PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN … · 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa...
Transcript of PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN … · 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa...
PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP
PERUBAHAN KEBIJAKAN SWEDIA TERKAIT
KRISIS PENGUNGSI PERIODE 2014-2017
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Disusun oleh:
Putri Larasati
NIM: 11141130000043
Dosen Pembimbing Skripsi:
Robi Sugara, M.Sc.
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
“PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN
SWEDIA TERKAIT KRISIS PENGUNGSI PERIODE 2014-2017”
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 30 Mei 2018
Putri Larasati
11141130000043
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Putri Larasati
NIM : 11141130000043
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
“PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN
SWEDIA TERKAIT KRISIS PENGUNGSI PERIODE 2014-2017”
Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 30 Mei 2018
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Ilmu Hubungan Internasional
Ahmad Alfajri, MA
NIP.
Menyetujui,
Pembimbing
Robi Sugara, M.Sc
NIP.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN
SWEDIA TERKAIT KRISIS PENGUNGSI PERIODE 2014-2017
Oleh:
Putri Larasati
11141130000043
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Juli
2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.
Ketua,
Ahmad Alfajri, MA.
NIP.
Sekretaris,
Eva Mushoffa, MHSPS.
NIP.
Dosen Penguji I,
M. Adian Firnas, M.Si.
NIP.
Dosen Penguji II,
Rahmi Fitriyanti, M.Si.
NIP. 197709142011012004
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 4 Juli 2018.
Ketua Program Studi
Ilmu Hubungan Internasional
Ahmad Alfajri, MA.
NIP.
v
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis alasan perubahan kebijakan Swedia dalam
menangani krisis pengungsi periode 2014-2017. Swedia awalnya merupakan
negara penampung pengungsi terbanyak di kawasan Nordik karena komitmen
Swedia di bawah pemerintahan Stevan Lovfen adalah menjadi negara yang
terbuka terhadap arus pergerakan manusia. Namun akhirnya Swedia
mengeluarkan kebijakan baru yang lebih ketat terhadap pengungsi, yakni U-Turn
Policy (Kebijakan Putar Arah), yang mulai diwacanakan pada akhir 2015.
Pelaksanaan kebijakan baru tersebut kemudian menjadi kontroversial karena
dianggap menyalahi konsep Negara Kesejahteraan, Perjanjian Schengen, serta
kesepakatan internasional lainnya.
Metode kualitatif digunakan untuk meneliti skripsi ini, di mana data
diambil melalui wawancara elektronik dan studi kepustakaan, seperti dari buku,
jurnal, artikel, dan lain-lain. Kemudian skripsi ini dikaji dengan menggunakan
grand theory Feminisme Liberal, middle theory Feminist Security Theory, dan
konsep Feminist Foreign Policy mengingat bahwa Swedia merupakan negara
dengan pemerintahan feminis pertama di dunia serta adanya isu perempuan yang
dikaitkan dengan krisis pengungsi di Swedia. Penelitian ini menemukan bahwa
terdapat dua alasan yang menyebabkan Swedia mengubah kebijakan
pengungsinya dari Open Door Policy menjadi U-Turn Policy, yaitu dorongan
publik Swedia yang memanfaatkan isu gender demi tren anti-imigran dan agenda
evaluasi sistem keimigrasian demi pemenuhan hak-hak perempuan dan anak
perempuan.
Kata Kunci: Kebijakan Luar Negeri Feminis, Krisis Pengungsi, Swedia,
Nordik, Eropa.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Bismillahirrohmanirrohim.
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah melancarkan
segala urusan saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul
“Perspektif Feminisme terhadap Perubahan Kebijakan Swedia Terkait
Krisis Pengungsi Periode 2014-2017.”
Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad
SAW yang telah menginspirasi dan mengajak kita semua untuk menjadi muslim
yang berilmu dan berperadaban.
Dalam menulis skripsi ini, saya melalui berbagai proses yang harus
dihadapi agar tanggung jawab saya dapat terselesaikan dengan baik. Namun
kelancaran proses penulisan skripsi saya tidak lepas dari dukungan, doa, dan
bantuan dari keluarga, para dosen, para sahabat, dan pihak lain yang berjasa.
Untuk itu, pada kesempatan kali ini, saya hendak mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Ibunda dan Ayahanda saya, Ibu Shinta Dewi dan Bapak Hajar Sudrajat.
Serta adik lelaki saya, Raihan Akbar. Mereka adalah alasan utama saya
untuk tetap berusaha hingga saat ini. Semoga keluarga kecil ini selalu
dilimpahi keberkahan.
2. Dosen Pembimbing Skripsi saya yang luar biasa, Bapak Robi Sugara,
M.Sc. yang telah meluangkan waktu dan tenaganya demi membimbing
penulisan skripsi saya sehingga skripsi saya dapat terselesaikan.
3. Bapak Ahmad Alfajri, MA. selaku Ketua Program Studi llmu Hubungan
Internasional sekaligus Ketua Sidang, Ibu Eva Mushoffa, MHSPS. selaku
Sekretaris Program Studi Ilmu Hubungan Internasional sekaligus
Sekretaris Sidang, Bapak Irfan R. Hutagalung, LLM., selaku Pembimbing
Akademis, Bapak M. Adian Firnas, M.Si. selaku Penguji Skripsi I, Ibu
Rahmi Fitriyanti, M.Si. selaku Penguji Skripsi II, Bapak Jajang, Bapak
Dendi, dan Ibu Rida selaku Bagian Akademis, beserta seluruh jajaran
Dosen Pengajar dan Staff di Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
yang telah membantu saya melalui proses pembelajaran di kampus selama
ini.
vii
4. Keluarga besar almarhum Mukri Arpiah, almarhum H. Wahab, dan
almarhum Dahlan yang tersebar di seluruh penjuru. Saya ingin menjadi
salah satu kebanggaan yang dimiliki oleh keluarga besar kita.
5. Pasangan saya yang sudah lima tahun melalui proses pendewasaan
bersama saya, Perdana Nekay Saputra, yang merupakan salah satu support
system terkuat yang saya miliki selain keluarga. Juga sahabat-sahabat saya
sejak mengenakan seragam putih-biru, Kadek Wulan Sekar Intan dan
Zuhra Hayye. Tetaplah bersahabat selamanya! Tak lupa pula rekan-rekan
sejurusan yang menemani saya berjuang, Aisyah Fajrya, Ade Rahman
Hakim, Jaka Haritstyo Prabowo, Wina Sumiati, Vina Fachriana, Bella
Amelya, Devina Febrianti, Zahra Yusuf, Kak Robiatul Adhawiyah, Kak
Ayu Fitri Nursofya, dan lain-lain. Semangat untuk kita!
Serta seluruh pihak yang berperan penting dalam penulisan skripsi saya
yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Penulis memahami bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Meski demikian, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat baik
bagi pembaca maupun penulis sendiri.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 4 Juli 2018
Putri Larasati
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL .......................................................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .......................................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................................................. vi
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah .......................................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ....................................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 7
E. Kerangka Pemikiran
1. Feminisme Liberal ...................................................................................... 12
2. Feminist Security Theory (FST) ................................................................. 14
3. Feminist Foreign Policy ............................................................................. 16
F. Metode Penelitian ........................................................................................... 17
G. Sistematika Penulisan ..................................................................................... 19
BAB II KEBIJAKAN LUAR NEGERI DAN PERKEMBANGAN FEMINISME
DI SWEDIA
ix
A. Model Kebijakan Luar Negeri Swedia......................................................... 20
B. Perkembangan Feminisme di Swedia .......................................................... 26
C. Feminisme dalam Kebijakan Luar Negeri Kabinet Stefan Lofven .............. 32
BAB III KRISIS PENGUNGSI DI SWEDIA
A. Fenomena Krisis Pengungsi di Swedia ........................................................ 36
B. Kebijakan Swedia terkait Penanganan Krisis Pengungsi ............................. 43
C. Dampak Perubahan Kebijakan Swedia terkait Penanganan Krisis
Pengungsi ..................................................................................................... 46
BAB IV ANALISIS FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN
SWEDIA TERKAIT KRISIS PENGUNGSI PERIODE 2014-2017
A. Isu Ketidaksetaraan Gender sebagai Pemicu Opini Publik yang Anti-
Imigran di Swedia …....................................................................................52
B. Agenda Evaluasi Sistem Migrasi Swedia untuk Pemenuhan Hak-Hak
Perempuan …..….........................................................................................61
BAB V PENUTUP
Kesimpulan dan Saran ...................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... xiii
TRANSKIP WAWANCARA
x
DAFTAR TABEL
TABEL III.1. Jumlah Pengungsi di Uni Eropa 2014-2016 ................................................. 38
xi
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR II.1. Bendera dan Lambang Kerajaan Swedia ............................................ 21
GAMBAR II.2. Peta Negara-Negara Nordik ................................................................ 22
GAMBAR III.1. Jumlah Pengungsi yang Diterima di Uni Eropa 2015 ......................... 38
GAMBAR III.2. Pencari Suaka di Swedia Berdasarkan Tahun dan
Kewarganegaraan 1992-2016 ............................................................ 39
GAMBAR IV.1. Perolehan Suara Partai-Partai di Swedia 2015 .................................... 56
GAMBAR IV.2. Pandangan Masyarakat Eropa terhadap Pengungsi 2017 .................... 59
GAMBAR IV.3. Proses Pembuatan Kebijakan di Swedia ............................................ 61
GAMBAR IV.4. Pengaruh Feminisme terhadap Pembuatan Kebijakan ....................... 64
xii
DAFTAR SINGKATAN
3R Rights, Representations, Resources
FST Feminist Security Theory
HAM Hak Asasi Manusia
ICC International Criminal Court
IOM International Organization for Migration
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
SIS Schengen Information System
UN United Nations
UNFPA United Nations Fund for Population Activities
UNHCR United Nations High Commissioner for Refugees
WIP Women in Politics
WRC Women‟s Refugees Commission
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Skripsi ini menganalisis alasan perubahan kebijakan Swedia dalam
menangani krisis pengungsi periode 2014-2017. Sejak 2000, Swedia yang
menjunjung konsep Welfare State (Negara Kesejahteraan) membuka akses kepada
pengungsi selebar-lebarnya dengan Open-Door Policy (Kebijakan Pintu Terbuka).
Namun pada akhir 2015, Swedia menerapkan kebijakan yang ketat terhadap
kedatangan pengungsi dengan U-Turn Policy (Kebijakan Putar Arah). Negara
yang menjadi fokus pembahasan di sini adalah Swedia karena Swedia awalnya
merupakan negara penampung pengungsi terbanyak di kawasan Nordik, namun
akhirnya memiliki kebijakan baru yang menyalahi konsep Negara Kesejahteraan,
Perjanjian Schengen, serta kesepakatan internasional lainnya.. Skripsi ini dikaji
dengan menggunakan teori Feminisme Liberal, Feminist Security Theory, dan
Feminist Foreign Policy.
Pasca Perang Dunia II, Eropa telah mengalami krisis pengungsi akibat
perpindahan masal jutaan manusia beretnis Jerman yang diusir dari Uni Soviet
yang melarikan diri ke kawasan Eropa Barat. Kemudian pada 1989, Eropa juga
kedatangan banyak pengungsi akibat keruntuhan Uni Soviet. Permasalahan
pengungsi tersebut ternyata tidak berhenti pada 1989. Belum lama ini, tepatnya
pada 2015, Eropa mengalami krisis pengungsi.1 Krisis pengungsi adalah
1 “A Visual Guide to 75 Years of Major Refugee Crises Around the World,” The
Washington Post, 2016 [database on-line]; tersedia di
2
perpindahan manusia terlantar dari satu tempat atau negara ke tempat atau negara
lain dalam jumlah besar. Krisis pengungsi juga dapat diartikan sebagai insiden
yang melibatkan pengungsi dalam jumlah besar yang menyebabkan permasalahan
di perjalanan maupun di tempat atau negara tujuan.2
Pada 2014, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)
memperoleh data bahwa jumlah total pengungsi yang datang ke Eropa mencapai
angka 280.000 jiwa. Sedangkan pada 2015 sendiri, jumlah pengungsi yang datang
ke Eropa mencapai angka 1.015.078 jiwa. Kenaikan jumlah pengungsi antara
2014 dan 2015 di Eropa tersebut cukup signifikan, sehingga dapat diketahui
bahwa pada 2015 telah terjadi krisis pengungsi yang paling besar di Eropa
sepanjang sejarahnya.3
Salah satu negara yang terkena dampak krisis pengungsi Eropa adalah
Swedia. Swedia berkomitmen untuk melancarkan akses dan menampung
pengungsi sebanyak-banyaknya, tidak seperti negara di kawasan Nordik lainnya
layaknya Denmark, Finlandia, dan Norwegia yang mulai menutup diri sehingga
tidak terlalu diminati oleh para pengungsi.4 Bahkan para pengungsi asal Suriah
yang pawai di persimpangan jalan di Denmark pun membawa poster bertuliskan
https://www.washingtonpost.com/graphics/world/historicalmigrant-crisis/; Internet; diakses pada
30 September 2017. 2 “UNHCR Chief Issues Key Guidelines for Dealing with Europe‟s Refugee Crisis,“
UNHCR, [database on-line]; tersedia di http://www.unhcr.org/55e9793b6/; Internet; diakses pada
30 September 2017. 3 “Irregular Migrant, Refugee Arrivals in Europe Top One Million in 2015,” International
Organization for Migration, 2015 [database on-line]; tersedia di
https://www.iom.int/news/irregular-migrantrefugee-arrivals-europe-top-one-million-2015-iom;
Internet; diakses pada 28 September 2017. 4 Anne Britt Djuve, “Refugee Migration – A Crisis For The Nordic Model?,”
International Policy Analysis of Friedrich-Ebert-Stiftung (2016): 2-4.
3
“Sweden Yes and No Denmark” sebagai ekspresi kekaguman masyarakat
Denmark terhadap kebijakan Swedia yang tidak menyusahkan pengungsi.5
Sejak kabinet Stefan Lofven memimpin Swedia pada 2014, pemerintah
sepakat bahwa Swedia di bawah rezimnya akan menjadi negara yang paling
terbuka dalam penanganan pengungsi. Hal tersebut didasari pula oleh komitmen
Swedia sebagai Negara Kesejahteraan yang feminis pertama di dunia. Rezimnya
kerap menuntut pihak yang memberikan sanksi dan menagih visa kepada para
pencari suaka karena menganggap hal tersebut mempersulit akses pengungsi
untuk mendapatkan haknya di Swedia. Lofven juga sering mengkampanyekan
jargon “My Europe does not build walls!” sebagai bentuk dukungannya terhadap
kemudahan akses pengungsi di Swedia.6
Pada 23 November 2015, Wakil Perdana Menteri Swedia, Asa Romson,
menangis dalam sebuah konferensi pers. Romson menunjukkan sikap
dilematisnya karena pada akhirnya Swedia mengubah arah kebijakannya tentang
pengungsi yang semula Open-Door Policy menjadi U-Turn Policy yang lebih
ketat dan tertutup.7 Romson berkata:
Swedia menghargai toleransi, dan besarnya arus pengungsi yang datang ke
Eropa membuat Swedia harus lebih keras dalam melawan rasisme serta
diskriminasi. Kami telah melalui beberapa perdebatan internal tentang
kenyataan yang sedang terjadi. Namun kemudian saya menyadari bahwa
ini adalah cara yang bisa kami lakukan. Ini adalah sebuah keputusan yang
buruk.8
5 Pelle Neroth Taylor, Sweden’s Immigration Crisis (London: The Bruges Group, 2015):
5. 6 Bjorn Ostbring, “The Swedish Welfare State and The Refugee Crisis: On Realism and
The Priority of Order,” The Migration and The European Welfare States Conference (2016): 2. 7 Ostbring, “The Swedish Welfare State and The Refugee Crisis”, 2.
8 “Sweden Official Hates Her New Refugee Policy So Much She is Literally Crying about
It,” Foreign Policy, 2015 [database on-line]; tersedia di
http://www.foreignpolicy.com/2015/11/24/Sweden-official-hates-her-new-refugee-policy-so-
much-she-is-literally-crying-about-it; Internet; diakses pada 29 Oktober 2017.
4
Stefan Lofven selaku perdana menteri Swedia mengumumkan bahwa
peraturan baru Swedia hanya mengizinkan pengungsi untuk tinggal sementara di
Swedia. Selain itu, mulai diberlakukan pengecekan identitas untuk segala jenis
transportasi maupun pejalan kaki yang berada atau melewati perbatasan.
Pengecekan identitas tersebut merupakan upaya untuk mengaplikasikan
temporary border controls (kontrol perbatasan sementara) di Swedia.9 Dalam
mengumumkan peraturan baru tersebut, Lofven juga menunjukkan sikap
menyesal sebagaimana yang ditunjukkan oleh Asa Romson, “Menyakitkan bagi
saya bahwa Swedia tidak bisa lagi menerima para pencari suaka. Kami tidak bisa
melakukannya lagi.”10
Sejak U-Turn Policy diimplementasikan, pada Juli dan Agustus 2016
tercatat bahwa Swedia melakukan 3,2 juta kali pengecekan di perbatasannya,
delapan kali lebih banyak daripada Jerman (394.503), Denmark (870.971), dan
Norwegia (436.363). Bahkan Swedia mengoperasikan kontrol perbatasan di setiap
kendaraan yang melalui Jembatan Oresund ketika negara-negara lain hanya
melakukan pengecekan secara acak.11
Setelah diberlakukan secara intens, terjadi
penurunan jumlah pengungsi yang datang ke Swedia, dari 1.507 jiwa perhari
menjadi 1.222 perhari.12
9 “Sweden Introduces Border Checks as Refugee Crisis Grows,” The Guardian, 2015
[database on-line]; tersedia di http://www.theguardian.com/world/2015/nov/12/refugee-crisis-
sweden-introduces-border-checks; Internet; diakses pada 22 September 2017. 10
“Sweden Official Hates Her New Refugee Policy.” 11
“Sweden is Schengen‟s Toughest Border,” TTG NORDIC, 2017 [database on-line];
tersedia di http://ttgnordic.com/sweden-is-schengens-toughest-border/; Internet; diakses pada 22
September 2017. 12
“Sweden Introduces Border Checks as Refugee Crisis Grows.”
5
Meski efektif dalam mengurangi arus pengungsi, penerapan kebijakan
baru Swedia tersebut menuai banyak protes. Carl Bildt mengatakan bahwa
peraturan baru Swedia tentang pengungsi merupakan kontradiksi dari Perjanjian
Schengen dan nilai HAM yang dipercayai negara Nordik, yaitu free movement of
people. Kemudian konselor Jerman, Angela Merkel, juga meresponsnya dengan
menyerukan joint European solution untuk isu pengungsi. Juru bicara Angela
Merkel, Steffen Seibert, menyatakan bahwa solusi dari permasalahan krisis
pengungsi Eropa ini harus diselesaikan dengan strategi yang disepakati bersama,
bukan dengan memperkuat keamanan perbatasan di antara negara A dan negara B
saja.13
Juru bicara menteri luar negeri Jerman, Martin Schaefer, bahkan dengan
tegas menyatakan bahwa keputusan Swedia dalam mengubah arah kebijakan
tentang pengungsi tersebut mengancam eksistensi Perjanjian Schengen yang
merupakan salah satu perjanjian penting di kawasan Eropa. Schaefer berkata
bahwa kebebasan bergerak atau berpindah adalah prinsip yang penting – satu dari
sekian banyak pencapaian besar di Uni Eropa dalam beberapa tahun terakhir.
Schengen juga sangat penting, tapi sekarang Schengen dalam bahaya.14
Oleh karena itu, menarik apabila perubahan Open-Door Policy menjadi U-
Turn Policy terhadap pengungsi diteliti dengan berfokus pada negara Swedia
karena Swedia awalnya menjadi negara penampung pengungsi terbanyak di
kawasan Nordik, namun akhirnya mengimplementasikan U-Turn Policy untuk
13
“Germany Sees Schengen in Danger”, World Bulletin, 2016 [database on-line]; tersedia
di http://www.worldbulletin.net/m/haber/168079/germany-sees-schengen-in-danger; Internet;
diakses pada 22 September 2017. 14
“Germany Sees Schengen in Danger.”
6
mengurangi kedatangan pengungsi hingga memunculkan protes dari berbagai
pihak, seperti petinggi-petinggi negara lain di Eropa. Terlebih dalam memutuskan
kebijakan tersebut, pemerintah Swedia terkesan emosional dan terpaksa sehingga
menggugah rasa ingin tahu tentang latar belakang perubahan kebijakan tersebut
jika dianalisis dengan teori feminisme.15
Untuk pemilihan periode, 2014-2017 menjadi periode yang cocok untuk
dikaji karena pada 2014, Swedia memiliki kabinet pemerintahan baru yang
dipimpin oleh Stefan Lofven. Kemudian 2015 juga dikaji karena merupakan tahun
puncak krisis pengungsi di Eropa. Sedangkan 2016 dikaji karena pada tahun inilah
U-Turn Policy mulai intensif diberlakukan. Terakhir, 2017 dikaji karena penting
untuk mengetahui perkembangan kontemporer dari perubahan kebijakan Swedia
terkait krisis pengungsi.16
B. Pertanyaan Penelitian
Dari pernyataan masalah yang sudah dipaparkan, kemudian muncul
pertanyaan penelitian yang jawabannya akan dianalisis dalam skripsi ini, yaitu:
Mengapa Swedia mengubah kebijakan Open Door-nya menjadi kebijakan U-Turn
terkait penanganan krisis pengungsi periode 2014-2017 jika dianalisis dengan
perspektif feminisme?
15
“Sweden Official Hates Her New Refugee Policy.” 16
“Sweden Introduces Border Checks as Refugee Crisis Grows.”
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui alasan Swedia dalam mengubah kebijakan Open Door-nya
menjadi kebijakan U-Turn dalam hal penanganan krisis pengungsi;
2. Mengetahui dampak dari perubahan kebijakan Swedia terkait pengungsi
terhadap hubungan internasional Swedia;
3. Mengetahui seberapa besar pengaruh feminisme terhadap perubahan
kebijakan Swedia terkait penanganan pengungsi.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang hubungan internasional,
khususnya dalam studi kawasan Eropa, studi keamanan, dan studi gender;
2. Menambah referensi untuk para penstudi hubungan internasional dalam
menyusun berbagai tugas ilmiah, seperti paper, jurnal, skripsi, dan lain-lain;
3. Memberikan informasi dan inspirasi untuk berbagai pihak, khususnya para
pemangku kebijakan, untuk mencari solusi atas permasalahan pengungsi,
baik yang cakupannya dekat seperti krisis pengungsi Rohingnya, maupun
yang cakupannya jauh seperti krisis pengungsi Eropa.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum penelitian ini dijalankan, terdapat beberapa penelitian terdahulu
yang membahas tentang kebijakan Swedia terkait penanganan pengungsi pada
masa krisis pengungsi Eropa dengan berbagai variabel dan perspektif yang
8
berbeda satu dengan yang lainnya. Penelitian ini akan merujuk kepada beberapa
studi tersebut guna membantu menganalisis perubahan kebijakan Swedia terkait
penanganan krisis pengungsi dengan perspektif feminisme.
Pertama, penelitian ini merujuk kepada paper ilmiah yang disusun oleh
Reza Akbar Felayati dan Yohanes Putra Suhito yang berjudul Dari Keterbukaan
Menuju Pembatasan: Analisa Diskursus Persepsi Swedia terhadap Pengungsi di
Tengah Gelombang Krisis Pengungsi di Eropa. Menurut penelitian Felayati dan
Suhito, Swedia sebagai negara yang menjunjung tinggi kebebasan sipil
merupakan salah satu negara yang ramah terhadap pengungsi. Namun pada 2016,
Swedia memberlakukan Undang-Undang baru yang mengatur pengetatan kontrol
dan pembatasan jumlah pengungsi yang ingin memasuki Swedia. Felayati dan
Suhito berpendapat bahwa penyebab perubahan kebijakan tersebut adalah
pergeseran diskursus atau persepsi elit Swedia terhadap pengungsi.17
Perbedaan penelitian ini dengan paper ilmiah Felayati dan Suhito terletak
pada teori dan konsep yang digunakan. Felayati dan Suhito memakai perspektif
post-strukturalisme dan metode analisis diskursus intertekstual yang menekankan
bahwa perubahan kebijakan Swedia terkait penanganan krisis pengungsi terjadi
akibat adanya perubahan persepsi pembuat kebijakan di Swedia terhadap
permasalahan pengungsi dan efek yang akan dibawanya. Sedangkan penelitian ini
memakai perspektif feminisme dalam menganalisis perubahan kebijakan Swedia
terkait pengungsi tersebut.
17
Reza Akbar Felayati dan Yohanes Putra Suhito, “Dari Keterbukaan Menuju
Pembatasan: Analisa Diskursus Persepsi Swedia terhadap Pengungsi di Tengah Gelombang Krisis
Pengungsi di Eropa”, Jurnal Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga
(2017).
9
Kemudian persamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh Felayati dan Suhito, yaitu keduanya sama-sama membahas tentang
perubahan kebijakan Swedia terkait penanganan pengungsi pada masa krisis
pengungsi Eropa. Meski Felayati dan Suhito tidak menyantumkan secara jelas
periode yang dianalisis, namun frasa “masa krisis pengungsi Eropa” merujuk pada
periode yang sama dengan periode penelitian ini, yaitu sekitar 2014 hingga 2017.
Kedua, penelitian ini merujuk pada paper ilmiah karya Bjorn Ostbring
yang berjudul The Swedish Welfare State and The Refugee Crisis: On Realism
and The Priority of Order. Menurut Ostbring, prioritas Swedia saat fenomena
krisis pengungsi terjadi adalah ketertiban, bukan lagi keadilan dan kemanusiaan
seperti yang diusung oleh Negara Kesejahteraan seperti Swedia. Meski Swedia
dituduh mengkhianati cita-cita Negara Kesejahteraan di satu sisi, namun Ostbring
dengan perspektif realismenya menyatakan bahwa itulah keputusan terbaik bagi
Swedia.18
Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Ostbring terletak pada
teori dan konsep yang digunakan dalam menganalisis. Penelitian ini menggunakan
feminisme sebagai pisau analisis, sedangkan Ostbring memakai perspektif
realisme dalam memandang permasalahan pengungsi di Eropa, khususnya di
Swedia tersebut. Tentunya alasan perubahan kebijakan Swedia terkait penanganan
pengungsi akan berbeda jika memakai perspektif yang berbeda pula dalam
menganalisisnya.
18
Ostbring, “The Swedish Welfare State and The Refugee Crisis”, 2-17.
10
Penelitian ini dengan penelitian Ostbring juga memiliki kesamaan, yaitu
baik penelitian ini maupun penelitian Ostbring sama-sama menjelaskan tentang
faktor pendorong Swedia dalam mengubah kebijakannya yang semula terbuka
menjadi lebih tertutup terhadap pengungsi. Penelitian ini dengan penelitian
Ostbring mengkaji objek yang sama dan terspesifikasi pada tingkat analisis elit
atau pembuat kebijakan, yaitu pemerintah Swedia dalam kabinet Stefan Lovfen.
Ketiga, penelitian ini merujuk pada buku karya Stig Hadenius yang
berjudul Swedish Politics During the 20th Century. Menurut Hadenius,
pengambilan keputusan di Swedia terkait isu apapun dipengaruhi oleh perdebatan
antar-partai, opini publik, dan isu perempuan. Sejarah Swedia sebagai negara
dengan politik netralitas yang dapat menjadi fleksibel ketika ada tuntutan dari
dalam membuat Swedia berpotensi untuk mengubah kebijakan-kebijakannya.19
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Hadenius terletak pada isu yang
diteliti. Penelitian ini fokus meneliti perubahan kebijakan Swedia terkait krisis
pengungsi dengan menggunakan perspektif feminisme sebagai perspektif tunggal.
Sedangkan penelitian Hadenius cakupan isunya lebih luas, khususnya Hadenius
meneliti perubahan kebijakan Swedia mengenai Perang Dunia I, Perang Dunia II,
Perang Dingin, dan perang-perang lainnya. Hadenius juga menggunakan
multiperspektif dalam menganalisis perubahan kebijakan tersebut.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Hadenius yaitu sama-sama
mengkaji bagaimana Swedia mengubah kebijakannya. Selain itu, penelitian
Hadenius juga melihat elemen yang sama dengan penelitian ini dalam
19
Stig Hadenius, Swedish Politics During the 20th
Century (Stockholm, Sweden: The
Swedish Institute, 1985).
11
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan di Swedia, yaitu adanya pengaruh
partai oposisi, opini publik, dan isu perempuan. Penelitian ini dan penelitian
Hadenius sama-sama menganggap bahwa ketiga elemen tersebut sangat penting
untuk dilihat jika hendak meneliti negara seperti Swedia.
E. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini menggunakan teori Feminisme dengan memfokuskan pada
perspektif Feminisme Liberal sebagai alat untuk menganalisis perubahan
kebijakan Swedia terkait penanganan pengungsi 2014-2017. Perubahan kebijakan
Swedia tersebut dapat dikaji dengan pendekatan Feminisme Liberal karena
beberapa hal. Pertama, karena pemerintahan Swedia ialah pemerintahan feminis
pertama di dunia, sebagaimana yang telah diklaim oleh pemerintah Swedia itu
sendiri.20
Kedua, karena isu lain yang berkembang di Swedia pada saat krisis
pengungsi adalah isu gender dan perempuan, misalnya seperti kekerasan berbasis
gender, ketidakseimbangan gender, dan lain sebagainya. Kedua hal tersebut
menguatkan alasan untuk menggunakan perspektif Feminisme, khususnya
Feminisme Liberal, dalam menganalisis perubahan kebijakan Swedia terkait
penanganan pengungsi.
Feminisme dalam hubungan internasional menurut Steans J. dan Pettiford
L. adalah teori yang menggunakan gender sebagai kategori utama dalam analisis,
menganggap gender sebagai bagian dari pola hubungan tertentu, menilik dikotomi
antara publik dan privat, menggunakan isu-isu tentang gender sebagai upaya
20
“Draft Action Plan for Feminist Foreign Policy 2015-2018,” Internal Draft of Ministry
of Foreign Affairs (MFA) Sweden (2015), 2.
12
memberdayakan lembaga-lembaga internasional, serta mengimbau agar gender
dianggap penting dalam tatanan internasional.21
Feminisme menganggap
hubungan internasional terlalu bertumpu pada isu-isu maskulin seperti peperangan
atau perlombaan senjata yang justru pada praktiknya merugikan perempuan.22
Oleh karena itu, Burchill dan Linklater menekankan bahwa Feminisme
seharusnya diberi tempat yang layak pada khazanah hubungan internasional
karena Feminisme menawarkan pemikiran kritis dan spesifik terkait dengan
berbagai permasalahan di dunia ini.23
Adam Jones bahkan berpendapat bahwa
kajian Feminisme dalam hubungan internasional akan menjadi problem solver
untuk dunia lantaran Feminisme memiliki pandangan yang lebih lembut terhadap
isu-isu internasional yang sedang dihadapi.24
1. Feminisme Liberal
Feminisme Liberal adalah aliran feminisme yang berkonsentrasi pada
kesetaraan hak antara laki-laki dengan perempuan. Feminisme Liberal sangat
mendukung hak-hak individu dalam memenuhi keinginan, kepentingan, dan cita-
cita yang harus dilindungi oleh hukum.25
Mary Caprioli dan Mark Boyer
menyatakan bahwa Feminisme Liberal aktif dalam penanganan masalah
pengungsi perempuan, ketidakadilan pembagian upah antara laki-laki dan
21
Jill Steans dan L. Pettiford, Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). 22
S. Burchill dan A. Linklater, Theories of International Relations, Third Edition
(Basingstoke: Palgrave Macmillan 2005), 213-216. 23
Burchill, Theories of International Relations, 213-216. 24
Adam Jones, Gender Inclusive: Essays on Violence, Men, and Feminist International
Relations (New York: Routledge Publishers, 2009). 25
Jill Steans, Gender and International Relations: Issues, Debate, and Future Directions,
Second Edition (Cambridge: Polity Press, 2006), Chapter 2.
13
perempuan, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap perempuan, seperti
kekerasan dan tindak asusila.26
Perempuan sering dijadikan objek dalam berbagai jenis kekerasan, dan
fenomena tersebut kebanyakan luput dari jangkauan formal hukum atau politik
internasional. Untuk itu, Feminisme Liberal berusaha untuk mencegah atau
mengurangi kekerasan terhadap perempuan tersebut dengan cara memberikan
porsi yang setara untuk perempuan agar dapat bergabung atau berintegrasi di
dalam berbagai level pemerintahan tanpa mengubah proses sosialisasi antara
perempuan dan laki-laki.27
Feminisme Liberal lebih fokus kepada penanganan
diskriminasi perempuan daripada menuntut agar terjadi revolusi sosial dan
politik.28
Secara umum Feminisme Liberal beranggapan bahwa perempuan dan laki-
laki berbeda secara biologis, namun setara dalam hak.29
Dasar pemikiran inilah
yang menyebabkan para feminis masih ingin menuntut agar semua pihak
meluruskan pikiran bahwasanya meski terdapat perbedaan biologis antara laki-
laki dan perempuan, hal tersebut tidak sepatutnya dijadikan justifikasi atas
tindakan kekerasan yang dilakukan laki-laki kepada perempuan.30
Alasan teori Feminisme Liberal digunakan adalah teori ini mampu
menjelaskan Swedia yang tercatat sebagai negara dengan kesetaraan gender
26
Mary Caprioli dan Mark Boyer, “Gender, Violence, and International Crisis,” Journal
of Conflict Resolution 45(4) (2001): 503-518. 27
Laura Sjoberg, ed., Gender and International Security: Feminist Perspectives (New
York: Routledge, 2010), 3. 28
Lianboi Vaiphei, “Perspectives on International Relations and World History,”
University of Delhi Lesson and Journal 11: 11. 29
Putnam Tong Rosemarie, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada
Aliran Utama Pemikiran Feminis (Bandung: Jalasutra, 1989). 30
Christine Sylvester, Feminist International Relations Theory: An Unfinished Journey
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002).
14
tersukses dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya.31
Vic George dan
Paul Wilding menyatakan bahwa perspektif feminisme memang layak untuk
digunakan oleh Negara Kesejahteraan.32
2. Feminist Security Theory (FST)
Menurut J. Ann Tickner, Teori Keamanan Feminis atau Feminist Security
Theory (FST) adalah perkembangan kontemporer dari pemikiran feminis yang
telah menumbangkan, memperluas, dan memperkaya studi keamanan.33
Setidaknya terdapat empat pencapaian yang sudah bisa dijadikan penguat bahwa
FST merupakan teori yang kredibel untuk digunakan sebagai perspektif dalam
menganalisis.
Pencapaian yang dimaksud, yaitu FST mampu mempertanyakan ketiadaan
perempuan dalam politik keamanan internasional dan mengimbau bahwa
perempuan perlu mendapatkan peran sebagai pengambil keputusan internasional,
mempertanyakan sejauh mana perlindungan negara terhadap perempuan baik di
saat perang maupun di saat damai, menantang pemikiran bahwa perempuan yang
identik dengan perdamaian tidak punya andil dalam keikutsertaan, dukungan, dan
inspirasi terhadap perang, dan menantang asumsi bahwa keamanan gender hanya
membahas perempuan.34
31
Kolberg J.E., “The Gender Dimension of The Welfare State,” The Welfare State as
Employer (London, 1991), 119-148. 32
Vic George dan Paul Wilding, Welfare and Ideology (Hemel Hempstead: Harvester
Wheatsheaf, 1994), 157-158. 33
J. Ann Tickner, Gendering World Politics: Issues and Approaches in The Post-Cold
War Era (New York: Columbia University Press, 2001). 34
Eric M. Blanchard, “Gender, International Relations, and The Development of Feminist
Security Theory,” Chicago Journal 28(4) (2003): 1289-1312.
15
FST mengkritik pandangan realis yang mengaitkan keamanan hanya
dengan perang dan batas wilayah, serta menegaskan bahwa kekerasan
internasional, nasional, dan domestik memiliki keterkaitan.35
Selain itu, bagi FST
negara adalah sebuah badan yang seharusnya melindungi perempuan, namun
justru sering menjadikan perempuan sebagai objek dari kontrol sosial yang
maskulin. Negara tidak hanya mengontrol dengan kekerasan secara langsung,
namun juga melalui konstruksi ideologi yang berujung pada kekerasan struktural,
seperti pelayanan kesehatan yang kurang, segregasi upah, sumber daya seksual,
dan lain-lain.36
FST juga beranggapan bahwa perempuan tidak pernah dilibatkan
dalam perang, bahkan tidak dimintai pendapat tentang isu keamanan negara
karena perempuan lebih diidentikkan dengan perdamaian.37
Alasan FST ini digunakan yaitu karena teori ini mampu menjelaskan aktor
yang non-negara, permasalahan berskala domestik, dan ancaman keamanan baru,
seperti pengungsi. Namun selain sebagai ancaman keamanan, pengungsi juga
dilihat sebagai korban. Di satu sisi, Swedia harus menerima dan melayani
pengungsi dengan baik demi implementasi HAM. Namun di sisi lain, Swedia juga
harus melindungi warga negaranya dari potensi kejahatan yang diakibatkan oleh
krisis pengungsi tersebut.38
35
J. Ann Tickner, Gender in International Relations (New York: Columbia University
Press, 2001). 36
V. Spike Peterson, “Transgressing Boundaries: Theories of Knowledge, Gender, and
International Relations,” Millennium: Journal of International Studies 21(2) (1992): 194. 37
Jean Bethke Elshtain, Women and War (Chicago: University of Chicago Press, 1987),
169. 38
James Milner, “Sharing the Security Burden: Towards the Convergence of Refugee
Protection and State Security,“ Refugee Studies Centre (2000).
16
3. Feminist Foreign Policy
Feminist Foreign Policy atau Kebijakan Luar Negeri Feminis oleh Judith
Butler didefinisikan sebagai rumusan aksi yang dilakukan terhadap pihak di luar
batas nasional yang didasari oleh komitmen untuk mewujudkan kesetaraan gender
serta mencari solusi untuk masalah dominasi pria.39
Selain itu, Feminist Foreign
Policy juga mengurusi ketidaksetaraan gender, devaluasi, dan penolakan terhadap
pihak yang tidak sesuai dengan stereotip gender tradisional pada umumnya.40
Stereotip gender tradisional yang dimaksud adalah tidak memprioritaskan
perempuan dalam pemerintahan dan lebih memberikan hak kepada laki-laki untuk
menjadi pemegang kekuasaan.41
Selain itu, stereotip ini pun memberi kewenangan
pada pemangku kekuasaan untuk melakukan kekerasan sebagai cara yang wajar
demi menyelesaikan konflik dan mempertahankan dominasi.42
Bahkan dalam
beberapa konteks, diperbolehkan bagi pemangku kebijakan untuk melakukan
kekerasan terhadap perempuan dan kelompok gender non-tradisional.43
Alasan konsep Feminist Foreign Policy ini digunakan adalah karena
konsep ini mampu menganalisis Swedia yang merupakan negara feminis. Konsep
ini mampu menjelaskan bahwa jumlah perempuan yang menduduki kursi
pemerintah, arah kebijakan yang mengutamakan agenda gender, dan klaim resmi
39
Judith Butler, Bodies That Matter: On the Discursive Limits of Sex (New York dan
London: Routledge, 1993). 40
Iris Marion Young, Justice and The Politics of Difference (Princeton: Princeton
University Press, 1990). 41
Jane Mansbridge, “Should Blacks Represent Blacks and Women Represent Women? A
Contingent „Yes,‟” The Journal of Politics 61(3) (1999): 628-657. 42
S. Laurel Weldon, Protest, Policy and The Problem of Violence Against Women: A
Cross-national Comparison (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2002). 43
Valerie Hudson, et al., Sex and World Peace (New York: Columbia University Press,
2014).
17
Swedia sendiri sebagai negara dengan pemerintah feminis pertama di dunia dapat
berpengaruh pada hasil kebijakan luar negeri Swedia.44
F. Metode Penelitian
Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Menurut Patton,
penelitian kualitatif berusaha memahami suatu kejadian secara alamiah (peneliti
tidak memanipulasi kejadian tersebut) dan mengamati suatu kejadian yang terjadi
secara alamiah (munculnya kejadian tersebut bukan oleh karena manipulasi
peneliti).45
Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif karena skripsi ini
berusaha memahami fenomena perubahan kebijakan Swedia terkait krisis
pengungsi secara apa adanya tanpa manipulasi.
Kemudian metode penulisan dalam skripsi ini mengacu pada buku
Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi yang disusun oleh tim
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Sebagaimana panduan dalam buku tersebut, skripsi ini akan
menggunakan teknik referensi Turabian Documentation Style, yaitu dengan
mencantumkan catatan kaki.46
Lalu skripsi ini menggunakan teknik studi pustaka dan wawancara semi-
terstruktur untuk mengumpulkan data dan fakta. Menurut Nawawi, metode studi
pustaka dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan fakta dari beberapa
literatur, seperti buku, jurnal, dokumen, surat kabar, situs-situs internet, ataupun
44
“Draft Action Plan for Feminist Foreign Policy 2015-2018.” 45
Patton MQ, Qualitative Evaluation and Research Methods, 2nd Edition (London: Sage
Publication, 1990). 46
Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi (Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
18
laporan yang berkaitan dengan penelitian yang sedang dijalankan.47
Sedangkan
wawancara semi terstruktur menurut Estenberg dilakukan secara lebih terbuka
tanpa strukturasi yang ketat untuk memperoleh data dan fakta dari responden atau
informan.48
Beberapa narasumber yang diwawancarai adalah Edith Permén, Praktisi
Kebijakan Luar Negeri Feminis, Kementerian Luar Negeri Swedia dan Christer
Lyck, Informan The Swedish Migration Agency (Migrationsverket). Edith
Permén diwawancarai untuk mengetahui bagaimana kebijakan luar negeri feminis
dijalankan dalam kepengungsian. Kemudian Christer Lyck diwawancarai karena
narasumber pertama menyarankan untuk mewawancarai pihak Migrationsverket
guna mengetahui keterlibatan Migrationsverket dalam perumusan kebijakan
feminis Swedia tentang pengungsi.
Adapun teknik analisis yang digunakan dalam skripsi ini yaitu teknik
deskriptif analitis. Menurut Sugiyono, teknik deskriptif analitis dijalankan dengan
memusatkan fokus pada masalah atau fenomena yang terjadi secara apa adanya,
kemudian memilih dan memilah data serta fakta, melaksanakan penelitian, lalu
menyajikan hasil peneltitan yang sudah dianalisis berupa kesimpulan dalam
bentuk narasi atau kata-kata.49
47
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada, 2001). 48
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta,
2010). 49
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D.
19
G. Sistematika Penulisan
Demi memudahkan penyusunan penelitian, skripsi ini menggunakan
sistematika penulisan sebagai berikut:
Pada BAB I dipaparkan pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, serta kerangka pemikiran yang memuat
teori Feminisme Liberal, Feminist Security Theory (FST), dan konsep Feminist
Foreign Policy. Skripsi ini juga memaparkan metode penelitian yang terdiri dari
jenis penelitian, metode penulisan, teknik pengumpulan data, teknik analisis data,
serta menyebutkan sistematika penulisan.
BAB II membahas tentang model kebijakan luar negeri yang dianut oleh
Swedia, perkembangan feminisme di Swedia, serta feminisme dalam kebijakan
luar negeri kabinet Stefan Lovfen. Ketiga hal tersebut penting dibahas agar
pembaca memahami latar belakang Swedia terlebih dahulu. Kemudian BAB III
membahas fenomena krisis pengungsi di Swedia, kebijakan Swedia terkait
penanganan krisis pengungsi, dan dampak dari perubahan kebijakan Swedia
terkait penanganan krisis pengungsi. Hal-hal tersebut penting dibahas demi
memahami seluk-beluk krisis pengungsi di Swedia serta dampaknya.
Pada BAB IV dipaparkan mengenai analisis feminisme terhadap
perubahan kebijakan Swedia terkait penanganan krisis pengungsi periode 2014-
2017. BAB IV ini ditulis dengan tujuan menjawab pertanyaan penelitian yang
telah diajukan. Pada BAB V terdapat kesimpulan dan saran. Selebihnya, tersemat
daftar pustaka dan lampiran transkip wawancara.
20
BAB II
KEBIJAKAN LUAR NEGERI DAN PERKEMBANGAN FEMINISME DI
SWEDIA
BAB II membahas tentang kebijakan luar negeri dan perkembangan
feminisme di Swedia. Dalam upaya mengetahui alasan Swedia mengubah
kebijakannya terhadap krisis pengungsi dengan perspektif feminisme, penting
untuk memahami latar belakang negara Swedia terlebih dahulu. Untuk itu, BAB II
akan dibagi lagi ke dalam tiga subbab, yaitu model kebijakan luar negeri Swedia,
perkembangan feminisme di Swedia, dan feminisme dalam kebijakan luar negeri
kabinet Stefan Lofven.
A. Model Kebijakan Luar Negeri Swedia
The Kingdom of Sweden atau Swedia merupakan negara terbesar kelima
di Eropa dengan luas 449.964 kilometer persegi dan memiliki populasi sebanyak
10 juta jiwa.50
Bentuk pemerintahan Swedia adalah monarki konstitusional yang
fungsi eksekutifnya dijalankan oleh raja atau ratu sebagai kepala negara, perdana
menteri sebagai kepala pemerintahan, dan para kabinet menteri sebagai
pemerintah. 51
50
“Sweden Country Brief,” Department of Foreign Affairs and Trade of Australia, 2017
[database on-line]; tersedia di http://dfat.gov.au/geo/sweden/pages/sweden-country-brief.aspx/;
Internet; diakses pada 29 Januari 2018. 51
“The World Factbook: Sweden,” Central Intelligence Agency United States of America
[database on-line]; tersedia di https://www.cia.gov/library/publications/the-world-
factbook/geos/sw.html/; Internet; diakses pada 29 Januari 2018.
21
Sedangkan fungsi legislatif Swedia dijalankan oleh badan parlemen yang
disebut Riksdag, dan fungsi yudikatifnya dijalankan oleh Courts yang terdiri dari
Supreme Court atau Högsta Domstolen (The Highest Court), Courts of Appeal
atau Hovrätter (Royal Court), dan District Courts atau Tingsrätter (Thing
Assembly Court), Administrative Courts yang terdiri dari The Supreme
Administrative Court atau Regeringsrätten (Government atau Regent Court),
Administrative Courts of Appeal atau Kammarrätter (Chamber Court), dan
Administrative Courts atau Förvaltningsrätt (Administration Court), kemudian
Ombudsman yang terdiri dari The Parliamentary Ombudsman atau Justitie
Ombudsmannen serta The Chancellor of Justice atau Justitiekanslern.52
GAMBAR II.1. Bendera dan Lambang Kerajaan Swedia53
Secara geografis, Swedia terletak di Eropa Utara, perbatasan Laut Baltik,
Semenanjung Bosnia, Kattegat, dan Skagerrak, di antara Finlandia dan Norwegia,
serta merupakan salah satu negara kawasan Nordik atau Skandinavia. Walaupun
secara politis negara Nordik memiliki ciri khas berbeda, namun masing-masing
dari negara Nordik mempunyai banyak kesamaan secara historis, kultural, dan
52
“The World Factbook: Sweden.” 53
“Sveriges Flagga,” Riksarkvet, 2018 [database on-line]; tersedia di
http://riksarkvet.se/sveriges-flagga/; Internet; diakses pada 30 September 2017.
22
ekonomi yang membuat negara-negara Nordik secara kolektif menjuluki dirinya
sebagai "Negara-negara Utara" di dunia internasional. 54
Negara-negara Utara tersebut merupakan sebuah kelompok negara yang
berhasil mengintegrasikan kapitalisme laissez-faire dengan sosialisme ala Soviet.
Kemampuan negara-negara Nordik tersebut membentuk karakteristik khusus yang
menjadi identitas permanen negara-negara Nordik, yaitu Welfare State atau
Negara Kesejahteraan, yang biasa pula disebut dengan Model Negara Nordik atau
Skandinavia serta Rezim Kesejahteraan Sosial-Demokratis. Sebutan-sebutan
tersebut kemudian diidentikkan dengan sekelompok negara yang komprehensif,
murah hati, dan memiliki kesuksesan relatif khususnya dalam hal hasil kebijakan.
Hasil kebijakan dengan kesuksesan relatif contohnya seperti distribusi pendapatan
yang egaliter, kemiskinan yang terentaskan, stabilitas politik, dan pembangunan
ekonomi jangka panjang.55
GAMBAR II.2. Peta Negara-Negara Nordik56
54
Axel West Pedersen dan Stein Kuhnle, “The Nordic Welfare State Model: Introduction:
The Concept of a Nordic Model,” The Nordic Models in Political Science: Challenged, but Still
Viable? (Bergen: Fagbokforlaget, 2017). 55
Pedersen dan Kuhnle, “The Nordic Welfare State Model.” 56
“Stavanger Guide Map,” The Nordic Countries, 2015 [database on-line]; tersedia di
http://www.stavanger-guide.no/maps/maps_other/nordic.pdf/; diakses pada 11 Februari 2018.
23
Karakteristik lain dari negara-negara Nordik adalah negara-negara Nordik
memegang teguh prinsip universalisme. Prinsip universalisme menekankan pada
perluasan layanan, jaminan, dan tunjangan kepada segala lapisan masyarakat.
Karakteristik penting ketiga adalah negara-negara Nordik memiliki semangat
terhadap kesetaraan, terutama kesetaraan gender. Dengan demikian negara-negara
Nordik dapat disimpulkan memiliki institusi berupa Negara Kesejahteraan
(stateness dan universalism), bentuk pemerintahan yang demokratis, dan output
berupa peraturan yang menjunjung kesejahteraan (equality).57
Karakteristik negara-negara Nordik yang juga dimiliki oleh Swedia tidak
hanya tercermin dari kebijakan dalam negerinya, tapi juga kebijakan luar
negerinya. Dalam merancang kebijakan luar negerinya, Swedia memiliki sikap
politik yang netral. Pada dasarnya, netralitas kebijakan luar negeri Swedia adalah
tentang mencari berbagai alternatif dan nilai untuk diimplementasikan. Negara
Netral seperti Swedia diidentikkan dengan negara kecil, negara permainan
multilevel, negara demokrasi, dan negara politik wacana.58
Negara kecil memiliki pengertian yang relatif. Pertama, negara kecil
merepresentasikan negara yang lemah karena tidak memiliki pengaruh yang
signifikan sehingga keputusannya tidak terlalu dipertimbangkan di level
internasional. Namun pengertian lainnya menekankan pada negara-negara yang
power-nya lebih condong bersifat imateriil, seperti menjunjung norma,
kebudayaan, dan lain-lain. Sedangkan negara permainan multilevel merujuk pada
57
Pedersen dan Kuhnle, “The Nordic Welfare State Model.” 58
Jan Martin Rolenc, “Means, Goals, and Sources of Foreign Policy: The Case of
Sweden,” Paper Draft for The ISA 2013 Convention (USA, 2013), 5-6.
24
negara yang dalam merumuskan kebijakan luar negerinya dipengaruhi oleh semua
level, baik level individu, elit, negara, sistemik, dan level lainnya. 59
Kemudian negara demokrasi yang dimaksud adalah negara yang kebijakan
luar negerinya sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Adapun negara yang
berpolitik wacana merupakan negara yang dalam praktiknya gencar
mempromosikan wacana idealis tentang potensi ketentraman dan capaian
normatif. Negara yang berpolitik wacana sering melakukan strategi diskursif,
naratif, atau argumentatif untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Secara garis
besar, netralitas Swedia memiliki empat nilai, yaitu sukarela, aktif, fleksibel, dan
normatif.60
Dalam merumuskan kebijakan luar negeri yang bersikap netral, aktor yang
berperan penting di Swedia adalah Riksdag dan pemerintah. Riksdag adalah badan
politik terpenting di Swedia yang menangani fungsi legislatif dengan membuat
keputusan level tertinggi yang dapat diaplikasikan di seluruh belahan Swedia.61
Riksdag terdiri dari 349 anggota yang dipilih setiap empat tahun sekali pada
minggu kedua di bulan September. Anggota Riksdag terdiri dari ketua dewan
legislatif yang disebut Speaker serta perwakilan beberapa partai politik yang
kuotanya ditetapkan secara proporsional. Sedangkan yang dimaksud dengan
pemerintah sendiri terdiri dari seorang perdana menteri dan 22 menteri yang
mengurusi bidangnya masing-masing. Perdana menteri tersebut juga dipilih oleh
59
Rolenc, “Means, Goals, and Sources of Foreign Policy,” 5-6. 60
Rolenc, “Means, Goals, and Sources of Foreign Policy,” 6-7. 61
Ingela Bjorck dan Bulle Davidsson, Sweden – A Pocket Guide (Norrköping, Sweden:
The Swedish Integration Board 2001), 30.
25
Riksdag, kemudian perdana menteri terpilih berhak menentukan anggota
pemerintahannya atas persetujuan Riksdag.62
Riksdag berkontribusi dalam penyusunan kebijakan luar negeri Swedia
setidaknya dalam tiga hal. Pertama, dengan mengadakan debat kebijakan luar
negeri setiap bulan Februari. Debat dibuka dengan presentasi dari Menteri Luar
Negeri tentang kebijakan luar negeri yang ingin dicapai serta isu-isu lainnya.
Kemudian presentasi tersebut diikuti oleh debat antar-partai yang berada di dalam
Riksdag.63
Kedua, di dalam tubuh Riksdag terdapat badan khusus yang mengurusi
kebijakan luar negeri, yaitu The Advisory Council on Foreign Affairs. The
Advisory Council on Foreign Affairs adalah badan yang bertugas untuk
mendiskusikan kebijakan luar negeri dengan pemerintah. Council ini terdiri dari
seorang Speaker dan 18 anggota Riksdag lainnya. Council ini diketuai oleh Raja.
Ketiga, Speaker yang juga merupakan representasi dari Swedia di kancah
internasional turut memberikan sumbangsih terhadap peran Riksdag terhadap
kebijakan luar negeri Swedia.64
Kebijakan luar negeri Swedia memiliki prioritas yang mendasar, seperti
asistensi pembangunan terhadap negara-negara berkembang dan miskin,
pencegahan konflik baik di Swedia sendiri maupun di wilayah negara lain,
penjagaan perdamaian di seluruh dunia, penanggulangan permasalahan pengungsi,
62
“Members and Parties,” Sveriges Riksdag [database on-line]; tersedia di
http://www.riksdagen.se/en/members-and-parties/; diakses pada 11 Februari 2018. 63
“Foreign Policy,” Sveriges Riksdag [database on-line]; tersedia di
http://www.riksdagen.se/en/how-the-riksdag-works/what-does-the-riksdag-do/foreign-policy/;
diakses pada 11 Februari 2018. 64
“Foreign Policy,” Sveriges Riksdag.
26
dan peraturan perdagangan. Namun setiap pergantian kabinet biasanya terdapat
sedikit penambahan atau pengurangan fokus kebijakan luar negeri. Hal tersebut
dilatarbelakangi oleh situasi yang sedang terjadi di dunia global maupun internal
Swedia sendiri. Seperti misalnya pada 2014, ketika kabinet baru resmi dilantik,
fokus utama kebijakan luar negeri ditambah menjadi promosi demokrasi dan
kesetaraan gender di bawah pemerintah yang feminis.65
B. Perkembangan Feminisme di Swedia
Secara umum, perkembangan feminisme di dunia terdiri dari tiga
gelombang. Feminisme gelombang pertama dimulai pada abad ke-19 hingga awal
abad ke-20 dengan tema identitas pembeda antara laki-laki dan perempuan yang
menyebabkan ketidaksetaraan yang harus dilawan. Feminisme gelombang kedua
tidak memiliki isu yang terlalu jauh dari feminisme gelombang pertama, yaitu
memperjuangkan hak asasi perempuan. Namun pada feminisme gelombang kedua
yang dimulai sejak 1960 hingga 1970 ini, feminisme sudah terbagi menjadi tiga
arah, yaitu Liberal, Marxist, dan Radikal. Feminisme Liberal fokus
menghilangkan batasan antara laki-laki dan perempuan dalam hak-haknya,
sementara itu Feminisme Marxist membela perempuan pekerja kelas bawah yang
tidak digaji secara sepadan, sedangkan Feminisme Radikal justru ingin
menghapus adanya perbedaan standar, nilai, asumsi, dan identitas antara laki-laki
maupun perempuan. 66
65
Jan Joel Andersson, Sweden (NY, USA: Freedom House), 1. 66
Valentina Schiavo, “I am Swedish, I am a Woman: Exploring Swedish Women‟s
Identity Construction,” Report nr. 2016:104 (University of Gothenburg, 2016), 5.
27
Kemudian feminisme gelombang ketiga hadir untuk mengkritik feminisme
gelombang kedua yang terlalu fokus membela hak kaum perempuan Barat, kelas
menengah, dan heteroseksual. Feminisme gelombang ketiga berpendapat bahwa
perempuan itu berbeda satu dengan yang lainnya berdasarkan etnis, kelas, ras,
kewarganegaraan, dan seksualitas. Untuk itu, hak kaum perempuan yang dibela
mestilah mewakili hak kaum perempuan di belahan dunia lainnya.67
Di Swedia sendiri, norma kesetaraan gender atau feminisme yang
kemudian menjadi nilai formal dalam kebijakan Swedia berkaitan erat dengan
perkembangan mobilisasi perempuan dalam berbagai bidang. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Norris berikut:
Among the crucial determinants are socioeconomic factors, such as
education, labour market participation, urbanization, and the extent of
social provision; cultural factors, as exemplified by traditionalist values
or a commitment to equality; and institutional factors, like the electoral
system, stability of the party system, and types and strength of political
parties.68
Berdasarkan pernyataan Norris tersebut, maka perkembangan feminisme Swedia
dapat dibagi ke dalam beberapa kategori besar berikut:
1. Ekonomi
Aktivitas ekonomi Swedia pada abad ke-19 fokus pada proses
industrialisasi. Sebelumnya pada abad ke-18, Swedia menjadi negara yang cukup
miskin dalam perekonomian karena hanya bergantung pada sektor pertanian
tradisional sebagai sumber pendapatannya. Namun pada abad ke-19, mulai terlihat
kemajuan dalam industrialisasi pertanian, misalnya penemuan teknologi untuk
67
Schiavo, “I am Swedish, I am a Woman,” 6. 68
Diane Sainsbury, “Women‟s Political Representation in Sweden: Discursive Politics
and Institutional Presence,” Scandinavian Political Studies, Vol. 27 No. 1 (Nordic Political Science
Association: 2004), 66.
28
mengeksploitasi lahan pertanian dan pengenalan varietas pertanian baru seperti
kentang. Setelah agraria Swedia sudah dimekanisasi, industrialisasi pun
merambah ke sektor lain, seperti manufaktur. Industrialisasi tersebut menjadikan
Swedia sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat pada
pertengahan 1980.69
Selain berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, industrialisasi juga
berdampak pada perkembangan feminisme di Swedia. Pada 1930-1940an, terjadi
peningkatan yang signifikan pada jumlah perempuan yang memasuki lapangan
pekerjaan di luar profesi asisten rumah tangga. Kemudian pada 1970, tenaga kerja
perempuan di Swedia semakin meningkat. Namun bedanya, pekerjaan yang
dilakukan tidak penuh waktu, melainkan paruh waktu. Lalu pada 1975, angkatan
kerja perempuan di Swedia yang terhitung sebanyak empat puluh persen mulai
memasuki karier yang berlevel internasional.70
Berdasarkan analisis faktor, terdapat hubungan yang berbanding lurus
antara tingkat industrialisasi dengan tingkat pendidikan. Swedia yang mulai
menjadi negara industri pada abad ke-19 juga menekankan aspek pendidikan agar
warga negaranya dapat mengimbangi perkembangan yang sedang terjadi. Pada
1970, jumlah murid laki-laki dan perempuan cenderung seimbang di tingkat
pendidikan menengah. Namun pada pendidikan tinggi, proporsi mahasiswa laki-
laki masih lebih banyak daripada mahasiswa perempuan. Seiring berkembangnya
proses industrialisasi, pada 1974 mulai terjadi peningkatan jumlah perempuan
69
Elina Haavio-Mannila, The Position of Women (University of Helsinki), 555-557. 70
Haavio-Mannila, The Position of Women, 555-557.
29
yang menempuh pendidikan tinggi. Hal tersebut tentunya berdampak pada pola
pikir perempuan yang semakin maju.71
2. Pergerakan dan Organisasi Perempuan
Majunya pemikiran perempuan Swedia yang telah menempuh pendidikan
serta didorong oleh kontradiksi terhadap sistem ekonomi kapitalis berpengaruh
pada lahirnya pergerakan dan organisasi perempuan.72
Di Swedia, organisasi
perempuan pertama yang berdiri adalah Föreningen För Gifta Kvinnors
Äganderätt (Association for Married Women's Property Right) yang dibentuk
pada 1873. Pergerakan tersebut diperluas dengan peresmian Fredrika-Bremer-
Förbundet pada 1884. Dengan beranggotakan 8.000 orang, organisasi tersebut
memiliki visi untuk meraih kesetaraaan antara laki-laki dan perempuan dalam
skala domestik, profesional, dan masyarakat. Visi tersebut dijalankan dengan
berbagai cara, di antaranya yaitu menyuarakan pemikiran perempuan dengan
menerbitkan jurnal bernama Hertha dan menyediakan banyak beasiswa
pendidikan untuk perempuan.73
Pada 1919, organisasi Sveriges Husmodersföreningars Riksförbund
dibentuk. Organisasi ini fokus pada penyediaan pelatihan vokasional untuk para
ibu rumah tangga. Pembentukan organisasi tersebut didorong oleh proses
industrialisasi yang terlalu memprioritaskan hak-hak perempuan pekerja daripada
ibu rumah tangga. Selain menyediakan pelatihan, organisasi ini juga rutin
mempublikasikan jurnal bernama Hem och Samhälle. Pada 1969, asosiasi ini
berganti nama menjadi Husmodersförbundet Hem och Samhälle. Organisasi ini
71
Haavio-Mannila, The Position of Women, 558-561. 72
Haavio-Mannila, The Position of Women, 561-562. 73
Haavio-Mannila, The Position of Women, 565-566.
30
pun tercatat menjadi organisasi perempuan bersifat nonpolitis terbesar di Swedia
dengan 32.000 anggota pada kisaran 1978.74
Di Swedia, organisasi pekerja biasanya bekerjasama dengan perserikatan
dagang dalam menangani isu perempuan. Organisasi perserikatan dagang dan
organisasi pekerja memakai jalur pelatihan kemampuan untuk mendidik
perempuan agar lebih layak memasuki pasar kerja. Pada 1947, Women‟s Council
Swedia resmi didirikan di dalam tubuh Federation of Trade Unions atau
perserikatan dagang. 20 tahun kemudian, Women‟s Council tersebut digantikan
dengan LO‟s Råd För Familjefrågor (The Family Council of LO). Kemudian pada
1951-1975, organisasi bernama Arbetsmarknadens Kvinnonämnd ikut berjuang
untuk memaksimalkan keterlibatan perempuan di pasar tenaga kerja.75
Pada 1968 dibentuk lagi sebuah kelompok feminis sosialis bernama Grupp
8. Kelompok tersebut memiliki pertemuan rutin besar, sistem kepengurusan yang
berotasi, dan publikasi berupa jurnal yang dinamakan Kvinnobulletinen. Pada
1973, terdapat sebuah fraksi yang memisahkan diri dari kelompok induk.
Kemudian fraksi tersebut diberi nama Arbetets Kvinnor (Working Women) yang
merupakan pergerakan perempuan proletar yang mendalami isu sosialisme dalam
kancah keilmuan. Fraksi ini lebih fokus untuk memperjuangkan hak-hak
berdasarkan jenis kelamin daripada perjuangan kelas.76
3. Partisipasi Politik
Seiring dengan masifnya pergerakan perempuan dalam organisasi
nonpemerintah dan nonpolitis di Swedia, situasi perpolitikan di Swedia terdorong
74
Haavio-Mannila, The Position of Women, 569. 75
Haavio-Mannila, The Position of Women, 567-568. 76
Haavio-Mannila, The Position of Women, 566.
31
untuk melibatkan isu perempuan dalam aktivitasnya. Pada abad ke-19 misalnya,
partai-partai politik di Swedia mulai membentuk bagian khusus perempuan di
dalamnya. Salah satu upaya yang paling bersejarah dalam partisipasi politik
perempuan di Swedia adalah anggota perempuan Partai Sosial Demokrat Swedia
yang mempublikasikan Women’s Equality (Kvinnans Jämlikhet 1964), sebuah
program ambisius untuk reformasi Swedia. Dalam program tersebut, Partai Sosial
Demokrat Swedia mengajukan rancangan tentang peraturan perpajakan, pasar
tenaga kerja, pendidikan, keamanan sosial, dan pelayanan publik yang kemudian
diintegrasikan dengan program Towards Equality yang diadopsi oleh Kongres
Partai 1969.77
Sedangkan di dalam parlemen, keterlibatan perempuan Swedia meningkat
secara cepat pada 1965. Dua puluh empat persen anggota parlemen di Swedia
adalah perempuan, yang menurut International Alliance of Women merupakan
rasio tertinggi di antara negara-negara kapitalistik di seluruh dunia pada tahun
tersebut. Mayoritas perempuan dipilih untuk duduk di kursi parlemen oleh partai
sosialis dan konservatif. Namun selepas 1970, partai liberal juga mulai
memperlihatkan dukungannya terhadap perempuan untuk menjadi anggota
parlemen. Kemudian pada 1976, dukungan suara untuk partai moderat meningkat
hingga menempatkan banyak perempuan dari partai tersebut di dalam kabinet.78
Selain berpartisipasi dengan cara menjadi anggota partai dan parlemen,
perempuan Swedia juga aktif berpolitik dengan cara menggunakan hak pilihnya
sejak 1919. Aktifnya partisipasi politik perempuan di Swedia semakin terlihat
77
Sainsbury, “Women‟s Political Representation in Sweden,” 70. 78
Haavio-Mannila, The Position of Women, 573.
32
pada 1960, di mana terjadi peningkatan besar jumlah pemilih perempuan.
Terhitung bahwa sembilan puluh persen dari total perempuan di Swedia menjadi
pemilih aktif pada tahun tersebut. Jika dibandingkan dengan negara-negara
Nordik lainnya, Swedia ialah negara dengan pemilih perempuan teraktif.79
Seiring dengan berkembangnya feminisme di Swedia, kebijakan
pemerintah Swedia pun secara legal mulai mengarah ke pemenuhan hak-hak
perempuan. Dapat dikatakan bahwa Swedia memiliki kebijakan yang progresif
terkait perempuan yang dijadikan model oleh negara-negara lain dalam menyusun
kebijakan sosialnya. Tidak hanya mempengaruhi kebijakan sosial, feminisme di
Swedia pun mempengaruhi kebijakan-kebijakan lainnya. Bahkan pada masa
pemerintahan baru di 2014, feminisme menjadi topik utama pemerintahan
sehingga pemerintah sendiri mengklaim bahwa Swedia adalah negara dengan
pemerintah dan pemerintahan feminis pertama di dunia.80
C. Feminisme dalam Kebijakan Luar Negeri Kabinet Stefan Lofven
Pada 3 Oktober 2014, Stefan Lofven dari Partai Sosial Demokrat terpilih
menjadi perdana menteri Swedia. Partai Sosial Demokrat memenangkan
1.932.711 suara masyarakat Swedia dengan perolehan tiga puluh satu persen dan
113 kursi. Pengangkatan Stefan Lovfen sebagai perdana menteri Swedia
merupakan titik awal dari realisasi pemerintahan feminis.
79
Haavio-Mannila, The Position of Women, 570-575. 80
Haavio-Mannila, The Position of Women, 566.
33
Sweden has the first feminist government in the world. This means that
gender equality is central to the Government’s priorities – in decision-
making and resource allocation. A feminist government ensures that a
gender equality perspective is brought into policy-making on a broad front,
both nationally and internationally. Women and men must have the same
power to shape society and their own lives. This is a human right and a
matter of democracy and justice. Gender equality is also part of the
solution to society’s challenges and a matter of course in a modern welfare
state – for justice and economic development.81
Dalam pernyataan tersebut, kebijakan dalam negeri maupun luar negeri
Swedia pada masa kabinet Stefan Lofven menjadikan kesetaraan gender sebagai
prioritasnya. Stefan Lofven pun mengangkat seorang perempuan sebagai menteri
luar negeri Swedia yaitu Margot Wallstrom yang pernah menjadi Special
Representative of the United Nations Secretary-General on Sexual Violence in
Conflict dan Chair of Council of Women World Leaders Ministerial Initiative.82
Sesuai dengan visi dan misi pemerintah feminis Swedia pada umumnya,
Kementerian Luar Negeri Swedia pun fokus pada isu-isu feminisme.
Equality between women and men is a fundamental aim of Swedish
foreign policy. Ensuring that women and girls can enjoy their
fundamental human rights is both an obligation within the framework of
our international commitments, and a prerequisite for reaching
Sweden’s broader foreign policy goals on peace, and security and
sustainable development.83
Kebijakan luar negeri feminis Swedia mulai diberlakukan pada Oktober
2014 dan ditindaklanjuti dengan Swedish Foreign Service Action Plan for
Feminist Foreign Policy 2015-2018. Pada dasarnya, visi yang ingin dicapai dari
81
“A Feminist Government,” Government Offices of Sweden Website [database on-line];
tersedia di http://www.government.se/government-policy/a-feminist-government/; diakses pada 11
Februari 2018. 82
“CV Margot Wallstrom,” Government Offices of Sweden Website [database on-line];
tersedia di http://www.government.se/government-of-sweden/ministry-for-foreign-affairs/margot-
wallstrom/cv-margot-wallstrom/; diakses pada 11 Februari 2018. 83
“Feminist Foreign Policy,” Government Offices of Sweden Website [database on-line];
tersedia di http://www.government.se/government-policy/feminist-foreign-policy/; diakses pada 11
Februari 2018.
34
tindak lanjut kebijakan luar negeri feminis Swedia yaitu 3R: rights (pemenuhan
hak bagi seluruh perempuan), representation (keterwakilan perempuan dalam
segala bidang), dan resources (pemerataan alokasi sumber daya terhadap
perempuan). Kemudian misi Swedish Foreign Service dilakukan dengan
membidangi tujuh objek berikut: pemenuhan dan kampanye hak asasi manusia,
penghapusan kekerasan, partisipasi dalam upaya perdamaian, partisipasi politik,
pemberdayaan ekonomi, pemenuhan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi,
serta aktivitas internal perempuan.84
Untuk objek pemenuhan dan kampanye hak asasi manusia, beberapa
contoh kebijakannya yang berhasil adalah Swedia mendorong United Nations
Human Rights Council untuk mengeluarkan resolusi tentang perlindungan
kekerasan terhadap anak dan perempuan. Lalu untuk objek partisipasi dalam
penghapusan kekerasan yang sudah dilakukan Swedia, di antaranya Swedia
berkolaborasi dengan International Criminal Court (ICC) dalam memerangi
kekerasan. Kemudian untuk objek partisipasi dalam upaya perdamaian, Swedia
berhasil melibatkan perempuan dalam UN Security Council pada 2017-2018.85
Objek partisipasi politik dijalankan Swedia salah satunya dengan program
Women in Politics (WiP) yang mempromosikan hak politik perempuan. Lalu
objek pemberdayaan ekonomi dijalankan misalnya dengan berkolaborasi bersama
persatuan pengusaha perempuan dari seluruh negara, seperti Winnet Sweden.
Kemudian objek pemenuhan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi yang telah
84
“Sweden‟s Feminist Foreign Policy: Examples From Three Years Of Implementation,”
Government Offices of Sweden, Ministry for Foreign Affairs, 2-3. 85
Sweden‟s Feminist Foreign Policy, 4-9.
35
dilakukan oleh Swedia contohnya yaitu bekerjasama dengan United Nations
Population Fund (UNFPA) dalam menangani kelahiran tak terencana dan aborsi
yang tak aman. Sedangkan dalam objek dukungan terhadap aktivitas internal
perempuan, Swedia telah membuat pelatihan online terkait feminisme, yaitu
Gender Coach Programme.86
Selain contoh-contoh yang telah disebutkan, masih
banyak lagi hal yang telah Swedia lakukan dalam mewujudkan visi dan misi
pemerintah feminisnya.
Proses industrialisasi Swedia yang mendorong perempuan untuk bekerja
dan berpendidikan tinggi, serta menyebabkan munculnya berbagai pergerakan dan
organisasi perempuan telah mempengaruhi Swedia dalam merumuskan dan
menjalankan kebijakannya dengan perspektif feminisme. Swedia menindaklanjuti
Swedish Foreign Service Action Plan for Feminist Foreign Policy 2015-2018
dengan visi memenuhi hak seluruh perempuan, memastikan keterwakilan
perempuan dalam segala bidang, serta meratakan alokasi sumber daya untuk
perempuan.87
86
Sweden‟s Feminist Foreign Policy, 10-17. 87
Sweden‟s Feminist Foreign Policy.
36
BAB III
KRISIS PENGUNGSI DI SWEDIA
BAB III membahas tentang krisis pengungsi di Swedia dengan subbab
fenomena krisis pengungsi di Swedia, kebijakan Swedia terkait penanganan krisis
pengungsi, dan dampak perubahan kebijakan Swedia terkait krisis penanganan
krisis pengungsi. Ketiga subbab tersebut patut untuk dibahas karena
memperlihatkan fenomena krisis pengungsi sebagai faktor yang menyebabkan
perubahan kebijakan Swedia serta dampaknya terhadap hubungan internasional.
A. Fenomena Krisis Pengungsi di Swedia
Johannes Hahn menyebutkan bahwa pada 2015 Eropa mengalami krisis
pengungsi terparah sejak Perang Dunia II.88
Istilah krisis pengungsi mulai muncul
saat terjadi peristiwa tenggelamnya lima kapal yang mengangkut ribuan
pengungsi yang hendak menuju ke daratan Eropa pada 2015 lalu. Tenggelamnya
kapal-kapal di Laut Mediterania tersebut menewaskan sebanyak 1.200 pengungsi.
Semenjak kecelakaan itu, keadaan di mana jumlah pengungsi melebihi kapasitas
dan berpotensi membahayakan dikaitkan dengan istilah krisis pengungsi. 89
Krisis pengungsi dapat diartikan sebagai perpindahan manusia terlantar
dari satu negara ke negara lain dalam jumlah besar atau insiden yang melibatkan
pengungsi dan menimbulkan permasalahan di perjalanan maupun di negara
88
“Press Release,” European Commission, 2015 [database on-line]; tersedia di
http://europa.eu/rapid/press-release_IP-15-6212_en.htm; diakses pada 24 Februari 2018. 89
“BAB II: Krisis Pengungsi di Eropa,” UMY Repository [database on-line]; tersedia di
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12289/F.%20BAB%20II.pdf?sequence=6
&isAllowed=y; diakses pada 24 Februari 2018.
37
tujuan.90
Terdapat tiga kosakata yang berbeda untuk mengkategorisasikan
pengungsi, yaitu pengungsi, migran, dan pencari suaka. Pengungsi adalah orang-
orang yang melarikan diri dari konflik bersenjata yang dilindungi di bawah The
Refugee Convention 1951. Sedangkan migran didefinisikan sebagai orang-orang
yang memilih untuk pindah karena ingin meningkatkan taraf hidup, seperti
mencari pekerjaan dan pendidikan. Kemudian istilah pencari suaka dapat diartikan
sebagai orang-orang yang mendaftar untuk mendapatkan perlindungan
sebagaimana pengungsi, namun klaimnya belum dievaluasi dan diterima.91
Meski
demikian, mayoritas politisi dan peneliti sepakat bahwa ketiga kategori tersebut
dalam keadaan krisis dapat dikaji dan diperlakukan dengan sama.92
Krisis pengungsi Eropa secara umum dipengaruhi oleh dua hal, yaitu
konflik Timur Tengah dan instabilitas ekonomi. Atas dasar itulah terjadi
peningkatan secara masif jumlah pengungsi yang memasuki wilayah Eropa pada
2015; karena orang-orang yang tinggal di negara berkonflik dan memiliki tingkat
ekonomi rendah memandang Eropa sebagai kawasan yang menjanjikan keamanan
dan kesejahteraan.93
Menurut United Nations High Commissioner for Refugees
(UNHCR), pada 2015, jumlah pengungsi yang datang ke Eropa mencapai angka
1.015.078 jiwa.94
Sedangkan menurut Eurostat, jumlah total pengungsi yang
mendatangi Uni Eropa pada 2015 mencapai 997.390 jiwa.
90
“UNHCR Chief Issues,” UNHCR. 91
Alfonso Lara Montero dan Dorothea Baltruks, “The Impact of The Refugee Crisis on
Local Public Social Services in Europe,” The European Social Network Publication (2016): 2. 92
Nevsal Hughes dan George Joffe, “Editorial Board,” The Middle East in London 12(4)
(2016): 4.
94
“Irregular Migrant,” International Organization for Migration.
38
TABEL III.1. Jumlah Pengungsi di Uni Eropa 2014-201695
Dari tabel tersebut diketahui bahwa Swedia menampung sekitar 120.000
hingga 160.000 jiwa. Jumlah tersebut membuat Swedia menjadi negara penerima
pengungsi terbanyak kedua di Uni Eropa pada 2015.
GAMBAR III.1. Jumlah Pengungsi yang Diterima di Uni Eropa 201596
95
Peter Scholten, “Policy Innovation in Refugee Integration?,” The Dutch Department of
Social Affairs and Employment (2017). 96
Montero dan Baltruks, “The Impact of The Refugee Crisis.”
Country 2014 2015 2016 Total
Belgium 22.710 44.660 18.280 85.650
Denmark 14.680 20.935 6.180 41.795
Germany 202.645 476.510 745.155 1.424.310
France 64.310 76.165 84.270 224.745
Italy 64.625 83.540 122.960 271.125
Netherlands 24.495 44.970 20.945 90.410
Austria 28.035 88.160 42.255 158.450
Sweden 81.180 162.450 28.790 272.420
TOTAL 502.680 997.390 1.068.835 2.568.905
39
Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa Swedia menerima dua belas
persen dari jumlah keseluruhan pengungsi yang datang ke Eropa. Data tersebut
menjadikan Swedia sebagai negara penerima pengungsi terbesar ketiga di Eropa
setelah Jerman dan Hungaria.97
GAMBAR III.2. Pencari Suaka di Swedia Berdasarkan Tahun dan
Kewarganegaraan 1992-201698
Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas pengungsi yang
diterima oleh Swedia berasal dari negara-negara berkonflik dan tidak stabil secara
politik dan ekonomi, seperti Suriah, Afghanistan, Irak, Eritrea, dan Somalia.99
Swedia menerima banyak pengungsi masuk karena beberapa alasan yang
bersifat idealis maupun materialis. Sebagai model Negara Kesejahteraan, Swedia
merasa perlu untuk menerima pengungsi demi pilar kesetaraan hak bagi semua
orang untuk mendapatkan perlindungan, khususnya dari tindakan rasisme dan
diskriminasi. Selain alasan yang sifatnya idealis, Swedia menerima pengungsi
97
Montero dan Baltruks, “The Impact of The Refugee Crisis.” 98
Susan Fratzke, “Weathering Crisis, Forging Ahead: Swedish Asylum and Integration
Policy,” Transatlantic Council on Migration (2017). 99
Fratzke, “Weathering Crisis, Forging Ahead.”
40
dalam jumlah banyak karena Swedia memandang pengungsi sebagai aset ekonomi
yang dapat berkontribusi dalam perkembangan ekonomi Swedia. 100
Direktur Umum dari Agensi Pekerja Swedia, Mikael Sjoberg, menyatakan
bahwa kekurangan tenaga pekerja merupakan masalah yang cukup serius. 64.000
imigran dapat membantu Swedia untuk mencegah hal itu terjadi. Pemerintah
Swedia tidak bisa terlalu mengandalkan jumlah tenaga kerja dari Swedia karena
sebagaimana yang dikatakan oleh Johan Bissman, angka kelahiran Swedia sangat
rendah. Untuk mencapai ekonomi yang bertumbuh dibutuhkan peningkatan
populasi yang nantinya dapat dimanfaatkan menjadi tenaga kerja.101
Namun seiring berjalannya waktu, Eropa termasuk Swedia mulai
merasakan dampak negatif dari masifnya kedatangan pengungsi. Secara umum,
dampak yang dirasakan Eropa dari krisis pengungsi yaitu kelangkaan sumber daya
seperti tanah, air, rumah, makanan, dan pelayanan medis akibat pengungsi yang
berkompetisi dengan penduduk lokal untuk mendapatkannya. Nantinya dengan
kelangkaan tersebut, dapat tercipta masalah baru yaitu kenaikan harga dan
turunnya gaji. 102
Di samping itu, perbedaan kultur dan etnis juga bisa menjadi dasar
masalah yang dapat berujung pada kekerasan. Masyarakat Eropa yang
Eurocentric (merasa bahwa peradaban Eropa khususnya Eropa Barat eksepsional
dan maju) identik dengan xenophobia, yaitu ketakutan atau kebencian terhadap
orang asing. Tidak hanya orang asing dari negara lain, namun masyarakat Eropa
100
Bedrudin Brljavac, “Refugee Crisis in Europe: The Case Studies of Sweden and
Slovakia,” Journal of Liberty and International Affairs 3 (2017): 96-98. 101
Brljavac, “Refugee Crisis in Europe,” 96-98. 102
“Refugee Crisis in Europe,” INOMUN Research Report (2015): 7.
41
yang menetap juga memiliki kecenderungan untuk takut dan benci terhadap
masyarakat Eropa lain yang menjadi migran. Hal tersebut tentunya dapat memicu
konflik antara penduduk dengan pengungsi.103
Faktor lainnya yang menjadi dampak negatif dari besarnya arus pengungsi
khususnya di Swedia adalah ketidakseimbangan gender karena berdasarkan
Swedish Government Statistics, hingga November 2015, tujuh puluh satu persen
pengungsi yang mencari suaka di Swedia berjenis kelamin laki-laki. Lebih dari
dua puluh satu persen pengungsi laki-laki tersebut diklasifikasikan sebagai
unaccompanied refugee (pengungsi yang tidak didampingi) berusia remaja atau
dewasa muda. Secara total, pada 2015, pengungsi laki-laki di Swedia berjumlah
105.503 orang, sedangkan pengungsi perempuan hanya 43.525 orang.104
Kemudian hal tersebut dikaitkan dengan banyaknya kekerasan berbasis
gender yang dialami oleh perempuan, baik yang berstatus pengungsi maupun
penduduk lokal Swedia.105
Seperti yang dilaporkan The Women‟s Refugee
Commission (WRC), bahwa selama proses migrasi, perempuan sering
mendapatkan kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual. Setelah
memasuki Swedia, para perempuan tersebut berekspektasi untuk mendapatkan
rasa aman dari kekerasan berbasis gender, namun yang terjadi justru perempuan
tersebut tetap mendapatkan kekerasan.106
Dampak negatif tersebut dibuktikan dengan peningkatan angka
kriminalitas di Swedia, terutama dalam bentuk kekerasan terhadap perempuan dan
103
Brljavac, “Refugee Crisis in Europe,” 94. 104
George Joseph, “Country Report: Sweden,” Asylum Information Database (2015): 2. 105
Joseph, “Country Report: Sweden.” 106
Marcy Hersh, “Falling Through the Cracks: Refugee Women and Girls in Germany
and Sweden,” Women’s Refugee Commission Report (2016): 3.
42
anak-anak. Dalam situs resmi pemerintah Swedia, tercatat bahwa terdapat
peningkatan pelaporan pemerkosaan yang dilaporkan ke pemerintah Swedia.107
Selain itu, terdapat beberapa kasus anak-anak yang direkrut oleh pengedar
narkoba, geng, komunitas perbudakan seks, dan kelompok yang bertendensi untuk
melakukan aksi terorisme. Korbannya tidak hanya orang-orang yang berstatus
pengungsi, namun juga warga negara Swedia.108
The Swedish National Council of Crime melaporkan bahwa pada 2015,
kekerasan terhadap anak meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 3.797 menjadi
4.071 (usia 0-6 tahun), 9.866 menjadi 10.389 (7-14 tahun), dan 5.426 menjadi
6.382.109
Kemudian kekerasan yang menyebabkan kematian pada perempuan juga
angkanya cenderung meningkat, yaitu dari 25 menjadi 29.110
Persentase
pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan pun meningkat dari dua
persen menjadi tiga persen.111
107
“Facts About Migration and Crime in Sweden 2017,” Website of the Government and
the Government Offices, 2017 [database on-line]; tersedia di
http://www.government.se/articles/2017/02/facts-about-migration-and-crime-in-sweden/; Internet;
diakses pada 30 September 2017. 108
“Thematic Focus: Gender-Based Violence,” European Union Agency for Fundamental
Right, 2016 [database on-line]; tersedia di http://fra.europa.eu/en/theme/asylum-migration-
borders/overviews/focus-gender-based-violence; Internet; diakses pada 30 September 2017. 109
“Child Abuse,” The Swedish National Council for Crime Prevention
(Brottsförebyggande rådet - Brå), 2016 [database on-line]; tersedia di https://www.bra.se/bra-in-
english/home/crime-and-statistics/child-abuse.html; Internet; diakses pada 29 Oktober 2017. 110
“Murder and Manslaughter,” The Swedish National Council for Crime Prevention
(Brottsförebyggande rådet - Brå), 2016 [database on-line]; tersedia di https://www.bra.se/bra-in-
english/home/crime-and-statistics/murder-and-manslaughter.html; Internet; diakses pada 29
Oktober 2017. 111
“Rape and Sexual Offences,” The Swedish National Council for Crime Prevention
ANALISISenglish/home/crime-and-statistics/rape-and-sex-offences.html; Internet; diakses pada 29
Oktober 2017.
43
B. Kebijakan Swedia terkait Penanganan Krisis Pengungsi
Dalam merespons arus masuk pengungsi, Swedia ialah salah satu negara
penerima pengungsi terbanyak di Eropa dan menyediakan akomodasi jangka
panjang terhadap para pengungsi jika aplikasi kepengungsiannya sudah
diterima.112
Pada awal pemerintahan Stefan Lofven, Swedia memegang teguh
citranya sebagai negara dengan sistem kepengungsian yang progresif dan
berpengalaman. Merujuk pada The Convention Relating to The Status of Refugees
or Individuals Fleeing Torture and Indiscriminant Conflict 1951, Swedia
memberikan pelayanan terbaik untuk para pengungsi.113
Perdana Menteri Swedia
Stefan Lofven sempat berbicara agak keras menanggapi respons negara lain yang
tertutup terhadap kedatangan pengungsi.
Some selfish approach to the EU’s refugee and migrant crisis completely
unacceptable and incompatible with humane European values. I can
understand it if you say this crisis is a worry. But to say: ‘This isn’t my
problem, we can’t accept Muslims’ — no, I don’t think this is part of our
European values, and I can’t understand this kind of attitude.114
Namun pada November 2015, Stefan Lofven mengadakan pertemuan
dengan pers dan menyatakan bahwa Swedia sudah tidak bisa lagi menampung
lebih banyak pengungsi. Sebelumya pada Oktober 2015, Swedia pun sudah
mengumumkan outline tentang kebijakan restriksi terhadap pengungsi yang
masuk ke Swedia. Kebijakan restriksi tersebut oleh media dan peneliti disebut
dengan Kebijakan Putar Balik atau U-Turn Policy.115
Berikut ialah beberapa
bentuk kebijakan U-Turn Policy yang dijalankan atas sinergi berbagai pihak,
112
Hersh, “Falling Through the Cracks”, 6. 113
Fratzke, “Weathering Crisis, Forging Ahead,” 6. 114
Brljavac, “Refugee Crisis in Europe,” 97. 115
Fratzke, “Weathering Crisis, Forging Ahead,” 8.
44
terutama Kementerian Luar Negeri Swedia (Utrikesdepartementet), Badan
Legislatif Swedia (Riksdag), dan Agensi Migrasi Swedia (Migrationsverket).
1. Swedish-Danish Temporary Border Check (Pemeriksaan Perbatasan
Sementara Swedia-Denmark)
Peraturan ini merupakan bentuk kerjasama bilateral antara Swedia dengan
Denmark yang dibuat dengan tujuan memperlambat dan mengurangi jumlah
manusia yang berpindah melewati perbatasan. Peraturan ini mengharuskan
pendatang yang memasuki perbatasan menunjukkan paspor dan dokumen
perjalanan lainnya kepada petugas yang berjaga. Jika pendatang tidak bisa
menunjukkan syarat yang harus ia bawa, maka petugas penjaga perbatasan akan
dengan tegas melarang pengungsi memasuki Swedia dan Denmark.116
2. Reduce Level of Benefits and Protection Rights (Mengurangi Manfaat
dan Hak Proteksi)
Sementara itu, pengungsi yang sudah diterima oleh Swedia, terkena
peraturan baru di mana Swedia mengurangi pelayanan dan perlindungan terhadap
pengungsi tersebut. Kebijakan ini termasuk ke dalam kebijakan yang
kontroversial karena bersinggungan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia.
Beberapa di antaranya seperti peniadaan izin tinggal permanen, melainkan hanya
memberi izin tinggal sementara. Lalu penerimaan pengungsi dengan syarat
tertentu, misalnya karena bencana alam, penyakit kritis, atau masih di bawah
umur tanpa pendampingan, tidak lagi diurusi oleh Swedia. Swedia hanya
berpegang pada definisi utama dari pengungsi, yaitu orang yang berpindah karena
116
Fratzke, “Weathering Crisis, Forging Ahead,” 8-10.
45
konflik bersenjata di negaranya. Selain pengungsi dengan definisi tersebut,
Swedia tidak mau menerima. Selain itu, Swedia juga membatasi reunifikasi
keluarga untuk para pengungsi. Hal tersebut membuat pengungsi sulit bertemu
dengan sanak keluarganya.117
3. Invest in Refugees (Berinvestasi pada Pengungsi)
Berinvestasi pada pengungsi bermakna pemerintah Swedia melihat pencari
suaka sebagai aset ekonomi dan manusia yang berhak untuk bekerja serta
mendapatkan penghasilan. Pemerintah Swedia ingin pengungsi yang masuk ke
Swedia ialah pengungsi yang dapat diberdayakan secara layak. Para pencari suaka
yang akan dinilai kelayakannya untuk mendaftar menjadi pengungsi di Swedia
diberi pelatihan kemampuan, pengalaman kerja, dan pemetaan keahlian. Proses ini
dilaksanakan setelah pencari suaka memasukkan aplikasinya ke Swedia, namun
belum diterima sebagai pengungsi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketika
pencari suaka tidak memperlihatkan potensi yang bagus saat masa pelatihan, maka
kemungkinan besar pencari suaka tidak diterima sebagai pengungsi di Swedia.118
4. Medical Test to Determine Age (Tes Medis untuk Mengetahui Usia)
Sebelum bisa menjadi pengungsi Swedia, para pencari suaka harus
mengikuti serangkaian tes kesehatan untuk membuktikan usia asli pencari suaka
tersebut. Hal ini ditujukan untuk menghindarkan Swedia dari menerima pengungsi
dengan identitas palsu. Namun kebijakan ini tidak lama diberlakukan karena
menuai kritik. Salah satu kritik yang diperoleh pemerintah Swedia berasal dari
The National Board of Health and Welfare (Socialstyrelsen). Socialstyrelsen
117
Fratzke, “Weathering Crisis, Forging Ahead,” 8-10. 118
Fratzke, “Weathering Crisis, Forging Ahead,” 8-10.
46
menyatakan bahwa mengetahui usia asli seseorang dengan tes kesehatan adalah
hal yang tidak reliable.119
5. Return of Refugees (Pemulangan Pengungsi)
Oleh karena banyaknya pengungsi yang tidak didampingi datang ke
Swedia, akhirnya pemerintah Swedia memutuskan untuk memulangkan
pengungsi-pengungsi tersebut kembali ke negara asalnya. Salah satu negara yang
pengungsinya dipulangkan oleh Swedia adalah Afghanistan, sebab Afghanistan
menjadi salah satu negara asal dari banyaknya pengungsi. Swedia tidak langsung
memulangkan pengungsi Afghanistan begitu saja ke negara asalnya, namun
terdapat proses negosiasi yang berujung pada perjanjian kesepakatan kedua belah
pihak. Swedia berupaya agar pihak negara asal menerima keputusan Swedia untuk
memulangkan warga negaranya.120
C. Dampak Perubahan Kebijakan Swedia terkait Penanganan Krisis
Pengungsi
Perubahan kebijakan Swedia terhadap pengungsi dari Open Door Policy
menjadi U-Turn Policy memiliki dampak yang cukup signifikan, terutama dalam
ranah hubungan internasional kawasan Eropa. Eropa merupakan kawasan yang
terintegrasi, sehingga jika terdapat perubahan dalam suatu negara dapat
berdampak pada negara-negara Eropa lainnya. Berikut ialah beberapa dampak
dari perubahan kebijakan Swedia terkait penanganan krisis pengungsi:
119
Elin Hofverberg, “Refugee Law and Policy: Sweden,” Library of Congress Legal
Report, 2016 [database on-line]; tersedia di https://www.loc.gov/law/help/refugee-
law/sweden.php; diakses pada 24 Februari 2018. 120
Elin Hofverberg, “Refugee Law and Policy: Sweden.”
47
1. Kegagalan Integrasi Eropa
Stefan Lehne menyoroti fenomena perubahan kebijakan Swedia terkait
krisis pengungsi Eropa berdampak pada gagalnya proses integrasi di kawasan
Eropa. Masalah krisis pengungsi adalah masalah bersama kawasan Eropa, maka
tidak semestinya satu atau beberapa negara di Eropa menangani masalah krisis
pengungsi dengan cara yang tidak komunal. Negara-negara Eropa seharusnya
menjalankan kebijakan yang sinergis dan searah dalam menghadapi masalah
bersama tersebut.121
Jensen menjelaskan bahwa integrasi Eropa seharusnya bersifat spillover,
yaitu jika terjalin kerjasama di suatu bidang, maka kerjasama itu mengharuskan
terjadinya kerjasama di bidang lainnya. Terdapat tiga tipe spillover, yaitu
functional spillover, political spillover, dan cultivated spillover. Functional
spillover dilakukan untuk kebutuhan yang bersifat fungsional atau teknikal,
political spillover dilakukan atas dasar alasan ideologis atau politis, cultivated
spillover dilakukan dengan keterlibatan aktor supranasional atau transnasional
yang mendorong agenda bersama untuk diterapkan oleh anggota-anggota
negaranya, bahkan ketika anggota negaranya tidak terlalu setuju dengan agenda
itu.122
Dalam integrasi juga dikenal istilah sosialisasi elit dan kelompok
kepentingan, di mana para petinggi dan organisasi atau perusahaan suatu negara
jika menghadapi masalah bersama tidak lagi membawa kepentingan negaranya.
Apabila suatu negara di Eropa sudah berpartisipasi, maka kepentingan yang harus
121
Brljavac, “Refugee Crisis in Europe,” 93. 122
Carsten S. Jensen, “Neo-functionalism,” European Union Politics (Oxford: Oxford
University Press, 2006).
48
diperjuangkan adalah kepentingan kawasan Eropa. Sifat dari kepentingan tersebut
juga tidak lagi politis, namun lebih bersifat teknis. Pada intinya, sosalisasi elit dan
kelompok kepentingan dalam integrasi Eropa menempatkan aktor supranasional
atau transnasional sebagai pemilik power yang independen dan kuat, sehingga
negara-negara anggota harus menyepakati kebijakannya.123
Dalam kasus perubahan kebijakan Swedia terkait krisis pengungsi, Swedia
mengambil keputusan yang tidak memunculkan sifat spillover dan sosialisasi elit
serta kelompok kepentingan yang menjadi ciri integrasi Eropa. Juru bicara Angela
Merkel, Steffen Seibert, mengkritik langkah Swedia dan menawarkan joint
solution di antara negara-negara anggota Uni Eropa untuk menghadapi krisis
pengungsi tersebut. Jerman menekan Swedia untuk tidak mengambil keputusan
sendiri.124
Namun di sisi lain negara-negara Eropa lain pun tidak mau berbagi
kuota pengungsi dengan Swedia. Ketika Swedia mengeluarkan keputusan
mandirinya, negara-negara Eropa lain justru banyak mengkritik. Ketidaksinkronan
antara pandangan dan implementasi kebijakan Swedia dengan negara-negara
Eropa lain inilah yang digarisbawahi sebagai tanda-tanda kegagalan proses
integrasi Eropa.125
2. Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan Munculnya Instabilitas
Ekonomi serta Keamanan di Negara-Negara Schengen
Perubahan kebijakan Swedia terkait penanganan krisis pengungsi juga
berdampak pada komitmen Swedia terhadap Perjanjian Schengen. Perjanjian
123
Andrew Moravcsik, The Choice of Europe Social Purpose and State Power from
Messina to Maastricht, (Ithaca: Cornel University Press, 1998). 124
“Germany Sees Schengen in Danger.” 125
Brljavac, “Refugee Crisis in Europe,” 93.
49
Schengen adalah perjanjian yang ditandatangani pada 14 Juni 1985 di Schengen,
Luksemburg, oleh Prancis, Jerman Barat, Belanda, Luksemburg, dan Belgia.
Perjanjian ini dilatarbelakangi oleh visi untuk menjamin kebebasan bergerak
manusia di wilayah negara yang menandatangani perjanjian ini. Diduga kuat
perjanjian ini merupayakan upaya integrasi Eropa setelah pasar bebas berhasil
menjamin kebebasan barang, jasa, dan modal. Pada 19 Juni 1990, tindak lanjut
dari Perjanjian Schengen pun disepakati. Tindak lanjut tersebut dinamakan
Konvensi Schengen yang lima tahun kemudian disahkan menjadi kerangka kerja
Uni Eropa.126
Seiring dengan perkembangannya, negara anggota Schengen semakin
bertambah. Saat ini negara yang bergabung mencapai 22 negara dengan tiga
negara non-Uni Eropa dan dua negara yang tidak terikat penuh. Total negara yang
bergabung dengan Schengen menjadi sebanyak 27 negara, yaitu Prancis, Jerman,
Belanda, Luksemburg, Belgia, Italia, Portugal, Spanyol, Austria, Yunani,
Denmark, Finlandia, Swedia, Ceko, Slovakia, Polandia, Slovenia, Latvia,
Lithuania, Estonia, Hungaria, dan Malta.127
Peraturan yang diatur dalam Perjanjian Schengen adalah penghapusan
kontrol perbatasan, prosedur kontrol perbatasan bersama, harmonisasi visa, dan
Schengen Information System (SIS) yang merupakan kerjasama keamanan
kepolisian antarnegara.128
Perubahan kebijakan Swedia yang menjadi tertutup
terhadap kedatangan pengungsi dianggap merupakan pelanggaran dari kebijakan-
126
Rima Rizkiyah, “Perjanjian Schengen dan Maastricht,” Skripsi Universitas Indonesia
(2015): 1-3. 127
Rima Rizkiyah, “Perjanjian Schengen dan Maastricht,” 1-3. 128
Rima Rizkiyah, “Perjanjian Schengen dan Maastricht,” 3-5.
50
kebijakan tersebut. Lebih khususnya lagi, U-Turn Policy melenceng dari tujuan
utama Perjanjian Schengen, yaitu menjamin kebebasan bergerak manusia di
kawasan Schengen. Selain itu, gagalnya Perjanjian Schengen merugikan negara-
negara lainnya khususnya dalam segi ekonomi. Mobilitas pekerja, barang, dan
jasa yang lambat akan menghambat aktivitas perdagangan antarnegara. Menurut
Donald Tusks, Parlemen Eropa dan Uni Eropa harus tegas dalam menanggapi U-
Turn Policy Swedia ini. Sebab jika tidak, maka Perjanjian Schengen tidak ada
gunanya lagi.129
3. Pelanggaran terhadap Identitas Negara Nordik
Selain melanggar Perjanjian Schengen, U-Turn Policy juga menyalahi
prinsip yang dianut negara-negara Nordik. Carl Bildt berkata bahwa U-Turn
Policy Swedia telah merusak tradisi lama negara-negara Nordik, khususnya
Nordic Council of Open Borders dan Nordic Passport Union yang disahkan pada
1954.130
Bernie Sanders mengatakan bahwa Swedia yang merupakan model
Negara Kesejahteraan paling ideal seharusnya mampu membuktikan bahwa
Swedia tidak membeda-bedakan dalam pemenuhan kesejahteraan untuk warga
negara Swedia maupun para pendatang. Menurut Sanders, Swedia tidak perlu
memperketat peraturan mengenai pengungsi.131
Part Frohnert, penulis buku Reaching a State of Hope, beranggapan bahwa
seharusnya Swedia meninjau ulang perubahan kebijakannya karena hal tersebut
129
Irene Zugasti, “To Welcome or Not to Welcome: What Civil Society Does for
Refugees?,” Special Report on The Civil Society Responses to Refugee Crisis (2016): 2. 130
“Germany Sees Schengen in Danger.” 131
“How Immigration is Changing The Swedish Welfare State,” The Economist, 2017
[database on-line]; tersedia di https://www.economist.com/blogs/economist-
explains/2017/06/economist-explains-20; diakses pada 24 Februari 2018.
51
berkaitan dengan jati diri Swedia sebagai negara sosial-demokrat yang maju.
Frohnert menjabarkan bahwa citra diri Swedia sudah terbentuk sejak Perang
Dunia II berakhir, di mana Swedia yang sebelumnya beretnis homogen membuka
diri terhadap kedatangan pengungsi dari Norwegia, Estonia, dan Yahudi Denmark
untuk menjadi lebih multikultural di bawah naungan sosial-demokrasinya.
Menerima pengungsi merupakan simbol komitmen Swedia terhadap prinsip moral
yang sejak lama dibangun. Jika U-Turn Policy tetap dilaksanakan, maka citra diri
Swedia sebagai negara sosial-demokrat tidak lagi dapat relevan.132
.
The Europe that rose from the cataclysm of World War II understood
itself not simply as a collection of peoples, white and Christian, but as a
community of shared values. The refugee crisis has forced Europeans to
choose between the moral universalism they profess and the ancient
identities they have inherited. …the Muslim influx threatens Europe’s
liberal, secular consensus; but rejecting the refugees also shakes one of
the great pillars of that consensus.133
Namun di sisi lain, dalam kutipan di atas James Traub berpendapat bahwa
identitas Swedia yang asli justru bukan sebagai negara sosial-demokrat yang
ramah terhadap pengungsi. Identitas Swedia yang sesungguhnya adalah identitas
Eropa, yaitu berkulit putih dan menganut Kristen. Perubahan kebijakan Swedia
tersebut merupakan wujud kebingungan Swedia dalam memilih di antara
universalisme moral dengan identitas kunonya. Kebingungan tersebut bisa
merusak tatanan konsensual Eropa.134
132
“The Death of the Most Generous Nation on Earth,” Foreign Policy Feature, 2016
[database on-line]; tersedia di http://foreignpolicy.com/2016/02/10/the-death-of-the-most-
generous-nation-on-earth-sweden-syria-refugee-europe/; diakses pada 24 Februari 2018. 133
“The Death of the Most Generous Nation on Earth.” 134
“The Death of the Most Generous Nation on Earth.”
52
BAB IV
ANALISIS FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN
SWEDIA TERKAIT KRISIS PENGUNGSI PERIODE 2014-2017
Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam BAB II, bahwasanya Swedia
merupakan negara yang basisnya adalah Negara Kesejahteraan dan Feminis, maka
ketika menghadapi masalah krisis pengungsi yang dibahas pada BAB III, Swedia
tidak akan melepas basisnya tersebut meski mendapatkan reaksi yang kontra dari
pihak-pihak lain. Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah
dikemukakan pada BAB I, alasan Swedia dalam mengubah kebijakan Open Door
Policy menjadi U-Turn Policy pada masa krisis pengungsi jika dikaji dengan
perspektif Feminisme Liberal, Feminist Security Theory, dan Feminist Foreign
Policy adalah sebagai berikut:
A. Isu Ketidaksetaraan Gender sebagai Pemicu Opini Publik yang Anti-
Imigran di Swedia
Di Swedia, terdapat beberapa kejadian yang menggiring opini publik serta
pemerintah ke arah yang lebih negatif dalam melihat pengungsi. Pada acara
festival musik di Swedia, di antaranya Bråvalla Festival di Norrköping dan
Karlstad's Free Annual Putte i Parken (Party in the Park), dilaporkan telah terjadi
pelecehan seksual terhadap ratusan perempuan dengan usia termuda korban yaitu
12 tahun. Bentuk pelecehan seksual yang dilaporkan yaitu pemerkosaan gadis-
gadis remaja oleh gerombolan lelaki serta perabaan bagian tubuh pribadi saat
53
sedang berhimpitan menonton konser. Menurut keterangan saksi dan korban, para
pelaku bukan berkebangsaan Swedia karena berkulit hitam dan berwajah Arab.135
Media massa berpengaruh seperti Dagens Nyheter juga mengonfirmasi bahwa
pelakunya adalah pengungsi. Britt Borjesson mengatakan bahwa hal tersebut valid
karena Swedia memiliki hukum yang melarang media untuk menyebarkan
informasi mengenai tersangka sebelum mendapat konfirmasi resmi dari pihak
berwenang di Swedia.136
Sejak kejadian itu, media sosial dipenuhi oleh hashtag
#refugeesnotwelcome dan #rapefugees. Tujuh puluh lima persen gambar dan lima
puluh lima persen status yang terpublikasi mengaitkan pengungsi dengan
kekerasan berbasis gender. Masyarakat kemudian mulai menyuarakan gagasannya
di media sosial bahwa pemerintah harus menutup akses kepada pengungsi.137
Saat
opini masyarakat membentuk pola yang hampir sama, media massa juga gencar
menyuarakan isu ketidaksetaraan gender yang diduga diakibatkan oleh banyaknya
pengungsi yang Swedia terima. Salah satu media yang paling sering
mempublikasikan isu tersebut adalah Dagens Nyheter, sebuah majalah beraliran
liberal yang menjadi media paling berpengaruh di Swedia.138
135
“Are Migrants Really Raping Swedish Women?,” The Daily Beast, 2016 [database on-
line]; tersedia di https://www.thedailybeast.com/are-migrants-really-raping-swedish-
women?ref=scroll; diakses pada 27 Februari 2018. 136
“What‟s in a Name: Crime Suspects and The Swedish Press,” The Local Sweden, 2016
[database on-line]; tersedia di https://www.thelocal.se/20090223/17716; diakses pada 7 Juli 2018. 137
“Why Aren't European Feminists Arguing Against The Anti-Immigrant Right?,” Open
Democracy, 2016 [database on-line]; tersedia di https://www.opendemocracy.net/5050/why-are-
european-feminists-failing-to-strike-back-against-anti-immigrant-right; diakses pada 27 Februari
2018. 138
“Swedish Feminists Thread Needle Between Sexism and Racism in Migrant
Controversy,” TIME, 2016 [database on-line]; tersedia di http://time.com/4182186/sweden-
feminists-sexual-assault-refugees/; diakses pada 27 Februari 2018.
54
Selain kasus kekerasan seksual, angka kriminalitas lain seperti
pembunuhan, penganiayaan, vandalisme, dan lain sebagainya juga cenderung
meningkat di tahun puncak krisis pengungsi. Swedia berupaya merespons situasi
tersebut dengan menyatakan bahwa tidak ada kaitan langsung antara peningkatan
kasus kriminal dengan banyaknya pengungsi. Namun Dr. Tino Sanandaji, seorang
ekonom dari Swedia mengkritik pernyataan pemerintah Swedia tersebut yang
terkesan menutupi data dan fakta.
The official government homepage says there is no firm link between
immigration and crime. They're irrational and they're in a bubble. It's
sort of the feeling of 'fake news.' They're putting propaganda on our
government website. They will use irrational, aggressively irrational
arguments to deny all causal links. They say things like 'the common
denominator in honor killings is men (rather than 'migrant men'); just an
illogical rhetorical trick to confuse people.139
Di samping kriminalitas yang melekat pada diri pengungsi, pengungsi di
Swedia juga dianggap sebagai ancaman karena kedatangan pengungsi
menciptakan gender imbalance (ketidakseimbangan gender) di Swedia. Pengungsi
yang datang ke Swedia dua pertiganya berjenis kelamin laki-laki dan sembilan
puluh persennya berusia remaja serta tidak didampingi.140
Menurut Valerie
Hudson, ketidakseimbangan gender tersebut dapat memicu peningkatan jumlah
kekerasan terhadap gender minoritas. Apabila di suatu negara proporsi laki-laki
lebih banyak daripada perempuan, kemudian para laki-laki tersebut termarjinalkan
dan tidak puas dengan keadaan, maka hal tersebut berpotensi menimbulkan
instabilitas di suatu negara.141
Menurut Martina Lindberg, pemerintah harus
139
“Why Women Live in Fear in the First 'Feminist' Nation,” CBN News, 2017 [database
on-line]; tersedia di https://www1.cbn.com/cbnnews/world/2017/november/why-women-live-in-
fear-in-the-first-feminist-nation/; diakses pada 27 Februari 2018. 140
“Are Migrants Really Raping Swedish Women?” 141
“Swedish Feminists Thread.”
55
mencari pendekatan dan integrasi spesial untuk menghentikan ketidakseimbangan
gender tersebut.142
Jika keadaan terbalik, misalkan jumlah pengungsi perempuan lebih banyak
daripada pengungsi laki-laki, ketidakseimbangan gender juga menyebabkan
masalah. Bedanya, ancaman yang mungkin terjadi bukan dalam bentuk kekerasan
terhadap gender minoritas, melainkan penurunan tingkat ekonomi suatu negara.
Paul Yip mengatakan jumlah perempuan yang lebih banyak daripada lelaki
menyebabkan rendahnya kesempatan menikah bagi perempuan. Sedangkan dalam
teori sosial, semakin banyak unit keluarga, maka semakin stabil perekonomian.
Meski demikian, ketidakseimbangan gender di mana perempuan lebih banyak dari
laki-laki lebih mudah untuk diatasi, yaitu dengan cara menggalakkan perempuan
yang belum menikah untuk memasuki lapangan pekerjaan. Tidak seperti jika
jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan yang efeknya dapat langsung
dirasakan dan sulit untuk ditangani.143
Feminist Security Theory melihat bahwa pengungsi laki-laki bagi
masyarakat Swedia merupakan sebuah ancaman baru yang mengancam
perempuan secara individu atau domestik serta dapat berpengaruh pada level
negara jika tidak diatasi. Pada masa Perang Dunia, konsepsi keamanan dibatasi
hanya untuk hal-hal yang bersifat material, misalnya banyaknya angkatan
bersenjata beserta alutsistanya. Namun pasca Perang Dunia, konsepsi keamanan
bergeser secara substantif menjadi lebih spesifik ke arah keamanan ekonomi,
142
“Are Migrants Really Raping Swedish Women?” 143
“Ungroomed,” Gafencu Magazine (11) (2017).
56
keamanan lingkungan, keamanan identitas, dan keamanan sosial. Seiring
bergesernya konsepsi keamanan, konsepsi ancaman juga turut bergeser.144
Isu ketidaksetaraan gender sebagai ancaman tersebut kemudian
dimanfaatkan oleh Partai Demokrat Swedia untuk meraih simpati dari masyarakat.
Bjorn Soder, aktivis Partai Demokrat Swedia, mengatakan bahwa jika pemerintah
Swedia tidak bertindak tegas terhadap krisis pengungsi, maka Swedia akan
memiliki apa yang disebutnya dengan scandal without equal atau skandal
ketidaksetaraan.145
Kemudian Partai Demokrat Swedia menjadikan hasil
pemungutan suara masyarakat tentang partai terbaik di Swedia sebagai legitimasi
bahwa Partai Demokrat Swedia didukung penuh oleh masyarakat untuk menutup
akses pengungsi.
GAMBAR IV.1. Perolehan Suara Partai-Partai di Swedia 2015146
Berdasarkan gambar perolehan suara yang dimoderasi oleh YouGov
tersebut, Partai Demokrat Swedia meraih suara terbanyak yaitu mencapai dua
144
Michela Ceccorulli, “Migration as a Security Threat: Internal and External Dynamics
in The European Union,” GARNET Working Paper 65(9) (2009): 3-5. 145
“Swedish Feminists Thread.” 146
“Yougov: Nu Är SD Sveriges Största Parti,” Metro, 2015 [database on-line]; tersedia
di https://www.metro.se/artikel/yougov-nu-%C3%A4r-sd-sveriges-st%C3%B6rsta-parti-xr/;
diakses pada 27 Februari 2018.
57
puluh lima persen. Perolehan suara tersebut cukup mengagetkan masyarakat
global karena branding Partai Demokrat Swedia selama ini adalah identitas Neo-
Nazi, rasis, dan xenophobia. Dari pemungutan suara tersebut dapat tergambarkan
bahwasanya tren yang sedang masyarakat Swedia ikuti adalah tren anti-imigran.
Tidak semua pemungutan suara patut dipercayai, namun YouGov memiliki
reputasi yang sangat baik di Swedia dalam menaksir opini publik.147
Menurut Elias Groll, hasil pemungutan suara tersebut memiliki keterkaitan
yang besar dengan krisis pengungsi di Swedia. Pasalnya, sebelum proses
pemungutan suara dilakukan, masing-masing partai sudah mengemukakan solusi
versi partai masing-masing untuk menanggulangi krisis pengungsi di Swedia.
Solusi yang ditawarkan oleh Partai Demokrat Swedia ialah merestriksi kebijakan
terkait penerimaan pengungsi. Dalam mewujudkan realisasi solusinya, Partai
Demokrat Swedia bahkan melakukan propaganda melalui iklan dengan
mengangkat isu krisis pengungsi sesaat setelah terjadi penusukan di IKEA oleh
dua pengungsi asal Eritrea.
The poll was carried out shortly after two Eritrean asylum seekers fatally
stabbed two persons at an Ikea, a case that captivated and shocked the
Swedish public. And shortly before the poll was launched, the Sweden
Democrats launched an advertising campaign in the Stockholm subway
deploring the large number of homeless beggars who have descended on
the city and the government’s inability to prevent their presence. And
throughout the summer, Swedish and European media have been filled
with stories about the huge numbers of migrants trying to cross the
Mediterranean and other borders to gain entry into Europe. Political
scientists quoted in Swedish media say this context made for ripe
conditions for Swedes to register their discontent with the government’s
handling of the immigration question.148
147
“Shock Poll Rates Sweden‟s Anti-Immigrant Right-Wing Party as Country‟s Largest,”
Foreign Policy, 2015 [database on-line]; tersedia di http://foreignpolicy.com/2015/08/20/shock-
poll-rates-swedens-anti-immigrant-right-wing-party-as-countrys-largest/; diakses pada 27 Februari
2018. 148
“Shock Poll Rates Sweden‟s Anti-Immigrant.”
58
Hasil pemungutan suara tersebut sejalan dengan prinsip Partai Demokrat
Swedia yang anti-imigran, sehingga Partai Demokrat Swedia merasa berhasil
memperoleh dukungan untuk mengajukan perspektifnya ke hadapan pemerintah
Swedia. Kebijakan restriksi terhadap pengungsi kemudian menjadi sesuatu yang
diperjuangkan dan dibanggakan oleh Partai Demokrat Swedia. Sedangkan
masyarakat yang semula tidak mendukung Partai Demokrat Swedia beralih
menjadi mendukung karena merasa terwakili aspirasinya. 149
Sebagaimana yang dikatakan oleh Gulan Avvi, presiden dari Federasi
Perempuan Liberal, bahwa ketika masyarakat tidak tahu harus berbuat apa,
kemudian Partai Demokrat menawarkan jawaban, maka masyarakat akan
mempercayainya. Masyarakat butuh untuk merasa aman di dalam lingkungannya
sendiri, dan Partai Demokrat Swedia menawarkan keamanan itu.150
Partai
Demokrat Swedia bahkan tidak hanya menuntut pemerintah untuk mengontrol
perbatasan, namun juga untuk menutup secara penuh akses di perbatasan. Hal ini
senada dengan yang diharapkan oleh Markus Wlechel, juru bicara Partai
Demokrat Swedia dalam bidang migrasi dan kewarganegaraan. Wlechel berkata
bahwa kontrol perbatasan adalah sebuah langkah yang benar, namun yang Swedia
butuhkan adalah penutupan perbatasan secara penuh.151
149
“Swedish Feminists Thread.” 150
“Swedish Feminists Thread.” 151
“Are Migrants Really Raping Swedish Women?”
59
GAMBAR IV.2. Pandangan Masyarakat Eropa terhadap Pengungsi 2017152
Berdasarkan gambar di atas, opini publik yang anti-imigran masih
bertahan pada 2017. Dari hasil perhitungan suara Isos Poll, hanya dua dari lima
orang yang menginginkan Eropa, khususnya Swedia, untuk menutup perbatasan
agar pengungsi tidak lagi menetap di negara tersebut. Namun meski demikian,
mayoritas responden sepakat bahwa pengungsi merupakan ancaman serius bagi
masyarakat Swedia. Masyarakat beranggapan bahwa pengungsi lebih memiliki
dampak negatif daripada positif, mengubah negara menjadi sesuatu yang tidak
disukai masyarakat, dan kemungkinan besar akan menyebabkan kerusakan serta
melakukan kekerasan.153
Menurut Stig Hadenius, sejarah Swedia lebih banyak dibentuk oleh
perdebatan antar-partai, opini publik, dan isu perempuan. Ketiga hal tersebut
memiliki peran yang cukup besar dalam perumusan kebijakan pemerintah Swedia.
Misalnya pada Winter War 30 November 1939, Uni Soviet menjatuhkan bom di
152
“Global Views on Immigration and Refugee Crisis,” Ipsos Report (2017). 153
“Global Views on Immigration,” Ipsos Report.
60
Helsinki, Finlandia. Swedia tidak ingin mencampuri urusan tersebut karena
Swedia memiliki prinsip politik netralitas. Namun karena opini publik Swedia
saat itu mendorong Swedia untuk melakukan sesuatu, akhirnya Swedia melakukan
pendekatan feminis untuk membantu Finlandia, yaitu bukan dengan mengirimkan
bala tentara, melainkan dengan mengirimkan bantuan kemanusiaan dan
sukarelawan.154
Hal serupa juga terjadi pada masa Krisis Kongo 1960 dan Perang
Vietnam 1970. Opini publik Swedia mempengaruhi kebijakan luar negeri Swedia
untuk melakukan tindakan kemanusiaan daripada aksi keamanan tradisional.155
Sebagai negara feminis, opini publik perempuan juga berdampak besar
pada proses penentuan kebijakan. Pada 1950-an, terjadi Krisis Suez yang
diakibatkan oleh perang antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Melihat perang
tersebut, pada 1954 pemerintah Swedia memikirkan tentang urgensi pembuatan
senjata nuklir. Kemudian terjadi perdebatan besar di kalangan elit dan publik
tentang tepat atau tidaknya Swedia memiliki senjata nuklir. Salah satu argumen
yang paling menjadi bahan acuan pemerintah Swedia saat itu adalah argumen dari
The Social Democrat Union of Swedish Women. Pergerakan perempuan tersebut
tidak menyetujui ide pembuatan senjata nuklir karena dianggap rentan terhadap
ketidaknetralan dan menyatakan bahwa masih banyak cara lain untuk memperkuat
keamanan selain dengan membuat senjata nuklir. Akhirnya Swedia memutuskan
untuk tidak membuat senjata nuklir pada saat itu.156
Dengan alur sejarah yang demikian, maka opini publik tentang krisis
pengungsi di Swedia belakangan ini juga menjadi salah satu acuan Swedia untuk
154
Hadenius, Swedish Politics, 49-50. 155
Hadenius, Swedish Politics, 116-137. 156
Hadenius, Swedish Politics, 100.
61
merumuskan kebijakannya. Selain krisis pengungsi menjadi ancaman keamanan
modern bagi perempuan menurut publik Swedia, opini publik yang anti-imigran
tersebut juga merupakan representasi dari suara perempuan yang merasa teropresi
dengan adanya pengungsi laki-laki. Berdasarkan teori Feminisme Liberal,
pemerintah Swedia memandang opini publik Swedia yang negatif terhadap
pengungsi sebagai bentuk dari imperfect citizenship atau kependudukan yang
tidak sempurna. Untuk menanggulangi imperfect citizenship, Feminisme Liberal
melihat adanya strategi afirmatif yaitu pembentukan argumen publik yang
rasional, penempatan perempuan dalam institusi birokrasi dan pengambil
kebijakan, kemudian pembuatan aturan demi kesetaraan di Swedia.157
B. Agenda Evaluasi Sistem Migrasi Swedia untuk Pemenuhan Hak-Hak
Perempuan
GAMBAR IV.3. Proses Pembuatan Kebijakan di Swedia158
157
Elizabeth Shannon, “The Influence of Feminism on Public Policy,” University of
Tasmania Thesis (1997): 12-13. 158
Thomas J. Anton, “Policy-Making and Political Culture in Sweden,” Scandinavian
Political Studies Journal, Bind 4 (University of Michigan: 1969), 93-95.
62
Berdasarkan gambar tersebut, proses pembuatan kebijakan U-Turn Policy
diawali dengan adanya isu atau social questions yang kemudian menjadi tuntutan
publik terhadap elit pemerintah agar melakukan aksi terhadap suatu peristiwa.
Dalam kasus ini, tuntutan publik Swedia terhadap pemerintah adalah untuk
menutup akses terhadap pengungsi sebagai solusi atas masalah ketidaksetaraan
gender yang terjadi. Isu atau social questions yang didengar oleh pemerintah
mulanya akan dipertimbangkan oleh expert commission, atau komisi dari para ahli
yang kompeten dalam bidang pengungsi, keamanan, perempuan, dan bidang lain
yang terkait.159
Setelah expert commission membahas isu tersebut, expert commission
menyerahkan hasil diskusi kepada kementerian terkait, seperti Kementerian Luar
Negeri, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Hukum, Kementerian
Pertahanan, dan kementerian lainnya. Kementerian terkait akan membahas
diskusi dari para expert bersama dengan badan legislatif (Riksdag) dan
mempertimbangkan solusi-solusi yang mungkin bisa dijalankan oleh Swedia.
Kemudian hasil diskusi antara kementerian dan Riksdag akan dipublikasikan
dalam bentuk laporan. Lalu kementerian mendistribusikan laporan tersebut ke
partai-partai di Swedia.160
Masing-masing partai akan merespons laporan tersebut, apakah partai itu
setuju atau tidak dengan solusi dari para expert yang dikonsolidasikan kembali
oleh kementerian dan Riksdag, atau partai tersebut memiliki saran dan kritik
tertentu. Respons dari masing-masing partai sangat menentukan proses
159
Anton, “Policy-Making and Political Culture in Sweden,” 93-95. 160
Anton, “Policy-Making and Political Culture in Sweden,” 93-95.
63
pengambilan keputusan di Swedia. Jika respons partai-partai mengharuskan
Swedia untuk membuat peraturan, maka respons itu akan ditujukan kembali
kepada Riksdag. Riksdag kemudian akan melakukan voting dan hasil voting akan
diberikan kepada kabinet pemerintah. Kemudian pemerintah pun
mempublikasikan keputusannya ke publik dengan mengadakan press conference.
Hasil kebijakan tersebut pun akan diterima oleh masyarakat Swedia karena latar
belakang budaya politik yang saling percaya antara masyarakat dengan elit
pemerintah.161
Masyarakat Swedia dikenal memiliki budaya literasi yang tinggi, sehingga
mempunyai kesadaran dan pengetahuan yang tinggi tentang pemerintah jika
dibandingkan dengan masyarakat negara lain. Ciri khas masyarakat Swedia
lainnya yaitu cenderung memiliki kebanggaan dan penghormatan yang tinggi
terhadap elit pembuat kebijakan. Kebanggaan dan penghormatan tersebut
kemudian menjadi dasar rasa saling percaya antara masyarakat dan elit
pemerintah. Sehingga dalam penyusunan kebijakan, opini masyarakat sangat
didengarkan oleh elit dan keputusan elit selalu dihargai oleh masyarakat.162
Para elit pembuat kebijakan di Swedia pun merupakan individu-individu
terpilih yang memasuki ranah politik bukan karena uang dan ketenaran.
Melainkan elit politik Swedia menganggap politik sebagai pekerjaan untuk
menemukan solusi atas permasalahan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Elit Swedia memanfaatkan intelektualitasnya untuk memecahkan masalah yang
spesifik dengan pendekatan konsensual dan sangat menghindari konflik. Elit
161
Anton, “Policy-Making and Political Culture in Sweden,” 93-95. 162
Anton, “Policy-Making and Political Culture in Sweden,” 96-97.
64
Swedia tidak akan mempublikasikan suatu berita atau keputusan jika berita atau
keputusan itu masih diperdebatkan secara internal. Dalam penyusunan kebijakan,
elit Swedia juga menghindari adanya intervensi dari pihak luar lain, seperti
Ombudsman, PBB, atau badan lainnya.163
GAMBAR IV.4. Pengaruh Feminisme terhadap Pembuatan Kebijakan164
Feminisme berpengaruh dalam proses pembuatan kebijakan karena isu
yang diangkat oleh masyarakat Swedia adalah isu ketidaksetaraan gender dan
Swedia sendiri merupakan negara feminis. Pengaruh feminisme terhadap
perubahan kebijakan Swedia dapat dijelaskan dengan konsep Feminist Foreign
Policy. Seperti terlihat pada gambar, apabila aktivitas feminisme dalam hal
material, normatif, dan analitis dapat diterima secara nasional dalam bidang
politik, sosial, dan ekonomi, maka tipe kebijakan feminisme dapat terbentuk. Tipe
163
Anton, “Policy-Making and Political Culture in Sweden,” 98-100. 164
Shannon, “The Influence of Feminism,” 53.
Policy
65
kebijakan feminisme memiliki ciri adanya keterlibatan feminis, upaya untuk
menyelesaikan konflik gender, dan relasi kekuasaan yang integral, lateral, dan
bottom up. Dari proses tersebutlah kebijakan feminis terbentuk.165
Keterlibatan feminisme secara jelas dapat terlihat selain dari isu atau social
questions yang diangkat masyarakat Swedia, namun juga dari keterlibatan
perempuan dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Berdasarkan penelitian
dari Northern Island Assembly, Swedia termasuk negara terbaik dalam hal
memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menempati posisi strategis,
misalnya sebagai pengambil kebijakan negara. Dalam badan legislatif atau
Riksdag, empat puluh lima persen anggotanya adalah perempuan. Kemudian di
dalam tubuh kementerian, lima puluh empat persen anggotanya adalah
perempuan. Lalu dalam keseluruhan partai yang mengikuti pemilu 2014, total
anggota perempuan dari partai-partai tersebut mencapai empat puluh lima
persen.166
Selain berpengaruh pada proses pembuatan kebijakan, feminisme juga
berpengaruh terhadap target dan fokus kebijakan. Jennifer K. Lobasz berpendapat
bahwa kebijakan yang berpendekatan feminisme menyasar masyarakat sebagai
targetnya (tidak state-centric) dan berfokus pada perwujudan pelayanan sosial,
hak asasi manusia, dan migrasi yang aman.167
Sebagaimana yang tercantum dalam
BAB III, Swedia melakukan program khusus yang meskipun termasuk ke dalam
165
Shannon, “The Influence of Feminism,” 53-54. 166
Michael Potter, “The Swedish General Election 2014 and the Representation of
Women,” Northern Ireland Assembly Research and Information Service Research Paper 93
(2014). 167
Jennifer K. Lobasz, “Beyond Border Security: Feminist Approaches to Human
Trafficking,” Routledge Journal of Security Studies No. 18 (2009), 321.
66
kebijakan restriksi, terselip agenda untuk memenuhi hak-hak perempuan.
Misalnya seperti pembatasan reunifikasi keluarga untuk pengungsi. Di satu sisi,
itu adalah kebijakan yang tidak tepat karena menjauhkan pengungsi dari
keluarganya. Namun di sisi lain, ternyata Swedia mempertimbangkan faktor
budaya patriarki di negara-negara asal pengungsi. Swedia membatasi reunifikasi
keluarga untuk melindungi perempuan minoritas dari paksaan keluarganya untuk
menikah dini.168
Contoh lain dari penerapan kebijakan feminisme yaitu Swedia
mengadakan pelatihan keterampilan sebelum calon pengungsi diterima untuk
menetap di Swedia. Dalam satu sisi, kebijakan tersebut memperlambat proses
rekrutmen pengungsi serta mengurangi probabilitas pengungsi untuk mudah
diterima. Namun di sisi lain, Swedia memikirkan kondisi pengungsi perempuan
ke depannya. Pengungsi perempuan maupun laki-laki yang memiliki kemampuan
untuk bekerja akan aman untuk tinggal di Swedia baik secara ekonomi, sosial,
maupun politik. Pemerintah Swedia yakin bahwa kemampuan profesional dan
pendidikan yang tepat untuk pengungsi dapat membuat semua masyarakat,
khususnya perempuan, merasa aman.169
Seperti yang dikatakan oleh Profesor Sanecki, bahwa tingkat kriminalitas
terhadap perempuan di Swedia cenderung meningkat seiring dengan banyaknya
arus pengungsi yang masuk. Statistik pun menunjukkan bahwa pelaku tindak
kriminal tersebut mayoritas pendatang asing berjenis kelamin laki-laki. Namun ini
bukan disebabkan oleh permasalahan etnis yang berbeda, tapi lebih kepada
168
“Sweden‟s Feminist Foreign Policy.” 169
“Sweden‟s Feminist Foreign Policy.”
67
masalah kemiskinan lelaki. Kemiskinan lelaki tersebutlah yang membuat
pengungsi melakukan tindak kejahatan.170
Susanna Udvardi menambahkan bahwa
pengungsi laki-laki harus berpendidikan untuk dapat menghargai perempuan.
Dengan kata lain, tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi berbanding terbalik
dengan perilaku kekerasan terhadap perempuan.171
Hal lain yang dilakukan Swedia dalam kebijakan restriksinya adalah
memulangkan pengungsi ke negara asalnya. Kebijakan ini cukup kontroversial
karena negara asal pengungsi belum tentu dalam keadaan damai dan aman.
Namun Swedia memiliki agenda pemenuhan kesetaraan gender di balik kebijakan
tersebut, yaitu hendak mengevaluasi regulasi migrasi internalnya agar aman
ditempati oleh pengungsi perempuan. Sebab sebagaimana yang dilaporkan oleh
Women‟s Refugees Commission (WRC), bahwa Swedia perlu meninjau ulang
sistem keimigrasiannya. 172
Beberapa temuan WRC di antaranya, yaitu pengungsi yang rentan
terhadap gangguan mental disembunyikan dan tidak didengarkan ceritanya,
kurangnya privasi di kamp pengungsian (misalnya kamar mandi yang tidak bisa
dikunci), kurangnya informasi tentang pelaporan kekerasan dan penuntutan hak
karena perbedaan bahasa, serta staf Agensi Migrasi Swedia yang melakukan
kekerasan terhadap pengungsi. WRC menduga kuat bahwa kurang baiknya
pelayanan keimigrasian Swedia bukan karena Swedia tidak mampu
170
“Sweden‟s Rape Crisis Isn‟t What It Seems,” The Globe and Mail, 2016 [database on-
line]; tersedia di https://www.theglobeandmail.com/opinion/swedens-rape-crisis-isnt-what-it-
seems/article30019623/; diakses pada 27 Februari 2018. 171
“Are Migrants Really Raping Swedish Women?” 172
Hersh, “Falling Through the Cracks,” 5-11.
68
menyejahterakan, namun karena jumlah pengungsi melebihi batas fasilitas yang
disediakan oleh Swedia.173
Beberapa tindakan lain yang dilakukan pemerintah Swedia untuk
memenuhi kesetaraan gender pengungsi di luar U-Turn Policy di antaranya yaitu
mengadakan pertemuan internasional untuk membahas isu pengungsi dan
mengaitkannya dengan resiko perdagangan manusia, prostitusi, kekerasan seksual
berbasis gender, dan lain-lain. Swedia juga berhasil membuat isu pengungsi
masuk ke dalam Resolusi PBB dan deklarasi dari UN Summit for Refugees and
Migrant 2016. Swedia pun berhasil menjadi pendonor terbesar ke-6 untuk
International Organization of Migration (IOM) dan United Nations High
Commissioner for Refugees (UNHCR).174
Menurut Elisabeth Olivius, norma kesetaraan gender memang berguna
bagi proyek pemerintahan dalam menangani pengungsi karena dua alasan.
Pertama, norma kesetaraan gender dapat dijadikan alat untuk membuat
perpindahan manusia menjadi lebih efisien dan efektif. Dengan fokus kepada
perempuan sebagai subjek, pemerintahan dalam bidang imigrasi menjadi lebih
mudah karena akses bantuan kemanusiaan yang lebih terbuka. Kedua, sebagai
liberal peacebuilding package, norma kesetaraan gender dalam merumuskan
kebijakan tentang pengungsi dapat menjadi acuan dalam merekonstruksi dan
mereformasi kawasan yang tidak aman dan tidak stabil. 175
173
Hersh, “Falling Through the Cracks,” 5-11. 174
“Sweden‟s Feminist Foreign Policy.” 175
Elisabeth Olivius, “Governing Refugees through Gender Equality: Rationalities of
Efficiency and Development,” The ISA Global South Caucus Conference Paper (2015): 2.
69
U-Turn Policy dirumuskan dengan norma kesetaraan gender. Terbukti saat
U-Turn Policy diimplementasikan, ketidakseimbangan gender bisa diatasi.
Semula pada 2015, proporsi antara pengungsi laki-laki dan perempuan sangat
timpang yaitu 114.728 pengungsi laki-laki banding 48.149 pengungsi perempuan.
Kemudian pada 2016 membaik menjadi 17.352 pengungsi laki-laki banding
11.587 pengungsi perempuan, dan menjadi 15.635 pengungsi laki-laki banding
10.031 pengungsi perempuan pada 2017. Hal tersebut pun mengurangi potensi
kekerasan berbasis gender yang akan semakin marak terjadi di Swedia jika
ketidakseimbangan gender yang terlalu timpang tetap dibiarkan.176
176
“Statistics,” Migrationsverket, 2017 [database on-line]; tersedia di
https://www.migrationsverket.se/English/About-the-Migration-Agency/Facts-and-statistics-
/Statistics/2017.html; diakses pada 7 Juli 2018.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai Negara Kesejahteraan yang feminis, di bawah kabinet Stefan
Lofven, Swedia berkomitmen untuk membuka akses pengungsi sebesar-besarnya.
Namun pada akhir 2015, Swedia mengumumkan kebijakan U-Turn Policy yang
bertentangan dengan komitmen awal Swedia tersebut. Tidak hanya kontradiktif
terhadap komitmen Swedia saja, berlakunya U-Turn Policy juga berpengaruh
negatif terhadap hubungan internasional Swedia khususnya dengan negara-negara
Eropa lainnya, sebab U-Turn Policy dianggap telah menggagalkan proses
integrasi Eropa, melanggar HAM yang dicita-citakan Perjanjian Schengen, dan
menyimpang dari identitas negara Nordik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan menggunakan perspektif
feminisme, terdapat dua alasan yang membuat Swedia mengubah kebijakan Open
Door Policy-nya menjadi U-Turn Policy dalam menangani pengungsi periode
2014-2017, yaitu:
1. Adanya Dorongan Publik Swedia yang Memanfaatkan Isu Gender Demi
Tren Anti-Imigran
Seiring dengan kenaikan jumlah pengungsi yang datang ke Swedia, tingkat
kekerasan terhadap perempuan juga ikut bertambah. Misalnya seperti kekerasan
yang menyebabkan kematian pada perempuan yang meningkat dari 25 korban
71
menjadi 29 korban, serta pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan
yang meningkat dari dua persen menjadi tiga persen.
Masyarakat Swedia melihat fenomena krisis pengungsi berkaitan erat
dengan tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan. Beredar pula kabar
tentang proporsi jenis kelamin pengungsi yang didominasi oleh laki-laki, sehingga
meningkatkan resiko ketidakseimbangan gender. Dagens Nyheter sebagai salah
satu media paling berpengaruh di Swedia juga mendorong publik untuk menjadi
anti-imigran dengan memberitakan keterkaitan pengungsi dengan isu kekerasan
gender. Karena itu, publik di Swedia menganggap pengungsi sebagai ancaman
dan meminta pemerintah untuk melakukan sesuatu berkenaan dengan hal tersebut.
Partai Demokrat Swedia yang terkenal anti-pengungsi memanfaatkan
momentum tersebut untuk membawa isu krisis pengungsi sebagai penyebab dari
peningkatan kekerasan dan ketidakseimbangan gender ke ranah pemerintah.
Didukung oleh dua puluh lima persen masyarakat Swedia, Partai Demokrat
Swedia berhasil mendorong pemerintah untuk melihat krisis pengungsi sebagai
isu keamanan berbasis gender. Usulan yang diajukan oleh Partai Demokrat
Swedia terhadap krisis pengungsi adalah tidak hanya diberlakukannya kontrol
perbatasan, namun juga penutupan secara penuh akses pengungsi yang ingin
masuk ke Swedia.
2. Agenda Evaluasi Sistem Keimigrasian Swedia Demi Pemenuhan Hak-
Hak Perempuan dan Anak Perempuan
Selain karena adanya dorongan dari luar, Swedia mengubah kebijakan
pengungsinya menjadi lebih ketat karena Swedia ingin mengevaluasi sistem
72
keimigrasiannya demi pemenuhan hak-hak perempuan dan anak perempuan.
Sebagaimana yang dipaparkan oleh The Women‟s Refugee Commission (WRC)
bahwasanya meski Swedia merupakan contoh Negara Kesejahteraan, namun
masih ada beberapa aspek dari peraturan kepengungsian yang perlu dievaluasi,
misalnya seperti peraturan tentang privasi masing-masing jenis kelamin, peraturan
khusus pengungsi dengan gangguan mental, dan lain sebagainya. Dengan
membenahi sistem kepengungsiannya, maka Swedia akan menjadi negara yang
lebih layak untuk dijadikan contoh Negara Kesejahteraan yang feminis.
Munculnya gagasan tentang evaluasi tersebut dipengaruhi oleh aktivitas
feminisme, konflik gender, dan relasi kekuasaan yang setara antara laki-laki dan
perempuan. Di Swedia, pergerakan feminis terbukti mempengaruhi Swedia dalam
memasukkan isu gender ke ranah formal. Proporsi antara laki-laki dan perempuan
dalam posisi pengambil keputusan di Swedia juga seimbang, sehingga berdampak
pada proses perumusan, target, dan fokus kebijakan yang ingin dibuat oleh
Swedia. Kemudian hasil dari proses perumusan kebijakan tersebut ialah kebijakan
feminis, yaitu merestriksi pengungsi yang memasuki wilayah Swedia guna
mengevaluasi sistem imigrasi demi pemenuhan hak-hak perempuan dan anak
perempuan.
Kedua poin di atas merupakan alasan Swedia mengubah kebijakannya
terhadap pengungsi periode 2014-2017 dari Open Door Policy menjadi U-Turn
Policy jika dianalisis dengan perspektif feminisme, khususnya Feminisme Liberal,
Feminist Security Theory, dan Feminist Foreign Policy.
73
B. Saran
1. Untuk Pemerintah Swedia
Disarankan agar pemerintah Swedia tidak hanya membuat peraturan yang
sifatnya sementara dan baru dibuat setelah situasi mendesak. Untuk ke depannya,
diharapkan Swedia dapat mengevaluasi sistem keimigrasiannya dengan lebih
matang dan terukur sehingga tidak harus melanggar kesepakatan internasional
tertentu dan identitas bangsanya sendiri demi mengamankan negaranya. Selain itu,
konsistensi Swedia dalam pelaksanaan kebijakan feminisme di seluruh sektor juga
diharapkan.
2. Untuk Penelitian Selanjutnya
Disarankan agar penelitian selanjutnya dengan tema yang terkait dapat
dikembangkan lagi khususnya dalam hal penambahan periode yang akan diteliti.
Periode 2018 layak untuk diteliti lebih dalam karena kemungkinan besar situasi
politik Swedia berubah seiring dengan persiapan menjelang pemilihan umum
Swedia pada September 2018 nanti. Ketika kabinet baru sudah terbentuk di akhir
2018 nanti, disarankan adanya penelitian yang membandingkan kabinet baru
dengan kabinet sebelumnya dalam hal kebijakan terhadap pengungsi.
xiii
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andersson, Jan Joel. Sweden. NY, USA: Freedom House.
Bjorck, Ingela dan Bulle Davidsson. 2001. Sweden – A Pocket Guide. Norrkoping,
Sweden: The Swedish Integration Board.
Burchill S. dan A. Linklater. 2005. Theories of International Relations, Third
Edition. Basingstoke: Palgrave Macmillan.
Butler, Judith. 1993. Bodies That Matter: On the Discursive Limits of Sex. New
York dan London: Routledge.
Couloumbis, T. A. dan J. H. Wolfe. 1990. Pengantar Hubungan Internasional:
Keadilan dan Power. Bandung: Abardin.
Elliott, Lorraine. 1996. “Women, Gender, Feminism, and The Environment.” The
Gendered New World Order: Militarism, Development, and The
Environment, ed. Jennifer Turpin dan Lois Ann Lorentzen. New York:
Routledge.
Elshtain, Jean Bethke. 1987. Women and War. Chicago: University of Chicago
Press.
Erlina. 2008. Metodologi Penelitian Bisnis: Untuk Akuntansi dan Manajemen.
Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
Garner, Karen. 2013. Gender and Foreign Policy in the Clinton Administration.
First Forum Press.
Gelb, Joyce. 1989. “Sweden: Feminism Without Feminists?” Feminism and
Politics. University of California Press.
George, Vic dan Paul Wilding. 1994. Welfare and Ideology. Hemel Hempstead:
Harvester Wheatsheaf.
Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Haavio-Mannila, Elina. The Position of Women. University of Helsinki.
Hadenius, Stig. 1985. Swedish Politics During the 20th Century. Stockholm,
Sweden: The Swedish Institute.
Hernes, Helga. 1987. “The Welfare State Citizenship of Scandinavian Women.”
Welfare State and Women Power: Essays in State Feminism. Oslo:
Norwegian University Press.
Hooks, Bell. 1984. Feminist Theory: From Margin to Center. Boston: South End
Press.
------, 1989. Talking Back: Thinking Feminist, Thinking Black. Toronto: Between
the Lines.
Hoyle, Ricky H., Monica J. Harris, dan Charles M. Judd. 2001. Research Methods
in Social Relations: Seventh Edition. Wadsworth: Tomson Learning.
Hudson, Valerie, Bonnie Ballif-Spanvill, Mary Caprioli, dan Chad Emmett. 2014.
Sex and World Peace. New York: Columbia University Press.
J.E., Kolberg. 1991. “The Gender Dimension of The Welfare State.” The Welfare
State as Employer. London.
Jensen, Carsten S. 2006. “Neo-functionalism.” European Union Politics. Oxford:
Oxford University Press.
xiv
Jones, Adam. 2009. Gender Inclusive: Essays on Violence, Men, and Feminist
International Relations. New York: Routledge Publishers.
Jonsson, Ewa dan Josefin Zeolla, ed. 2015. Gender Perspective in Asylum and
Return Cases. Stockholm: The Swedish Red Cross.
Mohanty, Chandra Talpade. 2003. Feminism Without Borders: Decolonizing
Theory, Practicing Solidarity. Durham, NC: Duke University Press.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Moravcsik, Andrew. 1998. The Choice of Europe Social Purpose and State Power
from Messina to Maastricht. Ithaca: Cornel University Press.
MQ, Patton. 1990. Qualitative Evaluation and Research Methods, 2nd Edition.
London: Sage Publication.
Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi. 2017. Jakarta: Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Pedersen, Axel West dan Stein Kuhnle. 2017. “The Nordic Welfare State Model:
Introduction: The Concept of a Nordic Model.” The Nordic Models in
Political Science: Challenged, but Still Viable?. Bergen: Fagbokforlaget.
Rosemarie, Putnam Tong. 1989. Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Bandung:
Jalasutra.
Ruddick, Sara. 1989. Maternal Thinking: Towards a Politics of Peace. Boston:
Beacon Press.
Sjoberg, Laura., ed. 2010. Gender and International Security: Feminist
Perspectives. New York: Routledge.
Steans, Jill. 2006. Gender and International Relations: Issues, Debates, and
Future Directions. Second Edition. Cambridge: Polity Press.
Steans, Jill dan L. Pettiford. 2009. Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
Sylvester, Christine. 2002. Feminist International Relations Theory: An
Unfinished Journey. Cambridge: Cambridge University Press.
Taylor, Pelle Neroth. 2015. Sweden’s Immigration Crisis. London: The Bruges
Group.
Tickner, J. Ann. 1992. Gender in International Relations. New York: Columbia
University Press.
------, 2001. Gendering World Politics: Issues and Approaches in The Post-Cold
War Era. New York: Columbia University Press.
Weldon, S. Laurel. 2002. Protest, Policy and The Problem of Violence Against
Women: A Cross-national Comparison. Pittsburgh: University of
Pittsburgh Press.
xv
Young, Iris Marion. 1990. “The Ideal of Community and The Politics of
Difference.” Feminism/Postmodernism, ed. Linda J. Nicholson. New
York: Routledge.
------, 1990b. “The Ideal of Community and The Politics of Difference.”
Feminism/Postmodernism, ed. Linda J. Nicholson. New York: Routledge.
------, 2000. “Inclusion and Democracy.” Oxford Series in Political Theory.
Oxford University Press.
Artikel dan Jurnal Ilmiah
2015. “Refugee Crisis in Europe.” INOMUN Research Report.
2017. “Global Views on Immigration and Refugee Crisis.” Ipsos Report.
2017. “Ungroomed.” Gafencu Magazine (11).
Anton, Thomas J. 1969. “Policy-Making and Political Culture in Sweden.”
Scandinavian Political Studies Journal, Bind 4 (University of Michigan).
Blanchard, Eric M. 2003. “Gender, International Relations, and the Development
of Feminist Security Theory.” Chicago Journal 28(4):1289-1312.
Brljavac, Bedrudin. 2017. “Refugee Crisis in Europe: The Case Studies of
Sweden and Slovakia.” Journal of Liberty and International Affairs 3.
Caprioli, Mary, dan Mark Boyer. 2001. “Gender, Violence, and International
Crisis.” Journal of Conflict Resolution 45(4):503-518.
Ceccorulli, Michela. 2009. “Migration as a Security Threat: Internal and External
Dynamics in The European Union.” GARNET Working Paper 65(9).
Djuve, Anne Britt. 2016. “Refugee Migration – A Crisis For The Nordic Model?”.
International Policy Analysis of Friedrich-Ebert-Stiftung.
Felayati, Reza Akbar dan Yohanes Putra Suhito. 2017. Dari Keterbukaan Menuju
Pembatasan: Analisa Diskursus Persepsi Swedia terhadap Pengungsi di
Tengah Gelombang Krisis Pengungsi di Eropa. Departemen Ilmu
Hubungan Internasional Universitas Airlangga.
Flora, P. 1990. “Growth to Limit.” The Western European Welfare States Since
World War II 12(1):141-145.
Fratzke, Susan. 2017. “Weathering Crisis, Forging Ahead: Swedish Asylum and
Integration Policy.” Transatlantic Council on Migration Report.
Galtung, Johan. 1971. “A Structural Theory of Imperialism.” Journal of Peace
Research 8(2):81-117.
Hersh, Marcy. 2016. “Falling Through the Cracks: Refugee Women and Girls in
Germany and Sweden.” Women’s Refugee Commission Report.
Hughes, Nevsal dan George Joffe. 2016. “Editorial Board.” The Middle East in
London 12(4).
Joseph, George. 2015. “Country Report: Sweden.” Asylum Information Database.
Lobasz, Jennifer K. 2009. “Beyond Border Security: Feminist Approaches to
Human Trafficking.” Routledge Journal of Security Studies No. 18.
Mansbridge, Jane. 1999. “Should Blacks Represent Blacks and Women Represent
Women? A Contingent „Yes.‟” The Journal of Politics 61(3):628-657.
Milner, James. 2000. “Sharing the Security Burden: Towards the Convergence of
Refugee Protection and State Security.” Refugee Studies Centre.
xvi
Montero, Alfonso Lara dan Dorothea Baltruks. 2016. “The Impact of The Refugee
Crisis on Local Public Social Services in Europe.” The European Social
Network Publication.
Olivius, Elisabeth. 2015. “Governing Refugees through Gender Equality:
Rationalities of Efficiency and Development.” The ISA Global South
Caucus Conference Paper.
Ostbring, Bjorn. 2016. “The Swedish Welfare State and The Refugee Crisis: On
Realism and The Priority of Order.” The Migration and The European
Welfare States Conference.
Peterson, V. Spike. 1992. “Transgressing Boundaries: Theories of Knowledge,
Gender, and International Relations.” Millennium: Journal of International
Studies 21(2):194.
Potter, Michael. 2014. “The Swedish General Election 2014 and the
Representation of Women.” Northern Ireland Assembly Research and
Information Service Research Paper 93.
Rizkiyah, Rima. 2015. “Perjanjian Schengen dan Maastricht.” Skripsi Universitas
Indonesia.
Rolenc, Jan Martin. 2013. “Means, Goals, and Sources of Foreign Policy: The
Case of Sweden.” Paper Draft for The ISA 2013 Convention.
Sainsbury, Diane. 2004. “Women‟s Political Representation in Sweden:
Discursive Politics and Institutional Presence.” Scandinavian Political
Studies, Vol. 27 No. 1.
Schiavo, Valentina. 2016. “I am Swedish, I am a Woman: Exploring Swedish
Women‟s Identity Construction.” Report nr.
Scholten, Peter. 2017. “Policy Innovation in Refugee Integration?,” The Dutch
Department of Social Affairs and Employment.
Shannon, Elizabeth. 1997. “The Influence of Feminism on Public Policy.”
University of Tasmania Thesis.
Vaiphei, Lianboi. “Perspectives on International Relations and World History.”
University of Delhi Lesson and Journal 11.
Zugasti, Irene. 2016. “To Welcome or Not to Welcome: What Civil Society Does
for Refugees?.” Special Report on The Civil Society Responses to Refugee
Crisis.
Dokumen Resmi Negara
A Feminist Government. Government Offices of Sweden Website [database on-
line]; tersedia di http://www.government.se/government-policy/a-feminist-
government/; diakses pada 11 Februari 2018.
Child Abuse. The Swedish National Council for Crime Prevention
(Brottsförebyggande rådet - Brå), 2016 [database on-line]; tersedia di
https://www.bra.se/bra-in-english/home/crime-and-statistics/child-
abuse.html; Internet; diakses pada 29 Oktober 2017.
CV Margot Wallstrom. Government Offices of Sweden Website [database on-
line]; tersedia di http://www.government.se/government-of-
xvii
sweden/ministry-for-foreign-affairs/margot-wallstrom/cv-margot-
wallstrom/; diakses pada 11 Februari 2018.
Draft Action Plan for Feminist Foreign Policy 2015-2018. 2015. Internal Draft of
Ministry of Foreign Affairs (MFA) Sweden, 2015 [database on-line];
tersedia di https://www.government.se/contentassets/b799e89a0e06493f86c63a561e8
69e91/action-plan-feminist-foreign-policy-2015-2018nternet; diakses pada
30 Oktober 2017.
Facts about Migration and Crime in Sweden 2017. Website of the Government
and the Government Offices, 2017 [database on-line]; tersedia di
http://www.government.se/articles/2017/02/facts-about-migration-and-
crime-in-sweden/; Internet; diakses pada 30 September 2017.
Feminist Foreign Policy. Government Offices of Sweden Website [database on-
line]; tersedia di http://www.government.se/government-policy/feminist-
foreign-policy/; diakses pada 11 Februari 2018.
Foreign Policy. Sveriges Riksdag [database on-line]; tersedia di
http://www.riksdagen.se/en/how-the-riksdag-works/what-does-the-
riksdag-do/foreign-policy/; diakses pada 11 Februari 2018.
Members and Parties. Sveriges Riksdag [database on-line]; tersedia di
http://www.riksdagen.se/en/members-and-parties/; diakses pada 11
Februari 2018.
Murder and Manslaughter. The Swedish National Council for Crime Prevention
(Brottsförebyggande rådet - Brå), 2016 [database on-line]; tersedia di
https://www.bra.se/bra-in-english/home/crime-and-statistics/murder-and-
manslaughter.html; Internet; diakses pada 29 Oktober 2017.
Rape and Sexual Offences. The Swedish National Council for Crime Prevention
(Brottsförebyggande rådet - Brå), 2016 [database on-line]; tersedia di
https://www.bra.se/bra-in-english/home/crime-and-statistics/rape-and-sex-
offences.html; Internet; diakses pada 29 Oktober 2017.
Scholten, Peter. 2017. Policy Innovation in Refugee Integration?. The Dutch
Department of Social Affairs and Employment.
Statistics. Migrationsverket, 2017 [database on-line]; tersedia di
https://www.migrationsverket.se/English/About-the-Migration-
Agency/Facts-and-statistics-/Statistics/2017.html; diakses pada 7 Juli
2018.
Sweden Country Brief. Department of Foreign Affairs and Trade of Australia,
2017 [database on-line]; tersedia di
http://dfat.gov.au/geo/sweden/pages/sweden-country-brief.aspx/; Internet;
diakses pada 29 Januari 2018.
Sweden’s Feminist Foreign Policy: Examples From Three Years Of
Implementation. Government Offices of Sweden, Ministry for Foreign
Affairs, 2-3.
The World Factbook: Sweden. Central Intelligence Agency United States of
America [database on-line]; tersedia di
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-
factbook/geos/sw.html/; Internet; diakses pada 29 Januari 2018.
xviii
Wawancara
Wawancara melalui E-mail dengan Christer Lyck, Informan The Swedish
Migration Agency (Migrationsverket), 25-26 Februari 2018.
Wawancara melalui E-mail dengan Edith Permén, Praktisi Kebijakan Luar Negeri
Feminis, Kementerian Luar Negeri Swedia, 20 Februari-8 Maret 2018.
Situs Online
A Visual Guide to 75 Years of Major Refugee Crises Around the World. The
Washington Post, 2016 [database on-line]; tersedia di
https://www.washingtonpost.com/graphics/world/historicalmigrant-crisis/;
Internet; diakses pada 30 September 2017.
Are Migrants Really Raping Swedish Women?. The Daily Beast, 2016 [database
on-line]; tersedia di https://www.thedailybeast.com/are-migrants-really-
raping-swedish-women?ref=scroll; diakses pada 27 Februari 2018.
BAB II: Krisis Pengungsi di Eropa. UMY Repository [database on-line]; tersedia
di
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12289/F.%20BAB
%20II.pdf?sequence=6&isAllowed=y; diakses pada 24 Februari 2018.
Germany Sees Schengen in Danger. World Bulletin, 2016 [database on-line];
tersedia di http://www.worldbulletin.net/m/haber/168079/germany-sees-
schengen-in-danger; Internet; diakses pada 22 September 2017.
Hofverberg, Elin.”Refugee Law and Policy: Sweden.” Library of Congress Legal
Report, 2016 [database on-line]; tersedia di
https://www.loc.gov/law/help/refugee-law/sweden.php; diakses pada 24
Februari 2018.
How Immigration is Changing The Swedish Welfare State,” The Economist, 2017
[database on-line]; tersedia di
https://www.economist.com/blogs/economist-explains/2017/06/economist-
explains-20; diakses pada 24 Februari 2018.
Irregular Migrant, Refugee Arrivals in Europe Top One Million in 2015.
International Organization for Migration, 2015 [database on-line]; tersedia
di https://www.iom.int/news/irregular-migrantrefugee-arrivals-europe-
top-one-million-2015-iom; Internet; diakses pada 28 September 2017.
Migrant Crisis Means Sweden Now Has Higher Ratio Of Teenage Boys-To-Girls
Than China. Express, 2016 [database on-line]; tersedia di
http://www.express.co.uk/news/world/632631/migrant-crisis-refugees-
europe-sweden-middle-east; Internet; diakses pada 28 September 2017.
Press Release. European Commission, 2015 [database on-line]; tersedia di
http://europa.eu/rapid/press-release_IP-15-6212_en.htm; diakses pada 24
Februari 2018.
Shock Poll Rates Sweden’s Anti-Immigrant Right-Wing Party as Country’s
Largest. Foreign Policy. 2015 [database on-line]; tersedia di
http://foreignpolicy.com/2015/08/20/shock-poll-rates-swedens-anti-
xix
immigrant-right-wing-party-as-countrys-largest/; diakses pada 27 Februari
2018.
Stavanger Guide Map. The Nordic Countries, 2015 [database on-line]; tersedia di
http://www.stavanger-guide.no/maps/maps_other/nordic.pdf/; diakses pada
11 Februari 2018.
Sveriges Flagga. Riksarkvet, 2018 [database on-line]; tersedia di
http://riksarkvet.se/sveriges-flagga/; Internet; diakses pada 30 September
2017.
Sweden Introduces Border Checks as Refugee Crisis Grows. The Guardian, 2015
[database on-line]; tersedia di
http://www.theguardian.com/world/2015/nov/12/refugee-crisis-sweden-
introduces-border-checks; Internet; diakses pada 22 September 2017.
Sweden is Schengen’s Toughest Border. TTG NORDIC, 2017 [database on-line];
tersedia di http://ttgnordic.com/sweden-is-schengens-toughest-border/;
Internet; diakses pada 22 September 2017.
Sweden Official Hates Her New Refugee Policy So Much She is Literally Crying
about It. Foreign Policy, 2015 [database on-line]; tersedia di
http://www.foreignpolicy.com/2015/11/24/Sweden-official-hates-her-new-
refugee-policy-so-much-she-is-literally-crying-about-it; Internet; diakses
pada 29 Oktober 2017.
Sweden’s Rape Crisis Isn’t What It Seems. The Globe and Mail, 2016 [database
on-line]; tersedia di https://www.theglobeandmail.com/opinion/swedens-
rape-crisis-isnt-what-it-seems/article30019623/; diakses pada 27 Februari
2018.
Swedish Feminists Thread Needle Between Sexism and Racism in Migrant
Controversy. TIME, 2016 [database on-line]; tersedia di
http://time.com/4182186/sweden-feminists-sexual-assault-refugees/;
diakses pada 27 Februari 2018.
The Death of the Most Generous Nation on Earth. Foreign Policy Feature, 2016
[database on-line]; tersedia di http://foreignpolicy.com/2016/02/10/the-
death-of-the-most-generous-nation-on-earth-sweden-syria-refugee-
europe/; diakses pada 24 Februari 2018.
The End Of Schengen? Restrictions By Denmark And Sweden Are 'Threatening
Europe's Passport-Free Zone'. The Independent, 2016 [database on-line];
tersedia di http://www.independent.co.uk/news/world/europe/the-end-of-
schengen-restrictions-by-denmark-and-sweden-are-threatening-europes-
passport-free-zone-a6796696.html; Internet; diakses pada 29 September
2017.
Thematic Focus: Gender-Based Violence. European Union Agency for
Fundamental Right, 2016 [database on-line]; tersedia di
http://fra.europa.eu/en/theme/asylum-migration-borders/overviews/focus-
gender-based-violence; Internet; diakses pada 30 September 2017.
They Won’t Admit It in Stockholm, but Donald Trump is Right about Immigration
in Sweden. Telegraph, 2017 [database on-line]; tersedia di
http://www.telegraph.co.uk/news/2017/02/23/wont-admit-stockholm-
xx
donald-trump-right-immigration-sweden/amp/; diakses pada 27 Februari
2018.
UNHCR Chief Issues Key Guidelines for Dealing with Europe’s Refugee Crisis.
UNHCR [database on-line]; tersedia di http://www.unhcr.org/55e9793b6/;
Internet; diakses pada 30 September 2017.
What’s in a Name: Crime Suspects and The Swedish Press. The Local Sweden,
2016 [database on-line]; tersedia di
https://www.thelocal.se/20090223/17716; diakses pada 7 Juli 2018.
Why Aren't European Feminists Arguing Against The Anti-Immigrant Right?.
Open Democracy, 2016 [database on-line]; tersedia di
https://www.opendemocracy.net/5050/why-are-european-feminists-failing-
to-strike-back-against-anti-immigrant-right; diakses pada 27 Februari
2018.
Why Does Sweden Have More Boys Than Girls?. BBC, 2016 [database on-line];
tersedia di http://www.bbc.com/news/magazine-35444173; Internet;
diakses pada 28 September 2017.
Why Women Live in Fear in the First 'Feminist' Nation. CBN News, 2017
[database on-line]; tersedia di
https://www1.cbn.com/cbnnews/world/2017/november/why-women-live-
in-fear-in-the-first-feminist-nation/; diakses pada 27 Februari 2018.
Yougov: Nu Är SD Sveriges Största Parti. Metro, 2015 [database on-line]; tersedia
di https://www.metro.se/artikel/yougov-nu-%C3%A4r-sd-sveriges-
st%C3%B6rsta-parti-xr/; diakses pada 27 Februari 2018.
xiii
TRANSKIP WAWANCARA
Transkip Wawancara dengan Edith Permén
Praktisi Kebijakan Luar Negeri Feminis, Kementerian Luar Negeri Swedia
Wawancara 1
Tempat: Melalui Sambungan E-mail
Waktu: 20 Februari-8 Maret 2018
Sumber: https://mail.google.com/mail/u/0/?hl=id#inbox/161c330945463866
(P = Penanya N = Narasumber)
P 20 Februari 2018
Selamat pagi. Saya Putri Larasati. Saat ini saya sedang meneliti tentang
feminisme dalam perubahan kebijakan Swedia terhadap krisis pengungsi
periode 2014-2017. Apakah Anda memiliki rekomendasi tentang pihak
yang dapat saya wawancarai?
N 23 Februari 2018
Dear Putri, terima kasih atas pertanyaan dan minat Anda pada kebijakan
luar negeri Swedia. Kami sedang mencari orang terbaik untuk menjawab
pertanyaan Anda. Kami harap kami dapat segera menghubungi Anda
kembali dengan sebuah jawaban.
N 8 Maret 2018
Dear Putri, terima kasih atas minat Anda pada kebijakan luar negeri
feminis Swedia. Izinkan saya sendiri yang mengambil kesempatan ini.
Apakah yang dapat saya bantu terkait penelitian Anda?
P 8 Maret 2018
Saya memiliki beberapa pertanyaan terkait topik tersebut. Berikut adalah
beberapa pertanyaan saya:
1. Bagaimana kebijakan luar negeri feminis Swedia dijalankan terhadap
pengungsi? Apakah hanya menguntungkan perempuan saja?
2. Swedia merestriksi kebijakannya terhadap pengungsi, bukankah itu
pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan bertentangan terhadap
kebijakan feminis itu sendiri?
Saya menunggu balasan Anda. Terima kasih.
N 8 Maret 2018
Dear Putri, sebelumnya saya akan mengirimkan rencana aksi kebijakan
luar negeri feminis Swedia 2015-2018 dan contoh-contoh dari tiga tahun
pelaksanaan (terlampir).
Untuk menjawab pertanyaan Anda,
1. Sepanjang pemerintahan kami, kami menerapkan perspektif gender
yang sistematis. Salah satu fokus kebijakan luar negeri feminis adalah
untuk memperkuat hak asasi perempuan dan anak perempuan yang
merupakan pengungsi atau migran. Di antaranya, kami bekerja untuk
memastikan bahwa pemangku kepentingan dapat mencegah dan
mengatasi pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum
humaniter dengan jalur kebijakan.
Kami pun bekerja untuk memastikan bahwa komitmen dari berbagai
pertemuan yang membahas tentang migrasi, pengungsi, dan masalah
kemanusiaan, seperti the Call to Action on Protection from Gender-
based Violence in Emergencies, membantu wanita dan gadis yang
menjadi pengungsi atau migran untuk menikmati hak asasi manusia
mereka.
2. Adapun respons pemerintah Swedia terhadap situasi pengungsi pada
2015 secara lengkap dapat ditemukan di sini:
http://www.government.se/government-policy/the-governments-work-
regarding-the-refugee-situation/
Pada 20 Juli 2016, kebijakan migrasi sementara diperkenalkan. Secara
umum dijelaskan di sini:
http://www.government.se/government-policy/migration-and-asylum/
Swedia melakukan kebijakan tersebut justru karena komitmen kami
terhadap hak asasi manusia, terutama hak asasi perempuan dan anak
perempuan. Kebijakan restriksi tersebut juga merupakan adaptasi dari
aturan suaka tingkat minimum dalam hukum Uni Eropa.
Selanjutnya, Anda dapat menemukan informasi yang berguna dalam
laporan Swedia kepada Dewan Eropa tentang konvensi pencegahan dan
pemberantasan kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan domestik:
https://rm.coe.int/state-report-on-sweden/168073fff6
Anda juga dapat bertanya dengan The Swedish Migration Agency
Migrationsverket. Keputusan Badan Migrasi pada umumnya dapat
dimintai banding ke pengadilan migrasi. Agen Migrasi memiliki situs
dalam bahasa Inggris:
https://www.migrationsverket.se/English/Startpage.html
Saya harap ini berguna, semoga sukses dengan penelitian Anda!
Transkip Wawancara dengan Christer Lyck
Informan The Swedish Migration Agency (Migrationsverket)
Wawancara 2
Tempat: Melalui Sambungan E-mail
Waktu: 25-26 Februari 2018
Sumber: https://mail.google.com/mail/u/0/?hl=id#inbox/161d25f87ec36de2
(P = Penanya N = Narasumber)
P 25 Februari 2018
Selamat pagi. Saya Putri Larasati. Saat ini saya sedang meneliti tentang
feminisme dalam perubahan kebijakan Swedia terhadap krisis pengungsi
periode 2014-2017. Saya sudah mewawancarai pemerintah Swedia, dan
pemerintah Swedia menyarankan saya untuk menghubungi The Swedish
Migration Agency (Migrationsverket). Saya memiliki beberapa
pertanyaan, yaitu:
1. Bagaimana keterlibatan Migrationsverket dalam perumusan
perubahan kebijakan Swedia yang menjadi lebih ketat terhadap
pengungsi pada 2015?
2. Tanpa unsur politis, sebagai badan di luar pemerintah, apa yang
Migrationsverket harapkan dari perubahan kebijakan tersebut?
N 26 Februari 2018
Terima kasih untuk pertanyaan Anda.
1. The Swedish Migration Agency adalah badan sipil utama yang
bertanggung jawab untuk memproses permohonan izin tinggal di Swedia
dan untuk menilai permohonan suaka secara individual. Kami tidak
bekerja sendiri, melainkan kami diperintah oleh undang-undang yang
disahkan oleh Parlemen (Riksdag) yang bertanggung jawab atas
pembuatan kebijakan di bidang terkait dengan Pemerintah yang menjadi
kekuatan pendorong. Proposal untuk legislasi baru, atau amandemen
terhadap undang-undang yang ada, biasanya berasal dari Pemerintah.
Kami hanya menjalankan tugas yang sifatnya teknis.
2. Sebagai tanggapan terhadap masifnya pencari suaka pada 2015
pemerintah memutuskan untuk memperkenalkan kontrol perbatasan
sementara di perbatasan internal. Pada 20 Juli 2016, tindakan sementara
disahkan oleh Riksdag. Harapan dalam perubahan kebijakan adalah
untuk secara signifikan mengurangi jumlah orang yang mencari suaka di
Swedia. Kami, khususnya pemerintah Swedia, memperhitungkan bahwa
pada jangka panjang, jumlah pencari suaka yang masuk pada 2015 tidak
bisa terus bertambah. Pada saat yang sama, negara anggota Uni Eropa
juga tidak dapat berbagi tanggung jawab terkait kuota penerimaan
pengungsi. Terbukti, Swedia berhasil menurunkan jumlah pencari suaka
menjadi hanya 23.000 orang pada 2018. Angka tersebut relatif rendah
dibandingkan dengan tahun-tahun terakhir ketika jumlah pencari suaka
mencapai sekitar 25.000 dan 29.000, dengan pengecualian pada tahun
2015 ketika Badan Migrasi Swedia menerima sebanyak 163.000 aplikasi
suaka.
Semoga jawaban tersebut dapat membantu penelitian Anda.