Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

107

Click here to load reader

description

About Feminism

Transcript of Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

Page 1: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

17

BAB II

FEMINISME DALAM NOVEL

PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN

Bab dua akan membahas tentang kajian pustaka dari teori yang sedang

dikaji dan kedudukan masalah penelitian dalam bidang ilmu yamg diteliti.

Fungsi lain dari kajian pustaka adalah sebagai landasan teoretik dalam analisis

temuan. Adapun dalam bab dua ini akan dibahas tentang feminisme (sejarah,

pengertian, aliran-aliran feminisme, feminisme dalam sastra, hak perempuan

dalam Islam, dan kondisi perempuan dalam masyarakat; Kritik sastra feminis

(pengertian, jenis-jenis, dan cara kerja kritik sastra feminis); sastra (pengertian,

ciri-ciri, jenis-jenis, fungsi, dan unsur-unsur pembentuk sastra); novel

(pengertian, ciri-ciri, jenis, fungsi, unsur-unsur yang membangun novel, dan teori

struktur novel); dan bahan pembelajaran apresiasi sastra (pengertian, kriteria,

fungsi, manfaat, unsur-unsur, kualitas, cakupan, dan bahan pembelajaran

apresiasi sastra dalam KTSP).

A. Feminisme

Feminisme merupakan ideologi yang sudah berkembang di berbagai

belahan dunia, termasuk di Indonesia. Feminisme juga telah memasuki ruang-

ruang kehidupan, termasuk dalam karya sastra. Pada dasarnya feminisme

merupakan suatu ideologi yang memberdayakan perempuan. Perempuan juga

bisa menjadi subjek dalam segala bidang dengan menggunakan pengalamannya

sebagai perempuan dan menggunakan perspektif perempuan yang lepas dari

mainstream kultur patriarki yang selalu beranjak dari sudut pandang laki-laki.

Page 2: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

18

Pembahasan mengenai feminisme dalam penelitian ini akan diarahkan pada

pembahasan mengenai sejarah feminisme; pengertian dan teori feminisme; aliran-

aliran dalam feminisme yang terdiri atas feminisme liberal, feminisme marxis,

feminisme radikal, feminisme sosialis, feminisme poskolonial, dan feminisme

muslim; feminisme dalam sastra; dan kondisi perempuan dalam masyarakat.

1. Sejarah Feminisme

Gerakan feminisme secara umum merupakan suatu reaksi atas

ketimpangan dan ketidakadilan yang dihasilkan oleh suatu tatanan sosial yang

patriarkhi (Mustaqim, 2008:88). Secara historis, gerakan feminisme di Barat

terkait dengan lahirnya renaissance di Italia yang membawa fajar kebangkitan

kesadaran baru Eropa. Pada saat itu muncullah para humanis yang menghargai

manusia baik laki-laki maupun perempuan sebagai individu yang bebas

menggunakan akal budinya, bebas dari pemasungan intelektual gereja.

Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan era pencerahan

di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de

Condorcet. Setelah Revolusi Amerika tahun 1776 dan Revolusi Perancis tahun

1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung

daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan dari kalangan

atas sampai kalangan bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk

mendapatkan pendidikan, hak berpolitik, hak atas milik, dan hak pekerjaan.

Karena tidak memiliki hak-hak tersebut, kedudukan perempuan tidaklah sama di

hadapan hukum. Menurut mereka, ketertinggalan tersebut disebabkan oleh

kebanyakan perempuan masih buta huruf, miskin, dan tidak memiliki keahlian.

Page 3: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

19

Karenanya gerakan perempuan awal ini lebih mengedepankan perubahan sistem

sosial di mana perempuan diperbolehkan ikut memilih dalam pemilu.

Pada tahun 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan

pertama kali di didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.

Kemudian tahun 1837, kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis

sosialis utopis, Charles Fourier. Pada tahun yang sama, Grimke membuat sebuah

tulisan yang terkait dengan feminisme. Dalam tulisannya tersebut ia mengatakan

sebagai berikut.

Kami tidak meminta untuk diistimewakan atau berusaha merebut kekuasaan tertentu. Yang sebenarnya kami inginkan adalah sederhana, bahwa, mereka mengangkat kaki mereka dari tubuh kami dan membiarkan kami berdiri tegap sama seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan (Sarah Grimke, 1837)

Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa

pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan

(feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum

laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik,

terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional

yang berorientasi agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar

rumah. Adapun kaum perempuan ditempatkan di dalam rumah. Situasi ini mulai

mengalami perubahan ketika datangnya era liberalisme di Eropa dan terjadinya

Revolusi Perancis pada abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan

ke seluruh dunia.

Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum

perempuan memperburuk situasi. Di lingkungan agama Kristen terjadi praktik-

praktik dan kotbah-kotbah yang menunjang hal tersebut ditilik dari banyaknya

Page 4: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

20

gereja yang menolak adanya pendeta perempuan dan beberapa jabatan “tua” yang

hanya dijabat oleh laki-laki.

Gerakan feminisme berkembang pesat di Amerika setelah munculnya

publikasi John Stuart Mill (1869) yang berjudul The Subjection of Women (Broto

dalam Darma, 2009:145). Gerakan ini menandai kelahiran feminisme gelombang

pertama. Menjelang abad IX, feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup

mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan-

perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka

sebut sebagai keterikatan universal (universal sisterhood). Gerakan ini

memunculkan lahirnya feminisme gelombang kedua. Pada tahun 1960 bersamaan

dengan munculnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajahan Eropa,

menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih. Pada saat itu untuk

pertama kali, perempuan diberi hak suara di parlemen, hak pilih, dan

diikutsertakan dalam ranah politik kenegaraan. Perjuangan gerakan feminisme

berkembang lebih luas dengan tuntutan untuk mencapai kesederajatan dan

kesetaraan harkat serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola

kehidupan dan tubuhnya baik di ruang domestik maupun di ruang publik (Darma,

2009:145). Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti

Helene Cixous dan Julia Kristeva.

Seratus tahun kemudian, perempuan-perempuan kelas menengah abad

industrialisasi mulai menyadari kurangnya peran mereka di masyarakat. Mereka

mulai keluar rumah dan mengamati banyaknya ketimpangan sosial dengan

korban para perempuan. Pada saat itu benih-benih feminisme mulai muncul,

meski dibutuhkan seratus tahun lagi untuk menghadirkan seorang feminis yang

Page 5: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

21

dapat menulis secara teoritis tentang persoalan perempuan. Simone de Beauvoir,

seorang filsuf Perancis yang menghasilkan karya pertama berjudul The Second

Sex. Dua puluh tahun setelah kemunculan buku itu, pergerakan perempuan barat

mengalami kemajuan yang pesat. Persoalan ketidakadilan seperti upah yang tidak

adil, cuti haid, aborsi hingga kekerasan mulai didiskusikan secara terbuka

(Bafagih dalam http://www.averroes.or.id/thought/sejarah-gerakan-

perempuan.html).

Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung

pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis

oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih

setelah Friedan membentuk organisasi perempuan bernama National

Organization for Woman (NOW) pada tahun 1966 yang gemanya merambah ke

segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundang-undangan, tulisan Betty

berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) dan Equal Right Act

(1964). Equal Pay Right merupakan peraturan tentang pembayaran kerja

sehingga kaum perempuan dapat menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan

memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Adapun

Equal Right Act merupakan peraturan tentang hak pilih, di mana perempuan

mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.

Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada tahun

1960-an menunjukkan bahwa sistem sosial masyarakat modern memiliki struktur

yang pincang akibat budaya patriarki yang kental. Marginalisasi peran

perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik,

merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.

Page 6: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

22

Gerakan feminisme tersebut telah membawa dampak luar biasa dalam

kehidupan sehari-hari perempuan. Akan tetapi bukan berarti perjuangan

perempuan berhenti sampai di situ. Wacana-wacana baru terus bermunculan

hingga kini. Perjuangan perempuan adalah perjuangan tersulit dan terlama,

berbeda dengan perjuangan kemerdekaan atau rasial. Musuh perempuan

seringkali tidak berbentuk dan bersembunyi dalam kamar-kamar pribadi.

Karenanya perjuangan kesetaraan perempuan tetap akan bergulir sampai

perempuan berdiri tegap seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan.

Gerakan feminisme di Indonesia dimulai sejak masa prakemerdekaan.

Gerakan feminisme di Indonesia ditandai dengan munculnya beberapa tokoh

perempuan yang rata-rata berasal dari kalangan atas, seperti: Kartini, Dewi

Sartika, Cut Nya’ Dien dan lain-lain. Mereka berjuang mereaksi kondisi

perempuan di lingkungannya. Perlu dipahami bila model gerakan Dewi Sartika

dan Kartini lebih ke pendidikan dan itu pun baru upaya melek huruf dan

mempersiapkan perempuan sebagai calon ibu yang terampil karena baru sebatas

itulah yang memungkinkan untuk dilakukan pada masa itu. Sementara Cut Nya’

Dien yang hidup di lingkungan yang tidak sepatriarki Jawa, telah menunjukkan

kesetaraan dalam perjuangan fisik tanpa batasan gender. Apapun, mereka adalah

peletak dasar perjuangan perempuan masa kini di Indonesia.

Pada masa kemerdekaan dan masa Orde Lama, gerakan feminisme

terbilang cukup dinamis dan memiliki bargaining cukup tinggi. Akan tetapi,

kondisi semacam ini mulai “tumbang” sejak Orde Baru (orba) berkuasa. Bahkan

mungkin perlu dipertanyakan: adakah gerakan perempuan di masa rejim orde

baru? Bila menggunakan definisi tradisional di mana gerakan feminisme

Page 7: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

23

diharuskan berbasis massa, maka sulit dikatakan ada gerakan feminisme ketika

itu. Apalagi bila definisi tradisional ini dikaitkan dengan batasan ala Alvarez

yang memandang gerakan feminisme sebagai sebagai sebuah gerakan sosial dan

politik dengan anggota sebagian besar perempuan yang memperjuangkan

keadilan gender. Alvarez tidak mengikutkan organisasi perempuan milik

pemerintah atau organisasi perempuan milik parpol serta organisasi perempuan di

bawah payung organisasi lain dalam definisinya tersebut.

Gerakan feminisme di masa rejim otoriter Orde baru muncul sebagai hasil

dari interaksi antara faktor-faktor politik makro dan mikro. Faktor-faktor politik

makro berhubungan dengan politik gender orba dan proses demokratisasi yang

semakin menguat di akhir tahun 80-an. Adapun faktor politik mikro terkait

dengan wacana tentang perempuan yang mengerangkakan perspektif gerakan

feminisme masa pemerintahan Orba. Wacana-wacana ini termasuk pendekatan

Women in Devolopment (WID) yang telah mendominasi politik gender Orba

sejak tahun 70-an, juga wacana feminisme yang dikenal oleh kalangan terbatas

(kampus/akademisi).

Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, pemerintahan Orba

diidentikkan dengan berbagai peraturan otoriter yang tersentralisasi dari militer

dan tidak dikutsertakannya partisipasi efektif partai-partai politik dalam proses

pembuatan keputusan. Anders Uhlin (Bafagih,

http://www.averroes.or.id/thought/sejarah-gerakan-perempuan.html) berpendapat

bahwa selain dominasi negara atas masyarakat sipil, struktur ekonomi dan politik

global, struktur kelas, pembelahan atas dasar etnis dan agama, hubungan gender

juga mendukung kelanggengan kekuasaan rejim Orba.

Page 8: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

24

Untuk memahami politik gender ini sangat penting, menganalisis

bagaimana rejim Orba ini berhubungan dengan hubungan-hubungan gender sejak

ia berkuasa setelah peristiwa 1965. Rejim Orba dibangun di atas kemampuannya

untuk memulihkan ketakteraturan. Pembunuhan besar-besaran berskala luas yang

muncul digunakan untuk memperkuat kesan di masyarakat Indonesia bahwa Orla

adalah kacau balau dan tak beraturan. Rejim Orba secara terus-menerus dan

sistemis mempropagandakan komunis adalah amoral dan anti agama serta

penyebab kekacauan.

Selain itu, Gerwani (Gerakan wanita Indonesia) sebagai bagian dari PKI

juga menjadi alat untuk menciptakan pondasi politik gender yang secara

mendasar mendelegitimasi partisipasi perempuan dalam kegiatan-kegiatan

politik. Kampanye ini ternyata tidak hanya menghancurkan komunis, tetapi juga

menghancurkan gerakan perempuan, dalam hal ini gerakan feminisme. Kodrat

menjadi kata kunci, khususnya dalam mensubordinasi perempuan. Orba

mengkonstruksikan sebuah ideologi gender yang mendasarkan diri pada ibusime,

sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi perempuan sebagai bagian dari

peranannya sebagai ibu dan partisipasi perempuan dalam politik sebagai tak

layak. Politik gender ini termasnifestasikan dalam dokumen-dokumen negara,

seperti GBHN, UU Perkawinana No. 1/1974 dan Panca Dharma Wanita.

Dalam usaha untuk memperkuat politik gender tersebut, pemerintah Orba

merevitalisasi dan mengelompokkan organisasi-organisasi perempuan yang

berafiliasi dengan departemen pemerintah pada tahun 1974. Organisasi-

organisasi ini (Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK) membantu pemerintah

menyebarluaskan ideologi gender ala Orba. Gender politik ini telah diwarnai

Page 9: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

25

pendekatan WID (Women in Depelopment) sejak tahun 70-an. Ini dapat dilihat

pada Repelita kedua yang menekankan pada “partisipasi populer” dalam

pembanguan, dan mengkonsentrasikan pada membawa perempuan supaya lebih

terlibat pada proses pembangunan.

Di bawah rejim otorioter, implikasi politik gender ini ternyata sangat jauh,

tidak sekedar mendomestikasi perempuan, pemisahan dan depolitisasi

perempuan, tetapi juga telah menggunakan tubuh perempuan sebagai instrumen-

instrumen untuk tujuan ekonomi politik. Hal ini nampak pada program KB

(Keluarga Berencana) yang dipaksakan untuk “hanya” perempuan dengan ongkos

tinggi, yang khususnya dirasakan oleh perempuan kalangan bawah di pedesaan.

Ringkasnya politik gender Orba telah berhasil membawa perempuan Indonesia

sebagai kelompok yang homogen apolitis dan mendukung peraturan otoriterian.

Bila sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling kondusif

bagi pemberdayaan perempuan, semestinya pada era reformasi pemberdayaan

perempuan di Indonesia semakin menemukan bentuknya. Apabila ukuran telah

berdayanya perempuan di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di sejumlah

jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, pada era

reformasi justru ada penurunan di banding masa-masa akhir rejim orba.

Walaupun demikian secara kualitatif, peran perempuan semakin

diperhitungkan termasuk di pos-pos strategis, seperti yang tampak pada

komposisi kabinet sekarang. Hal ini dapat digunakan untuk menjustifikasi,

bahwa mungkin saja kualitas perempuan Indonesia semakin terperbaiki.

Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan di

sektor strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi

Page 10: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

26

perempuan di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah angka kekerasan terhadap

perempuan masih sangat tinggi. Bila pada jaman lampau kekerasan masih

berbasis kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang lebih berkuasa dalam struktur

negara dan budaya (termasuk dalam rumah tangga), saat ini diperlengkap dengan

basis industrialisasi yang mensuport perempuan menjadi semacam komoditas.

2. Pengertian Feminisme

Sebagian masyarakat masih berasumsi feminisme adalah gerakan

pemberontakan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki. Feminisme dianggap

sebagai usaha pemberontakan kaum perempuan untuk mengingkari apa yang

disebut sebagai kodrat atau fitrah perempuan, melawan pranata sosial yang ada,

atau institusi rumah tangga, seperti perkawinan dan lain sebagainya (Fakih,

2007:81). Berdasarkan asumsi tersebut, gerakan feminisme tidak mudah diterima

oleh masyarakat. Oleh karena itu pemahaman terhadap konsep feminisme

tersebut perlu diluruskan.

Pemahaman terhadap konsep feminisme yang sesuai diharapkan akan

membuka cakrawala masyarakat tentang gerakan feminisme secara seimbang.

Feminisme berarti memiliki sifat keperempuanan. Feminisme diwakili oleh

persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki yang

terjadi di masyarakat. Akibat dari persepsi itu, timbul berbagai upaya untuk

mengkaji penyebab ketimpangan tersebut serta menemukan cara untuk

menyejajarkan kaum perempuan dengan kaum laki-laki sesuai potensi yang

dimiliki mereka sebagai manusia.

Para feminis mengakui bahwa gerakan mereka merupakan gerakan yang

berakar pada kesadaran kaum perempuan. Mereka juga beranggapan bahwa kaum

Page 11: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

27

perempuan sering berada dalam keadaan ditindas dan dieksploitasi, sehingga

penindasan dan eksploitasi terhadap kaum perempuan harus diakhiri. Selain itu,

gerakan feminisme bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan kedudukan dan

martabat perempuan dengan laki-laki, serta kebebasan untuk mengontrol raga dan

kehidupan mereka sendiri baik di dalam maupun di luar rumah. Harsono (dalam

Mustaqim, 2008:84) mengatakan bahwa Feminisme sebenarnya merupakan

konsep yang timbul dalam kaitannya dengan perubahan sosial (social change),

teori-teori pembangunan, kesadaran politik perempuan dan gerakan pembebasan

kaum perempuan, termasuk pemikiran kembali institusi keluarga dalam konteks

masyarakat modern dewasa ini. Adapun Mustaqim (2008:85) mengatakan bahwa

feminisme merupakan paham yang ingin menghormati perempuan, sehingga hak-

hak dan peranan mereka lebih optimal dan setara, tidak ada diskriminasi,

marginalisasi, dan subordinasi. Sejalan dengan pendapat tersebut, Bashin dan

Khan (Mustaqim,2008:4) mengatakan bahwa feminisime didefinisikan sebagai

suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam

masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh

perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut sehingga terjadi

suatu kondisi kehidupan yang harmoni antara laki-laki dan perempuan, bebas dari

segala bentuk subordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi.

Secara etimologis feminisme berasal dari kata femme (woman), berarti

perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum

perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Feminisme adalah faham perempuan

yang berupaya memperjuangkan hak-haknya sebagai kelas sosial. Adapun dalam

hubungan ini perlu dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbedaan

Page 12: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

28

biologis dan hakikat alamiah), masculine dan feminine (sebagai aspek perbedaan

psikologis dan kultural). Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa male-female

mengacu pada seks, sedangkan masculine-feminine mengacu pada jenis kelamin

atau gender, sebagai he dan she ( Selden dalam Sugihastuti, 2000:32).

Goefe (Sugihastuti, 2005:23) mengartikan feminisme sebagai teori

tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi,

dan sosial, atau kegiatan berorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta

kepentingan perempuan.

Dipandang dari sudut sosial, feminisme muncul dari rasa ketidakpuasan

terhadap sistem patriarki yang ada pada masyarakat (Selden dalam Darma,

2009:140). Istilah patriarki digunakan untuk menguraikan sebab penindasan

terhadap perempuan. Konsep patriarki menempatkan bahwa laki-laki sebagai

superior dan menempatkan perempuan sebagai imferior.

Perhatian utama teori feminis adalah adanya keseimbangan citra kaum

perempuan dalam struktur sosial, termasuk dalam karya sastra. Dworkin (dalam

Ruthven,1990:6) menyatakan bahwa tujuan feminis adalah untuk mengakhiri

dominasi laki-laki dengan cara sebagai berikut,

“dalam rangka melaksanakan hal ini, kita harus menghancurkan struktur budaya sebagaimana kita mengenalnya, seninya, budayanya, hukumnya; keluarga intinya yang berasal pada negara-bangsa; semua gambaran, lembaga, adat istiadat dan kebiasaan yang mendefinisikan perempuan sebagai korban tidak bernilai dan tidak dapat dilihat.”

Menurut pendapat tersebut, perempuan mengalami berbagai macam

ketidakadilan, baik dalam keluarga maupun masyarakat yang merupakan

implementasi dari konstruksi sosial budaya yang terpatri dalam institusi

kemasyarakatan. Feminisme tidak hanya membahas masalah emansipasi yang

Page 13: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

29

cenderung pada persamaan hak. Akan tetapi juga adanya gerakan pembaharuan

yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam upaya mengharapkan

perubahan status sosial, kebudayaan, dan cara pandang sehingga dapat tercapai

suatu keadilan dan persamaan hak. Teori feminis muncul seiring dengan

bangkitnya kesadaran bahwa sebagai manusia, perempuan juga selayaknya

memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki. Mill & Taylor mengatakan bahwa

untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan/kenikmatan) adalah

dengan membiarkan setiap individu mengejar apa yang mereka inginkan, selama

mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses pencapaian

tersebut. Mill & Taylor yakin bahwa jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan

seksual atau keadilan gender maka masyarakat harus memberi perempuan hak

politik dan kesempatan, serta pendidikan yang sama dengan yang dinikmati laki-

laki (Tong, 2008:23).

Teori feminisme memfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai

persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Teori ini

berkembang sebagai reaksi atas fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya

konflik kelas, konflik ras, dan terutama karena adanya konflik gender. Feminisme

mencoba untuk mendekonstruksi sistem yang menimbulkan kelompok yang

mendominasi dan didominasi, serta sistem hegemoni di mana kelompok

subordinat terpaksa harus menerima nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok

yang berkuasa. Feminisme mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara

kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh

lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki,

Page 14: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

30

menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki (Ratna,

2007:186).

Teori feminisme memperlihatkan dua perbedaan mendasar dalam melihat

perempuan dan laki-laki. Ungkapan male-female yang memperlihatkan aspek

perbedaan biologis sebagai hakikat alamiah, kodrati. Adapun ungkapan

masculine -feminine merupakan aspek perbedaan psikologis dan kultural (Ratna,

2002:184). Kaum feminis radikal-kultural menyatakan bahwa perbedaan

seks/gender mengalir bukan semata-mata dari faktor biologis, melainkan juga

dari sosialisasi atau sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat

yang patriarkal (Tong, 2008:71). Simon de Beauvoir menyatakan bahwa dalam

masyarakat patriarkal, perempuan ditempatkan sebagai yang Lain atau Liyan,

sebagai manusia kelas dua (deuxieme sexe) yang lebih rendah menurut kodratnya

(Selden dalam Muslikhati, 2004:37). Kedudukan sebagai Liyan mempengaruhi

segala bentuk eksistensi sosial dan kultural perempuan (Cavallaro, 2001:202).

Masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi

perempuan dan laki-laki sebagai dasar untuk perempuan membangun serangkaian

identitas dan perilaku maskulin dan feminin yang diberlakukan untuk

memberdayakan laki-laki di satu sisi dan melemahkan di sisi lain. Masyarakat

patriarkal meyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi budaya adalah “alamiah”

dan karena itu “normalitas” seseorang tergantung pada kemampuannya untuk

menunjukkan identitas dan perilaku gender. Perilaku ini secara kultural

dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang. Masyarakat patriarkal

menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan perempuan tetap pasif

(penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria,

Page 15: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

31

baik, ramah) dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu,

ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, kompetitif) (Tong,

2008:72-73). Adapun menurut Millet (Sofia, 2009:10), ideologi patriarkal dalam

akademi, institusi keagamaan, dan keluarga membenarkan dan menegaskan

subordinasi perempuan terhadap laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan

perempuan untuk menginternalisasi diri terhadap laki-laki.

Jadi dapat disimpulkan bahwa menjadi perempuan disebabkan oleh nilai-

nilai kultural dan bukan oleh hakikatnya. Oleh karena itu, gerakan dan teori

feminisme berjuang agar nilai-nilai kultural yang menempatkan perempuan

sebagai Liyan, sebagai kelompok ‘yang lain’, yang termarginalkan dapat

digantikan dengan keseimbangan yang dinamis antara perempuan dan laki-laki.

Pembicaraan perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan masalah gender,

yaitu bagaimana perempuan tersubordinasi secara kultural. Analisis feminis pasti

akan mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan

persamaan hak, dengan kata lain tuntutan emansipasi.

Tujuan pokok dari teori feminisme adalah memahami penindasan

perempuan secara ras, gender, kelas, dan pilihan seksual, serta bagaimana

mengubahnya. Teori feminisme mengungkap nilai-nilai penting individu

perempuan beserta pengalaman-pengalaman yang dialami bersama dan

perjuangan yang mereka lakukan. Feminisme menganalisis bagaimana perbedaan

seksual dibangun dalam dunia sosial dan intelektual, serta bagaimana feminisme

membuat penjelasan mengenai pengalaman dari berbagai perbedaan tersebut.

Feminisme bukanlah upaya pemberontakan terhadap laki-laki, upaya

melawan pranata sosial seperti institusi rumah tangga dan perkawinan, ataupun

Page 16: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

32

upaya perempuan untuk mengingkari kodratnya, melainkan upaya untuk

mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan. Dalam hal ini, sasaran

feminisme bukan sekedar masalah gender, melainkan memperjuangkan hak-hak

kemanusiaan. Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka

mentransformasikan sistem dan struktur sosial yang tidak adil menuju keadilan

bagi kaum laki-laki dan perempuan (Fakih, 2007:78-79). Oleh karena itu,

feminisme menghendaki kemandirian perempuan, tidak hanya tergantung kepada

laki-laki.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa inti

dari gerakan feminisme adalah kesadaran akan diskriminasi, ketidakadilan, dan

subordinasi perempuan serta usaha untuk mengubah keadaan tersebut menuju

suatu sistem masyarakat yang adil dan seimbang antara laki-laki dan perempuan.

Feminisme masa kini adalah perjuangan untuk mencapai kesetaraan harkat dan

kebebasan perempuan dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya baik di ruang

domestik dalam rumah tangganya maupun di ruang publik dalam lingkungan

masyarakat. Kaum feminis juga menuntut terciptanya suatu masyarakat yang adil

serta persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, untuk

bisa menjadi feminis tidak harus berjenis kelamin perempuan. Laki-laki pun bisa

menjadi feminis asal mempunyai kesadaran dan kepedulian untuk mengubah

ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga maupun

masyarakat.

3. Aliran-Aliran Feminisme

Gerakan perempuan tidak pernah mengalami keseragaman di muka bumi

ini. Antara satu negara dan satu budaya dengan negara dan budaya lain, memiliki

Page 17: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

33

pola yang kadang berbeda, bahkan ambivalen. Feminisme sebagai sebuah isme

dalam perjuangan gerakan perempuan juga mengalami interpretasi dan

penekanan yang berbeda di beberapa tempat.

Ide atau gagasan para feminis yang berbeda di tiap negara ini misalnya

tampak pada para feminis Itali yang justru memutuskan diri untuk menjadi

oposan dari pendefinisian kata feminisme yang berkembang di barat pada

umumnya. Mereka tidak terlalu setuju dengan konsep yang mengatakan bahwa

dengan membuka akses seluas-luasnya bagi perempuan di ranah publik, akan

berdampak timbulnya kesetaraan. Para feminis Itali lebih banyak menyupayakan

pelayanan-pelayanan sosial dan hak-hak perempuan sebagai ibu, istri, dan

pekerja. Mereka memiliki UDI (Unione Donne Italiane) yang setara dan sebesar

NOW (National Organization for Women) di Amerika Serikat. Pola penekanan

perjuangan feminis Itali ini mengingatkan kita pada gaya perjuangan perempuan

di banom-banom NU di Indonesia.

Hal yang sedikit berbeda terjadi di Perancis. Umumnya feminis di sana

menolak dijuluki sebagai feminis. Para perempuan yang tergabung dalam

Mouvment de liberation des femmes ini lebih berbasis pada psikoanalisa dan

kritik sosial. Di Inggris pun tokoh-tokoh seperti Juliat Mitcell dan Ann Oakley

termasuk menentang klaim-klaim biologis yang dilontarkan para feminis radikal

dan liberal yang menjadi tren di tahun 60-an. Bagi mereka, yang bisa menjadi

pemersatu kaum perempuan adalah konstruksi sosial bukan semata kodrat

biologinya.

Di dunia Arab, istilah feminisme dan feminis tertolak lebih karena faktor

image barat yang melekat pada istilah tersebut. Pejuang feminis di sana

Page 18: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

34

menyiasati masalah ini dengan menggunakan istilah yang lebih Arab atau Islam

seperti Nisa’i atau Nisaism.

Meskipun di kemudian hari definisi feminisme banyak mengalami

pergeseran, namun rata-rata feminis tetap melihat bahwa setiap konsep, entah itu

dari kubu liberal, radikal maupun, sosialis tetap beraliansi secara subordinat

terhadap ideologi politik tertentu. Dan konflik yang terjadi di antara feminis itu

sendiri sering disebabkan diksi politik konvensional melawan yang moderat.

Misalnya konsep otonomi dari kubu feminis radikal berkaitan dengan gerakan

antikolonial, sementara kubu feminis liberal menekankan pada pentingnya

memperjuangkan kesetaraan hak-hak perempuan dalam kerangka bermasyarakat

dan berpolitik yang plural. Inilah mengapa feminis selalu bercampur dengan

tradisi politik yang dominan di suatu masa.

Apabila dipilah-pilah berdasarkan tradisi politik yang berkembang maka

aliran-aliran dalam femninisme dapat dibedakan ke dalam kubu-kubu sebagai

berikut.

a. Feminisme Radikal

Struktur dasar feminisme radikal adalah bahwa tidak ada perbedaan antara

tujuan personal dengan politik. Artinya unsur-unsur biologis dan seks sebagai

rangkaian kegiatan manusia yang alamiah yang sebenarnya bentuk dari sexual

politics. Ketidakadilan gender yang dialami oleh kaum perempuan disebabkan

oleh masalah yang berakar pada kaum laki-laki itu sendiri beserta ideologi

patriarkinya. Keadaan biologis kaum laki-lakilah yang membuat mereka lebih

tinggi kedudukannya dibandingkan kaum perempuan. Gerakan mengadopsi sifat-

sifat maskulin dianggap sebagai cara kaum perempuan untuk sejajar dengan

Page 19: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

35

kaum laki-laki (Fakih, 2007:83-86). Menurut feminisme radikal kekuatan laki-

laki memaksa melalui lembaga personal, seperti fungsi produksi, pekerjaan

rumah tangga, perkawinan, dan sebagainya, sebagai alat kekuasaan laki-laki

terhadap perempuan yang tidak pernah disadari dan hal itu dianggapnya sebagai

bentuk dasar penindasan terhadap perempuan. Dengan kata lain, penindasan

terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan

objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme

radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi,

seksualitas, seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-

publik, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan.

Informasi atau pandangan buruk banyak ditujukan kepada feminis radikal.

Padahal, karena keberaniannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah

Indonesia saat ini memiliki Undang-Undang RI no. 23 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Gerakan feminisme radikal dapat diartikan sebagai gerakan perempuan

yang bertujuan dalam realitas sosial. Oleh karena itu, feminisme radikal

mempersoalkan bagaimana caranya menghancurkan patriarkhi sebagai sistem

nilai yang mengakar kuat dan melembaga dalam masyarakat. Adapun strategi

feminisme radikal dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut adalah

pembebasan perempuan yang dapat dicapai melalui organisasi perempuan yang

terpisah dan memiliki otonomi, serta melalui cultural feminism (Mustaqim,

2008:100).

Page 20: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

36

b. Feminisme Liberal

Feminisme liberal berawal dari teori politik liberal, di mana manusia

secara individu dijunjung tinggi, termasuk didalamnya nilai otonomi, nilai

persamaan, dan nilai moral yang tidak boleh dipaksa, tidak diindoktrinasikan dan

bebas memiliki penilaian sendiri. Feminisme liberal sebagai turunan dari teori

politik liberal, pada mulanya menentang diskriminasi perempuan dalam

perundang-undangan. Mereka menuntut adanya persamaan dalam hak pilih,

perceraian, dan kepemilikan harta benda. Feminis liberal menekankan kesamaan

antara perempuan dan laki-laki. Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa

kebebasan dan keseimbangan berakar pada rasionalitas. Pada dasarnya tidak ada

perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, dasar perjuangan

feminisme liberal adalah menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap

individu termasuk perempuan atas dasar kesamaan keberadaannya sebagai

makhluk rasional (Muslikhati, 2004:32).

Tujuan feminisme liberal adalah reformasi di bidang pendidikan, hukum,

dan profesi pekerjaan dalam memperbaiki kualitas hidup perempuan. Tong

(2008:18) berpendapat bahwa tujuan umum feminisme liberal adalah

menciptakan masyarakat yang adil dan peduli serta mewujudkan kebebasan

perempuan. Dengan kehidupan masyarakat seperti itu, perempuan dan laki-laki

dapat mengembangkan diri. Feminisme liberal hanya mengakui perbedaan antara

perempuan dan laki-laki yang bersifat alami dan kodrati. Perbedaan hakiki hanya

berlaku antara manusia dengan hewan atau dengan ciptaan Tuhan yang lain. Jika

masyarakat menyadari dan tidak mencampuradukkan antara seks dan gender

Page 21: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

37

maka penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak setiap individu dalam

masyarakat akan terlaksana dengan baik.

Kedua aliran feminis ini lebih mengedepankan klaim-klaim biologis dan

dikenal sebagai kelompok feminis ideologis.

c. Feminisme Marxis

Menurut perspektif feminisme marxis, sebelum kapitalisme berkembang,

keluarga adalah kesatuan produksi. Semua kebutuhan manusia untuk

mempertahankan hidupnya dilakukan oleh semua anggota keluarga termasuk

perempuan. Akan tetapi setelah berkembangnya kapitalisme, industri dan

keluarga tidak lagi menjadi kesatuan produksi. Kegiatan produksi dan barang-

barang kebutuhan manusia telah beralih dari rumah ke pabrik. Perempuan tidak

lagi ikut dalam kegiatan produksi.

Akibat dari hal itu adalah terjadi pembagian kerja secara seksual, di mana

laki-laki bekerja di sektor publik yang bersifat produktif dan bernilai ekonomis,

sedangkan perempuan bekerja di sektor domestik yang tidak produktif dan tidak

bernilai ekonomis. Karena kepemilikan materi menentukan nilai eksistensi

seseorang maka sebagai konsekwensinya perempuan yang berada di sektor

domestik dan tidak produktif dinilai lebih rendah daripada laki-laki. Dengan

demikian, salah satu cara untuk membebaskan perempuan dari ketidakadilan

keluarga adalah perempuan harus masuk ke sektor publik yang dapat

menghasilkan nilai ekonomi, sehingga konsep pekerjaan domestik perempuan

tidak lagi ada.

Page 22: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

38

d. Feminisme Sosialis

Feminisme sosialis merupakan sintesis dari feminisme radikal dan

feminisme marxis. Asumsi dasar yang dipakai adalah bahwa hidup dalam

masyarakat yang kapitalistik bukan satu-satunya penyebab utama bagi

keterbelakangan perempuan. Feminisme sosialis memandang bahwa perempuan

mengalami penurunan (reducing process) dalam hubungan masyarakatnya, dan

bukan perubahan radikal atau perjuangan kelas (Mustaqim,2008:102).

Gerakan feminisme sosialis lebih difokuskan kepada penyadaran kaum

perempuan akan posisi mereka yang tertindas. Karena banyak perempuan yang

tidak menyadari ketertindasan tersebut maka perlu adanya partisipasi laki-laki

untuk mengubah pandangan masyarakat tentang kesetaraan. Tujuan feminisme

sosialis adalah membentuk hubungan sosial menjadi lebih manusiawi.

e. Feminisme Ras atau Feminisme Etnis

Feminisme ras lebih mengedepankan persoalan pembedaan perlakuan

terhadap perempuan kulit berwarna.

f. Feminisme Poskolonial

Dasar pandangan feminisme poskolonial berakar dari penolakan

universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di

negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan perempuan berlatar

belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan

lebih berat karena selain mengalami penindasan berbasis gender, mereka juga

mengalami penindasan antarbangsa, suku, ras, dan agama

(http://etd.eprints.uns.oc.id/4472/1/4310050142.pdf). Dimensi kolonialisme

menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat

Page 23: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

39

penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas

masyarakat.

Dari semua aliran yang telah disebutkan, masih berpotensi untuk

berkembang menjadi beberapa beberapa sempalan aliran lain, misalnya

feminisme muslim (Mustaqim, 2008:161). Seperti yang telah diungkapkan di

atas, wacana feminisme dan gerakan perempuan akan terus berkembang seiring

dengan ragam perkembangan kelas masyarakat yang memperjuangkannya,

kecenderungan kondisi sosial politik, serta kepentingan yang membingkai

perjuangan tersebut. Berikut ini merupakan tiga kategori kecenderungan besar

yang dapat disebutkan dan cukup dikenal dan berpengaruh dalam kajian

feminisme yakni: feminisme ortodoks, postfeminisme poskolonial, dan

feminisme muslim.

g. Feminisme Ortodoks

Feminisme ortodoks dikenal sebagai feminisme gelombang kedua. Ciri

dari feminisme ini adalah berkarakter sangat fanatik dan ortodoks dengan

penjelasan-penjelasan wacana patriarki. Kaum feminis garis keras ini begitu

yakin bahwa segala sesuatu yang menyusahkan dan menindas perempuan

berhubungan dengan patrarki, hingga segala argumen hanya bertumpu pada

penjelasan patrarki. Camille Paglia seorang profesor studi kemanusiaan dari

Universitas Philadelphia mengkritik sikap feminis ortodoks sebagai kelompok

yang selalu menganggap perempuan sebagai korban.

Bagi kalangan feminis ortodoks, feminisme diartikan sebagai identifikasi

dengan keinginan kesetaraan gender lewat perjuangan historis yang dicapai

dengan advokasi melalui kegiatan politik. Feminisme memperlihatkan adanya

Page 24: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

40

perbedaan antara feminin dan maskulin yang dikonstruksikan secara sosial dan

budaya. Adapun jantan (male) dan betina (female) merupakan aspek biologis

yang menentukan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Perbedaan linguistik ini

bagi feminis ortodoks dianggap sebagai sesuatu yang ideologis, sedangkan bagi

kalangan postfeminisme dianggap sebagai masalah.

Contoh dalam penanganan kasus pemerkosaan atau kekerasan terhadap

perempuan misalnya, mereka akan mengandalkan argumen-argumen kelemahan

perempuan, korban yang harus selalu dilindungi dan selalu mengalami

ketidakadilan dari masyarakat yang patriarkal. Argumen semacam ini terkesan

manipulatif dan tidak bertanggung jawab.

Kalangan feminis ortodoks banyak diwakili oleh feministes

revolusionnaires (FR) yang berdiri sejak tahun 1970 dan merupakan bagian dari

Movement de Libaration des Femmes (MLF) atau gerakan pembebasan

perempuan. Kelompok FR ini tidak menggunakan pendekatan psikoanalisa dan

sangat mengagungkan kesetaraan serta rata-rata didukung kalangan lesbian.

Teori dasar kelompok FR adalah menentang determinisme biologis, yaitu

perempuan tersubordinasi dengan norma-norma maskulin, karena haluan ini

(determinsime biologis) menurut mereka merujuk pada pandangan tradisional

esensialisme. Teori tradisonal esensial menekankan bahwa perbedaan biologis

antara laki-laki dan perempuan adalah fixed atau kodrat yang tidak dapat berubah.

Sementara menurut FR perbedaan terjadi karena masyarakat patriarkhi

menganggap perempuan sebagai “the other” dalam tataran biologis dan psikis.

Page 25: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

41

h. Postfeminisme

Kecenderungan feminisme ortodoks yang selalu melihat perempuan

sebagai makhluk lemah tak berdaya dan korban laki-laki, tidak dapat diterima

oleh perempuan-perempuan muda tahun 1900-an dan 2000 di beberapa negara

maju. Retorika feminisme yang melekat pada “ibu-ibu” mereka terutama di tahun

70-an di daratan Amerika dan Inggris telah membuat generasi kedua “bosan”

dengan feminisme. Feminisme seakan menjadi ukuran moralistik dan politik

seseorang dan menjadi pergerakan kaum histeris, serta sangat mudah untuk

menuduh dan melabelkan seseorang dengan atribut “tidak feminis”. Kelompok

inilah yang kemudian memperjuangkan postfeminisme.

Bahkan embrio kelompok ini sudah mulai muncul di tahun 1968 di Paris,

tepatnya ketika mereka (kelompok anggota po et psych/ politique et

psychoanalyse) turun ke jalan pada Hari Perempuan tanggal 8 Maret 1968 dan

meneriakkan “Down with feminism”. Sejak tahun 1960 kelompok postfeminis ini

telah berusaha mendekonstruksi wacana pastriarkal terutama wacana yang

dikembangkan oleh feministes revolutionnaires (FR).

Bagi kelompok po et psych, posisi FR yang memakai semangat

humanisme, jatuh lagi pada esensialisme yang mempunyai kategori fixed. Oleh

karenanya po et psych mengadopsi teori psikoanalisa Freud yang mencoba

menggunakan metode dekonstruksi dalam melihat teks-teks ketertindasan

perempuan. Selain itu kelompok ini tidak menekankan pada kesetaraan (equality)

seperti kelompok FR, yaitu identitas dan gender, tetapi lebih menekankan pada

perbedaan (diffrence). Di sini dapat dipahami bila postfeminisme membawa

paradigma baru dalam feminisme, dari perdebatan seputar kesetaraan ke

Page 26: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

42

perdebatan seputar perbedaan (http://www.averroes.or.id/thought/sejarah-

gerakan-perempuan.html).

i. Feminisme Islam/Muslim

Tokoh-tokoh feminisme Islam antara lain Riffat Hassan, Kamla Bashin,

Nighat Said Khan (Mustaqim, 2008:161). Feminisme dalam konteks Islam yang

digagas Riffat adalah untuk pembebasan (liberation; taharrur) bagi perempuan

dan laki-laki dari struktur dan sistem relasi yang tidak adil, dengan cara merujuk

kitab suci (baca: Al-Quran) yang diyakini sebagai sumber nilai tertinggi

(Mustaqim, 2008:174-175). Aliran feminisme ini berkeyakinan bahwa karena

Allah Maha Adil, tentu Islam membawa misi keadilan, keadilan terhadap

siapapun, baik di antara sesama manusia yang berbeda agama maupun jenis

kelamin.

Menurut aliran ini Al-Quran hadir dengan mengedepankan wacana

keadilan dan kesetaraan gender. Islam sesungguhnya lahir dengan suatu konsepsi

hubungan manusia yang berlandaskan keadilan atas kedudukan laki-laki dan

perempuan (Fakih, 2007:52).

Berangkat dari keyakinan bahwa pada dasarnya Islam menganut faham

keadilan maka segenap ketidakadilan yang berkembang dalam masyarakat Islam

pada dasarnya adalah konstruksi sosial dan tafsiran yang seringkali muncul

sebagai jawaban terhadap problem sosial (asbabunnuzul) dari suatu ayat pada

saat itu. Adapun Hafidz (Mustaqim, 2008:185) mengatakan bahwa inti dari

gerakan feminisme adalah memperjuangkan keadilan gender sebagai salah satu

bagian dari keadilan sosial. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surat An-

Nisaa (QS 4:1).

Page 27: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

43

��������� � � ���� ��������� �������� � "#��

���$�%&$' ( )* +,-.�/ 01� %3�� 4%&5�� ���7 * �89�: ;7��� ��<=�7 * �>(�

��@A BD ☯�#�FGHI�� J ����� ����� "#�� � "#�� K�����#�FG$� L MH� N%O�P'���� J KH� "#�� KD

O���-Q%&R �STU �� VWX 1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

.

Ayat tersebut menyatakan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan

adalah adil. Keduanya diciptakan dari satu nafs (living etentity), di mana yang

satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Prinsip Al-Quran terhadap

kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, di mana hak istri diakui secara adil

dengan hak suami. Laki-laki memiliki hak dan kewajiban atas perempuan,

sebaliknya kaum perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap kaum

laki-laki. Dalam hal ini, Al-Quran dianggap memiliki pandangan yang

revolusioner terhadap hubungan kemanusiaan, yakni memberikan keadilan hak

antara laki-laki dan perempuan (Fakih, 2007:50). Kedudukan suami dan istri

adalah sejajar dalam Al-Quran. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan

perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.

Perempuan adalah partner kaum laki-laki.

Terkait dengan kesetaraan hak-hak kemanusiaan, dalam deklarasi Hak

Asasi Manusia (HAM) yang dicanangkan PBB pada tahun 1948 berisi pesan

Page 28: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

44

bahwa setiap anak manusia dilahirkan dengan martabat yang sama dan punya hak

yang sama untuk dihormati kebebasannya. Hal ini berlaku tanpa membedakan

ras, etnis, agama, atau bangsa (Sadli, 2010:340). Inti dari pernyataan tersebut

adalah Semua manusia harus menghormati nilai-nilai kemanusiaan seseorang

dengan menjunjung tinggi prinsip nondiskriminasi. Universalitas hak asasi

manusia bermakna bahwa hak asasi manusia melekat pada setiap manusia dan

karenanya bersifat kodrati. Perempuan dan laki-laki mempunyai hak dasar yang

sama, seperti hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak pendidikan, dan hak budaya

yang sama.

Dalam ajaran Islam menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan

muslimat. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah untuk membaca atau

belajar. Laki-laki maupun perempuan diperintahkan untuk menuntut ilmu

sebanyak mungkin, mereka dituntut untuk belajar (Syihab, 2004:38). Adapun

banyaknya ketertinggalan perempuan muslim dalam bidang pendidikan

disebabkan oleh ketiadaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kaum

perempuan seperti yang diberikan kepada kaum laki-laki. Ketertinggalan kaum

perempuan bukan karena fitrahnya selaku makhluk yang tidak cerdas dan

emosional, melainkan diakibatkan oleh keterbelakangan kaum perempuan.

Berdasarkan uraian di atas, gerakan feminisme Islam memiliki beberapa

karakteristik. Adapun karakteristik feminisme Islam antara lain sebagai berikut.

1) feminisme Islam mendasarkan diri kepada agama. Artinya bahwa

feminisme Islam harus menyadari bahwa Agama Islam (Al-Quran dan

Hadits) merupakan sumber nilai dan pendukung terbaik dalam

perjuangannya dan yang menjamin akan hak-hak perempuan.

Page 29: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

45

2) Feminisme Islam harus merujuk kepada prinsip-prinsip ajaran Al-Quran

sebagai sumber nilai tertinggi dan perilaku Rasulullah SAW sebagai

uswatun hasanah.

3) Feminisme Islam tidak bersikap chauvinistik. Artinya kaum feminis Islam

tidak menekankan kekuatannya kepada perempuan dengan mengabaikan

potensi kekuatan laki-laki, bahkan meruntuhkannya. Sebab perempuan dan

laki-laki sebenarnya diciptakan Tuhan sebagai mitra sehingga dapat saling

melengkapi satu sama lain serta hidup secara harmonis menegakkan nilai-

nilai keadilan dan kebenaran.

4) Feminisme Islam memandang ajaran Islam secara integral dan menyeluruh.

Artinya Al-Quran dan tradisi-tradisi Islam yang pernah muncul dalam

sejarah dapat dijadikan pisau analisis dalam memecahkan masalah-masalah

yang dihadapinya dengan mempertimbangkan konteks sosiokultural pada

waktu itu dan konteks kekinian untuk melakukan kontektualisasi ajaran

Islam (Mustaqim, 2008:108-109).

Dengan demikian berdasarkan uraian tersebut, pada dasarnya feminisme

bukan merupakan pemberontakan kaum perempuan kepada laki-laki, upaya

melawan pranata sosial, seperti institusi rumah tangga dan perkawinan atau upaya

perempuan untuk mengingkari kodratnya, melainkan lebih sebagai upaya untuk

mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan (Fakih, 2007:5). Feminisme

muncul sebagai akibat dari adanya prasangka gender yang menomorduakan

perempuan. Anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda dengan

perempuan mengakibatkan perempuan dinomorduakan. Perbedaan tersebut tidak

hanya pada kriteria biologis, melainkan juga pada kriteria sosial. Asumsi tersebut

Page 30: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

46

membuat kaum perempuan semakin terpojok. Oleh karena itu, kaum feminis

memperjuangkan hak-hak perempuan di semua aspek kehidupan, dengan tujuan

agar kaum perempuan mendapatkan kedudukan yang sederajat yang setidaknya

sejajar dengan kaum laki-laki.

Perkembangan aliran feminisme di Indonesia dapat dikatakan masih

mengalami euforia feminisme. Di Indonesia lebih berkembang politik gender

sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Hal ini

disebabkan karena politik gender telah diakui oleh dunia melalui Perserikatan

Bangsa-Bangsa. Adapun feminisme berkembang secara sendiri-sendiri di setiap

negara sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing negara tersebut.

4. Feminisme dalam Sastra

Sumbangan terpenting postrukturalisme terhadap kebudayaan adalah

pergeseran paradigma dari pusat ke pinggiran. Studi kultural kemudian diarahkan

pada kompetensi masyarakat tertentu, masyarakat yang terlupakan, masyarakat

yang terpinggirkan, masyarakat marginal. Teori sastra feminis yaitu teori yang

berhubungan dengan gerakan perempuan adalah salah satu aliran yang banyak

memberikan sumbangan dalam perkembangan studi kultural. Sastra feminis

berakar dari pemahaman mengenai inferioritas perempuan. Konsep kunci feminis

adalah kesetaraan antara martabat perempuan dan laki-laki.

Feminisme, selain merupakan gerakan kebudayaan, politik, sosial, dan

ekonomi, juga merupakan salah satu teori sastra. Teori sastra feminis melihat

bagaimana nilai-nilai budaya yang dianut suatu masyarakat, suatu kebudayaan,

yang menempatkan perempuan pada kedudukan tertentu serta melihat bagaimana

nilai-nilai tersebut memengaruhi hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam

Page 31: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

47

tingkatan psikologis dan budaya. Dalam hubungannya dengan studi sastra, Hill

(Fakih dalam Darma, 2009:157), berpendapat bahwa karya sastra merupakan

struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk memakai karya sastra haruslah

karya sastra itu yang dianalisis.

Karya sastra akan dilihat sebagai teks yang merupakan objek dan data

yang selalu terbuka bagi pembacaan dan penafsiran yang beragam. Teks diterima

dan dipahami oleh pembacanya dan lingkungan budaya dimana teks tersebut

diproduksi dan dikonsumsi (Cavallaro, 2001:110-111). Terkait dengan karya

sastra dan gerakan feminis, Register (Stimpson dalam Darma, 2009:161) menilai

karya sastra sebagai sesuatu yang berguna bagi pengarahan kebebasan

perempuan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Faruk (Darma, 2009:161)

mengemukakan bahwa hubungan sastra dengan struktur gender menjelaskan

masalah bahasa terlebih dahulu, bahasa merupakan proses terus-menerus

melakukan tindakan gender.

Sejak awal, sastra modern menempatkan diri sebagai suatu aktivitas, dan

hasil aktivitas yang dimaksudkan untuk menerobos segala kemungkinan yang

ditutupi oleh bahasa. Perempuan dalam karya sastra ditampilkan dalam kerangka

hubungan ekuivalensi dengan seperangkat tata nilai marginal dan yang

tersubordinasi lainnya, yaitu sentimentalis, perasaan, dan spiritual. Perempuan

hampir selalu menjadi tokoh yang dibela, korban yang selalu diimbau untuk

mendapat perhatian (Faruk dalam Darma, 2009: 161-162). Karya sastra hanya

menempatkan perempuan sebagai korban, makhluk yang hanya mempunyai

perasaan dan kepekaan spiritual. Di balik nada pembelaan terhadap perempuan,

Page 32: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

48

ternyata dalam karya sastra pun tersembunyi kekuatan struktur gender yang

timpang, dominan, dan berkuasa menjadi kekuatan reproduktif yang terselubung.

Sugihastuti & Sofia (2003:35) menguak citra perempuan dalam novel

Layar Terkembang karya STA. Dalam pandangannya, makna kritik feminisme

sebagai kritik sastra disesuaikan dengan pandangan kodrat perempuan. Konsep

yang pantas dipakai untuk membongkar praduga dan ideologi patriarki sampai

sekarang diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan sastra. Oleh karena

itu, Culler (Sugihastuti, 2005:26) menawarkan konsep “membaca sebagai

perempuan” (reading as woman). Konsep membaca sebagai perempuan

maksudnya adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis

kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra.

Novel Layar Terkembang, melalui tokoh Tuti menampilkan masalah

feminisme yang berjuang dalam gerakan “Puteri Sedar”. Perempuan dalam novel

ini digambarkan sebagai makhluk yang tidak mempunyai kehendak dan

keyakinan. Perempuan dianggap sebagai manusia yang terikat oleh ratusan ikatan

dan hanya menuruti kehendak kaum laki-laki. Keadaan perempuan yang amat

buruk tersebut diperjuangkan Tuti melalui gerakan “Puteri Sedar”. Uraian tentang

kedudukan perempuan terdapat dalam pidato Tuti dalam kapasitasnya sebagai

ketua gerakan “Puteri Sedar”. Sebagaimana kutipan berikut ini.

Hitam, hitam sekali penghidupan perempuan bangsa kita di masa silam, lebih hitam, lebih kelam dari kelam malam yang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri, yang mempunyai hidup sendiri, perempuan hanya hamba sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki, dengan tiada mempunyai hak. Setinggi-tingginya ia menjadi perhiasan, menjadi permainan yang dimulia-muliakan selagi disukai, tetapi dibuang dan ditukar apabila telah kabur cahayanya, telah hilang sarinya….

Page 33: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

49

…dan untuk menjaga supaya perempuan itu jangan insaf

kedudukannya, akan nasibnya yang nista itu, maka diikat oranglah dengan bermacam-macam ikatan: bermacam-macam adat, bermacam-macam kebiasaan, bermacam-macam nasihat. Perempuan dikurung orang dalam rumah sampai bersuami, perempuan tidak boleh berjalan ke mana kehendaknya. Segalanya itu namanya melindungi perempuan dari kejahatan dan aib, tetapi pada hakikatnya segala itu melemahkan perempuan (Alisjahbana dalam Darma, 2009).

Uraian tentang perempuan di masa silam yang disampaikan Tuti tersebut,

merupakan penggambaran bagaimana seharusnya kedudukan dan peranan

perempuan pada masa yang akan datang. Kaum perempuan seharusnya

menyadari akan dirinya dan berjuang untuk mendapatkan penghargaan dan

kedudukan yang seharusnya. Menjadi “perempuan baru” yang menggambarkan

perjuangan feminisme disampaikan Tuti melalui kutipan berikut ini.

Perempuan tiada boleh menyerahkan nasibnya kepada golongan laki-laki yang merasa akan kerugian, apabila ia harus melepaskan kekuasaannya yang telah berabad-abad dipertahankannya. Kita harus membanting tulang sendiri untuk mendapat hak kita sebagai manusia kita harus merintis jalan untuk lahirnya perempuan yang baru, yang bebas berdiri menghadapi dunia, yang berani membentangkan matanya akan tenaga dirinya dan dalam segala soal pandai berdiri sendiri dan berpikir sendiri. Demikianlah perempuan yang dicita-citakan oleh Puteri Sedar bukanlah perempuan yang berdiri dalam masyarakat sebagai hamba dan sahaya, tetapi sebagai manusia yang sejajar dengan laki-laki, yang tidak usah takut dan minta dikasihani. Yang tiada suka melakukan yang berlawanan dengan hatinya, malahan yang tidak hendak kawin apabila perkawinan itu baginya berarti melepaskan hak-hak sebagai manusia yang mempunyai hidup sendiri dan berupa mencari perlindungan dan meminta kasihan. Ya, pendeknya seratus persen manusia bebas dalam segala hal (Alisjahbana dalam Darma, 2009).

Perempuan haruslah berperan dalam dunia pengetahuan, berperan dalam

menjalankan pemerintahan, menjelmakan jiwanya dalam dunia seni, turut

bekerja dalam berbagai bidang pekerjaan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang

dicita-citakan Tuti dalam novel Layar Terkembang, yaitu perempuan yang dapat

Page 34: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

50

berperan sebagi pemimpin di kantor-kantor, sebagai hakim dan jurnalis, sebagai

ahli pengetahuan, dan juru terbang. Dalam kenyataannya di masyarakat masih

ditemui banyak ketimpangan. Banyak perempuan yang menerima kemodernan itu

hanya bagian kulitnya saja. Masih sulit untuk mengubah paradigma berpikir

kaum perempuan karena berbagai adat dan kebiasaan yang turun temurun dan

telah berakar dalam masyarakat patriarki.

Feminisme sebagai suatu ideologi berusaha untuk membela kaum

perempuan dari diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, dan represi yang

dilakukan oleh masyarakat dan negara yang masih menganut ideologi patriarki.

Kaum feminis menuntut demokratisasi dan kebebasan untuk berkiprah di ruang

publik untuk mencapai kesederajatan dan kesetaraan harkat serta kebebasan

perempuan untuk memilih dan mengelola kehidupan serta tubuhnya baik di ruang

domestik maupun di ruang publik.

B. Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia

dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang

dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of

USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27

ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1. Contoh hak

asasi manusia (HAM) antara lain hak untuk hidup, hak untuk memperoleh

pendidikan, hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain, dan lain-lain

(http://organisasi.org./pengertian, macam dan jenis ham-yang-berlaku). Adapun

pembagian, bidang, jenis, dan macam HAM adalah sebagai berikut.

Page 35: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

51

1) Hak asasi pribadi (personal Right). Hak pribadi terdiri atas hak kebebasan

untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat; hak kebebasan

mengeluarkan atau menyatakan pendapat; hak kebebasan memilih dan

aktif di organisasi atau perkumpulan; dan hak kebebasan untuk memilih,

memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-

masing.

2) Hak asasi politik (Political Right), terdiri atas hak untuk memilih dan

dipilih dalam suatu pemilihan; hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan;

hak membuat dan mendirikan parpol/partai politik dan organisasi politik

lainnya; dan hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi.

3) Hak azasi hukum (Legal Equality Right), terdiri atas hak mendapatkan

perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan; hak untuk menjadi

pegawai negeri sipil/pns; dan hak mendapat layanan dan perlindungan

hukum.

4) Hak azasi Ekonomi (Property Rigths), terdiri atas hak kebebasan

melakukan kegiatan jual beli; hak kebebasan mengadakan perjanjian

kontrak; hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-

piutang, dan lain-lain; hak kebebasan untuk memiliki sesuatu; dan hak

memiliki serta mendapatkan pekerjaan yang layak.

5) Hak Asasi Peradilan (Procedural Rights), terdiri atas hak mendapat

pembelaan hukum di pengadilan dan hak persamaan atas perlakuan

penggeledahan, penangkapan, penahanan serta penyelidikan di mata

hukum.

Page 36: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

52

6) Hak asasi sosial budaya (Social Culture Right), terdiri atas hak

menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan; hak mendapatkan

pengajaran; dan hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan

bakat dan minat.

1. Hak Perempuan dalam Islam

Islam menempatkan perempuan pada posisi yang tinggi dan sejajar

dengan laki-laki. Akan tetapi dalam beberapa hal ada yang harus berbeda,

karena laki-laki dan perempuan hakikatnya adalah makhluk yang berbeda.

Kesalahan dalam memahami ajaran yang benar inilah yang menjadikan Islam

kerap dituding sebagai agama yang menempatkan perempuan sebagai warga

kelas dua. Islam sesungguhnya sangat memuliakan perempuan. Dari semula

makhluk yang tiada berharga di hadapan “peradaban manusia”, diinjak-injak

kehormatan dan harga dirinya, kemudian diangkat oleh Islam ditempatkan pada

tempat yang semestinya dijaga, dihargai, dan dimuliakan. Berikut ini merupakan

gambaran bagaimana Islam menjaga hak-hak kaum perempuan, sejak mereka

dilahirkan ke muka bumi sampai dewasa beralih ke perwalian sang suami

(http://flawlessimagine.blogspot.com/hak-wanita-dalam-Islam-html).

a. Hak- Hak di Masa Kanak-Kanak

Di masa jahiliah tersebar di kalangan bangsa Arab khususnya, kebiasaan

menguburkan anak perempuan hidup-hidup karena keengganan mereka

memelihara anak perempuan. Lalu datanglah Islam mengharamkan perbuatan

tersebut dan menuntun manusia untuk berbuat baik kepada anak perempuan serta

menjaganya dengan baik. Ganjaran yang besar pun dijanjikan bagi yang mau

Page 37: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

53

melaksanakannya. Nabi Muhammad SAW memberikan anjuran dalam hadits

berikut ini.

(وضم أصابعه )من عال جاريتين حتى تبلغا جاء يوم القيامة أنا وھو

“Siapa yang memelihara dua anak perempuan hingga keduanya mencapai usia baligh maka orang tersebut akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan dia seperti dua jari ini.” Beliau menggabungkan jari-jemarinya. (HR. Muslim no. 6638 dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).

ه سترا من النار من ابتلي من ھذه البنات بشيء فأحسن إليھن كن ل

“Siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuannya lalu ia berbuat baik kepada mereka maka mereka akan menjadi penghalang/penutup baginya dari api neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 6636)

Menurut penjelasan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu tentang hadits

tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya dengan ujian

(ibtila`), karena manusia biasanya tidak menyukai anak perempuan (lebih

memilih anak lelaki). Sebagaimana firman Allah SWT tentang kebiasaan orang-

orang jahiliah berikut ini.

ر أحدھم با?نثى ظل وجھه مسودا وھو كظيم ر به .وإذا بش يتوارى من القوم من سوء ما بش

ه في التراب أD ساء م ا يحكمون أيمسكه على ھون أم يدس

“Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, menjadi merah padamlah wajahnya dalam keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)

Hadits-hadits yang telah disebutkan di atas menunjukkan keutamaan

berbuat baik kepada anak perempuan, memberikan nafkah kepada mereka dan

Page 38: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

54

bersabar memelihara mereka (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/395). Islam

mewajibkan kepada seorang ayah untuk menjaga anak perempuannya, memberi

nafkah kepadanya sampai ia menikah, dan memberikan kepadanya bagian dari

harta warisan.

Perempuan diberi hak untuk menentukan pendamping hidupnya dan

diperkenankan menolak calon suami yang diajukan orang tua atau kerabatnya

bila tidak menyukainya. Beberapa hadits menjadi bukti bahwa perempuan

mempunyai hak untuk menentukan pendamping hidupnya (suami). Nabi

Muhammad SAW bersabda.

يا رسول هللا وكيف إذنھا؟ :قالوا .D تنكح ا?يم حتى تستأمر وD تنكح البكر حتى تستأذن

أن تسكت :قال

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah (dimintai pendapatnya), dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan hingga diminta izinnya.” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah izinnya seorang gadis?” “Izinnya adalah dengan ia diam”, jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Kemudian dalam riwayat lain menyatakan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu

‘anha berkata:

رضاھا صمتھا :قال .يا رسول هللا، إن البكر تستحي

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang gadis itu malu (untuk menjawab bila dimintai izinnya dalam masalah pernikahan).” Beliau menjelaskan, “Tanda ridhanya gadis itu (untuk dinikahkan) adalah diamnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5137).

Islam memberikan hak seperti ini kepada perempuan karena Allah SWT

menjadikan perempuan sebagai penenang bagi suaminya dan Allah SWT

menjadikan kehidupan suami istri ditegakkan di atas mawaddah wa rahmah.

Page 39: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

55

Maka bagaimana akan terwujud makna yang tinggi ini apabila seorang gadis

diambil secara paksa sebagai istri sementara ia dalam keadaan tidak suka? Lalu

bila demikian keadaannya, sampai kapan pernikahan itu akan bertahan dengan

tenang dan tenteram?

Ibnu Taimiyyah r.a. menyatakan bahwa tidak boleh seorang pun

menikahkan seorang perempuan kecuali terlebih dahulu meminta izinnya

sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Nabi SAW Apabila perempuan tersebut

tidak suka, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menikah. Dalam hal ini para

ulama berbeda pendapat, sehingga Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa ada

perbedaan pendapat tentang izin gadis yang akan dinikahkan, apakah izinnya itu

wajib hukumnya atau mustahab (sunnah). Yang benar dalam hal ini adalah izin

tersebut wajib. Dan wajib bagi wali perempuan untuk bertakwa kepada Allah

SWT dalam memilih lelaki yang akan ia nikahkan dengan anak perempuannya,

dan hendaknya si wali melihat apakah calon suami si anak perempuan tersebut

sekufu atau tidak. Karena pernikahan itu untuk kemaslahatan anak perempuan,

bukan untuk kemaslahatan pribadi si wali (Majmu’ Fatawa, 32/39-40).

Islam menetapkan kepada laki-laki yang ingin menikahi seorang

perempuan agar memberikan mahar pernikahan kepada si perempuan. Dan mahar

itu nantinya adalah hak si perempuan, tidak boleh diambil sedikitpun kecuali

dengan keridhaannya. Hal tersebut dijelaskan dalam QS. 2:4 berikut ini.

YZ "#���� K��� *$�� #�1. �

[\�/]^ _-Q$�H� #�*�� [\�/]^

Page 40: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

56

( * _H&O_$ 1A`5P��H���

O��a K��� ��� VX

4. dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.

Perempuan ditanggung nafkahnya oleh walinya bagi yang belum menikah

dan oleh suaminya bagi yang sudah menikah. Perempuan yang yatim piatu, tanpa

kerabat yang mau menafkahi, nafkahnya ditanggung negara. Janda yang dicerai

suaminya, berhak mendapatkan santunan selama masa iddah. Setelah itu ia

kembali dinafkahi walinya apabila wali dan kerabatnya masih mampu. Jika tidak,

negara yang mengambil alih memberikan santunan berupa pemenuhan kebutuhan

pokoknya. Intinya, perempuan tidak dibebani untuk memikirkan kebutuhan

ekonominya sendiri. Sehingga tidak menggangu fungsi dan tugas perempuan di

ranah publik, sebagai manajer rumah tangga dan pendidikan.Ayat tersebut

menunjukkan wajibnya pemberian mahar kepada perempuan yang dinikahi. Dan

betapa Islam sangat menghargai hak-hak seorang perempuan.

b. Hak-Hak Sebagai Seorang Ibu

Islam memuliakan perempuan mulai dari masa kanak-kanak, masa

remaja, dan saat ia menjadi seorang ibu. Allah SWT mewajibkan seorang anak

untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, ayah dan ibu. Allah SWT

memerintahkan hal tersebut setelah mewajibkan ibadah hanya kepada-Nya.

Sebagaimana tercantum dalam ayat berikut.

b JcFc$�� _d��� e>�^ ��.�f�g_h$� i>H� g%���H�

XY-Z�H#3��-���H���

Page 41: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

57

�j�FGkMH� J � *H� ;(h&O_� m�S � �@�`T-���

#�☺hof�%�^ ��^ �☺hop D p$q r��$� #�☺gst0 _u�]^ p>��

�☺hoOA��7$� rh�� �☺f8"� �>O�$ �v☺�\Apw Vx\X ky .5����

�☺f8$� ���9 zu[:#�� 5( * �☺kM,A��� rh�� zK{,�

�☺f8i�O��� �☺D |H}��Q���� ��@AzF~ VxX

23. dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. 24. dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".

Begitu juga dalam firman Allah SWT berikut ini.

���-U�~���� 5(FGI���� M�� �3��H� �j�FGkMH� �

gMP%&�i� �gMd*]^ ��oOA�D gM�hFW���� ��oOA�D � �gMh&i��� �gMh&F� q�� K�hB%&�� �jAO�� J �c �M �$�H�

%&� �g%;��"�^ %&��� 5(U h�O��^ ����� [�$ zK{�� Yc9k�H:��^ K�^ A��k"�^ _P☺h / Ycz�"��� F�k☺h/�^

�|%�� J|%���� ;��H#3�� K�^�� pr�iq=�^ �☯$H&F~ gM�FWOA$�

kH&k~�^�� |+ |HY Ycz�����h� � |H1}H� ��OTh� _-Q$�H� |H1}H��� 5( * Y� i{Gf☺-��� VWHX

15. Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat

Page 42: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

58

amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".

Hal tersebut kemudian dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW ketika

sahabat Abdullah bin Mas’ud r.a. bertanya kepada beliau.

“Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian apa setelah itu?” tanya ‘Abdullah lagi. Kata beliau, “Kemudian birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua)….” (HR. Al-Bukhari no. 504 dan Muslim no. 248).

Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Abu Hurairah r.a., seorang sahabat

Rasul yang sangat berbakti kepada ibundanya berkata bahwa ada seseorang yang

bertanya kepada Rasulullah SAW sebagai berikut.

“Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Ibumu,” jawab beliau. Kembali orang itu bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanya orang itu lagi. “Kemudian ayahmu,” jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)

Hadits tersebut menunjukkan pada kita bahwa hak ibu lebih tinggi

daripada hak ayah dalam menerima perbuatan dari anaknya. Hal itu disebabkan

seorang ibulah yang merasakan kepayahan mengandung, melahirkan, dan

menyusui. Ibulah yang bersendiri merasakan dan menanggung ketiga hal

tersebut. Adapun dalam hal mendidik barulah seorang ayah ikut andil di

dalamnya. Demikian dinyatakan Ibnu Baththal rahimahullahu sebagaimana

dinukil oleh Al-Hafidz rahimahullahu. (Fathul Bari, 10/493).

Islam mengharamkan seorang anak berbuat durhaka kepada ibunya

sebagaimana ditegaskan dalam hadits berikut ini.

Page 43: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

59

م عليكم عقوق ا?مھات …ن هللا حر

“Sesungguhnya Allah mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada para ibu…” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)

Keterangan tentang hadits tersebut dijelaskan oleh Al-Hafizh, yang

menyatakan bahwa pengkhususan penyebutan para ibu dalam hadits ini karena

perbuatan durhaka kepada mereka lebih cepat terjadi daripada perbuatan durhaka

kepada ayah untuk memberikan peringatan bahwa berbuat baik kepada seorang

ibu dengan memberikan kelembutan, kasih sayang dan semisalnya lebih

didahulukan daripada kepada ayah (Fathul Bari, 5/86).

c. Sebagai Istri

Allah SWT memerintahkan seorang suami agar bergaul dengan istrinya

dengan cara yang baik. Sebagaimana ayat berikut ini.

وعاشروھن بالمعروف

“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (An-Nisa`: 19)

Menurut Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di bahwa ayat

meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Oleh karena itu,

seharusnya seorang suami mempergauli istrinya dengan cara yang ma’ruf,

menemani, dan menyertai (hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan

gangguan terhadapnya (tidak menyakitinya), mencurahkan kebaikan dan

memperbagus hubungan dengannya. Termasuk dalam hal ini pemberian nafkah,

pakaian, dan semisalnya. Dan tentunya pemenuhannya berbeda-beda sesuai

Page 44: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

60

dengan perbedaan keadaan (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 172). Ayat tersebut

juga diperkuat dengan hadits Nabi kepada para suami sebagai berikut.

Rasulullah SAW bersabda kepada para suami:

ربوا إماء هللا D تض

“Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah.

Beliau juga bersabda.

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. Ahmad 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337).

Banyak hak yang diberikan Islam kepada para istri. Hak tersebut misalnya

suami dituntut untuk bergaul dengan baik terhadap istrinya, istri berhak

memperoleh nafkah, istri berhak memperoleh pengajaran, istri berhak

memperoleh penjagaan dan perlindungan, dan sebagainya.

Sejalan dengan pandangan Al-Quran tersebut, Mulia (Sadli, 2010:55)

menguraikan tentang beberapa hak perempuan dalam Islam. Hak-hak tersebut

antara lain sebagai berikut.

a. Hak Memperoleh Nafkah

Perempuan ditanggung nafkahnya oleh walinya bagi yang belum menikah

dan oleh suaminya bagi yang sudah menikah. Perempuan yang yatim piatu, tanpa

kerabat yang mau menafkahi, nafkahnya ditanggung negara. Janda yang dicerai

suaminya, berhak mendapatkan santunan selama masa iddah. Setelah itu ia

kembali dinafkahi walinya apabila wali dan kerabatnya masih mampu. Jika tidak,

negara yang mengambil alih memberikan santunan berupa pemenuhan kebutuhan

Page 45: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

61

pokoknya. Intinya, perempuan tidak dibebani untuk memikirkan kebutuhan

ekonominya sendiri. Sehingga tidak menggangu fungsi dan tugas perempuan di

ranah publik, sebagai manajer rumah tangga dan pendidik anak.

b. Hak Memperoleh Pendidikan

Perempuan juga berhak mendapatkan pendidikan dari kedua orangtuanya,

terutama ibu. Di publik, ia berhak menuntut ilmu di lembaga pendidikan dengan

gratis atau biaya terjangkau karena pendidikan dijamin oleh negara. Itu karena

Islam mewajibkan perempuan sama seperti laki-laki dalam menuntut ilmu.

c. Hak untuk Dapat Mengaktualisasikan Diri

Perempuan dalam Islam boleh-boleh saja berkiprah di ranah publik,

selama tidak membahayakan eksistensinya. Tidak mengeksploitasi tubuh untuk

kepentingan apapun, tidak menjerumuskan diri dalam perbuatan yang merusak

kehormatannya, tidak melanggar susila dan yang penting membawa maslahat

bagi masyarakat. Negara pun wajib melindungi perempuan yang berkiprah di

ranah publik ini dengan menciptakan lingkungan yang kondusif. Misalnya

menjadikan pakaian takwa (jilbab) sebagai benteng agar tidak diganggu, memberi

sanksi berat bagi pelaku pelecehan terhadap perempuan, dan lain-lain. Dengan

begitu perempuan bebas dan merasa aman berkiprah di lingkungan domestik

maupun publik. Jilbab yang dinilai pengekang oleh kalangan sekuler, justru

merupakan bentuk kebebasan bagi muslimah. Dengan jilbab perempuan tidak

perlu repot memikirkan setiap penampilan dirinya. Apalagi harus mengikuti tren

yang berubah terus-menerus.

Page 46: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

62

d. Hak Beragama

Perempuan dalam Islam berhak menjalankan Syariat Islam secara kaffah

tanpa kekangan. Berjilbab dan berkerudung tidak boleh dilarang. Perempuan

berhak mengkaji Islam, mendalami fikih, tafsir, dan lain-lain sesuai kehendak

dirinya. Perempuan berhak menjalankan syariat agamanya tanpa hambatan dari

siapapun. Perempuan tidak boleh murtad sebagaimana Muslim umumnya. Negara

wajib menjaga keimanan kaum perempuan agar tetap dalam suasana kondusif,

sehingga tidak terjerumus dalam kekufuran. Perempuan harus dipermudah dalam

menjalankan aturan Islam seutuhnya. Dengan begitu perempuan makin dekat

hubungannya dengan Allah SWT

e. Hak Seksual

Perempuan dijamin hak seksualnya melalui lembaga pernikahan bagi

yang sudah mampu. Lembaga ini menjadi benteng untuk menjaga kesucian kaum

perempuan, mencegah pelecehan seksual dan mencegah perdagangan perempuan.

Islam mengharamkan perempuan memenuhi hak seksualnya dengan perzinaan,

nikah mut’ah, kawin kontrak, jadi selir, gundik atau selingkuhan. Islam juga

mengharamkan perempuan memenuhi hak seksualnya dengan lesbianisme. Kaum

perempuan sangat dihormati dan dijaga harga dirinya.

Berdasarkan pandangan tersebut, penjagaan Islam terhadap hak

perempuan dan pemuliaan Islam terhadap kaum perempuan sangatlah tinggi.

Persoalannya adalah bagaimana menyosialisasikan dan mengimplementasikan

hal tersebut kepada laki-laki yang masih melakukan banyak ketidakadilan

terhadap perempuan karena pemahaman terhadap ayat-ayat Allah SWT dan

hadits-hadits Nabi SAW secara setengah-setengah. Untuk itulah sebenarnya

Page 47: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

63

feminis Islam dapat berperan memberikan penyadaran terhadap kaum

perempuan dan juga kaum laki-laki.

2. Kondisi Perempuan Saat Ini

Kondisi perempuan Indonesia saat ini jauh lebih baik dari masa

sebelumnya. Kesempatan kerja dan berkarir, kesempatan pendidikan, kesempatan

dalam lembaga-lembaga publik dan politik yang dimiliki perempuan hampir

sama besar dengan kesempatan yang dimiliki oleh laki-laki (Irawati, Kompas,23

April 2010). Berbagai kebijakan yang mendukung pemenuhan hak-hak

perempuan dan keadilan gender juga mulai berkembang. Misalnya Inpres No.

9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender, UU No. 23/2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dan sebagainya. Lembaga-

lembaga khusus yang memiliki program pemberdayaan dan penguatan hak-hak

perempuan, baik lembaga negara maupun nonnegara, tumbuh dan berkembang

pesat. Indonesia bahkan menjadi salah satu negara yang memiliki komisi khusus

anti kekerasan terhadap perempuan, yaitu Komisi Nasional Anti Kekerasan

Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Pencapaian-pencapaian formal tersebut tentunya berpengaruh juga

terhadap level kesadaran publik. Di Indonesia saat ini, pandangan-pandangan

tabu tentang perempuan karir, perempuan berpendidikan tinggi, perempuan

politisi, perempuan pejabat, atau perempuan pemimpin sudah makin jarang

ditemui. Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang sering dianggap sebagai

urusan pribadi, urusan internal keluarga, sudah menjadi konsumsi umum. Dengan

banyaknya lembaga layanan kasus kekerasan terhadap perempuan, kesadaran

Page 48: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

64

masyarakat untuk melaporkan kasus dan memrosesnya secara hukum juga

tumbuh kuat.

Akan tetapi di antara pencapaian-pencapaian yang telah disebutkan itu,

masih banyak hal mendesak yang perlu diselesaikan. Menurut Sadli (2010:341),

pemerintah masih belum menunjukkan komitmen yang jelas terhadap

penghapusan berbagai kendala yang masih dihadapi perempuan dalam

memperoleh hak yang sama di bidang pendididkan, lapangan kerja, ataupun

kehidupan sosial pada umumnya. Dalam bidang politik misalnya, meskipun

persentase anggota legislatif perempuan di tingkat nasional mengalami kenaikan,

proses-proses politik masih sangat jauh dari perspektif perempuan dan perspektif

gender. Perpolitikan di Indonesia masih male dominance.

Dalam bidang pendidikan, walaupun telah dicanangkan UU No. 29/1989

yang ditindaklanjuti dengan adanya Program Wajib Belajar 9 Tahun sejak 1995,

yang memberikan kesempatan sama kepada setiap anak untuk mengikuti

pendidikan sampai tingkat SMP dan upaya pemerintah untuk memberantas buta

huruf, tetapi sampai saat ini angka buta huruf masih mencapai 8 persen, dengan

perbandingan antara laki-laki dan perempuan 1:3 di kota dan 1:5 di desa (Sadli,

2010:341).Apabila ditinjau dari tingkat partisipasi perempuan di bidang

pendidikan tinggi, hanya mencapai 6 persen dibandingkan dengan laki-laki yang

mencapai 15 persen. Begitu pun dalam ketenagakerjaan profesional, meskipun

kesempatan dalam pendidikan seakan setara, tenaga-tenaga profesional dan ahli

masih didominasi laki-laki. Jadi, meski secara formal telah diberikan kesempatan

yang sama, akses perempuan terhadap peluang pendidikan masih terbatas pada

Page 49: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

65

kelas-kelas sosial-ekonomi tertentu. Perempuan miskin dan tinggal di desa masih

mengalami kendala terbesar untuk dapat mengakses kesempatan.

Dalam bidang pekerjaan, meskipun kesempatan kerja seakan-akan sama,

tetapi eksploitasi, diskriminasi, dan kekerasan masih dialami pekerja perempuan,

para pekerja rumah tangga perempuan, dan buruh perempuan di pabrik-pabrik.

Dalam bidang hukum, diskriminasi terhadap perempuan dan anak

perempuan masih menjadi bagian dalam kehidupan perempuan di Indonesia

karena didukung secara struktural dan kultural. Secara struktural, misalnya,

masih adanya UU atau hukum nasional yang belum memberikan perlindungan

terhadap perempuan. Adapun secara kultural, melalui sikap atau perilaku yang

menempatkan perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah kedudukannya

daripada laki-laki.

Sejak tahun 1990-an, isu diskriminasi terhadap perempuan diperparah

dengan isu kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan

Indonesia jelas menuntut perhatian serius. Masalah kekerasan berbasis gender

telah terungkap dari beberapa penelitian yang telah dilakukan. Penelitian

sejumlah LSM di daerah konflik dan nonkonflik telah menghasilkan data bahwa

baik dalam kondisi damai maupun konflik, perempuan sering menjadi sasaran

dari kekerasan fisik, mental, psikologis, dan seksual. Kekerasan ini terjadi di

lingkungan keluarga, tempat kerja, dan oleh aparat negara. Khusus dalam rumah

tangga, ditemukan pelakunya adalah cenderung orang yang dicintai, keluarga

dekat, ataupun orang lain yang sudah dikenal (Sadli, 2010:342). Saat ini,

meskipun telah ada UU PKDRT, angka kekerasan domestik masih tinggi dan

proses hukum terhadap kasus-kasus tersebut belum berjalan maksimal. Hal ini

Page 50: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

66

disebabkan, antara lain karena pelanggaran terhadap hak perempuan, baik

diskriminasi maupun kekerasan, belum selalu dipahami sebagai pelanggaran

HAM, baik oleh anggota masyarakat maupun di tingkat penegak hukum. Juga

belum ada pengertian yang diterima secara luas bahwa diskriminasi dan

kekerasan terhadap perempuan bersumber pada adanya kesenjangan kekuasaan

antara perempuan dan laki-laki yang berakar pada nilai budaya, agama, dan

diperkuat oleh sikap serta perilaku pejabat, orang tua, tokoh agama, guru, dan

orang lain yang signifikan dalam masyarakat (Sadli, 2010:343).

Di sisi lain, berkembangnya fenomena penerapan syariat Islam yang

mendomestikasi perempuan dan aturan-aturan yang mengeksploitasi tubuh dan

seksualitas perempuan menjadi ancaman baru bagi penegakkan hak-hak

perempuan di Indonesia saat ini. Feminisasi kemiskinan yang semakin kuat

akibat globalisasi ekonomi melalui free trade juga masih perlu advokasi khusus.

C. Kritik Sastra Feminis

Dalam bagian ini akan dibahas mengenai pengertian kritik sastra feminis;

jenis-jenis kritik sastra feminis yang terdiri atas KSF ideologis, KSF Ginokritik,

KSF marxis/sosialis, KSF psikoanalitik, KSF lesbian, dan KSF ras/etnik; serta

cara kerja kritik sastra feminis.

1. Pengertian Kritik Sastra Feminis

Dari berbagai pemikiran feminisme terlihat bahwa munculnya ide-ide

feminisme berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi sosial gender yang ada

mendorong citra perempuan masih belum dapat memenuhi cita-cita persamaan

hak antara perempuan dan laki-laki. Kesadaran akan ketimpangan struktur,

Page 51: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

67

sistem, dan tradisi masyarakat di berbagai bidang inilah yang kemudian

melahirkan kritik feminis.

Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang

lahir sebagai respon atas berkembang luasnya feminisme di berbagai penjuru

dunia. Djajanegara (2003:27) mengatakan bahwa kritik sastra feminis berasal dari

hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis s di masa silam dan

untuk mewujudkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang

menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan,

disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkat yang dominan.

Newton (Sofia, 2009:63) mengatakan bahwa kritik sastra feminis

mencerminkan tujuan politik dari feminisme berdasarkan ideologi feminis. Kritik

sastra feminis terhadap karya sastra digunakan sebagai materi pergerakan

kebebasan perempuan dan dalam menyosialisasikan ide feminis. Kritik feminis

terhadap karya sastra mengadopsi sudut pandang ini mengenai bagaimana

karakter perempuan digambarkan dalam sastra. Terkait dengan hal tersebut,

Culler (Sofia, 2009:20) berpendapat bahwa kritik sastra feminis

mempermasalahkan asumsi tentang perempuan yang berdasarkan paham tertentu

selalu dikaitkan dengan kodrat perempuan yang kemudian menimbulkan isu

tertentu tentang perempuan. Selain itu, kritik ini berusaha mengidentifikasi suatu

pengalaman dan perspektif pemikiran laki-laki melalui cerita yang dikemas

sebagai pengalaman manusia dalam karya sastra. Hal ini dimaksudkan untuk

mengubah pemahaman terhadap karya sastra sekaligus terhadap signifikansi

berbagai kode gender yang ditampilkan teks berdasarkan hipotesis yang disusun.

Page 52: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

68

Kritik sastra feminis melihat semua karya sebagai cermin anggapan-

anggapan estetika politik mengenai gender yang dikenal dengan istilah politik

seksual (Millett dalam Culler dalam Sofia, 2009:20). Sasaran kritik sastra feminis

adalah memberikan respons kritis terhadap pandangan-pandangan yang terwujud

dalam karya sastra yang diberikan oleh budayanya kemudian mempertanyakan

hubungan antara teks, kekuasaan, dan seksualitas yang terungkap dalam teks

(Millett dalam Culler dalam dalam Sofia, 2009:20).

Berdasarkan pemikiran tersebut Culler (Sofia, 2009:20), menawarkan

konsep reading as a woman (membaca sebagai perempuan) sebagai bentuk kritik

sastra feminis. Konsep ini dilakukan melalui sebuah pendekatan yang berusaha

membuat pembaca menjadi kritis hingga menghasilkan penilaian terhadap makna

teks, yaitu dengan menganalisis ideologi kekuasaan laki-laki yang patriarkal yang

diasumsikan terdapat dalam penulisan dan pembacaan sastra. Selanjutnya,

dengan membaca sebagai perempuan seorang penganalisis menghadapi suatu

karya dengan berpijak pada kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang berbeda

yang memengaruhi dan banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan

kehidupan.

Sejalan dengan tujuan feminisme yaitu untuk mengakhiri dominasi laki-

laki, kritik sastra feminis mengambil peran sebagai suatu bentuk kritik negosiasi,

bukan sebagai bentuk konfrontasi. Kritik ini dilakukan dengan tujuan untuk

menumbangkan wacana-wacana dominan, bukan untuk berkompromi dengan

wacana dominan tersebut. Kritik sastra feminis lebih dari sekadar perspektif. Ia

menampilkan kecanggihan dengan menggunakan aliansi strategi dengan teori-

teori kritis (Ruthven, 1990:6-7). Terkait dengan hal tersebut, Ruthven (1990:37)

Page 53: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

69

mengatakan bahwa kritik sastra feminis merupakan kritik sastra yang berusaha

menjelaskan cara penggambaran perempuan dan menjelaskan potensi-potensi

yang dimiliki perempuan di tengah kekuasaan patriarki. Kritik sastra feminis

diharapkan mampu membuka pandangan-pandangan baru, terutama yang

berkaitan dengan cara-cara mewakilkan karakter-karakter perempuan dalam

karya sastra.

2. Jenis-Jenis Kritik Sastra Feminis

Ada beberapa jenis kritik sastra feminis yang berkembang dalam

masyarakat. Jenis kritik sastra feminis yang berkembang dalam masyarakat

antara lain sebagai berikut.

a. Kritik Ideologis

Kritik sastra feminis ini melibatkan perempuan, khususnya kaum kaum

feminis sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra

serta stereotipe seorang perempuan dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti

kesalahpahaman tentang perempuan dan sebab-sebab mengapa perempuan sering

tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan.

b. Ginokritik

Dalam ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra

perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur penulis perempuan dan

mencari perbedaan yang mendasar dengan penulis laki-laki. Di samping itu,

dikaji juga kreativitas penulis perempuan, profesi penulis perempuan sebagai

suatu perkumpulan, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis perempuan.

c. Kritik Sastra Feminis Marxis/Sosialis

Page 54: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

70

Kritik ini meneliti tokoh-tokoh perempuan dari sudut pandang sosialis,

yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengeritik feminis mencoba mengungkapkan

bahwa kaum perempuan merupakan kelas masyarakat yang tertindas.

d. Kritik Sastra Feminis Psikoanalitik

Kritik ini menempatkan tulisan perempuan sebagai cermin penulisnya.

Karena itu, penulisnya mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang dibuatnya

sebagai pengingkaran atau pernyataan diri terhadap teori Freud yang menyatakan

bahwa perempuan iri terhadap kekuasaan (zakar) laki-laki. Dalam kritik ini, para

feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya mengidentifikasikan

dirinya atau menempatkan dirinya pada si tokoh perempuan, sedangkan tokoh

perempuan tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya.

e. Kritik Sastra Feminis Lesbian

Jenis ini hanya meneliti penulis dan tokoh perempuan saja. Ragamm

kritik ini masih sangat terbatas karena beberapa faktor, yaitu kaum feminis

kurang menyukai kelompok perempuan homoseksual, kurangnya jurnal-jurnal

perempuan yang menulis lesbianisme, kaum lesbian sendiri belum mencapai

kesepakatan tentang defini lesbianisme, dan kaum lesbian banyak menggunakan

bahasa terselubung. Pada intinya tujuan kritik sastra feminis lesbian adalah untuk

mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian dan untuk

menentukan apakah definisi tersebut dapat diterapkan pada diri pengarang atau

pada teks karyanya.

f. Kritik Sastra Feminis Ras atau Etnik

Kritik feminis ini berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis etnik

dan karyanya., baik dalam kajian perempuan maupun dalam kanon sastra

Page 55: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

71

tradisional dan sastra feminis. Kritik ini beranjak dari diskriminasi ras yang

dialami kaum perempuan yang berkulit selain putih di Amerika (Saraswati,

2003:156).

Pada penelitian ini, pisau analisis yang akan digunakan adalah kritik

sastra feminis ideologis, yang akan digunakan untuk menganalisis novel

Perempuan Berkalung Sorban dengan cara mengungkap penggambaran

perempuan di tengah kekuasaan patriarki. Dalam kritik ini yang menjadi pusat

perhatian adalah citra serta stereotipe seorang perempuan dalam karya sastra.

Kritik ini juga akan mengungkap kesalahpahaman tentang perempuan dan sebab-

sebab mengapa perempuan sering tidak diperhitungkan bahkan nyaris diabaikan.

Adapun analisis gender sebagai model analisis yang mempertimbangkan keadilan

sosial dan aspek hubungan antarjenis kelamin menjadi alat bantunya.

3. Cara Kerja Kritik Sastra Feminis

Cara kerja kritik sastra feminis begitu eksplisit, yaitu dalam memahami

makna suatu karya, peneliti bisa menggunakan cara yang sistematis sebagai

berikut.

a. Mencari kedudukan tokoh dalam masyarakatnya. Diterangkan apakah

peran tokoh dalam karya sastra di masyarakatnya itu; sebagai ibu, janda,

anak, pengusaha, dan sebagainya. Apakah tokoh perempuan modern

(bekerja) atau tradisional (domestian). Kemudian apa tujuan hidup tokoh,

bagaimana perilaku dan watak tokoh, dan diteliti bagaimana pendirian serta

ucapan tokoh;

Page 56: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

72

b. Meneliti tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan

dengan tokoh perempuan yang sedang diamati;

c. Mengamati sikap penulis karya yang sedang dikaji dari biografinya atau

dari kritik/penghargaan yang diterimanya tentang karya-karya penulis

tersebut (Isnendes, 2010:115).

Sistematika cara kerja kritik sastra feminis ini akan digunakan untuk

menganalisis novel Perempuan Berkalung Sorban.

D. Sastra

Dalam bagian ini akan dibahas mengenai pengertian dan ciri-ciri sastra;

jenis-jenis sastra; dan unsur-unsur pembentuk sastra.

1. Pengertian dan Ciri- Ciri Sastra

Teeuw (2003) mengemukakan bahwa batasan atau pengertian sastra itu

sampai sekarang belum ada seorang pun yang berhasil memberi jawaban yang

jelas atas pertanyaan apakah sastra itu. Walaupun demikian, sudah banyak usaha

yang dilakukan untuk mendefinisikan sastra. Ada pengertian yang cukup longgar

atau cukup luas dan ada juga pengertian yang cukup sederhana.

Dalam bahasa-bahasa Barat, kata sastra itu dperikan sebagai literature

(Inggris), literatur (Jerman), atau litterature (Prancis). Semua kata tersebut

berasal dari bahasa Yunani (litteratura). Artinya huruf, tulisan. Kata tersebut

pertama kali digunakan untuk tata bahasa dan puisi.

Sebagai bahan perbandingan, kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal

dari bahasa Sanskerta. Akar katanya cas yang berarti memberi petunjuk,

mengarahkan, mengajar. Akhiran –tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Oleh

karena itu, sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk,

Page 57: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

73

buku instruksi atau pengajaran. Adapun kata susastra adalah kata ciptaan Jawa

dan Melayu. Kata itu mengandung arti pustaka, buku, atau naskah (Teeuw dalam

Siswantoro, 2008:2).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1001-1002), kata sastra

diartikan sebagai (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di dalam

kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); (2) kesusastraan, karya tulis yang jika

dibandingkan dengan tulisan lainnya memiliki ciri keunggulan seperti keaslian,

keartistikan, keindahan di dalam isi dan ungkapannya; ragam sastra yang dikenal

umum ialah roman atau novel, cerita pendek, drama, epik dan lirik; (3) kitab suci

Hindu; kitab ilmu pengetahuan; (4) kitab; pustaka; primbon (berisi ramalan,

hitungan, dsb; (5) tulisan; huruf. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudjiman

(1990:71), yang menuliskan bahwa sastra (literature, Inggris, litterature, Prancis)

adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti

keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.

Cakupan sastra yang lebih luas dikemukakan oleh Wellek & Warren

(1989:3-14) yang menuliskan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah

cabang seni. Sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Sastra adalah

karya imajinatif. Rahmanto (1998:13) mengungkapkan bahwa sastra, tidak

seperti halnya ilmu kimia atau sejarah, tidaklah menyuguhkan ilmu pengetahuan

dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam

dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan sesuatu yang

kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin

menambah pengetahuan orang yang menghayati. Luxemburg (1992:1)

menuliskan ciri-ciri sastra adalah sebagai berikut.

Page 58: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

74

a. sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah

imitasi. Sastra terutama merupakan suatu luapan emosi yang spontan.

b. sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada suatu yang lain. Sastra tidak

bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam

karyanya sendiri.

c. karya sastra yang otonom itu bercirikan koherensi.

d. sastra menghidangkan sebuah antitesis antara hal-hal yang bertentangan.

e. sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh puisi dan bentuk-

bentuk sastra lainnya ditimbulkan aneka macam asosiasi dan konotasi.

Filsuf Horatius (Witakania,2010:2) mengungkapkan bahwa sebuah karya

sastra haruslah dulce, utile, prodesse et delectare (indah, berguna, manfaat, dan

nikmat). Oleh karena itu sastra dikaitkan dengan estetika atau keindahan. Selain

pada isinya, lokus keindahan sastra terletak pada bahasa. dalam sebuah karya

sastra, bahasa yang dipakai terasa berbeda dengan bahasa sehari-hari, karena

telah disusun, dikombinasikan, mengalami deotomisasi dan defamiliarisasi;

karena adanya kata-kata yang aneh, berbeda, atau asing (ostranenie); juga karena

adanya kebebasan penyair untuk menggunakan atau bahkan “mempermainkan”

bahasa (licentia poetica). Bahasa dalam sastra dikenal penuh dengan ambiguitas

dan homonim, serta kategori-kategori yang tidak beraturan dan irrasional. Bahasa

sastra juga penuh dengan asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya yang

diciptakan sebelumnya. Dalam bahasa sastra sangat dipentingkan tanda,

simbolisme, dan suara dari kata-kata. Bahasa sastra bersifat konotatif dan

refensial serta memiliki fungsi ekspresif untuk menunjukkan nada dan sikap

Page 59: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

75

pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha memengaruhi, membujuk,

dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca (Welleck & Warren, 1989:15).

Karya sastra merupakan rekonstruksi hyang harus dipahami dengan

memanfaatkan mediasi. Karya sastra membangun dunia melalui energi kata-kata.

Melalui kualitas hubungan paradigmatik, sistem tanda, dan sistem simbol, kata-

kata menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya. Bahasa mengikat keseluruhan

aspek kehidupan untuk kemudian disajikan dengan cara yang khas dan unik agar

peristiwa yang sesungguhnya dipahami secara lebih bermakna, lebih intens, dan

dengan sendinya lebih luas dan lebih mendalam (Ratna,2002:16).

Hakikat sastra adalah imajinasi dan kreativitas, sehingga sastra selalu

dikaitkan dengan ciri-ciri tersebut. Sastra sebagai karya imajinatif. Acuan dalam

sastra adalah dunia fiksi atau imajinasi. Sastra mentransformasikan kenyataan ke

dalam teks. Sastra menyajikan dunia dalam kata, yang bukan dunia

sesungguhnya, namun dunia yang ‘mungkin’ ada. Walaupun berbicara dengan

acuan dunia fiksi, namun menurut Eastman (Welleck & Warren, 1989:30-31),

kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, yaitu

pengetahuan sistematis yang dapat dibuktikan. Fungsi utama sastrawan adalah

membuat manusia melihat apa yang sehari-hari ada di dalam kehidupan, dan

membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah

diketahui.

Selain bercirikan keindahan, sebuah karya sastra haruslah memiliki

kegunaan. Dalam hal ini perlu dibahas fungsi sastra bagi manusia, yaitu sebagai

kesenangan dan manfaat. Kedua sifat tersebut saling mengisi. Kesenangan yang

diperoleh melalui pembacaan karya sastra bukanlah kesenangan ragawi,

Page 60: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

76

melainkan kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kesenangan kontemplasi yang

tidak mencari keuntungan. Adapun manfaatnya adalah keseriusan yang

menyenangkan, keseriusan estetis, dan keseriusan persepsi. Selain itu sastra juga

memiliki fungsi katarsis, yaitu membebaskan pembaca dan penulisnya dari

tekanan emosi. Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu,

sehingga terciptalah rasa lepas dan ketenangan pikiran (Welleck & Warren,

1989:34-35)

2. Jenis-Jenis Sastra

Ada tiga jenis karya sastra yaitu puisi, prosa cerita, dan drama. Hal itu

memang logis karena tiga jenis tersebutlah yang mengandung unsur-unsur

kesusastraan secara dominan (fiksi, imaji, dan rekaan). Akan tetapi seiring

dengan perkembangan dunia sastra akhir-akhir ini mulai terjadi pembatasan yang

tipis antara khayalan dan kenyataan. Oleh sebab itu mulai dibicarakan pembagian

sastra yanag lain.

Dalam perkembangan sastra akhir-akhir ini, karya sastra dapat

dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu sastra imajinatif dan sastra

nonimajinatif. Sastra imajinatif mempunyai ciri sebagai berikut. (1) isinya

bersifat khayali, (2) menggunakan bahasa yang konotatif, dan (3) memenuhi

syarat-syarat estetika seni. Adapun sastra nonimajinatif mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut: (1) isinya menekankan unsur faktual/faktanya, (2) menggunakan

bahasa yang cenderung denotatif, dan (3) memenuhi unsur-unsur estetika seni.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesamaan antara sastra

imajinatif dan nonimajinatif adalah masalah estetika seni. Unsur estetika seni

meliputi keutuhan (unity), keselarasan (harmony), keseimbangan (balance),

Page 61: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

77

fokus/pusat penekanan suatu unsur (right emphasis). Adapun perbedaannya

terletak pada isi dan bahasanya. Isi sastra imajinatif sepenuhnya bersifat

khayal/fiktif, sedangkan isi sastra nonimajinantif didominasi oleh fakta-fakta.

Bahasa sastra imajinatif cenderung konotatif, sedangkan bahasa sastra

nonimajinatif cenderung denotatif.

Bentuk karya sastra yang termasuk karya sastra imajinatif adalah: 1. Puisi,

terdiri atas: (1) Epik, (2) Lirik, dan (3) dramatik; 2.Prosa, terdiri atas: (1) Fiksi

(novel, cerpen, roman) dan (2) Drama (drama prosa, drama puisi). Adapun

bentuk karya sastra yang termasuk sastra nonimajinatif adalah sebagai berikut:

(1) esai yaitu karangan pendek tentang suatu fakta yang dikupas menurut

pandangan pribadi penulisnya; (2) kritik yaitu analisis untuk menilai suatu karya

seni atau karya sastra; (3)biografi yaitu cerita tentang hidup seseorang yang

ditulis oleh orang lain; (4) otobiografi adalah biografi yang ditulis oleh tokohnya

sendiri; (5)sejarah adalah cerita tentang zaman lampau suatu masyarakat

berdasarkan sumber tertulis maupun tidak tertulis; (6) memoar adalah otobiografi

tentang sebagian pengalaman hidup saja; dan (7) catatan harian adalah catataan

seseorang tentang dirinya atau lingkungannya yang ditulis secara teratur.

3. Unsur-Unsur Pembentuk Karya Sastra

Sebenarnya sangat sulit menjelaskan unsur-unsur yang membentuk suatu

karya sastra. Akan tetapi, setidak-tidaknya hal itu dapat didekati dari dua sisi.

Pertama kita lihat dari definisi-definisi yang telah diungkapkan. Berdasarkan

definisi-definisi yang sudah ada, ada unsur-unsur yang selalu disinggung. Unsur-

unsur tersebut dapat dipandang sebagai unsur-unsur yang dianggap sebagai

pembentuk karya sastra.

Page 62: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

78

Menurut Luxemburg (1992:4-6) ada beberapa ciri yang selalu muncul

dari definisi-definisi yang pernah diungkapkan. Ciri-ciri tersebut antara lain

sebagai berikut.

a. sastra merupakan ciptaan atau kreasi, bukan pertama-tama imitasi;

b. sastra bersifat otonom (menciptakan dunianya sendiri), terlepas dari dunia

nyata;

c. sastra mempunyai ciri koherensi atau keselarasan antara bentuk dan isinya;

d. sastra menghidangkan sintesa (jalan tengah) antara hal-hal yang saling

bertentangan;

e. sastra berusaha mengungkapkan hal yang tidak terungkapkan.

Sumardjo dan Saini KM (2000:5-8) mengajukan sepuluh syarat karya

sastra bermutu. Syarat tersebut adalah sebagai berikut.

a. karya sastra adalah usaha merekam isi jiwa sastrawannya;

b. sastra adalah komunikasi, artinya bisa dipahami oleh orang lain;

c. sastra adalah sebuah keteraturan, artinya tunduk pada kaidah-kaidah seni;

d. sastra adalah penghiburan, artinya mampu memberi rasa puas atau rasa

senang pada pembaca;

e. sastra adalah sebuah integrasi, artinya terdapat keserasian antara isi,

bentuk, bahasa, dan ekspresi pribadi pengarangnya;

f. sebuah karya sastra yang bermutu merupakan penemuan;

g. karya yang bermutu merupakan (totalitas) ekspresi sastrawannya;

h. karya sastra yang bermutu merupakan sebuah karya yang pekat, artinya

padat isi dan bentuk, bahasa dan ekspresi;

i. karya sastra yang bermutu merupakan (hasil) penafsiran kehidupan;

Page 63: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

79

j. karya sastra yang bermutu merupakan sebuah pembaharuan.

Adapun Luxemburg (1992:8-10) berpendapat bahwa karya sastra harus

memenuhi unsur-unsur berikut ini.

a. karya sastra adalah teks-teks yang tidak melulu disusun untuk tujuan

komunikasi praktis dan sementara waktu;

b. karya sastra adalah teks-teks yang mengandung unsur fiksionalitas;

c. karya sastra adalah jika pembacanya mengambil jarak dengan teks

tersebut;

d. bahannya diolah secara istimewa;

e. karya sastra dapat kita baca menurut tahap-atahp arti yang berbeda-beda;

f. karena sifat rekaannya sastra secara langsung tidak mengatakan sesuatu

mengenai kenyataan dan juga tidak menggugak kita untuk langsung

bertindak;

g. sambil membaca karya sastra tersebut kita dapat mengadakan identifikasi

dengan seorang tokoh atau dengan orang-orang lain;

h. bahasa sastra dan pengolahan bahan lewaat sastra dapat membuka batin

kita bagi pengalaman-pengalaman baru;

i. bahasa dan sarana-sarana sastra lainnya mempunyai suatu nilai tersendiri;

j. sastra sering digunakan untuk mencetuskan pendapat yang hidup dalam

masyarakat.

E. Novel

Dalam bagian ini akan dibahas mengenai pengertian dan ciri-ciri novel;

jenis-jenis novel; fungsi novel; unsur-unsur novel; dan teori struktur novel.

1. Pengertian dan Ciri-Ciri Novel

Page 64: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

80

Istilah novel dalam bahasa Indonesia berasal dari istilah novel dalam

bahasa Inggris. Istilah ini semula berasal dari bahasa Itali, yaitu novella. Novella

diartikan sebuah barang baru yang kecil, kemudian diartikan sebagai cerita

pendek dalam bentuk prosa (Abrams dalam Semi, 2003:62). Menurut

Nurgiyantoro (2010:9), istilah novella atau novelle mengandung pengertian yang

sama dengan istilah novelet (dalam bahasa Inggris novellette) yang berarti sebuah

karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang, namun tidak

terlalu pendek. Novel merupakan sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia

yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun

melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan

penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja juga

bersifat imajinatif (Nurgiyantoro, 2010:4).

Jassin memberikan pengertian bahwa novel adalah cerita mengenai salah

satu episode dalam kehidupan manusia, suatu kejadian yang luar biasa dalam

kehidupan itu, sebuah krisis yang memungkinkan terjadinya perubahan nasib

pada manusia (Faruk, 2005:265). Goldman (Faruk, 2005:29) mendeskripsikan

novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai

yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang problematik dalam sebuah

dunia yang juga terdegradasi. Adapun Sudjiman (1990:54) mendefinisikan bahwa

novel adalah prosa rekaan yang panjang yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan

menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun.

Dalam The American College Dictionary (Tarigan 1993:164), novel

didefinisikan sebagai suatu cerita prosa yang fiktif dengan panjangnya tertentu,

yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang

Page 65: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

81

representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.

Adapun Wolf (Lubis dalam Minderof, 2005:62) mendefinisikan roman atau novel

adalah sebuah eksplorasi atau suatu kronik kehidupan, merenungkan dan

melukiskannya dalam bentuk tertentu yang juga meliputi pengaruh, ikatan, hasil,

kehancuran atau tercapainya gerak-gerik manusia.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut penulis menyimpulkan bahwa

novel merupakan wujud cerita rekaan (prosa fiksi) yang mengisahkan salah satu

bagian nyata dari kehidupan tokoh-tokohnya dengan segala pergolakan jiwa dan

melahirkan suatu konflik dalam serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun

dan pada akhirnya dapat mengalihkan jalan kehidupan mereka.

Karya fiksi dapat dibedakan menjadi roman, novel, novellete, dan cerpen.

Perbedaan bentuk fiksi tersebut pada dasarnya dapat dilihat dari segi formalitas

bentuk, panjang pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku

yang mendukung pada cerita tersebut. Abrams (Nurgiyantoro, 2010:11)

berpendapat bahwa novel mengemukakan suatu cerita secara bebas serta

menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih

banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.

Waluyo (2005:37) berpendapat bahwa ciri-ciri novel adalah (1) ada

perubahan nasib pada para tokoh cerita, (20 ada beberapa episode dalam

kehidupan tokoh utamanya, dan (3) biasanya tokoh utama tidak sampai mati.

2. Jenis-Jenis Novel

Ada enam jenis novel menurut Firdaus, dkk. (2000:106). Keenam jenis

novel tersebut adalah (1) novel petualangan atau novel avonturer, (2) novel

Page 66: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

82

psikologi, (3) novel sosial, (4) novel politik, (5) novel bertendens, dan (6) novel

sejarah.

Novel petualangan atau novel avonturer merupakan novel yang

mengisahkan pengembaraan seorang tokoh yang memperlihatkan kecintaan

terhadap alam semesta. Novel psikologis adalah novel tentang masalah kejiwaan

yang dialami para tokohnya. Novel Sosial merupakan novel yang

mengungkapkan masalah kehidupan sosial masyarakat, adat istiadat, dan

kebudayaan. Novel politik adalah novel yang mengungkapkan unsur paham

politik tertentu dalam kehidupan bermasyarakat. Novel bertendens adalah novel

yang berisi tujuan, mendidik, atau menyampaikan pesan tertentu. Adapun novel

sejarah merupakan novel yang berkaitan dengan sejarah.

Goldman (Faruk, 2005:31) membedakan novel menjadi tiga jenis, yaitu

novel idealisme abstrak, novel psikologis, dan novel pendidikan. Dalam novel

idealisme abstrak sang hero penuh optimisme dalam petualangan tanpa

menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel psikologis sang hero digambarkan

cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia

konvensi. Adapun dalam novel pendidikan sang hero telah melepaskan

pencariannya akan nilai-nilai yang autentik, tetapi tidak menolak dunia.

3. Fungsi Novel

Fungsi novel pada dasarnya adalah untuk menghibur para pembaca.

Novel pada hakikatnya merupakan sebuah cerita rekaan dan karenanya

terkandung juga tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca. Hal ini

sejalan dengan pendapat Wellek & Warren (1989:27) bahwa membaca sebuah

Page 67: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

83

karya fiksi adalah menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan

batin.

Sumardjo & Saini K.M. (2000:89) mengatakan bahwa fungsi novel adalah

sebagai berikut.

a. memberi kesadaran pada pembacanya tentang suatu kebenaran;

b. memberikan kepuasaan batin, hiburan ini adalah hiburan intelektual;

c. memberikan sebuah penghayatan yang mendalam tentang apa yang

diketahui, pengetahuan ini nantinya menjadi hidup dalam sastra;

Membaca novel adalah karya seni indah dan memenuhi kebutuhan

manusia terhadap naluri keindahan yang merupakan kodrat manusia. Novel di

dalamnya memiliki kebebasan untuk menyampaikan dialog yang dapat

menggerakkan hati masyarakat dengan kekayaan perasaan, kedalaman isi, dan

kekuasaan pandangan terhadap berbagai masalah. Salah satu hal yang perlu

diperhatikan bahwa novel bukanlah media yang hanya menonjolkan suatu sisi

kehidupan manusia.

4. Unsur-Unsur Novel

Cerita rekaan dibangun oleh dua unsur pokok, yaitu apa yang diceritakan

dan teknik (metode) penceritaan. Isi atau materi yang diceritakan tentunya tidak

dapat dipisahkan dengan cara penceritaan. Bahasa yang digunakan untuk

bercerita harus disesuaikan dengan isi, sifat, perasaan, dan apa tujuan cerita

tersebut. Unsur-unsur yang yang terkait dengan isi lazim disebut struktur batin.

Adapun unsur yang yang berhubungan dengan metode disebut unsur fisik. Unsur-

unsur tersebut membangun suatu kesatuan, kebulatan, dan regulasi diri atau

membangun sebuah struktur dalam karya sastra. Unsur-unsur itu bersifat

Page 68: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

84

fungsional, artinya diciptakan pengarang untuk mendukung maksud secara

keseluruhan cerita (Waluyo, 2005:136-137).

Nurgiyantoro (2010:22) mengemukakan bahwa sebuah novel merupakan

sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai totalitas

maka novel terdiri dari bagian-bagian unsur. Unsur-unsur yang saling berkaitan

satu dengan lainnya secara erat dan saling menggantungkan.

Novel dibangun dari sejumlah unsur dan setiap unsur akan saling

berhubungan secara saling menentukan, yang kesemuanya itu akan menyebabkan

novel tersebut menjadi sebuah karya sastra yang bermakna pada hidup. Unsur-

unsur tersebut adalah unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur tersebut

harus dipahami dalam upaya pengkajian karya sastra.

5. Teori Struktur Novel

Menurut Abrams (Nurgiyantoro, 2010:2) ada empat pendekatan terhadap

karya sastra, yaitu pendekatan mimetik, pendekatan pragmatik, pendekatan

ekspresif, dan pendekatan objektif. Pendekatan strukturalisme merupakan

pendekatan yang bersifat objektif, yaitu pendekatan yang mengganggap karya

sastra sebagai ‘makhluk” yang berdiri sendiri. Karya sastra bersifat otonom,

terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan bahkan pengarangnya sendiri. Oleh

karena itu, untuk dapat memahami sebuah karya sastra (novel) maka karya sastra

(novel) itulah yang harus dianalisis struktuk intrinsiknya (Pradopo, 2002:141).

Karya sastra (novel) merupakan struktur yang bermakna. Novel tidak hanya

merupakan serangkaian tulisan yang menggairahkan ketika dibaca, tetapi

Page 69: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

85

merupakan struktur pikiran yang tersusun dari unsur-unsur yang padu. Untuk

mengetahui makna-makna atau pikiran tersebut, karya sastra (novel) harus

dianalisis. Kritik sastra pada dasarnya merupakan upaya untuk menangkap atau

memberi makna sebuah karya sastra. Adapun menurut Teeuw (1988:4), kritik

sastra merupakan usaha untuk merebut makna karya sastra.

Analisis strukturalisme merupakan prioritas pertama sebelum diterapkannya

analisis yang lain. Tanpa analisis struktural tersebut, kebulatan makna intrinsik

yang hanya dapat digali dari karya tersebut tidak dapat ditangkap. Makna karya

sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya, dan dinilai atas dasar

pemahaman tempat dan fungsi unsur itu di dalam keseluruhan karya sastra

(Teeuw, 1988:61).

Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang

bersifat artistik (Nurgiyantoro,2010:22). Sebagai sebuah totalitas, novel

mempunyai bagian-bagian dan unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan

yang lain secara erat dan saling ketergantungan. Struktur dalam sebuah novel

sebagai sebuah cerita rekaan tentulah kompleks. Oleh karena itu, untuk

memahaminya perlu dinalisis. Analisis struktural tidak sekadar memilah-milah

struktur (novel) menjadi fragmen-fragmen yang tidak berhubungan, tetapi harus

dapat dipahami sebagai bagian dari keseluruhan. Tiap unsur dalam situasi tertentu

tidak mempunyai arti dengan sendirinya, melainkan ditentukan berdasarkan

hubungannya dengan unsur-unsur lain yang terlibat dalam situasi itu. Makna

penuh suatu satuan atau pengalaman dapat dipahami hanya jika berintegrasi ke

dalam struktur yang merupakan keseluruhan dalam satuan itu Hawkes

(Sugihastuti, 2002:44). Di antara unsur-unsur itu ada koherensi atau pertautan

Page 70: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

86

yang erat. Unsur-unsur tersebut tidak otonom, melainkan merupakan bagian dari

situasi yang rumit. Unsur itu mendapatkan artinya dari hubungan dengan bagian

yang lain (Culler dalam Sugihastuti, 2005:44). Jadi, untuk memahami sebuah

novel haruslah dianalisis terlebih dahulu unsur-unsur intrinsiknya.

Unsur-unsur dalam novel, menurut Stanton (Sugihastuti,2002:44) adalah

fakta, tema, dan sarana sastra. Fakta (facts) dalam sebuah cerita rekaan meliputi

alur, latar, tokoh dan penokohan. Fakta cerita merupakan unsur fiksi yang secara

faktual dapat dibayangkan peristiwanya dan eksistensinya dalam sebuah novel.

Oleh karena itu, fakta cerita sering juga disebut struktur faktual (factual

structure) atau derajat faktual (factual level). Sarana sastra (literary devices)

adalah teknik yang digunakan pengarang untuk memilih dan menyusun detail-

detail cerita menjadi pola yang bermakna (Sugihastuti, 2002:45).

Penelitian ini akan menganalisis citra perempuan dalam novel dengan

menggunakan kritik sastra feminis. Sehingga dengan demikian pembahasan

tentang struktur novel akan difokuskan pada struktur tema dan struktur

tokoh/penokohan. Akan tetapi untuk memperjelas tentang unsur-unsur novel,

semua unsur novel intrinsik novel akan diuraikan secara sepintas.

a. Tema

1) Hakikat Tema

Tema adalah makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan

sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema bersinonim dengan

ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose) (Stanton dalam

Sugihastuti, 2005:45, Nurgiyantoro, 2010:70). Tema, dengan demikian, dapat

dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel.

Page 71: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

87

Gagasan dasar umum inilah yang dipergunakan pengarang untuk

mengembangkan cerita. Dasar cerita sekaligus juga berarti tujuan (utama) cerita.

Jika pengembangan cerita senantiasa “tunduk’ pada dasar cerita, hal itu bertujuan

agar dasar, gagasan dasar umum, atau sesuatu yang ingin dikemukakan itu dapat

diterima oleh pembaca (Nurgiyantoro,2010:70).

Tema menjadi salah satu unsur cerita rekaan yang memberikan kekuatan

dan sekaligus sebagai unsur pemersatu semua fakta dan sarana cerita yang

mengungkapkan permasalahan kehidupan. Tema dapat dirasakan pada semua

fakta dan sarana cerita pada sebuah novel. Tema tidak dapat dipisahkan dari

permasalahan kehidupan yang direkam oleh karya sastra. Dengan kata lain, tema

sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan

(Nurgiyantoro, 2010:71). Akan tetapi, tema tidak sama dengan masalah. Masalah

adalah persoalan kehidupan yang harus dipecahkan (Moeliono,dkk., 1993:562),

sedangkan tema adalah sikap atau pandangan hidup orang terhadap masalah

tersebut. Pembicaraan tema dan masalah tidak dapat dipisahkan karena masalah

dalam karya sastra merupakan sarana untuk membangun tema. Masalah terdapat

dalam peristiwa-peristiwa yang menyusun jalannya cerita. Tema dapat ditemukan

dengan cara menyimpulkan keseluruhan cerita. Tema tersembunyi di balik cerita

yang mendukungnya. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa tema itu sengaja

“disembunyikan” karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca

(Nurgiyantoro, 2010:68).

Sebagai sebuah makna, pada umumnya tema tidak dilukiskan secara

langsung atau khusus. Eksistensi dan atau kehadiran tema adalah terimplisit dan

merasuki keseluruhan cerita, hal inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan

Page 72: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

88

pelukisan secara langsung tersebut (Nurgiyantoro, 2010:69). Hal itu pula yang

menyebabkan penafsiran tema tidak mudah. Agar bisa memahami tema harus

bisa memahami cerita secara keseluruhan. Akan tetapi, tema juga dapat

ditemukan pada kalimat-kalimat (atau alinea-alinea, percakapan) tertentu yang

dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang mengandung tema pokok.

2) Tema: Mengangkat masalah Kehidupan

Masalah hidup dan kehidupan yang dihadapi dan dialami manusia amat

luas dan kompleks, seluas dan sekompleks permasalahan kehidupan yang ada

(Nurgiyantoro, 2010:71). Akan tetapi walaupun permasalahan yang dialami

manusia berbeda-beda, ada masalah-masalah kehidupan yang bersifat universal.

Artinya, hal itu akan dialami oleh setiap orang di manapun dan kapan pun walau

dengan intensitas yang berbeda. Misalnya, hal-hal yang terkait dengan masalah

cinta, rindu, takut, kematian, nafsu, religius, dan lain-lain. Novel, yang dapat

dipandang sebagai hasil dialog, mengangkat dan mengungkapkan kembali

berbagai permasalahan hidup dan kehidupan tersebut setelah melewati

penghayatan yang intens, selektif-subjektif, dan diolah dengan daya imajinatif-

kreatif oleh pengarang ke dalam bentuk dunia rekaan.

Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan

kehidupan itu menjadi tema dan subtema ke dalam karya fiksi berdasarkan

pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Tema

sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan.

Melalui karyanya pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan, mengajak

pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna (pengalaman)

kehidupan dengan cara memandang permasalahan itu sebagaimana ia

Page 73: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

89

memandangnya (Nurgiyantoro, 2010:71). Selesai membaca sebuah novel,

mungkin pembaca akan merasakan sesuatu yang belum dirasakan sebelumnya,

mungkin perasaan kecewa, haru, bahagia, atau berbagai reaksi emotif lain yang

dapat menyebabkan pembaca mengalami perubahan dalam menyikapi hidup dan

kehidupan ini.

Masalah-masalah dan pengalaman kehidupan yang banyak diangkat ke

dalam karya fiksi, baik yang bersifat individual maupun sosial antara lain adalah

masalah percintaan (sampai atau tak sampai, terhadap kekasih, orangtua, saudara,

tanah air, keluarga, dan lain-lain), kecemasan, dendam, kesombongan, ketakutan,

kematian, keagamaan, harga diri, pengkhianatan, kepahlawanan, keadilan, dan

kebenaran. Pemilihan tema-tema tertentu ke dalam sebuah karya bersifat

subjektif.

3) Hubungan Tema dengan Unsur Lain

Tema, hanya merupakan salah satu dari sejumlah unsur yang membangun

sebuah karya sastra yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan.

Bahkan, eksistensi tema sangat bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu

karena tema hanyalah merupakan makna atau gagasan dasar umum suatu cerita,

ia tak mungkin hadir tanpa unsur bentuk yang menampungnya (Nurgiyantoro,

2010:72). Dengan kata lain, tema akan menjadi makna cerita apabila ada dalam

keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita lainnya, seperti unsur fakta cerita,

tokoh, plot, dan latar yang bertugas mendukung dan menyampaikan cerita.

Di pihak lain, unsur-unsur tokoh dan penokohan, plot dan pemplotan,

latar dan pelataran, serta cerita, dimungkinkan menjadi padu dan bermakna

apabila diikat oleh sebuah tema. Tema bersifat memberi koherensi dan makna

Page 74: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

90

terhadap keempat unsur tersebut dan juga berbagai unsur fiksi yang laian. Tokoh-

tokoh cerita, terutama tokoh utama adalah pembawa dan pelaku cerita, pembuat,

dan penderita peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Dengan demikian, sebenarnya

tokoh-tokoh (utama) cerita inilah yang diberi tugas untuk menyampaikan tema

yang dimaksudkan oleh pengarang. Penyampaian tema tidak bersifat langsung,

melainkan melalui tingkah laku (verbal dan nonverbal), pikiran dan perasaan,

serta berbagai peristiwa yang dialami tokoh tersebut.

4) Penggolongan Tema

Penggolongan tema yang akan dikemukakan berikut merupakan

penggolongan yang didasarkan pada tiga sudut pandang, yaitu dikhotomis yang

bersifat tradisional dan nontradisional dan tingkat pengalaman jiwa menurut

Shipley.

a) Tema Dikhotomis (Tradisional dan Nontradisional)

Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang merujuk pada tema

yang hanya “itu-itu” saja, artinya tema yang telah lama dipergunakan dan dapat

ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama (Nurgiyantoro, 2010:77).

Pernyataan-pernyataan tema yang dapat digolongkan sebagai tema tradisional,

misalnya berbunyi; (i) kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, (ii)

kejahatan walau ditutup-tutupi akan terbongkar juga, (iii) tindak kebenaran dan

kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya, (iv) cinta sejati menuntut

pengorbanab, (v) kawan sejati adalah kawan di masa duka, (vi) setelah menderita,

orang baru teringat Tuhan, dan lain-lain. Tema-tema tradisional, walau bervariasi,

dapat dikatakan, selalu terkait dengan masalah kebenaran dan kejahatan

(Meredith&Fitzgerald dalam Nurgiyantoro, 2010:77).

Page 75: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

91

Selain yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja

mengangkat sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang bersifat nontradisional.

Karena sifatnya yang nontradisional, tema demikian , mungkin tidak sesuai

dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan mungkin

mengecewakan pembacanya. Padaumumnya, pembaca berharap semua tokoh

baik (protagonis) pada akhirnya akan mengalami kebahagiaan/kemenangan.

Sebaliknya, tokoh jahat antagonis pada akhirnya akan memetik hasil dari

kejahatannya. Apabila terjadi hal yang sebaliknya, yaitu tokoh baik yang

dikalahkan, pembaca mungkin akan ‘menggugat’ walau hanya secara afeksi.

Padahal, dalam realitas kehidupan sangat mungkin hal tersebut dapat terjadi.

b) Tingkatan Tema menurut Shipley

Shipley membedakan tema menjadi lima tingkatan. Kelima tingkatan

tema yang dimaksud adalah sebagai berikut.

(1) tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul.

Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau

ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan (lebih

menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh-tokohnya).

(2) tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma.

Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau

mempersoalkan masalah seksualitas (khususnya kehidupan yang bersifat

menyimpang, seperti penyelewengan, dan pengkhianatan suami-istri, atau

skandal-skandal seksual yang lain).

Page 76: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

92

(3) tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial.

Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat berinteraksinya

manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam mengandung banyak

permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema.

Masalah-masalah sosial tersebut antara lain berupa masalah ekonomi,

politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, dan berbagai

masalah kritik sosial lainnya.

(4) tema tingkat egoik, manusia sebagai individu.

Dalam kedudukannya sebagai individu, manusia pun meniliki banyak

permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia

terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah individualitas

itu antara lain berupa masalah egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan

sikap tertentu manusia yang pada umumnya lebih bersifat batin dan

dirasakan oleh yang bersangkutan. Masalah individualitas biasanya

menunjukkan jati diri, citra diri, atau sosok kepribadian seseorang.

(5) tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi.

Pada tingkat ini belum tentu semua manusia dapat mencapainya. Masalah

pada tema tingkat ini adalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta,

masalah religiusitas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya,

seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

b. Alur (Plot) dan Pengaluran

Di dalam sebuah cerita rekaan, peristiwa-peristiwa disajikan dengan urutan

tertentu, peristiwa yang diurutkan itu membangun tulang punggung cerita, yaitu

alur (Panuti-Sudjiman, 1991:28). Stanton (Nurgiyantoro, 2010:113)

Page 77: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

93

mengemukakan bahwa alur (plot) adalah cerita yang berisi urutan peristiwa,

tetapi setiap peristiwa itu dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu

disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Adanya hubungan

sebab akibat ini juga ditekankan oleh Kenny (1966) dan Forster (1970). Peristiwa

terjadi karena adanya aksi atau aktivitas yang dilakukan oleh tokoh cerita, baik

yang bersifat verbal maupun nonverbal, baik yang bersifat fisik maupun batin.

Alur merupakan cerminan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh

dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagi

masalah kehidupan. Akan tetapi, tidak dengan sendirinya semua tingakh laku

kehidupan manusia boleh disebut plot atau alur (Nurgiyantoro, 2010:114).

Pemilihan dan pengaturan peristiwa yang membentuk cerita disebut

pengaluran (Panuti-Sudjiman, 1991:31). Cerita diawali dengan peristiwa tertentu

dan diakhiri dengan peristiwa tertentu lainnya tanpa terikat pada urutan waktu.

Jika sebuah cerita diawali dengan peristiwa yang pertama di dalam urutan waktu

terjadinya, dikatakan bahwa cerita disusun ob ovo (dari telur). Sebaliknya, jika

cerita diawali dengan peristiwa lanjutan kemudian disusul peristiwa yang terjadi

sebelumnya, dikarakan bahwa cerita itu berawal in medias res (Panuti-Sudjiman,

1991:31). Peristiwa pertama yang memberikan informasi awal kepada pembaca

itu disebut paparan atau eksposisi (Panuti-Sudjiman, 1991:32). Di dalam awal

cerita, juga diselipkan butir-butir ketidakstabilan yang memancing rasa ingin tahu

pembaca akan kelanjutan cerita. Menurut Kenney (Panuti-Sudjiman, 1991:32),

ketidakstabilan itu berpotensi untuk mengembangkan cerita menuju rangsangan

(inciting moment), yaitu peristiwa yang mengawali timbulnya gawatan (risting

Page 78: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

94

action). Rangsangan sering ditimbulkan oleh masuknya seorang tokoh baru yang

berlaku sebagai katalisator.

Unsur-unsur yang mengarah kepada ketidakstabilan akan mewujudkan

suatu pola konflik atau tikaian., yaitu peristiwa yang timbul sebagai akibat dari

adanya dua kekuatan yang bertentangan. Satu di antaranya diwakili oleh tokoh

yang biasanya menjadi protagonis di dalam cerita (Panuti-Sudjiman, 1991:34).

Menurut Kenney (Sugihastuti, 2005:48), perkembangan ke arah klimaks secara

laten sudah terdapat di dalam tikaian. Perkembangan dari gejala mula tikaian

menuju ke klimaks disebut rumitan (complication). Klimaks terjadi apabila

rumitan mencapai puncak kehebatannya. Dari titik tertinggi ini penyelesaian

cerita biasanya sudah dapat dibayangkan (Panuti-Sudjiman,1991:35).

Bagian struktur alur sesudah klimaks meliputi leraian (falling action) yang

menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian. Selesaian bukan

penyelesaian masalah yang dihadapi tokoh cerita. Selesaian (denouement) adalah

bagian akhir atau penutup cerita. Selesaian dapat berupa penyelesaian masalah

yang menyedihkan (sad ending), atau masalah dibiarkan menggantung tanpa

pemecahan (Panuti-Sudjiman,1991:35-36). Panuti-Sudjiman (1991:30)

menggambarkan struktur dramatik alur sebagai berikut.

1. paparan (exposition)

awal 2. Rangsangan (inciting moment)

3. gawatan (rising action)

4. tikaian (conflict)

tengah 5. rumitan (complication)

6. klimaks

akhir 7. Leraian (falling action)

8. selesaian (denouecement)

Gambar 1.1. Struktur Dramatik Alur

Page 79: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

95

Adapun Jones menggambarkan diagram alur secara runtut dan kronologis

sebagai berikut.

Klimaks

Inciting Forces +) **) Pemecahan *)

Awal Tengah Akhir

Keterangan:

� ) Konflik dimunnculkan dan semakin ditingkatkan

�� ) Konflik dan ketegangan dikendorkan

+ ) Inciting Forces menyarankan pada hal-hal yang semakin meningkatkan

konflik sehingga akhirnya semakin klimaks.

Gambar 1.2. Diagram Struktur Alur

(Sugihastuti, 2005:49)

c. Tokoh dan Penokohan

Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya fiksi.

Melalui tokohlah seorang pengarang menyampaikan pesan, amanat, moral, atau

sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pengarang.

1) Pengertian dan Hakikat

Cerita rekaan pada dasarnya mengisahkan seseorang atau beberapa orang

yang menjadi tokoh. Tokoh cerita adalah individu rekaan yang mengalami

peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. Dengan kata lain

tokoh cerita adalah orang yang menjadi subjek yang menggerakkan peristiwa-

peristiwa cerita. Tokoh dilengkapi dengan watak atau karakteristik tertentu.

Watak adalah kualitas tokoh yang meliputi kualitas nalar dan jiwa yang

Page 80: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

96

membedakannya dengan tokoh cerita lain. Watak itulah yang menggerakkan

tokoh untuk melalukan perbuatan tertentu sehingga cerita menjadi hidup.

Penyajian watak, penciptaan citra, atau pelukisan gambaran tentang

seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh cerita disebut penokohan (Jones dalam

Sugihastuti, 2005:50). Salah satu caranya adalah dengan penamaan. Nama, selain

berfungsi untuk mempermudah penyebutan tokoh-tokoh cerita, juga menyiratkan

kualitas dan latar belakang pemiliknya.

Abrams (Nurgiyantoro, 2010:165) mengemukakan bahwa tokoh cerita

(character) adalah orang (-orang) yang ditampilakan dalam suatu karya naratif,

atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan

kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang

dilakukan dalam tindakan. Menurut pengertian tersebut, antara seorang tokoh

dengan kualitas pribadinya berkaitan dengan penerimaan pembaca. Dalam hal ini,

pembacalah sebenarnya yang memberi arti semuanya. Untuk kasus kepribadian

seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan

tingkah laku lain (nonverbal). Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang

lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik.

2) Hubungan Penokohan dan Unsur lain

Penokohan sebagai salah satu unsur pembangun fiksi dapat dikaji dan

dianalisis keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangun lainnya. Jika fiksi

tersebut merupakan sebuah karya yang berhasil, penokohan pastilah berjalin

secara harmonis dan saling melengkapi dengan berbagai unsur lainnya, misalnya

dengan unsur plot, tema, latar, sudut pandang, gaya, atau amanat.

Page 81: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

97

Penokohan dan pemplotan merupakan dua fakta cerita yang saling

memengaruhi dan menggantungkan satu dengan lainnya. Plot adalah apa yang

dilakukan tokoh dan apa yang menimpanya. Adanya kejadian demi kejadian,

ketegangan, konflik, dan sampai pada klimaks hanya mungkin terjadi jika ada

pelakunya. Tokoh-tokoh cerita merupakan pelaku sekaligus penderita kejadian,

dan karenanya penentu perkembangan plot. Bahkan sebenarnya, plot tak lain dari

perjalanan cara kehidupan tokoh, baik dalam cara berpikir dan berperasaan,

bersikap, berperilaku, maupun bertindak, baik secara verbal maupun nonverbal

Hal ini sejalan dengan pendapat James (Nurgiyantoro, 2010:173),bahwa jati diri

seorang tokoh ditentukan oleh peristiwa-peristiwa yang menyertainya, dan

sebaliknya, peristiwa-peristiwa itu sendiri merupakan pelukisan tokoh..

Penokohan dan tema saling berhubungan erat, karena tokoh-tokoh cerita

berfungsi sebagai pelaku-penyampai tema baik implisit maupun eksplisit. Adanya

perbedaan tema akan menyebabkan perbedaan pemerlakuan tokoh cerita yang

“ditugasi” menyampaikannya. Pengarang akan memilih tokoh-tokoh tertentu

yang dirasa paling sesuai untuk mendukung temanya.

Dalam kebanyakan fiksi, tema umumnya tidak dinyatakan secara

eksplisit. Hal itu berarti pembacalah yang harus menafsirkannya. Usaha

penafsiran tema antara lain dapat dilakukan melalui detil kejadian dan atau

konflik yang menonjol. Artinya, usaha penafsiran tema haruslah dilacak dari apa

yang dilakukan, dipikirkan dan dirasakan, atau apa yang ditimpakan kepada

tokoh. Dengan demikian, penafsiran tema akan selalu mengacu pada tokoh.

3) Metode Penokohan

Page 82: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

98

Ada beberapa metode penokohan yang masing-masing memiliki kelebihan

dan kekurangannya. Pertama, metode analitik atau metode langsung (telling).

Pengarang melalui narator memaparkan sifat-sifat, hasrat, pikiran, dan perasaan

tokoh, kadang-kadang disertai komentar tentang watak tersebut. Cara ini

sederhana dan hemat, tetapi tidak menggalakkan imajinasi pembaca. Pembaca

tidak dirangsang untuk membentuk gambarannya tentang si tokoh (Panuti-

Sudjiman, 1991:24). Biasanya metode ini digunakan oleh para penulis jaman

dahulu_ bukan fiksi modern. Melalui metode ini keikutsertaan atau turut

campurnya pengarang dalam menyajikan perwatakan tokoh sangat terasa,

sehingga para pembaca memahami dan menghayati perwatakan tokoh

berdasarkan paparan pengarang (Minderop, 2005:6).

Kedua, metode tidak langsung (showing) yang disebut juga metode ragaan

atau metode dramatik. Dalam metode ini, pengarang menempatkan diri di luar

kisahan dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk menampilkan

perwatakan mereka melalui dialog dan action (Pickering dan Hoeper dalam

Minderop, 2005:6). Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran,

cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang melalui narator. Bahkan,

watak juga dapat disimpulkan dari penampilan fisik tokoh, dari gambaran

lingkungannya, serta dari pendapat dan cakapan tokoh-tokoh yang lain tentang

tokoh utama. Metode ini lebih hidup dan menggalakkan pembaca untuk

menyimpulkan watak tokoh (Panuti-Sudjiman, 1991:26). Para kritikus modern

pada umumnya beranggapan bahwa secara intrinsik metode dramatik bermutu

lebih tinggi daripada metode analitik (Panuti-Sudjiman, 1991:27).

Page 83: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

99

Ketiga, metode kontekstual (Kenney dalam Sugihastuti, 2005:51). Dalam

metode ini, watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan narator di

dalam mengacu kepada tokoh cerita. Ketiga metode tersebut dapat dipakai secara

bersama-sama dalam menulis sebuah novel.

4) Pembedaan Tokoh

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam

beberapa jenis penamaan berdasarkan sudut pandang dan tinjauan tertentu.

a) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya, tokoh dalam cerita fiksi

dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama cerita

(main character, central character) adalah tokoh yang tergolong penting dan

ditampilkan terus-menerus sehingga terkesan mendominasi sebagian besar cerita.

Adapun tokoh tambahan (peripheral character) adalah tokoh hanya dimunculkan

sesekali atau beberapa kali dalam cerita, dan dalam porsi penceritaan yang relatif

pendek.

Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritaka, baik

sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel-novel

tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui

dalam tiap halaman novel yang bersangkuta. Misalnya, tokoh Aku (Sri) pada

novel Pada Sebuah Kapal bagian I, atau tokoh Aku (Michel) pada novel yang

sama bagian II. Ada juga novel yang tokoh utamanya tidak dimunculkan dalam

setiap kejadian atau tidak langsung ditunjuk dalam setiap bab, tetapi dalam

kejadian atau bab tersebut tetap erat berkaitan atau dapat dikaitkan dengan tokoh

utama.

Page 84: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

100

Tokoh utama sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan

karena ia paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh

lain. Adapun pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih

sedikit dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama

secara langsung ataupun tidak langsung. Dalam kegiatan membuat sinopsis,

tokoh utamalah yang dibuatkan sinopsisnya. Tokoh utama dalam sebuah novel

mungkin saja lebih dari satu orang, walaupun kadar keutamaannya tidak selalu

sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan, dan

pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan.

Pembedaan seorang tokoh dalam cerita fiksi bersifat gradasi. Artinya,

kadar keutamaan tokoh-tokoh tersebut bertingkat. Ada tokoh utama (yang)

utama, utama tambahan, tokoh tambahan utama, tokoh tambahan (yang)

tambahan. Hal inilah yang menyebabkan pembaca swering berbeda pendapat

dalam menentukan tokoh-tokoh utama sebuah cerita fiksi (Nurgiyantoro,

2010:178).

b) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, dapat dibedakan menjadi tokoh

protagonis dan tokoh antagonis. Menurut Altenbernd & Lewis (Nurgiyantoro,

2010:178), tokoh protagonis adalah tokoh yang merupakan pengejawantahan

norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita. Tokoh protagonis menampilkan

sesuatu yang sesuai dengan pandangan-pandangan dan harapan-harapan

pembaca.

Sebuah cerita fiksi haruslah mengandung konflik dan ketegangan,

khususnya yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh penyebab terjadinya

Page 85: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

101

konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis merupakan tokoh yang

beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung maupun tidak

langsung, bersifat fisik maupun batin.

Konflik yang dialami oleh tokoh protagonis tidak hanya disebabkan oleh

tokoh antagonis. Konflik juga dapat disebabkan oleh hal-hal lain yang di luar

individualitas seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan, lingkungan alam

dan sosial, aturan-aturan sosial, nilai-nilai moral, kekuasaan dan kekuatan yang

lebih tinggi, dan sebagainya. Penyebab konflik yang tidak dilakukan oleh seorang

tokoh disebut sebagai kekuatan antagonistis, antagonistic force (Altenbernd

dalam Nurgiyantoro, 2010:179). Konflik juga dapat disebabkan oleh diri sendiri,

misalnya seorang tokoh akan memutuskan sesuatu yang penting dan masing-

masing memiliki konsekuensi sehingga terjadi pertentangan dalam diri sang

tokoh tersebut.

Menentukan tokoh-tokoh cerita ke dalam protagonis dan antagonis

kadang-kadang tidak mudah. Tokoh yang mencerminkan harapan dan atau norma

ideal kita, memang dapat dianggap sebagai tokoh protagonis. Akan tetapi tidak

jarang muncul tokoh yang tidak membawakan nilai-nilai moral pembaca atau

berada di pihak yang berlawanan, justru yang diberi simpati dan empati oleh

pembaca. Jika terdapat dua tokoh yang berlawanan, tokoh yang lebih banyak

diberi kesempatan untuk mengemukakan visinya itulah yang kemungkinan besar

memperoleh simpati dan empati dari pembaca (Luxemburg dkk, 1992:145).

Pembedaan antara tokoh utama dan tambahan dengan tokoh protagonis

dan antagonis sering digabungkan, sehingga menjadi tokoh utama protagonis,

tokoh utama antagonis, tokoh tambahan protagonis, dan seterusnya. Pembedaan

Page 86: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

102

secara pasti antara tokoh utama protagonis dengan tokoh utama antagonis juga

tidak mudah dilakukan. Pembedaan tersebut sebenarnya lebih bersifat

penggradasian. Apalagi tokoh cerita pun sering kali berubah, khususnya pada

tokoh yang berkembang, sehingga tokoh yang semula diberi rasa antipati

belakangan justru menjadi diberi simpati oleh pembaca, atau sebaliknya.

c) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh

sederhana (simple/flat character) dan tokoh kompleks (complex/round

character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas

pribadi tertentu, satu sifat/watak tertentu saja. Sifat dan tingkah laku seorang

tokoh sederhana bersifat datar, monoton, dan hanya mencerminkan satu watak

tertentu. Watak yang telah pasti itu mendapat penekanan dan terus-menerus

terlihat dalam cerita. Perwatakan tokoh sederhana, dapat dirumuskan hanya

dengan sebuah kalimat atau sebuah frasa. Misalnya, “ Ia seorang lelaki yang kaya

tetapi kikir”, “Ia seorang yang miskin tetapi jujur, atau “ Ia seorang yang

senantiasa pasrah pada nasib”.

Tokoh sederhana dapat saja melakukan berbagai tindakan, tetapi semua

tindakannya tersebut akan kembali pada perwatakan yang dimiliki dan telah

diformulakan sebelumnya. Dengan demikian, pembaca dengan mudah

memahami watak dan tingkah laku tokoh sederhana. Tokoh sederhana mudah

dipahami, lebih familiar, dan cenderung stereotipe.

Tokoh bulat/kompleks merupakan tokoh yang diungkapkan memiliki

berbagai kemungkinan sisi kehidupan, sisi kepribadian, dan jati dirinya. Tokoh

bulat dapat saja memiliki watak tertentu yang diformulasikan, tetapi ia juga dapat

Page 87: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

103

menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam bahkan mungkin watak

yang saling bertentangan dan sulit diduga. Oleh karena itu, perwatakannya pun

pada umumnya sulit dideskripsikan secara tepat. Menurut Abrams

(Nurgiyantoro, 2010:183), dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat

lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena di samping

memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan

kejutan.

d) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh

cerita dalam sebuah karya fiksi, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh statis

(static character) dan tokoh berkembang (developing character). Tokoh statis

adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau

perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang

terjadi (Altenbernd dalam Nurgiyantoro, 2010:188). Tokoh jenis ini tampak

seperti kurang terlibat dan tak terpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan

lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan antarmanusia. Tokoh statis

memilikisikap dan watak yang relatif tetap, tidak berkembang dari awal sampai

akhir cerita.

Adapun tokoh berkembang merupakan tokoh cerita yang mengalami

perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan

perubahan) peristiwa atau plot yang dikisahkan. Tokoh berkembang secara aktif

berinteraksi dengan lingkungannya, baik di lingkungan sosial ataupun lingkungan

alam yang kesemuanya itu akan memengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya.

e) Tokoh Tipikal dan tokoh Netral

Page 88: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

104

Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap

(sekelompok) manusia dalam realitas kehidupan yang sebenarnya, tokoh cerita

dapat dibedakan menjadi tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal adalah

tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak

ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya (Altenbernd dalam

Nurgiyantoro, 2010:190). Tokoh tipikal merupakan penggambaran,

pencerminan, atau penunjukkan terhadap orang, atau sekelompok orang yang

terikat dalam suatu lembaga, atau seorang individu sebagai bagian dari suatu

lembaga yang ada di dunia nyata. Penggambaran tersebut bersifat tidak langsung

dan tidak menyeluruh. Pembacalah yang menafsirkannya berdasarkan

pengetahuan, pengalaman, dan persepsinya terhadap tokoh di dunia nyata dan

pemahamannya terhadap tokoh cerita di dunia fiksi.

Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu

sendiri. Tokoh netral merupakan benar-benar tokoh imajiner yang hanya hidup

dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Kehadirannya semata-mata demi cerita atau

bahkan dialah sebenarnya yang empunya cerita, pelaku cerita, dan yang

diceritakan.

Penokohan secara tipikal pada hakikatnya dapat dipandang sebagai reaksi,

tanggapan, penerimaan, dan tafsiran pengarang terhadap tokoh manusia di dunia

nyata. Tanggapan tersebut mungkin bernada negatif, positif, ataupun netral.

Tanggapan yang bernada negatif misalnya terlihat dalam karya yang bersifat

menyindir, mengritik, bahkan mengecam, karikatural atau setengah karikatural.

Tanggapan yang bernada positif misalnya terlihat pada karya-karya yang beisi

Page 89: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

105

pujian-pujian tertentu. Adapun tanggapan yang bernada netral artinya pengarang

melukiskan seperti apa adanya tanpa disertai sikap subjektivitas yang cenderung

memihak.

Penokohan yang tipikal maupun bukan berkaitan erat dengan makna,

makna intensional, makna yang tersirat yang ingin disampaikan oleh pengarang

kepada pembaca. Melalui toko tipikal, pengarang tidak sekadar memberikan

reaksi atau tanggapan, tetapi sekaligus memperlihatkan sikapnya terhadap tokoh,

permasalahan tokoh, atau sikap dan tindakan tokohnya itu sendiri.

5) Teknik Pelukisan Tokoh

Ada beberapa pendapat yang membedakan teknik pelukisan tokoh dalam

suatu karya. Abrams mengatakan bahwa teknik pelukisan tokoh dengan

menggunakan teknik uraian (telling) dan teknik ragaan (showing). Altenbernd

membedakan menjadi teknik penjelasan (ekspositori) dan teknik dramatik.

Adapun Kenny mengatakan teknik diskursif, dramatik, dan kontekstual. Akan

tetapi, walaupun berbeda istilah, secara esensial teknik tersebut tidak berbeda

(Nurgiyantoro, 2010:194). Akan tetapi, pada umumnya pengarang memilih cara

campuaran, baik teknik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah karya.

Berikut akan diuraikan teknik ekspositori dan teknik dramatik.

a) Teknik Ekspositori (Teknik analitis)

Dalam teknik ini pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan

deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan

dihadirkan oleh pengarang kehadapan pembaca secara tidak berbelit-belit,

melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya yang mungkin

Page 90: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

106

berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya

(Nurgiyantoro, 2010:195).

b) Teknik Dramatik

Dalam teknik ini, pengarang tidak secara langsung mendeskripsikan

secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan

para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai

aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal melalui ucapan maupun nonverbal

melalui tindakan atau tingkah laku, dan juga memalui peristiwa yang terjadi

(Nurgiyantoro, 2010:198).

Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan beberapa

teknik. Teknik-teknik tersebuat diuraikan sebagai berikut.

(1) Teknik cakapan

Teknik percakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang

berwujud kata-kata para tokoh. Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh

ceritabiasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang

bersangkutan. Bentuk percakapan dalam sebuah karya fiksi, umumnya banyak,

baik percakapan yang pendek maupun yang agak panjang. Tidak semua

percakapan mencerminkan kedirian tokoh, tetapi percakapan yang baik, efektif,

dan fungsional adalah yang menunjukkan perkembangan plot dan sekaligus

mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya.

(2) Teknik tingkah laku

Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik.

Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak

Page 91: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

107

hal dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap

yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.

(3) Teknik pikiran dan perasaan

Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang terlintas

dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang sering dipikir dan dirasakan oleh

tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya. Bahkan

pada hakikatnya, “tingkah laku” pikiran dan perasaanlah yang diejawantahkan

menjadi tingkah laku verbal dan nonverbal. Perbuatan dan kata-kata merupakan

perwujudan konkret tingkah laku pikiran dan perasaan. Teknik pikiran dan

perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku. Artinya

penuturan itu sekaligus untuk menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh.

(4) Teknik arus kesadaran

Teknik arus kesadaran berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan.

Keduanya tidak dapat dibedakan secara terpilah, bahkan dianggap sama karena

sama-sama menggambarkan tingkah laku batin tokoh. Arus kesadaran merupakan

sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses

mental tokoh, dimana tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan

ketaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak

(Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010:206).

(5) Teknik reaksi tokoh

Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu

kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap tingkah laku orang lain, dan

sebagainya yang berupa “rangsang’ dari luar diri tokoh yang bersangkutan.

Page 92: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

108

Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu

bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.

(6) Teknik reaksi tokoh lain

Reaksi tokoh lain yang dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh

tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang

berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Dengan kata lain,

penilaian kedirian tokoh utama cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang lain dalam

sebuah karya. Reaksi tokoh juga merupakan teknik penokohan untuk

menginformasikan kedirian tokoh kepada pembaca. Tokoh-tokoh lain itu pada

halikatnya melakukan penilaian atas tokoh utama untuk pembaca.

(7) Teknik pelukisan latar

Pelukisan suasana latardapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh

seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain. Keadaan latar

tertentu dapat menimbulkan kesan di pihak pembaca. Misalnya, suasana rumah

yang bersih, teratur, rapi, akan menimbulkan kesan bahwa pemilik rumah itu

sebagai orang yang mencintai kebersihan dan lingkungan, mempunyai sifat teliti

dan teratur. Sebaliknya, suasana rumah yang kotor, berantakan dan semrawut,

akan memberikan kesan kepada pemiliknya yang kurang lebih sama dengan

keadaan itu. Pelukisan keadaan latar sekitar tokoh secara tepat akan mampu

mendukung teknik penokohan secara kuat.

(8) Teknik pelukisan fisik

Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau

paling tidak, pengarang sengaja mencari dan menghubungkan adanya keterkaitan

itu. Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambut lurus

Page 93: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

109

menyaran pada sifat tak mau mengalah, pandangan mata tajam, hidung agak

mendongak, dan lain-lain menyaran pada sifat-sifat tertentu. Tentu saja hal itu

berkaitan dengan pandangan (budaya) masyarakat yang bersangkutan.

d. Latar

Unsur penting lain dalam menganalisis sebuah novel adalah latar (setting).

Latar sering disebut sebagai atmosfer karya sastra (novel) yang turut mendukung

masalah, tema, alur, dan penokohan. Oleh karena itu, latar merupakan salah satu

fakta cerita yang harus diperhatikan, dianalisis, dan dinilai.

Latar atau setting adalah segala keterangan, petunjuk, atau pengacuan yang

berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu

karya sastra (Panuti-Sudjiman, 1991:44). Menurut Kenny (Sugihastuti, 2005:54),

latar meliputi penggambaran lokasi geografis, termasuk tofografi, pemandangan,

sampai pada perincian perlengkapan sebuah ruangan; pekerjaan atau kesibukan

sehari-hari para tokoh; waktu berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim

terjadinya; lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional para

tokoh. Berdasarkan perincian tersebut, Hudson (Sugihastuti, 2005:54)

membedakan latar menjadi dua unsur, yaitu latar sosial dan latar fisik/material.

Yang termasuk latar fisik/material adalah tempat, waktu, dan alam fisik di sekitar

tokoh cerita, sedangkan yang termasuk latar sosial adalah penggambaran keadaan

masyarakat atau kelompok sosial tertentu, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku

pada suatu tempat dan waktu tertentu, pandangan hidup, sikap hidup, adat-

istiadat, dan sebagainya yang melatari sebuah peristiwa. Latar fisik yang

menimbulkan dugaan atau tautan pikiran tertentu disebut latar spiritual (Panuti-

Sudjiman, 1991:45). Unsur-unsur itu walau masing-masing menawarkan

Page 94: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

110

permasalahan yang bebeda dan dapat dibicarakan secara tersendiri, pada

kenyataannya saling berkaitan dan saling memengaruhi satu dengan lainnya.

Fungsi latar adalah memberikan informasi tentang situasi sebagaimana

adanya. Selain itu, latar juga berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh

cerita (Panuti-Sudjiman, 1991:45). Latar yang baik dapat mendeskripsikan secara

jelas peristiwa-peristiwa, perwatakan tokoh, dan konflik yang dihadapi tokoh

cerita sehingga cerita terasa hidup dan segar, seolah-olah sungguh-sungguh

terjadi dalam kehidupan nyata (Nurgiyantoro, 2010:217).

Analisis struktur novel tidak hanya memilah-milah novel ke dalam alur,

penokohan, latar, serta masalah atau tema, melainkan harus dapat merekonstruksi

hubungan antara unsur-unsur itu sebagai suatu keseluruhan yang bulat. Hubungan

antarunsur itu, antara lain hubungan antara alur dan penokohan, antara

penokohan dan latar, serta antara tema dengan masalah dan fakta cerita. Dalam

penelitian ini, tema/ masalah, dan penokohan diberi prioritas terbesar karena akan

menjadi dasar bagi analisis kritik satra feminis.

F. Bahan Pembelajaran Apresiasi Sastra

Pembahasan mengenai bahan pembelajaran, akan difokuskan pada

pengertian bahan pembelajaran; kriteria bahan pembelajaran; fungsi bahan

pembelajaran; manfaat bahan pembelajaran; unsur-unsur bahan pembelajaran;

kualitas bahan pembelajaran; cakupan bahan pembelajaran; dan bahan

pembelajaran apresiasi sastra dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)

di madrasah aliyah (MA).

1. Pengertian Bahan Pembelajaran

Page 95: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

111

Sebelum proses belajar mengajar dilaksanakan, guru harus menyiapkan

bahan pembelajaran yang diperlukan dalam proses pembelajaran. Kelengkapan

bahan pembelajaran akan membantu guru dalam kegiatan mengajar, dan

membantu siswa dalam proses belajar. Bahan pembelajaran ikut menentukan

pencapaian tujuan pembelajaran. Bahan pembelajaran merupakan informasi, alat,

dan teks yang diperlukan guru/instruktur untuk perencanaan dan penelaahan

implementasi pembelajaran (Depdiknas, 2006:7).

Bahan pembelajaran adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk

membantu guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di

kelas. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak

tertulis. Pengertian lain bahan pembelajaran adalah seperangkat materi yang

disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak sehingga tercipta

lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar.

Bahan pembelajaran yang lengkap adalah bahan pembelajaran yang

disusun secara sistematis agar dapat menciptakan pembelajaran yang efektif dan

efisien. Pembelajaran yang efektif dan efisien diharapkan bisa mencapai tujuan

pembelajaran yang tercantum dalam indikator yang merupakan penjabaran dari

kompetensi dasar.

Bahan pembelajaran merupakan komponen terpenting yang harus

dipersiapkan guru sebelum melakukan proses kegiatan belajar mengajar di dalam

kelas selain komponen-komponen lain yang dapat menentukan keberhasilan

dalam pembelajaran. Karena merupakan hal terpenting dalam menentukan

keberhasilan pada suatu sistem pendidikan maka guru sebagai pelaksana

pendidikan dituntut untuk membuat bahan pembelajaran yang berkualitas.

Page 96: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

112

Selama ini guru hanya menggunakan buku-buku teks yang banyak dijual oleh

para penerbit yang materinya belum tentu cocok dengan kondisi lingkungan dan

kebutuhan siswa, sehingga siswa kurang dapat memahami bahan pembelajaran

tersebut.

Bahan pembelajaran yang berkualitas adalah bahan pembelajaran yang

materinya dapat menjawab permasalahan siswa untuk mencapai suatu tujuan

pendidikan. Hal itu artinya dapat memberikan pengetahuan keterampilan dan

sikap yang harus dipelajari siswa untuk mencapai standar kompetensi yang telah

ditentukan.

Sudjana dan Ibrahim (2007 :95), berpendapat bahwa bahan pembelajaran

merupakan suatu pendekatan yang digunakan oleh seorang guru atau pendidik

dalam melaksanakan proses pembelajaran melalui tahapan-tahapan tertentu

sehingga siswa dapat mengikuti proses belajar mengajar. Secara garis besar,

bahan pembelajaran terdiri atas pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus

dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah di

tentukan. Bahan pembelajaran adalah bahan yang digunakan untuk belajar dan

mencapai tujuan intruksional, dimana siswa harus melakukan sesuatu terhadap

sesuatu menurut perilaku tertentu (KTSP, 2008:125).

Atas dasar pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa bahan

pembelajaran merupakan suatu unsur yang sangat penting yang harus mendapat

perhatian guru dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di dalam kelas,

sehingga tujuan pembelajaran yang diinginkan dapat tercapai. Dengan bahan

pembelajaran tersebut, para siswa dapat mempelajari hal-hal yang diperlukan

dalam usaha mencapai tujuan belajar. Oleh karena itu penentuan bahan

Page 97: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

113

pembelajaran haruslah berdasarkan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini

adalah hasil-hasil yang diharapkan, misalnya berupa pengetahuan, keterampilan,

dan sikap. Bahan-bahan pembelajaran yang terkait dengan tujuan tersebut telah

digariskan dalam silabus.

Dalam silabus telah dirumuskan secara rinci materi belajar yang

ditentukan untuk dipelajari siswa, berupa topik bahan inti serta uraian deskripsi

dan bahan-bahan. Kajian rincian yang lebih terurai terdapat di dalam buku

sumber. Bahan pembelajaran bersinonim dengan buku teks. Menurut Tarigan

(1993 : 11), buku teks adalah buku yang dirancang buat penggunaan di kelas,

yang disusun dan disiapkan oleh para ahli dalam bidang itu dan dilengkapi

dengan sarana-sarana pengajaran yang sesuai dan serasi.

Jadi dapat dikatakan bahwa bahan pembelajaran merupakan bagian dari

buku teks, buku paket, sebagai buku pegangan yang mengandung maksud dan

pengertian yang sama. Pengertian yang dimaksud adalah berisikan informasi

(keterangan) yang dipakai sebagai panduan dalam melaksanakan proses kegiatan

belajar mengajar. Bahan pembelajaran banyak jenisnya, antara lain bahan

pembelajaran cetak, noncetak, dan bahan pembelajaran display. Bahan

pembelajaran cetak adalah sejumlah bahan yang disiapkan dalam kertas, dapat

berfungsi untuk keperluan pembelajaran dan penyampaian informasi. Contoh

bahan pembelajaran cetak adalah buku teks, modul, dan lembar kerja siswa.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa bahan

pembelajaran adalah materi pembelajaran yang akan diberikan kepada siswa yang

memuat kompetensi dasar, indikator, teks atau materi pelajaran sebagai

implementasi pembelajaran. Terkait dengan penelitian ini maka novel

Page 98: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

114

Perempuan Berkalung Sorban akan dijadikan sebagai alternatif bahan

pembelajaran apresiasi sastra khususnya novel bergenre feminis. Novel tersebut

akan digunakan sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra di Madrasah Aliyah.

Bahan pembelajaran ini akan dirancang dalam Rancangan Program

Pembelajaran (RPP), didalamnya berisi materi pembelajaran yang disusun secara

sistematis dan kontekstual untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam

KTSP.

2. Kriteria Bahan Pembelajaran

Seorang guru, sebelum menetapkan bahan pembelajaran terlebih dahulu

harus memahami kriteria yang ada dalam pemilihan bahan pembelajaran. Bahan

pembelajaran itu berkaitan dengan kurikulum. Bahan pembelajaran yang baik

haruslah relevan dengan kurikulum (Mukidi, 2005:9). Dalam penyusunan bahan

pembelajaran juga perlu dimengerti oleh siswa dalam mempelajari sehingga

dapat tercapai secara optimal. Terdapat tiga kriteria yang perlu diperhatikan dan

dikembangkan oleh siswa dalam penyusunan bahan pembelajaran. Kiteria

tersebut adalah sebagai berikut.

a. relevan, materi pembelajaran memiliki keterkaitan dengan standar

kompetensi dan komptensi dasar;

b. konsisten, adanya keajegan antara bahan ajar dengan kompetensi dasar yang

harus di kuasai siswa; dan

c. cukup, materi yang diajarkan cukup memadai dalam membantu siswa

menguasai komptensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh lebih dan

tidak boleh kurang.

Page 99: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

115

Sejalan dengan pendapat di atas, Haryati (2007:71) menetapkan kriteria

penerapan bahan pembelajaran, yaitu (1) bagian-bagian yang paling sering

digunakan; (2) yang paling berguna; (3) yang paling mudah mengajarkannya; dan

(4) berupa gabungan ketiganya. Dalam pengembangan bahan pembelajaran,

bahan pembelajaran harus memiliki beberapa kriteria sebagai berikut. (1) bahan

pembelajaran harus relevan dengan tujuan pembelajaran; (2) bahan pembelajaran

harus sesuai dengan taraf perkembangan anak; (3) bahan yang baik ialah bahan

yang berguna bagi siswa baik sebagai perkembangan pengetahuannya dan

keperluan bagi tugas kelak di lapangan; (4) bahan itu harus menarik dan

merangsang aktivitas siswa; (5) bahan itu harus disusun secara sistematis,

bertahap, dan berjenjang; dan (6) bahan yang disampaikan kepada siswa harus

menyeluruh, lengkap, dan utuh.

3. Fungsi Bahan Pembelajaran

Fungsi bahan pembelajaran adalah sebagai motivasi dalam proses

kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dengan materi pembelajaran

yang kontekstual agar siswa dapat melaksanakan tugas belajar secara optimal.

Menurut Supriyadi (1997:1), ada tiga fungsi bahan pembelajaran yang terkait

dengan pembelajaran di sekolah. Ketiga fungsi yang dimaksud adalah sebagai

berikut.

a. Bahan pembelajaran merupakan pedoman bagi guru yang akan

mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus

merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan/dilatihkan

kepada siswanya.

Page 100: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

116

b. Bahan pembelajaran merupakan pedoman bagi siswa yang akan

mengarahkan aktifitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus

merupakan substansi yang seharusnya dipelajari/dikuasainya.

c. Bahan pembelajaran merupakan alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil

pembelajaran.

Selain hal yang telah disebutkan, bahan pembelajaran memiliki fungsi

lain yaitu: (1) membantu guru dalam kegiatan belajar mengajar; (2) membantu

siswa dalam proses belajar; (3) sebagai perlengkapan pembelajaran untuk

mencapai tujuan pelajaran; dan (4) untuk menciptakan lingkungan / suasana

balajar yang kondusif.

4. Manfaat Bahan Pembelajaran

Bahan pembelajaran merupakan sarana, alat atau instrumen yang baik dan

memberikan pengaruh besar terhadap keberhasilan tujuan pembelajaran. Manfaat

dari bahan pembelajaran itu adalah sebagai berikut.

a. memperoleh bahan pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kurikulum

dan sesuai dengan kebutuhan belajar siswa;

b. tidak bergantung pada buku teks yang terkadang sulit didapat;

c. memperkaya wawasan karena dikembangkan dengan digunakan berbagai

referensi;

d. menambah khasanah pengetahuan dan pengalaman guru dalam menyusun

bahan pembelajaran;

e. membangun komunikasi pembelajaran yang efektif antara guru dan siswa,

karena siswa akan merasa lebih percaya kepada gurunya maupun kepada

dirinya; dan

Page 101: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

117

f. dapat dikumpulkan menjadi buku dan dapat diterbitkan (Depdiknas,

2006:1).

5. Unsur-Unsur Bahan Pembelajaran

Unsur-unsur bahan pembelajaran ini sebenarnya diambil dari pedoman

sistematika penulisan buku ajar bahasa dan sastra Indonesia yang dikeluarkan

oleh pusat perbukuan. Bahan pembelajaran setidak-tidaknya harus memiliki

unsur-unsur berikut, yaitu: tujuan, sasaran, uraian materi, sistematika sajian,

petunjuk belajar, dan evaluasi. Komponen-komponen yang terdapat dalam

susunan bahan pembelajaran adalah sebagai berikut.

a. Komponen kebahasaan mencakup:

1) keterbacaan;

2) kejelasan informasi;

3) kesesuaian dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar; dan

4) pemanfaatan bahasa secara efektif dan efisien.

b. Komponen penyajian mencakup:

1) kejelasan tujuan (indikator) yang ingin dicapai;

2) urutan sajian;

3) pemberian motivasi, daya tarik; dan

4) interaksi (pemberian stimulus dan respons).

c. Komponen kegrafikan mencakup:

1) penggunaan font, jenis, dan ukuran;

2) lay out atau tata letak;

3) ilustrasi, gambar, foto; dan

4) desain tampilan (KTSP, 2008:15)

Page 102: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

118

Berdasarkan uraian tersebut, sebuah bahan pembelajaran yang dibuat

haruslah metodologis dan sistematis. Artinya, bahan pembelajaran itu harus bisa

dibaca dan dipahami siswa dan tersusun secara bertahap serta berjenjang. Hal

tersebut dimaksudkan agar ketercapaian kompetensi dasar yang telah ditetapkan

dapat dikuasai dengan maksimal. Oleh karena itu, tujuan bahan pembelajaran

harus dirumuskan secara jelas dan terukur yang mencakup siswa, guru, dan

sasarannya.

6. Kualitas Bahan Pembelajaran

Bahan pembelajaran yang diberikan kepada siswa haruslah bahan

pembelajaran yang berkualitas. Bahan pembelajaran yang berkualitas dapat

menghasilkan siswa yang berkualitas, karena siswa diberikan bahan pembelajaran

yang berkualitas. Adapun kriteria bahan pembelajaran yang berkualitas antara

lain: (1) menimbulkan minat baca; (2) ditulis dan dirancang untuk siswa; (3)

menjelaskan tujuan instruksional; (4) disusun berdasarkan pola belajar yang

fleksibel; (5) struktur berdasarkan kebutuhan siswa; (6) memberi kesempatan

pada siswa untuk berlatih; (7) mengakomodasi kesulitan siswa; (8) memberikan

rangkuman; (9) gaya penulisan komutatif dan semi formal; (10) kepadatan

berdasarkan kebutuhan siswa; (11) dikemas untuk proses instruksional; (12)

mempunyai mekanisme untuk mengumpulkan umpan balik dari siswa; dan (13)

menjelaskan cara mempelajari bahan pembelajaran.

Dengan berpedoman kepada butir-butir di atas, diharapkan kualitas

penyusunan bahan pembelajaran bisa dipertanggungjawabkan. Bahan

pembelajaran yang dihasilkan harus benar-benar berguna bagi siswa sehingga

Page 103: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

119

kemampuan berbahasa dan bersastra khususnya memahami novel dapat

ditingkatkan.

7. Cakupan Bahan Pembelajaran

Dalam sosialisasi KTSP Depdiknas bahan pembelajaran mencakup:

judul, MP, SK, KD, indikator, tempat;

a. petunjuk belajar (petunjuk siswa / guru);

b. tujuan yang akan dicapai;

c. informasi pendukung;

d. latihan-latihan;

e. petunjuk kerja;

f. penilaian

8. Bahan Pembelajaran Apresiasi Sastra dalam KTSP di Madrasah Aliyah

Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sangat

diperlukan dan yang searah dengan jiwa perubahan yang mendasar dalam

pengelolaan pendidikan (Depdiknas,2006:1). Dalam hal ini, daerah/sekolah dapat

secara aktif menjabarkan standar kompetensi sesuai dengan keadaan dan

kebutuhan setempat. Standar kompetensi pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

berorientasi pada hakikat pembelajaran bahasa, yaitu belajar sastra adalah belajar

menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya. Selain itu, siswa diharapkan

dapat menyaring hal-hal yang berguna, belajar menjadi diri sendiri, dan

menyadari akan eksistensi budayanya sehingga tidak tercerabut dari

lingkungannya (Depdiknas,2006:2).

Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia berisi seperangkat kompetensi

yang harus dimiliki dan dicapai oleh siswa pada setiap tingkatan. Kerangka ini

Page 104: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

120

terdiri atas empat komponen utama. Komponen tersebut adalah (1) standar

kompetensi, (2) kompetensi dasar, (3) indikator, dan (4) materi pokok

(Depdiknas, 2006:5).

Dalam panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)

terdapat kompetensi dasar yang mengamanatkan siswa untuk terampil dalam

memahami novel. Pembelajaran apresiasi sastra, khususnya apresiasi novel

terdapat dalam kompetensi dasar di kelas XI (sebelas) semester ganjil pada

standar kompetensi 7 (memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel

terjemahan) kompetensi dasar 7.2 (menganalisis unsur-unsur ekstrinsik dan

intrinsik novel Indonesia/terjemahan). Di kelas XI (sebelas) semester genap pada

standar kompetensi 15 (memahami buku biografi, novel, dan hikayat) kompetensi

dasar 15.1 (mengungkapkan hal-hal yang menarik dan dapat diteladani dari tokoh

. Di kelas XII (dua belas) semester ganjil standar kompetensi 5 (memahami

pembacaan novel) kompetensi 5.1 (menanggapi pembacaan penggalan novel dari

segi vokal, intonasi, dan penghayatan) dan kompetensi 5.2 (menjelaskan unsur-

unsur intrinsik dari penggalan novel yang dibacakan.

Standar kompetensi merupakan intisari atau rangkuman dari sejumlah

kompetensi dasar yang terdapat pada setiap keterampilan di kelas. Kompetensi

yang ingin dicapai dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia terdiri atas empat

kompetensi, yaitu (1) keterampilan mendengarkan, (2) keterampilan berbicara,

(3) keterampilan membaca, dan (4) keterampilan menulis. Adapun kmpetensi

dasar merupakan uraian yang memadai atas kemampuan yang harus dikuasai

siswa dalam berkomunikasi lisan (mendengarkan dan berbicara) dan tulisan

(membaca dan menulis) sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia serta

Page 105: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

121

mengapresiasi karya sastra. Kompetensi ini harus dimiliki dan dikembangkan

secara maju dan berkelanjutan seiring perkembangan siswa untuk mahir

berkomunikasi dan memecahkan masalah. Kompetensi dasar ini dicapai melalui

proses pemahiran yang dilatih dan dialami. Indikator merupakan uraian spesifik

dari kompetensi yang harus dikuasai siswa pada jenjang tertentu yang dapat

dijadikan ukuran untuk menilai ketercapaian hasil pembelajaran. Materi pokok

merupakan bahan yang yang ditujukan untuk mencapai kompetensi komunikatif

yang dapat berupa teks atau nonteks (misal: bagan atau tabel). Isi suatu kegiatan

tersebut dipakai sebagai titik tolak untuk mengembangkan kompetensi dasar

menjadi bahan pembelajaran dan indikator menjadi bahan ujian.

Ketercapaian berbagai standar kompetensi pembelajaran tersebut tidak

terlepas dari proses pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh

guru. Agar pelaksanaan kegiatan pembelajaran mencapai keberhasilan maksimal,

ada beberapa langkah pelaksanaan atau kegiatan belajar mengajar sastra seperti

yang dikemukakan oleh Rusyana (dalam Azis, 2009:81-82) berikut.

a. Mempelajari materi yang akan dibawakan (baik novel, cerpen, atau puisi);

Guru hendaknya terlebih dahulu mempelajari materi (misalnya novel)

yang akan dibawakan kepada siswa-siswanya. Dengan cara ini guru akan

dapat menentukan aspek manakah dari novel tersebut yang memerlukan

perhatian khusus.

b. Menentukan kegiatan yang akan dilakukan; Guru menentukan kegiatan

yang akan dilakukan di kelas, seperti guru membaca kutipan novel dan

siswa menyimak’ siswa membaca nyaring sendiri atau dalam panduan

membaca novel, siswa bertukar pengalaman tentang novel yang mereka

Page 106: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

122

baca; siswa dan guru berdiskusi, siswa mengarang cerita, siswa menyusun

ilustrasi, dan sebagainya.

c. Memberikan pengantar pengajaran; Sebelum masuk ke dalam kegiatan

pengajaran novel, guru hendaknya memberikan pengantar yang

maksudnya untuk menarik perhatian siswa kepada pokok yang akan

dipelajari.

d. Menyajikan bahan pengajaran; Dalam pembelajaran novel, guru

hendaknya menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan.

Pengajaran novel harus menjadi sumber inspirasi dan kenikmatan bagi

siswa. Oleh karena itu penyajiannya pun harus menyenangkan.

e. Mendiskusikan materi yang telah dibaca; Diskusi dilakukan untuk

memecahkan masalah. Masalah yang layak didiskusikan adalah masalah

yang menarik minat siswa sesuai dengan taraf umurnya. Masalah tersebut

hendaknya mempunyai kemungkinan jawaban lebih dari satu. Dalam

diskusi tidak dicari mana jawaban yang benar, melainkan dilakukan

perbandingan dan pertimbangan. Diskusi tersebut juga memberi

kesempatan kepada guru untuk bertanya tentang unsur intrinsik dan unsur

ekstrinsik novel. Apabila siswa telah memahami gagasan umum dari

novel itu, dapat dilanjutkan untuk membahas hal yang lebih terperinci dan

spesifik yang masih berhubungan dengan isi keseluruhan novel tersebut.

f. Memperdalam pengalaman; Guru berusaha agar siswa memperdalam

pengalaman mereka tentang novel, melalui kegiatan pembacaan novel dan

kegiatan lain. Siswa hendaknya didorong untuk melakukan kegiatan lain

yang berhubungan dengan novel.

Page 107: Feminisme Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban

123