PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN...

98
PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN SWEDIA TERKAIT KRISIS PENGUNGSI PERIODE 2014-2017 Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Disusun oleh: Putri Larasati NIM: 11141130000043 Dosen Pembimbing Skripsi: Robi Sugara, M.Sc. PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018

Transcript of PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN...

Page 1: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP

PERUBAHAN KEBIJAKAN SWEDIA TERKAIT

KRISIS PENGUNGSI PERIODE 2014-2017

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Disusun oleh:

Putri Larasati

NIM: 11141130000043

Dosen Pembimbing Skripsi:

Robi Sugara, M.Sc.

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018

Page 2: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

“PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

SWEDIA TERKAIT KRISIS PENGUNGSI PERIODE 2014-2017”

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli

saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 30 Mei 2018

Putri Larasati

11141130000043

Page 3: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : Putri Larasati

NIM : 11141130000043

Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

“PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

SWEDIA TERKAIT KRISIS PENGUNGSI PERIODE 2014-2017”

Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Jakarta, 30 Mei 2018

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Ilmu Hubungan Internasional

Ahmad Alfajri, MA

NIP.

Menyetujui,

Pembimbing

Robi Sugara, M.Sc

NIP.

Page 4: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

SKRIPSI

PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

SWEDIA TERKAIT KRISIS PENGUNGSI PERIODE 2014-2017

Oleh:

Putri Larasati

11141130000043

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Juli

2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.

Ketua,

Ahmad Alfajri, MA.

NIP.

Sekretaris,

Eva Mushoffa, MHSPS.

NIP.

Dosen Penguji I,

M. Adian Firnas, M.Si.

NIP.

Dosen Penguji II,

Rahmi Fitriyanti, M.Si.

NIP. 197709142011012004

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 4 Juli 2018.

Ketua Program Studi

Ilmu Hubungan Internasional

Ahmad Alfajri, MA.

NIP.

Page 5: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

v

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis alasan perubahan kebijakan Swedia dalam

menangani krisis pengungsi periode 2014-2017. Swedia awalnya merupakan

negara penampung pengungsi terbanyak di kawasan Nordik karena komitmen

Swedia di bawah pemerintahan Stevan Lovfen adalah menjadi negara yang

terbuka terhadap arus pergerakan manusia. Namun akhirnya Swedia

mengeluarkan kebijakan baru yang lebih ketat terhadap pengungsi, yakni U-Turn

Policy (Kebijakan Putar Arah), yang mulai diwacanakan pada akhir 2015.

Pelaksanaan kebijakan baru tersebut kemudian menjadi kontroversial karena

dianggap menyalahi konsep Negara Kesejahteraan, Perjanjian Schengen, serta

kesepakatan internasional lainnya.

Metode kualitatif digunakan untuk meneliti skripsi ini, di mana data

diambil melalui wawancara elektronik dan studi kepustakaan, seperti dari buku,

jurnal, artikel, dan lain-lain. Kemudian skripsi ini dikaji dengan menggunakan

grand theory Feminisme Liberal, middle theory Feminist Security Theory, dan

konsep Feminist Foreign Policy mengingat bahwa Swedia merupakan negara

dengan pemerintahan feminis pertama di dunia serta adanya isu perempuan yang

dikaitkan dengan krisis pengungsi di Swedia. Penelitian ini menemukan bahwa

terdapat dua alasan yang menyebabkan Swedia mengubah kebijakan

pengungsinya dari Open Door Policy menjadi U-Turn Policy, yaitu dorongan

publik Swedia yang memanfaatkan isu gender demi tren anti-imigran dan agenda

evaluasi sistem keimigrasian demi pemenuhan hak-hak perempuan dan anak

perempuan.

Kata Kunci: Kebijakan Luar Negeri Feminis, Krisis Pengungsi, Swedia,

Nordik, Eropa.

Page 6: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

vi

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bismillahirrohmanirrohim.

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah melancarkan

segala urusan saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul

“Perspektif Feminisme terhadap Perubahan Kebijakan Swedia Terkait

Krisis Pengungsi Periode 2014-2017.”

Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad

SAW yang telah menginspirasi dan mengajak kita semua untuk menjadi muslim

yang berilmu dan berperadaban.

Dalam menulis skripsi ini, saya melalui berbagai proses yang harus

dihadapi agar tanggung jawab saya dapat terselesaikan dengan baik. Namun

kelancaran proses penulisan skripsi saya tidak lepas dari dukungan, doa, dan

bantuan dari keluarga, para dosen, para sahabat, dan pihak lain yang berjasa.

Untuk itu, pada kesempatan kali ini, saya hendak mengucapkan terima kasih yang

sedalam-dalamnya kepada:

1. Ibunda dan Ayahanda saya, Ibu Shinta Dewi dan Bapak Hajar Sudrajat.

Serta adik lelaki saya, Raihan Akbar. Mereka adalah alasan utama saya

untuk tetap berusaha hingga saat ini. Semoga keluarga kecil ini selalu

dilimpahi keberkahan.

2. Dosen Pembimbing Skripsi saya yang luar biasa, Bapak Robi Sugara,

M.Sc. yang telah meluangkan waktu dan tenaganya demi membimbing

penulisan skripsi saya sehingga skripsi saya dapat terselesaikan.

3. Bapak Ahmad Alfajri, MA. selaku Ketua Program Studi llmu Hubungan

Internasional sekaligus Ketua Sidang, Ibu Eva Mushoffa, MHSPS. selaku

Sekretaris Program Studi Ilmu Hubungan Internasional sekaligus

Sekretaris Sidang, Bapak Irfan R. Hutagalung, LLM., selaku Pembimbing

Akademis, Bapak M. Adian Firnas, M.Si. selaku Penguji Skripsi I, Ibu

Rahmi Fitriyanti, M.Si. selaku Penguji Skripsi II, Bapak Jajang, Bapak

Dendi, dan Ibu Rida selaku Bagian Akademis, beserta seluruh jajaran

Dosen Pengajar dan Staff di Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

yang telah membantu saya melalui proses pembelajaran di kampus selama

ini.

Page 7: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

vii

4. Keluarga besar almarhum Mukri Arpiah, almarhum H. Wahab, dan

almarhum Dahlan yang tersebar di seluruh penjuru. Saya ingin menjadi

salah satu kebanggaan yang dimiliki oleh keluarga besar kita.

5. Pasangan saya yang sudah lima tahun melalui proses pendewasaan

bersama saya, Perdana Nekay Saputra, yang merupakan salah satu support

system terkuat yang saya miliki selain keluarga. Juga sahabat-sahabat saya

sejak mengenakan seragam putih-biru, Kadek Wulan Sekar Intan dan

Zuhra Hayye. Tetaplah bersahabat selamanya! Tak lupa pula rekan-rekan

sejurusan yang menemani saya berjuang, Aisyah Fajrya, Ade Rahman

Hakim, Jaka Haritstyo Prabowo, Wina Sumiati, Vina Fachriana, Bella

Amelya, Devina Febrianti, Zahra Yusuf, Kak Robiatul Adhawiyah, Kak

Ayu Fitri Nursofya, dan lain-lain. Semangat untuk kita!

Serta seluruh pihak yang berperan penting dalam penulisan skripsi saya

yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Penulis memahami bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan

skripsi ini. Meski demikian, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat baik

bagi pembaca maupun penulis sendiri.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 4 Juli 2018

Putri Larasati

Page 8: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL .......................................................................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................................................ ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................. iii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .......................................................................................... iv

ABSTRAK ..................................................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. vi

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. viii

DAFTAR TABEL .......................................................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................... xi

DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah .......................................................................................... 1

B. Pertanyaan Penelitian ....................................................................................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................................... 7

D. Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 7

E. Kerangka Pemikiran

1. Feminisme Liberal ...................................................................................... 12

2. Feminist Security Theory (FST) ................................................................. 14

3. Feminist Foreign Policy ............................................................................. 16

F. Metode Penelitian ........................................................................................... 17

G. Sistematika Penulisan ..................................................................................... 19

BAB II KEBIJAKAN LUAR NEGERI DAN PERKEMBANGAN FEMINISME

DI SWEDIA

Page 9: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

ix

A. Model Kebijakan Luar Negeri Swedia......................................................... 20

B. Perkembangan Feminisme di Swedia .......................................................... 26

C. Feminisme dalam Kebijakan Luar Negeri Kabinet Stefan Lofven .............. 32

BAB III KRISIS PENGUNGSI DI SWEDIA

A. Fenomena Krisis Pengungsi di Swedia ........................................................ 36

B. Kebijakan Swedia terkait Penanganan Krisis Pengungsi ............................. 43

C. Dampak Perubahan Kebijakan Swedia terkait Penanganan Krisis

Pengungsi ..................................................................................................... 46

BAB IV ANALISIS FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

SWEDIA TERKAIT KRISIS PENGUNGSI PERIODE 2014-2017

A. Isu Ketidaksetaraan Gender sebagai Pemicu Opini Publik yang Anti-

Imigran di Swedia …....................................................................................52

B. Agenda Evaluasi Sistem Migrasi Swedia untuk Pemenuhan Hak-Hak

Perempuan …..….........................................................................................61

BAB V PENUTUP

Kesimpulan dan Saran ...................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... xiii

TRANSKIP WAWANCARA

Page 10: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

x

DAFTAR TABEL

TABEL III.1. Jumlah Pengungsi di Uni Eropa 2014-2016 ................................................. 38

Page 11: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

xi

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR II.1. Bendera dan Lambang Kerajaan Swedia ............................................ 21

GAMBAR II.2. Peta Negara-Negara Nordik ................................................................ 22

GAMBAR III.1. Jumlah Pengungsi yang Diterima di Uni Eropa 2015 ......................... 38

GAMBAR III.2. Pencari Suaka di Swedia Berdasarkan Tahun dan

Kewarganegaraan 1992-2016 ............................................................ 39

GAMBAR IV.1. Perolehan Suara Partai-Partai di Swedia 2015 .................................... 56

GAMBAR IV.2. Pandangan Masyarakat Eropa terhadap Pengungsi 2017 .................... 59

GAMBAR IV.3. Proses Pembuatan Kebijakan di Swedia ............................................ 61

GAMBAR IV.4. Pengaruh Feminisme terhadap Pembuatan Kebijakan ....................... 64

Page 12: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

xii

DAFTAR SINGKATAN

3R Rights, Representations, Resources

FST Feminist Security Theory

HAM Hak Asasi Manusia

ICC International Criminal Court

IOM International Organization for Migration

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

SIS Schengen Information System

UN United Nations

UNFPA United Nations Fund for Population Activities

UNHCR United Nations High Commissioner for Refugees

WIP Women in Politics

WRC Women‟s Refugees Commission

Page 13: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Skripsi ini menganalisis alasan perubahan kebijakan Swedia dalam

menangani krisis pengungsi periode 2014-2017. Sejak 2000, Swedia yang

menjunjung konsep Welfare State (Negara Kesejahteraan) membuka akses kepada

pengungsi selebar-lebarnya dengan Open-Door Policy (Kebijakan Pintu Terbuka).

Namun pada akhir 2015, Swedia menerapkan kebijakan yang ketat terhadap

kedatangan pengungsi dengan U-Turn Policy (Kebijakan Putar Arah). Negara

yang menjadi fokus pembahasan di sini adalah Swedia karena Swedia awalnya

merupakan negara penampung pengungsi terbanyak di kawasan Nordik, namun

akhirnya memiliki kebijakan baru yang menyalahi konsep Negara Kesejahteraan,

Perjanjian Schengen, serta kesepakatan internasional lainnya.. Skripsi ini dikaji

dengan menggunakan teori Feminisme Liberal, Feminist Security Theory, dan

Feminist Foreign Policy.

Pasca Perang Dunia II, Eropa telah mengalami krisis pengungsi akibat

perpindahan masal jutaan manusia beretnis Jerman yang diusir dari Uni Soviet

yang melarikan diri ke kawasan Eropa Barat. Kemudian pada 1989, Eropa juga

kedatangan banyak pengungsi akibat keruntuhan Uni Soviet. Permasalahan

pengungsi tersebut ternyata tidak berhenti pada 1989. Belum lama ini, tepatnya

pada 2015, Eropa mengalami krisis pengungsi.1 Krisis pengungsi adalah

1 “A Visual Guide to 75 Years of Major Refugee Crises Around the World,” The

Washington Post, 2016 [database on-line]; tersedia di

Page 14: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

2

perpindahan manusia terlantar dari satu tempat atau negara ke tempat atau negara

lain dalam jumlah besar. Krisis pengungsi juga dapat diartikan sebagai insiden

yang melibatkan pengungsi dalam jumlah besar yang menyebabkan permasalahan

di perjalanan maupun di tempat atau negara tujuan.2

Pada 2014, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)

memperoleh data bahwa jumlah total pengungsi yang datang ke Eropa mencapai

angka 280.000 jiwa. Sedangkan pada 2015 sendiri, jumlah pengungsi yang datang

ke Eropa mencapai angka 1.015.078 jiwa. Kenaikan jumlah pengungsi antara

2014 dan 2015 di Eropa tersebut cukup signifikan, sehingga dapat diketahui

bahwa pada 2015 telah terjadi krisis pengungsi yang paling besar di Eropa

sepanjang sejarahnya.3

Salah satu negara yang terkena dampak krisis pengungsi Eropa adalah

Swedia. Swedia berkomitmen untuk melancarkan akses dan menampung

pengungsi sebanyak-banyaknya, tidak seperti negara di kawasan Nordik lainnya

layaknya Denmark, Finlandia, dan Norwegia yang mulai menutup diri sehingga

tidak terlalu diminati oleh para pengungsi.4 Bahkan para pengungsi asal Suriah

yang pawai di persimpangan jalan di Denmark pun membawa poster bertuliskan

https://www.washingtonpost.com/graphics/world/historicalmigrant-crisis/; Internet; diakses pada

30 September 2017. 2 “UNHCR Chief Issues Key Guidelines for Dealing with Europe‟s Refugee Crisis,“

UNHCR, [database on-line]; tersedia di http://www.unhcr.org/55e9793b6/; Internet; diakses pada

30 September 2017. 3 “Irregular Migrant, Refugee Arrivals in Europe Top One Million in 2015,” International

Organization for Migration, 2015 [database on-line]; tersedia di

https://www.iom.int/news/irregular-migrantrefugee-arrivals-europe-top-one-million-2015-iom;

Internet; diakses pada 28 September 2017. 4 Anne Britt Djuve, “Refugee Migration – A Crisis For The Nordic Model?,”

International Policy Analysis of Friedrich-Ebert-Stiftung (2016): 2-4.

Page 15: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

3

“Sweden Yes and No Denmark” sebagai ekspresi kekaguman masyarakat

Denmark terhadap kebijakan Swedia yang tidak menyusahkan pengungsi.5

Sejak kabinet Stefan Lofven memimpin Swedia pada 2014, pemerintah

sepakat bahwa Swedia di bawah rezimnya akan menjadi negara yang paling

terbuka dalam penanganan pengungsi. Hal tersebut didasari pula oleh komitmen

Swedia sebagai Negara Kesejahteraan yang feminis pertama di dunia. Rezimnya

kerap menuntut pihak yang memberikan sanksi dan menagih visa kepada para

pencari suaka karena menganggap hal tersebut mempersulit akses pengungsi

untuk mendapatkan haknya di Swedia. Lofven juga sering mengkampanyekan

jargon “My Europe does not build walls!” sebagai bentuk dukungannya terhadap

kemudahan akses pengungsi di Swedia.6

Pada 23 November 2015, Wakil Perdana Menteri Swedia, Asa Romson,

menangis dalam sebuah konferensi pers. Romson menunjukkan sikap

dilematisnya karena pada akhirnya Swedia mengubah arah kebijakannya tentang

pengungsi yang semula Open-Door Policy menjadi U-Turn Policy yang lebih

ketat dan tertutup.7 Romson berkata:

Swedia menghargai toleransi, dan besarnya arus pengungsi yang datang ke

Eropa membuat Swedia harus lebih keras dalam melawan rasisme serta

diskriminasi. Kami telah melalui beberapa perdebatan internal tentang

kenyataan yang sedang terjadi. Namun kemudian saya menyadari bahwa

ini adalah cara yang bisa kami lakukan. Ini adalah sebuah keputusan yang

buruk.8

5 Pelle Neroth Taylor, Sweden’s Immigration Crisis (London: The Bruges Group, 2015):

5. 6 Bjorn Ostbring, “The Swedish Welfare State and The Refugee Crisis: On Realism and

The Priority of Order,” The Migration and The European Welfare States Conference (2016): 2. 7 Ostbring, “The Swedish Welfare State and The Refugee Crisis”, 2.

8 “Sweden Official Hates Her New Refugee Policy So Much She is Literally Crying about

It,” Foreign Policy, 2015 [database on-line]; tersedia di

http://www.foreignpolicy.com/2015/11/24/Sweden-official-hates-her-new-refugee-policy-so-

much-she-is-literally-crying-about-it; Internet; diakses pada 29 Oktober 2017.

Page 16: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

4

Stefan Lofven selaku perdana menteri Swedia mengumumkan bahwa

peraturan baru Swedia hanya mengizinkan pengungsi untuk tinggal sementara di

Swedia. Selain itu, mulai diberlakukan pengecekan identitas untuk segala jenis

transportasi maupun pejalan kaki yang berada atau melewati perbatasan.

Pengecekan identitas tersebut merupakan upaya untuk mengaplikasikan

temporary border controls (kontrol perbatasan sementara) di Swedia.9 Dalam

mengumumkan peraturan baru tersebut, Lofven juga menunjukkan sikap

menyesal sebagaimana yang ditunjukkan oleh Asa Romson, “Menyakitkan bagi

saya bahwa Swedia tidak bisa lagi menerima para pencari suaka. Kami tidak bisa

melakukannya lagi.”10

Sejak U-Turn Policy diimplementasikan, pada Juli dan Agustus 2016

tercatat bahwa Swedia melakukan 3,2 juta kali pengecekan di perbatasannya,

delapan kali lebih banyak daripada Jerman (394.503), Denmark (870.971), dan

Norwegia (436.363). Bahkan Swedia mengoperasikan kontrol perbatasan di setiap

kendaraan yang melalui Jembatan Oresund ketika negara-negara lain hanya

melakukan pengecekan secara acak.11

Setelah diberlakukan secara intens, terjadi

penurunan jumlah pengungsi yang datang ke Swedia, dari 1.507 jiwa perhari

menjadi 1.222 perhari.12

9 “Sweden Introduces Border Checks as Refugee Crisis Grows,” The Guardian, 2015

[database on-line]; tersedia di http://www.theguardian.com/world/2015/nov/12/refugee-crisis-

sweden-introduces-border-checks; Internet; diakses pada 22 September 2017. 10

“Sweden Official Hates Her New Refugee Policy.” 11

“Sweden is Schengen‟s Toughest Border,” TTG NORDIC, 2017 [database on-line];

tersedia di http://ttgnordic.com/sweden-is-schengens-toughest-border/; Internet; diakses pada 22

September 2017. 12

“Sweden Introduces Border Checks as Refugee Crisis Grows.”

Page 17: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

5

Meski efektif dalam mengurangi arus pengungsi, penerapan kebijakan

baru Swedia tersebut menuai banyak protes. Carl Bildt mengatakan bahwa

peraturan baru Swedia tentang pengungsi merupakan kontradiksi dari Perjanjian

Schengen dan nilai HAM yang dipercayai negara Nordik, yaitu free movement of

people. Kemudian konselor Jerman, Angela Merkel, juga meresponsnya dengan

menyerukan joint European solution untuk isu pengungsi. Juru bicara Angela

Merkel, Steffen Seibert, menyatakan bahwa solusi dari permasalahan krisis

pengungsi Eropa ini harus diselesaikan dengan strategi yang disepakati bersama,

bukan dengan memperkuat keamanan perbatasan di antara negara A dan negara B

saja.13

Juru bicara menteri luar negeri Jerman, Martin Schaefer, bahkan dengan

tegas menyatakan bahwa keputusan Swedia dalam mengubah arah kebijakan

tentang pengungsi tersebut mengancam eksistensi Perjanjian Schengen yang

merupakan salah satu perjanjian penting di kawasan Eropa. Schaefer berkata

bahwa kebebasan bergerak atau berpindah adalah prinsip yang penting – satu dari

sekian banyak pencapaian besar di Uni Eropa dalam beberapa tahun terakhir.

Schengen juga sangat penting, tapi sekarang Schengen dalam bahaya.14

Oleh karena itu, menarik apabila perubahan Open-Door Policy menjadi U-

Turn Policy terhadap pengungsi diteliti dengan berfokus pada negara Swedia

karena Swedia awalnya menjadi negara penampung pengungsi terbanyak di

kawasan Nordik, namun akhirnya mengimplementasikan U-Turn Policy untuk

13

“Germany Sees Schengen in Danger”, World Bulletin, 2016 [database on-line]; tersedia

di http://www.worldbulletin.net/m/haber/168079/germany-sees-schengen-in-danger; Internet;

diakses pada 22 September 2017. 14

“Germany Sees Schengen in Danger.”

Page 18: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

6

mengurangi kedatangan pengungsi hingga memunculkan protes dari berbagai

pihak, seperti petinggi-petinggi negara lain di Eropa. Terlebih dalam memutuskan

kebijakan tersebut, pemerintah Swedia terkesan emosional dan terpaksa sehingga

menggugah rasa ingin tahu tentang latar belakang perubahan kebijakan tersebut

jika dianalisis dengan teori feminisme.15

Untuk pemilihan periode, 2014-2017 menjadi periode yang cocok untuk

dikaji karena pada 2014, Swedia memiliki kabinet pemerintahan baru yang

dipimpin oleh Stefan Lofven. Kemudian 2015 juga dikaji karena merupakan tahun

puncak krisis pengungsi di Eropa. Sedangkan 2016 dikaji karena pada tahun inilah

U-Turn Policy mulai intensif diberlakukan. Terakhir, 2017 dikaji karena penting

untuk mengetahui perkembangan kontemporer dari perubahan kebijakan Swedia

terkait krisis pengungsi.16

B. Pertanyaan Penelitian

Dari pernyataan masalah yang sudah dipaparkan, kemudian muncul

pertanyaan penelitian yang jawabannya akan dianalisis dalam skripsi ini, yaitu:

Mengapa Swedia mengubah kebijakan Open Door-nya menjadi kebijakan U-Turn

terkait penanganan krisis pengungsi periode 2014-2017 jika dianalisis dengan

perspektif feminisme?

15

“Sweden Official Hates Her New Refugee Policy.” 16

“Sweden Introduces Border Checks as Refugee Crisis Grows.”

Page 19: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui alasan Swedia dalam mengubah kebijakan Open Door-nya

menjadi kebijakan U-Turn dalam hal penanganan krisis pengungsi;

2. Mengetahui dampak dari perubahan kebijakan Swedia terkait pengungsi

terhadap hubungan internasional Swedia;

3. Mengetahui seberapa besar pengaruh feminisme terhadap perubahan

kebijakan Swedia terkait penanganan pengungsi.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang hubungan internasional,

khususnya dalam studi kawasan Eropa, studi keamanan, dan studi gender;

2. Menambah referensi untuk para penstudi hubungan internasional dalam

menyusun berbagai tugas ilmiah, seperti paper, jurnal, skripsi, dan lain-lain;

3. Memberikan informasi dan inspirasi untuk berbagai pihak, khususnya para

pemangku kebijakan, untuk mencari solusi atas permasalahan pengungsi,

baik yang cakupannya dekat seperti krisis pengungsi Rohingnya, maupun

yang cakupannya jauh seperti krisis pengungsi Eropa.

D. Tinjauan Pustaka

Sebelum penelitian ini dijalankan, terdapat beberapa penelitian terdahulu

yang membahas tentang kebijakan Swedia terkait penanganan pengungsi pada

masa krisis pengungsi Eropa dengan berbagai variabel dan perspektif yang

Page 20: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

8

berbeda satu dengan yang lainnya. Penelitian ini akan merujuk kepada beberapa

studi tersebut guna membantu menganalisis perubahan kebijakan Swedia terkait

penanganan krisis pengungsi dengan perspektif feminisme.

Pertama, penelitian ini merujuk kepada paper ilmiah yang disusun oleh

Reza Akbar Felayati dan Yohanes Putra Suhito yang berjudul Dari Keterbukaan

Menuju Pembatasan: Analisa Diskursus Persepsi Swedia terhadap Pengungsi di

Tengah Gelombang Krisis Pengungsi di Eropa. Menurut penelitian Felayati dan

Suhito, Swedia sebagai negara yang menjunjung tinggi kebebasan sipil

merupakan salah satu negara yang ramah terhadap pengungsi. Namun pada 2016,

Swedia memberlakukan Undang-Undang baru yang mengatur pengetatan kontrol

dan pembatasan jumlah pengungsi yang ingin memasuki Swedia. Felayati dan

Suhito berpendapat bahwa penyebab perubahan kebijakan tersebut adalah

pergeseran diskursus atau persepsi elit Swedia terhadap pengungsi.17

Perbedaan penelitian ini dengan paper ilmiah Felayati dan Suhito terletak

pada teori dan konsep yang digunakan. Felayati dan Suhito memakai perspektif

post-strukturalisme dan metode analisis diskursus intertekstual yang menekankan

bahwa perubahan kebijakan Swedia terkait penanganan krisis pengungsi terjadi

akibat adanya perubahan persepsi pembuat kebijakan di Swedia terhadap

permasalahan pengungsi dan efek yang akan dibawanya. Sedangkan penelitian ini

memakai perspektif feminisme dalam menganalisis perubahan kebijakan Swedia

terkait pengungsi tersebut.

17

Reza Akbar Felayati dan Yohanes Putra Suhito, “Dari Keterbukaan Menuju

Pembatasan: Analisa Diskursus Persepsi Swedia terhadap Pengungsi di Tengah Gelombang Krisis

Pengungsi di Eropa”, Jurnal Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga

(2017).

Page 21: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

9

Kemudian persamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang

dilakukan oleh Felayati dan Suhito, yaitu keduanya sama-sama membahas tentang

perubahan kebijakan Swedia terkait penanganan pengungsi pada masa krisis

pengungsi Eropa. Meski Felayati dan Suhito tidak menyantumkan secara jelas

periode yang dianalisis, namun frasa “masa krisis pengungsi Eropa” merujuk pada

periode yang sama dengan periode penelitian ini, yaitu sekitar 2014 hingga 2017.

Kedua, penelitian ini merujuk pada paper ilmiah karya Bjorn Ostbring

yang berjudul The Swedish Welfare State and The Refugee Crisis: On Realism

and The Priority of Order. Menurut Ostbring, prioritas Swedia saat fenomena

krisis pengungsi terjadi adalah ketertiban, bukan lagi keadilan dan kemanusiaan

seperti yang diusung oleh Negara Kesejahteraan seperti Swedia. Meski Swedia

dituduh mengkhianati cita-cita Negara Kesejahteraan di satu sisi, namun Ostbring

dengan perspektif realismenya menyatakan bahwa itulah keputusan terbaik bagi

Swedia.18

Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Ostbring terletak pada

teori dan konsep yang digunakan dalam menganalisis. Penelitian ini menggunakan

feminisme sebagai pisau analisis, sedangkan Ostbring memakai perspektif

realisme dalam memandang permasalahan pengungsi di Eropa, khususnya di

Swedia tersebut. Tentunya alasan perubahan kebijakan Swedia terkait penanganan

pengungsi akan berbeda jika memakai perspektif yang berbeda pula dalam

menganalisisnya.

18

Ostbring, “The Swedish Welfare State and The Refugee Crisis”, 2-17.

Page 22: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

10

Penelitian ini dengan penelitian Ostbring juga memiliki kesamaan, yaitu

baik penelitian ini maupun penelitian Ostbring sama-sama menjelaskan tentang

faktor pendorong Swedia dalam mengubah kebijakannya yang semula terbuka

menjadi lebih tertutup terhadap pengungsi. Penelitian ini dengan penelitian

Ostbring mengkaji objek yang sama dan terspesifikasi pada tingkat analisis elit

atau pembuat kebijakan, yaitu pemerintah Swedia dalam kabinet Stefan Lovfen.

Ketiga, penelitian ini merujuk pada buku karya Stig Hadenius yang

berjudul Swedish Politics During the 20th Century. Menurut Hadenius,

pengambilan keputusan di Swedia terkait isu apapun dipengaruhi oleh perdebatan

antar-partai, opini publik, dan isu perempuan. Sejarah Swedia sebagai negara

dengan politik netralitas yang dapat menjadi fleksibel ketika ada tuntutan dari

dalam membuat Swedia berpotensi untuk mengubah kebijakan-kebijakannya.19

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Hadenius terletak pada isu yang

diteliti. Penelitian ini fokus meneliti perubahan kebijakan Swedia terkait krisis

pengungsi dengan menggunakan perspektif feminisme sebagai perspektif tunggal.

Sedangkan penelitian Hadenius cakupan isunya lebih luas, khususnya Hadenius

meneliti perubahan kebijakan Swedia mengenai Perang Dunia I, Perang Dunia II,

Perang Dingin, dan perang-perang lainnya. Hadenius juga menggunakan

multiperspektif dalam menganalisis perubahan kebijakan tersebut.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian Hadenius yaitu sama-sama

mengkaji bagaimana Swedia mengubah kebijakannya. Selain itu, penelitian

Hadenius juga melihat elemen yang sama dengan penelitian ini dalam

19

Stig Hadenius, Swedish Politics During the 20th

Century (Stockholm, Sweden: The

Swedish Institute, 1985).

Page 23: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

11

mempengaruhi proses pembuatan kebijakan di Swedia, yaitu adanya pengaruh

partai oposisi, opini publik, dan isu perempuan. Penelitian ini dan penelitian

Hadenius sama-sama menganggap bahwa ketiga elemen tersebut sangat penting

untuk dilihat jika hendak meneliti negara seperti Swedia.

E. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini menggunakan teori Feminisme dengan memfokuskan pada

perspektif Feminisme Liberal sebagai alat untuk menganalisis perubahan

kebijakan Swedia terkait penanganan pengungsi 2014-2017. Perubahan kebijakan

Swedia tersebut dapat dikaji dengan pendekatan Feminisme Liberal karena

beberapa hal. Pertama, karena pemerintahan Swedia ialah pemerintahan feminis

pertama di dunia, sebagaimana yang telah diklaim oleh pemerintah Swedia itu

sendiri.20

Kedua, karena isu lain yang berkembang di Swedia pada saat krisis

pengungsi adalah isu gender dan perempuan, misalnya seperti kekerasan berbasis

gender, ketidakseimbangan gender, dan lain sebagainya. Kedua hal tersebut

menguatkan alasan untuk menggunakan perspektif Feminisme, khususnya

Feminisme Liberal, dalam menganalisis perubahan kebijakan Swedia terkait

penanganan pengungsi.

Feminisme dalam hubungan internasional menurut Steans J. dan Pettiford

L. adalah teori yang menggunakan gender sebagai kategori utama dalam analisis,

menganggap gender sebagai bagian dari pola hubungan tertentu, menilik dikotomi

antara publik dan privat, menggunakan isu-isu tentang gender sebagai upaya

20

“Draft Action Plan for Feminist Foreign Policy 2015-2018,” Internal Draft of Ministry

of Foreign Affairs (MFA) Sweden (2015), 2.

Page 24: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

12

memberdayakan lembaga-lembaga internasional, serta mengimbau agar gender

dianggap penting dalam tatanan internasional.21

Feminisme menganggap

hubungan internasional terlalu bertumpu pada isu-isu maskulin seperti peperangan

atau perlombaan senjata yang justru pada praktiknya merugikan perempuan.22

Oleh karena itu, Burchill dan Linklater menekankan bahwa Feminisme

seharusnya diberi tempat yang layak pada khazanah hubungan internasional

karena Feminisme menawarkan pemikiran kritis dan spesifik terkait dengan

berbagai permasalahan di dunia ini.23

Adam Jones bahkan berpendapat bahwa

kajian Feminisme dalam hubungan internasional akan menjadi problem solver

untuk dunia lantaran Feminisme memiliki pandangan yang lebih lembut terhadap

isu-isu internasional yang sedang dihadapi.24

1. Feminisme Liberal

Feminisme Liberal adalah aliran feminisme yang berkonsentrasi pada

kesetaraan hak antara laki-laki dengan perempuan. Feminisme Liberal sangat

mendukung hak-hak individu dalam memenuhi keinginan, kepentingan, dan cita-

cita yang harus dilindungi oleh hukum.25

Mary Caprioli dan Mark Boyer

menyatakan bahwa Feminisme Liberal aktif dalam penanganan masalah

pengungsi perempuan, ketidakadilan pembagian upah antara laki-laki dan

21

Jill Steans dan L. Pettiford, Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). 22

S. Burchill dan A. Linklater, Theories of International Relations, Third Edition

(Basingstoke: Palgrave Macmillan 2005), 213-216. 23

Burchill, Theories of International Relations, 213-216. 24

Adam Jones, Gender Inclusive: Essays on Violence, Men, and Feminist International

Relations (New York: Routledge Publishers, 2009). 25

Jill Steans, Gender and International Relations: Issues, Debate, and Future Directions,

Second Edition (Cambridge: Polity Press, 2006), Chapter 2.

Page 25: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

13

perempuan, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap perempuan, seperti

kekerasan dan tindak asusila.26

Perempuan sering dijadikan objek dalam berbagai jenis kekerasan, dan

fenomena tersebut kebanyakan luput dari jangkauan formal hukum atau politik

internasional. Untuk itu, Feminisme Liberal berusaha untuk mencegah atau

mengurangi kekerasan terhadap perempuan tersebut dengan cara memberikan

porsi yang setara untuk perempuan agar dapat bergabung atau berintegrasi di

dalam berbagai level pemerintahan tanpa mengubah proses sosialisasi antara

perempuan dan laki-laki.27

Feminisme Liberal lebih fokus kepada penanganan

diskriminasi perempuan daripada menuntut agar terjadi revolusi sosial dan

politik.28

Secara umum Feminisme Liberal beranggapan bahwa perempuan dan laki-

laki berbeda secara biologis, namun setara dalam hak.29

Dasar pemikiran inilah

yang menyebabkan para feminis masih ingin menuntut agar semua pihak

meluruskan pikiran bahwasanya meski terdapat perbedaan biologis antara laki-

laki dan perempuan, hal tersebut tidak sepatutnya dijadikan justifikasi atas

tindakan kekerasan yang dilakukan laki-laki kepada perempuan.30

Alasan teori Feminisme Liberal digunakan adalah teori ini mampu

menjelaskan Swedia yang tercatat sebagai negara dengan kesetaraan gender

26

Mary Caprioli dan Mark Boyer, “Gender, Violence, and International Crisis,” Journal

of Conflict Resolution 45(4) (2001): 503-518. 27

Laura Sjoberg, ed., Gender and International Security: Feminist Perspectives (New

York: Routledge, 2010), 3. 28

Lianboi Vaiphei, “Perspectives on International Relations and World History,”

University of Delhi Lesson and Journal 11: 11. 29

Putnam Tong Rosemarie, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada

Aliran Utama Pemikiran Feminis (Bandung: Jalasutra, 1989). 30

Christine Sylvester, Feminist International Relations Theory: An Unfinished Journey

(Cambridge: Cambridge University Press, 2002).

Page 26: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

14

tersukses dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya.31

Vic George dan

Paul Wilding menyatakan bahwa perspektif feminisme memang layak untuk

digunakan oleh Negara Kesejahteraan.32

2. Feminist Security Theory (FST)

Menurut J. Ann Tickner, Teori Keamanan Feminis atau Feminist Security

Theory (FST) adalah perkembangan kontemporer dari pemikiran feminis yang

telah menumbangkan, memperluas, dan memperkaya studi keamanan.33

Setidaknya terdapat empat pencapaian yang sudah bisa dijadikan penguat bahwa

FST merupakan teori yang kredibel untuk digunakan sebagai perspektif dalam

menganalisis.

Pencapaian yang dimaksud, yaitu FST mampu mempertanyakan ketiadaan

perempuan dalam politik keamanan internasional dan mengimbau bahwa

perempuan perlu mendapatkan peran sebagai pengambil keputusan internasional,

mempertanyakan sejauh mana perlindungan negara terhadap perempuan baik di

saat perang maupun di saat damai, menantang pemikiran bahwa perempuan yang

identik dengan perdamaian tidak punya andil dalam keikutsertaan, dukungan, dan

inspirasi terhadap perang, dan menantang asumsi bahwa keamanan gender hanya

membahas perempuan.34

31

Kolberg J.E., “The Gender Dimension of The Welfare State,” The Welfare State as

Employer (London, 1991), 119-148. 32

Vic George dan Paul Wilding, Welfare and Ideology (Hemel Hempstead: Harvester

Wheatsheaf, 1994), 157-158. 33

J. Ann Tickner, Gendering World Politics: Issues and Approaches in The Post-Cold

War Era (New York: Columbia University Press, 2001). 34

Eric M. Blanchard, “Gender, International Relations, and The Development of Feminist

Security Theory,” Chicago Journal 28(4) (2003): 1289-1312.

Page 27: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

15

FST mengkritik pandangan realis yang mengaitkan keamanan hanya

dengan perang dan batas wilayah, serta menegaskan bahwa kekerasan

internasional, nasional, dan domestik memiliki keterkaitan.35

Selain itu, bagi FST

negara adalah sebuah badan yang seharusnya melindungi perempuan, namun

justru sering menjadikan perempuan sebagai objek dari kontrol sosial yang

maskulin. Negara tidak hanya mengontrol dengan kekerasan secara langsung,

namun juga melalui konstruksi ideologi yang berujung pada kekerasan struktural,

seperti pelayanan kesehatan yang kurang, segregasi upah, sumber daya seksual,

dan lain-lain.36

FST juga beranggapan bahwa perempuan tidak pernah dilibatkan

dalam perang, bahkan tidak dimintai pendapat tentang isu keamanan negara

karena perempuan lebih diidentikkan dengan perdamaian.37

Alasan FST ini digunakan yaitu karena teori ini mampu menjelaskan aktor

yang non-negara, permasalahan berskala domestik, dan ancaman keamanan baru,

seperti pengungsi. Namun selain sebagai ancaman keamanan, pengungsi juga

dilihat sebagai korban. Di satu sisi, Swedia harus menerima dan melayani

pengungsi dengan baik demi implementasi HAM. Namun di sisi lain, Swedia juga

harus melindungi warga negaranya dari potensi kejahatan yang diakibatkan oleh

krisis pengungsi tersebut.38

35

J. Ann Tickner, Gender in International Relations (New York: Columbia University

Press, 2001). 36

V. Spike Peterson, “Transgressing Boundaries: Theories of Knowledge, Gender, and

International Relations,” Millennium: Journal of International Studies 21(2) (1992): 194. 37

Jean Bethke Elshtain, Women and War (Chicago: University of Chicago Press, 1987),

169. 38

James Milner, “Sharing the Security Burden: Towards the Convergence of Refugee

Protection and State Security,“ Refugee Studies Centre (2000).

Page 28: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

16

3. Feminist Foreign Policy

Feminist Foreign Policy atau Kebijakan Luar Negeri Feminis oleh Judith

Butler didefinisikan sebagai rumusan aksi yang dilakukan terhadap pihak di luar

batas nasional yang didasari oleh komitmen untuk mewujudkan kesetaraan gender

serta mencari solusi untuk masalah dominasi pria.39

Selain itu, Feminist Foreign

Policy juga mengurusi ketidaksetaraan gender, devaluasi, dan penolakan terhadap

pihak yang tidak sesuai dengan stereotip gender tradisional pada umumnya.40

Stereotip gender tradisional yang dimaksud adalah tidak memprioritaskan

perempuan dalam pemerintahan dan lebih memberikan hak kepada laki-laki untuk

menjadi pemegang kekuasaan.41

Selain itu, stereotip ini pun memberi kewenangan

pada pemangku kekuasaan untuk melakukan kekerasan sebagai cara yang wajar

demi menyelesaikan konflik dan mempertahankan dominasi.42

Bahkan dalam

beberapa konteks, diperbolehkan bagi pemangku kebijakan untuk melakukan

kekerasan terhadap perempuan dan kelompok gender non-tradisional.43

Alasan konsep Feminist Foreign Policy ini digunakan adalah karena

konsep ini mampu menganalisis Swedia yang merupakan negara feminis. Konsep

ini mampu menjelaskan bahwa jumlah perempuan yang menduduki kursi

pemerintah, arah kebijakan yang mengutamakan agenda gender, dan klaim resmi

39

Judith Butler, Bodies That Matter: On the Discursive Limits of Sex (New York dan

London: Routledge, 1993). 40

Iris Marion Young, Justice and The Politics of Difference (Princeton: Princeton

University Press, 1990). 41

Jane Mansbridge, “Should Blacks Represent Blacks and Women Represent Women? A

Contingent „Yes,‟” The Journal of Politics 61(3) (1999): 628-657. 42

S. Laurel Weldon, Protest, Policy and The Problem of Violence Against Women: A

Cross-national Comparison (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2002). 43

Valerie Hudson, et al., Sex and World Peace (New York: Columbia University Press,

2014).

Page 29: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

17

Swedia sendiri sebagai negara dengan pemerintah feminis pertama di dunia dapat

berpengaruh pada hasil kebijakan luar negeri Swedia.44

F. Metode Penelitian

Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Menurut Patton,

penelitian kualitatif berusaha memahami suatu kejadian secara alamiah (peneliti

tidak memanipulasi kejadian tersebut) dan mengamati suatu kejadian yang terjadi

secara alamiah (munculnya kejadian tersebut bukan oleh karena manipulasi

peneliti).45

Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif karena skripsi ini

berusaha memahami fenomena perubahan kebijakan Swedia terkait krisis

pengungsi secara apa adanya tanpa manipulasi.

Kemudian metode penulisan dalam skripsi ini mengacu pada buku

Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi yang disusun oleh tim

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Sebagaimana panduan dalam buku tersebut, skripsi ini akan

menggunakan teknik referensi Turabian Documentation Style, yaitu dengan

mencantumkan catatan kaki.46

Lalu skripsi ini menggunakan teknik studi pustaka dan wawancara semi-

terstruktur untuk mengumpulkan data dan fakta. Menurut Nawawi, metode studi

pustaka dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan fakta dari beberapa

literatur, seperti buku, jurnal, dokumen, surat kabar, situs-situs internet, ataupun

44

“Draft Action Plan for Feminist Foreign Policy 2015-2018.” 45

Patton MQ, Qualitative Evaluation and Research Methods, 2nd Edition (London: Sage

Publication, 1990). 46

Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi (Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).

Page 30: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

18

laporan yang berkaitan dengan penelitian yang sedang dijalankan.47

Sedangkan

wawancara semi terstruktur menurut Estenberg dilakukan secara lebih terbuka

tanpa strukturasi yang ketat untuk memperoleh data dan fakta dari responden atau

informan.48

Beberapa narasumber yang diwawancarai adalah Edith Permén, Praktisi

Kebijakan Luar Negeri Feminis, Kementerian Luar Negeri Swedia dan Christer

Lyck, Informan The Swedish Migration Agency (Migrationsverket). Edith

Permén diwawancarai untuk mengetahui bagaimana kebijakan luar negeri feminis

dijalankan dalam kepengungsian. Kemudian Christer Lyck diwawancarai karena

narasumber pertama menyarankan untuk mewawancarai pihak Migrationsverket

guna mengetahui keterlibatan Migrationsverket dalam perumusan kebijakan

feminis Swedia tentang pengungsi.

Adapun teknik analisis yang digunakan dalam skripsi ini yaitu teknik

deskriptif analitis. Menurut Sugiyono, teknik deskriptif analitis dijalankan dengan

memusatkan fokus pada masalah atau fenomena yang terjadi secara apa adanya,

kemudian memilih dan memilah data serta fakta, melaksanakan penelitian, lalu

menyajikan hasil peneltitan yang sudah dianalisis berupa kesimpulan dalam

bentuk narasi atau kata-kata.49

47

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Universitas Gadjah

Mada, 2001). 48

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta,

2010). 49

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D.

Page 31: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

19

G. Sistematika Penulisan

Demi memudahkan penyusunan penelitian, skripsi ini menggunakan

sistematika penulisan sebagai berikut:

Pada BAB I dipaparkan pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan

dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, serta kerangka pemikiran yang memuat

teori Feminisme Liberal, Feminist Security Theory (FST), dan konsep Feminist

Foreign Policy. Skripsi ini juga memaparkan metode penelitian yang terdiri dari

jenis penelitian, metode penulisan, teknik pengumpulan data, teknik analisis data,

serta menyebutkan sistematika penulisan.

BAB II membahas tentang model kebijakan luar negeri yang dianut oleh

Swedia, perkembangan feminisme di Swedia, serta feminisme dalam kebijakan

luar negeri kabinet Stefan Lovfen. Ketiga hal tersebut penting dibahas agar

pembaca memahami latar belakang Swedia terlebih dahulu. Kemudian BAB III

membahas fenomena krisis pengungsi di Swedia, kebijakan Swedia terkait

penanganan krisis pengungsi, dan dampak dari perubahan kebijakan Swedia

terkait penanganan krisis pengungsi. Hal-hal tersebut penting dibahas demi

memahami seluk-beluk krisis pengungsi di Swedia serta dampaknya.

Pada BAB IV dipaparkan mengenai analisis feminisme terhadap

perubahan kebijakan Swedia terkait penanganan krisis pengungsi periode 2014-

2017. BAB IV ini ditulis dengan tujuan menjawab pertanyaan penelitian yang

telah diajukan. Pada BAB V terdapat kesimpulan dan saran. Selebihnya, tersemat

daftar pustaka dan lampiran transkip wawancara.

Page 32: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

20

BAB II

KEBIJAKAN LUAR NEGERI DAN PERKEMBANGAN FEMINISME DI

SWEDIA

BAB II membahas tentang kebijakan luar negeri dan perkembangan

feminisme di Swedia. Dalam upaya mengetahui alasan Swedia mengubah

kebijakannya terhadap krisis pengungsi dengan perspektif feminisme, penting

untuk memahami latar belakang negara Swedia terlebih dahulu. Untuk itu, BAB II

akan dibagi lagi ke dalam tiga subbab, yaitu model kebijakan luar negeri Swedia,

perkembangan feminisme di Swedia, dan feminisme dalam kebijakan luar negeri

kabinet Stefan Lofven.

A. Model Kebijakan Luar Negeri Swedia

The Kingdom of Sweden atau Swedia merupakan negara terbesar kelima

di Eropa dengan luas 449.964 kilometer persegi dan memiliki populasi sebanyak

10 juta jiwa.50

Bentuk pemerintahan Swedia adalah monarki konstitusional yang

fungsi eksekutifnya dijalankan oleh raja atau ratu sebagai kepala negara, perdana

menteri sebagai kepala pemerintahan, dan para kabinet menteri sebagai

pemerintah. 51

50

“Sweden Country Brief,” Department of Foreign Affairs and Trade of Australia, 2017

[database on-line]; tersedia di http://dfat.gov.au/geo/sweden/pages/sweden-country-brief.aspx/;

Internet; diakses pada 29 Januari 2018. 51

“The World Factbook: Sweden,” Central Intelligence Agency United States of America

[database on-line]; tersedia di https://www.cia.gov/library/publications/the-world-

factbook/geos/sw.html/; Internet; diakses pada 29 Januari 2018.

Page 33: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

21

Sedangkan fungsi legislatif Swedia dijalankan oleh badan parlemen yang

disebut Riksdag, dan fungsi yudikatifnya dijalankan oleh Courts yang terdiri dari

Supreme Court atau Högsta Domstolen (The Highest Court), Courts of Appeal

atau Hovrätter (Royal Court), dan District Courts atau Tingsrätter (Thing

Assembly Court), Administrative Courts yang terdiri dari The Supreme

Administrative Court atau Regeringsrätten (Government atau Regent Court),

Administrative Courts of Appeal atau Kammarrätter (Chamber Court), dan

Administrative Courts atau Förvaltningsrätt (Administration Court), kemudian

Ombudsman yang terdiri dari The Parliamentary Ombudsman atau Justitie

Ombudsmannen serta The Chancellor of Justice atau Justitiekanslern.52

GAMBAR II.1. Bendera dan Lambang Kerajaan Swedia53

Secara geografis, Swedia terletak di Eropa Utara, perbatasan Laut Baltik,

Semenanjung Bosnia, Kattegat, dan Skagerrak, di antara Finlandia dan Norwegia,

serta merupakan salah satu negara kawasan Nordik atau Skandinavia. Walaupun

secara politis negara Nordik memiliki ciri khas berbeda, namun masing-masing

dari negara Nordik mempunyai banyak kesamaan secara historis, kultural, dan

52

“The World Factbook: Sweden.” 53

“Sveriges Flagga,” Riksarkvet, 2018 [database on-line]; tersedia di

http://riksarkvet.se/sveriges-flagga/; Internet; diakses pada 30 September 2017.

Page 34: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

22

ekonomi yang membuat negara-negara Nordik secara kolektif menjuluki dirinya

sebagai "Negara-negara Utara" di dunia internasional. 54

Negara-negara Utara tersebut merupakan sebuah kelompok negara yang

berhasil mengintegrasikan kapitalisme laissez-faire dengan sosialisme ala Soviet.

Kemampuan negara-negara Nordik tersebut membentuk karakteristik khusus yang

menjadi identitas permanen negara-negara Nordik, yaitu Welfare State atau

Negara Kesejahteraan, yang biasa pula disebut dengan Model Negara Nordik atau

Skandinavia serta Rezim Kesejahteraan Sosial-Demokratis. Sebutan-sebutan

tersebut kemudian diidentikkan dengan sekelompok negara yang komprehensif,

murah hati, dan memiliki kesuksesan relatif khususnya dalam hal hasil kebijakan.

Hasil kebijakan dengan kesuksesan relatif contohnya seperti distribusi pendapatan

yang egaliter, kemiskinan yang terentaskan, stabilitas politik, dan pembangunan

ekonomi jangka panjang.55

GAMBAR II.2. Peta Negara-Negara Nordik56

54

Axel West Pedersen dan Stein Kuhnle, “The Nordic Welfare State Model: Introduction:

The Concept of a Nordic Model,” The Nordic Models in Political Science: Challenged, but Still

Viable? (Bergen: Fagbokforlaget, 2017). 55

Pedersen dan Kuhnle, “The Nordic Welfare State Model.” 56

“Stavanger Guide Map,” The Nordic Countries, 2015 [database on-line]; tersedia di

http://www.stavanger-guide.no/maps/maps_other/nordic.pdf/; diakses pada 11 Februari 2018.

Page 35: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

23

Karakteristik lain dari negara-negara Nordik adalah negara-negara Nordik

memegang teguh prinsip universalisme. Prinsip universalisme menekankan pada

perluasan layanan, jaminan, dan tunjangan kepada segala lapisan masyarakat.

Karakteristik penting ketiga adalah negara-negara Nordik memiliki semangat

terhadap kesetaraan, terutama kesetaraan gender. Dengan demikian negara-negara

Nordik dapat disimpulkan memiliki institusi berupa Negara Kesejahteraan

(stateness dan universalism), bentuk pemerintahan yang demokratis, dan output

berupa peraturan yang menjunjung kesejahteraan (equality).57

Karakteristik negara-negara Nordik yang juga dimiliki oleh Swedia tidak

hanya tercermin dari kebijakan dalam negerinya, tapi juga kebijakan luar

negerinya. Dalam merancang kebijakan luar negerinya, Swedia memiliki sikap

politik yang netral. Pada dasarnya, netralitas kebijakan luar negeri Swedia adalah

tentang mencari berbagai alternatif dan nilai untuk diimplementasikan. Negara

Netral seperti Swedia diidentikkan dengan negara kecil, negara permainan

multilevel, negara demokrasi, dan negara politik wacana.58

Negara kecil memiliki pengertian yang relatif. Pertama, negara kecil

merepresentasikan negara yang lemah karena tidak memiliki pengaruh yang

signifikan sehingga keputusannya tidak terlalu dipertimbangkan di level

internasional. Namun pengertian lainnya menekankan pada negara-negara yang

power-nya lebih condong bersifat imateriil, seperti menjunjung norma,

kebudayaan, dan lain-lain. Sedangkan negara permainan multilevel merujuk pada

57

Pedersen dan Kuhnle, “The Nordic Welfare State Model.” 58

Jan Martin Rolenc, “Means, Goals, and Sources of Foreign Policy: The Case of

Sweden,” Paper Draft for The ISA 2013 Convention (USA, 2013), 5-6.

Page 36: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

24

negara yang dalam merumuskan kebijakan luar negerinya dipengaruhi oleh semua

level, baik level individu, elit, negara, sistemik, dan level lainnya. 59

Kemudian negara demokrasi yang dimaksud adalah negara yang kebijakan

luar negerinya sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Adapun negara yang

berpolitik wacana merupakan negara yang dalam praktiknya gencar

mempromosikan wacana idealis tentang potensi ketentraman dan capaian

normatif. Negara yang berpolitik wacana sering melakukan strategi diskursif,

naratif, atau argumentatif untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Secara garis

besar, netralitas Swedia memiliki empat nilai, yaitu sukarela, aktif, fleksibel, dan

normatif.60

Dalam merumuskan kebijakan luar negeri yang bersikap netral, aktor yang

berperan penting di Swedia adalah Riksdag dan pemerintah. Riksdag adalah badan

politik terpenting di Swedia yang menangani fungsi legislatif dengan membuat

keputusan level tertinggi yang dapat diaplikasikan di seluruh belahan Swedia.61

Riksdag terdiri dari 349 anggota yang dipilih setiap empat tahun sekali pada

minggu kedua di bulan September. Anggota Riksdag terdiri dari ketua dewan

legislatif yang disebut Speaker serta perwakilan beberapa partai politik yang

kuotanya ditetapkan secara proporsional. Sedangkan yang dimaksud dengan

pemerintah sendiri terdiri dari seorang perdana menteri dan 22 menteri yang

mengurusi bidangnya masing-masing. Perdana menteri tersebut juga dipilih oleh

59

Rolenc, “Means, Goals, and Sources of Foreign Policy,” 5-6. 60

Rolenc, “Means, Goals, and Sources of Foreign Policy,” 6-7. 61

Ingela Bjorck dan Bulle Davidsson, Sweden – A Pocket Guide (Norrköping, Sweden:

The Swedish Integration Board 2001), 30.

Page 37: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

25

Riksdag, kemudian perdana menteri terpilih berhak menentukan anggota

pemerintahannya atas persetujuan Riksdag.62

Riksdag berkontribusi dalam penyusunan kebijakan luar negeri Swedia

setidaknya dalam tiga hal. Pertama, dengan mengadakan debat kebijakan luar

negeri setiap bulan Februari. Debat dibuka dengan presentasi dari Menteri Luar

Negeri tentang kebijakan luar negeri yang ingin dicapai serta isu-isu lainnya.

Kemudian presentasi tersebut diikuti oleh debat antar-partai yang berada di dalam

Riksdag.63

Kedua, di dalam tubuh Riksdag terdapat badan khusus yang mengurusi

kebijakan luar negeri, yaitu The Advisory Council on Foreign Affairs. The

Advisory Council on Foreign Affairs adalah badan yang bertugas untuk

mendiskusikan kebijakan luar negeri dengan pemerintah. Council ini terdiri dari

seorang Speaker dan 18 anggota Riksdag lainnya. Council ini diketuai oleh Raja.

Ketiga, Speaker yang juga merupakan representasi dari Swedia di kancah

internasional turut memberikan sumbangsih terhadap peran Riksdag terhadap

kebijakan luar negeri Swedia.64

Kebijakan luar negeri Swedia memiliki prioritas yang mendasar, seperti

asistensi pembangunan terhadap negara-negara berkembang dan miskin,

pencegahan konflik baik di Swedia sendiri maupun di wilayah negara lain,

penjagaan perdamaian di seluruh dunia, penanggulangan permasalahan pengungsi,

62

“Members and Parties,” Sveriges Riksdag [database on-line]; tersedia di

http://www.riksdagen.se/en/members-and-parties/; diakses pada 11 Februari 2018. 63

“Foreign Policy,” Sveriges Riksdag [database on-line]; tersedia di

http://www.riksdagen.se/en/how-the-riksdag-works/what-does-the-riksdag-do/foreign-policy/;

diakses pada 11 Februari 2018. 64

“Foreign Policy,” Sveriges Riksdag.

Page 38: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

26

dan peraturan perdagangan. Namun setiap pergantian kabinet biasanya terdapat

sedikit penambahan atau pengurangan fokus kebijakan luar negeri. Hal tersebut

dilatarbelakangi oleh situasi yang sedang terjadi di dunia global maupun internal

Swedia sendiri. Seperti misalnya pada 2014, ketika kabinet baru resmi dilantik,

fokus utama kebijakan luar negeri ditambah menjadi promosi demokrasi dan

kesetaraan gender di bawah pemerintah yang feminis.65

B. Perkembangan Feminisme di Swedia

Secara umum, perkembangan feminisme di dunia terdiri dari tiga

gelombang. Feminisme gelombang pertama dimulai pada abad ke-19 hingga awal

abad ke-20 dengan tema identitas pembeda antara laki-laki dan perempuan yang

menyebabkan ketidaksetaraan yang harus dilawan. Feminisme gelombang kedua

tidak memiliki isu yang terlalu jauh dari feminisme gelombang pertama, yaitu

memperjuangkan hak asasi perempuan. Namun pada feminisme gelombang kedua

yang dimulai sejak 1960 hingga 1970 ini, feminisme sudah terbagi menjadi tiga

arah, yaitu Liberal, Marxist, dan Radikal. Feminisme Liberal fokus

menghilangkan batasan antara laki-laki dan perempuan dalam hak-haknya,

sementara itu Feminisme Marxist membela perempuan pekerja kelas bawah yang

tidak digaji secara sepadan, sedangkan Feminisme Radikal justru ingin

menghapus adanya perbedaan standar, nilai, asumsi, dan identitas antara laki-laki

maupun perempuan. 66

65

Jan Joel Andersson, Sweden (NY, USA: Freedom House), 1. 66

Valentina Schiavo, “I am Swedish, I am a Woman: Exploring Swedish Women‟s

Identity Construction,” Report nr. 2016:104 (University of Gothenburg, 2016), 5.

Page 39: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

27

Kemudian feminisme gelombang ketiga hadir untuk mengkritik feminisme

gelombang kedua yang terlalu fokus membela hak kaum perempuan Barat, kelas

menengah, dan heteroseksual. Feminisme gelombang ketiga berpendapat bahwa

perempuan itu berbeda satu dengan yang lainnya berdasarkan etnis, kelas, ras,

kewarganegaraan, dan seksualitas. Untuk itu, hak kaum perempuan yang dibela

mestilah mewakili hak kaum perempuan di belahan dunia lainnya.67

Di Swedia sendiri, norma kesetaraan gender atau feminisme yang

kemudian menjadi nilai formal dalam kebijakan Swedia berkaitan erat dengan

perkembangan mobilisasi perempuan dalam berbagai bidang. Sebagaimana yang

dikatakan oleh Norris berikut:

Among the crucial determinants are socioeconomic factors, such as

education, labour market participation, urbanization, and the extent of

social provision; cultural factors, as exemplified by traditionalist values

or a commitment to equality; and institutional factors, like the electoral

system, stability of the party system, and types and strength of political

parties.68

Berdasarkan pernyataan Norris tersebut, maka perkembangan feminisme Swedia

dapat dibagi ke dalam beberapa kategori besar berikut:

1. Ekonomi

Aktivitas ekonomi Swedia pada abad ke-19 fokus pada proses

industrialisasi. Sebelumnya pada abad ke-18, Swedia menjadi negara yang cukup

miskin dalam perekonomian karena hanya bergantung pada sektor pertanian

tradisional sebagai sumber pendapatannya. Namun pada abad ke-19, mulai terlihat

kemajuan dalam industrialisasi pertanian, misalnya penemuan teknologi untuk

67

Schiavo, “I am Swedish, I am a Woman,” 6. 68

Diane Sainsbury, “Women‟s Political Representation in Sweden: Discursive Politics

and Institutional Presence,” Scandinavian Political Studies, Vol. 27 No. 1 (Nordic Political Science

Association: 2004), 66.

Page 40: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

28

mengeksploitasi lahan pertanian dan pengenalan varietas pertanian baru seperti

kentang. Setelah agraria Swedia sudah dimekanisasi, industrialisasi pun

merambah ke sektor lain, seperti manufaktur. Industrialisasi tersebut menjadikan

Swedia sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat pada

pertengahan 1980.69

Selain berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, industrialisasi juga

berdampak pada perkembangan feminisme di Swedia. Pada 1930-1940an, terjadi

peningkatan yang signifikan pada jumlah perempuan yang memasuki lapangan

pekerjaan di luar profesi asisten rumah tangga. Kemudian pada 1970, tenaga kerja

perempuan di Swedia semakin meningkat. Namun bedanya, pekerjaan yang

dilakukan tidak penuh waktu, melainkan paruh waktu. Lalu pada 1975, angkatan

kerja perempuan di Swedia yang terhitung sebanyak empat puluh persen mulai

memasuki karier yang berlevel internasional.70

Berdasarkan analisis faktor, terdapat hubungan yang berbanding lurus

antara tingkat industrialisasi dengan tingkat pendidikan. Swedia yang mulai

menjadi negara industri pada abad ke-19 juga menekankan aspek pendidikan agar

warga negaranya dapat mengimbangi perkembangan yang sedang terjadi. Pada

1970, jumlah murid laki-laki dan perempuan cenderung seimbang di tingkat

pendidikan menengah. Namun pada pendidikan tinggi, proporsi mahasiswa laki-

laki masih lebih banyak daripada mahasiswa perempuan. Seiring berkembangnya

proses industrialisasi, pada 1974 mulai terjadi peningkatan jumlah perempuan

69

Elina Haavio-Mannila, The Position of Women (University of Helsinki), 555-557. 70

Haavio-Mannila, The Position of Women, 555-557.

Page 41: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

29

yang menempuh pendidikan tinggi. Hal tersebut tentunya berdampak pada pola

pikir perempuan yang semakin maju.71

2. Pergerakan dan Organisasi Perempuan

Majunya pemikiran perempuan Swedia yang telah menempuh pendidikan

serta didorong oleh kontradiksi terhadap sistem ekonomi kapitalis berpengaruh

pada lahirnya pergerakan dan organisasi perempuan.72

Di Swedia, organisasi

perempuan pertama yang berdiri adalah Föreningen För Gifta Kvinnors

Äganderätt (Association for Married Women's Property Right) yang dibentuk

pada 1873. Pergerakan tersebut diperluas dengan peresmian Fredrika-Bremer-

Förbundet pada 1884. Dengan beranggotakan 8.000 orang, organisasi tersebut

memiliki visi untuk meraih kesetaraaan antara laki-laki dan perempuan dalam

skala domestik, profesional, dan masyarakat. Visi tersebut dijalankan dengan

berbagai cara, di antaranya yaitu menyuarakan pemikiran perempuan dengan

menerbitkan jurnal bernama Hertha dan menyediakan banyak beasiswa

pendidikan untuk perempuan.73

Pada 1919, organisasi Sveriges Husmodersföreningars Riksförbund

dibentuk. Organisasi ini fokus pada penyediaan pelatihan vokasional untuk para

ibu rumah tangga. Pembentukan organisasi tersebut didorong oleh proses

industrialisasi yang terlalu memprioritaskan hak-hak perempuan pekerja daripada

ibu rumah tangga. Selain menyediakan pelatihan, organisasi ini juga rutin

mempublikasikan jurnal bernama Hem och Samhälle. Pada 1969, asosiasi ini

berganti nama menjadi Husmodersförbundet Hem och Samhälle. Organisasi ini

71

Haavio-Mannila, The Position of Women, 558-561. 72

Haavio-Mannila, The Position of Women, 561-562. 73

Haavio-Mannila, The Position of Women, 565-566.

Page 42: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

30

pun tercatat menjadi organisasi perempuan bersifat nonpolitis terbesar di Swedia

dengan 32.000 anggota pada kisaran 1978.74

Di Swedia, organisasi pekerja biasanya bekerjasama dengan perserikatan

dagang dalam menangani isu perempuan. Organisasi perserikatan dagang dan

organisasi pekerja memakai jalur pelatihan kemampuan untuk mendidik

perempuan agar lebih layak memasuki pasar kerja. Pada 1947, Women‟s Council

Swedia resmi didirikan di dalam tubuh Federation of Trade Unions atau

perserikatan dagang. 20 tahun kemudian, Women‟s Council tersebut digantikan

dengan LO‟s Råd För Familjefrågor (The Family Council of LO). Kemudian pada

1951-1975, organisasi bernama Arbetsmarknadens Kvinnonämnd ikut berjuang

untuk memaksimalkan keterlibatan perempuan di pasar tenaga kerja.75

Pada 1968 dibentuk lagi sebuah kelompok feminis sosialis bernama Grupp

8. Kelompok tersebut memiliki pertemuan rutin besar, sistem kepengurusan yang

berotasi, dan publikasi berupa jurnal yang dinamakan Kvinnobulletinen. Pada

1973, terdapat sebuah fraksi yang memisahkan diri dari kelompok induk.

Kemudian fraksi tersebut diberi nama Arbetets Kvinnor (Working Women) yang

merupakan pergerakan perempuan proletar yang mendalami isu sosialisme dalam

kancah keilmuan. Fraksi ini lebih fokus untuk memperjuangkan hak-hak

berdasarkan jenis kelamin daripada perjuangan kelas.76

3. Partisipasi Politik

Seiring dengan masifnya pergerakan perempuan dalam organisasi

nonpemerintah dan nonpolitis di Swedia, situasi perpolitikan di Swedia terdorong

74

Haavio-Mannila, The Position of Women, 569. 75

Haavio-Mannila, The Position of Women, 567-568. 76

Haavio-Mannila, The Position of Women, 566.

Page 43: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

31

untuk melibatkan isu perempuan dalam aktivitasnya. Pada abad ke-19 misalnya,

partai-partai politik di Swedia mulai membentuk bagian khusus perempuan di

dalamnya. Salah satu upaya yang paling bersejarah dalam partisipasi politik

perempuan di Swedia adalah anggota perempuan Partai Sosial Demokrat Swedia

yang mempublikasikan Women’s Equality (Kvinnans Jämlikhet 1964), sebuah

program ambisius untuk reformasi Swedia. Dalam program tersebut, Partai Sosial

Demokrat Swedia mengajukan rancangan tentang peraturan perpajakan, pasar

tenaga kerja, pendidikan, keamanan sosial, dan pelayanan publik yang kemudian

diintegrasikan dengan program Towards Equality yang diadopsi oleh Kongres

Partai 1969.77

Sedangkan di dalam parlemen, keterlibatan perempuan Swedia meningkat

secara cepat pada 1965. Dua puluh empat persen anggota parlemen di Swedia

adalah perempuan, yang menurut International Alliance of Women merupakan

rasio tertinggi di antara negara-negara kapitalistik di seluruh dunia pada tahun

tersebut. Mayoritas perempuan dipilih untuk duduk di kursi parlemen oleh partai

sosialis dan konservatif. Namun selepas 1970, partai liberal juga mulai

memperlihatkan dukungannya terhadap perempuan untuk menjadi anggota

parlemen. Kemudian pada 1976, dukungan suara untuk partai moderat meningkat

hingga menempatkan banyak perempuan dari partai tersebut di dalam kabinet.78

Selain berpartisipasi dengan cara menjadi anggota partai dan parlemen,

perempuan Swedia juga aktif berpolitik dengan cara menggunakan hak pilihnya

sejak 1919. Aktifnya partisipasi politik perempuan di Swedia semakin terlihat

77

Sainsbury, “Women‟s Political Representation in Sweden,” 70. 78

Haavio-Mannila, The Position of Women, 573.

Page 44: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

32

pada 1960, di mana terjadi peningkatan besar jumlah pemilih perempuan.

Terhitung bahwa sembilan puluh persen dari total perempuan di Swedia menjadi

pemilih aktif pada tahun tersebut. Jika dibandingkan dengan negara-negara

Nordik lainnya, Swedia ialah negara dengan pemilih perempuan teraktif.79

Seiring dengan berkembangnya feminisme di Swedia, kebijakan

pemerintah Swedia pun secara legal mulai mengarah ke pemenuhan hak-hak

perempuan. Dapat dikatakan bahwa Swedia memiliki kebijakan yang progresif

terkait perempuan yang dijadikan model oleh negara-negara lain dalam menyusun

kebijakan sosialnya. Tidak hanya mempengaruhi kebijakan sosial, feminisme di

Swedia pun mempengaruhi kebijakan-kebijakan lainnya. Bahkan pada masa

pemerintahan baru di 2014, feminisme menjadi topik utama pemerintahan

sehingga pemerintah sendiri mengklaim bahwa Swedia adalah negara dengan

pemerintah dan pemerintahan feminis pertama di dunia.80

C. Feminisme dalam Kebijakan Luar Negeri Kabinet Stefan Lofven

Pada 3 Oktober 2014, Stefan Lofven dari Partai Sosial Demokrat terpilih

menjadi perdana menteri Swedia. Partai Sosial Demokrat memenangkan

1.932.711 suara masyarakat Swedia dengan perolehan tiga puluh satu persen dan

113 kursi. Pengangkatan Stefan Lovfen sebagai perdana menteri Swedia

merupakan titik awal dari realisasi pemerintahan feminis.

79

Haavio-Mannila, The Position of Women, 570-575. 80

Haavio-Mannila, The Position of Women, 566.

Page 45: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

33

Sweden has the first feminist government in the world. This means that

gender equality is central to the Government’s priorities – in decision-

making and resource allocation. A feminist government ensures that a

gender equality perspective is brought into policy-making on a broad front,

both nationally and internationally. Women and men must have the same

power to shape society and their own lives. This is a human right and a

matter of democracy and justice. Gender equality is also part of the

solution to society’s challenges and a matter of course in a modern welfare

state – for justice and economic development.81

Dalam pernyataan tersebut, kebijakan dalam negeri maupun luar negeri

Swedia pada masa kabinet Stefan Lofven menjadikan kesetaraan gender sebagai

prioritasnya. Stefan Lofven pun mengangkat seorang perempuan sebagai menteri

luar negeri Swedia yaitu Margot Wallstrom yang pernah menjadi Special

Representative of the United Nations Secretary-General on Sexual Violence in

Conflict dan Chair of Council of Women World Leaders Ministerial Initiative.82

Sesuai dengan visi dan misi pemerintah feminis Swedia pada umumnya,

Kementerian Luar Negeri Swedia pun fokus pada isu-isu feminisme.

Equality between women and men is a fundamental aim of Swedish

foreign policy. Ensuring that women and girls can enjoy their

fundamental human rights is both an obligation within the framework of

our international commitments, and a prerequisite for reaching

Sweden’s broader foreign policy goals on peace, and security and

sustainable development.83

Kebijakan luar negeri feminis Swedia mulai diberlakukan pada Oktober

2014 dan ditindaklanjuti dengan Swedish Foreign Service Action Plan for

Feminist Foreign Policy 2015-2018. Pada dasarnya, visi yang ingin dicapai dari

81

“A Feminist Government,” Government Offices of Sweden Website [database on-line];

tersedia di http://www.government.se/government-policy/a-feminist-government/; diakses pada 11

Februari 2018. 82

“CV Margot Wallstrom,” Government Offices of Sweden Website [database on-line];

tersedia di http://www.government.se/government-of-sweden/ministry-for-foreign-affairs/margot-

wallstrom/cv-margot-wallstrom/; diakses pada 11 Februari 2018. 83

“Feminist Foreign Policy,” Government Offices of Sweden Website [database on-line];

tersedia di http://www.government.se/government-policy/feminist-foreign-policy/; diakses pada 11

Februari 2018.

Page 46: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

34

tindak lanjut kebijakan luar negeri feminis Swedia yaitu 3R: rights (pemenuhan

hak bagi seluruh perempuan), representation (keterwakilan perempuan dalam

segala bidang), dan resources (pemerataan alokasi sumber daya terhadap

perempuan). Kemudian misi Swedish Foreign Service dilakukan dengan

membidangi tujuh objek berikut: pemenuhan dan kampanye hak asasi manusia,

penghapusan kekerasan, partisipasi dalam upaya perdamaian, partisipasi politik,

pemberdayaan ekonomi, pemenuhan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi,

serta aktivitas internal perempuan.84

Untuk objek pemenuhan dan kampanye hak asasi manusia, beberapa

contoh kebijakannya yang berhasil adalah Swedia mendorong United Nations

Human Rights Council untuk mengeluarkan resolusi tentang perlindungan

kekerasan terhadap anak dan perempuan. Lalu untuk objek partisipasi dalam

penghapusan kekerasan yang sudah dilakukan Swedia, di antaranya Swedia

berkolaborasi dengan International Criminal Court (ICC) dalam memerangi

kekerasan. Kemudian untuk objek partisipasi dalam upaya perdamaian, Swedia

berhasil melibatkan perempuan dalam UN Security Council pada 2017-2018.85

Objek partisipasi politik dijalankan Swedia salah satunya dengan program

Women in Politics (WiP) yang mempromosikan hak politik perempuan. Lalu

objek pemberdayaan ekonomi dijalankan misalnya dengan berkolaborasi bersama

persatuan pengusaha perempuan dari seluruh negara, seperti Winnet Sweden.

Kemudian objek pemenuhan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi yang telah

84

“Sweden‟s Feminist Foreign Policy: Examples From Three Years Of Implementation,”

Government Offices of Sweden, Ministry for Foreign Affairs, 2-3. 85

Sweden‟s Feminist Foreign Policy, 4-9.

Page 47: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

35

dilakukan oleh Swedia contohnya yaitu bekerjasama dengan United Nations

Population Fund (UNFPA) dalam menangani kelahiran tak terencana dan aborsi

yang tak aman. Sedangkan dalam objek dukungan terhadap aktivitas internal

perempuan, Swedia telah membuat pelatihan online terkait feminisme, yaitu

Gender Coach Programme.86

Selain contoh-contoh yang telah disebutkan, masih

banyak lagi hal yang telah Swedia lakukan dalam mewujudkan visi dan misi

pemerintah feminisnya.

Proses industrialisasi Swedia yang mendorong perempuan untuk bekerja

dan berpendidikan tinggi, serta menyebabkan munculnya berbagai pergerakan dan

organisasi perempuan telah mempengaruhi Swedia dalam merumuskan dan

menjalankan kebijakannya dengan perspektif feminisme. Swedia menindaklanjuti

Swedish Foreign Service Action Plan for Feminist Foreign Policy 2015-2018

dengan visi memenuhi hak seluruh perempuan, memastikan keterwakilan

perempuan dalam segala bidang, serta meratakan alokasi sumber daya untuk

perempuan.87

86

Sweden‟s Feminist Foreign Policy, 10-17. 87

Sweden‟s Feminist Foreign Policy.

Page 48: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

36

BAB III

KRISIS PENGUNGSI DI SWEDIA

BAB III membahas tentang krisis pengungsi di Swedia dengan subbab

fenomena krisis pengungsi di Swedia, kebijakan Swedia terkait penanganan krisis

pengungsi, dan dampak perubahan kebijakan Swedia terkait krisis penanganan

krisis pengungsi. Ketiga subbab tersebut patut untuk dibahas karena

memperlihatkan fenomena krisis pengungsi sebagai faktor yang menyebabkan

perubahan kebijakan Swedia serta dampaknya terhadap hubungan internasional.

A. Fenomena Krisis Pengungsi di Swedia

Johannes Hahn menyebutkan bahwa pada 2015 Eropa mengalami krisis

pengungsi terparah sejak Perang Dunia II.88

Istilah krisis pengungsi mulai muncul

saat terjadi peristiwa tenggelamnya lima kapal yang mengangkut ribuan

pengungsi yang hendak menuju ke daratan Eropa pada 2015 lalu. Tenggelamnya

kapal-kapal di Laut Mediterania tersebut menewaskan sebanyak 1.200 pengungsi.

Semenjak kecelakaan itu, keadaan di mana jumlah pengungsi melebihi kapasitas

dan berpotensi membahayakan dikaitkan dengan istilah krisis pengungsi. 89

Krisis pengungsi dapat diartikan sebagai perpindahan manusia terlantar

dari satu negara ke negara lain dalam jumlah besar atau insiden yang melibatkan

pengungsi dan menimbulkan permasalahan di perjalanan maupun di negara

88

“Press Release,” European Commission, 2015 [database on-line]; tersedia di

http://europa.eu/rapid/press-release_IP-15-6212_en.htm; diakses pada 24 Februari 2018. 89

“BAB II: Krisis Pengungsi di Eropa,” UMY Repository [database on-line]; tersedia di

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12289/F.%20BAB%20II.pdf?sequence=6

&isAllowed=y; diakses pada 24 Februari 2018.

Page 49: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

37

tujuan.90

Terdapat tiga kosakata yang berbeda untuk mengkategorisasikan

pengungsi, yaitu pengungsi, migran, dan pencari suaka. Pengungsi adalah orang-

orang yang melarikan diri dari konflik bersenjata yang dilindungi di bawah The

Refugee Convention 1951. Sedangkan migran didefinisikan sebagai orang-orang

yang memilih untuk pindah karena ingin meningkatkan taraf hidup, seperti

mencari pekerjaan dan pendidikan. Kemudian istilah pencari suaka dapat diartikan

sebagai orang-orang yang mendaftar untuk mendapatkan perlindungan

sebagaimana pengungsi, namun klaimnya belum dievaluasi dan diterima.91

Meski

demikian, mayoritas politisi dan peneliti sepakat bahwa ketiga kategori tersebut

dalam keadaan krisis dapat dikaji dan diperlakukan dengan sama.92

Krisis pengungsi Eropa secara umum dipengaruhi oleh dua hal, yaitu

konflik Timur Tengah dan instabilitas ekonomi. Atas dasar itulah terjadi

peningkatan secara masif jumlah pengungsi yang memasuki wilayah Eropa pada

2015; karena orang-orang yang tinggal di negara berkonflik dan memiliki tingkat

ekonomi rendah memandang Eropa sebagai kawasan yang menjanjikan keamanan

dan kesejahteraan.93

Menurut United Nations High Commissioner for Refugees

(UNHCR), pada 2015, jumlah pengungsi yang datang ke Eropa mencapai angka

1.015.078 jiwa.94

Sedangkan menurut Eurostat, jumlah total pengungsi yang

mendatangi Uni Eropa pada 2015 mencapai 997.390 jiwa.

90

“UNHCR Chief Issues,” UNHCR. 91

Alfonso Lara Montero dan Dorothea Baltruks, “The Impact of The Refugee Crisis on

Local Public Social Services in Europe,” The European Social Network Publication (2016): 2. 92

Nevsal Hughes dan George Joffe, “Editorial Board,” The Middle East in London 12(4)

(2016): 4.

94

“Irregular Migrant,” International Organization for Migration.

Page 50: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

38

TABEL III.1. Jumlah Pengungsi di Uni Eropa 2014-201695

Dari tabel tersebut diketahui bahwa Swedia menampung sekitar 120.000

hingga 160.000 jiwa. Jumlah tersebut membuat Swedia menjadi negara penerima

pengungsi terbanyak kedua di Uni Eropa pada 2015.

GAMBAR III.1. Jumlah Pengungsi yang Diterima di Uni Eropa 201596

95

Peter Scholten, “Policy Innovation in Refugee Integration?,” The Dutch Department of

Social Affairs and Employment (2017). 96

Montero dan Baltruks, “The Impact of The Refugee Crisis.”

Country 2014 2015 2016 Total

Belgium 22.710 44.660 18.280 85.650

Denmark 14.680 20.935 6.180 41.795

Germany 202.645 476.510 745.155 1.424.310

France 64.310 76.165 84.270 224.745

Italy 64.625 83.540 122.960 271.125

Netherlands 24.495 44.970 20.945 90.410

Austria 28.035 88.160 42.255 158.450

Sweden 81.180 162.450 28.790 272.420

TOTAL 502.680 997.390 1.068.835 2.568.905

Page 51: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

39

Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa Swedia menerima dua belas

persen dari jumlah keseluruhan pengungsi yang datang ke Eropa. Data tersebut

menjadikan Swedia sebagai negara penerima pengungsi terbesar ketiga di Eropa

setelah Jerman dan Hungaria.97

GAMBAR III.2. Pencari Suaka di Swedia Berdasarkan Tahun dan

Kewarganegaraan 1992-201698

Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas pengungsi yang

diterima oleh Swedia berasal dari negara-negara berkonflik dan tidak stabil secara

politik dan ekonomi, seperti Suriah, Afghanistan, Irak, Eritrea, dan Somalia.99

Swedia menerima banyak pengungsi masuk karena beberapa alasan yang

bersifat idealis maupun materialis. Sebagai model Negara Kesejahteraan, Swedia

merasa perlu untuk menerima pengungsi demi pilar kesetaraan hak bagi semua

orang untuk mendapatkan perlindungan, khususnya dari tindakan rasisme dan

diskriminasi. Selain alasan yang sifatnya idealis, Swedia menerima pengungsi

97

Montero dan Baltruks, “The Impact of The Refugee Crisis.” 98

Susan Fratzke, “Weathering Crisis, Forging Ahead: Swedish Asylum and Integration

Policy,” Transatlantic Council on Migration (2017). 99

Fratzke, “Weathering Crisis, Forging Ahead.”

Page 52: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

40

dalam jumlah banyak karena Swedia memandang pengungsi sebagai aset ekonomi

yang dapat berkontribusi dalam perkembangan ekonomi Swedia. 100

Direktur Umum dari Agensi Pekerja Swedia, Mikael Sjoberg, menyatakan

bahwa kekurangan tenaga pekerja merupakan masalah yang cukup serius. 64.000

imigran dapat membantu Swedia untuk mencegah hal itu terjadi. Pemerintah

Swedia tidak bisa terlalu mengandalkan jumlah tenaga kerja dari Swedia karena

sebagaimana yang dikatakan oleh Johan Bissman, angka kelahiran Swedia sangat

rendah. Untuk mencapai ekonomi yang bertumbuh dibutuhkan peningkatan

populasi yang nantinya dapat dimanfaatkan menjadi tenaga kerja.101

Namun seiring berjalannya waktu, Eropa termasuk Swedia mulai

merasakan dampak negatif dari masifnya kedatangan pengungsi. Secara umum,

dampak yang dirasakan Eropa dari krisis pengungsi yaitu kelangkaan sumber daya

seperti tanah, air, rumah, makanan, dan pelayanan medis akibat pengungsi yang

berkompetisi dengan penduduk lokal untuk mendapatkannya. Nantinya dengan

kelangkaan tersebut, dapat tercipta masalah baru yaitu kenaikan harga dan

turunnya gaji. 102

Di samping itu, perbedaan kultur dan etnis juga bisa menjadi dasar

masalah yang dapat berujung pada kekerasan. Masyarakat Eropa yang

Eurocentric (merasa bahwa peradaban Eropa khususnya Eropa Barat eksepsional

dan maju) identik dengan xenophobia, yaitu ketakutan atau kebencian terhadap

orang asing. Tidak hanya orang asing dari negara lain, namun masyarakat Eropa

100

Bedrudin Brljavac, “Refugee Crisis in Europe: The Case Studies of Sweden and

Slovakia,” Journal of Liberty and International Affairs 3 (2017): 96-98. 101

Brljavac, “Refugee Crisis in Europe,” 96-98. 102

“Refugee Crisis in Europe,” INOMUN Research Report (2015): 7.

Page 53: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

41

yang menetap juga memiliki kecenderungan untuk takut dan benci terhadap

masyarakat Eropa lain yang menjadi migran. Hal tersebut tentunya dapat memicu

konflik antara penduduk dengan pengungsi.103

Faktor lainnya yang menjadi dampak negatif dari besarnya arus pengungsi

khususnya di Swedia adalah ketidakseimbangan gender karena berdasarkan

Swedish Government Statistics, hingga November 2015, tujuh puluh satu persen

pengungsi yang mencari suaka di Swedia berjenis kelamin laki-laki. Lebih dari

dua puluh satu persen pengungsi laki-laki tersebut diklasifikasikan sebagai

unaccompanied refugee (pengungsi yang tidak didampingi) berusia remaja atau

dewasa muda. Secara total, pada 2015, pengungsi laki-laki di Swedia berjumlah

105.503 orang, sedangkan pengungsi perempuan hanya 43.525 orang.104

Kemudian hal tersebut dikaitkan dengan banyaknya kekerasan berbasis

gender yang dialami oleh perempuan, baik yang berstatus pengungsi maupun

penduduk lokal Swedia.105

Seperti yang dilaporkan The Women‟s Refugee

Commission (WRC), bahwa selama proses migrasi, perempuan sering

mendapatkan kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual. Setelah

memasuki Swedia, para perempuan tersebut berekspektasi untuk mendapatkan

rasa aman dari kekerasan berbasis gender, namun yang terjadi justru perempuan

tersebut tetap mendapatkan kekerasan.106

Dampak negatif tersebut dibuktikan dengan peningkatan angka

kriminalitas di Swedia, terutama dalam bentuk kekerasan terhadap perempuan dan

103

Brljavac, “Refugee Crisis in Europe,” 94. 104

George Joseph, “Country Report: Sweden,” Asylum Information Database (2015): 2. 105

Joseph, “Country Report: Sweden.” 106

Marcy Hersh, “Falling Through the Cracks: Refugee Women and Girls in Germany

and Sweden,” Women’s Refugee Commission Report (2016): 3.

Page 54: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

42

anak-anak. Dalam situs resmi pemerintah Swedia, tercatat bahwa terdapat

peningkatan pelaporan pemerkosaan yang dilaporkan ke pemerintah Swedia.107

Selain itu, terdapat beberapa kasus anak-anak yang direkrut oleh pengedar

narkoba, geng, komunitas perbudakan seks, dan kelompok yang bertendensi untuk

melakukan aksi terorisme. Korbannya tidak hanya orang-orang yang berstatus

pengungsi, namun juga warga negara Swedia.108

The Swedish National Council of Crime melaporkan bahwa pada 2015,

kekerasan terhadap anak meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 3.797 menjadi

4.071 (usia 0-6 tahun), 9.866 menjadi 10.389 (7-14 tahun), dan 5.426 menjadi

6.382.109

Kemudian kekerasan yang menyebabkan kematian pada perempuan juga

angkanya cenderung meningkat, yaitu dari 25 menjadi 29.110

Persentase

pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan pun meningkat dari dua

persen menjadi tiga persen.111

107

“Facts About Migration and Crime in Sweden 2017,” Website of the Government and

the Government Offices, 2017 [database on-line]; tersedia di

http://www.government.se/articles/2017/02/facts-about-migration-and-crime-in-sweden/; Internet;

diakses pada 30 September 2017. 108

“Thematic Focus: Gender-Based Violence,” European Union Agency for Fundamental

Right, 2016 [database on-line]; tersedia di http://fra.europa.eu/en/theme/asylum-migration-

borders/overviews/focus-gender-based-violence; Internet; diakses pada 30 September 2017. 109

“Child Abuse,” The Swedish National Council for Crime Prevention

(Brottsförebyggande rådet - Brå), 2016 [database on-line]; tersedia di https://www.bra.se/bra-in-

english/home/crime-and-statistics/child-abuse.html; Internet; diakses pada 29 Oktober 2017. 110

“Murder and Manslaughter,” The Swedish National Council for Crime Prevention

(Brottsförebyggande rådet - Brå), 2016 [database on-line]; tersedia di https://www.bra.se/bra-in-

english/home/crime-and-statistics/murder-and-manslaughter.html; Internet; diakses pada 29

Oktober 2017. 111

“Rape and Sexual Offences,” The Swedish National Council for Crime Prevention

ANALISISenglish/home/crime-and-statistics/rape-and-sex-offences.html; Internet; diakses pada 29

Oktober 2017.

Page 55: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

43

B. Kebijakan Swedia terkait Penanganan Krisis Pengungsi

Dalam merespons arus masuk pengungsi, Swedia ialah salah satu negara

penerima pengungsi terbanyak di Eropa dan menyediakan akomodasi jangka

panjang terhadap para pengungsi jika aplikasi kepengungsiannya sudah

diterima.112

Pada awal pemerintahan Stefan Lofven, Swedia memegang teguh

citranya sebagai negara dengan sistem kepengungsian yang progresif dan

berpengalaman. Merujuk pada The Convention Relating to The Status of Refugees

or Individuals Fleeing Torture and Indiscriminant Conflict 1951, Swedia

memberikan pelayanan terbaik untuk para pengungsi.113

Perdana Menteri Swedia

Stefan Lofven sempat berbicara agak keras menanggapi respons negara lain yang

tertutup terhadap kedatangan pengungsi.

Some selfish approach to the EU’s refugee and migrant crisis completely

unacceptable and incompatible with humane European values. I can

understand it if you say this crisis is a worry. But to say: ‘This isn’t my

problem, we can’t accept Muslims’ — no, I don’t think this is part of our

European values, and I can’t understand this kind of attitude.114

Namun pada November 2015, Stefan Lofven mengadakan pertemuan

dengan pers dan menyatakan bahwa Swedia sudah tidak bisa lagi menampung

lebih banyak pengungsi. Sebelumya pada Oktober 2015, Swedia pun sudah

mengumumkan outline tentang kebijakan restriksi terhadap pengungsi yang

masuk ke Swedia. Kebijakan restriksi tersebut oleh media dan peneliti disebut

dengan Kebijakan Putar Balik atau U-Turn Policy.115

Berikut ialah beberapa

bentuk kebijakan U-Turn Policy yang dijalankan atas sinergi berbagai pihak,

112

Hersh, “Falling Through the Cracks”, 6. 113

Fratzke, “Weathering Crisis, Forging Ahead,” 6. 114

Brljavac, “Refugee Crisis in Europe,” 97. 115

Fratzke, “Weathering Crisis, Forging Ahead,” 8.

Page 56: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

44

terutama Kementerian Luar Negeri Swedia (Utrikesdepartementet), Badan

Legislatif Swedia (Riksdag), dan Agensi Migrasi Swedia (Migrationsverket).

1. Swedish-Danish Temporary Border Check (Pemeriksaan Perbatasan

Sementara Swedia-Denmark)

Peraturan ini merupakan bentuk kerjasama bilateral antara Swedia dengan

Denmark yang dibuat dengan tujuan memperlambat dan mengurangi jumlah

manusia yang berpindah melewati perbatasan. Peraturan ini mengharuskan

pendatang yang memasuki perbatasan menunjukkan paspor dan dokumen

perjalanan lainnya kepada petugas yang berjaga. Jika pendatang tidak bisa

menunjukkan syarat yang harus ia bawa, maka petugas penjaga perbatasan akan

dengan tegas melarang pengungsi memasuki Swedia dan Denmark.116

2. Reduce Level of Benefits and Protection Rights (Mengurangi Manfaat

dan Hak Proteksi)

Sementara itu, pengungsi yang sudah diterima oleh Swedia, terkena

peraturan baru di mana Swedia mengurangi pelayanan dan perlindungan terhadap

pengungsi tersebut. Kebijakan ini termasuk ke dalam kebijakan yang

kontroversial karena bersinggungan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia.

Beberapa di antaranya seperti peniadaan izin tinggal permanen, melainkan hanya

memberi izin tinggal sementara. Lalu penerimaan pengungsi dengan syarat

tertentu, misalnya karena bencana alam, penyakit kritis, atau masih di bawah

umur tanpa pendampingan, tidak lagi diurusi oleh Swedia. Swedia hanya

berpegang pada definisi utama dari pengungsi, yaitu orang yang berpindah karena

116

Fratzke, “Weathering Crisis, Forging Ahead,” 8-10.

Page 57: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

45

konflik bersenjata di negaranya. Selain pengungsi dengan definisi tersebut,

Swedia tidak mau menerima. Selain itu, Swedia juga membatasi reunifikasi

keluarga untuk para pengungsi. Hal tersebut membuat pengungsi sulit bertemu

dengan sanak keluarganya.117

3. Invest in Refugees (Berinvestasi pada Pengungsi)

Berinvestasi pada pengungsi bermakna pemerintah Swedia melihat pencari

suaka sebagai aset ekonomi dan manusia yang berhak untuk bekerja serta

mendapatkan penghasilan. Pemerintah Swedia ingin pengungsi yang masuk ke

Swedia ialah pengungsi yang dapat diberdayakan secara layak. Para pencari suaka

yang akan dinilai kelayakannya untuk mendaftar menjadi pengungsi di Swedia

diberi pelatihan kemampuan, pengalaman kerja, dan pemetaan keahlian. Proses ini

dilaksanakan setelah pencari suaka memasukkan aplikasinya ke Swedia, namun

belum diterima sebagai pengungsi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketika

pencari suaka tidak memperlihatkan potensi yang bagus saat masa pelatihan, maka

kemungkinan besar pencari suaka tidak diterima sebagai pengungsi di Swedia.118

4. Medical Test to Determine Age (Tes Medis untuk Mengetahui Usia)

Sebelum bisa menjadi pengungsi Swedia, para pencari suaka harus

mengikuti serangkaian tes kesehatan untuk membuktikan usia asli pencari suaka

tersebut. Hal ini ditujukan untuk menghindarkan Swedia dari menerima pengungsi

dengan identitas palsu. Namun kebijakan ini tidak lama diberlakukan karena

menuai kritik. Salah satu kritik yang diperoleh pemerintah Swedia berasal dari

The National Board of Health and Welfare (Socialstyrelsen). Socialstyrelsen

117

Fratzke, “Weathering Crisis, Forging Ahead,” 8-10. 118

Fratzke, “Weathering Crisis, Forging Ahead,” 8-10.

Page 58: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

46

menyatakan bahwa mengetahui usia asli seseorang dengan tes kesehatan adalah

hal yang tidak reliable.119

5. Return of Refugees (Pemulangan Pengungsi)

Oleh karena banyaknya pengungsi yang tidak didampingi datang ke

Swedia, akhirnya pemerintah Swedia memutuskan untuk memulangkan

pengungsi-pengungsi tersebut kembali ke negara asalnya. Salah satu negara yang

pengungsinya dipulangkan oleh Swedia adalah Afghanistan, sebab Afghanistan

menjadi salah satu negara asal dari banyaknya pengungsi. Swedia tidak langsung

memulangkan pengungsi Afghanistan begitu saja ke negara asalnya, namun

terdapat proses negosiasi yang berujung pada perjanjian kesepakatan kedua belah

pihak. Swedia berupaya agar pihak negara asal menerima keputusan Swedia untuk

memulangkan warga negaranya.120

C. Dampak Perubahan Kebijakan Swedia terkait Penanganan Krisis

Pengungsi

Perubahan kebijakan Swedia terhadap pengungsi dari Open Door Policy

menjadi U-Turn Policy memiliki dampak yang cukup signifikan, terutama dalam

ranah hubungan internasional kawasan Eropa. Eropa merupakan kawasan yang

terintegrasi, sehingga jika terdapat perubahan dalam suatu negara dapat

berdampak pada negara-negara Eropa lainnya. Berikut ialah beberapa dampak

dari perubahan kebijakan Swedia terkait penanganan krisis pengungsi:

119

Elin Hofverberg, “Refugee Law and Policy: Sweden,” Library of Congress Legal

Report, 2016 [database on-line]; tersedia di https://www.loc.gov/law/help/refugee-

law/sweden.php; diakses pada 24 Februari 2018. 120

Elin Hofverberg, “Refugee Law and Policy: Sweden.”

Page 59: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

47

1. Kegagalan Integrasi Eropa

Stefan Lehne menyoroti fenomena perubahan kebijakan Swedia terkait

krisis pengungsi Eropa berdampak pada gagalnya proses integrasi di kawasan

Eropa. Masalah krisis pengungsi adalah masalah bersama kawasan Eropa, maka

tidak semestinya satu atau beberapa negara di Eropa menangani masalah krisis

pengungsi dengan cara yang tidak komunal. Negara-negara Eropa seharusnya

menjalankan kebijakan yang sinergis dan searah dalam menghadapi masalah

bersama tersebut.121

Jensen menjelaskan bahwa integrasi Eropa seharusnya bersifat spillover,

yaitu jika terjalin kerjasama di suatu bidang, maka kerjasama itu mengharuskan

terjadinya kerjasama di bidang lainnya. Terdapat tiga tipe spillover, yaitu

functional spillover, political spillover, dan cultivated spillover. Functional

spillover dilakukan untuk kebutuhan yang bersifat fungsional atau teknikal,

political spillover dilakukan atas dasar alasan ideologis atau politis, cultivated

spillover dilakukan dengan keterlibatan aktor supranasional atau transnasional

yang mendorong agenda bersama untuk diterapkan oleh anggota-anggota

negaranya, bahkan ketika anggota negaranya tidak terlalu setuju dengan agenda

itu.122

Dalam integrasi juga dikenal istilah sosialisasi elit dan kelompok

kepentingan, di mana para petinggi dan organisasi atau perusahaan suatu negara

jika menghadapi masalah bersama tidak lagi membawa kepentingan negaranya.

Apabila suatu negara di Eropa sudah berpartisipasi, maka kepentingan yang harus

121

Brljavac, “Refugee Crisis in Europe,” 93. 122

Carsten S. Jensen, “Neo-functionalism,” European Union Politics (Oxford: Oxford

University Press, 2006).

Page 60: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

48

diperjuangkan adalah kepentingan kawasan Eropa. Sifat dari kepentingan tersebut

juga tidak lagi politis, namun lebih bersifat teknis. Pada intinya, sosalisasi elit dan

kelompok kepentingan dalam integrasi Eropa menempatkan aktor supranasional

atau transnasional sebagai pemilik power yang independen dan kuat, sehingga

negara-negara anggota harus menyepakati kebijakannya.123

Dalam kasus perubahan kebijakan Swedia terkait krisis pengungsi, Swedia

mengambil keputusan yang tidak memunculkan sifat spillover dan sosialisasi elit

serta kelompok kepentingan yang menjadi ciri integrasi Eropa. Juru bicara Angela

Merkel, Steffen Seibert, mengkritik langkah Swedia dan menawarkan joint

solution di antara negara-negara anggota Uni Eropa untuk menghadapi krisis

pengungsi tersebut. Jerman menekan Swedia untuk tidak mengambil keputusan

sendiri.124

Namun di sisi lain negara-negara Eropa lain pun tidak mau berbagi

kuota pengungsi dengan Swedia. Ketika Swedia mengeluarkan keputusan

mandirinya, negara-negara Eropa lain justru banyak mengkritik. Ketidaksinkronan

antara pandangan dan implementasi kebijakan Swedia dengan negara-negara

Eropa lain inilah yang digarisbawahi sebagai tanda-tanda kegagalan proses

integrasi Eropa.125

2. Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan Munculnya Instabilitas

Ekonomi serta Keamanan di Negara-Negara Schengen

Perubahan kebijakan Swedia terkait penanganan krisis pengungsi juga

berdampak pada komitmen Swedia terhadap Perjanjian Schengen. Perjanjian

123

Andrew Moravcsik, The Choice of Europe Social Purpose and State Power from

Messina to Maastricht, (Ithaca: Cornel University Press, 1998). 124

“Germany Sees Schengen in Danger.” 125

Brljavac, “Refugee Crisis in Europe,” 93.

Page 61: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

49

Schengen adalah perjanjian yang ditandatangani pada 14 Juni 1985 di Schengen,

Luksemburg, oleh Prancis, Jerman Barat, Belanda, Luksemburg, dan Belgia.

Perjanjian ini dilatarbelakangi oleh visi untuk menjamin kebebasan bergerak

manusia di wilayah negara yang menandatangani perjanjian ini. Diduga kuat

perjanjian ini merupayakan upaya integrasi Eropa setelah pasar bebas berhasil

menjamin kebebasan barang, jasa, dan modal. Pada 19 Juni 1990, tindak lanjut

dari Perjanjian Schengen pun disepakati. Tindak lanjut tersebut dinamakan

Konvensi Schengen yang lima tahun kemudian disahkan menjadi kerangka kerja

Uni Eropa.126

Seiring dengan perkembangannya, negara anggota Schengen semakin

bertambah. Saat ini negara yang bergabung mencapai 22 negara dengan tiga

negara non-Uni Eropa dan dua negara yang tidak terikat penuh. Total negara yang

bergabung dengan Schengen menjadi sebanyak 27 negara, yaitu Prancis, Jerman,

Belanda, Luksemburg, Belgia, Italia, Portugal, Spanyol, Austria, Yunani,

Denmark, Finlandia, Swedia, Ceko, Slovakia, Polandia, Slovenia, Latvia,

Lithuania, Estonia, Hungaria, dan Malta.127

Peraturan yang diatur dalam Perjanjian Schengen adalah penghapusan

kontrol perbatasan, prosedur kontrol perbatasan bersama, harmonisasi visa, dan

Schengen Information System (SIS) yang merupakan kerjasama keamanan

kepolisian antarnegara.128

Perubahan kebijakan Swedia yang menjadi tertutup

terhadap kedatangan pengungsi dianggap merupakan pelanggaran dari kebijakan-

126

Rima Rizkiyah, “Perjanjian Schengen dan Maastricht,” Skripsi Universitas Indonesia

(2015): 1-3. 127

Rima Rizkiyah, “Perjanjian Schengen dan Maastricht,” 1-3. 128

Rima Rizkiyah, “Perjanjian Schengen dan Maastricht,” 3-5.

Page 62: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

50

kebijakan tersebut. Lebih khususnya lagi, U-Turn Policy melenceng dari tujuan

utama Perjanjian Schengen, yaitu menjamin kebebasan bergerak manusia di

kawasan Schengen. Selain itu, gagalnya Perjanjian Schengen merugikan negara-

negara lainnya khususnya dalam segi ekonomi. Mobilitas pekerja, barang, dan

jasa yang lambat akan menghambat aktivitas perdagangan antarnegara. Menurut

Donald Tusks, Parlemen Eropa dan Uni Eropa harus tegas dalam menanggapi U-

Turn Policy Swedia ini. Sebab jika tidak, maka Perjanjian Schengen tidak ada

gunanya lagi.129

3. Pelanggaran terhadap Identitas Negara Nordik

Selain melanggar Perjanjian Schengen, U-Turn Policy juga menyalahi

prinsip yang dianut negara-negara Nordik. Carl Bildt berkata bahwa U-Turn

Policy Swedia telah merusak tradisi lama negara-negara Nordik, khususnya

Nordic Council of Open Borders dan Nordic Passport Union yang disahkan pada

1954.130

Bernie Sanders mengatakan bahwa Swedia yang merupakan model

Negara Kesejahteraan paling ideal seharusnya mampu membuktikan bahwa

Swedia tidak membeda-bedakan dalam pemenuhan kesejahteraan untuk warga

negara Swedia maupun para pendatang. Menurut Sanders, Swedia tidak perlu

memperketat peraturan mengenai pengungsi.131

Part Frohnert, penulis buku Reaching a State of Hope, beranggapan bahwa

seharusnya Swedia meninjau ulang perubahan kebijakannya karena hal tersebut

129

Irene Zugasti, “To Welcome or Not to Welcome: What Civil Society Does for

Refugees?,” Special Report on The Civil Society Responses to Refugee Crisis (2016): 2. 130

“Germany Sees Schengen in Danger.” 131

“How Immigration is Changing The Swedish Welfare State,” The Economist, 2017

[database on-line]; tersedia di https://www.economist.com/blogs/economist-

explains/2017/06/economist-explains-20; diakses pada 24 Februari 2018.

Page 63: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

51

berkaitan dengan jati diri Swedia sebagai negara sosial-demokrat yang maju.

Frohnert menjabarkan bahwa citra diri Swedia sudah terbentuk sejak Perang

Dunia II berakhir, di mana Swedia yang sebelumnya beretnis homogen membuka

diri terhadap kedatangan pengungsi dari Norwegia, Estonia, dan Yahudi Denmark

untuk menjadi lebih multikultural di bawah naungan sosial-demokrasinya.

Menerima pengungsi merupakan simbol komitmen Swedia terhadap prinsip moral

yang sejak lama dibangun. Jika U-Turn Policy tetap dilaksanakan, maka citra diri

Swedia sebagai negara sosial-demokrat tidak lagi dapat relevan.132

.

The Europe that rose from the cataclysm of World War II understood

itself not simply as a collection of peoples, white and Christian, but as a

community of shared values. The refugee crisis has forced Europeans to

choose between the moral universalism they profess and the ancient

identities they have inherited. …the Muslim influx threatens Europe’s

liberal, secular consensus; but rejecting the refugees also shakes one of

the great pillars of that consensus.133

Namun di sisi lain, dalam kutipan di atas James Traub berpendapat bahwa

identitas Swedia yang asli justru bukan sebagai negara sosial-demokrat yang

ramah terhadap pengungsi. Identitas Swedia yang sesungguhnya adalah identitas

Eropa, yaitu berkulit putih dan menganut Kristen. Perubahan kebijakan Swedia

tersebut merupakan wujud kebingungan Swedia dalam memilih di antara

universalisme moral dengan identitas kunonya. Kebingungan tersebut bisa

merusak tatanan konsensual Eropa.134

132

“The Death of the Most Generous Nation on Earth,” Foreign Policy Feature, 2016

[database on-line]; tersedia di http://foreignpolicy.com/2016/02/10/the-death-of-the-most-

generous-nation-on-earth-sweden-syria-refugee-europe/; diakses pada 24 Februari 2018. 133

“The Death of the Most Generous Nation on Earth.” 134

“The Death of the Most Generous Nation on Earth.”

Page 64: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

52

BAB IV

ANALISIS FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

SWEDIA TERKAIT KRISIS PENGUNGSI PERIODE 2014-2017

Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam BAB II, bahwasanya Swedia

merupakan negara yang basisnya adalah Negara Kesejahteraan dan Feminis, maka

ketika menghadapi masalah krisis pengungsi yang dibahas pada BAB III, Swedia

tidak akan melepas basisnya tersebut meski mendapatkan reaksi yang kontra dari

pihak-pihak lain. Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah

dikemukakan pada BAB I, alasan Swedia dalam mengubah kebijakan Open Door

Policy menjadi U-Turn Policy pada masa krisis pengungsi jika dikaji dengan

perspektif Feminisme Liberal, Feminist Security Theory, dan Feminist Foreign

Policy adalah sebagai berikut:

A. Isu Ketidaksetaraan Gender sebagai Pemicu Opini Publik yang Anti-

Imigran di Swedia

Di Swedia, terdapat beberapa kejadian yang menggiring opini publik serta

pemerintah ke arah yang lebih negatif dalam melihat pengungsi. Pada acara

festival musik di Swedia, di antaranya Bråvalla Festival di Norrköping dan

Karlstad's Free Annual Putte i Parken (Party in the Park), dilaporkan telah terjadi

pelecehan seksual terhadap ratusan perempuan dengan usia termuda korban yaitu

12 tahun. Bentuk pelecehan seksual yang dilaporkan yaitu pemerkosaan gadis-

gadis remaja oleh gerombolan lelaki serta perabaan bagian tubuh pribadi saat

Page 65: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

53

sedang berhimpitan menonton konser. Menurut keterangan saksi dan korban, para

pelaku bukan berkebangsaan Swedia karena berkulit hitam dan berwajah Arab.135

Media massa berpengaruh seperti Dagens Nyheter juga mengonfirmasi bahwa

pelakunya adalah pengungsi. Britt Borjesson mengatakan bahwa hal tersebut valid

karena Swedia memiliki hukum yang melarang media untuk menyebarkan

informasi mengenai tersangka sebelum mendapat konfirmasi resmi dari pihak

berwenang di Swedia.136

Sejak kejadian itu, media sosial dipenuhi oleh hashtag

#refugeesnotwelcome dan #rapefugees. Tujuh puluh lima persen gambar dan lima

puluh lima persen status yang terpublikasi mengaitkan pengungsi dengan

kekerasan berbasis gender. Masyarakat kemudian mulai menyuarakan gagasannya

di media sosial bahwa pemerintah harus menutup akses kepada pengungsi.137

Saat

opini masyarakat membentuk pola yang hampir sama, media massa juga gencar

menyuarakan isu ketidaksetaraan gender yang diduga diakibatkan oleh banyaknya

pengungsi yang Swedia terima. Salah satu media yang paling sering

mempublikasikan isu tersebut adalah Dagens Nyheter, sebuah majalah beraliran

liberal yang menjadi media paling berpengaruh di Swedia.138

135

“Are Migrants Really Raping Swedish Women?,” The Daily Beast, 2016 [database on-

line]; tersedia di https://www.thedailybeast.com/are-migrants-really-raping-swedish-

women?ref=scroll; diakses pada 27 Februari 2018. 136

“What‟s in a Name: Crime Suspects and The Swedish Press,” The Local Sweden, 2016

[database on-line]; tersedia di https://www.thelocal.se/20090223/17716; diakses pada 7 Juli 2018. 137

“Why Aren't European Feminists Arguing Against The Anti-Immigrant Right?,” Open

Democracy, 2016 [database on-line]; tersedia di https://www.opendemocracy.net/5050/why-are-

european-feminists-failing-to-strike-back-against-anti-immigrant-right; diakses pada 27 Februari

2018. 138

“Swedish Feminists Thread Needle Between Sexism and Racism in Migrant

Controversy,” TIME, 2016 [database on-line]; tersedia di http://time.com/4182186/sweden-

feminists-sexual-assault-refugees/; diakses pada 27 Februari 2018.

Page 66: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

54

Selain kasus kekerasan seksual, angka kriminalitas lain seperti

pembunuhan, penganiayaan, vandalisme, dan lain sebagainya juga cenderung

meningkat di tahun puncak krisis pengungsi. Swedia berupaya merespons situasi

tersebut dengan menyatakan bahwa tidak ada kaitan langsung antara peningkatan

kasus kriminal dengan banyaknya pengungsi. Namun Dr. Tino Sanandaji, seorang

ekonom dari Swedia mengkritik pernyataan pemerintah Swedia tersebut yang

terkesan menutupi data dan fakta.

The official government homepage says there is no firm link between

immigration and crime. They're irrational and they're in a bubble. It's

sort of the feeling of 'fake news.' They're putting propaganda on our

government website. They will use irrational, aggressively irrational

arguments to deny all causal links. They say things like 'the common

denominator in honor killings is men (rather than 'migrant men'); just an

illogical rhetorical trick to confuse people.139

Di samping kriminalitas yang melekat pada diri pengungsi, pengungsi di

Swedia juga dianggap sebagai ancaman karena kedatangan pengungsi

menciptakan gender imbalance (ketidakseimbangan gender) di Swedia. Pengungsi

yang datang ke Swedia dua pertiganya berjenis kelamin laki-laki dan sembilan

puluh persennya berusia remaja serta tidak didampingi.140

Menurut Valerie

Hudson, ketidakseimbangan gender tersebut dapat memicu peningkatan jumlah

kekerasan terhadap gender minoritas. Apabila di suatu negara proporsi laki-laki

lebih banyak daripada perempuan, kemudian para laki-laki tersebut termarjinalkan

dan tidak puas dengan keadaan, maka hal tersebut berpotensi menimbulkan

instabilitas di suatu negara.141

Menurut Martina Lindberg, pemerintah harus

139

“Why Women Live in Fear in the First 'Feminist' Nation,” CBN News, 2017 [database

on-line]; tersedia di https://www1.cbn.com/cbnnews/world/2017/november/why-women-live-in-

fear-in-the-first-feminist-nation/; diakses pada 27 Februari 2018. 140

“Are Migrants Really Raping Swedish Women?” 141

“Swedish Feminists Thread.”

Page 67: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

55

mencari pendekatan dan integrasi spesial untuk menghentikan ketidakseimbangan

gender tersebut.142

Jika keadaan terbalik, misalkan jumlah pengungsi perempuan lebih banyak

daripada pengungsi laki-laki, ketidakseimbangan gender juga menyebabkan

masalah. Bedanya, ancaman yang mungkin terjadi bukan dalam bentuk kekerasan

terhadap gender minoritas, melainkan penurunan tingkat ekonomi suatu negara.

Paul Yip mengatakan jumlah perempuan yang lebih banyak daripada lelaki

menyebabkan rendahnya kesempatan menikah bagi perempuan. Sedangkan dalam

teori sosial, semakin banyak unit keluarga, maka semakin stabil perekonomian.

Meski demikian, ketidakseimbangan gender di mana perempuan lebih banyak dari

laki-laki lebih mudah untuk diatasi, yaitu dengan cara menggalakkan perempuan

yang belum menikah untuk memasuki lapangan pekerjaan. Tidak seperti jika

jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan yang efeknya dapat langsung

dirasakan dan sulit untuk ditangani.143

Feminist Security Theory melihat bahwa pengungsi laki-laki bagi

masyarakat Swedia merupakan sebuah ancaman baru yang mengancam

perempuan secara individu atau domestik serta dapat berpengaruh pada level

negara jika tidak diatasi. Pada masa Perang Dunia, konsepsi keamanan dibatasi

hanya untuk hal-hal yang bersifat material, misalnya banyaknya angkatan

bersenjata beserta alutsistanya. Namun pasca Perang Dunia, konsepsi keamanan

bergeser secara substantif menjadi lebih spesifik ke arah keamanan ekonomi,

142

“Are Migrants Really Raping Swedish Women?” 143

“Ungroomed,” Gafencu Magazine (11) (2017).

Page 68: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

56

keamanan lingkungan, keamanan identitas, dan keamanan sosial. Seiring

bergesernya konsepsi keamanan, konsepsi ancaman juga turut bergeser.144

Isu ketidaksetaraan gender sebagai ancaman tersebut kemudian

dimanfaatkan oleh Partai Demokrat Swedia untuk meraih simpati dari masyarakat.

Bjorn Soder, aktivis Partai Demokrat Swedia, mengatakan bahwa jika pemerintah

Swedia tidak bertindak tegas terhadap krisis pengungsi, maka Swedia akan

memiliki apa yang disebutnya dengan scandal without equal atau skandal

ketidaksetaraan.145

Kemudian Partai Demokrat Swedia menjadikan hasil

pemungutan suara masyarakat tentang partai terbaik di Swedia sebagai legitimasi

bahwa Partai Demokrat Swedia didukung penuh oleh masyarakat untuk menutup

akses pengungsi.

GAMBAR IV.1. Perolehan Suara Partai-Partai di Swedia 2015146

Berdasarkan gambar perolehan suara yang dimoderasi oleh YouGov

tersebut, Partai Demokrat Swedia meraih suara terbanyak yaitu mencapai dua

144

Michela Ceccorulli, “Migration as a Security Threat: Internal and External Dynamics

in The European Union,” GARNET Working Paper 65(9) (2009): 3-5. 145

“Swedish Feminists Thread.” 146

“Yougov: Nu Är SD Sveriges Största Parti,” Metro, 2015 [database on-line]; tersedia

di https://www.metro.se/artikel/yougov-nu-%C3%A4r-sd-sveriges-st%C3%B6rsta-parti-xr/;

diakses pada 27 Februari 2018.

Page 69: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

57

puluh lima persen. Perolehan suara tersebut cukup mengagetkan masyarakat

global karena branding Partai Demokrat Swedia selama ini adalah identitas Neo-

Nazi, rasis, dan xenophobia. Dari pemungutan suara tersebut dapat tergambarkan

bahwasanya tren yang sedang masyarakat Swedia ikuti adalah tren anti-imigran.

Tidak semua pemungutan suara patut dipercayai, namun YouGov memiliki

reputasi yang sangat baik di Swedia dalam menaksir opini publik.147

Menurut Elias Groll, hasil pemungutan suara tersebut memiliki keterkaitan

yang besar dengan krisis pengungsi di Swedia. Pasalnya, sebelum proses

pemungutan suara dilakukan, masing-masing partai sudah mengemukakan solusi

versi partai masing-masing untuk menanggulangi krisis pengungsi di Swedia.

Solusi yang ditawarkan oleh Partai Demokrat Swedia ialah merestriksi kebijakan

terkait penerimaan pengungsi. Dalam mewujudkan realisasi solusinya, Partai

Demokrat Swedia bahkan melakukan propaganda melalui iklan dengan

mengangkat isu krisis pengungsi sesaat setelah terjadi penusukan di IKEA oleh

dua pengungsi asal Eritrea.

The poll was carried out shortly after two Eritrean asylum seekers fatally

stabbed two persons at an Ikea, a case that captivated and shocked the

Swedish public. And shortly before the poll was launched, the Sweden

Democrats launched an advertising campaign in the Stockholm subway

deploring the large number of homeless beggars who have descended on

the city and the government’s inability to prevent their presence. And

throughout the summer, Swedish and European media have been filled

with stories about the huge numbers of migrants trying to cross the

Mediterranean and other borders to gain entry into Europe. Political

scientists quoted in Swedish media say this context made for ripe

conditions for Swedes to register their discontent with the government’s

handling of the immigration question.148

147

“Shock Poll Rates Sweden‟s Anti-Immigrant Right-Wing Party as Country‟s Largest,”

Foreign Policy, 2015 [database on-line]; tersedia di http://foreignpolicy.com/2015/08/20/shock-

poll-rates-swedens-anti-immigrant-right-wing-party-as-countrys-largest/; diakses pada 27 Februari

2018. 148

“Shock Poll Rates Sweden‟s Anti-Immigrant.”

Page 70: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

58

Hasil pemungutan suara tersebut sejalan dengan prinsip Partai Demokrat

Swedia yang anti-imigran, sehingga Partai Demokrat Swedia merasa berhasil

memperoleh dukungan untuk mengajukan perspektifnya ke hadapan pemerintah

Swedia. Kebijakan restriksi terhadap pengungsi kemudian menjadi sesuatu yang

diperjuangkan dan dibanggakan oleh Partai Demokrat Swedia. Sedangkan

masyarakat yang semula tidak mendukung Partai Demokrat Swedia beralih

menjadi mendukung karena merasa terwakili aspirasinya. 149

Sebagaimana yang dikatakan oleh Gulan Avvi, presiden dari Federasi

Perempuan Liberal, bahwa ketika masyarakat tidak tahu harus berbuat apa,

kemudian Partai Demokrat menawarkan jawaban, maka masyarakat akan

mempercayainya. Masyarakat butuh untuk merasa aman di dalam lingkungannya

sendiri, dan Partai Demokrat Swedia menawarkan keamanan itu.150

Partai

Demokrat Swedia bahkan tidak hanya menuntut pemerintah untuk mengontrol

perbatasan, namun juga untuk menutup secara penuh akses di perbatasan. Hal ini

senada dengan yang diharapkan oleh Markus Wlechel, juru bicara Partai

Demokrat Swedia dalam bidang migrasi dan kewarganegaraan. Wlechel berkata

bahwa kontrol perbatasan adalah sebuah langkah yang benar, namun yang Swedia

butuhkan adalah penutupan perbatasan secara penuh.151

149

“Swedish Feminists Thread.” 150

“Swedish Feminists Thread.” 151

“Are Migrants Really Raping Swedish Women?”

Page 71: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

59

GAMBAR IV.2. Pandangan Masyarakat Eropa terhadap Pengungsi 2017152

Berdasarkan gambar di atas, opini publik yang anti-imigran masih

bertahan pada 2017. Dari hasil perhitungan suara Isos Poll, hanya dua dari lima

orang yang menginginkan Eropa, khususnya Swedia, untuk menutup perbatasan

agar pengungsi tidak lagi menetap di negara tersebut. Namun meski demikian,

mayoritas responden sepakat bahwa pengungsi merupakan ancaman serius bagi

masyarakat Swedia. Masyarakat beranggapan bahwa pengungsi lebih memiliki

dampak negatif daripada positif, mengubah negara menjadi sesuatu yang tidak

disukai masyarakat, dan kemungkinan besar akan menyebabkan kerusakan serta

melakukan kekerasan.153

Menurut Stig Hadenius, sejarah Swedia lebih banyak dibentuk oleh

perdebatan antar-partai, opini publik, dan isu perempuan. Ketiga hal tersebut

memiliki peran yang cukup besar dalam perumusan kebijakan pemerintah Swedia.

Misalnya pada Winter War 30 November 1939, Uni Soviet menjatuhkan bom di

152

“Global Views on Immigration and Refugee Crisis,” Ipsos Report (2017). 153

“Global Views on Immigration,” Ipsos Report.

Page 72: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

60

Helsinki, Finlandia. Swedia tidak ingin mencampuri urusan tersebut karena

Swedia memiliki prinsip politik netralitas. Namun karena opini publik Swedia

saat itu mendorong Swedia untuk melakukan sesuatu, akhirnya Swedia melakukan

pendekatan feminis untuk membantu Finlandia, yaitu bukan dengan mengirimkan

bala tentara, melainkan dengan mengirimkan bantuan kemanusiaan dan

sukarelawan.154

Hal serupa juga terjadi pada masa Krisis Kongo 1960 dan Perang

Vietnam 1970. Opini publik Swedia mempengaruhi kebijakan luar negeri Swedia

untuk melakukan tindakan kemanusiaan daripada aksi keamanan tradisional.155

Sebagai negara feminis, opini publik perempuan juga berdampak besar

pada proses penentuan kebijakan. Pada 1950-an, terjadi Krisis Suez yang

diakibatkan oleh perang antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Melihat perang

tersebut, pada 1954 pemerintah Swedia memikirkan tentang urgensi pembuatan

senjata nuklir. Kemudian terjadi perdebatan besar di kalangan elit dan publik

tentang tepat atau tidaknya Swedia memiliki senjata nuklir. Salah satu argumen

yang paling menjadi bahan acuan pemerintah Swedia saat itu adalah argumen dari

The Social Democrat Union of Swedish Women. Pergerakan perempuan tersebut

tidak menyetujui ide pembuatan senjata nuklir karena dianggap rentan terhadap

ketidaknetralan dan menyatakan bahwa masih banyak cara lain untuk memperkuat

keamanan selain dengan membuat senjata nuklir. Akhirnya Swedia memutuskan

untuk tidak membuat senjata nuklir pada saat itu.156

Dengan alur sejarah yang demikian, maka opini publik tentang krisis

pengungsi di Swedia belakangan ini juga menjadi salah satu acuan Swedia untuk

154

Hadenius, Swedish Politics, 49-50. 155

Hadenius, Swedish Politics, 116-137. 156

Hadenius, Swedish Politics, 100.

Page 73: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

61

merumuskan kebijakannya. Selain krisis pengungsi menjadi ancaman keamanan

modern bagi perempuan menurut publik Swedia, opini publik yang anti-imigran

tersebut juga merupakan representasi dari suara perempuan yang merasa teropresi

dengan adanya pengungsi laki-laki. Berdasarkan teori Feminisme Liberal,

pemerintah Swedia memandang opini publik Swedia yang negatif terhadap

pengungsi sebagai bentuk dari imperfect citizenship atau kependudukan yang

tidak sempurna. Untuk menanggulangi imperfect citizenship, Feminisme Liberal

melihat adanya strategi afirmatif yaitu pembentukan argumen publik yang

rasional, penempatan perempuan dalam institusi birokrasi dan pengambil

kebijakan, kemudian pembuatan aturan demi kesetaraan di Swedia.157

B. Agenda Evaluasi Sistem Migrasi Swedia untuk Pemenuhan Hak-Hak

Perempuan

GAMBAR IV.3. Proses Pembuatan Kebijakan di Swedia158

157

Elizabeth Shannon, “The Influence of Feminism on Public Policy,” University of

Tasmania Thesis (1997): 12-13. 158

Thomas J. Anton, “Policy-Making and Political Culture in Sweden,” Scandinavian

Political Studies Journal, Bind 4 (University of Michigan: 1969), 93-95.

Page 74: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

62

Berdasarkan gambar tersebut, proses pembuatan kebijakan U-Turn Policy

diawali dengan adanya isu atau social questions yang kemudian menjadi tuntutan

publik terhadap elit pemerintah agar melakukan aksi terhadap suatu peristiwa.

Dalam kasus ini, tuntutan publik Swedia terhadap pemerintah adalah untuk

menutup akses terhadap pengungsi sebagai solusi atas masalah ketidaksetaraan

gender yang terjadi. Isu atau social questions yang didengar oleh pemerintah

mulanya akan dipertimbangkan oleh expert commission, atau komisi dari para ahli

yang kompeten dalam bidang pengungsi, keamanan, perempuan, dan bidang lain

yang terkait.159

Setelah expert commission membahas isu tersebut, expert commission

menyerahkan hasil diskusi kepada kementerian terkait, seperti Kementerian Luar

Negeri, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Hukum, Kementerian

Pertahanan, dan kementerian lainnya. Kementerian terkait akan membahas

diskusi dari para expert bersama dengan badan legislatif (Riksdag) dan

mempertimbangkan solusi-solusi yang mungkin bisa dijalankan oleh Swedia.

Kemudian hasil diskusi antara kementerian dan Riksdag akan dipublikasikan

dalam bentuk laporan. Lalu kementerian mendistribusikan laporan tersebut ke

partai-partai di Swedia.160

Masing-masing partai akan merespons laporan tersebut, apakah partai itu

setuju atau tidak dengan solusi dari para expert yang dikonsolidasikan kembali

oleh kementerian dan Riksdag, atau partai tersebut memiliki saran dan kritik

tertentu. Respons dari masing-masing partai sangat menentukan proses

159

Anton, “Policy-Making and Political Culture in Sweden,” 93-95. 160

Anton, “Policy-Making and Political Culture in Sweden,” 93-95.

Page 75: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

63

pengambilan keputusan di Swedia. Jika respons partai-partai mengharuskan

Swedia untuk membuat peraturan, maka respons itu akan ditujukan kembali

kepada Riksdag. Riksdag kemudian akan melakukan voting dan hasil voting akan

diberikan kepada kabinet pemerintah. Kemudian pemerintah pun

mempublikasikan keputusannya ke publik dengan mengadakan press conference.

Hasil kebijakan tersebut pun akan diterima oleh masyarakat Swedia karena latar

belakang budaya politik yang saling percaya antara masyarakat dengan elit

pemerintah.161

Masyarakat Swedia dikenal memiliki budaya literasi yang tinggi, sehingga

mempunyai kesadaran dan pengetahuan yang tinggi tentang pemerintah jika

dibandingkan dengan masyarakat negara lain. Ciri khas masyarakat Swedia

lainnya yaitu cenderung memiliki kebanggaan dan penghormatan yang tinggi

terhadap elit pembuat kebijakan. Kebanggaan dan penghormatan tersebut

kemudian menjadi dasar rasa saling percaya antara masyarakat dan elit

pemerintah. Sehingga dalam penyusunan kebijakan, opini masyarakat sangat

didengarkan oleh elit dan keputusan elit selalu dihargai oleh masyarakat.162

Para elit pembuat kebijakan di Swedia pun merupakan individu-individu

terpilih yang memasuki ranah politik bukan karena uang dan ketenaran.

Melainkan elit politik Swedia menganggap politik sebagai pekerjaan untuk

menemukan solusi atas permasalahan sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Elit Swedia memanfaatkan intelektualitasnya untuk memecahkan masalah yang

spesifik dengan pendekatan konsensual dan sangat menghindari konflik. Elit

161

Anton, “Policy-Making and Political Culture in Sweden,” 93-95. 162

Anton, “Policy-Making and Political Culture in Sweden,” 96-97.

Page 76: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

64

Swedia tidak akan mempublikasikan suatu berita atau keputusan jika berita atau

keputusan itu masih diperdebatkan secara internal. Dalam penyusunan kebijakan,

elit Swedia juga menghindari adanya intervensi dari pihak luar lain, seperti

Ombudsman, PBB, atau badan lainnya.163

GAMBAR IV.4. Pengaruh Feminisme terhadap Pembuatan Kebijakan164

Feminisme berpengaruh dalam proses pembuatan kebijakan karena isu

yang diangkat oleh masyarakat Swedia adalah isu ketidaksetaraan gender dan

Swedia sendiri merupakan negara feminis. Pengaruh feminisme terhadap

perubahan kebijakan Swedia dapat dijelaskan dengan konsep Feminist Foreign

Policy. Seperti terlihat pada gambar, apabila aktivitas feminisme dalam hal

material, normatif, dan analitis dapat diterima secara nasional dalam bidang

politik, sosial, dan ekonomi, maka tipe kebijakan feminisme dapat terbentuk. Tipe

163

Anton, “Policy-Making and Political Culture in Sweden,” 98-100. 164

Shannon, “The Influence of Feminism,” 53.

Policy

Page 77: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

65

kebijakan feminisme memiliki ciri adanya keterlibatan feminis, upaya untuk

menyelesaikan konflik gender, dan relasi kekuasaan yang integral, lateral, dan

bottom up. Dari proses tersebutlah kebijakan feminis terbentuk.165

Keterlibatan feminisme secara jelas dapat terlihat selain dari isu atau social

questions yang diangkat masyarakat Swedia, namun juga dari keterlibatan

perempuan dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Berdasarkan penelitian

dari Northern Island Assembly, Swedia termasuk negara terbaik dalam hal

memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menempati posisi strategis,

misalnya sebagai pengambil kebijakan negara. Dalam badan legislatif atau

Riksdag, empat puluh lima persen anggotanya adalah perempuan. Kemudian di

dalam tubuh kementerian, lima puluh empat persen anggotanya adalah

perempuan. Lalu dalam keseluruhan partai yang mengikuti pemilu 2014, total

anggota perempuan dari partai-partai tersebut mencapai empat puluh lima

persen.166

Selain berpengaruh pada proses pembuatan kebijakan, feminisme juga

berpengaruh terhadap target dan fokus kebijakan. Jennifer K. Lobasz berpendapat

bahwa kebijakan yang berpendekatan feminisme menyasar masyarakat sebagai

targetnya (tidak state-centric) dan berfokus pada perwujudan pelayanan sosial,

hak asasi manusia, dan migrasi yang aman.167

Sebagaimana yang tercantum dalam

BAB III, Swedia melakukan program khusus yang meskipun termasuk ke dalam

165

Shannon, “The Influence of Feminism,” 53-54. 166

Michael Potter, “The Swedish General Election 2014 and the Representation of

Women,” Northern Ireland Assembly Research and Information Service Research Paper 93

(2014). 167

Jennifer K. Lobasz, “Beyond Border Security: Feminist Approaches to Human

Trafficking,” Routledge Journal of Security Studies No. 18 (2009), 321.

Page 78: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

66

kebijakan restriksi, terselip agenda untuk memenuhi hak-hak perempuan.

Misalnya seperti pembatasan reunifikasi keluarga untuk pengungsi. Di satu sisi,

itu adalah kebijakan yang tidak tepat karena menjauhkan pengungsi dari

keluarganya. Namun di sisi lain, ternyata Swedia mempertimbangkan faktor

budaya patriarki di negara-negara asal pengungsi. Swedia membatasi reunifikasi

keluarga untuk melindungi perempuan minoritas dari paksaan keluarganya untuk

menikah dini.168

Contoh lain dari penerapan kebijakan feminisme yaitu Swedia

mengadakan pelatihan keterampilan sebelum calon pengungsi diterima untuk

menetap di Swedia. Dalam satu sisi, kebijakan tersebut memperlambat proses

rekrutmen pengungsi serta mengurangi probabilitas pengungsi untuk mudah

diterima. Namun di sisi lain, Swedia memikirkan kondisi pengungsi perempuan

ke depannya. Pengungsi perempuan maupun laki-laki yang memiliki kemampuan

untuk bekerja akan aman untuk tinggal di Swedia baik secara ekonomi, sosial,

maupun politik. Pemerintah Swedia yakin bahwa kemampuan profesional dan

pendidikan yang tepat untuk pengungsi dapat membuat semua masyarakat,

khususnya perempuan, merasa aman.169

Seperti yang dikatakan oleh Profesor Sanecki, bahwa tingkat kriminalitas

terhadap perempuan di Swedia cenderung meningkat seiring dengan banyaknya

arus pengungsi yang masuk. Statistik pun menunjukkan bahwa pelaku tindak

kriminal tersebut mayoritas pendatang asing berjenis kelamin laki-laki. Namun ini

bukan disebabkan oleh permasalahan etnis yang berbeda, tapi lebih kepada

168

“Sweden‟s Feminist Foreign Policy.” 169

“Sweden‟s Feminist Foreign Policy.”

Page 79: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

67

masalah kemiskinan lelaki. Kemiskinan lelaki tersebutlah yang membuat

pengungsi melakukan tindak kejahatan.170

Susanna Udvardi menambahkan bahwa

pengungsi laki-laki harus berpendidikan untuk dapat menghargai perempuan.

Dengan kata lain, tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi berbanding terbalik

dengan perilaku kekerasan terhadap perempuan.171

Hal lain yang dilakukan Swedia dalam kebijakan restriksinya adalah

memulangkan pengungsi ke negara asalnya. Kebijakan ini cukup kontroversial

karena negara asal pengungsi belum tentu dalam keadaan damai dan aman.

Namun Swedia memiliki agenda pemenuhan kesetaraan gender di balik kebijakan

tersebut, yaitu hendak mengevaluasi regulasi migrasi internalnya agar aman

ditempati oleh pengungsi perempuan. Sebab sebagaimana yang dilaporkan oleh

Women‟s Refugees Commission (WRC), bahwa Swedia perlu meninjau ulang

sistem keimigrasiannya. 172

Beberapa temuan WRC di antaranya, yaitu pengungsi yang rentan

terhadap gangguan mental disembunyikan dan tidak didengarkan ceritanya,

kurangnya privasi di kamp pengungsian (misalnya kamar mandi yang tidak bisa

dikunci), kurangnya informasi tentang pelaporan kekerasan dan penuntutan hak

karena perbedaan bahasa, serta staf Agensi Migrasi Swedia yang melakukan

kekerasan terhadap pengungsi. WRC menduga kuat bahwa kurang baiknya

pelayanan keimigrasian Swedia bukan karena Swedia tidak mampu

170

“Sweden‟s Rape Crisis Isn‟t What It Seems,” The Globe and Mail, 2016 [database on-

line]; tersedia di https://www.theglobeandmail.com/opinion/swedens-rape-crisis-isnt-what-it-

seems/article30019623/; diakses pada 27 Februari 2018. 171

“Are Migrants Really Raping Swedish Women?” 172

Hersh, “Falling Through the Cracks,” 5-11.

Page 80: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

68

menyejahterakan, namun karena jumlah pengungsi melebihi batas fasilitas yang

disediakan oleh Swedia.173

Beberapa tindakan lain yang dilakukan pemerintah Swedia untuk

memenuhi kesetaraan gender pengungsi di luar U-Turn Policy di antaranya yaitu

mengadakan pertemuan internasional untuk membahas isu pengungsi dan

mengaitkannya dengan resiko perdagangan manusia, prostitusi, kekerasan seksual

berbasis gender, dan lain-lain. Swedia juga berhasil membuat isu pengungsi

masuk ke dalam Resolusi PBB dan deklarasi dari UN Summit for Refugees and

Migrant 2016. Swedia pun berhasil menjadi pendonor terbesar ke-6 untuk

International Organization of Migration (IOM) dan United Nations High

Commissioner for Refugees (UNHCR).174

Menurut Elisabeth Olivius, norma kesetaraan gender memang berguna

bagi proyek pemerintahan dalam menangani pengungsi karena dua alasan.

Pertama, norma kesetaraan gender dapat dijadikan alat untuk membuat

perpindahan manusia menjadi lebih efisien dan efektif. Dengan fokus kepada

perempuan sebagai subjek, pemerintahan dalam bidang imigrasi menjadi lebih

mudah karena akses bantuan kemanusiaan yang lebih terbuka. Kedua, sebagai

liberal peacebuilding package, norma kesetaraan gender dalam merumuskan

kebijakan tentang pengungsi dapat menjadi acuan dalam merekonstruksi dan

mereformasi kawasan yang tidak aman dan tidak stabil. 175

173

Hersh, “Falling Through the Cracks,” 5-11. 174

“Sweden‟s Feminist Foreign Policy.” 175

Elisabeth Olivius, “Governing Refugees through Gender Equality: Rationalities of

Efficiency and Development,” The ISA Global South Caucus Conference Paper (2015): 2.

Page 81: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

69

U-Turn Policy dirumuskan dengan norma kesetaraan gender. Terbukti saat

U-Turn Policy diimplementasikan, ketidakseimbangan gender bisa diatasi.

Semula pada 2015, proporsi antara pengungsi laki-laki dan perempuan sangat

timpang yaitu 114.728 pengungsi laki-laki banding 48.149 pengungsi perempuan.

Kemudian pada 2016 membaik menjadi 17.352 pengungsi laki-laki banding

11.587 pengungsi perempuan, dan menjadi 15.635 pengungsi laki-laki banding

10.031 pengungsi perempuan pada 2017. Hal tersebut pun mengurangi potensi

kekerasan berbasis gender yang akan semakin marak terjadi di Swedia jika

ketidakseimbangan gender yang terlalu timpang tetap dibiarkan.176

176

“Statistics,” Migrationsverket, 2017 [database on-line]; tersedia di

https://www.migrationsverket.se/English/About-the-Migration-Agency/Facts-and-statistics-

/Statistics/2017.html; diakses pada 7 Juli 2018.

Page 82: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

70

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai Negara Kesejahteraan yang feminis, di bawah kabinet Stefan

Lofven, Swedia berkomitmen untuk membuka akses pengungsi sebesar-besarnya.

Namun pada akhir 2015, Swedia mengumumkan kebijakan U-Turn Policy yang

bertentangan dengan komitmen awal Swedia tersebut. Tidak hanya kontradiktif

terhadap komitmen Swedia saja, berlakunya U-Turn Policy juga berpengaruh

negatif terhadap hubungan internasional Swedia khususnya dengan negara-negara

Eropa lainnya, sebab U-Turn Policy dianggap telah menggagalkan proses

integrasi Eropa, melanggar HAM yang dicita-citakan Perjanjian Schengen, dan

menyimpang dari identitas negara Nordik.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan menggunakan perspektif

feminisme, terdapat dua alasan yang membuat Swedia mengubah kebijakan Open

Door Policy-nya menjadi U-Turn Policy dalam menangani pengungsi periode

2014-2017, yaitu:

1. Adanya Dorongan Publik Swedia yang Memanfaatkan Isu Gender Demi

Tren Anti-Imigran

Seiring dengan kenaikan jumlah pengungsi yang datang ke Swedia, tingkat

kekerasan terhadap perempuan juga ikut bertambah. Misalnya seperti kekerasan

yang menyebabkan kematian pada perempuan yang meningkat dari 25 korban

Page 83: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

71

menjadi 29 korban, serta pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan

yang meningkat dari dua persen menjadi tiga persen.

Masyarakat Swedia melihat fenomena krisis pengungsi berkaitan erat

dengan tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan. Beredar pula kabar

tentang proporsi jenis kelamin pengungsi yang didominasi oleh laki-laki, sehingga

meningkatkan resiko ketidakseimbangan gender. Dagens Nyheter sebagai salah

satu media paling berpengaruh di Swedia juga mendorong publik untuk menjadi

anti-imigran dengan memberitakan keterkaitan pengungsi dengan isu kekerasan

gender. Karena itu, publik di Swedia menganggap pengungsi sebagai ancaman

dan meminta pemerintah untuk melakukan sesuatu berkenaan dengan hal tersebut.

Partai Demokrat Swedia yang terkenal anti-pengungsi memanfaatkan

momentum tersebut untuk membawa isu krisis pengungsi sebagai penyebab dari

peningkatan kekerasan dan ketidakseimbangan gender ke ranah pemerintah.

Didukung oleh dua puluh lima persen masyarakat Swedia, Partai Demokrat

Swedia berhasil mendorong pemerintah untuk melihat krisis pengungsi sebagai

isu keamanan berbasis gender. Usulan yang diajukan oleh Partai Demokrat

Swedia terhadap krisis pengungsi adalah tidak hanya diberlakukannya kontrol

perbatasan, namun juga penutupan secara penuh akses pengungsi yang ingin

masuk ke Swedia.

2. Agenda Evaluasi Sistem Keimigrasian Swedia Demi Pemenuhan Hak-

Hak Perempuan dan Anak Perempuan

Selain karena adanya dorongan dari luar, Swedia mengubah kebijakan

pengungsinya menjadi lebih ketat karena Swedia ingin mengevaluasi sistem

Page 84: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

72

keimigrasiannya demi pemenuhan hak-hak perempuan dan anak perempuan.

Sebagaimana yang dipaparkan oleh The Women‟s Refugee Commission (WRC)

bahwasanya meski Swedia merupakan contoh Negara Kesejahteraan, namun

masih ada beberapa aspek dari peraturan kepengungsian yang perlu dievaluasi,

misalnya seperti peraturan tentang privasi masing-masing jenis kelamin, peraturan

khusus pengungsi dengan gangguan mental, dan lain sebagainya. Dengan

membenahi sistem kepengungsiannya, maka Swedia akan menjadi negara yang

lebih layak untuk dijadikan contoh Negara Kesejahteraan yang feminis.

Munculnya gagasan tentang evaluasi tersebut dipengaruhi oleh aktivitas

feminisme, konflik gender, dan relasi kekuasaan yang setara antara laki-laki dan

perempuan. Di Swedia, pergerakan feminis terbukti mempengaruhi Swedia dalam

memasukkan isu gender ke ranah formal. Proporsi antara laki-laki dan perempuan

dalam posisi pengambil keputusan di Swedia juga seimbang, sehingga berdampak

pada proses perumusan, target, dan fokus kebijakan yang ingin dibuat oleh

Swedia. Kemudian hasil dari proses perumusan kebijakan tersebut ialah kebijakan

feminis, yaitu merestriksi pengungsi yang memasuki wilayah Swedia guna

mengevaluasi sistem imigrasi demi pemenuhan hak-hak perempuan dan anak

perempuan.

Kedua poin di atas merupakan alasan Swedia mengubah kebijakannya

terhadap pengungsi periode 2014-2017 dari Open Door Policy menjadi U-Turn

Policy jika dianalisis dengan perspektif feminisme, khususnya Feminisme Liberal,

Feminist Security Theory, dan Feminist Foreign Policy.

Page 85: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

73

B. Saran

1. Untuk Pemerintah Swedia

Disarankan agar pemerintah Swedia tidak hanya membuat peraturan yang

sifatnya sementara dan baru dibuat setelah situasi mendesak. Untuk ke depannya,

diharapkan Swedia dapat mengevaluasi sistem keimigrasiannya dengan lebih

matang dan terukur sehingga tidak harus melanggar kesepakatan internasional

tertentu dan identitas bangsanya sendiri demi mengamankan negaranya. Selain itu,

konsistensi Swedia dalam pelaksanaan kebijakan feminisme di seluruh sektor juga

diharapkan.

2. Untuk Penelitian Selanjutnya

Disarankan agar penelitian selanjutnya dengan tema yang terkait dapat

dikembangkan lagi khususnya dalam hal penambahan periode yang akan diteliti.

Periode 2018 layak untuk diteliti lebih dalam karena kemungkinan besar situasi

politik Swedia berubah seiring dengan persiapan menjelang pemilihan umum

Swedia pada September 2018 nanti. Ketika kabinet baru sudah terbentuk di akhir

2018 nanti, disarankan adanya penelitian yang membandingkan kabinet baru

dengan kabinet sebelumnya dalam hal kebijakan terhadap pengungsi.

Page 86: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

xiii

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Andersson, Jan Joel. Sweden. NY, USA: Freedom House.

Bjorck, Ingela dan Bulle Davidsson. 2001. Sweden – A Pocket Guide. Norrkoping,

Sweden: The Swedish Integration Board.

Burchill S. dan A. Linklater. 2005. Theories of International Relations, Third

Edition. Basingstoke: Palgrave Macmillan.

Butler, Judith. 1993. Bodies That Matter: On the Discursive Limits of Sex. New

York dan London: Routledge.

Couloumbis, T. A. dan J. H. Wolfe. 1990. Pengantar Hubungan Internasional:

Keadilan dan Power. Bandung: Abardin.

Elliott, Lorraine. 1996. “Women, Gender, Feminism, and The Environment.” The

Gendered New World Order: Militarism, Development, and The

Environment, ed. Jennifer Turpin dan Lois Ann Lorentzen. New York:

Routledge.

Elshtain, Jean Bethke. 1987. Women and War. Chicago: University of Chicago

Press.

Erlina. 2008. Metodologi Penelitian Bisnis: Untuk Akuntansi dan Manajemen.

Medan: Universitas Sumatera Utara Press.

Garner, Karen. 2013. Gender and Foreign Policy in the Clinton Administration.

First Forum Press.

Gelb, Joyce. 1989. “Sweden: Feminism Without Feminists?” Feminism and

Politics. University of California Press.

George, Vic dan Paul Wilding. 1994. Welfare and Ideology. Hemel Hempstead:

Harvester Wheatsheaf.

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Haavio-Mannila, Elina. The Position of Women. University of Helsinki.

Hadenius, Stig. 1985. Swedish Politics During the 20th Century. Stockholm,

Sweden: The Swedish Institute.

Hernes, Helga. 1987. “The Welfare State Citizenship of Scandinavian Women.”

Welfare State and Women Power: Essays in State Feminism. Oslo:

Norwegian University Press.

Hooks, Bell. 1984. Feminist Theory: From Margin to Center. Boston: South End

Press.

------, 1989. Talking Back: Thinking Feminist, Thinking Black. Toronto: Between

the Lines.

Hoyle, Ricky H., Monica J. Harris, dan Charles M. Judd. 2001. Research Methods

in Social Relations: Seventh Edition. Wadsworth: Tomson Learning.

Hudson, Valerie, Bonnie Ballif-Spanvill, Mary Caprioli, dan Chad Emmett. 2014.

Sex and World Peace. New York: Columbia University Press.

J.E., Kolberg. 1991. “The Gender Dimension of The Welfare State.” The Welfare

State as Employer. London.

Jensen, Carsten S. 2006. “Neo-functionalism.” European Union Politics. Oxford:

Oxford University Press.

Page 87: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

xiv

Jones, Adam. 2009. Gender Inclusive: Essays on Violence, Men, and Feminist

International Relations. New York: Routledge Publishers.

Jonsson, Ewa dan Josefin Zeolla, ed. 2015. Gender Perspective in Asylum and

Return Cases. Stockholm: The Swedish Red Cross.

Mohanty, Chandra Talpade. 2003. Feminism Without Borders: Decolonizing

Theory, Practicing Solidarity. Durham, NC: Duke University Press.

Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Moravcsik, Andrew. 1998. The Choice of Europe Social Purpose and State Power

from Messina to Maastricht. Ithaca: Cornel University Press.

MQ, Patton. 1990. Qualitative Evaluation and Research Methods, 2nd Edition.

London: Sage Publication.

Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Universitas

Gadjah Mada.

Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi. 2017. Jakarta: Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Pedersen, Axel West dan Stein Kuhnle. 2017. “The Nordic Welfare State Model:

Introduction: The Concept of a Nordic Model.” The Nordic Models in

Political Science: Challenged, but Still Viable?. Bergen: Fagbokforlaget.

Rosemarie, Putnam Tong. 1989. Feminist Thought: Pengantar Paling

Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Bandung:

Jalasutra.

Ruddick, Sara. 1989. Maternal Thinking: Towards a Politics of Peace. Boston:

Beacon Press.

Sjoberg, Laura., ed. 2010. Gender and International Security: Feminist

Perspectives. New York: Routledge.

Steans, Jill. 2006. Gender and International Relations: Issues, Debates, and

Future Directions. Second Edition. Cambridge: Polity Press.

Steans, Jill dan L. Pettiford. 2009. Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung:

Alfabeta.

Sylvester, Christine. 2002. Feminist International Relations Theory: An

Unfinished Journey. Cambridge: Cambridge University Press.

Taylor, Pelle Neroth. 2015. Sweden’s Immigration Crisis. London: The Bruges

Group.

Tickner, J. Ann. 1992. Gender in International Relations. New York: Columbia

University Press.

------, 2001. Gendering World Politics: Issues and Approaches in The Post-Cold

War Era. New York: Columbia University Press.

Weldon, S. Laurel. 2002. Protest, Policy and The Problem of Violence Against

Women: A Cross-national Comparison. Pittsburgh: University of

Pittsburgh Press.

Page 88: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

xv

Young, Iris Marion. 1990. “The Ideal of Community and The Politics of

Difference.” Feminism/Postmodernism, ed. Linda J. Nicholson. New

York: Routledge.

------, 1990b. “The Ideal of Community and The Politics of Difference.”

Feminism/Postmodernism, ed. Linda J. Nicholson. New York: Routledge.

------, 2000. “Inclusion and Democracy.” Oxford Series in Political Theory.

Oxford University Press.

Artikel dan Jurnal Ilmiah

2015. “Refugee Crisis in Europe.” INOMUN Research Report.

2017. “Global Views on Immigration and Refugee Crisis.” Ipsos Report.

2017. “Ungroomed.” Gafencu Magazine (11).

Anton, Thomas J. 1969. “Policy-Making and Political Culture in Sweden.”

Scandinavian Political Studies Journal, Bind 4 (University of Michigan).

Blanchard, Eric M. 2003. “Gender, International Relations, and the Development

of Feminist Security Theory.” Chicago Journal 28(4):1289-1312.

Brljavac, Bedrudin. 2017. “Refugee Crisis in Europe: The Case Studies of

Sweden and Slovakia.” Journal of Liberty and International Affairs 3.

Caprioli, Mary, dan Mark Boyer. 2001. “Gender, Violence, and International

Crisis.” Journal of Conflict Resolution 45(4):503-518.

Ceccorulli, Michela. 2009. “Migration as a Security Threat: Internal and External

Dynamics in The European Union.” GARNET Working Paper 65(9).

Djuve, Anne Britt. 2016. “Refugee Migration – A Crisis For The Nordic Model?”.

International Policy Analysis of Friedrich-Ebert-Stiftung.

Felayati, Reza Akbar dan Yohanes Putra Suhito. 2017. Dari Keterbukaan Menuju

Pembatasan: Analisa Diskursus Persepsi Swedia terhadap Pengungsi di

Tengah Gelombang Krisis Pengungsi di Eropa. Departemen Ilmu

Hubungan Internasional Universitas Airlangga.

Flora, P. 1990. “Growth to Limit.” The Western European Welfare States Since

World War II 12(1):141-145.

Fratzke, Susan. 2017. “Weathering Crisis, Forging Ahead: Swedish Asylum and

Integration Policy.” Transatlantic Council on Migration Report.

Galtung, Johan. 1971. “A Structural Theory of Imperialism.” Journal of Peace

Research 8(2):81-117.

Hersh, Marcy. 2016. “Falling Through the Cracks: Refugee Women and Girls in

Germany and Sweden.” Women’s Refugee Commission Report.

Hughes, Nevsal dan George Joffe. 2016. “Editorial Board.” The Middle East in

London 12(4).

Joseph, George. 2015. “Country Report: Sweden.” Asylum Information Database.

Lobasz, Jennifer K. 2009. “Beyond Border Security: Feminist Approaches to

Human Trafficking.” Routledge Journal of Security Studies No. 18.

Mansbridge, Jane. 1999. “Should Blacks Represent Blacks and Women Represent

Women? A Contingent „Yes.‟” The Journal of Politics 61(3):628-657.

Milner, James. 2000. “Sharing the Security Burden: Towards the Convergence of

Refugee Protection and State Security.” Refugee Studies Centre.

Page 89: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

xvi

Montero, Alfonso Lara dan Dorothea Baltruks. 2016. “The Impact of The Refugee

Crisis on Local Public Social Services in Europe.” The European Social

Network Publication.

Olivius, Elisabeth. 2015. “Governing Refugees through Gender Equality:

Rationalities of Efficiency and Development.” The ISA Global South

Caucus Conference Paper.

Ostbring, Bjorn. 2016. “The Swedish Welfare State and The Refugee Crisis: On

Realism and The Priority of Order.” The Migration and The European

Welfare States Conference.

Peterson, V. Spike. 1992. “Transgressing Boundaries: Theories of Knowledge,

Gender, and International Relations.” Millennium: Journal of International

Studies 21(2):194.

Potter, Michael. 2014. “The Swedish General Election 2014 and the

Representation of Women.” Northern Ireland Assembly Research and

Information Service Research Paper 93.

Rizkiyah, Rima. 2015. “Perjanjian Schengen dan Maastricht.” Skripsi Universitas

Indonesia.

Rolenc, Jan Martin. 2013. “Means, Goals, and Sources of Foreign Policy: The

Case of Sweden.” Paper Draft for The ISA 2013 Convention.

Sainsbury, Diane. 2004. “Women‟s Political Representation in Sweden:

Discursive Politics and Institutional Presence.” Scandinavian Political

Studies, Vol. 27 No. 1.

Schiavo, Valentina. 2016. “I am Swedish, I am a Woman: Exploring Swedish

Women‟s Identity Construction.” Report nr.

Scholten, Peter. 2017. “Policy Innovation in Refugee Integration?,” The Dutch

Department of Social Affairs and Employment.

Shannon, Elizabeth. 1997. “The Influence of Feminism on Public Policy.”

University of Tasmania Thesis.

Vaiphei, Lianboi. “Perspectives on International Relations and World History.”

University of Delhi Lesson and Journal 11.

Zugasti, Irene. 2016. “To Welcome or Not to Welcome: What Civil Society Does

for Refugees?.” Special Report on The Civil Society Responses to Refugee

Crisis.

Dokumen Resmi Negara

A Feminist Government. Government Offices of Sweden Website [database on-

line]; tersedia di http://www.government.se/government-policy/a-feminist-

government/; diakses pada 11 Februari 2018.

Child Abuse. The Swedish National Council for Crime Prevention

(Brottsförebyggande rådet - Brå), 2016 [database on-line]; tersedia di

https://www.bra.se/bra-in-english/home/crime-and-statistics/child-

abuse.html; Internet; diakses pada 29 Oktober 2017.

CV Margot Wallstrom. Government Offices of Sweden Website [database on-

line]; tersedia di http://www.government.se/government-of-

Page 90: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

xvii

sweden/ministry-for-foreign-affairs/margot-wallstrom/cv-margot-

wallstrom/; diakses pada 11 Februari 2018.

Draft Action Plan for Feminist Foreign Policy 2015-2018. 2015. Internal Draft of

Ministry of Foreign Affairs (MFA) Sweden, 2015 [database on-line];

tersedia di https://www.government.se/contentassets/b799e89a0e06493f86c63a561e8

69e91/action-plan-feminist-foreign-policy-2015-2018nternet; diakses pada

30 Oktober 2017.

Facts about Migration and Crime in Sweden 2017. Website of the Government

and the Government Offices, 2017 [database on-line]; tersedia di

http://www.government.se/articles/2017/02/facts-about-migration-and-

crime-in-sweden/; Internet; diakses pada 30 September 2017.

Feminist Foreign Policy. Government Offices of Sweden Website [database on-

line]; tersedia di http://www.government.se/government-policy/feminist-

foreign-policy/; diakses pada 11 Februari 2018.

Foreign Policy. Sveriges Riksdag [database on-line]; tersedia di

http://www.riksdagen.se/en/how-the-riksdag-works/what-does-the-

riksdag-do/foreign-policy/; diakses pada 11 Februari 2018.

Members and Parties. Sveriges Riksdag [database on-line]; tersedia di

http://www.riksdagen.se/en/members-and-parties/; diakses pada 11

Februari 2018.

Murder and Manslaughter. The Swedish National Council for Crime Prevention

(Brottsförebyggande rådet - Brå), 2016 [database on-line]; tersedia di

https://www.bra.se/bra-in-english/home/crime-and-statistics/murder-and-

manslaughter.html; Internet; diakses pada 29 Oktober 2017.

Rape and Sexual Offences. The Swedish National Council for Crime Prevention

(Brottsförebyggande rådet - Brå), 2016 [database on-line]; tersedia di

https://www.bra.se/bra-in-english/home/crime-and-statistics/rape-and-sex-

offences.html; Internet; diakses pada 29 Oktober 2017.

Scholten, Peter. 2017. Policy Innovation in Refugee Integration?. The Dutch

Department of Social Affairs and Employment.

Statistics. Migrationsverket, 2017 [database on-line]; tersedia di

https://www.migrationsverket.se/English/About-the-Migration-

Agency/Facts-and-statistics-/Statistics/2017.html; diakses pada 7 Juli

2018.

Sweden Country Brief. Department of Foreign Affairs and Trade of Australia,

2017 [database on-line]; tersedia di

http://dfat.gov.au/geo/sweden/pages/sweden-country-brief.aspx/; Internet;

diakses pada 29 Januari 2018.

Sweden’s Feminist Foreign Policy: Examples From Three Years Of

Implementation. Government Offices of Sweden, Ministry for Foreign

Affairs, 2-3.

The World Factbook: Sweden. Central Intelligence Agency United States of

America [database on-line]; tersedia di

https://www.cia.gov/library/publications/the-world-

factbook/geos/sw.html/; Internet; diakses pada 29 Januari 2018.

Page 91: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

xviii

Wawancara

Wawancara melalui E-mail dengan Christer Lyck, Informan The Swedish

Migration Agency (Migrationsverket), 25-26 Februari 2018.

Wawancara melalui E-mail dengan Edith Permén, Praktisi Kebijakan Luar Negeri

Feminis, Kementerian Luar Negeri Swedia, 20 Februari-8 Maret 2018.

Situs Online

A Visual Guide to 75 Years of Major Refugee Crises Around the World. The

Washington Post, 2016 [database on-line]; tersedia di

https://www.washingtonpost.com/graphics/world/historicalmigrant-crisis/;

Internet; diakses pada 30 September 2017.

Are Migrants Really Raping Swedish Women?. The Daily Beast, 2016 [database

on-line]; tersedia di https://www.thedailybeast.com/are-migrants-really-

raping-swedish-women?ref=scroll; diakses pada 27 Februari 2018.

BAB II: Krisis Pengungsi di Eropa. UMY Repository [database on-line]; tersedia

di

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12289/F.%20BAB

%20II.pdf?sequence=6&isAllowed=y; diakses pada 24 Februari 2018.

Germany Sees Schengen in Danger. World Bulletin, 2016 [database on-line];

tersedia di http://www.worldbulletin.net/m/haber/168079/germany-sees-

schengen-in-danger; Internet; diakses pada 22 September 2017.

Hofverberg, Elin.”Refugee Law and Policy: Sweden.” Library of Congress Legal

Report, 2016 [database on-line]; tersedia di

https://www.loc.gov/law/help/refugee-law/sweden.php; diakses pada 24

Februari 2018.

How Immigration is Changing The Swedish Welfare State,” The Economist, 2017

[database on-line]; tersedia di

https://www.economist.com/blogs/economist-explains/2017/06/economist-

explains-20; diakses pada 24 Februari 2018.

Irregular Migrant, Refugee Arrivals in Europe Top One Million in 2015.

International Organization for Migration, 2015 [database on-line]; tersedia

di https://www.iom.int/news/irregular-migrantrefugee-arrivals-europe-

top-one-million-2015-iom; Internet; diakses pada 28 September 2017.

Migrant Crisis Means Sweden Now Has Higher Ratio Of Teenage Boys-To-Girls

Than China. Express, 2016 [database on-line]; tersedia di

http://www.express.co.uk/news/world/632631/migrant-crisis-refugees-

europe-sweden-middle-east; Internet; diakses pada 28 September 2017.

Press Release. European Commission, 2015 [database on-line]; tersedia di

http://europa.eu/rapid/press-release_IP-15-6212_en.htm; diakses pada 24

Februari 2018.

Shock Poll Rates Sweden’s Anti-Immigrant Right-Wing Party as Country’s

Largest. Foreign Policy. 2015 [database on-line]; tersedia di

http://foreignpolicy.com/2015/08/20/shock-poll-rates-swedens-anti-

Page 92: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

xix

immigrant-right-wing-party-as-countrys-largest/; diakses pada 27 Februari

2018.

Stavanger Guide Map. The Nordic Countries, 2015 [database on-line]; tersedia di

http://www.stavanger-guide.no/maps/maps_other/nordic.pdf/; diakses pada

11 Februari 2018.

Sveriges Flagga. Riksarkvet, 2018 [database on-line]; tersedia di

http://riksarkvet.se/sveriges-flagga/; Internet; diakses pada 30 September

2017.

Sweden Introduces Border Checks as Refugee Crisis Grows. The Guardian, 2015

[database on-line]; tersedia di

http://www.theguardian.com/world/2015/nov/12/refugee-crisis-sweden-

introduces-border-checks; Internet; diakses pada 22 September 2017.

Sweden is Schengen’s Toughest Border. TTG NORDIC, 2017 [database on-line];

tersedia di http://ttgnordic.com/sweden-is-schengens-toughest-border/;

Internet; diakses pada 22 September 2017.

Sweden Official Hates Her New Refugee Policy So Much She is Literally Crying

about It. Foreign Policy, 2015 [database on-line]; tersedia di

http://www.foreignpolicy.com/2015/11/24/Sweden-official-hates-her-new-

refugee-policy-so-much-she-is-literally-crying-about-it; Internet; diakses

pada 29 Oktober 2017.

Sweden’s Rape Crisis Isn’t What It Seems. The Globe and Mail, 2016 [database

on-line]; tersedia di https://www.theglobeandmail.com/opinion/swedens-

rape-crisis-isnt-what-it-seems/article30019623/; diakses pada 27 Februari

2018.

Swedish Feminists Thread Needle Between Sexism and Racism in Migrant

Controversy. TIME, 2016 [database on-line]; tersedia di

http://time.com/4182186/sweden-feminists-sexual-assault-refugees/;

diakses pada 27 Februari 2018.

The Death of the Most Generous Nation on Earth. Foreign Policy Feature, 2016

[database on-line]; tersedia di http://foreignpolicy.com/2016/02/10/the-

death-of-the-most-generous-nation-on-earth-sweden-syria-refugee-

europe/; diakses pada 24 Februari 2018.

The End Of Schengen? Restrictions By Denmark And Sweden Are 'Threatening

Europe's Passport-Free Zone'. The Independent, 2016 [database on-line];

tersedia di http://www.independent.co.uk/news/world/europe/the-end-of-

schengen-restrictions-by-denmark-and-sweden-are-threatening-europes-

passport-free-zone-a6796696.html; Internet; diakses pada 29 September

2017.

Thematic Focus: Gender-Based Violence. European Union Agency for

Fundamental Right, 2016 [database on-line]; tersedia di

http://fra.europa.eu/en/theme/asylum-migration-borders/overviews/focus-

gender-based-violence; Internet; diakses pada 30 September 2017.

They Won’t Admit It in Stockholm, but Donald Trump is Right about Immigration

in Sweden. Telegraph, 2017 [database on-line]; tersedia di

http://www.telegraph.co.uk/news/2017/02/23/wont-admit-stockholm-

Page 93: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

xx

donald-trump-right-immigration-sweden/amp/; diakses pada 27 Februari

2018.

UNHCR Chief Issues Key Guidelines for Dealing with Europe’s Refugee Crisis.

UNHCR [database on-line]; tersedia di http://www.unhcr.org/55e9793b6/;

Internet; diakses pada 30 September 2017.

What’s in a Name: Crime Suspects and The Swedish Press. The Local Sweden,

2016 [database on-line]; tersedia di

https://www.thelocal.se/20090223/17716; diakses pada 7 Juli 2018.

Why Aren't European Feminists Arguing Against The Anti-Immigrant Right?.

Open Democracy, 2016 [database on-line]; tersedia di

https://www.opendemocracy.net/5050/why-are-european-feminists-failing-

to-strike-back-against-anti-immigrant-right; diakses pada 27 Februari

2018.

Why Does Sweden Have More Boys Than Girls?. BBC, 2016 [database on-line];

tersedia di http://www.bbc.com/news/magazine-35444173; Internet;

diakses pada 28 September 2017.

Why Women Live in Fear in the First 'Feminist' Nation. CBN News, 2017

[database on-line]; tersedia di

https://www1.cbn.com/cbnnews/world/2017/november/why-women-live-

in-fear-in-the-first-feminist-nation/; diakses pada 27 Februari 2018.

Yougov: Nu Är SD Sveriges Största Parti. Metro, 2015 [database on-line]; tersedia

di https://www.metro.se/artikel/yougov-nu-%C3%A4r-sd-sveriges-

st%C3%B6rsta-parti-xr/; diakses pada 27 Februari 2018.

Page 94: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

xiii

TRANSKIP WAWANCARA

Transkip Wawancara dengan Edith Permén

Praktisi Kebijakan Luar Negeri Feminis, Kementerian Luar Negeri Swedia

Wawancara 1

Tempat: Melalui Sambungan E-mail

Waktu: 20 Februari-8 Maret 2018

Sumber: https://mail.google.com/mail/u/0/?hl=id#inbox/161c330945463866

Page 95: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

(P = Penanya N = Narasumber)

P 20 Februari 2018

Selamat pagi. Saya Putri Larasati. Saat ini saya sedang meneliti tentang

feminisme dalam perubahan kebijakan Swedia terhadap krisis pengungsi

periode 2014-2017. Apakah Anda memiliki rekomendasi tentang pihak

yang dapat saya wawancarai?

N 23 Februari 2018

Dear Putri, terima kasih atas pertanyaan dan minat Anda pada kebijakan

luar negeri Swedia. Kami sedang mencari orang terbaik untuk menjawab

pertanyaan Anda. Kami harap kami dapat segera menghubungi Anda

kembali dengan sebuah jawaban.

N 8 Maret 2018

Dear Putri, terima kasih atas minat Anda pada kebijakan luar negeri

feminis Swedia. Izinkan saya sendiri yang mengambil kesempatan ini.

Apakah yang dapat saya bantu terkait penelitian Anda?

P 8 Maret 2018

Saya memiliki beberapa pertanyaan terkait topik tersebut. Berikut adalah

beberapa pertanyaan saya:

1. Bagaimana kebijakan luar negeri feminis Swedia dijalankan terhadap

pengungsi? Apakah hanya menguntungkan perempuan saja?

2. Swedia merestriksi kebijakannya terhadap pengungsi, bukankah itu

pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan bertentangan terhadap

kebijakan feminis itu sendiri?

Saya menunggu balasan Anda. Terima kasih.

N 8 Maret 2018

Dear Putri, sebelumnya saya akan mengirimkan rencana aksi kebijakan

luar negeri feminis Swedia 2015-2018 dan contoh-contoh dari tiga tahun

pelaksanaan (terlampir).

Untuk menjawab pertanyaan Anda,

1. Sepanjang pemerintahan kami, kami menerapkan perspektif gender

yang sistematis. Salah satu fokus kebijakan luar negeri feminis adalah

untuk memperkuat hak asasi perempuan dan anak perempuan yang

merupakan pengungsi atau migran. Di antaranya, kami bekerja untuk

memastikan bahwa pemangku kepentingan dapat mencegah dan

mengatasi pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum

humaniter dengan jalur kebijakan.

Kami pun bekerja untuk memastikan bahwa komitmen dari berbagai

pertemuan yang membahas tentang migrasi, pengungsi, dan masalah

Page 96: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

kemanusiaan, seperti the Call to Action on Protection from Gender-

based Violence in Emergencies, membantu wanita dan gadis yang

menjadi pengungsi atau migran untuk menikmati hak asasi manusia

mereka.

2. Adapun respons pemerintah Swedia terhadap situasi pengungsi pada

2015 secara lengkap dapat ditemukan di sini:

http://www.government.se/government-policy/the-governments-work-

regarding-the-refugee-situation/

Pada 20 Juli 2016, kebijakan migrasi sementara diperkenalkan. Secara

umum dijelaskan di sini:

http://www.government.se/government-policy/migration-and-asylum/

Swedia melakukan kebijakan tersebut justru karena komitmen kami

terhadap hak asasi manusia, terutama hak asasi perempuan dan anak

perempuan. Kebijakan restriksi tersebut juga merupakan adaptasi dari

aturan suaka tingkat minimum dalam hukum Uni Eropa.

Selanjutnya, Anda dapat menemukan informasi yang berguna dalam

laporan Swedia kepada Dewan Eropa tentang konvensi pencegahan dan

pemberantasan kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan domestik:

https://rm.coe.int/state-report-on-sweden/168073fff6

Anda juga dapat bertanya dengan The Swedish Migration Agency

Migrationsverket. Keputusan Badan Migrasi pada umumnya dapat

dimintai banding ke pengadilan migrasi. Agen Migrasi memiliki situs

dalam bahasa Inggris:

https://www.migrationsverket.se/English/Startpage.html

Saya harap ini berguna, semoga sukses dengan penelitian Anda!

Page 97: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

Transkip Wawancara dengan Christer Lyck

Informan The Swedish Migration Agency (Migrationsverket)

Wawancara 2

Tempat: Melalui Sambungan E-mail

Waktu: 25-26 Februari 2018

Sumber: https://mail.google.com/mail/u/0/?hl=id#inbox/161d25f87ec36de2

(P = Penanya N = Narasumber)

P 25 Februari 2018

Selamat pagi. Saya Putri Larasati. Saat ini saya sedang meneliti tentang

feminisme dalam perubahan kebijakan Swedia terhadap krisis pengungsi

periode 2014-2017. Saya sudah mewawancarai pemerintah Swedia, dan

pemerintah Swedia menyarankan saya untuk menghubungi The Swedish

Migration Agency (Migrationsverket). Saya memiliki beberapa

pertanyaan, yaitu:

1. Bagaimana keterlibatan Migrationsverket dalam perumusan

perubahan kebijakan Swedia yang menjadi lebih ketat terhadap

pengungsi pada 2015?

2. Tanpa unsur politis, sebagai badan di luar pemerintah, apa yang

Migrationsverket harapkan dari perubahan kebijakan tersebut?

N 26 Februari 2018

Page 98: PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43476/1/PUTRI LARASATI-FISIP.pdf · “PERSPEKTIF FEMINISME TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN

Terima kasih untuk pertanyaan Anda.

1. The Swedish Migration Agency adalah badan sipil utama yang

bertanggung jawab untuk memproses permohonan izin tinggal di Swedia

dan untuk menilai permohonan suaka secara individual. Kami tidak

bekerja sendiri, melainkan kami diperintah oleh undang-undang yang

disahkan oleh Parlemen (Riksdag) yang bertanggung jawab atas

pembuatan kebijakan di bidang terkait dengan Pemerintah yang menjadi

kekuatan pendorong. Proposal untuk legislasi baru, atau amandemen

terhadap undang-undang yang ada, biasanya berasal dari Pemerintah.

Kami hanya menjalankan tugas yang sifatnya teknis.

2. Sebagai tanggapan terhadap masifnya pencari suaka pada 2015

pemerintah memutuskan untuk memperkenalkan kontrol perbatasan

sementara di perbatasan internal. Pada 20 Juli 2016, tindakan sementara

disahkan oleh Riksdag. Harapan dalam perubahan kebijakan adalah

untuk secara signifikan mengurangi jumlah orang yang mencari suaka di

Swedia. Kami, khususnya pemerintah Swedia, memperhitungkan bahwa

pada jangka panjang, jumlah pencari suaka yang masuk pada 2015 tidak

bisa terus bertambah. Pada saat yang sama, negara anggota Uni Eropa

juga tidak dapat berbagi tanggung jawab terkait kuota penerimaan

pengungsi. Terbukti, Swedia berhasil menurunkan jumlah pencari suaka

menjadi hanya 23.000 orang pada 2018. Angka tersebut relatif rendah

dibandingkan dengan tahun-tahun terakhir ketika jumlah pencari suaka

mencapai sekitar 25.000 dan 29.000, dengan pengecualian pada tahun

2015 ketika Badan Migrasi Swedia menerima sebanyak 163.000 aplikasi

suaka.

Semoga jawaban tersebut dapat membantu penelitian Anda.