PR Indrinata

17
NAMA : INDRINATA SUNA LIA NIM : 11-2013-152 1. Steven-Johnson syndrome Steven-Johnson syndrome dan toxic epidermal necrolytiasis adalah reaksi mukokutan akut yang dapat mengancam jiwa, ditandai dengan nekrosis luas dan lepasnya lapisan epidermis. Terdapat esamaan dalam klinis, histopatologi, faktor resiko, kausalitas obat dan mekanisme terjadinya, kedua kondisi ini hanya berbeda dalam luasnya permukaan tubuh yang terlibat. Meskipun insidensinya jarang namun memiliki angka kematian yang tinggi. Etiologi Etiologi SJS/TEN masih belum jelas, namun, obat-obatan meruppakan faktor penyebab yang paling sering. Obat yanga paling tinggi menyebabkan SJS/TEN adalah sulfonamid, antikonvulsan aromatik, allupurinol, obat antiinflamasi oxicam, lamotrigin, dan navirapin.resiko tampaknya terbatas pada 8 minggu pertama pengobatan. Peningkaan dosis lambat menurunkan tingkat ruam pada lamotrigin dan navirapin, tetapi tidak ada bukti bahwa hal itu mengurangi resiko terjadinya SJS/TEN. Oxakarbamazepin, turunan 10- keto carbamazepin, yang dianggap membawa resiko yang lebih rendah, tampaknya secara signifikan bereaksi silang dengan carbamazepine. Obat antiinflamasi nonsteroid terutama derivat oxycam dan diklofenak) diduga terkait dengan SJS/TEN. Resiko yang rendah juga telah dilaporkan untuk antibiotik nonsulfonamid seperti aminopenisilin, kuinolon, sefalosporin, dan tetrasiklin.

description

DR

Transcript of PR Indrinata

Page 1: PR Indrinata

NAMA : INDRINATA SUNA LIA

NIM : 11-2013-152

1. Steven-Johnson syndrome

Steven-Johnson syndrome dan toxic epidermal necrolytiasis adalah reaksi mukokutan akut

yang dapat mengancam jiwa, ditandai dengan nekrosis luas dan lepasnya lapisan epidermis.

Terdapat esamaan dalam klinis, histopatologi, faktor resiko, kausalitas obat dan mekanisme

terjadinya, kedua kondisi ini hanya berbeda dalam luasnya permukaan tubuh yang terlibat.

Meskipun insidensinya jarang namun memiliki angka kematian yang tinggi.

Etiologi

Etiologi SJS/TEN masih belum jelas, namun, obat-obatan meruppakan faktor penyebab yang

paling sering. Obat yanga paling tinggi menyebabkan SJS/TEN adalah sulfonamid, antikonvulsan

aromatik, allupurinol, obat antiinflamasi oxicam, lamotrigin, dan navirapin.resiko tampaknya

terbatas pada 8 minggu pertama pengobatan. Peningkaan dosis lambat menurunkan tingkat ruam

pada lamotrigin dan navirapin, tetapi tidak ada bukti bahwa hal itu mengurangi resiko terjadinya

SJS/TEN. Oxakarbamazepin, turunan 10-keto carbamazepin, yang dianggap membawa resiko yang

lebih rendah, tampaknya secara signifikan bereaksi silang dengan carbamazepine. Obat antiinflamasi

nonsteroid terutama derivat oxycam dan diklofenak) diduga terkait dengan SJS/TEN. Resiko yang

rendah juga telah dilaporkan untuk antibiotik nonsulfonamid seperti aminopenisilin, kuinolon,

sefalosporin, dan tetrasiklin.

Peran infeksi dalam epidermal nekrosis kurang menonjol dibandingkan dengan eritema

multiforme. Hubungan SJS/TEN dengan infeksi Mycoplasma pneumoniae, penyakit virus, dan

imunisasi, khususnya pada anak hanya memiliki sedikit bukti. Kasus SJS/TEN juga dilaporkan setelah

transplantasi sumsum tulang dan beberapa bentuk ekstrem dari graft-versus-host akut . hubungan

antara epidermal nekrolisis dan penyakit graft-versus-host sulit untuk dinilai karena bentuk klinis

kelainan kulit dan histologi hampir sulit untuk dibedakan. SLE dikaitkan dengan dengan peningkatan

resiko graft-versus-host. Dalam kasus tersebut, kausalitas obat sering diragukan dan nekrolisis

merupakan fenotipe ekstrem lupus. Terakhir selain obat-obatan, radiotherapi dapat memicu graft-

versus-host dengan lesi terlokalisir terutama pada tempat yang terpapar radiasi.

Page 2: PR Indrinata

Manifestasi klinis

SSJ dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang dapat

berlanjut dari 1-14 hari.Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan

batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata.Daerah

ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya.Kulit lepuh sangat longgar,

dan mudah dilepas bila digosok.

Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada

banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.Daerah kulit yang terpengaruh sangat

nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam.Pada beberapa orang, kuku

dan rambut rontok.

Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut,

tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.

Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama

berbahaya.Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit

yang rusak.Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama

akibat TEN.

a.  Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula.Vesikel dan bula kemudian

memecah sehingga terjadi erosi yang luas.Disamping itu dapat juga

terjadi purpura.Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.

b. Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian

disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus

jarang (masing-masing 8% dan 4%).Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah

sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.Juga dalam terbentuk

pseudomembran.Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang

tebal.Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan

esopfagus.Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan.Adanya

pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.

Page 3: PR Indrinata

c. Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah

konjungtifitis kataralis.Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan,

ulkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat

kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.

Tabel 1. Skala SCORTEN

SCORTEN

Faktor prognostik

Usia >40 tahun

Heart rate >120 x/menit

Kanker atau keganasan hematologis

BSA yang terkena >10%

Kadar urea serum >10 mM (BUN>27 mg/dL)

Kadar bikarbonat serum <20 mEq/L

Kadar glukosa serum >14 mM (<250 mg/dL)

NILAI

1

1

1

1

1

1

1

SCORTEN

0 - 1

2

3

4

>5

Mortality rate (%)

3,2

12,1

35,3

58,3

90

Sumber: Bastuji-Garin et al. SCORTEN: A severity-of-illness score for toxic epidermal necrolysis. J Invest Dermatol. 2000;115:149

TATALAKSANA

Steven-Johnson syndrome dan toxic epidermal necrolytiasis adalah penyakit yang

mengancam jiwa, memerlukan pengelolaan yang optimal, berupa pengenalan dan pemberhentian

obat yang terduga serta perawatan suportif. Apabila terdapat keraguan, semua obat yang tidak

dianggap sebagai penting untuk dipertahankan demi kelangsungan hdup harus dihentikan dalam

waktu 8 minggu sebelumnya.

Page 4: PR Indrinata

Pengobatan simptomatik

Hanya penderita dengan keterlibatan terbatas pada kulit, skor SCORTEN 0 atau 1 yang

dirawat dibangsal biasa, selebihnya harus dipindahkan ke icu atau unit penanganan luka bakar.

Perawatan suportif terdiri atas mempertahankan keseimbangan hemodinamik dan mencegah

komplikasi yan mengancam jiwa. SJS atau TEN dikaitkan dengan kehilangan cairan yang signifikn dari

erosi yang menghasilkan hipovolemik dan gangguan keseimbangan elektrolit. Cairan pengganti harus

dimulai segera mungkin dan disesuaikan dengan segera. Volume infus biasanya tidak sebanyak

untuk luka bakar dari tingkat yang hampir serupa, karena edema interstisial tidak ada. Suhu

lingkungan harus dinaikkan menjadi 28 oC -30oC (82,4oF hingga 86oF). Dukungan nutrisi dini yang

diberikan melalui tabung nasogastrik mempercepat penyembuhan dan mengurangi resiko

translokasi bakteri dari saluran pencernaan. Kulit, darah, dan spesimen urin harus dikultur untuk

bakteri dan jamur.

Tidak disarankan debridement yang luas dan agresif epidermis yang mengalami nekrosis

pada SJS dan TEN karena nekrosis superfisial bukan penghalang untuk reepitalisasi, dan bahkan

mungkin mempercepat poliferasi sel induk karena inflamasi sitokin. Ini perbedaan yang

direkomendasikan pada luka bakar. Tidak ada kebijakan standar memberikan balut luka dan

penggunaan antiseptik. Mata harus dieriksa setiap hari oleh dokter mata. Emolien untuk mata,

antibiotik atau antiseptik tetes digunakan setiap 2 jam pada fase akut, vitamin A juga diberikan.

Mulut harus dibilas beberapa kali sehari dengan larutan antiseptik atau antijamur.

Pengobatan khusus pada fase akut

Karena pentingnya mekanisme imunologis dan sitotoksik, sejumlah besar imunosupresif dan

atau antiinflamasi therapi sudah dicoba untuk mengehentikan perkembangan penyakit. Tidak ada

yang jelas terbukti manfaatnya. Rendahnya prevalensi penyakit membuat uji klinis secara acak sulit

untuk dilakukan.

Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid secara sistemik masih kontroversial, beberapa studi menemukan

bahwa terap tersebut dapat mencegah perburukan penyakit bila diberikan selama fase akut,

terutama secar puls intravenaselama beberapa hari. Penelitian lain menyimpulkan bahwa steroid

tidak menghentikan perkembangan penyakit dan bhakan dikaitkan dengan peningkatan mortalitas

dan efek samping seperti sepsis.

Page 5: PR Indrinata

Araki dkk, di Kyoto, jepang membuktikan dengan terapi puls metilprednisolone IV dosis

tinggi 500 atau 1000 mg/hari selama 3 sampai 4 hari, dimulai dari 4 hari sejak timbulnya gejala

menghasilkan perbaikan dramatiskelainan kulit pada penderita dengan SJS/TEN. Penelitian kardaun

dan marcel, pemberian dexamethasone puls 1,5 mg/kgbb IV dalam 30-60 menit selama 3 hari

berturut-turut didapatkan para penderita stabil setelah rata-rata 2,3 hari , total reepitalisasi dicapai

setelah 13,9 hari. Pada penelitian oleh nadya di India, pada pemberian metilprednisolone

memberikan hasil terbaik dengan penyembuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan terapi

kortikosteroid yang lain, sedangkan penderita yang tidak menerima kortikosteroid, proses

penyembuhan terjadi lebih lama.

Antibiotik

Antibiotik hanya diberikan apabila terdapat tanda-tanda infeksi, antibiotik empiris yang

dapat digunakan antara lain vancomycin, antipseudomonas seperti piperacilin-tazobactam dan

aminoglikosida.

IVIG

Dari beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa jumlah dosis IVIG yang

diberikan lebih dari 2 g/kgbb memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan

pemberian dosis 2 g/kgbb atau kurang. Penderita yang diobatai dengan dosis tinggi IVIG memiliki

signifikan kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang dirawat dengan

pemberian IVIG dengan dosis rendah. Pemberian dosis tinggi IVIG dosis tinggi (3 g/kgbb dosis total

yang diberikan selama 3-4 hari)harus dipertimbangkan bersama perawatan suportif untuk

pengobatan TEN, mengingat tidak adanya validasi therapi spesifik.

2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Penyakit Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) atau yang lebih dikenal sebagai Disseminated

Intravascular Coagulation (DIC) merupakan suatu gangguan pembekuan darah yang didapat, berupa

kelainan trombohemoragic sistemik yang hampir selalu disertai dengan penyakit primer yang

mendasarinya. Karakteristik ditandai oleh adanya gangguan hemostasis yang multipel dan kompleks

berupa aktivasi pembekuan darah yang tidak terkendali dan fibrinolisis (koagulopati konsumtif). DIC

merupakan salah satu kedaruratan medik, karena mengancam nyawa dan memerlukan penanganan

segera.

Page 6: PR Indrinata

DIC merupakan kelainan perdarahan yang mengancam nyawa, terutama disebabkan oleh

kelainan obstetrik, keganasan metastasis, trauma masif, serta sepsis bakterial. Terjadinya DIC dipicu

oleh trauma atau jaringan nekrotik yang akan melepaskan faktor-faktor pembekuan darah.

Endotoksin dari bakteri gram negatif akan mengaktivasi beberapa langkah pembekuan darah.

Endotoksin ini pula yang akan memicu pelepasan faktor pembekuan darah dari sel-sel mononuklear

dan endotel. Sel yang teraktivasi ini akan memicu terjadinya koagulasi yang berpotensi menimbulkan

trombi dan emboli pada mikrovaskular. Fase awal DIC ini akan diikuti fase consumptive

coagulopathy dansecondary fibrinolysis.

Pembentukan fibrin yang terus menerus disertai jumlah trombosit yang terus menurun

menyebabkan perdarahan dan terjadi efek antihemostatik dari produk degradasi fibrin. Pasien akan

mudah berdarah di mukosa, tempat masuk jarum suntik/infus, tempat masuk kateter, atau insisi

bedah. Akan terjadi akrosianosis, trombosis, dan perubahan pregangren pada jari, genital, dan

hidung akibat turunnya pasokan darah karena vasospasme atau mikrotrombi. Pada pemeriksaan lab

akan ditemui trombositopenia, PT dan aPTT yang memanjang, penurunan fibrinogen bebas dibarengi

peningkatan produk degradasi fibrin, seperti D-dimer.

Ketentuan International Society on Thrombosis and Haemostasis: Penentuan risiko: apakah terdapat kelainan dasar atau etiologi yang mencetuskan DIC? Jika

tidak, Penilaian tidak dianjurkan, Uji koagulasi (Jumlah Trombosit, PT, Fibrinogen, FDP/D-Dimer) Skor:

Jumlah trombosit >100.000/mm3 50.000-100.000/mm3< 50.000/mm3

= 0= 1= 2

sFM/FDP/D-dimer - Tidak meningkat (D-dimer <500)- Meningkat sedang ( D-dimer 500-1.000)- Sangat meningkat ( D-dimer > 1.000)

= 0

= 2

= 3

Pemanjangan PT < 3 detik4-6 detik> 6 detik

= 0= 1= 2

Fibrinogen < 100 mg/dl> 100 mg/dl

= 1= 0

Page 7: PR Indrinata

Keterangan jumlah skor:

> 5 : Sesuai DIC : Skor diulang tiap hari

< 5 : Sugestif DIC : Skor diulang dalam 1-2 hari

Selain itu, ada juga sistem skor yang digunakan dalam praktek praktis yang dikemukakan oleh Mujun Yu dan Nardella untuk dapat menduga terjadinya DIC sebagai berikut:

1. Diagnosis klinik2. Kejadian trombo hemorrhagic3. Meningginya PT atau PTT atau TT4. Trombositopeni5. Menurunnya kadar fibrinogen6. Meningginya FDP7. Meningginya D-dimer8. Menurunnya AT III

= 1 poin= 1 poin= 1 poin= 1 poin= 1 poin= 1 poin= 1 poin= 1 poinTotal: 8 poin

Nilai skor untuk menduga adanya DIC diperlukan 5 poin.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan utama DIC terdiri dari 2 bagian, yaitu: 1). Segera mengatasi penyakit yang

mendasari, dan 2) terapi suportif yang agresif, termasuk mengatasi hipovolemia dan hipoksemia.

Pemahaman mengenai patofisiologi dan perjalanan penyakit yang mendasari atau pencetus DIC

sangat diperlukan untuk penatalaksaan yang logis dan rasional.

Setelah mengidentifikasi dan mengatasi penyakit yang mendasari, yang harus ditentukan

adalah apakah diperlukan substitusi faktor pembekuan dan apakah pemberian heparin harus

dipertimbangkan. Karena penyebab dan manifestasi klinis yang sangat bervariasi, terapi DIC harus

dipertimbangkan secara individual berdasarkan usia, penyebab DIC, lokasi dan beratnya perdarahan

atau trombosis, keadaan hemodinamik saat itu dan pengobatan penyakit yang mendasari. Jika kadar

fibrinogen, trombosit dan faktor pembekuan rendah dan pasien mengalami perdarahan atau akan

menjalani prosedur invasif, pemberian faktor pembekuan seperti kriopresipitat, plasma beku segar

atau trombosit konsentrat mungkin diperlukan. Pendapat yang mengibaratkan terapi substitusi ini

seperti ‘menambah minyak ke api’, secara teori memungkinkan, meskipun ternyata tidak terbukti

baik secara klinis maupun pada penelitian eksperimental. Jika pasien memerlukan terapi substitusi

dengan/tanpa heparin, kadar trombosit dan fibrinogen harus diperiksa 30-60 menit setelah transfusi

Page 8: PR Indrinata

dan setiap 6 jam. Hal ini diperlukan untuk menentukan apakah DIC masih aktif dan apakah masih

diperlukan substitusi.

Indikasi, dosis, dan cara pemberian heparin yang tepat masih merupakan hal yang

kontroversial. Jika terdapat tanda-tanda trombosis seperti nekrosis kulit pada purpura fulminan,

iskemia akral aatu kulit, atau tromboemboli vena, terapi heparin merupakan indikasi. Beberapa

indikasi dimana heparin mungkin diperlukan adalah: kematian janin intrauterin yang teretensi

(retained dead fetus syndrome), hemangioma raksasa (Kasabach-Merritt syndrome), anuerisma

aorta, tumor padat dan APL. Sedangkan keadaan-keadaan seperti sepsis, solusio plasenta, emboli air

ketuban, abortus septik atau provokatus dan eklamsia/sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver

Enzyme and Low Platelet) atau penyakit hati, secara umum heparin tidak terbukti bermanfaat,

bahkan kadang-kadang dapat berbahaya. Jumlah dan cara pemberian heparin harus ditentukan

berdasarkan gambaran dan situasi klinis. Sebagai contoh, pasien dengan emboli air ketuban dengan

obstruksi pembuluh darah paru akut, diberikan heparin 5000 unit secara bolus intravena, dilanjutkan

dengan infus kontinu 1000 unit per jam. Tetapi pada APL dengan hipofibrinogenemia berat,

pemberian heparin bolus dan kontinu dalam jumlah sedang atau berat dapat menyebabkan

perdarahan intraserebral yang fatal. Pada DIC kronik, tidak diperlukan pemberian heparin bolus dan

cukup diberikan dosis 15 unit per kg berat badan per jam dengan infus kontinu, dengan penyesuaian

dosis selanjutnya sesuai dengan respon pasien.

Modalitas terapi lainnya adalah antitrombin (AT)-III dan protein C. Pada DIC yang disebabkan

oleh sepsis, kadar AT menurun karena konsumsi yang berlebihan dalam proses koagulasi, sintesis

yang menurun dan inaktivasi oleh enzim elastase yang dilepaskan oleh neutrofil yang teraktivasi.

Berbagai penelitian mengenai pemberian AT pada pasien DIC yang disebabkan oleh sepsis

menunjukkan hasil yang bervariasi. Penelitian mengenai terapi protein C yang teraktivasi (activated

protein C/APC) menunjukkan berkurangnya mortalitas. Hasil ini juga didapat pada pasien sepsis

berat dengan risiko kematian tinggi. Pemberian obat fibrinolisis seperti EACA tidak diperbolehkan

karena dapat menyebabkan deposit fibrin yang luas di mikrosirkulasi dan disfungsi atau gagal organ

karena iskemia. Pemberian penghambat trombin (direct thrombin inhibitor) terbukti efektif pada

binatang tapi belum terbukti pada manusia, sedangkan terapi antibodi anti endotoksin tidak terbukti

memperbaiki survival pasien.

Page 9: PR Indrinata

3. Tatalaksana status asmatikus anak umur 15 tahun dengan berat badan 30 kg

Protap penanganan status asmatikus di RS Dr. Soetomo Setelah diagnosis ditegakkan segera

diikuti dengan langkah langkah sebagai berikut

1. Menetapkan beratnya penyakit dan beratnya terapi dengan

menggunakan predictor index scoring system

Tanda-tanda fisik Score 0 Score 1

Nadi < 120 mmHg >120 mmHg

Pernapasan <30x/menit >30x/menit

Pulsus paradoxus <18 mmHg >18 mmHg

PEFR >120l/mnt <120l/mnt

Sesak napas Ringan Berat

Retraksi Tidak ada Ada

Wheezing Ringan berat

Catatan: bila score lebih dari 4 harus masuk rumah sakit

Bila ada silent chest merupakan tanda bahaya

Mengatasi Keadaan Gawat

a. Infus RL : D5 = 3: 1 dengan tetesan sesuai kebutuhan rehidrasi.

b. Oksigen 2 – 4 l/m melalui nasal prong.

c. Aminofilin bolus 5-6 mg / kgBB i.v pelan selama 20-30 menit dilanjutkan maintenance 20

mg/kgBB/hari diberikan secara drip.

d. Terbutalin 0,25 mg / 6 jam subcutan atau I.V. atau orciprenalin 0,25 mg / 6 jam subcutan atau I.V.

pelan (penelitian terakhir tidak berbeda bermakna9)

e. Hidrocortison sodium suksinat 4 mg / kgBB / 4 jam I.V ( 200 mg / 4 jam I.V. ) bisa juga memakai

dexamethason 20 mg / 6 jam I.V. selain itu dapat digunakan 160 mg methilprednisolon dalam

dosis terbagi 4 kali per hari, kortikosteroid diberikan sampai membaik secara klinis dan

laboratoris. Disamping parenteral diberikan juga Prednison peroral 3 x 10 mg per hari sampai

keadaan membaik diberhentikan secara tappering off.

f. Antibiotik bila jelas ada infeksi

Oksitetrasiklin 2 x 100 mg I. M. atau Amoxillin / Ampicillin 2 x 1 g I.V. atau golongan antibiotik

yang sesuai dngan sumber infeksinya.

g. Menilai hasil tindakan dan terapi

Page 10: PR Indrinata

Dengan keadaan klinis ( scoring) dan secara laboratoris yaitu pemeriksaan faal paru, analisa gas

darah , elektrolit, leukosit dan eosinofil serta monitoring EKG.

Pemeriksaan analisis gas darah arteri sebaiknya dilakukan pada :

Serangan asma akut berat

Membutuhkan perawatan rumah sakit

Tidak respon dengan pengobatan/memburuk

Ada komplikasi antara lain pneumonia, pneuomothorax dll

Pada keadaan dibawah ini analisis gas darah mutlak dilakukan:

Mengancam jiwa

Tidak respon terhadap pengobatan/memburuk

Gagal napas

Sianosis, kesadaran menurun dan gelisah

Tindak lanjut

Bila terjadi kegagalan terapi

a. Asidosis respiratorik

Ventilasi diperbaiki

Pemberian Nabic

b. Hipoksia berat ( PaO2 < 50 mmHg )

Pemberian O2 4- 6 L/m dengan venturi mask

c. Gagal napas akut

alat bantu napas ( ventilator mekanik )

syarat :

apneu

kenaikan PaCO2 > 5 mmHg / jam disertai asidosis . respiratorik akut

Nilai absolut PaCO2 > 50 mmHg disertai asidosis . respiratorik akut

Hipoksia refrakter walau sudah diberi O2

Page 11: PR Indrinata

Algoritma penatalaksanaan asma di rumah sakit

Penilaian awalRiwayat dan pemeriksaan fisik (auskultasi, otot bantu napas, denyut

jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1, saturasi O2). AGD dan pemeriksaan lain atas indikasi

Pengobatan awaloksigenasi dengan kanul nasalinhalasi agonis beta 2 kerja singkat (nebulisasi setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta2 injeksi ( terbutalin 0,5 cc subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 cc subkutan)kortikosteroid sistemik :serangan asma berattidak responsegera dengan bronkodilatordalam pengobatan kortikosteroid oral

Respon baikRespon baik dan stabil

dalam 60 menitPemeriksaan fisik

normalAPE>70% predikdi/nila

terbaikSaturasi O2 >90% (95%

pada anak)

Penilaian ulang setelah 1 jamPemeriksaan fisik, saturasi O2 dan pemeriksaan lain atas indikasi

Serangan asma ringan Serangan asma sedang/ berat Serangan asma mengancm jiwa

Respon tidak sempurna Resiko tinggi distressPemeriksaan fisik :

gejala ringan – sedangAPE> 50% tetapi <70%Saturasi O2 tidak

perbaikan

Respon buruk dalam 1 jamResiko tinggi disstresPemeriksaan fisik : berat,

gelisah dan kesadaran menurun

APE<30%PaCO2 > 45%PaO2 < 60%

Page 12: PR Indrinata

Dirawat di ICUInhalasi agonis beta2 ± anti-

kolinergikKortikosteroid IVPertimbangkan agonis beta

2 injeksi SC/IM/IVTerapi oksigen

menggunakan masker venturi

Aminofilin dripMungkin perlu intubasi dan

ventilasi mekanik

Dirawat di RSInhalasi agonis beta2 ±

anti-kolinergikKortikosteroid sistemikAminofilin dripTerai oksigen

pertimbangkan kanul nasal atau masker venturi

Pantau APE, sat O2, nadi, kadar teofilin

Pulang Pengobatan dilanjutkan

dengan inhalasi agonis beta2

Membutuhkan kortikosteroid oral

Edukasi penderitaMemakai obat yang

benarIkuti rencana

pengonatan sekanjutnya

Tidak perbaikanperbaikan

Pulang Bila APE > 60% prediksi/terbaik. Tetap berikan pengobatan oral/ inhalasi

Dirawat di ICUBila tidak perbaikan dalam 6-12 jam

Page 13: PR Indrinata

4. Tatalaksana anak umur 5 tahun dengan DSS (terdapat perdarahan lambung dan epistaksis)