Inventory Control Tools
-
Upload
putriwardhani -
Category
Documents
-
view
537 -
download
0
Transcript of Inventory Control Tools
Inventory Control Tools
1. Valuing Inventory
Penilaian dengan pendekatan arus harga pokok (cost basic flow approach)
Dalam pendekatan ini terdapat dua sistem pencatatan persediaan yaitu sistem
periodik dan sistem perpetual yang masing-masing ada tiga cara penilaian
persediaan, yaitu:
a. FIFO (First in First Out), masuk pertama keluar pertama Metode ini
menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan awal (pertama) masuk
akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai
dengan nilai perolehan persediaan yang terakhir masuk (dibeli). Metode ini
cenderung menghasilkan persediaan yang nilainya tinggi dan berdampak pada
nilai aktiva perusahaan yang dibeli.
b. LIFO (Last In First Out), masuk terakhir keluar pertama Metode ini
menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan terakhir masuk akan
dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai dan
dilaporkan berdasarkan nilai perolehan persediaan yang awal (pertama) masuk
atau dibeli. Metode ini cenderung menghasilkan nilai persediaan akhir yang
rendah dan berdampak pada nilai aktiva perusahaan yang rendah.
c. Metode Rata-rata (average method) Dengan menggunakan metode ini nilai
persediaan akhir akan menghasilkan nilai antara nilai persediaan metode FIFO
dan nilai persediaan LIFO. Metode ini juga akan berdampak pada nilai harga
pokok penjualan dan laba kotor.
Penilaian Persediaan Selain Arus Harga Pokok
Dalam pendekatan ini ada tiga metode yang digunakan, yaitu:
a. Lower Cost of Market
Metode harga terendah antara harga pokok dan harga pasar. Metode ini
dapat diterapkan dalam kondisi persediaan tidak normal, misalnya cacat, rusak
dan kadaluarsa. Pokok dari metode ini adalah membandingkan nilai yang lebih
rendah antara nilai pasar (replacement value) dan nilai perolehan (cost). Nilai
pasar yang akan dipilih harus dibatasi, yaitu tidak boleh lebih rendah dari batas
bawah (floor limit) dan tidak boleh lebih tinggi dari batas atas (ceiling limit).
b. Gross Profit Method
Metode laba kotor ini bersifat estimasi dalam penilaian persediaannya.
Biasanya diterapkan karena keterbatasan dokumen yang terkait dengan
persediaan, misalnya karena terjadi bencana kebakaran dan banjir. Dasar
penilaian persediaannya adalah pada persentase laba kotor perusahaan tahun
berjalan atau rata-rata selama beberapa tahun. Langkah-langkah yang dilakukan
adalah:
1) mengestimasi nilai penjualan tahun berjalan,
2) menghitung nilai harga pokok penjualan berdasarkan pada persentase laba
kotor yang telah diketahui dan
3) menghitung estimasi nilai persediaan akhir dengan mengurangkan harga
pokok penjualan terhadap penjualan
c. Retail Method
Metode eceran ini menilai persediaan akhir dengan cara menghitung
terlebih dahulu nilai persediaan akhir berdasarkan eceran. Nilai persediaan akhir
dengan harga pokok akan diketahui dengan cara menghitung rasio antara nilai
persediaan yang tersedia untuk dijual dengan pendekatan harga pokok
dibandingkan dengan pendekatan ritel. Kemudian rasio yang diperoleh dikalikan
dengan persediaan akhir yang dinilai dengan pendekatan eceran dapat
dirumuskan sebagai berikut:
2. The “ABC” Method
Melaksanakan manajemen operasi di suatu perusahaan berarti
menggunakan seluruh sumber daya yang dimiliki perusahaan, antara lain bahan
baku untuk diubah menjadi barang jadi yang bisa bermanfaat. Untuk dapat
mengelola persediaan bahan baku agar dapat memenuhi kebutuhan jumlah bahan
baku pada waktu yang tepat, serta jumlah biaya yang rendah, maka diperlukan suatu
sistem pengendalian persediaan yang baik diperusahaan. Mengendalikan persediaan
yang tepat bukanlah hal mudah. Apabila jumlah persediaan terlalu
besar mengakibatkan meningkatnya biaya penyimpanan, dan resiko kerusakan
barang lebih besar, Namun apab i l a pe r sed iaan t e r l a lu sed ik i t
mangak iba tkan r e s iko t e r j ad inya kekurangan persediaan. Assauri
(1993) menyebutkan bahwa pengendalian persediaan bahan baku oleh perusahaan
mempunyai tujuan untuk (1) menghindari agar jangan sampai terjadi
kehabisan bahan baku pada perusahaan, sehingga proses produksi dapat terus
berjalan, (2) menghindari pemesanan bahan baku yang berlebih, dan (3)
menghindari pembelian bahan dalam kuantitas kecil dengan frekuensi
pemesanan yang sering, sehingga biaya pemesanan menjadi tinggi .
Pengendalian persediaan dapat dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain denganmenggunakan analisis nilai persediaan. Dalam analisis ini,
persediaan dibedakan berdasarkannilai investasi yang terpakai dalam satu periode.
Biasanya, persediaan dibedakan dalam tiga kelas, yaitu A, B, dan C sehingga
analisis ini dikenal sebagai klasifikasi ABC. Analisis ABC diperkenalkan oleh HF
Dickie pada tahun 1950-an .
Analisis ABC disebut juga sebagai analisis Pareto atau hukum Pareto 80/20
adalah salah satu metode yang digunakan dalam manajemen logistik untuk
membagi kelompok barang menjadi tiga yaitu A, B dan C. Kelompok A
merupakan barang dengan jumlah item sekitar 20% t ap i mempunya i n i l a i
i nves t a s i s ek i t a r 80% da r i n i l a i i nves t a s i t o t a l , ke lompok B
merupakan barang dengan jumlah item sekitar 30% tapi mempunyai nilai investasi sekitar
15% dari nilai investasi total, sedangkan kelompok C merupakan barang dengan jumlah item
sekitar 5 0 % t a p i m e m p u n y a i n i l a i i n v e s t a s i s e k i t a r 5 % d a r i
n i l a i i n v e s t a s i t o t a l . D e n g a n pengelompokan tersebut maka cara
pengelolaan masing-masing akan lebih mudah, sehingga perencanaan, pengendalian
fisik, keandalan pemasok dan pengurangan besar stok pengaman dapat menjadi lebih
baik (Wong, 2004).
Aturan ini akan membantu seseorang untuk bekerja lebih fokus pada elemen-elemen
yang bernilai tinggi (grup A) dan memberikan kontrol yg secukupnya untuk elemen-
elemen yg bernilai rendah (B dan C). Prinsip ABC ini bisa digunakan dalam
pengelolaan pembelian, inventori, penjualan, dokumen, asset, dan lain-lain. Analisis
berbagai jenis barang/item yang memiliki berbagai kepentingan dan harus ditangani
atau dikontrol secara berbeda. Ini adalah bentuk analisis Pareto di mana barang-
barang (seperti kegiatan, pelanggan, dokumen, persediaan barang, penjualan
wilayah) dikelompokkan menjadi tiga kategori (A, B, dan C)dalam rangka
kepentingan ini item tersebut diperkirakan. 'Item A' adalah sangat penting, 'itemB'
yang penting, 'item C' yang sedikit penting (Admin, 2009). Pada bidang Inventory,
pendekatan Hukum Pareto ini menjelaskan : 20 % dari produk yang dihasilkan
perusahaan menghasilkan 80% pendapatan bagi perusahaan. Ketika ditelaahlebih ke
dalam, fakta bisa 10% produk menghasilkan 70% penjualan dan ini diklasifikasikan ke A.
Kemudian 80% dari jumlah produk menghasilkan 20% penjualan (masuk kelompok C)
dan10% dari jumlah produk menghasilkan 10% penjualan (masuk kelompok B)
Padahal dari segi biaya pergudangan dan administrasi yang ditimbulkannya,
bisa terjadi ke lompok C men imbu lkan b i aya 80%, ka rena t e r l a lu
banyak penumpukan , r e tu r , dan administrasi yang bolak-balik. Di sini
hasil dari ABC analysis memberikan rekomendasi tindakan untuk
meminimumkan resiko pergudangan dan pada saat yang sama meningkatkan fokus
pada produk- produk kriteria A dan B .
Kelompok A adalah kelompok yang sangat kritis sehingga perlu pengontrolan secara
ketat, dibandingkan kelompok B yang kurang kritis, sedangkan kelompok C
mempunyai dampak yang kecil terhadap aktivitas gudang dan keuangan. Terhadap
persediaan di IFRS maka yang dimaksud kelompok A adalah kelompok obat yang harganya
mahal, maka harus dikendalikan secara ketat yaitu dengan membuat laporan penggunaan
dan sisanya secara rinci agar dapat dilakukan monitoring secara terus menerus. Oleh
karena itu disimpan secara rapat agar tidak mudah dicuri bila perlu dalam persediaan
pengadaannya sedikit atau tidak ada sama sekali sehingga tidak ada dalam penyimpanan.
Sedangkan pengendalian obat untuk kelompok B tidak seketat kelompok A. Meskipun
demikian laporan penggunaan dan sisa obatnya dilaporkan secara rinci untuk
dilakukan monitoring secara berkala pada setiap 1-3 bulan sekali.
Cara penyimpanannya disesuaikan dengan jenis obat dan perlakuannya.
Pengendalian obat untuk kelompok C dapat lebih longgar pencatatan dan
pelaporannya tidak sesering kelompok B dengan sekali-kali dilakukan
monitoring dan persediaan dapat dilakukan untuk 2-6 bulan dengan
penyimpanan biasa sesuai dengan jenis perlakuan obat .
Tabel Pengendalian Barang Berdasar Analisis ABC
Prinsip
ABC ini dapat
diterapkan dalam
pengelolaan pembelian, inventori, penjualan dansebagainya. Dalam organisasi
penjualan, analisis ini dapat memberikan informasi terhadap produk-produk utama
yang memberikan revenue terbesar bagi perusahaan. Pihak manajemendapat
meneruskan konsentrasi terhadap produk ini, sambil mencari strategi untuk
mendongkrak penjualan kelompok B.
3. Fixed Item Inventory
Sistem persediaan dengan ukuran pemesanan tetap (fixed order size system)
Sistem persediaan dengan ukuran pemesanan tetap adalah jumlah pesanan
yang paling ekonomis, dan pemesanan dilakukan apabila jumlah persediaan
menunjukan saat harus melakukan pemesanan kembali (reorder point), selain itu
perusahaan harus menentukan persedian pengaman (safety stock). Konsekuensinya,
penggunaan ini adalah adanya jangka waktu antara dua pemesanan yang tidak sama.
Gambar 2.3. Sistem persediaan dengan ukuran pemesanan tetap.
Keterangan gambar :
Q : tingkat persediaan yang maksimum
RP (Reorder Point) : titik dimana dilakukan pemesanan kembali
SS (Safety Stock) : titik persediaan pengaman
T : waktu
Sistem ini dapat digunakan apabila memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :
a. Pesanan atau pembelian persediaan selalu dilakukan apabila jumlah persediaan
telah mencapai tingkat pemesanan kembali.
b. Besarnya pemesanan sesuai dengan jumlah yang ekonomis.
c. Jarak antara dua pemesanan tidak sama (T1 ¿ T2 ¿ T 3).
d. Terdapat persediaan pengaman (safety stock).
Sistem penyediaan persediaan dengan ukuran pemesanan tetap ini, biasanya
digunakan oleh perusahaan dengan skala besar, karena pada perusahaan besar
investasi untuk persediaan bahan bakunya telah disediakan dan persediaan bahan
baku sangat memerlukan pengelolaan yang baik agar proses produksi dapat berjalan
lancar.
Sistem persediaan dengan jangka waktu tetap (fixed order interval system)
Sistem pesanan ini bertumpu pada pemeriksaan persediaan pada interval waktu yang
teratur, dan mengakibatkan kuantitas pesanan selalu berubah.
Gambar 2.4. Sistem persediaan dengan jangka waktu tetap.
Keterangan gambar :
Q : tingkat persediaan rata-rata
SS (safety stock) : titik persediaan pengaman
T1 = T2 = T3 : selang waktu antara setiap pesanan yang dilakukan adalah
sama
Sistem ini dapat digunakan apabila memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :
a. Jumlah yang dipesan atau dibeli setiap kali tidak sama.
b. Selang waktu antara dua pemesanan adalah tetap.
c. Tidak ada titik pemesanan kembali, sehingga titik pemesanan kembali sama
dengan selang waktu pemesanan.
d. Terdapat persediaan yang akan digunakan untuk menghadapi adanya perubahan
permintaan selama waktu pemesanan.
4. Par Stock System
5. “Mini-Max” System
Cara kerja Min-Max System ini yaitu apabila persediaan telah melewati batas –
batas minimum dan mendekati batsa safety stock maka re-order harus dilakukan.
Jadi batas minimum stock merupakan batas re-order level. Batas maksimum adalah
batas kesediaaan perusahaan atau manajemen untuk menginvestasikan uangnya
dalam bentuk persediaan bahan baku. Jadi dalam hal ini yang terpenting adalah
batas minimum dan maximum untuk dapat menentukan order quantity.
Pada data yang bersifat stochastic metode ini mempunyai beberapa persamaan
dalam perhitungannya sebagai berikut :
6. Economic Order Quantity
Metode ini pertama kali dicetuskan oleh Ford Harris pada tahun 1915, tetapi
lebih dikenal dengan nama metode Wilson karena dikembangkan oleh Wilson pada
tahun 1934. Metode ini digunakan untuk menghitung minimasi total biaya
persediaan berdasarkan persamaan tingkat atau titik equilibrium kurva biaya simpan
dan biaya pesan. Model persediaan yang paling sederhana ini memakai asumsi-
asumsi sebagai berikut :
Hanya satu item barang (produk) yang diperhitungkan.
Kebutuhan (permintaan) setiap periode diketahui (tertentu).
Barang yang dipesan diasumsikan dapat segera tersedia (instaneously) atau
tingkat produksi (production rate) barang yang dipesan berlimpah ( tak
terhingga )
Ancang-ancang (lead time) bersifat konstan.
Setiap pesanan diterima dalam sekali pengiriman dan langsung dapat
digunakan.
Tidak ada pesanan ulang (back order) karena kehabisan persediaan (shortage).
Tidak ada diskon untuk jumlah pembelian yang banyak (quantity discount).
Dari asumsi-asumsi diatas, model ini mungkin diaplikasikan baik pada system
manufaktur sperti penentuan persediaan bahan baku dan pada sistem non
manufaktur seperti pada penentuan jumlah bola lampu pada suatu bangunan;
penggunaan perlengkapan habis pakai (office suppliesi) seperti kertas, buku nota dan
pensil ; konsumsi bahan-bahan makanan sperti beras, jagung dan lain-lain.
Tujuan model ini adalah untuk menentukan jumlah ekonomis setiap kali pemesanan
(EOQ) sehingga meminimasi biaya total persediaan dimana :
Biaya Total persediaan = Ordering Cost + Holding Cost + Purchasing Cost
Parameter-parameter yang dipakai dalam metode ini dalah :
D = jumlah kebutuhan barang selama satu periode (misalnya: 1 tahun)
k = ordering cost setiap kali pesan
h = holding cost per-satuan nilai persediaan per-satuan waktu
c = purchasing cost per-satuan nilai persediaan
t = waktu antara satu pemesanan ke pemesanan berikutnya