PJK ISI
-
Upload
ncek-ridwan -
Category
Documents
-
view
215 -
download
2
description
Transcript of PJK ISI
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang terutama
disebabkan karena penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau
spasme atau kombinasi keduanya. Hal ini sering ditandai dengan keluhan nyeri dada.
Penyakit jantung koroner (PJK) menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun,
apalagi dengan adanya fasilitas diagnostik dan unit-unit perawatan penyakit jantung
koroner intensif yang semakin tersebar merata. Di negara yang sedang berkembang,
penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kematian dan menjadi masalah
kesehatan utama di dunia (Setyani, 2009).
American Heart Association pada tahun 2004 memperkirakan prevalensi
penyakit jantung koroner di Amerika Serikat sekitar 13.200.000. Angka kematian
karena PJK di seluruh dunia tiap tahun didapatkan 50 juta, sedangkan di negara
berkembang terdapat 39 juta (Tanuwidjojo, 2003). WHO pada tahun 2002
memperkirakan di seluruh dunia setiap tahunnya 3,8 juta pria dan 3,4 juta wanita
meninggal karena PJK (World Health Organization, 2006).
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan
RI pada tahun 1986, PJK menduduki peringkat ketiga sebagai penyebab kematian
pada usia di atas 45 tahun, pada tahun 1992 naik menjadi peringkat kedua dan sejak
tahun 1993 menjadi peringkat pertama. Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan PJK
menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi
(Tanuwidjojo, 2003).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI PENYAKIT JANTUNG KORONER
Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah penyakit
jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteri koronaria. Penyempitan tersebut
dapat disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis arteritis, emboli koronaria,
dan spasme. Oleh karena aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak (99%) maka
pembahasan tentang PJK pada umumnya terbatas penyebab tersebut (Majid, 2007).
Arterosklerosis pada dasarnya merupakan suatu kelainan yang terdiri atas
pembentukan fibrolipid dalam bentuk plak-plak yang menonjol atau penebalan yang
disebut ateroma yang terdapat didalam tunika intima dan pada bagian dalam tunika
media. Proses ini dapat terjadi pada seluruh arteri, tetapi yang paling sering adalah
pada left anterior descendent arteri coronaria, proximal arteri renalis dan bifurcatio
carotis.
B. PATOGENESIS PEMBENTUKAN ATEROSKLEROSIS
1. Pembentukan Aterosklerosis
Ada beberapa hopotesis yang menerangkan tentang proses terbentuknya
aterosklerosis, seperti monoclonal hypothesis, lipogenic hypothesis dan response
to injure hypothesis. Namun yang banyak diperbincangkan adalah mengenai
empat stage respon to injure hypothesis sebagai berikut:
a. Stage A: Endothelial injure
Endotelial yang intake dan licin berfungsi sebagai barrier yang menjamin
aliran darah koroner lancar. Faktor resiko yang dimiliki pasien akan
memudahkan masuknya lipoprotein densitas rendah yang teroksidasi maupun
makrofag ke dalam dinding arteri. Interaksi antara endotelial injure dengan
platelet, monosit dan jaringan ikat (collagen), menyebabkan terjadinya
2
penempelan platelet (platelet adherence) dan agregasi trombosit (trombosit
agregation).
b. Stage B: Fatty Streak Formation
c. Stage C: Fibrosis Plaque Formation
Formasi plak fibrosis terdiri atas inti atau central cholesterol dan tutup
jaringan ikat (cap fibrous). Formasi ini memberikan dua gambaran tipe yaitu:
1) Stable fibrous plaque
2) Unstable fibrous plaque
d. Stage D: Unstable Plaque Formation
Formasi ini akan membentuk plak yang mudah ruptur (vulnarable plaque),
sehingga menyebabkan terbentuknya trombus dan oklusi pada arteri.
2. Patofisiologi Terjadinya Infark Miokard
C. MANIFESTASI KLINIS PENYAKIT JANTUNG KORONER
Diatas telah dijelaskan bahwa aterosklerosis yang terbentuk dalam lumen arteri
dapat bersifat sebagai plak yang vulnarable maupun plak stabil. Oleh karena itu
3
penyakit jantung koroner memberikan dua manifestasi klinis penting yaitu akut
koroner sindrom dan angina pektoris stabil (ACC/AHA, 2007).
1. Plak Vulnarable (Plak yang memiliki dinding tipis dengan lemak yang besar,
mudah ruptur jika ada faktor pencetus akibat aktivasi enzim protease yang
dihasilkan makrofag) Akut koroner sindrom
a. ST elevasi miokard infark (STEACS); oklusi total oleh trombus
1) STEMI; infark, dengan peningkatan enzim jantung
2) Angina variant (prinzmetal), jarang terjadi; akibat spasme koroner
b. Non-ST elevasi acute coronary syndrom (NSTEACS); oklusi parsial
1) NSTEMI; infark, dengan peningkatan enzim jantung
2) Unstable angina; kresendo angina, tanpa peningkatan enzim jantung
2. Plak Stabil (Plak yang memiliki dinding tebal dengan lemak yang sedikit)
angina pektoris stabil; dekresendo angina, tanpa peningkatan enzim jantung.
D. FAKTOR RESIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER
1. Lipid
Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat
dimodifikasi untuk perkembangan dan perubahan secara progresif atas
terjadinya PJK. Kolesterol ditranspor dalam darah dalambentuk lipoprotein, 75
% merupakan lipoprotein densitas rendah (low density liproprotein/LDL) dan
20 % merupakan lipoprotein densitas tinggi (high density liproprotein/HDL).
Kadar kolesterol HDL-lah yang rendah memiliki peran yang baik pada PJK
dan terdapat hubungan terbalik antara kadar HDL dan insiden PJK.
Pada laki-laki usia pertengahan (45 s.d 65 tahun) dengan tingkat
serum kolesterol yang tinggi (kolesterol : > 240 mg/dL dan LDL kolesterol : >
160 mg/dL) risiko terjadinya PJK akan meningkat. Pemberian terapi dengan
pravastatin dapat menurunkan rata-rata kadar LDL kolesterol sebesar 32 %,
pasien yang mendapatkan pengobatan dengan pravastatin terhindar dari
kejadian PJK sebesar 24 % dibandingkan dengan kelompok placebo.
Selain itu juga studi yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa
asam lemak omega-3 dapat menurunkan kolesterol LDL, mengurangi kadar
trigliserid dan meningkatkan kolesterol HDL. Beberapa vitamin diduga
4
mempunyai efek protektif terhadap aterosklerosis, salah satunya adalah
vitamin C dan E sebagai anti oksidan guna mencegah oksidasi lipid pada plak.
Tabel 1. Total Kolesterol dan LDL Kolesterol
2. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya penyakit
jantung, termasuk serangan jantung dan stroke, dan juga memiliki hubungan
kuat untuk terjadinya PJK sehingga dengan berhenti merokok akan
mengurangi risiko terjadinya serangan jantung. Merokok sigaret menaikkan
risiko serangan jantung sebanyak 2 sampai 3 kali. Sekitar 24 % kematian
akibat PJK pada laki-laki dan 11 % pada perempuan disebabkan kebiasaan
merokok. Meskipun terdapat penurunan yang progresif proporsi pada populasi
yang merokok sejak tahun 1970-an, pada tahun 1996 sebesar 29 % laki-laki
dan 28 % perempuan masih merokok. Salah satu hal yang menjadi perhatian
adalah prevalensi kebiasaan merokok yang meningkat pada remaja, terutama
pada remaja perempuan. Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama
perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan risiko sebesar 20 – 30 %
dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan bukan perokok. Risiko
terjadinya PJK akibat merokok berkaitan dengan dosis dimana orang yang
merokok 20 batang rokok atau lebihdalam sehari memiliki resiko sebesar dua
hingga tiga kali lebih tinggi daripada populasi umum untuk mengalami
kejadian PJK.
Peran rokok dalam patogenesis PJK merupakan hal yang kompleks,
diantaranya :
a. Timbulnya aterosklerosis.
5
b. Peningkatan trombogenesis dan vasokonstriksi (termasuk spasme arteri
koroner)
c. Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.
d. Provokasi aritmia jantung.
e. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard.
f. Penurunan kapasitas pengangkutan oksigen.
g. Risiko terjadinya PJK akibat merokok turun menjadi 50 % setelah satu
tahun berhenti merokok dan menjadi normal setelah 4 tahun berhenti.
Rokok juga merupakan faktor risiko utama dalam terjadinya : penyakit
saluran nafas, saluran pencernaan, cirrhosis hepatis, kanker kandung
kencing dan penurunan kesegaran jasmani.
Manfaat penghentian kebiasaan merokok lebih sedikit kontroversinya
dibandingkan dengan diit dan olah raga. Tiga penelitian secara acak tentang
kebiasaan merokok telah dilakukan pada program prevensi primer dan
membuktikan adanya penurunan kejadian vaskuler sebanyak 7-47% pada
golongan yang mampu menghentikan kebiasaan merokoknya dibandingkan
dengan yang tidak. Oleh karena itu saran penghentian kebiasaan merokok
merupakan komponen utama pada program rehabilitasi jantung koroner.
3. Obesitas
Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko peningkatan
PJK, hipertensi, angina, stroke, diabetes dan merupakan beban penting pada
kesehatan jantung dan pembuluh darah. Data dari Framingham menunjukkan
bahwa apabila setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi
penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro vascular accident
(CVA) sebanyak 3,5 %.
Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah,
memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan
dislipidemia.
Hal tersebut ditempuh dengan cara mengurangi asupan kalori dan
menambah aktifitas fisik. Disamping pemberian daftar komposisi makanan ,
pasien juga diharapkan untuk berkonsultasi dengan pakar gizi secara teratur.
6
Tabel 2. Klasifikasi Berat Badan Menurut Index Masa Tubuh
4. Diabetes Mellitus
Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, lebih progresif,
lebih kompleks, dan lebih difus dibandingkan kelompok control dengan usia
yang sesuai.
Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik-pathologi
pada system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial
dan gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko
terjadinya coronary artery diseases (CAD). Kondisi ini dapat mengakibatkan
terjadinya mikroangiopati, fibrosis otot jantung, dan ketidaknormalan
metabolisme otot jantung.
Risiko terjadinya PJK pada psien dengan NIDDM adalah dua hingga
empat kali lebih tinggi daripada populasi umum dan tampaknya tidak terkait
dengan derajat keparahan atau durasi diabetes, mungkin karena adanya
resistensi insulin dapat mendahului onset gejala klinis 15 – 25 tahun
sebelumnya. Sumber lain mengatakan bahwa, pasien dengan diabetes mellitus
berisiko lebih besar (200%) untuk terjadinya cardiovasculair diseases dari
pada individu yang tidak diabet.
7
Other non ischemic
Gambar 1. Potential mechanisms linking diabetes mellitus to heart failure
Diabetes, meskipun merupakan faktor risiko independent untuk PJK,
juga berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas,
hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi
platelet dan peningkatan kadar fibrinogen). Hasil coronary artery bypass
grafting (CABG) jangka panjang tidak terlalu baik pada penderita diabetes,
dan pasien diabetic memiliki peningkatan mortalitas dini serta risiko stenosis
berulang pasca angioplasty koroner.
5. Riwayat Keluarga
Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam
patogenesis PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting
dalam diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK. Penyakit jantung
koroner kadang-kadang bisa merupakan manifestasi kelainan gen tunggal
spesifik yang berhubungan dengan mekanisme terjadinya aterosklerotik.
Riwayat keluarga PJK pada keluarga yang langsung berhubungan
darah yang berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor risiko independent
untuk terjadinya PJK, dengan rasio odd dua hingga empat kali lebih besar dari
pada populasi control. Agregasi PJK keluarga menandakan adanya predisposisi
8
genetik pada keadaan ini. Terdapat beberapa bukti bahwa riwayat keluarga
yang positif dapat mempengaruhi usia onset PJK pada keluarga dekat.
The Reykjavik Cohort Study menemukan bahwa pria dengan riwayat
keluarga menderita PJK mempunyai risiko 1,75 kali lebih besar untuk
menderita PJK (RR=1,75; 95% CI 1,59-1,92) dan wanita dengan riwayat
keluarga menderita PJK mempunyai risiko 1,83 kali lebih besar untuk
menderita PJK (RR=1,83; 95% CI 1,60-2,11) dibandingkan dengan yang
tidakmempunyai riwayat PJK.
6. Hipertensi Sistemik
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kalalembang dan Alfrienti
dengan judul “Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit
jantung koroner di RSU Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan” menyimpulkan
bahwa 4 (empat) faktor risiko yang mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05)
adalah tekanan darah (hipertensi), umur, riwayat PJK pada orang tua dan olah
raga.
Risiko PJK secara langsung berhubungan dengan tekanan darah,
untuk setiap penurunan tekanan darah disatolik sebesar 5 mmHg risiko PJK
berkurang sekitar 16 %. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan
resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya
terjadi hipertropi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kebutuhan
oksigen oleh miokardium akan meningkat akibat hipertrofi ventrikel, hal ini
mengakibat peningkatan beban kerja jantung yang pada akhirnya
menyebabkan angina dan infark miokardium.
Disamping itu juga secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan
darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga rupture dan
oklusi vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang normotensi.
Penelitian Framingham menunjukkan LVH akan meninggikan PJK 4 – 5 kali
pada penderita usia lanjut.
9
Gambar 2. Pengaruh Hipertensi Pada Jantung
7. Hiperhomosistein
Peningkatan kadar homosistein dalam darah akhir-akhir ini telah
ditegakkan sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya trombosis dan
penyakit vaskuler. Hiperhomosisteinemia ini akan lebih meningkatkan lagi
kejadian aterotrombosis vaskuler pada individu dengan faktor risiko yang lain
seperti kebiasaan merokok dan hipertensi.
Lebih dari 31 penelitian kasus kontrol dan potong lintang yang
melibatkan sekitar 7000 penderita didapatkan hiperhomosisteinemia pada 30 %
sampai 90 % penderita aterosklerosis dan berhubungan dengan peningkatan
risiko penyakit jantung koroner.
E. DIAGNOSIS PENYAKIT JANTUNG KORONER
Langkah pertama dalam pengelolaan PJK ialah penetapan diagnosis pasti.
Diagnosis yang tepat amat penting, karena bila diagnosis PJK telah dibuat di
dalamnya terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai kemungkinan akan
dapat mengalami infark atau kematian mendadak. Diagnosis yang salah selalu
mempunyai konsekuensi buruk terhadap kualitas hidup penderita. Pada orang-orang
muda, pembatasan kegiatan jasmani yang tidak pada tempatnya mungkin akan
dinasihatkan. Selain itu kesempatan mereka untuk mendapat pekerjaan mungkin akan
10
berkurang. Bila hal ini terjadi pada orang-orang tua, maka mereka mungkin harus
mengalami pensiun yang terlalu dini, harus berulang kali di rawat di rumah sakit atau
harus makan obat-obatan yang potensial toksin untuk jangka waktu lama (Gray, dkk.,
2005).
Tabel 3 memperlihatkan cara-cara diagnostik PJK yang terpenting, baik yang
saat ini ada atau yang di masa yang akan datang potensial akan mempunyai peranan
besar. Dokter harus memilih pemeriksaan apa saja yang perlu dilakukan terhadap
penderita untuk mencapai ketepatan diagnostik yang maksimal dengan resiko dan
biaya yang seminimal mungkin.
No Diagnostik Penyakit Jantung Koroner
1 Anamnesis: Nyeri dada iskemik, identifikasi faktor pencetus dan atau faktor
resiko. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut:
a. Lokasi: substermal, retrostermal dan prekordial.
b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c. Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula,
dan dapat juga ke lengan kanan.
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.
e. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan
f. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin.
g. Hati-hati pada pasien diabetes mellitus, kerap pasien tidak mengeluh nyeri
dada akibat neuropati diabetik.
Berikut perbedaan nyeri dada jantung dan non-jantung
11
Pada UAP Crescendo angina, Angina Pektoris Stabil Decrescendo
Angina pada wanita dan pria:
a. Wanita: Paling sering angina (terkadang pasien hanya bilang sesak padahal
maksudnya nyeri dada)
b. Pria: Paling sering langsung miocard infark banyak yang sudden death
2 Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus
dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari PJK. Hipertensi tak terkontrol,
takikardi, anemis, tirotoksikosis, stenosis aorta berat (bising sistolik), dan
kondisi lain, seperti penyakit paru. Dapat juga ditemukan retinopati
hipertensi/diabetik.
Keadaan disfungsi ventrikel kiri/tanda-tanda gagal jantung (hipotensi,
murmur dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di
karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki
kemungkinan juga penderita penyakit jantung koroner (PJK).
3 Laboratorium: leukositosis/normal, anemia, gula darah tinggi/normal,
dislipidemia, SGOT meningkat, jika cek enzim jantung maka meningkat
Enzim Jantung Penanda Infark Miokardium (Gambar 8)
Enzim Meningkat Puncak Normal
CK-MB 6 jam 24 jam 36-48 jam
GOT 6-8 jam 36-48 jam 48-96 jam
LDH 24 jam 48-72 jam 7-10 hari
Troponin T
Troponin I
3 jam
3 jam
12-24 jam
12-24 jam
7-10 hari
7-14 hari
4 Foto Dada: Kardiomegali, aortosklerosis, edema paru
5 Pemeriksaan Jantung Non-invasif
a. EKG
Akut Koroner Sindrom:
- STEMI ST elevasi > 2mm minimal pada 2 sandapan prekordial
yang berdampingan atau > 1mm pada 2 sandapan ekstremitas, LBBB
baru atau diduga baru; ada evolusi EKG
- NSTEMI Normal, ST depresi > 0,05mV, T inverted simetris; ada
evolusi EKG
12
- UAP Normal atau transient
Angina Pektoris Stabil iskemia, dapat kembali normal waktu nyeri
hilang.
ST depresi ST elevasi Q patologis
T inverted simetris AMI
OMI
b. Uji Latihan Jasmani (Treadmill)
c. Uji Latihan Jasmani Kombinasi Pencitraan:
- Uji Latih Jasmani Ekokardiografi (Stress Eko)
- Uji Latih Jasmani Scintigrafi Perfusi Miokard
- Uji Latih Jasmani Farmakologik Kombinasi Teknik Imaging
d. Ekokardiografi Istirahat
e. Monitoring EKG Ambulatoar
f. Teknik Non-invasif Penentuan Klasifikasi Koroner dan Anatomi Koroner:
- Computed Tomografi
- Magnetic Resonance Arteriography
6 Pemeriksaan Invasif Menentukan Anatomi Koroner
- Arteriografi Koroner
- Ultrasound Intra Vaskular (IVUS)
Setiap pasien dengan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis yang teliti,
penentuan faktor resiko, pemeriksaan jasmani dan EKG. Pada pasien dengan gejala
angina pektoris ringan cukup dilakukan pemeriksaan non-invasif. Bila pasien dengan
keluhan yang berat dan kemungkinan diperlukan tindakan revaskularisasi, maka
tindakan angiografi sudah merupakan indikasi.
Pada keadaan yang meragukan apat dilakukan treadmill test. Treadmill test
lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan EKG istirahat dan merupakan test
pilihan untuk mendeteksi pasien dengan kemungkinan angina pektoris dan
pemeriksaannya yang mudah dan biayanya terjangkau. Pada pasien PJK, iskemia
miokard direfleksikan dengan depresi segmen ST, yang sering terlihat pada lead
dengan gelombang R tertinggi (biasanya V5).
13
Pemeriksaan alternatif lain yang dapat dilakukan adalah ekokardiografi dan
teknik non-invasif penentuan kalsifikasi koroner dan anatomi koroner, Computed
Tomography, Magnetic Resonance Arteriography, dengan sensitifitas dan spesifitas
yang lebih tinggi. Di samping itu tes ini juga cocok untuk pasien yang tidak dapat
melakukan exercise, di mana dapat dilakukan uji latih dengan menggunakan obat
dipyridamole atau dobutamine (Gray, dkk., 2005).
F. GAMBARAN EKG PADA PENYAKIT JANTUNG KORONER
Satu dari tiga komponen penting dalam diagnosis penyakit jantung koroner
utamanya sindrom koroner akut adalah EKG. Kombinasi riwayat penyakit yang khas
dan peningkatan kadar enzim jantung lebih dapat diandalkan daripada EKG dalam
diagnosis infark miokard. EKG memiliki tingkat akurasi prediktif positif sekitar 80%.
1. Segmen ST dan Gelombang T pada Iskemia Miokard
Iskemia miokard akan memperlambat proses repolarisasi, sehingga pada EKG
dijumpai perubahan segmen ST (depresi) dan gelombang T (inversi) tergantung
beratnya iskemia serta waktu pengambilan EKG. Spesifitas perubahan segmen ST
pada iskemia tergantung morfologinya. Diduga iskemia jika depresi segmen ST
lebih dari 0,5mm (setengah kotak kecil) dibawah garis besline (garis isoelektris)
dan 0,04 detik dari j point. Pada treadmill test, positif iskemia jika terdapat depresi
segmen ST sebesar 1mm.
Gambar 3. Variasi segmen ST (depresi) pada iskemia
2. Perubahan/Evolusi EKG pada Injure Miokard
14
10
Sel miokard yang mengalami injuri tidak akan berdepolarisasi sempurna,
secara elektrik lebih bermuatan positif dibanding daerah yang tidak mengalami
injuri dan pada EKG terdapat gambaran elevasi segmen ST pada sandapan yang
berhadapan dengan lokasi injuri. Elevasi segmen ST bermakna jika elevasi > 1mm
pada sandapan ekstremitas dan > 2mm pada sandapan prekordial di dua atau lebih
sandapan yang menghadap daerah anatomi jantung yang sama. Perubahan segmen
ST, gelombang T dan kompleks QRS pada injuri dan infark mempunyai
karakteristik tertentu sesuai waktu dan kejadian selama infark. Aneurisma ventrikel
harus dipikirkan jika elevasi segmen ST menetap beberapa bulan setelah infark
miokard.
Gambar 4. Pola perubahan EKG pada IMA dengan ST elevasi
3. Perubahan EKG pada Infark Miokard Lama (OMI)
Infark miokard terjadi jika aliran arah ke otot jantung terhenti atau tiba-tiba
menurun sehingga sel otot jantung mati. Sel infark yang tidak berfungsi tersebut
tidak mempunyai respon stimulus listrik sehingga arah arus yang menuju daerah
infark akan meninggalkan daerah yang nekrosis tersebut dan pada EKG
15
memberikan gambaran defleksi negatif berupa gelombang Q patologis dengan
syarat durasi gelombang Q lebih dari 0,04 detik dan dalamnya harus minimal
sepertiga tinggi gelombang R pada kompleks QRS yang sama.
Gambar 5. (A) EKG sandapan II normal dengan progresi normal vektor listrik (tanda panah) dan kompleks QRS dimulai dengan gelombang Q septal yang kecil. (B) Perubahan EKG sandapan II pada infark lama: arah arus meninggalkan daerah infark (tanda panah) dan memperlihatkan gambaran defleksi negatif berupa gelombang Q patologis pada EKG
4. Konsep Resiprokal
Pada sandapan dengan arah berlawanan dari daerah injuri menunjukkan
gambaran depresi segmen ST dan disebut perubahan resiprokal (mirror image).
Perubahan ini dijumpai pada dinding jantung berlawanan dengan lokasi infark
(75% dijumpai pada infark inferior dan 30% pada infark anterior). Perubahan ini
terjadi hanya sebentar diawal infark dan jika ada berarti dugaan kuat suatu infark
akut.
Gambar 6. Konsep Resiprokal
5. Lokalisasi Infark Berdasarkan Lokasi Letak Perubahan EKG
16
Lokasi Lead / Sandapan Perubahan EKGAnterior V1-V4 ST elevasi, Gelombang Q
Anteroseptal V1-V3 ST elevasi, Gelombang QAnterior Ekstensif V1-V6 ST elevasi, Gelombang Q
Posterior V1-V2 ST depresi, Gelombang R tinggiLateral I, avL, V5-V6 ST elevasi, Gelombang QInferior II, III, avF ST elevasi, Gelombang Q
Ventrikel kanan V4R-V5R ST elevasi, Gelombang Q
G. PENATALAKSANAAN PENYAKIT JANTUNG KORONER
1. Akut Koroner Sindrom
Diagnosis; 2 dari 3 dibawah ini
a. Angina (Sensitifitas 70%, Spesifitas 20%)
b. Perubahan EKG (Sensitifitas 50%, Spesifitas 100%)
c. Peningkatan Enzim Jantung (Sensitifitas dan Spesifitas mendekati 100%)
Berdasarkan triase dari pasien dengan kemungkinan SKA, langkah yang diambil
pada prinsipnya sebagai berikut :
a. Jika riwayat dan anamnesa curiga adanya SKA
1) Berikan asetil salisilat (ASA) 300 mg dikunyah, berikan nitrat sublingual
2) Rekam EKG 12 sadapan atau kirim ke fasilitas yang memungkinkan
3) Jika mungkin periksa petanda biokimia
b. Jika EKG dan petanda biokimia curiga adanya SKA: Kirim pasien ke fasilitas
kesehatan terdekat dimana terapi defenitif dapat diberikan
c. Jika EKG dan petanda biokimia tidak pasti akan SKA
1) Pasien risiko rendah ; dapat dirujuk ke fasilitas rawat jalan
2) Pasien risiko tinggi : pasien harus dirawat
Penanganan di Instalasi Gawat Darurat
Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena kita berpacu
dengan waktu dan bila makin cepat tindakan reperfusi dilakukan hasilnya akan
lebih baik. Tujuannya adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun
membatasi luasnya infark dan mempertahankan fungsi jantung. Manajemen yang
dilakukan adalah sebagai berikut :
17
a. Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah:
1) Pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan,
2) Periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT,
3) Berikan segera: 02, infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%,
4) Pasang monitoring EKG secara kontiniu,
5) Pemberian obat:
- Nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi
bila TD sistolik < 90 mmHg, bradikardia (< 50 kpm)
- Aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti dengan
dipiridamol, tiklopidin atau klopidogrel, dan
- Mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5
menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau
tramadol 25-50 mg intravena.
Prinsip Management:
STEMI : MONACO + Reperfusi
NSTEMI : MONACO + Heparin
b. Hasil penilaian EKG, bila:
1) Elevasi segmen ST > 0,1 mV pada 2 atau lebih sadapan ekstremitas
berdampingan atau > 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial
berdampingan atau blok berkas (BBB) dan anamnesis dicurigai adanya IMA
maka sikap yang diambil adalah dilakukan reperfusi dengan :
Terapi trombolitik bila waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam,
usia < 75 tahun dan tidak ada kontraindikasi.
o Streptokinase: BP > 90 mmHg
o tPA: BP < 70mmHg
o Kontraindikasi: Riwayat stroke hemoragik, active internal bleeding,
diseksi aorta.
o Jika bukan kandidate reperfusi maka perlakukan sama dengan
NSTEMI/UAP.
Angioplasti koroner (PTCA) primer bila fasilitas alat dan tenaga
memungkinkan. PTCA primer sebagai terapi alternatif trombolitik atau
bila syok kardiogenik atau bila ada kontraindikasi terapi trombolitik
18
2) Bila sangat mencurigai ada iskemia (depresi segmen ST, insersi T), diberi
terapi anti-iskemia, maka segera dirawat di ICCU;
3) EKG normal atau nondiagnostik, maka pemantauan dilanjutkan di UGD.
Perhatikan monitoring EKG dan ulang secara serial dalam pemantauan 12
jam pemeriksaan enzim jantung dari mulai nyeri dada dan bila pada evaluasi
selama 12 jam, bila:
EKG normal dan enzim jantung normal, pasien berobat jalan untuk
evaluasi stress test atau rawat inap di ruangan (bukan di ICCU), dan
EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung meningkat, pasien di
rawat di ICCU.
Gambar 7. Tatalaksana Akut Koroner Sindrom dengan ST elevasi
19
Gambar 8. Tatalaksana Akut Koroner Sindrom Non-ST elevasi/UAP
2. Angina Pektoris Stabil (Kronis Koroner Sindrom)
Tujuan utama pengobatan adalah mencegah kematian dan terjadinya
serangan jantung (infark). Sedangkan yang lainnya adalah mengontrol serangan
angina sehingga memperbaiki kualitas hidup.
Pengobatan terdiri dari farmakologis dan non-farmakologis untuk mengontrol
angina dan memperbaiki kualitas hidup. Tindakan lain adalah terapi reperfusi
miokardium dengan cara intervensi koroner dengan balon dan pemakaian stent
sampai operasi CABG (bypass).
Berikut 10 elemen penting untuk penatalaksanaan angina stabil:
A. Aspirin dan anti angina
B. Beta bloker dan pengontrol tekanan darah
C. Cholesterol kontrol dan berhenti merokok
D. Diet dan atasi diabetes
E. Edukasi dan olah raga
20
H. KOMPLIKASI PENYAKIT JANTUNG KORONER
Komplikasi tertinggi akut infark adalah aritmia, aritmia yang sering memberikan
komplikasi adalah ventrikel vibrilasi. Ventrikel vibrilasi 95% meninggal sebelum
sampai rumah sakit. Komplikasi lain meliputi disfungsi ventrikel kiri/gagal jantung
dan hipotensi/syok kardiogenik.
I. PROGNOSIS PENYAKIT JANTUNG KORONER
Prognosis pada penyakit jantung koroner tergantung dari beberapa hal yaitu:
1. Wilayah yang terkena oklusi
2. Sirkulasi kolateral
3. Durasi atau waktu oklusi
4. Oklusi total atau parsial
5. Kebutuhan oksigen miokard
Berikut prognosis pada penyakit jantung koroner:
1. 25% meninggal sebelum sampai ke rumah sakit
2. Total mortalitas 15-30%
3. Mortalitas pada usia < 50 tahun 10-20%
4. Mortalitas usia > 50 tahun sekitar 20%
21
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang terutama disebabkan
karena penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme atau
kombinasi keduanya. Faktor resiko meliputi dislipidemia, diabetes, merokok, hipertensi,
keturunan, hemosistein.
Aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak (99%) PJK. Arterosklerosis pada
dasarnya merupakan suatu kelainan yang terdiri atas pembentukan fibrolipid dalam bentuk
plak-plak yang menonjol atau penebalan yang disebut ateroma yang terdapat didalam
tunika intima dan pada bagian dalam tunika media.
Aterosklerosis yang terbentuk dalam lumen arteri dapat bersifat sebagai plak yang
vulnarable maupun plak stabil. Oleh karena itu penyakit jantung koroner memberikan dua
manifestasi klinis penting yaitu akut koroner sindrom dan angina pektoris stabil. Akut
Koroner Sindrom dapat sebagai STEMI maupun NSTEMI/UAP.
Penyakit jantung koroner memberikan gejala berupa angina. Angina merupakan
nyeri dada iskemik yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen
miokard dengan penyediannya (UAP; crecendo angina, angina stabil; decrecendo angina).
Akut Koroner Sindrom dapat didiagnosis, 2 dari 3 hal berikut yaitu nyeri dada angina,
perubahan EKG dan peningkatan enzim jantung.
Tatalaksana STEMI meliputi MONACO + Reperfusi, pada NSTEMI/UAP dapat
diberikan MONACO + Heparin sedangkan terapi pada angina pektoris stabil pengobatan
terdiri dari farmakologis dan non-farmakologis untuk mengontrol angina dan memperbaiki
kualitas hidup. Tindakan lain pada angina pektoris stabil adalah terapi reperfusi
miokardium dengan cara intervensi koroner dengan balon dan pemakaian stent sampai
operasi CABG (bypass).
22
DAFTAR PUSTAKA
ACC/AHA 2007 Guidelines for the Management of Patients With Unstable Angina/ Non–ST-Elevation Myocardial Infarction-Executive Summary. J Am Coll Cardiol, 2007; 50:652-726
Acute Coronary Sindromes. (2010). Journal of the American Medical Association, Vol. 303, No.1
Alim, Ahmad. (2008). Pocket ECG How to Learn ECG from Zero. Pengantar DR. H. Budi Yuli Setianto., Sp.PD (K), Sp.JP (K), FIHA. Penerbit Intan Cendikia
Alwi, Idrus. (2006). Tatalaksana Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Bahri, Anwar. (2005). Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara [Versi elektronik]. e-USU Repository.
Buckley., Freeman., Rogers., et. Al. (2009). Using non traditional Risk Factors to Estimate Risk for Coronary Heart Disease. American College of Physician
Coughlin, DeBeasi. (2006). Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit (6th ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, AC dan Hall, JE. (2006). Texbook of Medical Physiology (11th ed.). Philadelphia: Elsevier Saunders Inc.
Gray, Huon., Dawkins., Morgan, John dan Simpson. (2005). Penyakit Jantung Koroner. Lecture Notes Kardiologi (4th ed.). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Harun, S. (2006). Infark Miokard Akut Tanpa ST Elevasi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Homosistein Sebagai Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. (2001). Majalah Kedokteran Andalas Vol.25. No. 1.
Informatorium Obat Nasional Indonesia. (2008). Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. KOPERKOM: Sagung Seto.
Kalim, Harmani. (2009). Penanganan Mutakhir Penyakit Jantung Koroner: Sindroma Koroner Akut. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Majid, Abdul. (2007). Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan dan Pengobatan Terkini. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
23
Nawawi, dkk., (2006). Nilai Troponin T Penderita Sindrom Koroner Akut. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3, Juli 2006: 123-126
Rahman, Muin. (2006). Angina Pektoris Stabil. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Santoso, M dan Setiawan, T. (2005). Penyakit Jantung Koroner. Departemen Ilmu Penyakit Dalam UKRIDA Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 147
Setianto, Budi Yuli dkk., (2003). Hubungan Angka Leukosit Pada Infark Miokard Akut dengan Kejadian Cardiac Event Selama Dirawat di Rumah Sakit. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Berkala Ilmu Kedokteran. Vol. 35., No. 1
Setyani, Rani. (2009). Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Jantung Koroner Pada Usia Produktif (< 55 tahun) [Versi elektronik]. Airlangga University Digital Library.
Susmadi. (2008). Tes Toleransi Latihan Pada Gangguan Kardiovaskuler. Tesis Magister Keperawatan Bedah. Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia.
Tanuwidjojo S, Rifqi S. (2003). Atherosklerosis from theory to clinical practice, Naskah lengkap cardiology-update. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Tarigan, Elias. (2003). Hubungan Kadar Troponin T dengan Gambaran Klinis Sindrom Koroner Akut [Versi Elektronik]. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Digitized by USU Digital Library
Tristohadi, Hanafi. (2006). Angina Pektoris Tak Stabil. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
World Health Organization. (2006). Deaths from coronary heart disease. Diakses 13 Desember 2010 dari www.who.int/cardiovascular_diseases/cvd_14_deathHD.pdf
24