PJK ISI

35
BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang terutama disebabkan karena penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya. Hal ini sering ditandai dengan keluhan nyeri dada. Penyakit jantung koroner (PJK) menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, apalagi dengan adanya fasilitas diagnostik dan unit-unit perawatan penyakit jantung koroner intensif yang semakin tersebar merata. Di negara yang sedang berkembang, penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kematian dan menjadi masalah kesehatan utama di dunia (Setyani, 2009). American Heart Association pada tahun 2004 memperkirakan prevalensi penyakit jantung koroner di Amerika Serikat sekitar 13.200.000. Angka kematian karena PJK di seluruh dunia tiap tahun didapatkan 50 juta, sedangkan di negara berkembang terdapat 39 juta (Tanuwidjojo, 2003). WHO pada tahun 2002 memperkirakan di seluruh dunia setiap tahunnya 3,8 juta pria dan 3,4 juta wanita meninggal karena PJK (World Health Organization, 2006). Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI pada tahun 1986, PJK menduduki 1

description

penyakit jantung koroner

Transcript of PJK ISI

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang terutama

disebabkan karena penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau

spasme atau kombinasi keduanya. Hal ini sering ditandai dengan keluhan nyeri dada.

Penyakit jantung koroner (PJK) menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun,

apalagi dengan adanya fasilitas diagnostik dan unit-unit perawatan penyakit jantung

koroner intensif yang semakin tersebar merata. Di negara yang sedang berkembang,

penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kematian dan menjadi masalah

kesehatan utama di dunia (Setyani, 2009).

American Heart Association pada tahun 2004 memperkirakan prevalensi

penyakit jantung koroner di Amerika Serikat sekitar 13.200.000. Angka kematian

karena PJK di seluruh dunia tiap tahun didapatkan 50 juta, sedangkan di negara

berkembang terdapat 39 juta (Tanuwidjojo, 2003). WHO pada tahun 2002

memperkirakan di seluruh dunia setiap tahunnya 3,8 juta pria dan 3,4 juta wanita

meninggal karena PJK (World Health Organization, 2006).

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan

RI pada tahun 1986, PJK menduduki peringkat ketiga sebagai penyebab kematian

pada usia di atas 45 tahun, pada tahun 1992 naik menjadi peringkat kedua dan sejak

tahun 1993 menjadi peringkat pertama. Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan PJK

menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi

(Tanuwidjojo, 2003).

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI PENYAKIT JANTUNG KORONER

Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah penyakit

jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteri koronaria. Penyempitan tersebut

dapat disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis arteritis, emboli koronaria,

dan spasme. Oleh karena aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak (99%) maka

pembahasan tentang PJK pada umumnya terbatas penyebab tersebut (Majid, 2007).

Arterosklerosis pada dasarnya merupakan suatu kelainan yang terdiri atas

pembentukan fibrolipid dalam bentuk plak-plak yang menonjol atau penebalan yang

disebut ateroma yang terdapat didalam tunika intima dan pada bagian dalam tunika

media. Proses ini dapat terjadi pada seluruh arteri, tetapi yang paling sering adalah

pada left anterior descendent arteri coronaria, proximal arteri renalis dan bifurcatio

carotis.

B. PATOGENESIS PEMBENTUKAN ATEROSKLEROSIS

1. Pembentukan Aterosklerosis

Ada beberapa hopotesis yang menerangkan tentang proses terbentuknya

aterosklerosis, seperti monoclonal hypothesis, lipogenic hypothesis dan response

to injure hypothesis. Namun yang banyak diperbincangkan adalah mengenai

empat stage respon to injure hypothesis sebagai berikut:

a. Stage A: Endothelial injure

Endotelial yang intake dan licin berfungsi sebagai barrier yang menjamin

aliran darah koroner lancar. Faktor resiko yang dimiliki pasien akan

memudahkan masuknya lipoprotein densitas rendah yang teroksidasi maupun

makrofag ke dalam dinding arteri. Interaksi antara endotelial injure dengan

platelet, monosit dan jaringan ikat (collagen), menyebabkan terjadinya

2

penempelan platelet (platelet adherence) dan agregasi trombosit (trombosit

agregation).

b. Stage B: Fatty Streak Formation

c. Stage C: Fibrosis Plaque Formation

Formasi plak fibrosis terdiri atas inti atau central cholesterol dan tutup

jaringan ikat (cap fibrous). Formasi ini memberikan dua gambaran tipe yaitu:

1) Stable fibrous plaque

2) Unstable fibrous plaque

d. Stage D: Unstable Plaque Formation

Formasi ini akan membentuk plak yang mudah ruptur (vulnarable plaque),

sehingga menyebabkan terbentuknya trombus dan oklusi pada arteri.

2. Patofisiologi Terjadinya Infark Miokard

C. MANIFESTASI KLINIS PENYAKIT JANTUNG KORONER

Diatas telah dijelaskan bahwa aterosklerosis yang terbentuk dalam lumen arteri

dapat bersifat sebagai plak yang vulnarable maupun plak stabil. Oleh karena itu

3

penyakit jantung koroner memberikan dua manifestasi klinis penting yaitu akut

koroner sindrom dan angina pektoris stabil (ACC/AHA, 2007).

1. Plak Vulnarable (Plak yang memiliki dinding tipis dengan lemak yang besar,

mudah ruptur jika ada faktor pencetus akibat aktivasi enzim protease yang

dihasilkan makrofag) Akut koroner sindrom

a. ST elevasi miokard infark (STEACS); oklusi total oleh trombus

1) STEMI; infark, dengan peningkatan enzim jantung

2) Angina variant (prinzmetal), jarang terjadi; akibat spasme koroner

b. Non-ST elevasi acute coronary syndrom (NSTEACS); oklusi parsial

1) NSTEMI; infark, dengan peningkatan enzim jantung

2) Unstable angina; kresendo angina, tanpa peningkatan enzim jantung

2. Plak Stabil (Plak yang memiliki dinding tebal dengan lemak yang sedikit)

angina pektoris stabil; dekresendo angina, tanpa peningkatan enzim jantung.

D. FAKTOR RESIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER

1. Lipid

Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat

dimodifikasi untuk perkembangan dan perubahan secara progresif atas

terjadinya PJK. Kolesterol ditranspor dalam darah dalambentuk lipoprotein, 75

% merupakan lipoprotein densitas rendah (low density liproprotein/LDL) dan

20 % merupakan lipoprotein densitas tinggi (high density liproprotein/HDL).

Kadar kolesterol HDL-lah yang rendah memiliki peran yang baik pada PJK

dan terdapat hubungan terbalik antara kadar HDL dan insiden PJK.

Pada laki-laki usia pertengahan (45 s.d 65 tahun) dengan tingkat

serum kolesterol yang tinggi (kolesterol : > 240 mg/dL dan LDL kolesterol : >

160 mg/dL) risiko terjadinya PJK akan meningkat. Pemberian terapi dengan

pravastatin dapat menurunkan rata-rata kadar LDL kolesterol sebesar 32 %,

pasien yang mendapatkan pengobatan dengan pravastatin terhindar dari

kejadian PJK sebesar 24 % dibandingkan dengan kelompok placebo.

Selain itu juga studi yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa

asam lemak omega-3 dapat menurunkan kolesterol LDL, mengurangi kadar

trigliserid dan meningkatkan kolesterol HDL. Beberapa vitamin diduga

4

mempunyai efek protektif terhadap aterosklerosis, salah satunya adalah

vitamin C dan E sebagai anti oksidan guna mencegah oksidasi lipid pada plak.

Tabel 1. Total Kolesterol dan LDL Kolesterol

2. Merokok

Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya penyakit

jantung, termasuk serangan jantung dan stroke, dan juga memiliki hubungan

kuat untuk terjadinya PJK sehingga dengan berhenti merokok akan

mengurangi risiko terjadinya serangan jantung. Merokok sigaret menaikkan

risiko serangan jantung sebanyak 2 sampai 3 kali. Sekitar 24 % kematian

akibat PJK pada laki-laki dan 11 % pada perempuan disebabkan kebiasaan

merokok. Meskipun terdapat penurunan yang progresif proporsi pada populasi

yang merokok sejak tahun 1970-an, pada tahun 1996 sebesar 29 % laki-laki

dan 28 % perempuan masih merokok. Salah satu hal yang menjadi perhatian

adalah prevalensi kebiasaan merokok yang meningkat pada remaja, terutama

pada remaja perempuan. Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama

perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan risiko sebesar 20 – 30 %

dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan bukan perokok. Risiko

terjadinya PJK akibat merokok berkaitan dengan dosis dimana orang yang

merokok 20 batang rokok atau lebihdalam sehari memiliki resiko sebesar dua

hingga tiga kali lebih tinggi daripada populasi umum untuk mengalami

kejadian PJK.

Peran rokok dalam patogenesis PJK merupakan hal yang kompleks,

diantaranya :

a. Timbulnya aterosklerosis.

5

b. Peningkatan trombogenesis dan vasokonstriksi (termasuk spasme arteri

koroner)

c. Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.

d. Provokasi aritmia jantung.

e. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard.

f. Penurunan kapasitas pengangkutan oksigen.

g. Risiko terjadinya PJK akibat merokok turun menjadi 50 % setelah satu

tahun berhenti merokok dan menjadi normal setelah 4 tahun berhenti.

Rokok juga merupakan faktor risiko utama dalam terjadinya : penyakit

saluran nafas, saluran pencernaan, cirrhosis hepatis, kanker kandung

kencing dan penurunan kesegaran jasmani.

Manfaat penghentian kebiasaan merokok lebih sedikit kontroversinya

dibandingkan dengan diit dan olah raga. Tiga penelitian secara acak tentang

kebiasaan merokok telah dilakukan pada program prevensi primer dan

membuktikan adanya penurunan kejadian vaskuler sebanyak 7-47% pada

golongan yang mampu menghentikan kebiasaan merokoknya dibandingkan

dengan yang tidak. Oleh karena itu saran penghentian kebiasaan merokok

merupakan komponen utama pada program rehabilitasi jantung koroner.

3. Obesitas

Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko peningkatan

PJK, hipertensi, angina, stroke, diabetes dan merupakan beban penting pada

kesehatan jantung dan pembuluh darah. Data dari Framingham menunjukkan

bahwa apabila setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi

penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro vascular accident

(CVA) sebanyak 3,5 %.

Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah,

memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan

dislipidemia.

Hal tersebut ditempuh dengan cara mengurangi asupan kalori dan

menambah aktifitas fisik. Disamping pemberian daftar komposisi makanan ,

pasien juga diharapkan untuk berkonsultasi dengan pakar gizi secara teratur.

6

Tabel 2. Klasifikasi Berat Badan Menurut Index Masa Tubuh

4. Diabetes Mellitus

Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, lebih progresif,

lebih kompleks, dan lebih difus dibandingkan kelompok control dengan usia

yang sesuai.

Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik-pathologi

pada system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial

dan gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko

terjadinya coronary artery diseases (CAD). Kondisi ini dapat mengakibatkan

terjadinya mikroangiopati, fibrosis otot jantung, dan ketidaknormalan

metabolisme otot jantung.

Risiko terjadinya PJK pada psien dengan NIDDM adalah dua hingga

empat kali lebih tinggi daripada populasi umum dan tampaknya tidak terkait

dengan derajat keparahan atau durasi diabetes, mungkin karena adanya

resistensi insulin dapat mendahului onset gejala klinis 15 – 25 tahun

sebelumnya. Sumber lain mengatakan bahwa, pasien dengan diabetes mellitus

berisiko lebih besar (200%) untuk terjadinya cardiovasculair diseases dari

pada individu yang tidak diabet.

7

Other non ischemic

Gambar 1. Potential mechanisms linking diabetes mellitus to heart failure

Diabetes, meskipun merupakan faktor risiko independent untuk PJK,

juga berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas,

hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi

platelet dan peningkatan kadar fibrinogen). Hasil coronary artery bypass

grafting (CABG) jangka panjang tidak terlalu baik pada penderita diabetes,

dan pasien diabetic memiliki peningkatan mortalitas dini serta risiko stenosis

berulang pasca angioplasty koroner.

5. Riwayat Keluarga

Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam

patogenesis PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting

dalam diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK. Penyakit jantung

koroner kadang-kadang bisa merupakan manifestasi kelainan gen tunggal

spesifik yang berhubungan dengan mekanisme terjadinya aterosklerotik.

Riwayat keluarga PJK pada keluarga yang langsung berhubungan

darah yang berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor risiko independent

untuk terjadinya PJK, dengan rasio odd dua hingga empat kali lebih besar dari

pada populasi control. Agregasi PJK keluarga menandakan adanya predisposisi

8

genetik pada keadaan ini. Terdapat beberapa bukti bahwa riwayat keluarga

yang positif dapat mempengaruhi usia onset PJK pada keluarga dekat.

The Reykjavik Cohort Study menemukan bahwa pria dengan riwayat

keluarga menderita PJK mempunyai risiko 1,75 kali lebih besar untuk

menderita PJK (RR=1,75; 95% CI 1,59-1,92) dan wanita dengan riwayat

keluarga menderita PJK mempunyai risiko 1,83 kali lebih besar untuk

menderita PJK (RR=1,83; 95% CI 1,60-2,11) dibandingkan dengan yang

tidakmempunyai riwayat PJK.

6. Hipertensi Sistemik

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kalalembang dan Alfrienti

dengan judul “Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit

jantung koroner di RSU Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan” menyimpulkan

bahwa 4 (empat) faktor risiko yang mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05)

adalah tekanan darah (hipertensi), umur, riwayat PJK pada orang tua dan olah

raga.

Risiko PJK secara langsung berhubungan dengan tekanan darah,

untuk setiap penurunan tekanan darah disatolik sebesar 5 mmHg risiko PJK

berkurang sekitar 16 %. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan

resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya

terjadi hipertropi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kebutuhan

oksigen oleh miokardium akan meningkat akibat hipertrofi ventrikel, hal ini

mengakibat peningkatan beban kerja jantung yang pada akhirnya

menyebabkan angina dan infark miokardium.

Disamping itu juga secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan

darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga rupture dan

oklusi vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang normotensi.

Penelitian Framingham menunjukkan LVH akan meninggikan PJK 4 – 5 kali

pada penderita usia lanjut.

9

Gambar 2. Pengaruh Hipertensi Pada Jantung

7. Hiperhomosistein

Peningkatan kadar homosistein dalam darah akhir-akhir ini telah

ditegakkan sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya trombosis dan

penyakit vaskuler. Hiperhomosisteinemia ini akan lebih meningkatkan lagi

kejadian aterotrombosis vaskuler pada individu dengan faktor risiko yang lain

seperti kebiasaan merokok dan hipertensi.

Lebih dari 31 penelitian kasus kontrol dan potong lintang yang

melibatkan sekitar 7000 penderita didapatkan hiperhomosisteinemia pada 30 %

sampai 90 % penderita aterosklerosis dan berhubungan dengan peningkatan

risiko penyakit jantung koroner.

E. DIAGNOSIS PENYAKIT JANTUNG KORONER

Langkah pertama dalam pengelolaan PJK ialah penetapan diagnosis pasti.

Diagnosis yang tepat amat penting, karena bila diagnosis PJK telah dibuat di

dalamnya terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai kemungkinan akan

dapat mengalami infark atau kematian mendadak. Diagnosis yang salah selalu

mempunyai konsekuensi buruk terhadap kualitas hidup penderita. Pada orang-orang

muda, pembatasan kegiatan jasmani yang tidak pada tempatnya mungkin akan

dinasihatkan. Selain itu kesempatan mereka untuk mendapat pekerjaan mungkin akan

10

berkurang. Bila hal ini terjadi pada orang-orang tua, maka mereka mungkin harus

mengalami pensiun yang terlalu dini, harus berulang kali di rawat di rumah sakit atau

harus makan obat-obatan yang potensial toksin untuk jangka waktu lama (Gray, dkk.,

2005).

Tabel 3 memperlihatkan cara-cara diagnostik PJK yang terpenting, baik yang

saat ini ada atau yang di masa yang akan datang potensial akan mempunyai peranan

besar. Dokter harus memilih pemeriksaan apa saja yang perlu dilakukan terhadap

penderita untuk mencapai ketepatan diagnostik yang maksimal dengan resiko dan

biaya yang seminimal mungkin.

No Diagnostik Penyakit Jantung Koroner

1 Anamnesis: Nyeri dada iskemik, identifikasi faktor pencetus dan atau faktor

resiko. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut:

a. Lokasi: substermal, retrostermal dan prekordial.

b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,

seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

c. Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula,

dan dapat juga ke lengan kanan.

d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.

e. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah

makan

f. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin.

g. Hati-hati pada pasien diabetes mellitus, kerap pasien tidak mengeluh nyeri

dada akibat neuropati diabetik.

Berikut perbedaan nyeri dada jantung dan non-jantung

11

Pada UAP Crescendo angina, Angina Pektoris Stabil Decrescendo

Angina pada wanita dan pria:

a. Wanita: Paling sering angina (terkadang pasien hanya bilang sesak padahal

maksudnya nyeri dada)

b. Pria: Paling sering langsung miocard infark banyak yang sudden death

2 Pemeriksaan Fisik

Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus

dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari PJK. Hipertensi tak terkontrol,

takikardi, anemis, tirotoksikosis, stenosis aorta berat (bising sistolik), dan

kondisi lain, seperti penyakit paru. Dapat juga ditemukan retinopati

hipertensi/diabetik.

Keadaan disfungsi ventrikel kiri/tanda-tanda gagal jantung (hipotensi,

murmur dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di

karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki

kemungkinan juga penderita penyakit jantung koroner (PJK).

3 Laboratorium: leukositosis/normal, anemia, gula darah tinggi/normal,

dislipidemia, SGOT meningkat, jika cek enzim jantung maka meningkat

Enzim Jantung Penanda Infark Miokardium (Gambar 8)

Enzim Meningkat Puncak Normal

CK-MB 6 jam 24 jam 36-48 jam

GOT 6-8 jam 36-48 jam 48-96 jam

LDH 24 jam 48-72 jam 7-10 hari

Troponin T

Troponin I

3 jam

3 jam

12-24 jam

12-24 jam

7-10 hari

7-14 hari

4 Foto Dada: Kardiomegali, aortosklerosis, edema paru

5 Pemeriksaan Jantung Non-invasif

a. EKG

Akut Koroner Sindrom:

- STEMI ST elevasi > 2mm minimal pada 2 sandapan prekordial

yang berdampingan atau > 1mm pada 2 sandapan ekstremitas, LBBB

baru atau diduga baru; ada evolusi EKG

- NSTEMI Normal, ST depresi > 0,05mV, T inverted simetris; ada

evolusi EKG

12

- UAP Normal atau transient

Angina Pektoris Stabil iskemia, dapat kembali normal waktu nyeri

hilang.

ST depresi ST elevasi Q patologis

T inverted simetris AMI

OMI

b. Uji Latihan Jasmani (Treadmill)

c. Uji Latihan Jasmani Kombinasi Pencitraan:

- Uji Latih Jasmani Ekokardiografi (Stress Eko)

- Uji Latih Jasmani Scintigrafi Perfusi Miokard

- Uji Latih Jasmani Farmakologik Kombinasi Teknik Imaging

d. Ekokardiografi Istirahat

e. Monitoring EKG Ambulatoar

f. Teknik Non-invasif Penentuan Klasifikasi Koroner dan Anatomi Koroner:

- Computed Tomografi

- Magnetic Resonance Arteriography

6 Pemeriksaan Invasif Menentukan Anatomi Koroner

- Arteriografi Koroner

- Ultrasound Intra Vaskular (IVUS)

Setiap pasien dengan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis yang teliti,

penentuan faktor resiko, pemeriksaan jasmani dan EKG. Pada pasien dengan gejala

angina pektoris ringan cukup dilakukan pemeriksaan non-invasif. Bila pasien dengan

keluhan yang berat dan kemungkinan diperlukan tindakan revaskularisasi, maka

tindakan angiografi sudah merupakan indikasi.

Pada keadaan yang meragukan apat dilakukan treadmill test. Treadmill test

lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan EKG istirahat dan merupakan test

pilihan untuk mendeteksi pasien dengan kemungkinan angina pektoris dan

pemeriksaannya yang mudah dan biayanya terjangkau. Pada pasien PJK, iskemia

miokard direfleksikan dengan depresi segmen ST, yang sering terlihat pada lead

dengan gelombang R tertinggi (biasanya V5).

13

Pemeriksaan alternatif lain yang dapat dilakukan adalah ekokardiografi dan

teknik non-invasif penentuan kalsifikasi koroner dan anatomi koroner, Computed

Tomography, Magnetic Resonance Arteriography, dengan sensitifitas dan spesifitas

yang lebih tinggi. Di samping itu tes ini juga cocok untuk pasien yang tidak dapat

melakukan exercise, di mana dapat dilakukan uji latih dengan menggunakan obat

dipyridamole atau dobutamine (Gray, dkk., 2005).

F. GAMBARAN EKG PADA PENYAKIT JANTUNG KORONER

Satu dari tiga komponen penting dalam diagnosis penyakit jantung koroner

utamanya sindrom koroner akut adalah EKG. Kombinasi riwayat penyakit yang khas

dan peningkatan kadar enzim jantung lebih dapat diandalkan daripada EKG dalam

diagnosis infark miokard. EKG memiliki tingkat akurasi prediktif positif sekitar 80%.

1. Segmen ST dan Gelombang T pada Iskemia Miokard

Iskemia miokard akan memperlambat proses repolarisasi, sehingga pada EKG

dijumpai perubahan segmen ST (depresi) dan gelombang T (inversi) tergantung

beratnya iskemia serta waktu pengambilan EKG. Spesifitas perubahan segmen ST

pada iskemia tergantung morfologinya. Diduga iskemia jika depresi segmen ST

lebih dari 0,5mm (setengah kotak kecil) dibawah garis besline (garis isoelektris)

dan 0,04 detik dari j point. Pada treadmill test, positif iskemia jika terdapat depresi

segmen ST sebesar 1mm.

Gambar 3. Variasi segmen ST (depresi) pada iskemia

2. Perubahan/Evolusi EKG pada Injure Miokard

14

10

Sel miokard yang mengalami injuri tidak akan berdepolarisasi sempurna,

secara elektrik lebih bermuatan positif dibanding daerah yang tidak mengalami

injuri dan pada EKG terdapat gambaran elevasi segmen ST pada sandapan yang

berhadapan dengan lokasi injuri. Elevasi segmen ST bermakna jika elevasi > 1mm

pada sandapan ekstremitas dan > 2mm pada sandapan prekordial di dua atau lebih

sandapan yang menghadap daerah anatomi jantung yang sama. Perubahan segmen

ST, gelombang T dan kompleks QRS pada injuri dan infark mempunyai

karakteristik tertentu sesuai waktu dan kejadian selama infark. Aneurisma ventrikel

harus dipikirkan jika elevasi segmen ST menetap beberapa bulan setelah infark

miokard.

Gambar 4. Pola perubahan EKG pada IMA dengan ST elevasi

3. Perubahan EKG pada Infark Miokard Lama (OMI)

Infark miokard terjadi jika aliran arah ke otot jantung terhenti atau tiba-tiba

menurun sehingga sel otot jantung mati. Sel infark yang tidak berfungsi tersebut

tidak mempunyai respon stimulus listrik sehingga arah arus yang menuju daerah

infark akan meninggalkan daerah yang nekrosis tersebut dan pada EKG

15

memberikan gambaran defleksi negatif berupa gelombang Q patologis dengan

syarat durasi gelombang Q lebih dari 0,04 detik dan dalamnya harus minimal

sepertiga tinggi gelombang R pada kompleks QRS yang sama.

Gambar 5. (A) EKG sandapan II normal dengan progresi normal vektor listrik (tanda panah) dan kompleks QRS dimulai dengan gelombang Q septal yang kecil. (B) Perubahan EKG sandapan II pada infark lama: arah arus meninggalkan daerah infark (tanda panah) dan memperlihatkan gambaran defleksi negatif berupa gelombang Q patologis pada EKG

4. Konsep Resiprokal

Pada sandapan dengan arah berlawanan dari daerah injuri menunjukkan

gambaran depresi segmen ST dan disebut perubahan resiprokal (mirror image).

Perubahan ini dijumpai pada dinding jantung berlawanan dengan lokasi infark

(75% dijumpai pada infark inferior dan 30% pada infark anterior). Perubahan ini

terjadi hanya sebentar diawal infark dan jika ada berarti dugaan kuat suatu infark

akut.

Gambar 6. Konsep Resiprokal

5. Lokalisasi Infark Berdasarkan Lokasi Letak Perubahan EKG

16

Lokasi Lead / Sandapan Perubahan EKGAnterior V1-V4 ST elevasi, Gelombang Q

Anteroseptal V1-V3 ST elevasi, Gelombang QAnterior Ekstensif V1-V6 ST elevasi, Gelombang Q

Posterior V1-V2 ST depresi, Gelombang R tinggiLateral I, avL, V5-V6 ST elevasi, Gelombang QInferior II, III, avF ST elevasi, Gelombang Q

Ventrikel kanan V4R-V5R ST elevasi, Gelombang Q

G. PENATALAKSANAAN PENYAKIT JANTUNG KORONER

1. Akut Koroner Sindrom

Diagnosis; 2 dari 3 dibawah ini

a. Angina (Sensitifitas 70%, Spesifitas 20%)

b. Perubahan EKG (Sensitifitas 50%, Spesifitas 100%)

c. Peningkatan Enzim Jantung (Sensitifitas dan Spesifitas mendekati 100%)

Berdasarkan triase dari pasien dengan kemungkinan SKA, langkah yang diambil

pada prinsipnya sebagai berikut :

a. Jika riwayat dan anamnesa curiga adanya SKA

1) Berikan asetil salisilat (ASA) 300 mg dikunyah, berikan nitrat sublingual

2) Rekam EKG 12 sadapan atau kirim ke fasilitas yang memungkinkan

3) Jika mungkin periksa petanda biokimia

b. Jika EKG dan petanda biokimia curiga adanya SKA: Kirim pasien ke fasilitas

kesehatan terdekat dimana terapi defenitif dapat diberikan

c. Jika EKG dan petanda biokimia tidak pasti akan SKA

1) Pasien risiko rendah ; dapat dirujuk ke fasilitas rawat jalan

2) Pasien risiko tinggi : pasien harus dirawat

Penanganan di Instalasi Gawat Darurat

Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena kita berpacu

dengan waktu dan bila makin cepat tindakan reperfusi dilakukan hasilnya akan

lebih baik. Tujuannya adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun

membatasi luasnya infark dan mempertahankan fungsi jantung. Manajemen yang

dilakukan adalah sebagai berikut :

17

a. Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah:

1) Pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan,

2) Periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT,

3) Berikan segera: 02, infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%,

4) Pasang monitoring EKG secara kontiniu,

5) Pemberian obat:

- Nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi

bila TD sistolik < 90 mmHg, bradikardia (< 50 kpm)

- Aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti dengan

dipiridamol, tiklopidin atau klopidogrel, dan

- Mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5

menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau

tramadol 25-50 mg intravena.

Prinsip Management:

STEMI : MONACO + Reperfusi

NSTEMI : MONACO + Heparin

b. Hasil penilaian EKG, bila:

1) Elevasi segmen ST > 0,1 mV pada 2 atau lebih sadapan ekstremitas

berdampingan atau > 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial

berdampingan atau blok berkas (BBB) dan anamnesis dicurigai adanya IMA

maka sikap yang diambil adalah dilakukan reperfusi dengan :

Terapi trombolitik bila waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam,

usia < 75 tahun dan tidak ada kontraindikasi.

o Streptokinase: BP > 90 mmHg

o tPA: BP < 70mmHg

o Kontraindikasi: Riwayat stroke hemoragik, active internal bleeding,

diseksi aorta.

o Jika bukan kandidate reperfusi maka perlakukan sama dengan

NSTEMI/UAP.

Angioplasti koroner (PTCA) primer bila fasilitas alat dan tenaga

memungkinkan. PTCA primer sebagai terapi alternatif trombolitik atau

bila syok kardiogenik atau bila ada kontraindikasi terapi trombolitik

18

2) Bila sangat mencurigai ada iskemia (depresi segmen ST, insersi T), diberi

terapi anti-iskemia, maka segera dirawat di ICCU;

3) EKG normal atau nondiagnostik, maka pemantauan dilanjutkan di UGD.

Perhatikan monitoring EKG dan ulang secara serial dalam pemantauan 12

jam pemeriksaan enzim jantung dari mulai nyeri dada dan bila pada evaluasi

selama 12 jam, bila:

EKG normal dan enzim jantung normal, pasien berobat jalan untuk

evaluasi stress test atau rawat inap di ruangan (bukan di ICCU), dan

EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung meningkat, pasien di

rawat di ICCU.

Gambar 7. Tatalaksana Akut Koroner Sindrom dengan ST elevasi

19

Gambar 8. Tatalaksana Akut Koroner Sindrom Non-ST elevasi/UAP

2. Angina Pektoris Stabil (Kronis Koroner Sindrom)

Tujuan utama pengobatan adalah mencegah kematian dan terjadinya

serangan jantung (infark). Sedangkan yang lainnya adalah mengontrol serangan

angina sehingga memperbaiki kualitas hidup.

Pengobatan terdiri dari farmakologis dan non-farmakologis untuk mengontrol

angina dan memperbaiki kualitas hidup. Tindakan lain adalah terapi reperfusi

miokardium dengan cara intervensi koroner dengan balon dan pemakaian stent

sampai operasi CABG (bypass).

Berikut 10 elemen penting untuk penatalaksanaan angina stabil:

A. Aspirin dan anti angina

B. Beta bloker dan pengontrol tekanan darah

C. Cholesterol kontrol dan berhenti merokok

D. Diet dan atasi diabetes

E. Edukasi dan olah raga

20

H. KOMPLIKASI PENYAKIT JANTUNG KORONER

Komplikasi tertinggi akut infark adalah aritmia, aritmia yang sering memberikan

komplikasi adalah ventrikel vibrilasi. Ventrikel vibrilasi 95% meninggal sebelum

sampai rumah sakit. Komplikasi lain meliputi disfungsi ventrikel kiri/gagal jantung

dan hipotensi/syok kardiogenik.

I. PROGNOSIS PENYAKIT JANTUNG KORONER

Prognosis pada penyakit jantung koroner tergantung dari beberapa hal yaitu:

1. Wilayah yang terkena oklusi

2. Sirkulasi kolateral

3. Durasi atau waktu oklusi

4. Oklusi total atau parsial

5. Kebutuhan oksigen miokard

Berikut prognosis pada penyakit jantung koroner:

1. 25% meninggal sebelum sampai ke rumah sakit

2. Total mortalitas 15-30%

3. Mortalitas pada usia < 50 tahun 10-20%

4. Mortalitas usia > 50 tahun sekitar 20%

21

BAB III

KESIMPULAN

Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang terutama disebabkan

karena penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme atau

kombinasi keduanya. Faktor resiko meliputi dislipidemia, diabetes, merokok, hipertensi,

keturunan, hemosistein.

Aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak (99%) PJK. Arterosklerosis pada

dasarnya merupakan suatu kelainan yang terdiri atas pembentukan fibrolipid dalam bentuk

plak-plak yang menonjol atau penebalan yang disebut ateroma yang terdapat didalam

tunika intima dan pada bagian dalam tunika media.

Aterosklerosis yang terbentuk dalam lumen arteri dapat bersifat sebagai plak yang

vulnarable maupun plak stabil. Oleh karena itu penyakit jantung koroner memberikan dua

manifestasi klinis penting yaitu akut koroner sindrom dan angina pektoris stabil. Akut

Koroner Sindrom dapat sebagai STEMI maupun NSTEMI/UAP.

Penyakit jantung koroner memberikan gejala berupa angina. Angina merupakan

nyeri dada iskemik yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen

miokard dengan penyediannya (UAP; crecendo angina, angina stabil; decrecendo angina).

Akut Koroner Sindrom dapat didiagnosis, 2 dari 3 hal berikut yaitu nyeri dada angina,

perubahan EKG dan peningkatan enzim jantung.

Tatalaksana STEMI meliputi MONACO + Reperfusi, pada NSTEMI/UAP dapat

diberikan MONACO + Heparin sedangkan terapi pada angina pektoris stabil pengobatan

terdiri dari farmakologis dan non-farmakologis untuk mengontrol angina dan memperbaiki

kualitas hidup. Tindakan lain pada angina pektoris stabil adalah terapi reperfusi

miokardium dengan cara intervensi koroner dengan balon dan pemakaian stent sampai

operasi CABG (bypass).

22

DAFTAR PUSTAKA

ACC/AHA 2007 Guidelines for the Management of Patients With Unstable Angina/ Non–ST-Elevation Myocardial Infarction-Executive Summary. J Am Coll Cardiol, 2007; 50:652-726

Acute Coronary Sindromes. (2010). Journal of the American Medical Association, Vol. 303, No.1

Alim, Ahmad. (2008). Pocket ECG How to Learn ECG from Zero. Pengantar DR. H. Budi Yuli Setianto., Sp.PD (K), Sp.JP (K), FIHA. Penerbit Intan Cendikia

Alwi, Idrus. (2006). Tatalaksana Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Bahri, Anwar. (2005). Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara [Versi elektronik]. e-USU Repository.

Buckley., Freeman., Rogers., et. Al. (2009). Using non traditional Risk Factors to Estimate Risk for Coronary Heart Disease. American College of Physician

Coughlin, DeBeasi. (2006). Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit (6th ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Guyton, AC dan Hall, JE. (2006). Texbook of Medical Physiology (11th ed.). Philadelphia: Elsevier Saunders Inc.

Gray, Huon., Dawkins., Morgan, John dan Simpson. (2005). Penyakit Jantung Koroner. Lecture Notes Kardiologi (4th ed.). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Harun, S. (2006). Infark Miokard Akut Tanpa ST Elevasi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Homosistein Sebagai Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. (2001). Majalah Kedokteran Andalas Vol.25. No. 1.

Informatorium Obat Nasional Indonesia. (2008). Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. KOPERKOM: Sagung Seto.

Kalim, Harmani. (2009). Penanganan Mutakhir Penyakit Jantung Koroner: Sindroma Koroner Akut. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Majid, Abdul. (2007). Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan dan Pengobatan Terkini. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

23

Nawawi, dkk., (2006). Nilai Troponin T Penderita Sindrom Koroner Akut. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3, Juli 2006: 123-126

Rahman, Muin. (2006). Angina Pektoris Stabil. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Santoso, M dan Setiawan, T. (2005). Penyakit Jantung Koroner. Departemen Ilmu Penyakit Dalam UKRIDA Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 147

Setianto, Budi Yuli dkk., (2003). Hubungan Angka Leukosit Pada Infark Miokard Akut dengan Kejadian Cardiac Event Selama Dirawat di Rumah Sakit. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Berkala Ilmu Kedokteran. Vol. 35., No. 1

Setyani, Rani. (2009). Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Jantung Koroner Pada Usia Produktif (< 55 tahun) [Versi elektronik]. Airlangga University Digital Library.

Susmadi. (2008). Tes Toleransi Latihan Pada Gangguan Kardiovaskuler. Tesis Magister Keperawatan Bedah. Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia.

Tanuwidjojo S, Rifqi S. (2003). Atherosklerosis from theory to clinical practice, Naskah lengkap cardiology-update. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Tarigan, Elias. (2003). Hubungan Kadar Troponin T dengan Gambaran Klinis Sindrom Koroner Akut [Versi Elektronik]. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Digitized by USU Digital Library

Tristohadi, Hanafi. (2006). Angina Pektoris Tak Stabil. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

World Health Organization. (2006). Deaths from coronary heart disease. Diakses 13 Desember 2010 dari www.who.int/cardiovascular_diseases/cvd_14_deathHD.pdf

24