Pr Dr Trisulo
-
Upload
agatha-dinar -
Category
Documents
-
view
57 -
download
1
description
Transcript of Pr Dr Trisulo
CKMB
Ada 3 enzim dari CK (Creatine Kinase) yang terlihat pada elektroforesis,
yaitu MM, BB dan MB. Isoenzim BB umumnya terdapat pada otak, MM pada otot
skelet, dan MB pada otot jantung (Roebiono, 2003).
Definisi AMI
Pada tahun 1979, WHO menetapkan 3 kriteria spesifik dalam diagnosis infark
miokard, yaitu: 1) gejala klinis tipikal yang sesuai dengan gejala penyakit jantung
iskemik, 2) perubahan elektrokardiogram yang spesifik, dan 3) perubahan tipikal
yang terjadi pada enzim jantung (cardiac enzyme) (Aakre dan Sandberg, 2010)
Kriteria diagnosis IMA menurut AHA dan ACC tahun 1996 terdiri dari nyeri
dada tipikal, perubahan karakteristik EKG yang mengarah pada infark miokard, dan
peningkatan penanda biokimia yang cardio-spesifik melebihi nilai normal. Dua dari
tiga kriteria ini memenuhi syarat diagnosis IMA (Beeleonie dan Kusmana, 2005).
The American College of Cardiology and the European Society of
Cardiology (ACC/ESC) memperbarui kriteria miokard infark pada tahun 2000.
Menurut definisi ini, pengukuran cardiac troponin menjadi gold standard dalam
penanda cedera miokard. Untuk melengkapi kriteria diagnosis infark miokard,
peningkatan cardiac troponin harus diikuti oleh salah satu tanda berikut: perubahan
gelombang Q patologis pada EKG; perubahan EKG yang menunjukkan terdapat
iskemi (segmen ST elevasi atau depresi); atau intervensi arteri koroner (misalnya
angioplasti koroner) (Ferguson et al., 2002).
Daftar Pustaka
Aakre K.M. Sandberg S. 2010. Can Changes in Troponin Results Be Useful in
Diagnosing Myocardial Infarction? in Clinical Chemistry 56:7 (2010). pp:
1047–9
Beeleonie. Kusmana D. 2005. Role of general practitioner in the management of
acute myocardial infarction in Med J Indones Vol.14, No.4, October-
Desember 2005. Pp: 249-52
Ferguson J.L Beckett G.J. Stoddart M. Walker S.W. Fox K.A.A 2002. Myocardial
infarction redefined: the new ACC/ESC definition, based on cardiac troponin,
increases the apparent incidence of infarction in Heart 2002 October; 88(4).
Pp: 343-7
Roebiono P.S. 2003. Pemeriksaan laboratorium pada penyakit kardiovaskuler dalam
Rilantono, Lily Ismudiati. Baraas, Faisal. Karo, Santoso Karo. Roebiono,
Poppy Surwianti. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FKUI. Pp: 66-70
Gagal Jantung dan Syok Kardiogenik
Sindrom klinis syok kardiogenik adalah suatu keadaan yang terjadi karena
tidak cukupnya curah jantung untuk mempertahankan fungsi alat-alat vital akibat
disfungsi otot jantung (Kaligis, 2003).
Syok kardiogenik didefinisikan sebagai adanya tanda-tanda hipoperfusi
jaringan yang diakibatkan oleh gagal jantung rendah preload dikoreksi. Tidak ada
definisi yang jelas dari parameter hemodinamik, akan tetapi syok kardiogenik
biasanya ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik kurang dari 90 mmHg,
atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari 30 mmHg) dan atau penurunan
pengeluaran urin (kurang dari 0,5 ml/kgBB/jam) dengan laju nadi lebih dari 60 kali
per menit dengan atau tanpa adanya kongesti organ. Tidak ada batas yang jelas antara
sindrom curah jantung rendah dengan syok kardiogenik (Aru, 2006).
Gagal jantung adalah suatu kompleks sindroma klinis yang ditandai dengan
ketidakmampuan jantung menjaga cardiac output yang adekuat untuk
mengakomodasi kebutuhan metabolik dan venous return.
Gagal jantung dapat disebabkan oleh
Ischemic Heart Disease
Hypertension
Idiopathic Cardiomyopathy
Infections (e.g., viral myocarditis, Chagas’ disease)
Toxins (e.g., alcohol or cytotoxic drugs)
Valvular Disease
Prolonged Arrhythmias
Klasifikasi Gagal Jantung menurut New York Heart Association (NYHA)
a) NYHA kelas I, para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan
fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak
nafas atau berdebar-debar, apabila mereka melakukan kegiatan biasa.
b) NYHA kelas II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka
tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa
menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar,
sesak nafas atau nyeri dada.
c) NYHA kelas III, penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan dalam
kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan
fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi
jantung seperti yang tersebut di atas.
d) NYHA kelas IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa
menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat menimbulkan gejala-gejala
insufisiensi jantung, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik
meskipun sangat ringan. (Merdikoputro, 2004)
Gejala Tanda
Left Ventricular Dysfunction
– Dyspnea on Exertion
– Paroxysmal Nocturnal
Dyspnea
– Tachycardia
– Cough
– Hemoptysis
– Basilar Rales
– Pulmonary Edema
– S3 Gallop
– Pleural Effusion
– Cheyne-Stokes Respiration
Right Ventricular Dysfunction
– Abdominal Pain
– Anorexia
– Nausea
– Bloating
– Swelling
– Peripheral Edema
– Jugular Venous Distention
– Abdominal-Jugular Reflux
– Hepatomegaly
Kriteria Congestive Heart Failure
Kriteria Major
• Paroksimal noktunal dispnea
• Distensi vena leher
• Ronki paru
• Kardiomegali
• Edema paru akut
• Gallop S3
• Peninggian tekanan vena jugularis
• Refluks hepatojugular
Kriteria Minor
• Edema ekstremitas
• Batuk malam hari
• Dispnea d’effort
• Hepatomegali
• Efusi pleura
• Penurunan kapasitas vital 1/3 dari
normal
• Takikardia (>120/menit.
Daftar Pustaka
Aru, Bambang, Idrus alwi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. edisi IV. Jakarta:
FKUI;2006
Sitompul B. Sugeng J.I. 2003. Gagal jantung dalam Rilantono, Lily Ismudiati.
Baraas, Faisal. Karo, Santoso Karo. Roebiono, Poppy Surwianti. Buku Ajar
Kardiologi. Jakarta: FKUI. Pp: 115-26
Kaligis R.W.M. 2003. Syok kardiogenik dalam Rilantono, Lily Ismudiati. Baraas,
Faisal. Karo, Santoso Karo. Roebiono, Poppy Surwianti. Buku Ajar
Kardiologi. Jakarta: FKUI. Pp: 90-3
Perbedaan Antikoagulan dan Antitrombolitik
1. Antikoagulan
Obat-obat antikoagulan menghambat perkembangan dan pembesaran bekuan
dengan mengganggu fase koagulasi hemostatis. Obat-obat ini tidak dapat melarutkan
bekuan yang telah terbentuk, tetapi dapat mencegah atau memperlambat perluasan
bekuan yang sudah ada. Penggolongan obat-obatan ini yaitu :
a. Golongan heparin, mencakup senyawa-senyawa yang diberikan secara
parenteral ( heparin dan heparin berbobot rendah) dan senyawa-senyawa yang
diberikan secara oral ( warfarin dan dikumarol),
b. Inhibitor thrombin langsung
c. Lain-lain.
a. Warfarin
Warfarin adalah anti koagulan oral yang mempengaruhi sintesa
vitamin K-yang berperan dalam pembekuan darah- sehingga terjadi deplesi
faktor II, VII, IX dan X. Ia bekerja di hati dengan menghambat karboksilasi
vitamin K dari protein prekursomya. Karena waktu paruh dari masing-
masing faktor pembekuan darah tersebut, maka hila terjadi deplesi faktor Vll
waktu protrombin sudah memanjang. Tetapi efek anti trombotik baru
mencapai puncak setelah terjadi deplesi keempat faktor tersebut. Jadi efek anti
koagulan dari warfarin membutuhkan waktu beberapa hari karena efeknya
terhadap faktor pembekuan darah yang baru dibentuk bukan terhadap faktor
yang sudah ada disirkulasi. Warfarin tidak mempunyai efek langsung terhadap
trombus yang sudah terbentuk, tetapi dapat mencegah perluasan trombus.
Warfarin telah terbukti efektif untuk pencegahan stroke kardioembolik.
Karena meningkatnya resiko pendarahan, penderita yang diberi warfarin harus
dimonitor waktu protrombinnya secara berkala.
b. Heparin
Heparin adalah bahan alami yang diisolasi dari mukosa intestinum
porcine atau dari paru-paru sapi. Obat bekerja sebagai anti koagulan dengan
mempotensiasi kerja anti trombin III (AT-III) membentuk kompleks yang
berafinitas lebih besar dari AT -III sendiri, terhadap beberapa faktor
pembekuan darah, termasuk trombin, faktor IIa, IXa, Xa, XIa,dan XIla. Oleh
karena itu heparin mempercepat inaktifasi faktor pembekuan darah. Heparin
biasanya tidak mempengaruhi waktu perdarahan. Waktu pembekuan
memanjang bila diberikan heparin dosis penuh, tetapi tidak terpengaruh bila
diberikan heparin dosis rendah. Heparin dosis kecil dengan AT-III
menginaktifasi faktor XIIIa dan mencegah terbentuknya bekuan fibrin yang
stabil. Penggunaan hefarin dimonitor dengan memeriksa waktu tromboplastin
parsial (aPTT) secara berkala. Penggunaan heparin untuk stroke akut masih
diperdebatkan. Belum ada uji klinis yang memberikan hasil yang konklusif.
American Heart Association merekomendasikan " penggunaan heparin
tergantung pada preferensi dokter yang menanganinya. Harus dimengerti
bahwa penggunaan heparin bisa tidak memperbaiki hasil akhir yang diperoleh
pada penderita stroke iskemik akut ". Heparin dapat diberikan secara IV atau
SK. Pemberian secara IM tidak dianjurkan karena sering terjadi perdarahan
dan hematom yang disertai rasa sakit pada tempat suntikan. aPTT dimonitor
ketat agar berkisar 1,5 kali nilai kontrol. Tujuan terapi adalah meminimalkan
resiko transformasi infark menjadi perdarahan dan memaksimalkan
pengurangan resiko serangan ulang. Penderita dengan infark luas (baik secara
klinis maupun basil CT -scan kepala) mempunyai resiko besar untuk
mengalami transformasi tersebut, sehingga pemberian heparin sebaiknya
ditunda.
2. Trombolitik
Ini merupakan perbedaan penting yang harus diketahui untuk penggunaan
klinis obat-obat tersebut. Fibrinolisis adalah proses pemecahan fibrin yang
menyatukan bekuan. Peristiwa tersebut dimulai dengan aktivasi plasminogen menjadi
plasmin. Aktivasi plasminogen normalnya diinisiasi oleh activator plasminogen.
Obat-obat trombolitik adalah activator plasminogen.
Obat-obat anti trombolitik telah terbukti melisiskan bekuan dalam arteri-arteri
dan vena-vena dan membentuk kembali perfusi jaringan. Senyawa-senyawa ini
digunakan untuk penanganan embolisme paru, thrombosis vena dalam, dan
tromboembolisme arteri. Obat-obat trombolitik terbukti sangat berguna untuk
penanganan serangan jantung akut yang disebabkan oleh suatu bekuan dalam arteri
koroner.
Singkatnya, Penggunaan obat anti trombotik bertujuan mempengaruhi proses
trombosis atau mempengaruhi pembentukan bekuan darah (clot) intravaskular, yang
melibatkan platelet dan fibrin. Obat anti platelet bekerja mencegah perlekatan (adesi)
platelet dengan dinding pembuluh darah yang cedera atau dengan platelet lainnya,
yang merupakan langkah awal terbentuknya trombus. Obat anti koagulan mencegah
pembentukan fibrin yang merupakan bahan esensial untuk pembentukan trombus.
Obat trombolitik mempercepat degradasi fibrin dan fibrinogen oleh plasmin sehingga
membantu larutnya bekuan darah.
Daftar Pustaka
Stringer Janet L. Konsep Dasar Farmakologi.edisi 3. EGC. Jakarta:2008
PATOGENESIS TROMBUS
Trombosis adalah keadaan dimana terjadi pembentukan massa bekuan darah
intravaskuler, yang berasal dari konstituen darah, pada orang yang masih hidup.
Trombosis merupakan kebalikan patologis hemostasis sebagai pembentukan suatu
bekuan darah (trombus) dalam pembuluh darah setelah mengalami cedera yang relatif
ringan. Seperti hemostasis, trombosis pun bergantung pada dinding pembuluh darah,
trombosit, dan kaskade koagulasi. Penyebab utama pada sumbatan atau hambatan
akut pembuluh darah adalah trombosis, emboli dan trauma. Penyebab sumbatan atau
hambatan arteri menahun pada tungkai yang paling sering adalah arteriosklerosis
(Bauer. 1996; Bick, 2003)
Mekanisme pembekuan darah
Berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang berperan dalam
patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu
a. Kelainan dinding pembuluh darah (vascular injury).
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis
vena, melalui:
1. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.
2. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat
kerusakan jaringan dan proses peradangan.
Permukaan pembuluh darah yang menghadap ke lumen dilapisi oleh
sel endotel. Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel
endotel menghasilkan beberapa substansi seperti prostaglandin (PG12),
proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat
mencegah terbentuknya trombin.
Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel
akan terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di
aktifkan dan trombosit akan melekat pada jaringan sub endotel terutama
serat kolagen, membran basalis dan mikro-fibril. Trombosit yang melekat
ini akan melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang akan
merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan
saling melekat.
Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem
pembekuan darah. Endothel tidak perlu dikikis atau dilukai secara fisik
untuk menimbulkan trombosis. Setiap terjadi gangguan dalam
keseimbangan efek protrombosis dan antitrombosis yang dinamis dapat
mempengaruhi peristiwa pembekuan lokal. Oleh karena itu disfungsi
endothel yang bermakna dapat terjadi karena tekanan hemodinamis pada
hipertensi, aliran turbulen pada katup yang terdapat jaringan parut, atau
endotoksin bakteri. Tanpa memperhatikan penyebab, hilangnya endothel
secara fisik mengakibatkan pajanan kolagen subendothel (dan aktivator
trombosit lain), perlekatan trombosit, pelepasan faktor jaringan, dan deplesi
PGI2 dan PA lokal. Endothel yang mengalami disfungsi dapat
menghasilkan faktor prokoagulasi dalam jumlah yang lebih besar (misalnya
molekul adhesi untuk mengikat trombosit, faktor jaringan, PAI, dll) dan
faktor antikoagulan dalam jumlah yang lebih kecil (trombomodulin, PGI2, t-
PA).
b. Gangguan aliran darah (gangguan rheology).
Turbulensi turut berperan pada trombosis arteri dan trombosis cardiac
dengan menyebabkan cedera atau disfungsi endothel, serta membentuk
aliran kebalikan dan kantong stasis lokal. Stasis merupakan faktor utama
dalam pembentukan trombus vena. Aliran darah pada vena cendrung
lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama pada daerah-daerah yang
mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup lama. Statis vena
merupakan predis posisi untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat
menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor
pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin.
Aliran darah normal adalah laminar sedemikian rupa sehingga unsur
trombosit mengalir pada bagian sentral dari lumen pembuluh darah, yang
terpisah dari endothel oleh suatu zona jernih plasma yang bergerak lebih
lambat. Oleh karena itu, stasis atau turbulensi akan mengganggu aliran
laminar dan melekatkan trombosit pada endothel, mencegah pengenceran
faktor pembekuan yang teraktivasi oleh darah segar yang terus mengalir,
menunda aliran masuk inhibiitor faktor pembekuan dan memungkinkan
pembentukan thrombus dan meningkatkan aktivasi sel endothel,
mempengaruhi pembentukan trombosis lokal, perlekatan leukosit, serta efek
endothel lain.
c. Kelainan konstituen darah (hypercoagulable state).
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem
pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecenderungan terjadinya
trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah meningkat atau aktifitas
fibrinolisis menurun.
Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas
pembekuan darah meningkat, seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi Anti
trombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan kelainan
plasminogen.
Hiperkoagulabilitas pada umumnya kurang berperan pada keadaan
trombosis tetapi merupakan komponen paling penting. Hiperkoagulabilitas
kurang bisa ditentukan secara tegas seperti pada setiap perubahan pada jalur
pembekuan yang memudahkan terjadinya trombosis. Gangguan ini dapat
dibagi menjadi gangguan primer (genetik) dan sekunder (didapat). Pada
Hiperkoagulabilitas primer, diantaranya akibat mutasi faktor V, mutasi
protrombin, defisensi antitrombin III, dan defisiensi protein C atau S.
Sedangkan pada hiperkoagulabilitas sekunder dibagi menjadi:
(a) Risiko tinggi trombosis akibat tirah baring atau imobilisasi lama,
infark miokard, kerusakan jaringan (pembedahan, fraktur, luka bakar),
kanker, katup jantung prostese, disseminated intravascular
coagulation, dan antikoagulan lupus.
(b) Resiko rendah trombosis akibat fibrilasi atrium, kardiomiopati,
sindrom nefrotik, keadaan hiperesterogen, penggunaan kontrasepsi
oral, anemia sel sabit dan merokok.(13)
Pada trombosis arteri ketiga faktor tersebut memegang peranan penting,
tetapi pada trombosis vena, trombosis dapat terjadi pada dinding pembuluh
darah yang masih intak, berarti yang berperanan penting adalah faktor aliran
darah (stasis) dan keadaan hiperkoagulabel.
Trombosis arteri sering terbentuk di sekitar orifisim cabang arteri dan
bifurkasio arteri. Di tempat ini terdapat turbulensi aliran darah sehingga terjadi
perubahan ateromatosa dan kerusakan endotel. Pembuluh darah yang terganggu
atau tidak utuh merupakan faktor risiko trombosis. Pada trombosis arteri,
proses dimulai dari endotel yang mengalami kerusakan dimana terjadi aktivasi
trombosit yang menyebabkan adhesi dan agregasi trombosit pada dinding
pembuluh darah. Terjadilah thrombus dengan komponen utamanya adalah
trombosit yang diikat oleh serat-serat fibrin dan beberapa sel darah merah, maka
thrombus ini berwarna agak keputihan, disebut sebagai white thrombus.
Sedangkan pada trombosis vena komponen utamanya adalah fibrin dengan
banyak sel darah merah sehingga thrombus ini disebut sebagai red thrombus.
Perbedaan jenis thrombus ini ditentukan oleh perbedaan kecepatan aliran darah
(shear rate) pada arteri dan vena. Pada arteri dijumpai high shear rate sedangkan
pada vena low shear rate. Thrombus putih daya kohesinya lebih kuat sehingga
tidak mudah terlepas, sedangkan thrombus merah lebih friable sehingga lebih
mudah lepas sebagai emboli.
Trombosis vena pada umumnya timbul pada vena dalam (deep veins)
tungkai bawah, kadang-kadang juga pada lengan, atau pada vena superfisial
ekstremitas. Trombosis vena superfisial merupakan kelainan yang relatif ringan,
kecuali terjadi perluasan ke vena profunda. Pada deep vein trombosis (DVT)
thrombus sangat mudah lepas sehingga menimbulkan emboli, terutama emboli
paru atau pulmonary emboli (PE). Oleh karena itu trombosis vena dan emboli
dimasukkan sebagai venous thromboembolism. atau VTE. VTE merupakan
kelainan yang cukup sering dijumpai.
DAFTAR PUSTAKA
Bauer KA, Rosenberg RD. Control of coagulant reaction. In : Beutler E, Lictman
MA, Coller BS, Kipps TJ, Eds. Williams Hematology.5th ed. New York :
McGraw-Hill, 1995 : 1139 – 251
Bick RL. Introduction to thrombosis: proficienct and cost-effective approach to
thrombosis. Haematol/Oncol Clin N Amer 2003;17:1-8.
Dahlan M. Trombosis Arterial Tungkai Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK UI;2007.
Srandness D.E. et al : Long-term Sequelae Acute Venous Thrombosis. JAMA
250:1289-1292, 1983.