmHg) dan atau penurunan

pengeluaran urin (kurang dari 0,5 ml/kgBB/jam) dengan laju nadi lebih dari 60 kali

per menit dengan atau tanpa adanya kongesti organ. Tidak ada batas yang jelas antara

sindrom curah jantung rendah dengan syok kardiogenik (Aru, 2006).

Gagal jantung adalah suatu kompleks sindroma klinis yang ditandai dengan

ketidakmampuan jantung menjaga cardiac output yang adekuat untuk

mengakomodasi kebutuhan metabolik dan venous return.

Gagal jantung dapat disebabkan oleh

Ischemic Heart Disease

Hypertension

Idiopathic Cardiomyopathy

Infections (e.g., viral myocarditis, Chagas’ disease)

Toxins (e.g., alcohol or cytotoxic drugs)

Valvular Disease

Prolonged Arrhythmias

Klasifikasi Gagal Jantung menurut New York Heart Association (NYHA)

a) NYHA kelas I, para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan

fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak

nafas atau berdebar-debar, apabila mereka melakukan kegiatan biasa.

b) NYHA kelas II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka

tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa

menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar,

sesak nafas atau nyeri dada.

c) NYHA kelas III, penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan dalam

kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan

fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi

jantung seperti yang tersebut di atas.

d) NYHA kelas IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa

menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat menimbulkan gejala-gejala

insufisiensi jantung, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik

meskipun sangat ringan. (Merdikoputro, 2004)

Gejala Tanda

Left Ventricular Dysfunction

– Dyspnea on Exertion

– Paroxysmal Nocturnal

Dyspnea

– Tachycardia

– Cough

– Hemoptysis

– Basilar Rales

– Pulmonary Edema

– S3 Gallop

– Pleural Effusion

– Cheyne-Stokes Respiration

Right Ventricular Dysfunction

– Abdominal Pain

– Anorexia

– Nausea

– Bloating

– Swelling

– Peripheral Edema

– Jugular Venous Distention

– Abdominal-Jugular Reflux

– Hepatomegaly

Kriteria Congestive Heart Failure

Kriteria Major

• Paroksimal noktunal dispnea

• Distensi vena leher

• Ronki paru

• Kardiomegali

• Edema paru akut

• Gallop S3

• Peninggian tekanan vena jugularis

• Refluks hepatojugular

Kriteria Minor

• Edema ekstremitas

• Batuk malam hari

• Dispnea d’effort

• Hepatomegali

• Efusi pleura

• Penurunan kapasitas vital 1/3 dari

normal

• Takikardia (>120/menit.

Daftar Pustaka

Aru, Bambang, Idrus alwi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. edisi IV. Jakarta:

FKUI;2006

Sitompul B. Sugeng J.I. 2003. Gagal jantung dalam Rilantono, Lily Ismudiati.

Baraas, Faisal. Karo, Santoso Karo. Roebiono, Poppy Surwianti. Buku Ajar

Kardiologi. Jakarta: FKUI. Pp: 115-26

Kaligis R.W.M. 2003. Syok kardiogenik dalam Rilantono, Lily Ismudiati. Baraas,

Faisal. Karo, Santoso Karo. Roebiono, Poppy Surwianti. Buku Ajar

Kardiologi. Jakarta: FKUI. Pp: 90-3

Perbedaan Antikoagulan dan Antitrombolitik

1. Antikoagulan

Obat-obat antikoagulan menghambat perkembangan dan pembesaran bekuan

dengan mengganggu fase koagulasi hemostatis. Obat-obat ini tidak dapat melarutkan

bekuan yang telah terbentuk, tetapi dapat mencegah atau memperlambat perluasan

bekuan yang sudah ada. Penggolongan obat-obatan ini yaitu :

a. Golongan heparin, mencakup senyawa-senyawa yang diberikan secara

parenteral ( heparin dan heparin berbobot rendah) dan senyawa-senyawa yang

diberikan secara oral ( warfarin dan dikumarol),

b. Inhibitor thrombin langsung

c. Lain-lain.

a. Warfarin

Warfarin adalah anti koagulan oral yang mempengaruhi sintesa

vitamin K-yang berperan dalam pembekuan darah- sehingga terjadi deplesi

faktor II, VII, IX dan X. Ia bekerja di hati dengan menghambat karboksilasi

vitamin K dari protein prekursomya. Karena waktu paruh dari masing-

masing faktor pembekuan darah tersebut, maka hila terjadi deplesi faktor Vll

waktu protrombin sudah memanjang. Tetapi efek anti trombotik baru

mencapai puncak setelah terjadi deplesi keempat faktor tersebut. Jadi efek anti

koagulan dari warfarin membutuhkan waktu beberapa hari karena efeknya

terhadap faktor pembekuan darah yang baru dibentuk bukan terhadap faktor

yang sudah ada disirkulasi. Warfarin tidak mempunyai efek langsung terhadap

trombus yang sudah terbentuk, tetapi dapat mencegah perluasan trombus.

Warfarin telah terbukti efektif untuk pencegahan stroke kardioembolik.

Karena meningkatnya resiko pendarahan, penderita yang diberi warfarin harus

dimonitor waktu protrombinnya secara berkala.

b. Heparin

Heparin adalah bahan alami yang diisolasi dari mukosa intestinum

porcine atau dari paru-paru sapi. Obat bekerja sebagai anti koagulan dengan

mempotensiasi kerja anti trombin III (AT-III) membentuk kompleks yang

berafinitas lebih besar dari AT -III sendiri, terhadap beberapa faktor

pembekuan darah, termasuk trombin, faktor IIa, IXa, Xa, XIa,dan XIla. Oleh

karena itu heparin mempercepat inaktifasi faktor pembekuan darah. Heparin

biasanya tidak mempengaruhi waktu perdarahan. Waktu pembekuan

memanjang bila diberikan heparin dosis penuh, tetapi tidak terpengaruh bila

diberikan heparin dosis rendah. Heparin dosis kecil dengan AT-III

menginaktifasi faktor XIIIa dan mencegah terbentuknya bekuan fibrin yang

stabil. Penggunaan hefarin dimonitor dengan memeriksa waktu tromboplastin

parsial (aPTT) secara berkala. Penggunaan heparin untuk stroke akut masih

diperdebatkan. Belum ada uji klinis yang memberikan hasil yang konklusif.

American Heart Association merekomendasikan " penggunaan heparin

tergantung pada preferensi dokter yang menanganinya. Harus dimengerti

bahwa penggunaan heparin bisa tidak memperbaiki hasil akhir yang diperoleh

pada penderita stroke iskemik akut ". Heparin dapat diberikan secara IV atau

SK. Pemberian secara IM tidak dianjurkan karena sering terjadi perdarahan

dan hematom yang disertai rasa sakit pada tempat suntikan. aPTT dimonitor

ketat agar berkisar 1,5 kali nilai kontrol. Tujuan terapi adalah meminimalkan

resiko transformasi infark menjadi perdarahan dan memaksimalkan

pengurangan resiko serangan ulang. Penderita dengan infark luas (baik secara

klinis maupun basil CT -scan kepala) mempunyai resiko besar untuk

mengalami transformasi tersebut, sehingga pemberian heparin sebaiknya

ditunda.

2. Trombolitik

Ini merupakan perbedaan penting yang harus diketahui untuk penggunaan

klinis obat-obat tersebut. Fibrinolisis adalah proses pemecahan fibrin yang

menyatukan bekuan. Peristiwa tersebut dimulai dengan aktivasi plasminogen menjadi

plasmin. Aktivasi plasminogen normalnya diinisiasi oleh activator plasminogen.

Obat-obat trombolitik adalah activator plasminogen.

Obat-obat anti trombolitik telah terbukti melisiskan bekuan dalam arteri-arteri

dan vena-vena dan membentuk kembali perfusi jaringan. Senyawa-senyawa ini

digunakan untuk penanganan embolisme paru, thrombosis vena dalam, dan

tromboembolisme arteri. Obat-obat trombolitik terbukti sangat berguna untuk

penanganan serangan jantung akut yang disebabkan oleh suatu bekuan dalam arteri

koroner.

Singkatnya, Penggunaan obat anti trombotik bertujuan mempengaruhi proses

trombosis atau mempengaruhi pembentukan bekuan darah (clot) intravaskular, yang

melibatkan platelet dan fibrin. Obat anti platelet bekerja mencegah perlekatan (adesi)

platelet dengan dinding pembuluh darah yang cedera atau dengan platelet lainnya,

yang merupakan langkah awal terbentuknya trombus. Obat anti koagulan mencegah

pembentukan fibrin yang merupakan bahan esensial untuk pembentukan trombus.

Obat trombolitik mempercepat degradasi fibrin dan fibrinogen oleh plasmin sehingga

membantu larutnya bekuan darah.

Daftar Pustaka

Stringer Janet L. Konsep Dasar Farmakologi.edisi 3. EGC. Jakarta:2008

PATOGENESIS TROMBUS

Trombosis adalah keadaan dimana terjadi pembentukan massa bekuan darah

intravaskuler, yang berasal dari konstituen darah, pada orang yang masih hidup.

Trombosis merupakan kebalikan patologis hemostasis sebagai pembentukan suatu

bekuan darah (trombus) dalam pembuluh darah setelah mengalami cedera yang relatif

ringan. Seperti hemostasis, trombosis pun bergantung pada dinding pembuluh darah,

trombosit, dan kaskade koagulasi. Penyebab utama pada sumbatan atau hambatan

akut pembuluh darah adalah trombosis, emboli dan trauma. Penyebab sumbatan atau

hambatan arteri menahun pada tungkai yang paling sering adalah arteriosklerosis

(Bauer. 1996; Bick, 2003)

Mekanisme pembekuan darah

Berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang berperan dalam

patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu

a. Kelainan dinding pembuluh darah (vascular injury).

Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis

vena, melalui:

1. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.

2. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat

kerusakan jaringan dan proses peradangan.

Permukaan pembuluh darah yang menghadap ke lumen dilapisi oleh

sel endotel. Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel

endotel menghasilkan beberapa substansi seperti prostaglandin (PG12),

proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat

mencegah terbentuknya trombin.

Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel

akan terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di

aktifkan dan trombosit akan melekat pada jaringan sub endotel terutama

serat kolagen, membran basalis dan mikro-fibril. Trombosit yang melekat

ini akan melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang akan

merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan

saling melekat.

Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem

pembekuan darah. Endothel tidak perlu dikikis atau dilukai secara fisik

untuk menimbulkan trombosis. Setiap terjadi gangguan dalam

keseimbangan efek protrombosis dan antitrombosis yang dinamis dapat

mempengaruhi peristiwa pembekuan lokal. Oleh karena itu disfungsi

endothel yang bermakna dapat terjadi karena tekanan hemodinamis pada

hipertensi, aliran turbulen pada katup yang terdapat jaringan parut, atau

endotoksin bakteri. Tanpa memperhatikan penyebab, hilangnya endothel

secara fisik mengakibatkan pajanan kolagen subendothel (dan aktivator

trombosit lain), perlekatan trombosit, pelepasan faktor jaringan, dan deplesi

PGI2 dan PA lokal. Endothel yang mengalami disfungsi dapat

menghasilkan faktor prokoagulasi dalam jumlah yang lebih besar (misalnya

molekul adhesi untuk mengikat trombosit, faktor jaringan, PAI, dll) dan

faktor antikoagulan dalam jumlah yang lebih kecil (trombomodulin, PGI2, t-

PA).

b. Gangguan aliran darah (gangguan rheology).

Turbulensi turut berperan pada trombosis arteri dan trombosis cardiac

dengan menyebabkan cedera atau disfungsi endothel, serta membentuk

aliran kebalikan dan kantong stasis lokal. Stasis merupakan faktor utama

dalam pembentukan trombus vena. Aliran darah pada vena cendrung

lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama pada daerah-daerah yang

mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup lama. Statis vena

merupakan predis posisi untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat

menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor

pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin.

Aliran darah normal adalah laminar sedemikian rupa sehingga unsur

trombosit mengalir pada bagian sentral dari lumen pembuluh darah, yang

terpisah dari endothel oleh suatu zona jernih plasma yang bergerak lebih

lambat. Oleh karena itu, stasis atau turbulensi akan mengganggu aliran

laminar dan melekatkan trombosit pada endothel, mencegah pengenceran

faktor pembekuan yang teraktivasi oleh darah segar yang terus mengalir,

menunda aliran masuk inhibiitor faktor pembekuan dan memungkinkan

pembentukan thrombus dan meningkatkan aktivasi sel endothel,

mempengaruhi pembentukan trombosis lokal, perlekatan leukosit, serta efek

endothel lain.

c. Kelainan konstituen darah (hypercoagulable state).

Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem

pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecenderungan terjadinya

trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah meningkat atau aktifitas

fibrinolisis menurun.

Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas

pembekuan darah meningkat, seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi Anti

trombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan kelainan

plasminogen.

Hiperkoagulabilitas pada umumnya kurang berperan pada keadaan

trombosis tetapi merupakan komponen paling penting. Hiperkoagulabilitas

kurang bisa ditentukan secara tegas seperti pada setiap perubahan pada jalur

pembekuan yang memudahkan terjadinya trombosis. Gangguan ini dapat

dibagi menjadi gangguan primer (genetik) dan sekunder (didapat). Pada

Hiperkoagulabilitas primer, diantaranya akibat mutasi faktor V, mutasi

protrombin, defisensi antitrombin III, dan defisiensi protein C atau S.

Sedangkan pada hiperkoagulabilitas sekunder dibagi menjadi:

(a) Risiko tinggi trombosis akibat tirah baring atau imobilisasi lama,

infark miokard, kerusakan jaringan (pembedahan, fraktur, luka bakar),

kanker, katup jantung prostese, disseminated intravascular

coagulation, dan antikoagulan lupus.

(b) Resiko rendah trombosis akibat fibrilasi atrium, kardiomiopati,

sindrom nefrotik, keadaan hiperesterogen, penggunaan kontrasepsi

oral, anemia sel sabit dan merokok.(13)

Pada trombosis arteri ketiga faktor tersebut memegang peranan penting,

tetapi pada trombosis vena, trombosis dapat terjadi pada dinding pembuluh

darah yang masih intak, berarti yang berperanan penting adalah faktor aliran

darah (stasis) dan keadaan hiperkoagulabel.

Trombosis arteri sering terbentuk di sekitar orifisim cabang arteri dan

bifurkasio arteri. Di tempat ini terdapat turbulensi aliran darah sehingga terjadi

perubahan ateromatosa dan kerusakan endotel. Pembuluh darah yang terganggu

atau tidak utuh merupakan faktor risiko trombosis. Pada trombosis arteri,

proses dimulai dari endotel yang mengalami kerusakan dimana terjadi aktivasi

trombosit yang menyebabkan adhesi dan agregasi trombosit pada dinding

pembuluh darah. Terjadilah thrombus dengan komponen utamanya adalah

trombosit yang diikat oleh serat-serat fibrin dan beberapa sel darah merah, maka

thrombus ini berwarna agak keputihan, disebut sebagai white thrombus.

Sedangkan pada trombosis vena komponen utamanya adalah fibrin dengan

banyak sel darah merah sehingga thrombus ini disebut sebagai red thrombus.

Perbedaan jenis thrombus ini ditentukan oleh perbedaan kecepatan aliran darah

(shear rate) pada arteri dan vena. Pada arteri dijumpai high shear rate sedangkan

pada vena low shear rate. Thrombus putih daya kohesinya lebih kuat sehingga

tidak mudah terlepas, sedangkan thrombus merah lebih friable sehingga lebih

mudah lepas sebagai emboli.

Trombosis vena pada umumnya timbul pada vena dalam (deep veins)

tungkai bawah, kadang-kadang juga pada lengan, atau pada vena superfisial

ekstremitas. Trombosis vena superfisial merupakan kelainan yang relatif ringan,

kecuali terjadi perluasan ke vena profunda. Pada deep vein trombosis (DVT)

thrombus sangat mudah lepas sehingga menimbulkan emboli, terutama emboli

paru atau pulmonary emboli (PE). Oleh karena itu trombosis vena dan emboli

dimasukkan sebagai venous thromboembolism. atau VTE. VTE merupakan

kelainan yang cukup sering dijumpai.

DAFTAR PUSTAKA

Bauer KA, Rosenberg RD. Control of coagulant reaction. In : Beutler E, Lictman

MA, Coller BS, Kipps TJ, Eds. Williams Hematology.5th ed. New York :

McGraw-Hill, 1995 : 1139 – 251

Bick RL. Introduction to thrombosis: proficienct and cost-effective approach to

thrombosis. Haematol/Oncol Clin N Amer 2003;17:1-8.

Dahlan M. Trombosis Arterial Tungkai Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid I. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK UI;2007.

Srandness D.E. et al : Long-term Sequelae Acute Venous Thrombosis. JAMA

250:1289-1292, 1983.