Policy Paper - papua.lipi.go.id

22
Tim Peneliti: Mardyanto Wahyu Tryatmoko Cahyo Pamungkas Rosita Dewi Luis Feneteruma Anggi Afriansyah Yusuf Maulana Policy Paper Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, 2021

Transcript of Policy Paper - papua.lipi.go.id

Page 1: Policy Paper - papua.lipi.go.id

Tim Peneliti:

Mardyanto Wahyu Tryatmoko

Cahyo Pamungkas

Rosita Dewi

Luis Feneteruma

Anggi Afriansyah

Yusuf Maulana

Policy Paper

Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK)Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Jakarta, 2021

Page 2: Policy Paper - papua.lipi.go.id

Policy Paper

Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua

Tim Peneliti:

Mardyanto Wahyu TryatmokoCahyo Pamungkas

Rosita DewiLuis FeneterumaAnggi Afriansyah

Yusuf Maulana

Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Jakarta, 2021

Page 3: Policy Paper - papua.lipi.go.id

Diterbitkan oleh:

Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPSK - LIPI) Gedung Sasana Widya Sarwono LIPI, Lt. IIIJl. Jend. Gatot Subroto KAV-10, Jakarta 12710 - INDONESIATlp./fax : 021 - 522 5711 ext : 1299 & 1292 | Website: https://ipsk.lipi.go.id

ISBN: 978-602-60846-3-7Desain Cover dan Isi: Anggih Tangkas Wibowoiv + 16 hlm; 21 x 29,7 cm | Cetakan I, 2021© Kedeputian Bidang IPSK - LIPI, 2021Sumber Foto (Cover Buku): Dok. Biro Pers Setpres

Policy Paper

Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua

Tim Peneliti:

Mardyanto Wahyu TryatmokoCahyo PamungkasRosita DewiLuis FeneterumaAnggi AfriansyahYusuf Maulana

Page 4: Policy Paper - papua.lipi.go.id

iiiPolicy Paper - Kata Pengantar

KATA PENGANTAR

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua telah berusia 20 tahun dan ternyata tidak menunjukkan kinerja yang menggembirakan bagi penyelesaian persoalan Papua. Problem implementasi

Otsus sangat kompleks, tidak hanya menyangkut persoalan pasal-pasalnya tetapi juga proses pelembagaannya. Dalam merespons problem Otsus Papua, UU 2/2021 sebagai perubahan kedua atas UU 21/2001 terlihat lebih komprehensif dibandingkan dengan perubahan pertama melalui UU 35/2008. Namun, kehadiran UU 2/2021 tampaknya belum cukup memadai untuk membenahi Otsus karena proses dan isi perubahan di dalamnya tampak belum sepenuhnya menyentuh ruh Otsus sebagai instrumen resolusi konflik, Atas dasar itu, melalui naskah ini, LIPI memberikan pokok-pokok pikiran terkait pembenahan Otsus Papua. Naskah ini berisi uraian problematik implementasi Otsus dan solusi pembenahan Otsus dalam konteks makro dan mikro. LIPI berharap, naskah ini dapat berguna bagi pemerintah pusat dan daerah (Papua) sebagai masukan penyusunan aturan lebih lanjut dari UU 2/2021 dan perubahan UU Otsus di masa yang akan datang.

Jakarta, 16 Agustus 2021Koordinator Tim - LIPI

Mardyanto Wahyu Tryatmoko

Page 5: Policy Paper - papua.lipi.go.id

Policy Paper - Daftar Isiiv

DAFTAR ISIPolicy Paper

Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua

• KataPengantar___iii

• DaftarIsi___iv

I. Pendahuluan___1

II. ProblemimplementasiOtsus___2

A.ProblempelembagaanOtsus___2

B.ProblemImplementasiKetentuandidalamOtsus___4

1.PenyelesaiankasuspelanggaranHAMdanRekonsiliasi___4

2.PenghormatanIdentitasKulturalPapua___5

3.PerlindunganHakEkonomiMasyarakatPapua___5

4.PerlindunganHakSosialdanBudaya___7

5.Perlindunganhak-hakPolitik___9

III. Rekomendasi(Langkahstrategis)___10

A.KonteksMakro___10

B.KonteksMikro___12

•HAMdanRekonsiliasi___12

•SimbolDaerah___12

•PengelolaanSumberDayaAlam___12

•PengelolaanDanaOtsus___13

•Pendidikan___14

•Kesehatan___15

•Perlindunganhakpolitik___16

Page 6: Policy Paper - papua.lipi.go.id

1Policy Paper - Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua

Policy Paper

PEMBENAHAN OTONOMI KHUSUS UNTUK PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA

I. Pendahuluan

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua

(UU 21/2001) telah berjalan selama 20 tahun. Namun efektifitas UU ini sebagai instrumen penyelesaian konflik antara pemerintah pusat dan Papua masih menjadi pertanyaan besar hingga kini. Hal ini karena ketentuan utama (strategis) di dalam Otsus seperti pemberian kewenangan pemerintahan yang luas, penghormatan identitas Papua, perlindungan hak-hak politik dan sosial-budaya, dan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tidak dapat dioperasionalkan dengan baik.

Implementasi Otsus selama dua dekade memang membawa perubahan pada struktur politik dan pemerintahan lokal yang ditandai dengan kehadiran Majelis Rakyat Papua (MRP), gubernur dan wakil gubernur yang merupakan orang asli Papua (OAP), dan pembentukan kursi khusus di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRP). Hal ini membawa implikasi pada peningkatan jumlah OAP di politik dan pemerintahan (birokrasi). Namun demikian, perlindungan hak politik sebagaimana diharapkan oleh masyarakat Papua melalui Otsus bukan sekedar jumlah OAP di politik dan pemerintahan. Kualitas wakil yang baik dan representatif

dan proses pengambilan kebijakan lokal yang lebih otonom terlihat belum terpenuhi dalam implementasi Otsus.

Pemerintah daerah juga telah terlihat berupaya memanfaatkan Otsus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli dengan misalnya menyediakan beasiswa pendidikan dan pelayanan kesehatan hingga daerah pedalaman. Namun demikian, perlindungan hak sosial-budaya yang terkandung di dalam Otsus belum dapat dirasakan oleh OAP. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) hanya memperlihatkan sedikit peningkatan, sementara tingkat ketimpangan (ratio gini) penduduk masih tetap tinggi. Konflik komunal dan kriminalitas juga tercatat cenderung meningkat selama Otsus berlangsung. Ini menunjukkan bahwa tujuan Otsus untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli masih belum tercapai dengan baik.

Intensitas konflik separatisme Papua yang cenderung meningkat menunjukkan kebijakan Otsus untuk penyelesaian konflik Papua tidak efektif. Ironisnya, resistensi masyarakat Papua terhadap Otsus semakin meningkat sebagaimana

Policy Paper

“Perlindungan hak politik sebagaimana diharapkan oleh

masyarakat Papua melalui Otsus bukan sekedar jumlah OAP di politik dan pemerintahan.”

Page 7: Policy Paper - papua.lipi.go.id

Policy Paper - Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua2

ditunjukkan oleh aksi pengembalian Otsus dan juga penolakan Otsus Jilid II.

Upaya perbaikan UU Otsus pernah dilakukan. Namun, hal ini hanya lebih mengakomodasi arah kebijakan pemerintah pusat daripada jawaban atas inisiatif lokal. Perubahan pertama UU 21/2001 melalui UU No.35/2008, diarahkan untuk melegalkan pembentukan Provinsi Papua Barat dan pemilihan gubernur secara langsung. Sementara inisiatif perbaikan Otsus dari masyarakat Papua dalam bentuk Otsus Plus pada 2013 tidak mendapat respons yang baik dari pemerintah pusat. Perubahan kedua atas UU 21/2001 juga dilakukan melalui penerbitan UU No. 2/2021 untuk mengakomodasi inisiatif perubahan dari pemerintah. Hal ini lah yang menimbulkan pertanyaan dan kekecewaan masyarakat Papua, untuk siapa sebenarnya Otsus Papua?

LIPI berpendapat bahwa implementasi Otsus selama dua dekade dan dua perubahan UU-nya belum sepenuhnya menyentuh semangat dan ruh Otsus. LIPI memandang perlu perbaikan Otsus Papua untuk meluruskan kembali tujuan penyelesaian konflik Papua melalui instrumen ini. Atas dasar itu, dari hasil riset dan kegiatan akademis lainnya di Papua LIPI menyusun catatan untuk pembenahan Otsus Papua. Naskah ini berisi identifikasi persoalan Otsus baik dari sisi bagaimana lembaga-lembaga

pelaksana Otsus bekerja maupun problematik implementasi bidang-bidang strategis yang termuat di dalam Otsus. Selain itu, naskah ini juga berisi beberapa catatan rekomendasi perbaikan kebijakan dan implementasi Otsus untuk Papua.

II. Problem implementasi OtsusTerdapat setidaknya dua problem mendasar mengapa Otsus tidak dapat bekerja dengan baik memenuhi tuntutan masyarakat Papua. Problem pertama menunjukkan proses pelembagaan yang tidak stabil dan efektif. Proses pelembagaan disini menunjukkan bagaimana kinerja lembaga-lembaga Otsus dalam kaitannya dengan perubahan atau keberlanjutan struktur, hubungannya dengan lembaga eksternal terkait, dan dinamika hubungan antar-aktor di internal lembaga. Sementara itu, problem kedua lebih menunjukkan persoalan operasionalisasi ketentuan yang ada di UU 21/2001 yang tampaknya mengalami inkonsistensi dan distorsi.

A. Problem pelembagaan OtsusDalam perjalannya selama hampir 20 tahun, Otsus tidak dapat bekerja secara efektif karena mengalami persoalan pelembagaan yang diidentifikasi dari beberapa hal berikut:

• Dukungan (partisipasi danlegitimasi) masyarakat Papua terhadap pelaksanaan Otsus semakin melemah yang ditandai dengan semakin banyaknya penolakan Otsus oleh masyarakat

“LIPI berpendapat bahwa implementasi Otsus selama

dua dekade dan dua perubahan UU-nya belum sepenuhnya menyentuh semangat dan ruh Otsus.”

Page 8: Policy Paper - papua.lipi.go.id

3Policy Paper - Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua

Papua dan semakin berkurangnya aktivis Papua yang masuk dalam lembaga Otsus.

• Karena kekhawatiran terhadapperkembangan separatisme, pemerintah terlalu jauh melakukan intervensi politik dan kebijakan di dalam implementasi Otsus hingga merusak prinsip dan nilai dasar Otsus. Intervensi ini terlihat jelas misalnya di dalam penentuan anggota MRP dan penolakan beberapa rancangan peraturan daerah khusus (raperdasus), termasuk mengenai simbol daerah.

• Struktur Otsus tidak berjalandengan baik menjawab kebutuhan masyarakat Papua karena implementasinya justru lebih banyak mengadopsi aturan/ketentuan yang berlaku secara nasional/umum. Aplikasi standar nasional berlaku di dalam operasionalisasi misalnya sektor pendidikan dan kesehatan.

• Perubahan-perubahanyangterjadidi dalam struktur Otsus lebih bersifat politis dan tanpa melalui kesepakatan yang kuat di antara aktor lokal. Dalam beberapa hal, perubahan struktur Otsus tidak melalui revisi UU dan cenderung bersifat prematur, kompleks, dan tidak merefleksikan kebutuhan, budaya, dan nilai masyarakat setempat.

• Keberlanjutan operasionalisasiOtsus dipenuhi ketidakpastian karena struktur sosial masyarakat Papua kesulitan beradaptasi

dengan ketentuan Otsus. Pelembagaan MRP dapat menjadi gambaran bagaimana keributan antara dan di antara kelompok agama dan perempuan selalu terjadi di setiap periode rekrutmen.

• Beberapa praktik kelembagaanyang muncul tidak sesuai dengan aturan di dalam Otsus. Sebagai contoh distribusi dana Otsus yang tidak diatur dalam perdasus dan penggunaan sistem Noken dalam pemilihan gubernur.

• Lembaga Otsus mengalamifragmentasi karena perbedaan nilai dan perspektif para aktor, di mana isu ideologi (nasionalisme dan etnisitas) hadir di dalam perbedaan ini. Hal ini terutama terjadi di dalam pelembagaan kursi pengangkatan di DPRP.

• Hubungan antar-agensimengalami disharmoni sebagai dampak dari intervensi pusat dan ketentuan distribusi kewenangan antar-tingkat pemerintahan dan di antara lembaga penyelenggara Otsus di daerah yang belum jelas. Hubungan disharmoni terutama terjadi antara provinsi dan kabupaten/kota.

• Diskresi (otonomi) daerah yangdijalankan oleh pemerintah provinsi dalam implementasi

“Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam struktur Otsus

lebih bersifat politis dan tanpa melalui kesepakatan yang kuat di antara aktor lokal.”

Page 9: Policy Paper - papua.lipi.go.id

Policy Paper - Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua4

Otsus di beberapa kasus terlihat sangat politis daripada berorientasi kesejahteraan publik. Hal ini terlihat dalam distribusi dana Otsus yang dilakukan oleh provinsi ke kabupaten/kota.

B. Problem Implementasi Ketentuan di dalam OtsusPersoalan juga muncul di dalam operasionalisasi Otsus dari sisi inkonsistensi dan distorsi pelaksanaan ketentuan yang diamanatkan di dalam UU Otsus. Problem ini muncul di hampir semua bidang strategis yang tercakup dalam Otsus.

1. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan Rekonsiliasi Menjelang 20 tahun implementasi Otsus, kekerasan di Papua baik yang dilakukan oleh aparat keamanan maupun kelompok bersenjata Papua merdeka semakin meningkat dan mengakibatkan jatuhnya korban warga sipil maupun pengungsi. Padahal, salah satu tujuan dari UU Otsus Papua adalah penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua yang tercantum di dalam pasal 45 melalui pembentukan perwakilan Komisi Nasional HAM, Pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun demikian, mandat UU ini belum diimplementasikan untuk

mengatasi sejumlah pelanggaran HAM masa lalu maupun beberapa pelanggaran HAM yang diduga masih terjadi di masa Otsus Papua, seperti misalnya kasus Wasior 2001, Wamena 2003, Paniai 2014, Nduga 2018, dan yang terkini adalah kasus penembakan Pendeta Zemiah Zanambawi 2020. Akibatnya, penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Papua cenderung stagnan bahkan setelah dibentuknya tim investigasi Kementerian Politik Hukum dan HAM pada tahun 2015.

Belum terbentuknya KKR juga merupakan hambatan bagi upaya penyelesaian persoalan pelanggaran HAM di Papua, terutama pelanggaran HAM masa lalu. Alasan pemerintah tidak membentuk KKR hingga saat ini adalah ketiadaan UU KKR yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai dasar dari pembentukannya, walaupun alasan ini diperdebatkan oleh sejumlah ahli yang menganggap bahwa KKR Papua masih dapat dibentuk berdasarkan pada amanat pasal 46 UU Otsus Papua. Klausul klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan membawa keraguan bagi pemerintah untuk pembentukan KKR Papua. Perdebatan interpretasi dalam membaca sejarah Papua ini yang hingga saat ini masih menjadi persoalan yang tidak ingin disentuh oleh pemerintah. Kecurigaan dan ketidakpercayaan antara Pemerintah dengan Papua yang turut menghambat pembentukan KKR Papua.

Selain itu, peristiwa rasisme terhadap orang Papua juga masih terjadi menjelang 20 tahun Otsus. Persoalan kebebasan menyampaikan pendapat juga menjadi polemik pasca peristiwa tersebut.

“Kecurigaan dan ketidakpercayaan antara

Pemerintah dengan Papua yang turut menghambat pembentukan KKR Papua.”

Page 10: Policy Paper - papua.lipi.go.id

5Policy Paper - Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua

Kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dilakukan oleh aktivis Papua yang sering diidentikan sebagai upaya untuk menyuarakan Papua merdeka, sehingga dibatasi bahkan dilarang dengan alasan mengancam kesatuan Indonesia.

2. Penghormatan Identitas Kultural Papua

Simbol Daerah

Simbol daerah Papua tercantum dalam UU Otsus Bab II pasal 2 Ayat 2 dan 3 yang menyatakan bahwa Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. Kemudian pasal 3 menyatakan bahwa Ketentuan tentang lambang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Namun dalam implementasinya, ketentuan ini belum dilaksanakan sampai sekarang karena usulan simbol daerah yang pernah diusulkan oleh Papua bertentangan dengan aturan pemerintah, terutama pasal 6 ayat (4) PP No. 77 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa Desain Logo dan Bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Simbol yang saat ini disepakati hanya lambang Majelis Rakyat Papua. Padahal, simbol kultural dipercaya sebagai jati

diri dan pengakuan terhadap hak ulayat dan adat, termasuk masyarakat dan hukumnya. Selain itu, simbol kultural juga digunakan sebagai perekat persatuan orang Papua dalam membangun tanah Papua yang sejahtera.

3. Perlindungan Hak Ekonomi Masyarakat Papua

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Ekonomi

• Tanah Papua mempunyai tujuhwilayah adat yang di dalamnya terdiri dari beberapa suku besar. Suku tersebut terdiri dari marga-marga yang memiliki wilayah adat sebagai lahan pencaharian kehidupan sehari-hari yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Satu wilayah adat akan berbatasan dengan wilayah adat lainnya yang disepakati bersama secara lisan. Problem pengelolaan SDA muncul ketika Papua masuk menjadi bagian negara republik Indonesia dan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing diberlakukan. Pemberlakuan kebijakan itu mengakibatkan ekploitasi SDA baik hutan maupun laut secara besar-besaran. Kehadiran Otsus Papua tahun 2001 ternyata tidak menyelesaikan persoalan eksploitasi. Selama

“Problem pengelolaan SDA muncul ketika Papua masuk

menjadi bagian negara republik Indonesia dan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing diberlakukan.”

Page 11: Policy Paper - papua.lipi.go.id

Policy Paper - Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua6

pemberlakuan Otsus, pemerintah masih menerapkan kebijakan yang sentralistik dengan memberlakukan undang – undang sektoral kehutanan dan minerba. Dengan kebijakan tersebut, pemerintah justru melakukan pemetaan wilayah dan mengesahkan ijin-ijin konsesi hutan maupun ijin perusahaan lainnya seperti batu bara, emas, minyak dan gas bumi maupun kelapa sawit tanpa melibatkan masyarakat pemilik hak ulayat setempat. Kebijakan ini sangat merugikan masyarakat setempat. Terlebih lagi, penyerapan tenaga kerja tidak melibatkan masyarakat setempat dan orang Papua pada umumnya. Hal ini menyebabkan tidak ada kepercayaan orang Papua terhadap pemerintah Pusat maupun daerah karena tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai wilayah adat termasuk di dalamnya ruang dan hak hidup mereka.

Dana Otsus

• Pengelolaan dana otonomi khusustelah berjalan di Papua dan Papua Barat. Anggarannya rata-rata meningkat 9 persen setiap tahun seiring peningkatan APBN dan akan berakhir pada tahun 2021. Pemberian dana Otsus tersebut ditujukan untuk akselerasi pembangunan dan terciptanya

kesejahteraan masyarakat khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi OAP. Namun, selama implementasinya, dana Otsus yang dikucurkan untuk Papua dan Papua Barat belum berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan, terutama untuk mengatasi kesenjangan ekonomi di tanah Papua. Sehubungan dengan kondisi yang ada, problematika yang muncul dari pengelolaan dana Otsus di Papua dapat ditinjau dari dua aspek utama yakni, relasi politik antar pemerintahan dan administratif.

• Pertama,relasiyangkurangbaikantar tingkatan pemerintahan. Di tingkat lokal, penentuan distribusi dana otsus untuk provinsi dan kabupaten/kota hingga kini masih terus menjadi polemik. Hal ini karena kepentingan politik tampak dominan mendasari kebijakan distribusi dana otsus. Sementara gubernur dan pemerintah pusat melalui kementerian sektoral tidak melakukan sinkronisasi program pusat dan daerah yang dibiayai dari dana Otsus. Selama pelaksanaan Otsus di Papua, antara pemerintah pusat dan daerah masih belum menentukan indikator-indikator kekhususan apa saja yang perlu dicapai di Papua dalam meningkatkan kesejahteraan OAP. Problem distribusi dana otsus ini berdampak terhadap kepercayaan OAP pada pemerintah pusat maupun

“Problematika yang muncul dari pengelolaan dana

Otsus di Papua dapat ditinjau dari dua aspek utama yakni, relasi politik antar pemerintahan dan administratif.”

Page 12: Policy Paper - papua.lipi.go.id

7Policy Paper - Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua

daerah rendah karena proses yang transparan dan akuntabel tidak berjalan dengan baik.

• Kedua, secara administratifperencanaan dan pengalokasian dana Otsus tidak sesuai dengan kebutuhan riil. Dampaknya pengelolaan dana Otsus cenderung teknokratis namun tidak tepat pada sasaran yang substantif karena kurangnya panduan regulasi dan rencana penggunaan (master plan). Administrasi pengelolaan dan pertanggungjawaban dana Otsus harus mengikuti mekanisme umum, sehingga tidak mencerminkan kekhususan dalam pengelolaan dana Otsus. Pengelolaan tersebut mengakibatkan pemeriksaan dan pengawasan pengelolaan dana Otsus secara substantif menjadi sulit dilakukan karena pengelolaan dana Otsus Papua bercampur dengan dana alokasi umum (DAU). Manfaat dana Otsus yang harusnya dirasakan masyarakat menjadi tidak terasa dan menjadi isu bahwa dana Otsus dijadikan permainan bagi para elite lokal.

4. Perlindungan Hak Sosial dan Budaya

Pendidikan

UU 21/2001 menjadi pemicu lahirnya berbagai regulasi percepatan pembangunan di Tanah Papua termasuk di bidang pendidikan. Sampai saat ini pemerintah sudah mengeluarkan berbagai aturan seperti Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2011 Tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Khusus untuk kebijakan pendidikan ragam intervensi sudah diupayakan namun hingga kini belum optimal mentransformasi wajah pendidikan di Tanah Papua. Apa yang ada di dalam teks kebijakan tidak berkorelasi dengan operasionalisasi kebijakan, misalnya saja secara kebijakan perhatian terhadap lokalitas dan kebutuhan pendidikan bagi Orang Asli Papua sudah semakin diperhatikan, namun dalam praktiknya masih sangat bersifat sentralistis. Cita-cita UU Otsus agar pendidikan setiap penduduk Papua mendapat pendidikan bermutu masih jauh dari harapan. Data statistik menunjukkan di Kabupaten/Kota yang mayoritas OAP memiliki

“Khusus untuk kebijakan pendidikan ragam intervensi

sudah diupayakan namun hingga kini belum optimal mentransformasi wajah pendidikan di Tanah Papua.”

Page 13: Policy Paper - papua.lipi.go.id

Policy Paper - Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua8

capaian Indeks Pembangunan Manusia yang lebih rendah.

Terdapat dua problem mendasar yang membuat percepatan pembangunan pendidikan di Tanah Papua tidak dapat terlaksana secara optimal.

• Pertama, terkait problem struktural yaitu terkait tata kelola dan penganggaran untuk pembangunan pendidikan; tata kelola penyediaan dan distribusi guru, kebijakan pendidikan yang belum memperhatikan kondisi geografis, sosial, budaya, dan demografi; belum adanya desain pendidikan yang responsif terhadap kondisi geografis, sosial, budaya dan demografi OAP; belum optimalnya rencana aksi pembangunan pendidikan dalam beragam program yang terukur output dan outcomenya; monitoring, pendampingan, dan evaluasi belum terlaksana secara optimal; dan belum adanya kesepakatan paradigma pembangunan pendidikan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam konteks kebijakan aturan terkait kebijakan pendidikan belum diturunkan kedalam Perdasus dan Perdasi. Tanpa adanya Perdasi dan Perdasus implementasi UU Otsus tidak optimal.

• Kedua, terkait dengan tantangan sosial kultural yang terkait dengan identitas budaya yang

beragam; pemenuhan hak yang terkendala oleh situasi geografis; keterbatasan anak-anak untuk belajar dan mengembangkan diri; dan pendidikan bagi OAP tidak relevan karena tidak membangun imajinasi, berbasis kearifan lokal, dan pengembangan diri. Dalam kondisi tersebut peran pemerintah sangat sentral dan signifikan dalam melakukan dialog dan pendekatan budaya untuk mendapatkan aspirasi OAP mengenai pendidikan; rekognisi dan penghargaan terhadap aspirasi masyarakat mengenai kebutuhan pembangunan di bidang pendidikan; dan membangun ekosistem pendidikan yang melibatkan seluruh pemangku kebijakan dan masyarakat sehingga pengelolaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama.

KesehatanPelayanan kesehatan ibu dan anak di Tanah Papua masih menghadapi keterbatasan dan tantangan yang terkait dengan kondisi geografis yang sulit dijangkau, persebaran penduduk yang tidak merata, rendahnya ketersediaan infrastruktur, akses informasi yang terbatas, dan keterbatasan sumber daya kesehatan yang dapat menjangkau wilayah terpencil. Berbagai kebijakan, program, dan dukungan sumber pendanaan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di Tanah Papua telah banyak diupayakan, namun capaian peningkatan kondisi kesehatan masih belum optimal. Ada dua faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu:

“Terdapat dua problem mendasar yang membuat

percepatan pembangunan pendidikan di Tanah Papua tidak dapat terlaksana secara optimal.”

Page 14: Policy Paper - papua.lipi.go.id

9Policy Paper - Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua

• Pertama, berasal dari penyedia layanan (supply side). Faktor penyedia layanan diantaranya adalah kebijakan dan program, ketersediaan infrastruktur (sarana dan prasarana kesehatan serta sarana pendukung), tenaga kesehatan, dan kualitas pelayanan.

• Kedua, dari sisi pengguna/masyarakat, faktor yang meme-ngaruhi untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan seperti kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat (Kusuma, Cohen, McConnell, & Berman, 2016; UNICEF Indonesia, 2012). Meskipun kebijakan layanan kesehatan sudah memerhatikan aspek sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat beberapa keterbatasan lebih banyak ditemukan di masyarakat. Sehingga layanan kesehatan tidak optimal diterima oleh masyarakat.

5. Perlindungan hak-hak PolitikUU Otsus tampak memberikan perlindungan hak-hak politik bagi masyarakat Papua. Perlindungan ini terlihat pada otonomi penentuan kebijakan daerah khusus (Perdasus), pengaturan mengenai syarat orang asli Papua bagi gubernur dan wakil gubernur, pembentukan MRP, dan pembentukan kursi khusus di DPR provinsi. Namun demikian, implementasi ketentuan terkait perlindungan hak politik ini mengalami persoalan di beberapa hal.

• Pengambilan kebijakan daerah,terutama melalui peraturan daerah

khusus, dalam praktiknya mendapat pengawasan yang ketat dari pemerintah pusat. Proses konsultasi peraturan daerah oleh pemerintah pusat dari Papua yang merupakan daerah khusus tampak lebih ketat dibanding dari daerah lain di Indonesia. Rancangan Perdasus yang dinilai terdapat unsur separatisme langsung ditolak oleh pemerintah pusat. Selain itu, proses harmonisasi peraturan daerah dari Papua lebih disesuaikan dengan ketentuan umum daripada mempertimbangkan kekhususan Papua.

• Prasyarat OAP untuk pencalonangubernur dan wakil gubernur sangat mendukung perlindungan hak politik masyarakat Papua. Namun demikian, mekanisme pencalonan gubernur dan wakil gubernur yang harus mengikuti aturan nasional menyebabkan penentuan calon gubernur dan wakil gubernur terbajak oleh kepentingan partai nasional. Pencalonan dari kalangan independen pun semakin sulit dipenuhi. Dalam konteks ini, aktifis Papua merdeka selalu menganggap bahwa Pilkada Papua hanya untuk Jakarta, bukan untuk Papua.

• SelamapemberlakuanUU21/2001,tidak sedikit masyarakat Papua yang mempertanyakan efektifitas kinerja MRP, terutama setelah MRP periode

“Pengambilan kebijakan daerah, terutama melalui peraturan

daerah khusus, dalam praktiknya mendapat pengawasan yang ketat dari pemerintah pusat.”

Page 15: Policy Paper - papua.lipi.go.id

Policy Paper - Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua10

I. Mereka menganggap kinerja MRP masih jauh dari harapan, tidak mampu memperjuangkan kebutuhan konstituennya. Mereka sadar bahwa MRP tidak cukup representatif karena salahsatunya adalah inter-vensi pusat dalam penentuan calon. Selain itu, proses rekrutmen anggota MRP juga problematik. Konflik muncul didalam dan antar kelompok agama karena keterbatasan kuota kursi yang tidak mampu mengakomodasi jumlah kelompok yang diwakili. Konflik juga di dalam proses nominasi calon anggota MRP di kelompok perempuan karena keterbatasan ketersediaan kelompok ini di tingkat kabupaten.

• Diawalpelembagaannya,ketentuanmengenai kursi tambahan DPR provinsi di dalam UU 21/2001 menimbulkan perdebatan yang panjang di antara masyarakat Papua. Penolakan pemberlakuan pasal ini justru datang dari perumus UU Otsus karena mereka beranggapan bahwa DPRP sudah didominasi oleh OAP selain perwakilan serupa sudah cukup di MRP. Implementasi kursi tambahan ini juga menuai polemik karena tidak sedikit masyarakat Papua yang menilai bahwa rejim lokal mendorong pembentukan kursi pengangangkatan ini sebagai dukungan politik, mendukung keberlangsungan kekuasaan lokal.

Selain itu, kursi tambahan melalui pengangkatan dianggap tidak cukup representatif karena hanya sebagai wadah para politisi yang gagal dalam pemilu. Dalam praktiknya, kursi tambahan DPRP/PB ini sulit terintegrasi ke dalam fraksi maupun alat kelengkapan dewan. Kehadiran mereka di fraksi khusus pun menjadi polemik karena tidak setara dengan kekuatan politik yang dihasilkan dari pemilu langsung.

III. Rekomendasi (Langkah strategis)Atas dasar problem implementasi Otsus yang telah diuraikan di bagian sebelumnya, LIPI mengusulkan beberapa langkah strategis untuk memperbaiki Otsus. Perbaikan Otsus perlu diarahkan pada konteks makro dan mikro. Perbaikan makro lebih memperhatikan bagaimana mendorong pelembagaan Otsus kedepan agar stabil dan efektif. Sementara itu, perbaikan mikro merujuk pada perbaikan struktur termasuk ketentuan-ketentuan di dalam Otsus.

A. Konteks MakroDalam konteks makro upaya perbaikan Otsus perlu diupayakan untuk memperbaiki pelembagaan Otsus. Setidaknya, problem pelembagaan Otsus yang pernah terjadi tidak akan berulang. Oleh sebab itu, perbaikan dapat di-lakukan melalui beberapa hal.

• Idealnya, pembenahan kebijakanOtsus di level Undang-undang perlu didahului dengan proses dialog terpadu antara pemerintah pusat dan

“LIPI mengusulkan beberapa langkah strategis untuk

memperbaiki Otsus. Perbaikan Otsus perlu diarahkan pada konteks makro dan mikro.”

Page 16: Policy Paper - papua.lipi.go.id

11Policy Paper - Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua

kelompok-kelompok strategis Papua, termasuk dengan mereka yang anti-Otsus. Selain untuk membahas redefinisi Otsus sebagai resolusi konflik, dialog diperlukan untuk membangun kembali legitimasi masyarakat Papua terhadap Otsus. Pengalaman pelaksanaan Otsus di dua provinsi (Papua dan Papua Barat) mungkin telah membentuk sejarah baru yang berbeda diantara keduanya. Oleh sebab itu perlu ada diskusi khusus mengenai kebutuhan khusus di setiap provinsi.

• Sangat memungkinkan jikadialog juga membahas mengenai reformulasi kekhususan Papua. Para pihak dapat mendiskusikan kembali desain pemerintahan otonom sebagai bagian rekognisi entitas Papua dan perlindungan hak-hak dasar masyarakat asli Papua. Disitu perlu ada diskusi tentang redefinisi derajat otonomi berikut penetapan redistribusi kewenangan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

• Di dalam dialog, perlu menyusuninstrumen yang dapat dimasukkan ke dalam ketentuan Otsus baru. Instrumen ini untuk mengikat komitmen dan konsensus aktor-aktor terkait. Sehingga, intervensi pusat atau ide-ide politik liar aktor lokal yang mendisrupsi implementasi Otsus dapat diantisipasi.

• Untuk memperkuat pelembagaanOtsus yang lebih mendalam dan menghindari tumpang tindih kewenangan Pemerintahan provinsi dengan pemerintahan pusat, dan untuk memberikan kekhususan yang lebih luas kepada pemerintah

provinsi, maka pemerintah pusat perlu menerbitkan peraturan pemerintah untuk memberikan kewenangan kepada Gubernur dalam hal perlindungan hak-hak dasar orang asli Papua, seperti perlindungan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia, menetapkan pemetaan wilayah adat dan melindungi tanah milik masyarakat adat, menetapkan kebijakan sektoral dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan infrastruktur dalam rangka memprioritaskan hak-hak dasar orang asli Papua.

• Dalam penyusunan dan penetapanPP dan aturan pelaksana lainnya, pemerintah perlu melakukan konsultasi dengan stakeholder utama di daerah (gubernur, MRP, DPRP, masyarakat adat, agama, dan perempuan).

• Pemerintah pusat dan Pemerintahdaerah di tanah Papua wajib memberikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, berorganisasi, termasuk hak menyampaikan pernyataan politik, termasuk melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah sebagai bagian dari praktik sistem demokrasi di Indonesia.

• Badan khusus sebagaimanadiamanatkan oleh UU 2/2021, dalam melaksanakan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan Otonomi Khusus

“Sangat memungkinkan jika dialog juga membahas

mengenai reformulasi kekhususan Papua.”

Page 17: Policy Paper - papua.lipi.go.id

Policy Paper - Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua12

dan pembangunan di wilayah Papua, perlu selalu memperhatikan kewenangan Otsus Papua. Selain itu, Badan ini perlu melibatkan lembaga-lembaga strategis di Papua (terutama adat, agama, perempuan) dalam melaksanakan kerjanya.

B. Konteks MikroRekomendasi perbaikan dalam konteks mikro memperhatikan secara khusus beberapa dimensi penting di dalam Otsus yang dapat digunakan untuk penyelesaian masalah Papua. Perhatian tidak hanya diarahkan untuk penyempurnaan ketentuan yang telah dijalankan tetapi juga dorongan operasionalisasi pasal-pasal yang belum diimplementasi.

HAM dan Rekonsiliasi

• OtsusPapuaharusdapatmenjaminkepastian perlindungan terhadap HAM di Papua melalui transparansi proses penyelesaian persoalan pelanggaran HAM di Papua, terutama kasus-kasus yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai kasus pelanggaran HAM melalui KKR dan pengadilan HAM.

• Presiden segera mengeluarkanPeraturan Presiden untuk pembentukan KKR Papua untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dan persoalan sejarah

integrasi.

• Presiden segera mengeluarkanPeraturan Presiden untuk pembentukan komnas HAM Papua untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan.

Simbol Daerah

• MRPperlumelakukanre-identifikasiserta mengkaji lebih dalam simbol-simbol kultural yang unik sebagai lambang daerah, yang dapat diterima secara luas oleh masyarakat Papua.

• Pemerintah mendorong MRP,pemerintah provinsi, DPRP dan para pemangku kepentingan (lembaga adat, perempuan, agama dll) untuk segera merumuskan bendera kultural dan lagu daerah yang melambangkan One land, One Culture and One Heart dengan memperhatikan aspirasi lembaga-lembaga masyarakat adat Papua.

Pengelolaan Sumber Daya Alam

• Pemerintah sebelum menetapkansebuah wilayah di Papua sebagai wilayah konservasi, HPH atau perijinan lainnya harus melibatkan orang Papua pemilik hak ulayat adat baik kelompok suku maupun marga.

• Ketentuan tentang pemetaantanah adat yang dikeluarkan oleh pemerintah (provinsi, kabupaten/kota, dan Badan Registrasi Wilayah Adat) perlu melalui pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat adat dengan

“Perhatian tidak hanya diarahkan untuk

penyempurnaan ketentuan yang telah dijalankan tetapi juga dorongan operasionalisasi pasal-pasal yang belum diimplementasi.”

Page 18: Policy Paper - papua.lipi.go.id

13Policy Paper - Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua

pendampingan dari lembaga masyarakat sipil. Hal ini untuk menjamin perlindungan terhadap hak masyarakat adat.

• Pemerintahprovinsidankabupaten/kota di tanah Papua perlu segera mengimplementasikan peraturan daerah tentang keterlibatan langsung pengelolaan sumber daya alam oleh orang asli Papua.

• UntukmelibatkanOAPsecaraaktifdalam aktivitas pengelolaan SDA, pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) perlu melakukan pemberdayaan dan pelatihan serta peningkatan keahlian OAP.

• Perusahaan harus melakukankesepakatan dengan pemilik hak ulayat sebelum melaksanakan kegiatan usaha dan harus memberikan ruang terhadap wilayah kelola masyarakat baik laut maupun hutan.

Pengelolaan Dana Otsus

• AlokasipembagiandanaOtsusPapuaantara provinsi dan kabupaten/kota diatur dalam Perdasus secara adil dan berimbang dengan menyesuaikan kewenangan yang melekat di tiap tingkatan pemerintahan. Mengingat keberagaman kondisi yang ada serta titik berat pelayanan jasa pemerintahan daerah berada di kabupaten/kota, maka bobot alokasi dana otsus Papua untuk Kabupaten/Kota ditetapkan lebih besar daripada Provinsi dengan kriteria pembagian yang jelas. Disamping dana otsus untuk provinsi dan kabupaten/kota, perlu dialokasikan dana yang

diperuntukan untuk pembangunan kampung. Penggunaan dana kampung disesuaikan dengan potensi kampung. dikelola sesuai kebutuhan dengan mengeksplorasi sumber daya atau potensi lokal serta mempunyai dampak sosial dan meningkatkan kesadaran gotong royong masyarakat kampung.

• Penyusunan rencana pembangunan(master plan) dan ekonomi Papua tidak lagi diukur dengan ukuran atau indikator yang sama dengan provinsi lain atau sudut pandang pemerintah pusat saja. Perencanaan pembangunan di Papua harus melibatkan OAP dengan pendekatan kultural masyarakat adat dan berfokus pada bagaimana kondisi Papua yang memang daerah konflik, masih ada kontak senjata, relatif masih miskin, tidak punya akses kesehatan dan tidak punya akses pendidikan. Perlu database OAP yang terintegrasi untuk mengelola alokasi dana otsus agar lebih tepat sasaran. Selain itu mekanisme serta regulasi pengelolaan dana otsus Papua sebaiknya tidak sama dengan daerah lainnya di Indonesia, namun diatur secara khusus dari turunan UU Otsus Papua dalam bentuk Peraturan Pemerintah hingga Perdasus/Perdasi.

• Pengalokasian dan pengawasandana Otsus perlu didampingi

“Penyusunan rencana pembangunan (master plan)

dan ekonomi Papua tidak lagi diukur dengan ukuran atau indikator yang sama dengan provinsi lain”

Page 19: Policy Paper - papua.lipi.go.id

Policy Paper - Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua14

masterplan dan dilakukan secara bertahap dibarengi dengan perbaikan kapasitas kelembagaan birokrasi lokal dan pengawasan yang efektif serta pemberian keluasan kewenangan pemerintah daerah. Pengawasan sebaiknya tidak hanya berupa pengawasan teknis melainkan juga substansial (kesesuaian program dengan tujuan Otsus). Oleh karena itu, perlu penguatan pengawasan substansial yang semestinya dilakukan oleh Badan Khusus dan Provinsi serta pelibatan masyarakat adat. Hal tersebut perlu didukung dengan penguatan peran MRP dalam pengawasan dengan cara diberikan kewenangan dalam mengawasi dana otsus Papua, serta penguatan kapasitas anggota MRP. Pemerintah pusat melalui sinergi Kemendagri, BPK, BPKP, Inspektorat dan Badan Khusus melakukan evaluasi secara periodik untuk melihat seberapa jauh target-target substansial telah tercapai. Dengan meningkatkan kapasitas manajemen dan partisipasi, diharapkan dapat menciptakan insentif berupa meningkatnya tingkat penerimaan politik.

Pendidikan

• Diperlukan desain pendidikan diTanah Papua yang berbasis pada kondisi geografis, demografi, sosial dan budaya yang disusun

secara dialogis dan partisipatif secara bersama oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), BAPPENAS; Kementerian Dalam Negeri; Pemerintah Provinsi; Pemerintah Kabupaten dan Kota; Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten, dan Kota; Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua; Tokoh Masyarakat Adat dan Agama, dan lembaga sosial kemasyarakatan yang bergerak di nasional dan lokal. Secara legal formal perlu ada Perdasi dan Perdasus yang mengatur mengenai kebijakan pendidikan di Tanah Papua.

• Desain Pendidikan Tanah Papuadisusun secara jangka panjang (20-25 tahun) dimulai dari perencanaan, implementasi, pendampingan, dan evaluasi. Desain tersebut kemudian diterjemahkan dalam peta jalan pendidikan perlima tahun disesuaikan dengan prioritas pembangunan daerah setiap tahunnya. Peta jalan pembangunan pendidikan meliputi peta jalan kelembagaan dan Peta Jalan Pengembangan Pendidikan Tanah Papua yang Responsif terhadap Geografis, Demografi, Sosial, dan Budaya OAP. Desain ini perlu dilengkapi dengan aturan atau kebijakan pendidikan di level pusat maupun di level provinsi dan kabupaten/kota. Untuk memastikan desain tersebut implementatif harus ada kelembagaan khusus perlu yang berfungsi mensinergikan kebijakan dan progam pendidikan di Tanah Papua. Selain itu, berbagai kebijakan

“Desain Pendidikan Tanah Papua disusun secara jangka

panjang (20-25 tahun) dimulai dari perencanaan, implementasi, pendampingan, dan evaluasi.”

Page 20: Policy Paper - papua.lipi.go.id

15Policy Paper - Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua

pendidikan juga perlu didukung oleh ketersediaan fasilitas dasar seperti listrik, air bersih, infrastruktur, pemenuhan gizi, penguatan pendidikan di level keluarga dan kampung.

• Pemerintah pusat, provinsi, dankabupaten/kota harus segera melakukan penambahan guru-guru sekolah dasar sampai sekolah menegah atas terutama di sekolah-sekolah di daerah terpencil, terisolir. Untuk mendukung penambahan guru, pemerintah pusat dan daerah perlu mengoptimalkan pendidikan guru dan tenaga pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Cendrawasih, Universitas Papua, maupun perguruan tinggi lain yang ada di Tanah Papua. Merujuk pasal 22 UU Guru dan Dosen No. 14/2005 dapat dilakukan pola ikatan dinas bagi calon guru untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan di daerah. Dalam konteks pendidikan guru dan tenaga pendidikan perlu memetakan jumlah kekurangan guru di berbagai kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat dan kemudian merancang grand desain penyiapan guru untuk mengisi kekosongan guru di Tanah Papua.

• Pemerintahperlumemberirekognisiberbagai alternatif pendidikan yang dikembangkan oleh masyarakat. Pola pendidikan mulai dari sekolah kampung, pendidikan masyarakat adat, sekolah adat ataupun berbagai program pendidikan yang digagas oleh masyarakat.

Kesehatan

• Intervensi program dan kegiatanyang bersifat promotif dan preventif untuk mengatasi berbagai persoalan dan tantangan penyediaan layanan kesehatan baik terkait sosial-budaya (adat, kepercayaan dan keyakinan) dan sistem sosial di masyarakat, isu gender (posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat), otonomi perempuan, maupun akses.

• Perludisusunkebijakandanprogramyang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dimulai dengan penyusunan desain kesehatan dan dilanjutkan dengan peta jalan (Road Map) kebijakan dan program yang melibatkan pemerintah dan masyarakat. Penyelesaian masalah dan tantangan dari hulu ke hilir untuk meningkatkan pemanfaatan layanan kesehatan di Tanah Papua. Penyelesaian tersebut perlu dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, dinas kesehatan, tokoh masyarakat dan tokoh adat, akademisi dan mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi.

• Penambahan tenaga-tenaga medisbaik dokter dan perawat di daerah-daerah terpencil dan terisolir. Penambahan tersebut tidak harus

“Pemerintah perlu memberi rekognisi berbagai alternatif

pendidikan yang dikembangkan oleh masyarakat.”

Page 21: Policy Paper - papua.lipi.go.id

Policy Paper - Pembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua16

melalui pendidikan formal, tetapi juga dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat lokal (perempuan dan gereja). Pemerintah provinsi memiliki kewenangan untuk memperbanyak sekolah-sekolah perawat yang memiliki kualifikasi khusus termasuk penguasaan budaya Papua.

Perlindungan hak politik

• Pemerintah pusat perlu memberikan otonomi yang lebih luas bagi Papua dalam hal penentuan kebijakan lokal, terutama terkait perdasus. Kekhawatiran pemerintah pusat terhadap perkembangan separatisme yang berlebihan seharusnya tidak menghalangi inovasi dan ekspresi masyarakat Papua. Selain itu, dalam hal pemberian otonomi penentuan kebijakan lokal pemerintah pusat perlu lebih memperhatikan bagaimana ketentuan khusus bekerja daripada membatasinya dengan aturan-aturan yang bersifat umum.

• Terkaitdenganpemilihangubernur,melalui UU atau PP, pemerintah pusat perlu mendukung Otsus dengan membuka partisipasi masyarakat Papua secara lebih luas melalui pencalonan independen. Selain itu, reformulasi sistem pemilihan kepala daerah juga perlu dipertimbangkan apakah diperlukan penggunaan sistem yang kompleks dengan mengadopsi sistem Noken secara simultan. Akomodasi sistem

Noken merupakan bagian dari rekognisi praktik tradisional lokal. Jika sistem ini tetap dipertahankan, penggunaannya perlu diatur secara formal dalam aturan khusus (minimal Perdasus). Termasuk di dalamnya adalah instrumen untuk memastikan bahwa sistem Noken tidak mudah digunakan oleh aktor politik lokal sebagai alat manipulasi dan mobilisasi suara.

• KetentuanmengenaiMRPdidalamUU dan peraturan dibawahnya (PP dan perdasus/perdasi) perlu diperbaiki dengan menghilangkan atau mengurangi intervensi pemerintah dalam penentuan anggota MRP. Perbaikan struktur perwakilan juga perlu diperbaiki dengan benar-benar memperhatikan ketersediaan lembaga perempuan di setiap wilayah pemilihan, jumlah dan aliran kelompok agama, dan persebaran kelompok adat.

• KetentuanmengenaikursikhususdiDPR provinsi dan kabupaten/kota perlu diatur kembali secara jelas baik di peraturan pemerintah maupun peraturan daerah khusus. Pengaturan diarahkan untuk menjamin bahwa kursi ini benar-benar mewakili masyarakat Papua dari unsur non-partai politik. Mekanisme pengangkatan atau pemilihan anggota legislatif lokal untuk kursi khusus harus memperhatikan independensi (bebas dari intervensi negara dan penguasan lokal) dan keadilan representasi dari lembaga-lembaga adat utama yang ada di Papua. Selain itu, pengaturan mengenai kedudukan, hak, dan tanggungjawab kursi khusus di parlemen lokal harus memperhatikan kesetaraan hak politik.

“Pemerintah pusat perlu memberikan otonomi yang lebih

luas bagi Papua dalam hal penentuan kebijakan lokal, terutama terkait perdasus.”

Page 22: Policy Paper - papua.lipi.go.id

Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPSK-LIPI) Gedung Sasana Widya Sarwono LIPI, Lt. IIIJl. Jend. Gatot Subroto KAV-10, Jakarta 12710 - INDONESIATlp. / fax : 021 - 522 5711 ext : 1299 & 1292 | Website: https://ipsk.lipi.go.id

Diterbitkan oleh:

Policy PaperPembenahan Otonomi Khusus untuk Penyelesaian Konflik Papua