Inventory Control Tools

14
Inventory Control Tools 1. Valuing Inventory Penilaian dengan pendekatan arus harga pokok (cost basic flow approach) Dalam pendekatan ini terdapat dua sistem pencatatan persediaan yaitu sistem periodik dan sistem perpetual yang masing-masing ada tiga cara penilaian persediaan, yaitu: a. FIFO (First in First Out), masuk pertama keluar pertama Metode ini menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan awal (pertama) masuk akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai dengan nilai perolehan persediaan yang terakhir masuk (dibeli). Metode ini cenderung menghasilkan persediaan yang nilainya tinggi dan berdampak pada nilai aktiva perusahaan yang dibeli. b. LIFO (Last In First Out), masuk terakhir keluar pertama Metode ini menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan terakhir masuk akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai dan dilaporkan berdasarkan nilai perolehan persediaan yang awal (pertama) masuk atau dibeli. Metode ini cenderung menghasilkan nilai persediaan akhir yang rendah dan berdampak pada nilai aktiva perusahaan yang rendah.

Transcript of Inventory Control Tools

Page 1: Inventory Control Tools

Inventory Control Tools

1. Valuing Inventory

Penilaian dengan pendekatan arus harga pokok (cost basic flow approach)

Dalam pendekatan ini terdapat dua sistem pencatatan persediaan yaitu sistem

periodik dan sistem perpetual yang masing-masing ada tiga cara penilaian

persediaan, yaitu:

a. FIFO (First in First Out), masuk pertama keluar pertama Metode ini

menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan awal (pertama) masuk

akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai

dengan nilai perolehan persediaan yang terakhir masuk (dibeli). Metode ini

cenderung menghasilkan persediaan yang nilainya tinggi dan berdampak pada

nilai aktiva perusahaan yang dibeli.

b. LIFO (Last In First Out), masuk terakhir keluar pertama Metode ini

menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan terakhir masuk akan

dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai dan

dilaporkan berdasarkan nilai perolehan persediaan yang awal (pertama) masuk

atau dibeli. Metode ini cenderung menghasilkan nilai persediaan akhir yang

rendah dan berdampak pada nilai aktiva perusahaan yang rendah.

c. Metode Rata-rata (average method) Dengan menggunakan metode ini nilai

persediaan akhir akan menghasilkan nilai antara nilai persediaan metode FIFO

dan nilai persediaan LIFO. Metode ini juga akan berdampak pada nilai harga

pokok penjualan dan laba kotor.

Penilaian Persediaan Selain Arus Harga Pokok

Dalam pendekatan ini ada tiga metode yang digunakan, yaitu:

a. Lower Cost of Market

Metode harga terendah antara harga pokok dan harga pasar. Metode ini

dapat diterapkan dalam kondisi persediaan tidak normal, misalnya cacat, rusak

dan kadaluarsa. Pokok dari metode ini adalah membandingkan nilai yang lebih

rendah antara nilai pasar (replacement value) dan nilai perolehan (cost). Nilai

pasar yang akan dipilih harus dibatasi, yaitu tidak boleh lebih rendah dari batas

bawah (floor limit) dan tidak boleh lebih tinggi dari batas atas (ceiling limit).

b. Gross Profit Method

Page 2: Inventory Control Tools

Metode laba kotor ini bersifat estimasi dalam penilaian persediaannya.

Biasanya diterapkan karena keterbatasan dokumen yang terkait dengan

persediaan, misalnya karena terjadi bencana kebakaran dan banjir. Dasar

penilaian persediaannya adalah pada persentase laba kotor perusahaan tahun

berjalan atau rata-rata selama beberapa tahun. Langkah-langkah yang dilakukan

adalah:

1) mengestimasi nilai penjualan tahun berjalan,

2) menghitung nilai harga pokok penjualan berdasarkan pada persentase laba

kotor yang telah diketahui dan

3) menghitung estimasi nilai persediaan akhir dengan mengurangkan harga

pokok penjualan terhadap penjualan

c. Retail Method

Metode eceran ini menilai persediaan akhir dengan cara menghitung

terlebih dahulu nilai persediaan akhir berdasarkan eceran. Nilai persediaan akhir

dengan harga pokok akan diketahui dengan cara menghitung rasio antara nilai

persediaan yang tersedia untuk dijual dengan pendekatan harga pokok

dibandingkan dengan pendekatan ritel. Kemudian rasio yang diperoleh dikalikan

dengan persediaan akhir yang dinilai dengan pendekatan eceran dapat

dirumuskan sebagai berikut:

2. The “ABC” Method

Melaksanakan manajemen operasi di suatu perusahaan berarti

menggunakan seluruh sumber daya yang dimiliki perusahaan, antara lain bahan

baku untuk diubah menjadi barang jadi yang bisa bermanfaat. Untuk dapat

mengelola persediaan bahan baku agar dapat memenuhi kebutuhan jumlah bahan

baku pada waktu yang tepat, serta jumlah biaya yang rendah, maka diperlukan suatu

sistem pengendalian persediaan yang baik diperusahaan. Mengendalikan persediaan

yang tepat bukanlah hal mudah. Apabila jumlah persediaan terlalu

besar mengakibatkan meningkatnya biaya penyimpanan, dan resiko kerusakan

Page 3: Inventory Control Tools

barang lebih besar, Namun apab i l a pe r sed iaan t e r l a lu sed ik i t

mangak iba tkan r e s iko t e r j ad inya kekurangan  persediaan. Assauri

(1993) menyebutkan bahwa pengendalian persediaan bahan baku oleh perusahaan

mempunyai tujuan untuk (1) menghindari agar jangan sampai terjadi

kehabisan bahan baku pada perusahaan, sehingga proses produksi dapat terus

berjalan, (2) menghindari pemesanan bahan baku yang berlebih, dan (3)

menghindari pembelian bahan dalam kuantitas kecil dengan frekuensi

pemesanan yang sering, sehingga biaya pemesanan menjadi tinggi .

Pengendalian persediaan dapat dilakukan dengan berbagai cara,

antara lain denganmenggunakan analisis nilai persediaan. Dalam analisis ini,

persediaan dibedakan berdasarkannilai investasi yang terpakai dalam satu periode.

Biasanya, persediaan dibedakan dalam tiga kelas, yaitu A, B, dan C sehingga

analisis ini dikenal sebagai klasifikasi ABC. Analisis ABC diperkenalkan oleh HF

Dickie pada tahun 1950-an .

Analisis ABC disebut juga sebagai analisis Pareto atau hukum Pareto 80/20

adalah salah satu metode yang digunakan dalam manajemen logistik untuk

membagi kelompok barang menjadi tiga yaitu A, B dan C. Kelompok A

merupakan barang dengan jumlah item sekitar 20% t ap i mempunya i n i l a i

i nves t a s i s ek i t a r 80% da r i n i l a i i nves t a s i t o t a l , ke lompok B

merupakan barang dengan jumlah item sekitar 30% tapi mempunyai nilai investasi sekitar

15% dari nilai investasi total, sedangkan kelompok C merupakan barang dengan jumlah item

sekitar 5 0 % t a p i m e m p u n y a i n i l a i i n v e s t a s i s e k i t a r 5 % d a r i

n i l a i i n v e s t a s i t o t a l . D e n g a n  pengelompokan tersebut maka cara

pengelolaan masing-masing akan lebih mudah, sehingga perencanaan, pengendalian

fisik, keandalan pemasok dan pengurangan besar stok pengaman dapat menjadi lebih

baik (Wong, 2004).

Aturan ini akan membantu seseorang untuk bekerja lebih fokus pada elemen-elemen

yang bernilai tinggi (grup A) dan memberikan kontrol yg secukupnya untuk elemen-

elemen yg bernilai rendah (B dan C). Prinsip ABC ini bisa digunakan dalam

pengelolaan pembelian, inventori, penjualan, dokumen, asset, dan lain-lain. Analisis

berbagai jenis barang/item yang memiliki berbagai kepentingan dan harus ditangani

atau dikontrol secara berbeda. Ini adalah bentuk analisis Pareto di mana barang-

Page 4: Inventory Control Tools

barang (seperti kegiatan, pelanggan, dokumen, persediaan barang, penjualan

wilayah) dikelompokkan menjadi tiga kategori (A, B, dan C)dalam rangka

kepentingan ini item tersebut diperkirakan. 'Item A' adalah sangat penting, 'itemB'

yang penting, 'item C' yang sedikit penting (Admin, 2009). Pada bidang Inventory,

pendekatan Hukum Pareto ini menjelaskan : 20 % dari produk yang dihasilkan

perusahaan menghasilkan 80% pendapatan bagi perusahaan. Ketika ditelaahlebih ke

dalam, fakta bisa 10% produk menghasilkan 70% penjualan dan ini diklasifikasikan ke A.

Kemudian 80% dari jumlah produk menghasilkan 20% penjualan (masuk kelompok C)

dan10% dari jumlah produk menghasilkan 10% penjualan (masuk kelompok B)

Padahal dari segi biaya pergudangan dan administrasi yang ditimbulkannya,

bisa terjadi ke lompok C men imbu lkan b i aya 80%, ka rena t e r l a lu

banyak penumpukan , r e tu r , dan administrasi yang bolak-balik. Di sini

hasil dari ABC analysis memberikan rekomendasi tindakan untuk

meminimumkan resiko pergudangan dan pada saat yang sama meningkatkan fokus

pada produk- produk kriteria A dan B .

Kelompok A adalah kelompok yang sangat kritis sehingga perlu pengontrolan secara

ketat, dibandingkan kelompok B yang kurang kritis, sedangkan kelompok C

mempunyai dampak yang kecil terhadap aktivitas gudang dan keuangan. Terhadap

persediaan di IFRS maka yang dimaksud kelompok A adalah kelompok obat yang harganya

mahal, maka harus dikendalikan secara ketat yaitu dengan membuat laporan penggunaan

dan sisanya secara rinci agar dapat dilakukan monitoring secara terus menerus. Oleh

karena itu disimpan secara rapat agar tidak mudah dicuri bila perlu dalam persediaan

pengadaannya sedikit atau tidak ada sama sekali sehingga tidak ada dalam penyimpanan.

Sedangkan pengendalian obat untuk kelompok B tidak seketat kelompok A. Meskipun

demikian laporan penggunaan dan sisa obatnya dilaporkan secara rinci untuk

dilakukan monitoring secara berkala pada setiap 1-3 bulan sekali.

Cara penyimpanannya disesuaikan dengan jenis obat dan perlakuannya.

Pengendalian obat untuk kelompok C dapat lebih longgar pencatatan dan

pelaporannya tidak sesering kelompok B dengan sekali-kali dilakukan

monitoring dan persediaan dapat dilakukan untuk 2-6 bulan dengan

penyimpanan biasa sesuai dengan jenis perlakuan obat .

Page 5: Inventory Control Tools

Tabel Pengendalian Barang Berdasar Analisis ABC

Prinsip

ABC ini dapat

diterapkan dalam

pengelolaan pembelian, inventori, penjualan dansebagainya. Dalam organisasi

penjualan, analisis ini dapat memberikan informasi terhadap produk-produk utama

yang memberikan revenue terbesar bagi perusahaan. Pihak manajemendapat

meneruskan konsentrasi terhadap produk ini, sambil mencari strategi untuk

mendongkrak  penjualan kelompok B.

3. Fixed Item Inventory

Sistem persediaan dengan ukuran pemesanan tetap (fixed order size system)

Sistem persediaan dengan ukuran pemesanan tetap adalah jumlah pesanan

yang paling ekonomis, dan pemesanan dilakukan apabila jumlah persediaan

menunjukan saat harus melakukan pemesanan kembali (reorder point), selain itu

perusahaan harus menentukan persedian pengaman (safety stock). Konsekuensinya,

penggunaan ini adalah adanya jangka waktu antara dua pemesanan yang tidak sama.

Gambar 2.3. Sistem persediaan dengan ukuran pemesanan tetap.

Keterangan gambar :

Page 6: Inventory Control Tools

Q : tingkat persediaan yang maksimum

RP (Reorder Point) : titik dimana dilakukan pemesanan kembali

SS (Safety Stock) : titik persediaan pengaman

T : waktu

Sistem ini dapat digunakan apabila memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :

a. Pesanan atau pembelian persediaan selalu dilakukan apabila jumlah persediaan

telah mencapai tingkat pemesanan kembali.

b. Besarnya pemesanan sesuai dengan jumlah yang ekonomis.

c. Jarak antara dua pemesanan tidak sama (T1 ¿ T2 ¿ T 3).

d. Terdapat persediaan pengaman (safety stock).

Sistem penyediaan persediaan dengan ukuran pemesanan tetap ini, biasanya

digunakan oleh perusahaan dengan skala besar, karena pada perusahaan besar

investasi untuk persediaan bahan bakunya telah disediakan dan persediaan bahan

baku sangat memerlukan pengelolaan yang baik agar proses produksi dapat berjalan

lancar.

Sistem persediaan dengan jangka waktu tetap (fixed order interval system)

Sistem pesanan ini bertumpu pada pemeriksaan persediaan pada interval waktu yang

teratur, dan mengakibatkan kuantitas pesanan selalu berubah.

Gambar 2.4. Sistem persediaan dengan jangka waktu tetap.

Keterangan gambar :

Page 7: Inventory Control Tools

Q : tingkat persediaan rata-rata

SS (safety stock) : titik persediaan pengaman

T1 = T2 = T3 : selang waktu antara setiap pesanan yang dilakukan adalah

sama

Sistem ini dapat digunakan apabila memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :

a. Jumlah yang dipesan atau dibeli setiap kali tidak sama.

b. Selang waktu antara dua pemesanan adalah tetap.

c. Tidak ada titik pemesanan kembali, sehingga titik pemesanan kembali sama

dengan selang waktu pemesanan.

d. Terdapat persediaan yang akan digunakan untuk menghadapi adanya perubahan

permintaan selama waktu pemesanan.

4. Par Stock System

5. “Mini-Max” System

Cara kerja Min-Max System ini yaitu apabila persediaan telah melewati batas –

batas minimum dan mendekati batsa safety stock maka re-order harus dilakukan.

Jadi batas minimum stock merupakan batas re-order level. Batas maksimum adalah

Page 8: Inventory Control Tools

batas kesediaaan perusahaan atau manajemen untuk menginvestasikan uangnya

dalam bentuk persediaan bahan baku. Jadi dalam hal ini yang terpenting adalah

batas minimum dan maximum untuk dapat menentukan order quantity.

Pada data yang bersifat stochastic metode ini mempunyai beberapa persamaan

dalam perhitungannya sebagai berikut :

6. Economic Order Quantity

Metode ini pertama kali dicetuskan oleh Ford Harris pada tahun 1915, tetapi

lebih dikenal dengan nama metode Wilson karena dikembangkan oleh Wilson pada

tahun 1934. Metode ini digunakan untuk menghitung minimasi total biaya

persediaan berdasarkan persamaan tingkat atau titik equilibrium kurva biaya simpan

dan biaya pesan. Model persediaan yang paling sederhana ini memakai asumsi-

asumsi sebagai berikut :

Hanya satu item barang (produk) yang diperhitungkan.

Kebutuhan (permintaan) setiap periode diketahui (tertentu).

Barang yang dipesan diasumsikan dapat segera tersedia (instaneously) atau

tingkat produksi (production rate) barang yang dipesan berlimpah ( tak

terhingga )

Ancang-ancang (lead time) bersifat konstan.

Page 9: Inventory Control Tools

Setiap pesanan diterima dalam sekali pengiriman dan langsung dapat

digunakan.

Tidak ada pesanan ulang (back order) karena kehabisan persediaan (shortage).

Tidak ada diskon untuk jumlah pembelian yang banyak (quantity discount).

Dari asumsi-asumsi diatas, model ini mungkin diaplikasikan baik pada system

manufaktur sperti penentuan persediaan bahan baku dan pada sistem non

manufaktur seperti pada penentuan jumlah bola lampu pada suatu bangunan;

penggunaan perlengkapan habis pakai (office suppliesi) seperti kertas, buku nota dan

pensil ; konsumsi bahan-bahan makanan sperti beras, jagung dan lain-lain.

Tujuan model ini adalah untuk menentukan jumlah ekonomis setiap kali pemesanan

(EOQ) sehingga meminimasi biaya total persediaan dimana :

Biaya Total persediaan = Ordering Cost + Holding Cost + Purchasing Cost

Parameter-parameter yang dipakai dalam metode ini dalah :

D = jumlah kebutuhan barang selama satu periode (misalnya: 1 tahun)

k = ordering cost setiap kali pesan

h = holding cost per-satuan nilai persediaan per-satuan waktu

c = purchasing cost per-satuan nilai persediaan

t = waktu antara satu pemesanan ke pemesanan berikutnya