PENGENDALIAN INVENTORY UNTUK PROBLEM...

15
PENGENDALIAN INVENTORY UNTUK PROBLEM MULTI ECHELON MULTI DEMAND CLASSES PRODUCT DENGAN MEMPERTIMBANGKAN LOST SALES DAN BACKORDER Ratna Puspita Sari ; Suparno Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email: [email protected] ; [email protected] ABSTRAK Fokus permasalahan pada penelitian ini adalah mengenai pengendalian inventory single product dengan sistem distribusi multi eselon serta terdapat beberapa kelas permintaan. Salah satu permasalahan yang muncul adalah tingginya biaya inventory karena adanya tingkat persediaan yang tinggi untuk melayani permintaan dari beberapa kelas dengan target fillrate yang berbeda-beda. Penelitian dilakukan di PT. Gold Coin Indonesia yang bergerak di bidang produksi pakan ternak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh alternatif kebijakan inventory dalam pemenuhan order yang meminimumkan inventory cost dengan mempertimbangkan lost sales dan backorder. Kebijakan yang digunakan adalah rationing policy dengan mempertimbangkan demand end customer yang terjadi di retailer serta demand masing-masing retailer di warehouse. Selanjutnya akan dilakukan simulasi untuk mengetahui biaya inventory serta fillrate masing-masing retailer untuk dibandingkan dengan aturan first come first served yang selama ini digunakan perusahaan amatan. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai reserve stock untuk kelas 1 sebesar 4 batch dan untuk kelas 2 sebesar 18 batch serta nilai reorder point sebesar 22 batch. Dari hasil simulasi yang dilakukan diketahui bahwa kebijakan rationing policy memiliki total cost yang lebih baik. Kata kunci : Inventory, rationing policy, simulasi ABSTRACT The focus of this research is about single product inventory control with multi echelon distribution system and multi demand classes. One of the problems is high inventory cost that is caused by high inventory level to fulfill demand at different class and targeted fillrate. Order fulfillment process with demand classes study case for this research is conducted at PT. Gold Coin Indonesia. The objective of this research is a better policy of order fulfillment process with shortage behavior consideration and minimized total inventory cost. The policy proposed is rationing policy with end customer’s demand at retailer and retailer’s demand at warehouse consideration. Then simulation is used to compare total inventory cost and fillrate of each retailer between rationing policy and first come first served regulation. Based on the calculation reserve stock for each class are known, 4 batches for class 1 and 18 batches for class 2 with reorder point of 22 batches. Based on this result rationing policy is better than first come first served regulation since it able to have lower total inventory cost. Keywords : inventory, rationing policy, simulation 1. Pendahuluan Semakin berkembangnya dunia industri menuntut industri-industri yang ada baik yang bergerak di bidang manufaktur maupun jasa berlomba lomba untuk tetap bertahan dan bisa bersaing dengan industri sejenis. Semakin ketatnya persaingan industri tersebut menuntut semua pelaku industri untuk melakukan strategi jitu guna meningkatkan performansinya. Untuk bisa bersaing dengan industri sejenis bisa dilakukan dengan meningkatkan service atau pelayanan terhadap konsumen. Peningkatan pelayanan tersebut bisa dicapai dengan ketersediaan barang atau produk jadi sehingga perusahaan bisa selalu memenuhi kebutuhan konsumen . Ketersediaan barang erat kaitannya dengan pengendalian inventory. Pengendalian inventory adalah hal yang penting untuk diperhatikan karena investasi untuk inventory memerlukan biaya yang sangat besar. Proses pengendalian inventory baik raw material, WIP, ataupun produk jadi yang tepat akan mempengaruhi service level perusahaan dalam melayani customer. Service level yang dimaksud dalam hal ini adalah ketersediaan produk atau barang saat dibutuhkan konsumen. Perusahaan dengan sistem distribusi yang multi eselon seharusnya memiliki sistem inventory yang tepat dan sesuai sehingga bisa meminimumkan biaya inventori. Tujuan utama dari pengendalian

Transcript of PENGENDALIAN INVENTORY UNTUK PROBLEM...

PENGENDALIAN INVENTORY UNTUK PROBLEM MULTI ECHELON MULTI

DEMAND CLASSES PRODUCT DENGAN MEMPERTIMBANGKAN

LOST SALES DAN BACKORDER

Ratna Puspita Sari ; Suparno Jurusan Teknik Industri

Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya

Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111

Email: [email protected] ; [email protected]

ABSTRAK Fokus permasalahan pada penelitian ini adalah mengenai pengendalian inventory single product

dengan sistem distribusi multi eselon serta terdapat beberapa kelas permintaan. Salah satu permasalahan yang

muncul adalah tingginya biaya inventory karena adanya tingkat persediaan yang tinggi untuk melayani

permintaan dari beberapa kelas dengan target fillrate yang berbeda-beda. Penelitian dilakukan di PT. Gold

Coin Indonesia yang bergerak di bidang produksi pakan ternak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

memperoleh alternatif kebijakan inventory dalam pemenuhan order yang meminimumkan inventory cost

dengan mempertimbangkan lost sales dan backorder. Kebijakan yang digunakan adalah rationing policy

dengan mempertimbangkan demand end customer yang terjadi di retailer serta demand masing-masing

retailer di warehouse. Selanjutnya akan dilakukan simulasi untuk mengetahui biaya inventory serta fillrate

masing-masing retailer untuk dibandingkan dengan aturan first come first served yang selama ini digunakan

perusahaan amatan. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai reserve stock untuk kelas 1 sebesar 4 batch dan

untuk kelas 2 sebesar 18 batch serta nilai reorder point sebesar 22 batch. Dari hasil simulasi yang dilakukan

diketahui bahwa kebijakan rationing policy memiliki total cost yang lebih baik.

Kata kunci : Inventory, rationing policy, simulasi

ABSTRACT The focus of this research is about single product inventory control with multi echelon distribution

system and multi demand classes. One of the problems is high inventory cost that is caused by high inventory

level to fulfill demand at different class and targeted fillrate. Order fulfillment process with demand classes

study case for this research is conducted at PT. Gold Coin Indonesia. The objective of this research is a

better policy of order fulfillment process with shortage behavior consideration and minimized total inventory

cost. The policy proposed is rationing policy with end customer’s demand at retailer and retailer’s demand

at warehouse consideration. Then simulation is used to compare total inventory cost and fillrate of each

retailer between rationing policy and first come first served regulation. Based on the calculation reserve

stock for each class are known, 4 batches for class 1 and 18 batches for class 2 with reorder point of 22

batches. Based on this result rationing policy is better than first come first served regulation since it able to

have lower total inventory cost.

Keywords : inventory, rationing policy, simulation

1. Pendahuluan

Semakin berkembangnya dunia industri

menuntut industri-industri yang ada baik yang

bergerak di bidang manufaktur maupun jasa

berlomba lomba untuk tetap bertahan dan bisa

bersaing dengan industri sejenis. Semakin

ketatnya persaingan industri tersebut menuntut

semua pelaku industri untuk melakukan

strategi jitu guna meningkatkan

performansinya. Untuk bisa bersaing dengan

industri sejenis bisa dilakukan dengan

meningkatkan service atau pelayanan terhadap

konsumen. Peningkatan pelayanan tersebut

bisa dicapai dengan ketersediaan barang atau

produk jadi sehingga perusahaan bisa selalu

memenuhi kebutuhan konsumen .

Ketersediaan barang erat kaitannya dengan

pengendalian inventory. Pengendalian

inventory adalah hal yang penting untuk

diperhatikan karena investasi untuk inventory

memerlukan biaya yang sangat besar. Proses

pengendalian inventory baik raw material,

WIP, ataupun produk jadi yang tepat akan

mempengaruhi service level perusahaan dalam

melayani customer. Service level yang

dimaksud dalam hal ini adalah ketersediaan

produk atau barang saat dibutuhkan

konsumen. Perusahaan dengan sistem

distribusi yang multi eselon seharusnya

memiliki sistem inventory yang tepat dan

sesuai sehingga bisa meminimumkan biaya

inventori. Tujuan utama dari pengendalian

inventory sendiri adalah untuk mendapatkan

jumlah atau kuantitas material yang tepat d

tempat yang tepat, waktu yang tepat, dan

dengan biaya yang minimum (Tersine,1994).

Pengendalian inventory dapat dilakukan

dengan strategi yang bermacam macam dan

harus sesuai dengan kondisi perusahaan serta

produk yang dihasilkan. Pengendalian

inventory tersebut akan semakin rumit jika

perusahaan tersebut merupakan perusahaan

dengan sistem distribusi multi eselon serta

harus memenuhi demand dengan kelas yang

berbeda sehingga service levelnya juga harus

berbeda sesuai dengan kelas masing masing.

PT. Gold Coin Indonesia merupakan

perusahaan yang bergerak dalam produksi

pakan ternak. Perusahaan ini terletak di

Kawasan Industri Tandes - Surabaya . Produk

utama adalah pakan ternak ayam sedangkan

sebagai produk pendukung adalah pakan

ternak babi, itik, burung dan ikan. PT. Gold

Coin Surabaya sampai saat ini hanya memiliki

satu gudang saja dan melayani penjualan ke

agen agen besar ataupun retailer. Jalur

distribusi perusahaan adalah dari pabrik

menuju ke gudang dan kemudian ke berbagai

agen atau retailer yang meliputi daerah Jawa

Tengah, Jawa Timur, Bali, dan area Indonesia

Timur lainnya. Dalam proses operasionalnya

perusahaan ini memenuhi demand dengan

metode Pull system demand. Pull system

demand adalah sistem pemenuhan demand

dengan mempertimbangkan kondisi

lingkungan / eksternal atau dengan kata lain

demand ditentukan oleh konsumen sendiri.

Hal ini menyebabkan demand yang harus

dipenuhi selalu naik turun atau mengalami

fluktuasi setiap periodenya. Karena demand

yang tidak pasti tersebut akan menyebabkan

terjadinya kesulitan dalam menentukan

kebijakan inventory.

Selama ini perusahaan tidak

memperhatikan demand dari end customer

yang terjadi di retailer. Demand yang

diperhitungkan dalam sistem pengendalian

inventory perusahaan hanyalah demand dari

retailer. Permintaan dari retailer-retailer

tersebut juga tak menentu jumlahnya, kadang

sangat tinggi kadang juga sangat rendah atau

bahkan tidak ada. Berapapun yang diminta

retailer perusahaan selalu berusaha

memenuhinya. Padahal untuk perusahaan

dengan sistem distribusi multi eselon, selain

memperhitungkan demand dari eselon di

bawahnya perusahaan juga harus

memperhitungkan demand dari end customer

(Ballou,2004).

Selain itu perusahaan memenuhi

demand dari retailer secara FCFS (First Come

First Served) tanpa memperhatikan kelas dari

masing masing demand. Padahal perusahaan

sebenarnya secara tidak langsung telah

menentukan kelas dari retailernya dengan

memiliki prioritas retailer mana yang

didahulukan untuk dipenuhi demandnya saat

order datang secara bersamaan. Selain itu

target fill rate untuk masing masing kelas juga

sudah ditentukan seiring dengan adanya skala

prioritas tersebut. Namun karena sistem

pemenuhan yang berjalan selama ini maka

pembagian kelas dan target fill rate tidak

begitu diperhatikan. Hal yang bisa dilakukan

perusahaan untuk tetap bisa memenuhi

demand adalah dengan menimbun inventory

sebanyak-banyaknya. Namun penimbunan

inventory tersebut akan meningkatkan

inventory cost perusahaan meskipun dengan

timbunan inventory tersebut bisa mengurangi

terjadinya lost sales dan backorder.

Usaha yang bisa dilakukan untuk

mengatasi permasalahan di atas adalah dengan

menggunakan pendekatan METRIC-

Approximation pada Two echelon Inventory

Model with Lost sales (Andersson, 2000)

untuk mengetahui demand dari retailer dengan

mempertimbangkan lost sales. Setelah itu

untuk memenuhi demand dari retailer tersebut

dilakukan pendekatan rationing policy with

multiple demand (Arslan,2005). Konsep yang

digunakan rationing policy adalah bagaimana

inventory yang dimiliki dapat memenuhi

demand yang berasal dari kelas yang berbeda-

beda dimana tiap kelas tersebut memiliki

fillrate dan backorder cost yang berbeda-beda

pula. Pertanyaan yang harus terjawab adalah

berapa banyak inventory yang harus

disediakan untuk konsumen kelas tertentu atau

sampai level inventory berapakah konsumen

tersebut akan tetap dilayani.

Dengan menggunakan dua pendekatan

tersebut diharapakan perusahaan bisa

memperoleh kebijakan inventory yang lebih

tepat sehingga bisa meminimumkan inventory

cost dengan mempertimbangkan lost sales

yang terjadi di retailer serta backorder yang

terjadi di warehouse.

Batasan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

1. Produk yang diamati adalah produk

pakan ternak ayam petelur dalam

bentuk konsentrat 801 M-ss

2. Konsumen (dalam hal ini retailer)

adalah sebanyak 4 untuk area

pelayanan yang berbeda yang terbagi

dalam 2 (dua) kelas

3. Objek yang diteliti adalah gudang di

Surabaya

4. Data yang digunakan adalah data

permintaan selama tahun 2009.

Sedangkan asumsi yang digunakan dalam

penelitian ini adalah :

1. Shortage treatment yang terjadi di

retailer adalah lost sales, sedangkan di

warehouse adalah backorder

(Andersson,2000)

2. Besarnya order replenishment di

warehouse adalah tetap yaitu sebesar

Q unit

3. Harga produk adalah sama untuk

semua kelas dan selama penelitian

dianggap tetap

4. Tidak ada diskon untuk pembelian

dalam jumlah tertentu.

2. Metodologi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan

melakukan beberapa metode sebagai berikut:

2.1 Identifikasi Awal

Tahapan awal yang dilakukan peneliti

setelah mendapatkan topik yang ingin diteliti

adalah melakukan identifikasi awal terhadap

objek penelitian. Identifikasi awal bertujuan

untuk mengenal secara umum objek penelitian

seperti profil perusahaan, produk yang

dihasilkan, kapasitas produksi dan lainnya,

sehingga peneliti dapat menetapkan tujuan,

permasalahan dan batasan dalam penelitian

tugas akhir. Objek penelitian dalam hal ini

adalah PT. Gold Coin Indonesia, Surabaya.

Penetapan tujuan, permasalahan dan batasan

penelitian akan sangat membantu peneliti

untuk fokus pada masalah dan pemecahannya.

2.2 Studi Pustaka dan Studi Lapangan

Pada tahap ini dilakukan perumusan

kerangka teori melalui studi pustaka yang

menunjang terhadap penelitian ini baik dari

buku, jurnal, artikel, dan sumber-sumber

lainnya. Studi pustaka sebagai landasan acuan

dan batasan dalam melakukan penyelesaian

serta mempermudah dalam melakukan

pendekatan dalam pemecahan masalah

penelitian. Beberapa teori tdalam penelitian ini

antara lain biaya inventory, klasifikasi

inventory, shortage treatment, kebijakan

replenishment, EOQ, dan lainnya.

Studi lapangan digunakan sebagai

tahapan sebelum melakukan pendekatan

rationing policy sebagai solusi yang sesuai

dengan kondisi di lapangan dengan studi

literatur yang dilakukan terkait dengan

rationing policy dan pengendalian inventory

untuk perusahaan multi eselon. Studi lapangan

ini bertujuan untuk memahami kondisi aktual

dan proses bisnis terkait dengan kebijakan

pemenuhan pesanan yang terjadi di obyek

penelitian.

2.3 Menentukan Kebijakan Inventory

Berdasarkan Sistem Eksisting

Perusahaan

Pada tahap ini yang dilakukan adalah

menirukan kebijakan inventory untuk

warehouse sesuai dengan sistem eksisting

yang berjalan di perusahaan. Pertama tama

yang dilakukan adalah menghitung quantity

order (Q) untuk warehouse. Selain itu juga

menentukan safety stock untuk warehouse dan

juga reorder point. Setelah itu baru dilakukan

simulasi untuk dapat menghitung total cost

inventory sehingga bisa dibandingkan dengan

kebijakan inventory yang menggunakan

konsep rationing policy.

2.4 Menentukan Demand Rate End

Customer yang Terjadi di Retailer

Pada tahap ini yang dilakukan adalah

menentukan probabilitas terjadinya lost sales

pada retailer dengan menggunakan

pendekatan METRIC-Approximation. Setelah

probabilitas lost sales diketahui maka langkah

selanjutnya adalah menghitung demand yang

dapat terpenuhi di retailer . Demand inilah

yang nantinya digunakan sebagai inputan

untuk menentukan reserve stock untuk

masing-masing kelas permintaa.

2.5 Menentukan Reserve Rtock dan

Reorder Point untuk Masing-Masing

Kelas di Warehouse

Pada tahap ini sudah masuk tahap

rationing policy yaitu menetukan reserve stock

yang harus disediakan untuk masing masing

kelas. Inputan yang dibutuhkan pada metode

ini antara lain demand rate, target fillrate,

jumlah kelas, lead time, dan EOQ. Demand

rate disini diperoleh dari perhitungan demand

yang terpenuhi di retailer dengan

menggunakan pendekatan METRIC

Approximation. Untuk ROP akan dihitung

setelah reserve stock untuk masing masing

kelas diketahui karena ROP dapat diperoleh

dengan penjumlahan reserve stock untuk

semua kelas permintaan. Selain itu critical

level untuk masing masing kelas juga dapat

diketahui setelah reserve stock didapatkan.

Untuk menentukan reserve stock dan ROP

digunakan algoritma Arslan (2005).

Setelah itu dilakukan simulasi untuk

mengevaluasi kebijakan inventory yang

diperoleh. Simulasi ini dilakukan untuk

mengetahui performansi dari parameter-

parameter yang dihasilkan dalam situasi yang

hampir sama dengan kondisi eksisting. Dari

simulasi tersebut dapat diketahui total

inventory cost dengan mempertimbangkan

backorder yang terjadi di warehouse serta lost

sales di retailer. Dalam simulasi inventory ini

yang digunakan sebagai inputan demand

adalah demand masing-masing retailer yang

terjadi di gudang.

2.6 Perbandingan Cost dan Parameter

Inventory

Setelah dilakukan perhitungan maupun

simulasi baik dengan menggunakan rationing

policy ataupun pada kondisi eksisting

perusahaan maka akan dilakukan

perbandingan untuk total cost dan parameter

inventory seperti ketersediaan barang dan

pemenuhan pesanan dari masing masing

pelanggan. Dari perbandingan kedua metode

tersebut akan diketahui mengenai jumlah total

inventory yang lebih tepat untuk gudang.

2.7 Analisa dan Interpretasi Data

Analisa yang dilakukan adalah analisa

terhadap hasil perhitungan demand yang

terjadi di retailer dengan menggunakan model

METRIC-Approximation yang dikembangkan

Andersson (2000). Selanjutnya adalah

menganalisa hasil perhitungan reserve stock

dan biaya yang terjadi di warehouse dengan

menggunakan konsep Rationing policy dengan

menggunakan algoritma Arslan (2005).

Setelah itu menganalisa hasil perbandingan

yang telah dilakukan melalui simulasi antara

kebijakan inventory menggunakan rationing

policy dengan mempertimbangkan lost sales

yang terjadi di retailer serta backorder yang

terjadi di warehouse terhadap kebijakan

inventory eksisting di perusahaan amatan.

2.8 Kesimpulan dan Saran

Setelah analisa dilakukan, dapat

diperoleh kesimpulan dari penelitian mengenai

inventory management ini, dan juga diajukan

beberapa saran atau rekomendasi perbaikan

untuk perusahaan amatan dalam menentukan

kebijakan inventory.

3. Pengumpulan dan Pengolahan Data

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai

data-data yang dperlukan dalam melakukan

penelitian tugas akhir ini dan bagaimana data-

data tersebut diolah untuk memenuhi tujuan

dari penelitian.

3.1 Gambaran Umum Perusahaan

GOLD COIN merupakan perusahaan

termaju dalam bidang pakan ternak di kawasan

Asia Tenggara sejak tahun 1954 dengan

standard internasional yang didukung oleh

management modern. Dalam rangka

menunjang kebutuhan para peternak di

kawasan Asia Tenggara akan apakn ternak

yang berkualitas tinggi, Gold Coin telah

memperluas cakrawala pemasarannya dengan

membangun pabrik-pabrik pakan ternak dan

pembibitan unggas di berbagai negara antara

lain : Singapura, Malaysia, Hongkong, RRC,

dan Indonesia.

Di Indonesia, Gold Coin pada tahun

1979 telah merintis pembangunan pabrik-

pabrik pakan ternak dan pembibitan unggas di

Bekasi (Jawa Barat), di medan (Sumatera

Utara), dan di Surabaya (Jawa Timur) di

bawah manajemen Gold Coin Indonesia. Pada

tahun 1981, mulailah beroperasi pabrik yang

terletak di Bekasi yang dilengkapi dengan

fasilitas-fasilitas mutakhir seperti computer,

laboratorium, silo, dan sebagainya. Pada tahun

1982, pabrik yang terletak di Medan mulai

beroperasi untuk melayani peternak di wilayah

Sumatera Utara dan sekitarnya. Pada bulan

Mei 1985, pabrik di Surabaya telah beroperasi

untuk melayani para peternak di wilayah Jawa

Tengah, Jawa timur, Bali, dan area Indonesia

Timur lainnya.

Pada dasarnya PT.Gold Coin Indonesia

memproduksi dua jenis pakan ternak, yaitu

pakan ternak komplit dan pakan ternak

konsentrat. Masing masing jenis tersebut

dibagi lagi menjadi beberapa macam yaitu

pakan ternak ayam, itik, ikan, babi, dan

burung. Dari macam pakan ternak tersebut

dibedakan lagi ke dalam beberapa kode. Kode

kode tersebut membedakan kandungan yang

ada dalam pakan ternak. Pada penelitian ini,

yang menjadi objek amatan adalah pakan

ternak ayam petelur dalam bentuk konsentrat

dengan kode 801 Mss. Di mana jenis pakan

ternak ini adalah pakan ternak yang paling

banyak diminati oleh konsumen. Permintaan

akan apakn ternak 801 Mss ini selalu

meningkat dari tahun ke tahun.

3.2 Pengumpulan Data

Pada tahap ini, dilakukan pengumpulan

beberapa data yang dibutuhkan dan

berhubungan dengan penelitian ini.

Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai

macam cara antara lain pengumpulan data

sekunder, brainstorming, dan juga wawancara

dengan pihak-pihak yang terkait dengan obyek

penelitian. Beberapa data yang dikumpulkan

untuk penelitian ini antara lain data

permintaan untuk masing masing retailer serta

data permintaan end customer yang terjadi di

masing masing retailer, lead time baik dari

pabrik ke gudang maupun dari gudang ke

masing-masing retailer, biaya pemesanan,

biaya penyimpanan, shortage cost, target

fillrate, dan lain sebagainya. Dalam penelitian

ini, retailer yang dipakai adalah retailer yang

berada dalam area pelayanan Jawa Timur 1

yaitu yang meliputi wilayah Surabaya,

Malang, dan Bojonegoro.

3.3 Kebijakan Eksisting Perusahaan

(Menggunakan Aturan First Come

First Served)

Pada kebijakan ini, permintaan yang

datang akan terus dilayani tanpa membedakan

asal kelasnya dan selama persediaan di gudang

masih ada. Pada sub bab ini dilakukan

perhitungan nilai EOQ dan ROP di gudang.

Perhitungan dilakukan dengan menggunakan

demand masing-masing retailer yang terjadi di

gudang. Besar EOQ dan Reorder point dari

semua kelas akan dijadikan satu sehingga

didapatkan nilai secara keseluruhan.

3.4 Simulasi Sistem Inventory

Menggunakan Aturan First Come

First Served

Proses simulasi ini dilakukan

menggunakan pemrograman Visual Basic

Excel. Pada simulasi ini, proses pemenuhan

demand dilakukan secara terus menerus

selama masih ada inventory tanpa

memperhatikan kelas permintaan. Permintaan

yang terjadi berasal dari 2 kelas permintaan

dengan 4 retailer. Simulasi ini akan dilakukan

selama 1 tahun di mana dalam satu tahun

terdiri dari 313 periode dan akan dilakukan

replikasi sebanyak 5 kali. Komponen yang

digunakan dalam simulasi ini antara lain

demand per periode, shortage cost, holding

cost, EOQ, dan nilai ROP yang diasumsikan

sebagai inventory awal. Demand diperoleh

dengan cara generate random berdasarkan

distribusi normal. Hal ini didasarkan dari hasil

fitting distribusi untuk data permintaan

masing-masing retailer dengan menggunakan

software Input Analyzer pada Arena 5.0. Dari

hasil fitting distribusi tersebut diketahui bahwa

data permintaan retailer berdistribusi normal.

Demand rate untuk masing-masing retailer

disajikan pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Demand rate masing-masing Retailer

No. RetailerMean

(batch/hari)

StdDev

(batch/hari)

1 Asia 5 7

2 Cahaya Baru 5 6

3 Eggindo 4 4

4 Murah Jaya 6 9 Kemudian nantinya akan dihitung biaya

inventory yang terjadi yaitu biaya pemesanan,

biaya penyimpanan, biaya backorder, serta

biaya totalnya, serta fillrate untuk masing-

masing retailer. Simulasi yang digunakan

ialah simulasi sistem persediaan dengan

menggunakan metode continous review (s, Q).

3.5 Rationing Policy

Pada bagian ini akan dilakukan

pengolahan data dengan menggunakan

kebijakan Rationing Policy. Dimana dalam

kebijakan ini akan dihitung besarnya reserve

stock untuk masing-masing kelas permintaan

dan reorder point. Langkah pertama yang

harus dilakukan ialah menghitung besarnya

ukuran pemesanan, dimana dalam penelitian

ini digunakan rumus Economic Order

Quantity (EOQ).

3.5.1 Penentuan demand rate yang terjadi di

masing-masing retailer

Perhitungan demand rate yang terjadi di

retailer ini menggunakan Erlang’s loss

formula yang terdapat pada METRIC-

Approximation. Inputan data yang dibutuhkan

dalam perhitungan ini antara lain demand rate

end customer yang terjadi di masing-masing

retailer, lead time dari gudang ke masing-

masing retailer, serta level inventory per

periode pada masing-masing retailer. Dari

perhitungan ini nantinya akan diperoleh

demand rate end customer pada masing-

masing retailer yang lost sales maupun yang

dapat dipenuhi. Selanjutnya demand rate end

customer yang dapat dipenuhi tersebut akan

digunakan sebagai inputan untuk mencari

reserve stock untuk masing-masing kelas

permintaan pada kebijakan rationing policy.

Demand rate end customer pada

masing-masing retailer diperoleh dengan cara

melakukan fitting distribusi data permintaan

end customer pada masing-masing retailer

menggunakan software input analyzer Arena

5.0. Dari hasil fitting distribusi tersebut

diketahui bahwa demand end customer

berdistribusi poisson dengan rata-rata demand

per hari pada retailer Asia, Cahaya Baru,

Eggindo, Murah Jaya secara urut sebesar 5, 5,

3, dan 5 dalam satuan batch per hari. Seperti

yang telah disebutkan sebelumnya,

perhitungan dilakukan dengan menggunakan

Erlang’s Loss Formula dimana dari

perhitungan ini nantinya bisa diperoleh

probabilitas jumlah demand yang lost sales

sehingga bisa diketahui probabilitas jumlah

demand yang terpenuhi. Jumlah demand yang

terpenuhi tersebut nantinya akan dipakai

sebagai inputan dalam kebijakan rationing

policy. Data-data yang dibutuhkan untuk

menentukan demand rate end customer pada

masing-masing retailer dengan

mempertimbangkan lost sales disajikan pada

tabel 4.2. Tabel 4.2 Data untuk Perhitungan Demand rate

dengan mempertimbangkan lost sales

RetailerDemand Rate

(batch) /hari

Lead time

(hari)

Base stock level

(batch )

Asia PS 5 1 6

Cahaya Baru PS 5 1 6

Eggindo PS 3 1 4

Murah Jaya PS 5 1 7 Dari hasil perhitungan dapat diketahui

demand rate end customer yang dapat

terpenuhi pada masing-masing retailer. Hasil

perhitungan menggunakan Erlang’s Loss

Formula untuk menentukan demand rate end

customer yang terpenuhi pada masing-masing

retailer disajikan pada tabel 4.3. Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Demand rate end

customer yang dapat Terpenuhi di masing-masing

Retailer

RetailerDemand Rate

(batch) /hari

probabilitas Lost sales

yang diharapkan

(batch /hari)

Demand yang dapat

terpenuhi

(batch/hari )

Asia PS 5 0,181900148 3,98

Cahaya Baru PS 5 0,159767459 3,84

Eggindo PS 3 0,085951041 2,92

Murah Jaya PS 5 0,258971618 3,91 Dari hasil perhitungan di atas maka

dapat diketahui demand rate untuk masing-

masing kelas permintaan dengan

menjumlahkan demand rate end customer dari

retailer yang termasuk dalam kelas permintaan

yang sama. Sehingga dapat diperoleh hasil

sebagai berikut : Tabel 4.4 Demand rate masing-masing Kelas

Permintaan

Kelas Permintaan Demand Rate (batch) /hari

1 8

2 7 Berdasarkan tabel 4.6 maka dapat

diketahui demand rate untuk masing-masing

kelas permintaan. Kemudian demand rate

tersebut akan digunakan sebagai inputan untuk

menentukan reserve stock masing-masing

kelas permintaan pada kebijakan Rationing

Policy.

3.5.2 Penentuan reserve stock dan reorder

point

Reserve stock untuk tiap-tiap kelas

permintaan akan ditentukan dengan

menggunakan Algoritma Arslan (2005).

Reserve stock ini digunakan untuk memenuhi

permintaan selama lead time dimana reserve

stock untuk kelas tertentu sudah

mempertimbangkan permintaan dari kelas di

atasnya. Adapun algoritma yang digunakan

adalah sebagai berikut :

1. Menentukan reserve stock dan fillrate

untuk stage N

:

Dengan i = N-1

2. Menentukan reserve stock dan fillrate

untuk stage i :

a. Jika

b. Jika

3. Stop jika i:=1. Sebaliknya gunakan

i:=i-1 dan ulangi Step 2 Input data yang dibutuhkan dalam perhitungan

reserve stock ini antara lain jumlah kelas

permintaan (N), Lead time (L), demand rate

masing masing kelas (λN), fillrate target

masing-masing kelas permintaan (βN), order

quantity (Q), dan yang terakhir adalah jumlah

loop yang digunakan.

Setelah mengetahui besarnya nilai

inputan, maka berdasarkan algoritma Arslan

(2005) dapat diketahui besarnya reserve stock

untuk masing-masing kelas permintaan.

Berikut ini adalah hasil perhitungan reserve

stock untuk masing-masing kelas permintaan

( ) :

= 4

= 18

Setelah diperoleh nilai reserve stock

untuk masing-masing kelas permintaan, maka

dapat diketahui nilai critical level untuk

masing-masing kelas. nilai critical level

sendiri merupakan batas pemenuhan

permintaan dari masing-masing kelas. Berikut

ini adalah nilai critical level dari hasil

perhitungan :

C1 = 4

C2 = 22

Dari nilai critical level tersebut dapat

diketahui bahwa kelas 2 akan dilayani jika

nilai inventory level > 4, sedangkan kelas 1

akan terus dilayani sampai inventory level = 0.

Setelah diketahui nilai reserve stock

untuk masing-masing kelas permintaan maka

dapat dihitung nilai ROP yaitu :

= 4 + 18

= 22 batch

3.6 Simulasi Sistem Inventory

Menggunakan Kebijakan Rationing

Policy

Proses simulasi sistem inventory

menggunakan kebijakan rationing policy ini

dilakukan dengan menggunakan pemrograman

Visual Basic Excel sama dengan simulasi

sistem inventory menggunakan aturan first

come first served. Simulasi ini akan dilakukan

selama 1 tahun atau 313 periode dengan 5 kali

replikasi. Komponen yang digunakan dalam

simulasi ini antara lain demand per periode,

shortage cost, holding cost, EOQ, nilai batas

pemenuhan demand atau critical level, dan

nilai ROP yang diasumsikan sebagai inventory

awal. Demand diperoleh dengan cara generate

random berdasarkan distribusi normal. Hal ini

didasarkan dari hasil fitting distribusi untuk

data permintaan masing-masing retailer

dengan menggunakan software Input Analyzer

pada Arena 5.0. Berikut ini adalah tabel

demand rate masing-masing retailer yang

digunakan pada simulasi sistem inventory

menggunakan kebijakan Rationing Policy :

Tabel 4.5 Demand rate masing-masing Retailer

No. RetailerMean

(batch/hari)

StdDev

(batch/hari)

1 Asia 5 7

2 Cahaya Baru 5 6

3 Eggindo 4 4

4 Murah Jaya 6 9 Perbedaan antara simulasi sistem

inventory menggunakan aturan first come first

served dengan simulasi sistem inventory

menggunakan kebijakan rationing policy ini

antara lain terletak pada nilai ROP dan cara

pemenuhan demandnya. Pada rationing policy,

proses pemenuhan demand tetap didasarkan

pada urutan kedatangan namun dengan

memperhatikan batas pemenuhan demand tiap

kelasnya atau critical level. Sebelum

memenuhi demand dilakukan pengecekan

terlebih dahulu pada on hand inventory. Jika

on hand inventory masih di atas batas

pemenuhan demand pada kelas tersebut maka

demand akan langsung dipenuhi. Namun jika

on hand inventory berada di bawah batas

pemenuhan demand maka permintaan tersebut

akan dibackorder.

Kemudian nantinya akan dihitung biaya

inventory yang terjadi yaitu biaya pemesanan,

biaya penyimpanan, biaya backorder, biaya

total, serta fill rate untuk masing-masing

retailer. Simulasi yang digunakan ialah

simulasi sistem persediaan dengan

menggunakan metode continous review (s, Q).

3.7 Perbandingan Hasil Running

Simulasi

Pada sub bab ini akan dibandingkan

hasil running simulasi inventory antara

skenario first come first served dan rationing

policy. Parameter inventory yang

dibandingkan antara lain total order cost, total

holding cost, total backorder cost, dan grand

total cost dari masing-masing retailer pada

setiap replikasinya. Selain itu juga akan

dibandingkan parameter fillrate untuk masing-

masing retailer pada setiap replikasi.

Perbandingan total order cost masing-masing

retailer pada simulasi inventory baik untuk

skenario first come first served maupun

rationing policy disajikan pada tabel 4.6 dan

gambar 4.1.

Tabel 4.6 Perbandingan Total Order Cost untuk

masing-masing Kebijakan

FCFS Rationing Policy

1 1 26100000 24600000

2 2 24150000 24750000

3 3 25350000 24450000

4 4 25350000 24000000

5 5 25650000 23850000

25320000 24330000

No. ReplikasiTotal Order Cost

Rata-rata

Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Total

Order Cost untuk masing-masing Kebijakan

Perbandingan berikutnya adalah

perbandingan antara total holding cost untuk

masing-masing skenario. Di mana telah

disebutkan sebelumnya bahwa total holding

cost diperoleh dari perkalian antara jumlah

inventory akhir dengan biaya penyimpanan per

item per peiodenya. Perabandingan total

holding cost untuk masing-masing skenario

disajikan pada tabel 4.7 dan gambar 4.2.

Tabel 4.7 Perbandingan Total Holding Cost untuk

masing-masing Kebijakan

FCFS Rationing Policy

1 1 36887040 24600000

2 2 36967680 24750000

3 3 36011520 24450000

4 4 35763840 24000000

5 5 35236800 23850000

36173376 24330000

No. ReplikasiTotal Holding Cost

Rata-rata

Gambar 4.2 Grafik Perbandingan Total Holding

Cost untuk masing-masing Kebijakan

Selanjutnya adalah melakukan

perbandingan total backorder cost untuk

masing-masing skenario. Backorder cost

sendiri merupakan biaya yang harus

dikeluarkan saat gudang tidak mampu

memenuhi demand dari retailer. Perbandingan

total backorder cost untuk masing-masing

skenario disajikan pada tabel 4.8 dan gambar

4.3. Tabel 4.8 Perbandingan Total Backorder Cost

untuk masing-masing Kebijakan

FCFS Rationing Policy

1 1 124000 8147000

2 2 0 9352000

3 3 655000 9135000

4 4 427000 5797000

5 5 72000 7684000

255600 8023000

No. ReplikasiTotal Backorder Cost

Rata-rata

Gambar 4.3 Grafik Perbandingan Total Holding

Cost untuk masing-masing Kebijakan

Kemudian dilakukan perbandingan

grand total cost untuk masing-masing

skenario. Di mana telah disebutkan

sebelumnya bahwa nilai grand total cost

merupakan penjumlahan dari total order cost,

total holding cost, serta total backorder cost.

Grand total cost menunjukkan total biaya

inventory yang harus dikeluarkan perusahaan

tiap periodenya. Perbandingan grand total cost

untuk masing-masing skenario disajikan pada

tabel 4.9 dan gambar 4.4. Tabel 4.9 Perbandingan Grand Total Cost untuk

masing-masing Kebijakan

FCFS Rationing Policy

1 1 63111040 52463482

2 2 61117680 53786804

3 3 62016520 53413806

4 4 61540840 40198128

5 5 60958800 51935930

61748976 50359630

No. ReplikasiGrand Total Cost

Rata-rata

Gambar 4.4 Grafik Perbandingan Grand Total Cost

untuk masing-masing Kebijakan

Untuk perbandingan fill rate masing-

masing retailer pada kedua kebijakan baik

FIFS maupun Rationing Policy disajikan pada

tabel 4.10, 4.11, 4.12, dan 4.13 sedangkan

grafik perbandingannya disajikan pada gambar

4.5, 4.6, 4.7, dan 4.8. Tabel 4.10 Perbandingan Fillrate Retailer Asia

untuk masing-masing Kebijakan

FCFS Rationing Policy

1 1 1 0,945686901

2 2 1 0,942492013

3 3 0,999357533 0,952076677

4 4 0,996805112 0,974440895

5 5 0,996805112 0,971246006

0,998593551 0,957188498Rata-rata

No. Replikasi

Fillrate untuk Retailer Asia

(Kelas 1)

Gambar 4.5 Grafik Perbandingan Fillrate Retailer

Asia untuk masing-masing Kebijakan

Tabel 4.11 Perbandingan Fillrate Retailer Cahaya

Baru untuk masing-masing Kebijakan

FCFS Rationing Policy

1 1 1 0,916932907

2 2 1 0,932907348

3 3 0,999678766 0,932907348

4 4 0,996805112 0,96485623

5 5 1 0,936102236

0,999296776 0,936741214

Replikasi

Fill rate untuk Retailer Cahay Baru

(Kelas 2)No.

Rata-rata

Gambar 4.6 Grafik Perbandingan Fill rate Retailer

Cahaya Baru untuk masing-masing Kebijakan

Tabel 4.12 Perbandingan Fill rate Retailer Eggindo

untuk masing-masing Kebijakan

FCFS Rationing Policy

1 1 0,996805112 0,932907348

2 2 1 0,926517572

3 3 0,999357533 0,948881789

4 4 1 0,952076677

5 5 1 0,932907348

0,999232529 0,938658147

Fill rate untuk Retailer Eggindo

(Kelas 2)

Rata-rata

No. Replikasi

Gambar 4.7 Grafik Perbandingan Fill rate Retailer

Eggindo untuk masing-masing Kebijakan

Tabel 4.13 Perbandingan Fill rate Retailer Murah

Jaya untuk masing-masing Kebijakan

FCFS Rationing Policy

1 1 1 0,987220447

2 2 1 0,993610224

3 3 1 0,996805112

4 4 1 1

5 5 1 0,993610224

1 0,994249201

No. Replikasi

Fill rate untuk Retailer Murah Jaya

(Kelas 1)

Rata-rata

Gambar 4.8 Grafik Perbandingan Fill rate Retailer

Murah Jaya untuk masing-masing Kebijakan

4.1 Analisis Sistem Inventory

Menggunakan Aturan First Come

First served

Pada sistem inventory menggunakan

aturan First come first served demand per

periode dipenuhi berdasarkan urutan

kedatangan. Proses pemenuhan demand

dilakukan terus menerus selama on hand

inventory masih ada tanpa membedakan asal

kelas permintaan. Gudang Surabaya sebagai

objek amatan melayani 4 retailer yang terbagi

menjadi 2 kelas permintaan. Yang termasuk

dalam kelas 1 adalah retailer Asia dan Murah

Jaya sedangkan retailer Cahaya Baru dan

Eggindo termasuk dalam kelas 2. Pembagian

kelas tersebut didasarkan pada target fillrate

yang telah ditentukan oleh perusahaan. Selain

itu tiap kelas permintaan juga memiliki

penalty cost yang berbeda.

Dari perhitungan EOQ yaitu untuk

memperoleh ukuran pemesanan yang

ekonomis diperoleh nilai sebesar 822 unit atau

sama dengan 41 batch di mana tiap batch

terdiri dari 20 unit. Selain itu juga dilakukan

perhitungan ROP yaitu sebesar 845 unit atau

42 batch. Nilai ROP ini dipengaruhi oleh nilai

safety stock dan demand selama lead time.

Dari hasil perhitungan tersebut selanjutnya

dilakukan simulasi sistem inventory. Simulasi

ini dilakukan untuk mengetahui biaya

inventory yang dihasilkan serta fillrate

terhadap masing-masing retailer sehingga bisa

dilakukan perbandingan dengan hasil simulasi

sistem inventory menggunakan kebijakan

rationing policy. Pada simulasi sistem

inventory menggunakan aturan First come first

served terdapat mekanisme pemesanan sebesar

41 batch ketika on hand inventory kurang dari

atau sama dengan 42 unit. Running simulasi

dilakukan selama 1 tahun atau 313 periode.

Demand akan dipenuhi terus menerus sesuai

urutan kedatangan selama on hand inventory

masih ada. Jika demand melebihi on hand

inventory maka permintaan akan dibackorder.

Dari running simulasi sistem inventory

menggunakan aturan First come first served

dapat diketahui total biaya inventory serta

fillrate masing-masing retailer. Sehingga bisa

dilakukan perbandingan dengan total biaya

inventory yang dihasilkan serta fillrate

masing-masing retailer pada simulasi sistem

inventory menggunakan kebijakan rationing

policy.

4.2 Analisis Sistem Inventory

Menggunakan Kebijakan Rationing

policy

Perbedaan antara sistem inventory

menggunakan aturan First come first served

dengan kebijakan rationing policy adalah

sistem pemenuhan demandnya. Pada kebijakan

rationing policy selain berdasarkan urutan

kedatangan permintaan pemenuhan demand

juga didasarkan pada kelas permintaan. Seperti

yang telah disebutkan sebelumnya bahwa

terdapat 2 kelas permintaan di mana setiap

kelas memiliki target fillrate dan penalty cost

yang berbeda. Dalam kebijakan rationing

policy juga dilakukan perhitungan EOQ sama

seperti aturan First Come First served. Dari

perhitungan EOQ diperoleh ukuran ekonomis

pemesanan sebesar 822 unit atau 41 batch.

Kemudian dilakukan perhitungan untuk

memperoleh nilai reserve stock. Reserve stock

merupakan persediaan yang dialokasikan

untuk masing-masing kelas selama lead time.

Sebelum menentukan reserve stock

untuk masing-masing kelas dilakukan

perhitungan untuk mengetahui demand rate

end customer yang terjadi di masing-masing

retailer dengan mempertimbangkan lost sales.

Perhitungan tersebut dilakukan dengan

menggunakan Erlang’s Loss formula pada

METRIC Approximation. Dari hasil

perhitungan tersebut diperoleh probabilitas

lost sales di masing-masing retailer sehingga

dapat diketahui demand rate end customer

yang dapat terpenuhi di masing-masing

retailer. Demand rate tersebut kemudian

dijadikan inputan dalam menentukan reserve

stock untuk masing-masing kelas permintaan.

Seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya bahwa reserve stock untuk kelas

N dapat digunakan untuk kelas N sendiri dan

kelas di atasnya. Berdasar algoritma

Arslan,dkk (2005) yang digunakan untuk

menentukan besarnya reserve stock didapatkan

hasil untuk reserve stock kelas 1 sebesar 4 dan

kelas 2 sebesar 18. Dari nilai tersebut dapat

diketahui bahwa reserve stock untuk kelas 2

digunakan untuk memenuhi permintaan dari

kelas 2 sendiri dan permintaan dari kelas 1

sedangkan reserve stock kelas 1 digunakan

hanya untuk memenuhi permintaan dari kelas

1 saja.

Dari nilai reserve stock tersebut dapat

ditentukan batas pemenuhan kelas atau critical

level. Batasan pemenuhan ini berupa suatu

level inventory tertentu dimana apabila

inventory level sudah mencapai batas ini, maka

permintaan dari kelas yang memiliki batas

pemenuhan tersebut akan di-backorder

sedangkan sisa inventory akan digunakan

untuk memenuhi permintaan dari kelas

permintaan yang lebih tinggi. Berdasarkan

perhitungan yang telah dilakukan diperoleh

bahwa critical level untuk kelas 2 adalah

sebesar 4 batch. Hal ini berarti customer kelas

2 yaitu retailer Cahaya Baru dan Egindo akan

dipenuhi sampai level inventory mencapai 4

batch, jika permintaan datang saat level

inventory kurang dari 4 batch maka

permintaan akan di-backorder. Sedangkan

untuk customer kelas 1 yaitu retailer Asia dan

Murah Jaya akan terus dilayani sampai level

inventory mencapai 0.

Dari nilai reserve stock yang telah

diperoleh dapat ditentukan nilai ROP.

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan

diperoleh nilai ROP sebesar 22 batch. Nilai ini

diperoleh dari penjumlahan reserve stock 1

dan 2. Hal ini berarti gudang akan memesan

sebanyak 41 batch jika on hand inventory

kurang dari atau sama dengan 22 batch. Nilai

ROP pada kebijakan rationing policy ini lebih

kecil dibandingkan pada aturan First Come

First served. Hal ini memungkinkan gudang

untuk meminimalkan persediaan sehingga bisa

mencapai minimum inventory cost.

Pada kebijakan rationing policy juga

dilakukan simulasi sistem inventory selama 1

tahun atau 313 periode. Dari running simulasi

sistem inventory menggunakan kebijakan

rationing policy dapat diketahui total biaya

inventory serta fillrate masing-masing retailer.

Sehingga bisa dilakukan perbandingan dengan

total biaya inventory yang dihasilkan serta

fillrate masing-masing retailer pada simulasi

sistem inventory menggunakan aturan First

Come First served.

4.3 Analisis Perbandingan Hasil Running

Simulasi

4.3.1 Analisis Perbandingan Total Order

Cost

Total order cost merupakan total biaya

pemesanan yang dilakukan gudang selama 1

tahun. Nilai ini dipengaruhi oleh frekuensi

pemesanan. Berdasarkan hasil running

simulasi yang telah dilakukan diketahui nilai

total order cost selama 1 tahun baik untuk

aturan First come first served maupun untuk

kebijakan rationing policy. Pada tabel 4.6 dan

gambar 4.1 dapat dilihat perbandingan total

order cost dari masing-masing kebijakan.

Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat bahwa

aturan First come first served memiliki rata-

rata total order cost sebesar Rp 25.320.000,00

sedangkan untuk kebijakan rationing policy

memiliki rata-rata total order sebesar Rp

24.330.000,00.

Kebijakan rationing policy memiliki

rata-rata total order cost yang lebih rendah

dibandingkan rata-rata total order cost pada

aturan First Come First served. Hal ini bisa

disebabkan karena perbedaan nilai ROP. Nilai

ROP dari kebijakan Rationing policy lebih

kecil dibandingkan nilai ROP dari aturan First

come first served sehingga frekuensi

pemesanan pada kebijakan rationing policy

akan lebih sedikit karena titik pemesanan

kembali yang lebih rendah. Nilai ROP yang

rendah memungkinkan gudang untuk

mengurangi frekuensi pemesanan sehingga

berakibat pada total order cost yang lebih

rendah.

4.3.2 Analisis Perbandingan Total Holding

Cost

Total holding cost merupakan total

biaya yang terjadi karena adanya penyimpanan

inventory. Nilai ini dipengaruhi jumlah

inventory di akhir periode. Berdasarkan hasil

running simulasi yang telah dilakukan

diketahui nilai total holding cost selama 1

tahun baik untuk aturan First come first served

maupun kebijakan rationing policy. Pada tabel

4.7 dan gambar 4.2 dapat dilihat perbandingan

total holding cost pada masing-masing

kebijakan. Berdasarkan tabel 4.7 dapat

diketahui bahwa aturan First come first served

memiliki rata-rata total holding cost sebesar

Rp 36.173.376,00 sedangkan untuk kebijakan

rationing policy memiliki rata-rata total

holding cost sebesar Rp 24.330.000,00.

Kebijakan rationing policy memiliki

rata-rata total holding cost yang lebih rendah

dibandingkan rata-rata total holding cost pada

aturan First Come First served. Hal ini juga

bisa disebabkan karena perbedaan nilai ROP.

Nilai ROP dari kebijakan rationing policy

yang lebih rendah menyebabkan jumlah

inventory akhir yang disimpan tiap akhir

periodenya menjadi lebih rendah pula. Hal ini

sesuai dengan tujuan dari kebijakan rationing

policy sendiri yaitu untuk meminimumkan

jumlah inventory sehingga bisa

meminimumkan total cost.

4.3.3 Analisis Perbandingan Total Backorder

Cost

Total backorder cost merupakan total

biaya yang terjadi akibat ketidakmampuan

dalam memenuhi permintaan. Nilai ini

dipengaruhi oleh banyaknya shortage yang

terjadi selama periode simulasi. Dari hasil

running simulasi yang telah dilakukan dapat

diketahui total biaya backorder selama 1 tahun

baik untuk aturan First come first served

maupun untuk kebijakan rationing policy.

Pada tabel 4.8 dan gambar 4.3 dapat dilihat

perbandingan total backorder cost pada

masing-masing kebijakan. Berdasarkan tabel

4.8 dapat diketahui bahwa rata-rata total

backorder cost untuk aturan First come first

served adalah sebesar Rp 255.600,00

sedangkan rata-rata total backorder cost pada

kebijakan rationing policy adalah sebesar Rp

8.023.000,00.

Kebijakan rationing policy memiliki

rata-rata total backorder cost yang lebih tinggi

dibandingkan dengan rata-rata total backorder

cost pada aturan First Come First served. Hal

ini bisa disebabkan karena jumlah inventory

yang disediakan pada kebijakan rationing

policy lebih sedikit dibandingkan pada aturan

First Come First served. Hal ini menyebabkan

kebijakan rationing policy memiliki

kecenderungan mengalamai shortage yang

lebih besar. Selain itu adanya batas

pemenuhan demand serta urutan kedatangan

juga bisa berpengaruh pada biaya shortage

yang terjadi. Adanya batas pemenuhan

demand menyebabkan shortage pada

permintaan kelas 2 lebih banyak karena

apabila level inventory sudah mencapai batas

pemenuhan tersebut maka permintaan dari

kelas 2 akan di backorder walaupun urutan

kedatangannya lebih awal dibandingkan

customer kelas 1. Pada simulasi ini juga

terdapat kondisi di mana kedua customer dari

kelas yang sama misalnya kelas 2, hanya salah

satu customer saja yang bisa terpenuhi yaitu

yang datang lebih awal karena level inventory

saat itu sudah mencapai batas pemenuhan

demand. Kondisi-kondisi inilah yang

menyebabkan kebijakan rationing policy

mengalami shortage yang lebih banyak

dibandingkan pada aturan First Come First

served.

4.3.4 Analisis Perbandingan Grand Total

Cost

Grand total cost merupakan biaya total

yang terjadi akibat adanya penanganan

inventory. Nilai ini dipengaruhi oleh biaya-

biaya yang terjadi dalam penanganan

inventory yang terdiri dari biaya pemesanan,

biaya penyimpanan, dan biaya backorder. Dari

hasil running simulasi yang telah dilakukan

dapat diketahui biaya total selama 1 tahun baik

untuk aturan First come first served maupun

untuk kebijakan rationing policy. Pada tabel

4.9 dan gambar 4.4 dapat dilihat perbandingan

biaya total pada masing-masing kebijakan.

Berdasarkan tabel 4.9 dapat diketahui bahwa

rata-rata biaya total pada aturan First come

first served adalah sebesar Rp 61.748.976,00

sedangkan biaya total pada kebijakan

rationing policy adalah sebesar Rp

52.439.854,00.

Dari hasil tersebut dapat diketahui

bahwa rata-rata biaya total pada kebijakan

rationing policy lebih rendah dibandingkan

dengan rata-rata biaya total pada aturan First

Come First served. Hal ini disebabkan karena

biaya penyimpanan dan biaya order pada

kebijakan rationing policy lebih rendah

dibandingkan pada aturan First Come First

served. Biaya penyimpanan yang lebih rendah

disebabkan karena jumlah inventory yang

lebih sedikit sedangkan biaya order yang lebih

rendah disebabkan karena frekuensi

pemesanan yang lebih sedikit. Hal ini

merupakan salah satu kelebihn dari kebijakan

rationing policy di mana pada kebijakan ini

meminimumkan jumlah inventory sehingga

bisa meminimumkan total cost. Sedangkan

pada aturan First come first served lebih

cenderung untuk menghindari shortage

sehingga biaya backorder yang terjadi lebih

rendah. Jumlah inventory yang lebih banyak

mengakibatkan biaya penyimpanan yang lebih

besar walaupun bisa meminimumkan biaya

backorder. Dari hasil perbandingan tersebut

diketahui bahwa kebijakan rationing policy

dapat menghemat biaya persediaan sebesar

14,35% dari aturan First Come First served.

Sehingga dari segi biaya dapat dikatakan

bahwa kebijakan rationing policy lebih baik

dibandingkan aturan first come first served.

4.3.5 Analisis Perbandingan Fillrate Masing-

masing Retailer

Dari hasil running simulasi diperoleh

perbandingan fillrate pada masing-masing

retailer untuk aturan first come first served

maupun kebijakan rationing policy dapat

dilihat pada tabel 4.10, 4.11, 4.12, 4.13 serta

pada gambar 4.5, 4.6, 4.7, dan 4.8. Nilai

fillrate ini dipengaruhi oleh jumlah shortage

yang terjadi pada masing-masing retailer.

Pada tabel 4. 10 dan gambar 4.5 dapat

dilihat perbandingan fillrate untuk retailer

Asia baik pada aturan first come first served

maupun pada kebijakan rationing policy.

Beradsarkan tabel tersebut dapat diketahui

bahwa rata-rata fillrate untuk retailer Asia

pada aturan first come first served adalah

sebesar 0,9985 atau 99,85% sedangkan pada

kebijakan rationing policy adalah sebesar

0,9572 atau 95,72%. Dari hasil tersebut dapat

diketahui bahwa nilai fillrate dari retailer Asia

pada aturan first come first served lebih tinggi

jika dibandingkan pada kebijakan rationing

policy. Hal ini bisa disebabkan karena jumlah

shortage pada kebijakan rationing policy yang

lebih banyak dibandingkan pada aturan first

come first served. Hasil ini juga menunjukkan

bahwa nilai fillrate untuk retailer Asia pada

kebijakan rationing policy lebih rendah

dibandingkan target fillrate yang telah

ditentukan perusahaan yaitu sebesar 0.99 atau

99%.

Pada tabel 4.11 dan gambar 4.6 dapat

dilihat perbandingan fillrate untuk retailer

Cahaya Baru baik pada aturan first come first

served maupun pada kebijakan rationing

policy. Berdasarkan tabel tersebut dapat

diketahui bahwa rata-rata fillrate untuk

retailer Cahaya Baru pada aturan first come

first served adalah sebesar 0,9992 atau 99,92%

sedangkan pada kebijakan rationing policy

adalah sebesar 0,9367 atau 93,67%. Dari hasil

tersebut dapat diketahui bahwa nilai fillrate

dari retailer Cahaya Baru pada aturan first

come first served lebih tinggi jika

dibandingkan pada kebijakan rationing policy.

Nilai fillrate retailer Cahaya Baru pada

kebijakan rationing policy juga lebih rendah

jika dibandingkan target fillrate yang

ditetapkan perusahaan yaitu 0,97 atau 97%.

Hal ini bisa disebabkan karena adanya

mekanisme pemenuhan demand yang

memperhatikan batas pemenuhan demand

untuk kelas 2 sehingga kemungkinan

terjadinya backorder untuk kelas 2 lebih besar.

Pada tabel 4. 12 dan gambar 4.7 dapat

dilihat perbandingan fillrate untuk retailer

Eggindo baik pada aturan first come first

served maupun pada kebijakan rationing

policy. Beradsarkan tabel tersebut dapat

diketahui bahwa rata-rata fillrate untuk

retailer Asia pada aturan first come first

served adalah sebesar 0,9992 atau 99,92%

sedangkan pada kebijakan rationing policy

adalah sebesar 0,9386 atau 93,86%. Dari hasil

tersebut dapat diketahui bahwa nilai fillrate

dari retailer Eggindo pada aturan first come

first served lebih tinggi jika dibandingkan

pada kebijakan rationing policy. Hal ini bisa

disebabkan karena jumlah shortage pada

kebijakan rationing policy yang lebih banyak

dibandingkan pada aturan first come first

served. Hasil ini juga menunjukkan bahwa

nilai fillrate untuk retailer Eggindo pada

kebijakan rationing policy lebih rendah

dibandingkan target fillrate yang telah

ditentukan perusahaan yaitu sebesar 0.97 atau

97%. Seperti yang telah disebutkan

sebelumnya bahwa adanya batasan pemenuhan

demand untuk kelas 2 menyebabkan

kemungkinan terjadinya backorder untuk

kelas 2 lebih besar.

Pada tabel 4. 13 dan gambar 4.8 dapat

dilihat perbandingan fillrate untuk retailer

Murah Jaya baik pada aturan first come first

served maupun pada kebijakan rationing

policy. Beradsarkan tabel tersebut dapat

diketahui bahwa rata-rata fillrate untuk

retailer Murah Jaya pada aturan first come

first served adalah sebesar 1 atau 100%

sedangkan pada kebijakan rationing policy

adalah sebesar 0,9942 atau 99,42%. Dari hasil

tersebut dapat diketahui bahwa nilai fillrate

dari retailer Murah Jaya pada aturan first come

first served lebih tinggi jika dibandingkan

pada kebijakan rationing policy. Namun nilai

fillrate untuk retailer Murah jaya ini masih

sesuai dengan target fillrate yang ditetapkan

oleh perusahaan yaitu sebesar 0,99 atau 99%.

Berdasarka hasil perhitungan fillrate

yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa

rata-rata fillrate untuk masing-masing retailer

pada aturan first come first served selalu lebih

baik dibandingkan fillrate pada kebijakan

rationing policy. Hal ini bisa disebabkan

karena adanya batas pemenuhan demand yang

diterapkan pada kebijakan rationing policy.

Selain itu adanya pertimbangan untuk

memperhitungkan demand end customer yang

terjadi di retailer dengan mempertimbangkan

lost sales juga bisa berpengaruh pada hasil

fillrate. Demand end customer yang dijadikan

inputan pada penentuan reserve stock

merupakan demand end customer yang telah

mempertimbangkan lost sales sehingga

demand tersebut menjadi lebih kecil nilainya

jika dibandingkan demand yang dijadikan

inputan pada simulasi.

Dari hasil yang diperoleh menunjukkan

bahwa kebijakan rationing policy dapat

meminimumkan biaya tetapi di sisi lain

apabila menggunakan kebijakan ini target

fillrate tidak dapat tercapai. Sedangkan pada

aturan first come first served target fillrate

dapat tercapai namun biaya total yang

dihasilkan lebih besar. Rendahnya nilai fillrate

juga memiliki dampak tersendiri nantinya bagi

perusahaan. Nilai fillrate yang rendah tentunya

akan menurunkan tingkat kepuasan customer.

Jika fillrate yang dihasilkan terus menerus

rendah maka selain menyebabkan

meningkatnya backorder cost, fillrate tersebut

juga dapat mengakibatkan berkurangnya

kepercayaan customer sehingga akan

berdampak pada berpindahnya customer ke

perusahaan kompetitor.

5. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil pengolahan data dan

analisis yang telah dilakukan sebelumnya

dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai

berikut :

1. Kebijakan rationing policy yang sesuai

dengan kondisi perusahaan adalah :

a. Reserve stock untuk kelas 1 sebesar 4

batch dan kelas 2 sebesar 18 batch.

Hal ini berarti bahwa kelas 2 akan

dilayani sampai level inventory

mencapi 4 batch dan kelas 1 akan

dilayani sampai level inventory sama

dengan 0.

b. Berdasarkan reserve stock tersebut

didapatkan nilai reorder point sebesar

22 batch.

2. Untuk hasil perbandingan inventory cost

pada aturan first come first served dan

kebijakan rationing policy adalah sebagai

berikut :

a. Total order cost pada rationing policy

yaitu sebesar Rp 24.330.000,00. Nilai

ini lebih rendah jika dibandingkan

total order cost pada aturan first come

first served yaitu sebesar Rp

25.320.000,00.

b. Total holding cost pada rationing

policy yaitu sebesar Rp 18.006.624,00.

Nilai ini lebih rendah jika

dibandingkan dengan total holding

cost pada aturan first come first served

yaitu sebesar Rp 36.173.376,00.

c. Total backorder cost pada aturan first

come first served yaitu sebesar Rp

255.600,00. Nilai ini jauh lebih rendah

jika dibandingkan dengan total

backorder cost pada rationing policy

yaitu sebesar Rp 8.023.000,00. Hal ini

dikarenakan adanya batasan

pemenuhan demand yang diterapkan

pada rationing.

d. Rationing Policy mampu

menghasilkan total biaya inventory

yang lebih rendah yaitu Rp.

50.359.630,00 jika dibandingkan pada

aturan first come first served yaitu

sebesar Rp. 61.748.976,00.

e. Fillrate yang dihasilkan oleh

kebijakan first come first served

selalu lebih besar jika dibandingkan

dengan fillrate yang dihasilkan pada

rationing policy. Fillrate yang

dihasilkan rationing policy juga tidak

bisa mencapai target fillrate. Pada

rationing policy hanya nilai fillrate

untuk retailer Murah Jaya yang dapat

mencapai target fillrate.

3. Masing-masing kebijakan memiliki

kelebihan dan kekurangan masing-

masing, dimana kebijakan first come first

served memiliki nilai backorder cost

lebih rendah serta fillrate yang lebih

tinggi. Menurut teori, rationing policy

seharusnya mampu memberikan

rekomendasi yang lebih baik karena bisa

menunjukan total biaya inventory yang

lebih rendah serta tetap bisa mencapai

target fillrate. Namun pada penelitian ini

fillrate yang dihasilkan pada rationing

policy tidak dapat mencapai target fillrate

yang ditentukan, hanya fillrate untuk

retailer Murah Jaya saja yang dapat

mencapai target fillrate.

Adapun saran dari penelitian ini untuk

penelitian selanjutnya antara lain :

Mengembangkan penelitian mengenai

rationing policy untuk multi product

Mengembangkan penelitian rationing

policy untuk multi echelon inventory

system dengan mempertimbangkan

backorder serta lost sales

6. Daftar Pustaka

Andersson, Jonas; Melchiors,Phillip. 2000. “A

Two Echelon Inventory Model with

Lost Sales”. International Journal of

Production Economics, University of

Lund.

Arslan, Hasan; Graves, Stephen C; Roemer,

Thomas. 2005. “A Single Product

Inventory Model for Multiple Demand

Classes”. Working Paper, Suffolk

University.

Aryanto, Setyo. 2008. Penentuan Kebijakan

untuk Single Item Multiple Demand

Classes dengan Menggunakan

Pendekatan Rationing Policy. Tugas

Akhir Jurusan Teknik Industri Institut

Teknologi Sepuluh Nopember.

Ballou, Ronald. H. 2004. Business Logistic

Management. Prentice hall, Inc. USA

Chopra, Sunil; Meindl, Peter. (2004). Supply

Chain Management : Strategy,

planning, and operation. Prentice Hall,

Inc. USA.

Evany, Savira. 2010. Rationing Policy

dengan Mempertimbangkan lost sales

dan Backorder untuk Single Item

Product dengan Multi Demand

Classes. Tugas Akhir Jurusan Teknik

Industri Institut Teknologi Sepuluh

Nopember.

Kelton, W. David; Sadhowski, Randall P.;

Sturrock, David T. 2003. Simulation

With Arena. United State, McGraw-

Hill.

Pujawan, I Nyoman. 2005. Supply Chain

Management. Guna Widya. Surabaya.

Tersine, Richard. J. 1994. Principles of

Inventory and Materials

Management. PTR Prentice Hall. New

Jersey.

--- (2007). Service Level.

URL:http://meidii.multiply.com/journal

--- (2010). Manajemen Rantai Pasok.

URL:http://blog.its.ac.id/maayahatakes

agita/category/for-mrp/