PERCERAIAN DALAM PUTUSAN VERSTEK MENURUT...
Transcript of PERCERAIAN DALAM PUTUSAN VERSTEK MENURUT...
1
PERCERAIAN DALAM PUTUSAN VERSTEK
MENURUT HUKUM ISLAM
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
JAKARTA SELATAN NOMOR: 0965/PDT.G/2009/PAJS
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari‟ah dan Hukum untuk Memenuhi
Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan
Studi Strata Satu (S1)
Oleh:
IIN INAYAH
NIM: 106043201336
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2010 M
2
PERCERAIAN DALAM PUTUSAN VERSTEK
MENURUT HUKUM ISLAM
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
JAKARTA SELATAN NOMOR: 0965/PDT.G/2009/PAJS
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
IIN INAYAH
106043201236
Di bawah Bimbingan:
Pembimbing
Dr. H. Muhammad Taufiki. MAg
NIP: 196511191998031002
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2010 M
3
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PERCERAIAN DALAM PUTUSAN VERSTEK
MENURUT HUKUM ISLAM ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
JAKARTA SELATAN NOMOR: 0965/PDT.G/2009/PAJS telah diujikan dalam
Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 22 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum.
Jakarta, 22 Desember 2010
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Dr.H. Muhammad Taufiki, M.Ag (……………….)
NIP. 196511191998031002
2. Sekretaris : Fahmi M. Ahmadi, S.Ag.,M.Si (……………….)
NIP. 197421132003121002
3. Pembimbing : Dr.H. Muhammad Taufiki, M.Ag (……………….)
NIP. 196511191998031002
4. Penguji I : Dr. Euis Nurlaelawati, MA. (……………….)
NIP. 197007041996032002
5. Penguji II : Dra. Maskufa. MA,g (……………….)
NIP. 196807031994032002
i
بسم اهلل الرمحن الرحيم
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, akhirnya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya
penulis telah diberikan kesehatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Tak pula Shalawat
serta salam, semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan
kehadirannya telah memberikan pencerahan, ketenangan, dan kenyamanan hidup
manusia, juga kepada keluarga, karib kerabat, sahabat, dan orang-orang yang
mengikuti dan mentaati hingga akhir zaman.
Setelah melewati waktu yang cukup panjang, melelahkan, dan penuh
perjuangan, akhirnya dengan penuh kesabaran dan keyakinan penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini, semua ini tentunya tidak dapat menjadi kenyataan tanpa
bantuan dan partisipasi semua pihak. untuk itu penulis menyampaikan ucapan
trimakasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum (PMH) dan Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag.,M.Si,
selaku sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH)
ii
3. yang telah member arahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag sebagai dosen pembimbing skripsi yang
telah banyak memberikan bantuan baik dalam segi arahan, waktu, tenaga dan
pikirannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah memberikan informasi dan data-
data.
6. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Pimpinan Perpustakaan Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku-
buku ataupun yang lainnya, sehingga memperoleh informasi yang dibutuhkan.
7. Seluruh dosen yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada
penulis selama menjalani masa pendidikan di Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum (PMH) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
8. Ayahanda Muhamad Amir, Ibunda Malikha, Adinda Aenul yaqin, Dede Adi
Gufron, dan Afaf Sajidatuffah, beserta keluarga besar Alm. Rasta dan
keluarga besar Alm. Karsan yang telah membesarkan penulis serta
memberikan dukungan dan motivasi baik dari segi moril maupun materil,
sehingga penulis dapat menjadi seperti sekarang ini.
9. Bapak Sadja Bin Abdul Ghani, Ibunda Sarah dan Romadona, Rohimah S.E,
Sri Wahyuni, Mulyati, Ilyas, dan Irwan terima kasih atas dukungan serta
iii
10. perhatiannya yang telah dicurahkan kepada penulis. Semoga segala cita-cita
yang kita dambakan dapat terwujud serta mendapat ridha dari Allah SWT.
11. Teman-teman seperjuangan, Siti Nurhayati, M. Ilham Fauzi,SHI, Diana,SHI,
Husnul, Khodijah, Khoirunnisaa, Zakiyah, Merly, Alya, Lidia, Afrizal,
Solahudin, Firdaus, Harif, Sidik, Adew, Dakilah, Afifah, Vini Kriptianti,
Fauzi Ramdhan, Layli, Q-cung, Fajrul, Rosyadi, Rahmat, Kahfi, dan teman-
teman Perbandingan Mazhab dan Hukum khususnya Perbandingan Hukum
2006, yyang tidak penulis sebutkan namanya dalam mengarungi bahtera
kemahasiswaan yang penuh dengan perjuangan (Thanks for all you are the
best).
Semoga segala partipasi, dukungan dan motifasu serta do‟a kepada penulis
mendapatkan pahala disisi-Nya. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat berguna
bagi wacana keilmuan dan keislaman. Akhirnya kepada-Nyalah segala urusan akan
kembali dan kepada-Nya kita memohon hidayah dan taufik serta ampunan-Nya.
Jakarta, 16 Desember 2010
10 Muharram 1432
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ......................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 7
D. Review Studi ............................................................................... 8
E. Metode Penelitian........................................................................ 9
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 12
BAB II ALASAN YANG MENGAKIBATKAN PUTUSNYA
PERNIKAHAN
A. Pengertian Putusnya Perkawinan ................................................ 14
B. Alasan Putusnya Perkawinan ...................................................... 16
C. Akibat Putusnya Perkawinan ...................................................... 19
BAB III SUAMI GHOIB (MAFQUD) MENURUT HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Umum Tentang Suami Mafqud................................. 35
B. Lama Waktu Kepergian Suami ................................................... 47
v
BAB IV ANALISA PUTUSAN
A. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Mengenai
Perceraian .................................................................. ................. 55
B. Analisa Putusan ....................................................... ................... 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 63
B. Saran ............................................................................................ 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam menganjurkan pernikahan atau perkawinan, pernikahan juga
disyariatkan oleh Allah seumur dengan perjalanan sejarah manusia, sejak zaman
Nabi Adam dan Siti Hawa, pernikahan sudah disyariatkan. Pernikahan Nabi
Adam dan Siti Hawa di surga adalah ajaran pernikahan pertama dalam Islam.1
Perkawinan merupakan suatu media untuk membangun keluarga bagi
kesinambungan kehidupan manusia, Islam menjadikan perkawinan bukan
sekedar wadah bertemunya dua insan berlainan jenis dan bukan sebagai sarana
pemuas nafsu saja. Akan tetapi lebih dari itu untuk menjadikan perkawinan
sebagai suatu lembaga yang suci. Penyataan ini dibuktikan dari tata cara
pelaksanaan perkawinan, tata cara hubungan suami istri dan juga tata cara
penyelesaian perkawinan.2
Bagaimana pun juga suatu perkawinan yang sukses tidak dapat diharapkan
dari mereka yang masih kurang matang, baik fisik maupun mental emosional,
melainkan menuntut kedewasaan, dan tanggung jawab serta kematangan fisik dan
1 Bagian Tahimiyah Pondok Pesantren Sidogiri. “Fikih Kita di Masyarakat Antara Teori dan
Praktek” (Sidogiri: Pustaka Sidogiri, th 1981) h. 83.
2 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), h.157.
2
mental. Dengan demikian, perkawinan dilakukan dengan persiapan yang matang
supaya berlangsung langgeng.
Sebagai suatu aspek agama, perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah
untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia dimana kedua
suami istri memikul amanah dan tanggung jawab,3 dan sesuatu yang dianggap
luhur untuk dilakukan, oleh karena itu kalau seseorang hendak melangsungkan
pernikahan dengan tujuan yang sifatnya sementara saja seolah-olah sebagai
tindakan permainan, agama Islam tidak memperkenankannya. Perkawinan
hendaknya dinilai sebagai suatu yang suci yang hanya hendak dilakukan oleh
orang-orang dengan tujuan luhur dan suci, hanya dengan demikian tujuan
pernikahan dapat tercapai.4
Namun, suatu pernikahan yang sudah dipertahankan tidak akan terwujud
sesuai dengan tujuan pernikahan yang terdapat pada pasal 1 Undang-undang No.
1 Tahunn 1974 apabila kedua belah pihak memutuskan untuk melakukan
perceraian. Perceraian merupakan satu kata yang tidak dapat dipisahkan dari kata
perkawinan karena merupakan kelanjutan yang selalu berhubungan satu sama
lainnya. Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya pasangan
suami istri penuh kasih sayang seolah-olah tidak menjadi pudar, tetapi pada
kenyataannya kasih sayang itu bila tidak dirawat dengan baik bisa menjadi pudar
3 Djoko Prakoso, I Ketut Murtika. “Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia” (Jakarta,
Bina Aksara Jakarta, 1987) h. 2.
4 Lili Rasyidi, “Hukum perkawinan dan perceraian di Malaysia dan Indonesia” (Bandung:
Alumni, 1982) h.10.
3
bahkan menjadi kebencian. Kalau kebencian sudah datang dan suami istri tidak
dengan sungguh-sungguh mencari jalan keluar dan memuliakan kembali rasa
kasih sayang tersebut, dampak negatif terhadap anak keturunannya akan terjadi.5
Talak atau perceraian adalah perbuatan halal tetapi dibenci oleh Allah
SWT. Oleh karena itu, perceraian merupakan alternativ terakhir sebagai pintu
darurat yang boleh ditempuh manakala bahtera rumah tangga tidak dapat
dipertaruhkan keutuhan dan kesinambungannya.6 Disebabkan ketidaksepakatan
antara suami istri, dengan keadilan Allah SWT dibukakan suatu jalan keluar dari
segala kesukaran itu, yakni pintu perceraian.
Dalam konteks keindonesiaan perceraian sendiri diatur oleh undang-
undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No 9 Tahun 1975
sebagaimana tercantum dalam pasal 19 dan dalam KHI pasal 116 serta dalam
Undang-undang No. 7 Tahun 1989, bagi pasangan suami istri yang hendak
bercerai terlebih dahulu mengajukan permohonan izin thalak dari pengadilan
Agama, sedangkan istri yang ingin bercerai juga harus terlebih dahulu
mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.
Perceraian yang terjadi dalam hubungan perkawinan selalu menimbulkan
perkara yang tidak mudah dikemudian hari. Hal ini karena kedua belah pihak baik
suami atau istri akan dihadapkan pada masalah baru yang lebih menantang. Imbas
5 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, cet. Pertama,
(Jakarta: PT. Prenada Persada, 2000), h. 98.
6 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet IV, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.
269.
4
dari perceraian selain kepada yang melakukannya, juga akan berdampak pada
saudara pihak keduanya, baik hak ataupun kewajiban yang diakibatkan mulai dari
masalah pembagian harta atau yang lebih dikenal dengan harta gono gini yang
merupakan harta bawaan masing-masing dari suami istri, ataupun yang diperoleh
dari keduaanya atau salah satunya (pasal 87 ayat 1, Impres RI No. 1/1991 tentang
KHI) hingga keturunan dan akibat-akibat hukumnya, seperti hak pemeliharaan
anak yang belum mencapai usia 12 (dua belas) yang mencakup biaya pendidikan
pengasuhan dan perwaliannya (pasal 105, 106 dan 107, Impres RI No. 1/1991
tentang KHI).
Perceraian masih diminati karena merupakan jalan yang legal formal
dalam mengatasi konflik perkawinan, perceraian diatur dalam hukum positif dan
agama Islam baik yang diakibatkan oleh perilaku suami istri serta proses beracara
yang mendukungnya mengharuskan jalan penyelesaian perceraian dengan tuntas,
dan diselesaikan tanpa menimbulkan akibat hukum yang panjang dikemudian
hari. Perceraian dapat terjadi diakibatkan oleh kemauan suami yang sering dikenal
dengan cara menjatuhkan cerai talak atau atas pengajuan istri yang biasa juga
disebut gugat cerai dengan berbagai sebab yang menyertainya.
Salah satu cerai gugat yang diajukan oleh seorang istri yaitu masalah
suami ghoib (mafqud). Permasalahan suami hilang atau mafqud terdapat dalam
Kompilasi Hukum Islam pada pasal 116 point b yang menyatakan;
5
“salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannnya”.7
Seorang suami hilang (mafqud) tentunya akan menimbulkan banyak
akibat bagi sang istri karena kepergiannya, mulai dari tekanan psikologis yang
dialami sang istri apalagi jika sang istri masih tergolong muda, maka
dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah yang berada disekelilingnya, sampai
terhentinya pemberian nafkah baik lahir ataupun batin, terlebih jika sang istri
menggantungkan kehidupannya kepada sang suami.
Pada situasi seperti ini sang istri tentunya akan mengalami kebingungan
yang luar biasa. Disatu sisi, ia tidak mungkin terus membiarkan dirinya hidup
sendiri, artinya ia membutuhkan sosok pelindung dalam keluarga dan memikirkan
nasibnya serta nasib anaknya dimasa depan sehingga harus menikah lagi dengan
laki-laki lain. Dikhawatirkan ternyata pada suatu saat sang istri kembali kepada
keluarganya.
Dari latar belakang inilah penulis tertarik untuk melakukan kajian dan
penelitian lebih lanjut tentang: “Perceraian Dalam Putusan Verstek Menurut
Hukum Islam (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor:
0965/Pdt.G/2009/PAJS)”
7 Tim Redaksi Fokusmedia, “Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Kompilasi
Hukum Islam”, (Bandung: Fokus Media, 2007), Cet II, h. 38-39.
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Menyadari karena luasnya permasalahan pada hukum perkawinan,
maka untuk fokus dalam pembahasannnya, penulis akan membatasi persoalan
yang mengganggu dalam kehidupan rumah tangga, dengan pembatasan
masalah pada status hukum istri akibat suami ghoib (mafqud).
2. Perumusan Masalah
Untuk mengurai skripsi ini, penulis mencoba merumuskan
permasalahan sebagai berikut: suatu keluarga supaya tidak mudah terjadi
perceraian, suami dan istri dituntut untuk melaksanakan hak dan kewajiban.
Dalam keadaan tertentu diperbolehkan bercerai, seperti karena salah satu
pihak meninggalkan selama 2 tahun berturut-turut (penjelasan pasal 39 ayat 2
Undang-undang No. 1 Tahun 1974) dan buku akta nikah suami meninggalkan
6 bulan berturut-turut, demikian pula dalam fikih Islam. Dari uraian diatas,
maka perlu diberikan perumusan masalah yang harus dijawab dan diteliti,
antara lain meliputi:
a. Bagaimana Hakim di Pengadilan Agama Jakarta selatan menyelesaikan
perkara perceraian karena alasan suami ghoib (mafqud)?
b. Apakah suami ghoib (mafqud) dapat menjadi salah satu alasan terjadinya
perceraian di pengadilan agama?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh
penulis, yaitu:
1. Untuk mengetahui upaya Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam
menyelesaikan perkara perceraian karena alasan suami ghoib (mafqud).
2. Untuk mengetahui apakah suami ghoib (mafqud) dapat menjadi salah satu
alasan yang dapat mempengaruhi terjadinya perceraian di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
Adapun manfaat dari penelitian skripsi ini adalah:
Dapat diketahui bahwa nilai suatu penelitian tergantung pada
metodologinya, juga tentunya dalam hal ini ditentukan pula besarnya manfaat
penelitian tersebut. Untuk itu dalam penulisan skripsi ini penulis mengharapkan
adanya manfaat atau kegunaan yang dapat diperoleh antara lain:
1. Untuk menambah penelaahan ilmiah yang dapat dipergunakan dan
dimanfaatkan didalam bidang hukum terutama hukum perceraian yang
diakibatkan oleh suami ghoib (maafqud) dan juga diharapkan bahwa hasil
penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan terutama ilmu pengetahuan tentang perceraian yang diakibatkan
oleh suami ghoib (mafqud).
2. Secara akademis adalah untuk memperkaya khazanah keilmuan dilingkungan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama pada fakultas
syari‟ah dan hukum, khususnya untuk menambah referensi bagi kajian hukum
8
perdata terutama dalam masalah perceraian yang diakibatkan oleh suami
ghoib (mafqud), dimana penulis sangat berharap agar penelitian ini dapat
memberikan gambaran secara jelas dan mendetail mengenai perceraian yang
diakibatkan oleh suami ghoib (mafqud).
D. Review Studi
Begitu banyaknya skripsi yang mengangkat permasalahan tentang cerai
gugat maka penulis ingin melakukan review pustaka atau tinjauan kepustakaan
untuk membandingkan skripsi yang penulis buat dengan skripsi yang telah ada.
Dalam hal ini saya ingin meninjau skripsi yang ditulis oleh saudara :
1. Jamil Fatoni, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Jurusan Peradilan Agama, judul
“Perkara Gugat Cerai Dengan Dengan Alasan Suami Mafqud (analisa
beberapa putusan pengadilan agama Jakarta pusat dari prespektf fikih)”.
Skripsi tersebut menjelaskan tentang nafkah yang harus diberikan oleh
seorang suami kepada istri.
2. Rio Arif Wicaksono, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Jurusan Pidana Islam,
judul “Status Perkawinan Istri Akibat Suami Hilang”. Skripsi ini menjelaskan
status perkawinan suami istri yang salah satunya meninggalkan pasangannya,
juga jangka waktu bagi suami istri boleh meninggalkan pasangannya.
3. Usi Sanusi, fakultas Syari‟ah dan Hukum, judul “Putusnya Perkawinan Akibat
Perceraian Dan Dampaknya Terhadap Pemeliharaaan Anak Dalam Perspektif
Hukum Islam Dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974”
9
Adapun alasan memilih skripsi tersebut diatas sebagai review pustaka
dikarenakan adanya beberapa kemiripan tersebut hanya sebatas akibat hukum
yang ditimbulkan serta menyelesaikan perkara ini. Karena dalam contoh perkara
yang kami ambil ini Hakim sama-sama menjatuhkan putusan vestek yang mana
putusan itu jatuh dikarenakan salah satu pihak tidak hadir setelah dilakukan
pemanggilan resmi dan juga pemeliharaan anak setelah perceraian dan tanggung
jawab atas pembiayaan atas anak setelah perceraian.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian
skripsi ini, karena metode penelitian dapat menentukan langkah-langkah dari
suatu penulisan. Adapun metode penelitian yang dipakai sebagai dasar penulisan
ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian hukum ada dua jenis penelitian, yaitu penelitian normatif
dan penelitian empiris/sosiologis atau penelitian lapangan. Penelitian normatif adalah
penelitian hukum kepustakaan, dimana dalam penelitian hukum normatif bahan
pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data
sekunder. Data sekunder tersebut memiliki ruang lingkup yang sangat luas sehingga
meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.8
8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan singkat),
cet.IV, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1995), h.23.
10
Oleh karena itu penulis akan menggunakan jenis penelitian normatif karena
dalam hal ini penulis akan meneliti tentang otopsi dan pelaksanaannya melalui
penelitian hukum kepustakaan. Penelitian ini saya lakukan melalui pendekatan
yuridis normatif, yang mempunyai pengertian bahwa penelitian ini didasarkan pada
peraturan hukum yang berlaku dan berkaitan erat dengan hukum pidana.
2. Sumber Data
Data-data yang dikumpulkan dalam penulisan skripsi ini adalah data
kualitatif bukan data kuantitatif. Data kualitatif yaitu penelitian yang data
umumnya dalam bentuk narasi atau ganbar-gambar. Sedangkan data
kuantitatif adalah data yang dapat diukur sehingga data dapat menggunakan
statistic dalam pengujiannya.9
Dalam pengumpulan data kualitatif, ada data yang berupa bahan
hukum yang terdiri dari:
a. Data hukum primer adalah data-data yang penulis peroleh berdasarkan
kepada aturan hukum yang mengikat, adapun bahan hukum primer yang
penulis gunakan yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor:
09655/PDT.G/2009/PAJS.
b. Data hukum sekunder, yaitu data pendukung yang menjelaskan tentang
bahan hukum primer, seperti literature-literatur dan dokumen-dokumen,
antara lain: perundang-undang yaitu undang-undang perkawinan No. 1
Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang
9 Ronny Kountur, Metode Penelitian (Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis), cet.II, (Jakarta:
PPM, 2004), h.16.
11
No. 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), buku-buku fiqh
dan umum yaitu pendapat-pendapat para ahli hukum yang disusun dalam
bentuk buku, internet dan bahan informasi lainnya yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti juga hasil-hasil penelitian hasil karya dari
kalangan hukum dan buku-buku.
c. Data hukum tersier, adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum tersier yang digunakan adalah: Kamus Bahasa
Indonesia, Kamus Hukum, Kamus Ilmiah Populer.
3. Teknik Pengumpulan Data
Didalam penelitian, pada umumnya dikenal tiga jenis alat
pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau
observasi dan wawancara atau interview.10
Dalam hal ini, penelitian yang
digunakan oleh penulis adalah menggunakan teknik studi dokumen atau
bahan pustaka yaitu suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data
tertulis yang bias ditemukan dalam bahan pustaka yang terdiri dari buku-buku
atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pembahasan ini.
4. Penyajian dan Teknik Analisis Data
Data hasil penelitian dalam skripsi ini disajikan dalam bentuk
deskriptif, yaitu penulis menggambarkan hasil penelitian yakni tentang
percerian yang diakibatkan oleh suami ghoib (mafqud) dengan sejelas-
10
Soekanto, pengantar penelitian hukum, h. 21.
12
jelasnya. Adapun tujuan dari penyajian seperti ini tidak lain adalah agar
pembaca dapat memahami dengan jelas tentang perceraian yang diakibatkan
oelh suami ghoib (mafqud) berdasarkan kepada analisis Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
Sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Content Analysis, yaitu melakukan analisis isi dokumen secara
terperinci dengan mengambil inti dari dokumen yang menjadi sumber data
baik dari buku-buku atau dokumen yang berisi tentang hukum positif atau
hukum Islam yang sesuai dengan kajian skripsi ini.11
5. Teknik Penulisan
Teknik Penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam
bentuk bab dan sub-sub yang secara logis saling berhubungan dan merupakan
satu kebulatan dari masalah yang diteliti. Adapun dalam penulisan skripsi ini,
penulis membagi menjadi 5 (lima) bab, yaitu sebagai berikut:
Bab I Membahas tentang pendahuluan, di dalam bab ini membahas tentang
latar belakang masalah yang menggambarkan yang secara umum inti
permasalahan disamping untuk memudahkan mebaca dalam
11
Ibid, h. 22.
13
memahami isi keseluruhan skripsi. Dalam bab ini diuraikan mengenai
permasalahan atau latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan tekhnik
penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II Membahas tentang perkawinan dalam Islam. Dalam bab ini membahas
dan menjelaskan pengertian dan definisi tentang perkawinan, syarat
dan rukun perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan serta hak dan
kewajiban suami-istri serta alasan putusnya perkawinan dan akibat
putusnya perkawinan.
Bab III Membahas tinjauan umum tentang suami ghoib (mafqud), bab ini
berisi pengertian umum, dan lama waktu kepergian suami.
Bab IV Dalam bab ini menganalisa putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Nomor 0965/PDT.G/2009/PAJS mengenai perceraian dalam putusan
verstek dan analisis putusan verstek Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.
Bab V Penutup, yaitu berisikan tentang kesimpulan, saran-saran dan lampiran
putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Adapun isi dari
kesimpulan adalah tentang jawaban dari rumusan masalah. Dan bagian
kedua adalah saran.
14
BAB II
ALASAN YANG MENGAKIBATKAN PUTUSNYA PERKAWINAN
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selama-lamanya dalam
kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan warahmah dan sampai matinya salah
seorang suami dan istri sehingga tujuan perkawinan yang dianjurkan oleh undang-
undang perkawinan dapat terwujud. Inilah sebenarnya yang dikehendaki oleh agama
Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya
perkawinan itu, artinya apabila hubungan perkawinan tidak dapat dilanjutkan maka
kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan
sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga, dengan begitu
putusnya perkawinan adalah suatu jalan yang baik.1
A. Pengertian Putusnya Perkawinan
Putusnya Perkawinan adalah Istilah hukum yang digunakan dalam
Undang-Undang Perkawinan untuk menjelaskan “Perceraian” atau berakhirnya
hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini
hidup sebagai suami istri.
Perceraian adalah suatu kata yang berasal dari kata cerai. Dalam kamus
Bahasa Indonesia kata cerai diartikan dengan pisah dalam berlaki bini, putus
1 Amir syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan” (Jakarta: Prenada Media, 2006) h. 188.
15
pertalian, perpecahan dan perpisahan.2 Perceraian dalam bahasa arab disebut
dengan istilah Talak. Talak dalam istilah agama adalah menguraikan atau
melepaskan ikatan nikah, sedangkan Talak di dalam Ensiklopedia Istilah Islam
adalah perceraian yang dijatuhkan oleh suami jika keadaan telah demikian
memaksanya sehingga jalan damai telah tertutup atau buntu hingga sulit bagi
kedua suami istri untuk tetap bersatu dalam satu rumah tangga.3
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun dalam
Putusan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan tidak terdapat pasal yang menjelaskan pengertian
perceraian secara khusus, hanya saja dalam pasal 38 Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa perceraian merupakan salah satu
sebab putusnya perkawinan. Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 117
menyebutkan, Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
Untuk maksud putusnya perkawinan, dalam fiqh menggunakan istilah
“furqoh” Penggunaan istilah putusnya perkawinan ini dilakukan secara hati-hati,
Karena untuk pengertian perkawinan yang putus itu dalam istilah fiqh digunakan
kata” ba-in “, yaitu suatu bentuk perceraian yang suami tidak boleh kembali lagi
kepada mantan istrinya kecuali dengan melalui akad nikah yang baru. Ba‟in itu
2 Tim Pustaka Phonix, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: PT. Media Pustaka,
2009), cet IV, h. 158.
3 Gamal Komandoko, Ensiklopedi Istilah Islam, (Yogyakarta: Cakrwala, 2005), Cet. I, h. 343.
16
merupakan satu bagian atau bentuk dari perceraian, sebagai lawan pengertian dari
perceraian dalam bentuk roj‟i, yaitu perceraiannya suami dengan istrinya namun
belum dalam bentuknya yang tuntas, karena dia masih mungkin kembali kepada
mantan istrinya itu tanpa akad nikah baru selama istrinya masih berada dalam
„iddah atau masa tunggu. Setelah habis masa tunggu itu ternyata dia tidak
kembali kepada mantan istrinya, baru perkawinannya dikatakan putus dalam arti
sebenarnya atau yang disebut ba‟in.4
Biasanya istilah yang digunakan memang adalah “perceraian”, namun
sulit juga menggunakan istilah tersebut sebagai pengganti “putusnya
perkawinan”, karena perceraian itu adalah salah satu bentuk dari putusnya
perkawinan. Untuk tidak terjebak dalam istilah tersebut, kita dapat menggunakan
“putusnya perkawinan” namun dalam arti yang tidak sama dengan istilah ba‟in
yang digunakan dalam fiqh, atau ia dipandang sebagai sinonim dari istilah furqah
yang terdapat dalam kitab fiqh.
B. Alasan Putusnya Perkawinan
Apabila perceraian merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh oleh
suami istri yang sudah tidak kuat lagi untuk melanjutkan ikatan perkawinan
bersama-sama lagi. Salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama untuk diproses, karena perceraian yang diakui
4 Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan”, h. 189.
17
Negara dan mempunyai kekuatan hukum adalah didepan persidangan. Pengadilan
tidak langsung mengabulkan atau menolak gugatan yang diajukan. Akan tetapi,
mempelajari alasan-alasan yang diajukan di Pengadilan Agama terlebih dahulu,
sebagaimana Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39 ayat
(2) menyatakan: untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri.5 Alasan-
alasan itu juga dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam bab XVI putusnya
perkawinan, yaitu pada pasal 116.
Di dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 19 dinyatakan
hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena
alasan-alasan6:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua (2) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
3. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
4. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
5. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
5 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-undang Hukum Perdata: dengan
Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan”, (Jakarta: PT Pradnya
Paramita, 2001), Cet 31, h. 549.
6 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan “Hukum Perdata Islam di Indonesia-Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU no. 1/1974 sampai KHI” (Jakarta: Prenada media, 2004)
Cet-1, h. 218-219.
18
Permohonan cerai talak berdasarkan alasan perceraian juga dapat
dijelaskan melalui pengertian talak seperti yang disebutkan oleh Undang-undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Talak hanya dapat dilakukan melalui
proses tertentu seperti harus adanya permohonan dan dilakukan didepan sidang
pengadilan berikut dengan kejelasan alasan-alasannya.
Alasan-alasan tersebut diantaranya:
1. Permohonan cerai Talak karena isteri melalaikan kewajiban.
2. Permohonan cerai Talak dengan alasan isteri berbuat zina atau pemadat.
3. Permohonan cerai Talak dengan alasan istri meninggalkan suami selama dua
(2) tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah.
4. Permohonan cerai Talak dengan alasan isteri mendapat hukuman penjara lima
(5) tahun atau lebih.
5. Permohonan cerai Talak dengan alasan suami/isteri melakukan kekejaman
atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
6. Permohonan cerai Talak dengan alasan isteri mendapat cacat badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.
7. Permohonan cerai Talak dengan alasan terus menerus terjadi perselisiihan dan
pertengkaran.
8. Permohonan cerai Talak dengan alasan isteri murtad.
9. Permohonan cerai Talak dengan alasan syiqaq.
10. Permohonan cerai Talak dengan alasan Li‟an.7
Didalam fiqih memang secara khusus tidak mengatur alasan untuk boleh
terjadinya perceraian dengan nama talak, karena talak itu merupakan hak suami
dan dia dapat melakukannya meskipun tanpa alasan apa-apa.8
Dalam prinsipnya al-Qur‟an mengisyaratkan mesti adanya alasan yang
cukup bagi suami untuk mentalak istrinya dan menjadikannya sebagai langkah
7Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan “Hukum Perdata Islam di Indonesia-Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU no. 1/1974 sampai KHI”, h. 224-228.
8 Amir syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan”, h. 228.
19
terakhir yang tidak dapat dihindari. Alasan-alasan yang mengenai perceraian
dapat ditemukan dalam alasan perceraian yang berbentuk fasakh dan dalam
pandangan fiqih fasakh terjadi bukan atas kehendak dan permintaan suami. Akan
tetapi, dilakukan atas permintaan istri yang ingin bercerai dari suami, dan bahkan
dilakukan didepan hakim, dengan syarat memenuhi alasan-alasan yang
ditentukan.9
Perceraian haruslah menjadi suatu jalan terakhir yang diinginkan oleh
kedua belah pihak dalam perkawinannya. Perceraian yang dilakukan oleh kedua
belah pihak yang ingin bercerai juga harus berdasarkan kepada alasan-alasan
diperbolehkannya bercerai menurut Undang-undang dan Kompilasi Hukum Islam
serta alasan-alasannya.
C. Akibat Putusnya Perkawinan
1. Akibat Talak
Secara harfiyah Talak itu berarti lepas dan bebas. Kata Talak berasal
dari kata “ َطَلاقًا - ُيْطِلُق- َطَلَق “ yang berarti melepaskan atau lepas dari
ikatannya,10
baik tali yang bersifat kongkrit seperti tali pengikat unta maupun
bersifat abstrak seperti tali pengikat perkawinan. Kata Talak merupakan isim
9 Ibid,h. 229.
10
Ahmad Warson Munawwir, “al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia,” (t.t.,:t.p., t.th.,), h.
923.
20
masdhar dari kata “ َتطِليًق - ُيْطِلُق- َطَلَق “ yang semakna dengan kata “ اإِلْرَساْل “
dan “ الَتْر ُك“ yang berarti melepaskan atau meninggalkan.
Dihubungkannya kata talak dalam arti kata ini dengan putusnya
perkawinan karena antara suami dan istri sudah lepas hubungannya atau
masing-masing sudah bebas11
. Dalam mengemukakan arti thalaq secara
terminologis kelihatannya ulama mengemukakan rumusan yang berbeda
namun maksudnya sama.
Talak menurut istilah syara‟ dikemukakan oleh para ulama dalam
beberapa pengertian, antara lain:
a. Menurut Sayyid Sabiq:
Artinya:
“Melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami
istri”.12
b. Menurut Abdurrahman al-Jaziri:
Artinya:
“Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi (ikatan)
pelepasan dengan kata-kata tertentu”.13
11
Tihami, Sohari. “Fikih Munakat Kajian Fikih Nikah Lengkap” (Jakarta: Rajawali Press,
2009), hal. 229.
12
Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah”,(Beirut: Darul Fikr, 1983), Cet IV, Jilid II, h. 206.
13
Abdurrahman al-Jaziri, “Al-Fiqh „ala al-Arba‟ah” (Mesir: al-Maktabah at-Tijariyyah al-
Kubra, t.th), Jilid IV, h. 278.
21
c. Menurut Abu Zakariya al-Anshari:
Artinya:
“Melepaskan tali akad nikah dengan kata Talak dan yang
semacamnya.14
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun dalam
Putusan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak terdapat pasal yang menjelaskan
pengertian perceraian secara khusus, hanya saja dalam pasal 38 Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa
perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan. Sedangkan
Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 117 menyebutkan Talak adalah ikrar
suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab
putusnya perkawinan.
Talak merupakan hak cerai suami terhadap istrinya apabila ia merasa
sudah tidak dapat lagi mempertahankan perkawinan dan keutuhan rumah
tangganya. Talak juga dirumuskan oleh Al-Mahalli yang mewakili definisi
yang diberikan kitab-kitab fiqh terdapat tiga kunci yang menunjukan hakikat
dari perceraian yang disebut dengan talak. Pertama, kata “melepaskan” atau
membuka mengandung arti bahwa talak itu melepaskan sesuatu yang selama
ini telah terikat, yaitu ikatan perkawinan. Kedua, kata ikatan perkawinan yang
14
Abu Yahya Zakariya al-Anshari, “Fathul Wahab”, (Beirut: Darul Fikri, t.th), Juz II, h. 72.
22
mengandung arti bahwa thalaq itu mengakhiri hubungan perkawinan yang
terjadi selama ini. Bila ikatan perkawinan itu memperbolehkan antara suami
dan istri, maka dengan telah dibuka itu hubungan suami dan istri kembali
kepada keadaan semula, yaitu haram hukumnya. Ketiga, kata dengan lafaz
“tha-la-qa” sama maksudnya dengan itu mengandung arti bahwa putusnya
perkawinan itu melalui suatu ucapan, ucapan yang digunakan itu adalah kata-
kata talak tidak disebut dengan putus perkawinan bila tidak dengan cara
pengucapan ucapan tersebut, seperti putus dikarenakan salah satunya
meninggal (putus karena kematian).15
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada bab XVII tentang akibat
putusnya perkawinan mengenai akibat talak yang tertuang pada pasal 149,
terdapat kewajiban bekas suami untuk menafkahkan mantan istrinya.
Kewajiban tersebut antara lain:
a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang
atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul.
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam
iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila
qobla al-dukhul.
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun.16
15
Tiham., Sohari. “Fikih Munakat Kajian Fikih Nikah Lengkap” hal, 229.
16
Tim Redaksi Fokusmedia, “Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Kompilasi
Hukum Islam”, h. 48.
23
Kata talak sama artinya dengan arti putusnya perkawinan yaitu lepas
atau pisahnya ikatan perkawinan antara suami dan istri (perceraian). Kata
talak biasa dipergunakan dalam fiqh, dan kata putusnya perkawinan dalam
pasal 38 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan
bahwa perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan.
1) Akibat Talak Raj‟i
Talak raj‟i adalah Talak kesatu atau kedua dimana suami berhak
ruju‟ selama dalam masa „„iddah.17
Para ulama mazhab sepakat bahwa yang dinamakan talak raj‟i
adalah talak dimana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada
istrinya (ruju‟) sepanjang istrinya tersebut masih dalam masa „„iddah, baik
istri tersebut bersedia diruju‟ maupun tidak.18
Talak raj‟i menurut pasal 118 Kompilasi Hukum Islam adalah
talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak untuk ruju‟ selama istri
dalam masa„„iddah.19
Talak raj‟i tidak melarang mantan suami untuk berkumpul dengan
mantan istrinya, sebab akad perkawinannya tidak menghilangkan hak
17
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan “Hukum Perdata Islam di Indonesia-Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU no. 1/1974 sampai KHI”, h. 223.
18
Muhammad Jawad Mughniyyah, “Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi. Maliki, Syafi‟ie.
Hambali”. Penerjemah Masykur A.B, dkk, (Jakarta: Lentera, 2005), Cet IV, h. 441.
19
Tim Redaksi Fokusmedia, “Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Kompilasi
Hukum Islam”, h. 39.
24
(pemilikan) serta tidak mempengaruhi hubungannya yang halal (kecuali
persetubuhan).20
Namun sekalipun tidak mengakibatkan perceraian, Talak ini tidak
menimbulkan akibat-akibat hukum yang lain, selama masih dalam masa
„iddah istrinya. Segala hukum akibat hukum Talak baru berjalan sesudah
habis masa „„iddah dan jika tidak ada ruju‟. Apabila masa „„iddah telah
habis maka tidak boleh ruju‟. Artinya, Perempuan itu telah berTalak
ba‟in. Jika ia menggauli istrinya berarti ia telah ruju‟.
Ruju‟ adalah satu hak bagi laki-laki dalam masa „„iddah. Oleh
karena itu, ia tidak boleh membatalkannya sekalipun suami, misalnya,
Berkata: “Tidak ada ruju‟ bagiku” Namun, Sebenarnya ia tetap
mempunyai hukum ruju‟. Didalam firman Allah disebutkan:
2228
Artinya: “Dan suami-suaminya berhak meruju‟inya dalam masa menanti
itu” (QS Al-Baqarah: 228)
Ruju‟ merupakan hak suami, maka untuk meruju‟nya suami tidak
perlu saksi, hanya kerelaan mantan istri serta wali. Namun menghadirkan
saksi dalam ruju‟ hukumnya sunnat, karena dikhawatirkan apabila kelak
istri akan menyangkal ruju‟nya suami.21
20
Tihami, Sohari. “Fikih Munakat Kajian Fikih Nikah Lengkap”, h. 307.
21
Ibid, h. 309.
25
Talak raj‟i adalah talak satu atau dua yang diucapkan oleh suami
terhadap istrinya, karena seorang suami boleh melakukan talak terhadap
istrinya itu hanya mempunyai dua talak saja dalam agama.
Apabila suami ingin ruju‟, maka ruju‟lah dengan cara yang baik
dan tidak mengungkit-ungkit kesalahan yang lalu, atau apabila bertekad
untuk menceraikannya dan telah mempertimbangkan secara seksama
segala konsekuensinya, maka ceraikanlah dengan cara yang baik pula,
sebagaimana firman Allah SWT didalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat
229:
. . . 2
229
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara
yang baik”. (QS Al-Baqarah: 229)
2) Akibat Talak Ba‟in Sughra
Talak ba‟in sughra ialah memutuskan hubungan perkawinan
antara suami dan isteri setelah kata talak diucapkan, karena ikatan
perkawinan telah putus, maka isterinya kembali menjadi orang lain bagi
suaminya. Oleh karena itu, ia tidak boleh bersenang-senang dengan
perempuan tersebut, apalagi sampai menyetubuhinya.
Talak ba‟in sughra juga dapat dirumuskan dengan talak ba‟in
yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap istrinya, tetapi tidak
26
menghilangkan kehalalan bekas suami untuk nikah lagi dengan bekas
istrinya, baik pada masa „iddah maupun sesudahnya.22
Apabila ia baru mentalaknya satu kali, berarti ia masih memiliki
sisa dua kali talak setelah ruju‟ dan jika sudah dua kali talak, maka ia
hanya berhak atas satu kali lagi talak setelah ruju‟.
Yang termasuk talak ba‟in sughra adalah sebagai berikut:
a) Talak yang dilakukan suami sebelum menggauli istri. Talak ini tidak
memerlukan masa „iddah, karena tidak ada masa „iddah sebelum istri
digauli oleh suami, maka tidak ada kesempatan untuk ruju‟, sebab
ruju‟ hanya dilakukan dalam masa „iddah.
b) Talak yang dilakukan istri dengan cara tebusan kepada suaminya atau
yang disebut khulu‟.
c) Perceraian yang dilakukan suami istri dengan melalui putusan Hakim
di pengadilan atau disebut dengan fasakh.23
Talak ba‟in sughra merupakan kata talak yang harus diperhatikan
oleh seorang suami dalam menjatuhkan talak, karena talak tersebut
memutuskan hubungan perkawinan antara suami istri, dan istri sudah
menjadi orang lain bagi suaminya.
22
Zurinal. Z dan Aminuddin, “Fiqih Ibadah,” (Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, 2008), Cet I, h. 254.
23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 221-222.
27
3) Akibat Talak Ba‟in Kubra
Hukum talak ba‟in kubra sama dengan talak ba‟in sugro, yaitu
memutuskan tali perkawinan antara suami dan isteri. Tetapi, talak ba‟in
kubra tidak menghalalkan bekas suami meruju‟nya kembali bekas isteri,
kecuali sesudah ia menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai
sesudah dikumpulinya (telah bersenggama), tanpa ada niat tahlil.24
Menurut Sayyuti Thalib yang termasuk talak ba‟in kubra adalah:
a) Talak itu berupa talak tiga.
b) Perceraian karena li‟an, karena pasangan suami istri tersebut tidak
diperbolehkan kawin lagi untuk selamanya.25
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 230;
2230
Artinya: “Kemudian jika si suami menTalaknya (sesudah Talak yang
kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia
kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas
suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang
(mau) mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 230)
24
Tihami, Sohari. “Fikih Munakat Kajian Fikih Nikah Lengkap”, h. 311.
25
Sayyuti Thalib, “Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam”,(Jakarta: UI
Press, 1998) Cet V, h. 103-104.
28
Perempuan yang menjalani „„iddah talak ba‟in, jika ia tidak hamil,
hanya berhak memperoleh tempat tinggal (rumah), lain tidak. Tetapi, jika
ia hamil maka ia juga berhak mendapatkan nafkah. Dalam Al-Qur‟an
ditegaskan: QS ath-Thalaq : 65;6 :
…
656
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan
jika mereka (isteri-isteri yang sudah diTalak) itu sedang hamil,
Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, ….” (QS at-Thalaq: 65)
Para ulama sepakat apabila seorang suami melakukan talak dengan
talak tiga, maka suami sudah tidak boleh kembali lagi terhadap istrinya
sampai istri melakukan perkawinan terlebih dahulu dengan laki-laki yang
lain selayaknya suami istri pada umumnya. Imamiyah dan Maliki
mensyaratkan yang menjadi suami kedua (muhalil) adalah laki-laki
dewasa bukan laki-laki yang belum dewasa, sedangkan menurut Syafi‟i
dan Hanafi laki-laki yang menjadi suami kedua (muhalil) boleh laki-laki
yang belum cukup umur atau dewasa asalkan cukup bila melakukan
hubungan suami istri.26
26
Mughniyyah, “Fiqih Lima Mazhab, h.453.
29
Talak ba‟in kubra sama dengan talak ba‟in sugro, yaitu
memutuskan tali perkawinan antara suami dan isteri. Talak ba‟in kubra
tidak menghalalkan bekas suami meruju‟nya kembali bekas isteri, kecuali
sesudah ia menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai sesudah
dikumpulinya (telah bersenggama).
2. Akibat Hukum Fasakh
Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan
oleh talak. Sebab, talak ada talak bain dan talak raj‟i. Talak raj‟I tidak
mengakhiri ikatan suami dan isteri dengan seketika, sedangkan talak ba‟in
mengakhirinya seketika itu juga.
Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun
karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka hal itu mengakhiri
ikatan pernikahan seketika itu.
Selain itu, pisahnya suami isteri yang diakibatkan talak dapat
mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami mentalak isterinya dengan
talak raj‟i kemudian kembali pada masa „„iddahnya atau akad lagi setelah
habis masa „„iddahnya dengan akad baru, maka perbuatan terhitung satu talak,
yang berarti ia masih ada kesempatan dua kali untuk mentalak lagi.
Sedangkan pisah suami isteri karena fasakh karena khiyar baligh, kemudian
kedua suami isteri tersebut menikah dengan akad baru lagi, maka suami tetap
mempunyai kesempatan tiga kali talak.
30
Mengenai masa pelaksanaan fasakh, terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama. Imam Syafi‟i berkata: “harus menunggu selama tiga hari”,
sedangkan Imam Malik mengatakan: “harus menunggu selama satu bulan”,
dan Imam Hmbali Mengatakan “harus menunggu selama satu tahun.”27
Semua itu maksudnya adalah, selama waktu tersebut, laki-laki boleh
mengambil keputusan akan bercerai atau memberikan nafkah bila si isteri
tidak rela lagi. Kalau isteri mau menunggu dan rela dengan ada belanja dari
suaminya, maka tidak perlu di fasakh, sebab nafkah itu adalah haknya.
3. Akibat Khulu’
Khulu‟ yaitu perceraian atas keinginan pihak istri sedangkan suami
tidak menghendaki.28
Akibat khulu‟ ini juga dapat mengurangi jumlah talak
dan dapat melakukan ruju‟ kembali.29
Dalam hal akibat khulu‟, terdapat persoalan apakah perempuan yang
menerima khulu‟ dapat diikuti dengan talak atau tidak. Imam malik
berpendapat bahwa khulu‟ itu dapat di ikuti dengan talak, kecuali jika
pembicaraannya bersambung. Imam hanafi mengatakan bahwa khulu‟ dapat
diikuti dengan talak tanpa memisahkan antara penentuan waktunya, yaitu
dilakukan dengan segera atau tidak.
27
Tihami, Sohari. “Fikih Munakat Kajian Fikih Nikah Lengkap”, h. 314-315.
28
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan “Hukum Perdata Islam di Indonesia-Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU no. 1/1974 sampai KHI”, h. 232.
29
Tim Redaksi Fokusmedia, “Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Kompilasi
Hukum Islam”, h. 52.
31
Perbedaan pendapat ini terjadi karena golongan pertama berpendapat
bahwa „iddah termasuk hukum talak, sedangkan Imam Abu Hanifah
berpendapat termasuk hukum nikah. Oleh karena itu, ia tidak membolehkan
seseorang menikahi perempuan yang saudara perempuanya masih dalam
„„iddah dari talak ba‟in.30
Khulu‟ dapat dikatakan pula suatu keputusan seorang istri yang
menginginkan perceraian, sedangkan seorang suami tetap mempertahankan
perkawinannya atau tidak menghendaki adanya perceraian. Walaupun seorang
istri telah mengkhulu‟ seorang suaminya, akan tetapi hal tersebut tidak
mengurangi jumlah talak yang dimiliki oleh suami.
4. Akibat Sumpah Li’an
Pelaksanaan hukum li‟an sangat memberatkan dan menekan perasaan,
baik bagi suami maupun bagi isteri yang sedang dalam perkara li‟an ini
bahkan dapat mempengaruhi jiwa masing-masing, terutama setelah mereka
berada dalam ketenanggan berpikir. Hal ini tidak lain adalah:
a. Karena bilangan sumpah li‟an
b. Karena dilaksanakan di tempat yang paling mulia, yaitu masjid.
c. Karena dilaksanakan pada waktu yang paling penting, yaitu waktu ashar
setelah shalat
d. Karena sumpah itu dilakukan di hadapan jama‟ah (manusia banyak),
sekurang-kurangnya berjumlah empat orang.31
Disamping itu, pengaruh lain akibat li‟an ini adalah terjadinya
perceraian antara suami isteri, isterinya menjadi haram untuk dirinya
30
Tihami, Sohari. “Fikih Munakat Kajian Fikih Nikah Lengkap”, h. 315-316.
31
Ibid, h. 317-318.
32
selamanya. Ia tidak boleh ruju‟ ataupun menikah lagi dengan akad baru. Bila
isterinya melahirkan anak yang dikandungnya, maka anak itu dihukumi bukan
termasuk keturunan suaminya.
5. Aibat Li’an dari Segi Hukum
Akibat lain yang ditimbulkan karena li‟an, secara hukum adalah:
a. Had zina gugur
b. Had zina berlalu
c. Suami isteri bercerai untuk selamanya.
d. Diterapkan berdasarkan pengakuan suami, bahwa dia tidak mencampuri
isterinya.
e. Bila ada anak setelah pernyataan li‟an itu tidak dapat diakui oleh suami
sebagai anaknya.
Sebaliknya, si isteri dapat menggugurkan hukum had atas dirinya
dengan membela li‟an suaminya dengan li‟an-nya pula atas suaminya.32
Kompilasi Hukum Islam pun pada pasal 162 menjelaskan akibat li‟an juga
dapat menghilangkan nasab anaknya kepada bapaknya, akan tetapi nasab
anaknya dinasabkan kepada ibunya dan juga kewajiban suami untuk
memberikan nafkah kepada anaknya pun dapat terbebaskan.33
Kompilasi Hukum Islam Bab XVII bagian kesatu pada penjelasan
akibat talak pasal 149, menjelaskan tentang akibat putusnya perkawinan
sebagai berikut:
32
Ibid, h. 319-322.
33
Tim Redaksi Fokusmedia, “Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Kompilasi
Hukum Islam”, h. 52.
33
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang
atau benda, kecuali bekas isteri tersebut belum dicampuri.
b. Member nafkah, maskan (tempat tinggal), dan kiswah (pakaian) kepada
bekas isteri selama dalam „iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak
ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya atau separuhnya apabila
qabla al-dukhul.
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun.34
Pada bagian kedua juga Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang
batas waktu tunggu yang terdapat pada pasal 153, yaitu:
1. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu
„iddah, kecuali qabla al-dukhul, dan perkawinannya putus bukan karena
kematian suami.
2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun qabla al-dukhul,
waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90
(sembilan puluh) hari.
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan janda tersebut
dalam keadaan hamil. Waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedangkan janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian,
sedangkan antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al-dukhul.
4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung
sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan
hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yan putus karena kematian,
tenggang waktu tunggu sejak kematian suami.
5. Waktu tunggu isteri yang pernah haid, sedangkan pada waktu menjalani
„„iddah tidak haid karena menyusui, maka „iddahnya tiga kali waktu
suci.35
34
Ibid, h. 48.
35
Ibid, h. 49-50.
34
Dari uraian diatas, menurut pandangan penulis bahwa putusnya
perkawinan dapat terjadi jika keadaan telah demikian memaksanya sehingga
jalan damai telah tertutup atau buntu hingga sulit bagi kedua suami istri untuk
tetap bersatu dalam satu rumah tangga.
Apabila perceraian merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh oleh
suami istri yang sudah tidak kuat lagi untuk melanjutkan ikatan perkawinan
bersama-sama lagi, maka pihak yang ingin bercerai harus ada alasan yang
menguatkan bahwa kehidupan rumah tangga tidak akan dapat hidup rukun
lagi sebagai suami istri. Alasan-alasan perceraian juga harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Didalam fiqih memang secara khusus tidak mengatur alasan untuk
boleh terjadinya perceraian dengan nama talak, karena talak itu merupakan
hak suami dan dia dapat melakukannya sekalipun tanpa alasan. Alasan-alasan
yang mengenai perceraian dapat ditemukan dalam alasan perceraian yang
berbentuk fasakh dan dalam pandangan fiqih, fasakh terjadi bukan atas
kehendak dan permintaan suami, tetapi dilakukan atas permintaan istri yang
ingin bercerai dari suami, dan bahkan dilakukan didepan hakim.
Bagi pihak yang menginginkan terjadi perceraian dengan alasan tidak
dapat hidup rukun kembali juga harus memikirkan kepada permasalahan
nafkah anak-anaknya. Dalam Kompilasi Hukum Islam pada bab XVII tentang
akibat putusnya perkawinan mengenai akibat talak yang tertuang pada pasal
149, terdapat kewajiban bekas suami untuk menafkahkan mantan istrinya.
35
BAB III
SUAMI GHOIB (MAFQUD) MENURUT HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Umum Tentang Suami Mafqud
1. Menurut Ulama Fiqih
Kata mafqud secara etimologis merupakan isim maf‟ul dari lafadz
faqoda-yafqodu-faqdan yang berarti hilang atau menghilangkan sesuatu.1 Jadi
yang dimaksud dengan mafqud dalam konteks ini adalah seorang wanita yang
suaminya hilang dan tidak diketahui keadaan serta keberadaannya. Menurut
Wahbah Zuhaily, yang dimaksud dengan mafqud adalah orang yang hilang
yang tidak diketahui apakah ia masih hidup sehingga bisa dipastikan
kedatangannya kembali atau apakah ia sudah mati hingga kuburannya dapat
diketahui.2
Dalam bahasa istilah mafqud bisa diterjemahkan dengan al-ghoib.
Kata ini secara etimologis memiliki arti gaib, tiada hadir, bersembunyi,
mengumpat.3 Hilang dalam hal ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1 Mahmud Yunus “Kamus Arab Indonesia” (Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Pentarjamah/Penafsir Al-Qur‟an, 1973 ) h. 642.
2 Wahbah Al-Zuhaily “Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Juz 7” (Beirut : Dar-El Fikr,t,th)
h.642.
3 Mahmud Yunus “Kamus Arab Indonesia” h.304.
36
a. Hilang yang tidak terputus karena diketahui tempatnya dan ada berita atau
informasi tentangnya.
b. Hilang yang terputus, yaitu yang sama sekali tidak diketahui
keberadaannya serta tidak ditemukan informasi tentangnya.
Dari dua definisi diatas, nampak telah jelas bahwa yang dimaksud
dengan mafqud disini orang yang meninggalkan keluarganya yang sampai
pada saat tertentu keluarganya tidak mengetahui apakah ia masih hidup
ataukah sudah meninggal dunia ataukah kabarnya masih tersambung atau
akan terputus.
Adapun bentuk suami dikatakan hilang antara lain:
a. Suami yang hilang diantara keluarganya baik siang ataupun malam.
b. Seorang suami yang meninggalkan rumah untuk melaksanakan sholat di
masjid tetapi ia tidak kembali.
c. Seseorang yang hilang digurun pasir atau padang yang luas.
d. Suami yang hilang karena perang.
e. Seorang yang mengalami musibah dalam perjalanan, misalnya kapal yang
ditumpanginya tenggelam.4
Setidaknya dari beberapa bentuk di atas dapat disimpulkan menjadi
dua kriteria besar. Pertama, seorang yang hilang yang dari awal kepergiannya
tidak diketahui kemana dan dimana. Kedua, suami yang kepergiannya
diketahui oleh keluarganya (istrinya) tetapi pada suatu saat tidak diketahui
lagi bagaimana keadaannya dan dimana ia sekarang.
Para ahli fiqih telah menetapkan haramnya suami meninggalkan istri
dalam waktu lebih dari 4 (empat) bulan. Bahkan, sebagian ahli fikih
4 Muhammad Jawad Mughniyyah, “Al-Ahwal al-Syakhsiyyah” h. 153-154.
37
menetapkan dengan lebih ikhtiyath (hati-hati) lagi, yakni lebih dari empat
malam meskipun hanya sekali saja. Sebagaimana telah diriwayatkan, kata al
mudhaja‟ah ditafsirkan dengan tingal bersama istri setelah satu malam dan
ditambah sesaat pada waktu paginya. Inilah suatu nas (ketentuan), tetapi lebih
tepat merupakan usaha perlindungan kepada istri, khususnya pada bagian
pertama, yaitu lebih dari empat bulan. Bertolak dari sini, ada beberapa riwayat
yang menunjukan bahwa dosa seorang istri dapat dibebankan kepada
suaminya bila adanya perbuatan dosa istri sebagai akibat dari perbuatan
suami. Efektifitas kebenaran pernyataan untuk memberikan perlindungan ini
diperkuat dengan adanya nas yang melarang memberikan pengecualian (hak
istimewa) kepada istri muda.5
Dalam hal ini mafqud diartikan sebagai seorang yang hilang tanpa
kabar akan kepergiannya, tidak diketahui keadaan serta keberadaannya.
Mafqud disini pun yaitu orang yang meninggalkan keluarganya yang sampai
pada saat tertentu keluarganya tidak mengetahui apakah ia masih hidup
ataukah sudah meninggal dunia ataukah kabarnya masih tersambung atau
akan terputus.
2. Pandangan Ulama Madzhab Tentang Mafqud
Para ulama fiqih sepakat bahwa jika suami yang meninggalkan
istrinya itu masih terdengar kabarnya maka tidak ada alasan bagi wanita untuk
5 Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili “Perceraian Salah Siapa? Bimbingan Islam Dalam
Mengatasi Problematika Rumah Tangga” (Jakarta: Lentera, 2001), hal 82-83.
38
ber‟iddah dan menikah lagi. Suami yang meninggalkannya diupayakan untuk
kembali kepada keluarganya untuk hidup bersama-sama lagi karena suami
mempunyai kewajiban memberi nafkah dan kasih sayang dalam keluarga
begitu juga istri mempunyai hak untuk mendapatkan hal tersebut, kecuali
suami yang diketahui keberadaannya itu tidak mau kembali lagi dan
menunaikan kewajibannya maka seorang istri dapat melakukan khulu‟.6
Para ulama berbeda pendapat mengenai perceraian bagi istri yang
suaminya mafqud. Beberapa pendapat tersebut antara lain adalah:
a. Menurut Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi adalah Abu Hanifah
an-Nukman bin Tsabit bin Zufi at-Tamimi. Beliau dilahirkan di Kufah
pada tahun 150 H/699 M, pada masa pemerintahan al-Qalid bin Abdul
Malik. Abu hanifah menghabiskan masa kecilnya dan tumbuh menjadi
dewasa disana dan sejak masih kanak-kanak beliau telah mengkaji dan
menghafal al-Qur‟an. Beliau wafat pada tahun 150 H/767 M pada usia 70
tahun dan beliau dimakamkan di Khizra.7
Menurut mazhab Hanafi dan dan mazhab Syafi‟i berpendapat
bahwa orang yang dianggap masih hidup baik mengenai istrinya baik
mengenai hartanya kedua-duanya masih kepunyaan suaminya sampai ada
6 http:// mlatiffauzi. files. Wordpress.com/2007/09/iddah/pdf.
7 Muhammad Jawad Mughniyyah, “Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi. Maliki, Syafi‟ie.
Hambali”, h. xxv-xxvi.
39
kepastian tentang hidup matinya. Pendapat ini memegang apa yang telah
ada dengan yakin.8
Menurut mazhab Hanafi pun menjelaskan bahwasanya istri tidak
mempunyai hak untuk menuntut cerai dengan alasan hilangnya suami,
walaupun hilangnya dalam kurun waktu yang lama.9 Sehingga sang istri
tidak boleh ber‟iddah dan menikah lagi sampai berita tentang keberadaan
suaminya baik hidup atau matinya jelas. Hanafi mengunakan dalil istishab
dalam hal ini, yaitu menggunakan hukum yang lama sebelum datang
hukum yang baru.
Namun jika kabar kematian suaminya itu telah sampai kepada
seorang istri atau ada seseorang yang dapat dipercaya memberikan
informasi tentang kematian suaminya atau bahwa suaminya telah
menthalaq bain atau ada surat yang datang untuk istri yang dibawah oleh
orang yang tsiqoh yang menerangkan bahwa si istri sudah di thalaq maka
seoran istri boleh melakukan iddah dn kemudian menikah lagi dengan
orang lain.10
8 Sjaich Mahmoud Sjaltout, Sjaich M. Ali as-Sajis, “Perbandingan Mazhab dalam Masalah
Fiqih” (Djakarta; Bulan Bintang, 1973) Cet I, h. 210.
9 Musthofa al-Baabi Al-Halabi “Mughni Al-Muhtaaj” (Kairo: Maktabah Ar-riyadhi Al-
Haditsah) h. 442.
10
Wahbah al-Zuhaily, “Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu”, h. 642.
40
Mazhab hanafi memperbolehkan seorang istri ber‟iddah walaupun
belum ada kabar tentang kematian suaminya jika sudah melewati waktu
selama 120 tahun yang didasarkan pada umur manusia pada umumnya.11
b. Menurut Mazhab Syafi‟i
Nama asli dari Imam Syafi‟I adalah Muhammad bin Idris gelar
beliau adalah Abu abdilah, beliau lahir di Gazza pada tahun 150 H
pertengahan abad kedua hijriyah. Beliau adalah pendiri dari mazhab
Syafi‟i.12
Sumber hukum syariat dalam mazhabnya terdiri 4, yaitu; al-
Qur‟an, Hadist atau sunah-sunah rasul, Ijma‟ (kesepakatan imam-imam
mujtahid dalam satu masa) dan Qiyas (perbandingan antara yang satu
dengan yang lain).13
Syafi‟i dalam qoul jadid (fatwa terbarunya yang dikeluarkan di
Mesir) menyatakan bahwa jika sesuatu hukum belum membolehkan
suami membagikan harta warisannya, maka seorang istri belum
diperbolehkan untuk ber‟iddah dan menikah lagi. Dalam hal ini seperti
Hanafi, Syafi‟i juga mengambil dalil istishab sebagai sumber hukum.
Syafi‟i memberikan batasan waktu selama 90 tahun bagi istri untuk
menunggu kabar suaminya. Jika setelah batas waktu itu masih juga tidak
ada kabar, maka istri diperbolehkan ber‟iddah.
11
M. Jawad Mughniyyah “Al-Akhwal al-Syakhsiyyah”, h. 154.
12
Sirajuddin Abbas, “Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi‟ie”, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
1995) Cet VII, h. 13.
13
Ibid, h. 119.
41
c. Menurut Mazhab Malik
Imam Malik bin Anas, beliau adalah pendiri mazhab Maliki.
Beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Beliau berasal dari kabilah
Yamniah. Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majelis-majelis ilmu
pengetahuan sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal al-Quran.
Imam Maliki meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun demikian,
mazhab Maliki tersebar luas dan dianut banyak bagian diseluruh dunia.14
Adapun mazhab Malikiyah berpendapat bahwa mereka
memperhatikan apakah hilang itu dengan sebab yang biasanya selamat,
maka mereka itu menunggu sampai seumur orang pada masa itu. Apabila
hilang dengan sebab yang biasanya tidak selamat, mereka membagi
kedalam dua macam: Pertama, sebab yang besar dugaan tidak selamat,
karena terjadinya sesudah sebab yang membinasakan, maka mereka itu
memberi hukum sudah dapat dianggap cerai antara suami istri seketika
selesainya kejadian itu jika tidak memerlukan waktu untuk pulang.
Kedua, yang tidak berat dugaan binasa, karena bukan terjadi sesudah
sesuatu sebab yang membinasakan. Mereka itu mengatakan dalam hal
inilah yang diberi waktu 4 tahun.15
14
Muhammad Jawad Mughniyyah, “Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi. Maliki, Syafi‟ie.
Hambali”, h. xxvii-xxviii.
15
Sjaich Mahmoud Sjaltout, Sjaich M. Ali as-Sajis, “Perbandingan Mazhab dalam Masalah
Fiqih”, h. 216-217.
42
Mazhab Maliki berpendapat bahwa seorang istri cukup menunggu
selama 4 tahun, jika telah ditunggu selama waktu itu maka istri boleh
ber‟iddah selama 4 bulan 10 hari, kemudian setelah itu istri boleh
ber‟iddah lagi. Imam Malik menambahkan bahwa jika suami pertama
datang dan si istri belum dipergauli oleh suami yang kedua, maka istri
masih menjadi hak suami yang pertama, namun jika sudah dipergauli
maka istri tetap menjadi hak suami yang kedua dengan konpensasi suami
kedua harus membayar mas kawin kepada suami pertama.16
Menurut mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟i, jika suami pertama
datang dan istrinya sudah menikah, maka nikahnya batal dan istri tetap
menjadi hak suami yang pertama. sedangkan menurut Imam Ahmad
bahwa jika istri belum dipergauli oleh suami kedua, maka istri menjadi
hak suami yang pertama, namun jika istri sudah melakukan hubungan
badan dengan suami kedua, maka diserahkan kepada suami pertama
apakah ia akan mengambil istrinya kembali dengan membayar maskawin
atau ia meninggalkannya dan mendapatkan maskawin tersebut. Hal ini
dilakukan jika perkara ini belum diserahkan kepada hakim. Adapun ketika
perempuan merasa rugi atas kepergian suaminya, maka ia boleh mengadu
kepada hakim agar memutuskan perkawinannya. Imam Ahmad bin Mali
memperbolehkan talak model ini.17
16
http://hukumonline.com.
17
http:// mlatiffauzi. files. Wordpress.com/2007/09/iddah/pdf.
43
Namun jika suami tersebut tidak mempunyai harta begitu juga
tidak ada orang lain yang menggantikan perannya, maka istri harus tetap
bersabar atau jika istri menginginkan menikah maka ia boleh mengadukan
perkara ini kepada Hakim. Dalam hal ini Hakim akan menunda dan
memeriksa selama 4 tahun terhitung mulai perkara ini diterima sampai
permasalahan tersebut jelas.
Jika masih belum jelas maka ada dua hal yang dapat dilakukan,
yaitu:
1) Jika suami yang hilang tersebut mempunyai wali atau wakil maka
hakim memerintahkan kepada wali tersebut untuk menceraikan si
istri.
2) Jika suami yang hilang tersebut tidak mempunyai wali, atau ia
mempunyai wali namun wali tersebut menolak untuk mentalak dan
tidak mungkin memaksanya maka Hakim mempunyai otoritas untuk
menceraikan pasangan tersebut dengan ketentuan syariah, kemudian
istri ber‟iddah 4 bulan 10 hari setelah itu halal untuk menikah lagi.18
Hilang menurut
d. Menurut Mazhab Hambali
Imam Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin
Hambal bin Hilal al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada Rabiul
18
M. Jawad Mughniyyah “Al-Akhwal al-Syakhsiyyah” h. 154-155.
44
awal tahun 164 H (780 M). Beliau dibesarkan dalam keadaan yatim oleh
ibunya, karena ayahnya meninggal ketika beliau masih bayi.
Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Basrah untuk beberapa
kali dan disanalah beliau belajar dengan Imam Syafi‟i. Imam Ahmad
Hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun tepatnya pada tahun 241 H
(855 M). sepeninggalan beliau, mazhab Hambali berkembang luas dan
menjadi satu mazhab yang memiliki banyak penganut.19
Menurut pendapat mazhab Hambali mengatakan bahwa
menceraikan antara orang yang hilang dan istrinya adalah didasarkan
pada menolak kemelaratan terhadap istri yang suaminya sudah hilang dan
meninggalkannya dan berhadapan dengan kepahitan hidup sendirian dan
apabila istri itu masih muda, tentu ia tidak dapat menjaga dirinya dari
faktor-faktor fitnah yang berada disekelilingnya.20
Mazhab Hambali berpendapat hilang itu ada dua macam: Pertama,
hilang yang menurut lahirnya selamat, seperti pergi berniaga ketempat
yang tidak berbahaya, pergi menuntut ilmu dan mengembara. Dalam hal
ini hukumnya sama seperti pendapat ulama Hanafiah dan ulama
Syafi‟iyah, yaitu harus lewat waktu tertentu, yaitu 90 tahun terhitung
sejak lahirnya orang itu. Kedua, hilang yang menurut lahirnya tidak
19
Muhammad Jawad Mughniyyah, “Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi. Maliki, Syafi‟ie.
Hambali”, h. xxxi-xxxii.
20
Sjaich Mahmoud Sjaltout, Sjaich M. Ali as-Sajis, “Perbandingan Mazhab dalam Masalah
Fiqih”, h. 217.
45
selamat. Seperti orang yang hilang tiba-tiba diantara keluarganya atau ia
keluar untuk salat tetapi tidak kembali lagi atau ia pergi karena sesuatu
keperluan yang seharusnya ia kembali, lalu tidak ada kabar beritanya atau
ia hilang antara dua pasukan yang bertempur atau bersamaan dengan
tenggelamnya sebuah kapal dan sebagainya, hukum mengenai hal itu
ditunggu sampai 4 tahun. Kalau tidak ada juga kabar beritanya, maka
hartanya dibagikan dan istrinya mulai ber‟iddah sebagai istri yang
meninggal suaminya, yaitu 4 bulan 10 hari.21
Dalam hal ini, apabila seorang suami hilang dalam pertempuran
perang dan lahirnya tidak diketahui oleh orang lain, maka seorang istri
dapat ber‟iddah selama batas waktu yang ditentukan yaitu 4 bulan 10
hari. „Iddah tersebut yakni „iddah sebagai istri yang meninggal suaminya
dan juga hartanya dapat dibagikan kepada ahli warisnya.
3. Pandangan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang
Mafqud
Sebagaimana yang disebut dalam pasal 1 Undang-undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk
keluarga yang bahagia, kekal, berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa atau
dalam bahasa Kompilasi Hukum Islam disebut dengan Mitsaqan Ghalizah
(ikatan yang kuat), namun dalam realitanya seringkali perkawinan tersebut
kandas ditengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena
21
Ibid, h. 212.
46
sebab kematian, perceraian ataupun karena putusan pengadilan berdasarkan
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang yang telah ditetapkan
oleh undang-undang.22
Pasal 38 Undang-undang Perkawinan dinyatakan:
Perkawinan dapat putus karena, a. kematian, b. perceraian dan c.
atas keputusan pengadilan.
Adapun dalam masalah ini putusnya perkawinan dengan keputusan
pengadilan adalah jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk
waktu yang cukup lama. Undang-undang Perkawinan tidak menyebutkan
berapa lama jangka waktu untuk menetapkan hilangnya atau dianggap
meninggalnya seseorang itu.23
Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 point (b)
dinyatakan:
“Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua (2) tahun
berturut-turt tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya.”
Selanjutnya menurut Lili Rasjidi, jika tidak terdengar kabar berikutnya
untuk untuk masa lima tahun atau lebih, yakni dari jangka terakhir terdengar
berita orang itu masih hidup. Atas permohonan pihak yang berkepentingan,
22
Martiman Prodjohamidjojo “Hukum Perkawinan Indonesia” (Jakarta: Indonesia Legal
Central Publishing, 2002) h. 41.
23
Lili Rasjidi “Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia”, h. 291.
47
pengadilan negeri akan memanggil orang yang hilang itu melalui selebaran
umum untuk menghadap dalam jangka waktu tiga bulan. Pengadilan ini akan
diulangi sampai tiga kali jika pengadilan yang pertama dan kedua tidak
mendapat sebutan. Setelah itu barulah pengadilan akan membuat suatu
ketetapan tentang telah dianggapnya meninggal orang itu.24
Mungkin inilah yang dimaksud dengan putusan pengadilan.
Seandainya setelah adanya putusan pengadilan bahwa orang tersebut telah
wafat, lalu ia kembali maka ia tidak memiliki hak kembali terhadap istrinya
tersebut. Jika istrinya telah menikah kembali, maka ia pun boleh menikah lagi.
Menurut Subekti, jika sudah lima tahun terhitung sejak hari
keberangkatan orang yang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa
memberikan kuasa untuk mengurus kepentingan-kepentingannya, dan selama
itu tidak ada kabar yang menunjukan bahwa ia masih hidup atau sudah
meninggal, maka orang yang berkepentingan dapat meminta hakim supaya
dikeluarkan suatu pernyataan yang menerangkan bahwa orang yang
meninggalkan tempatnya itu “dianggap telah meninggal.” Sebelumnya
hakim mengeluarkan suatu pernyataan yang demikian itu, haru dilakukan
dahulu suatu panggilan umum (antara lain dengan memuat panggilan itu
dalam surat-surat kabar) yang diulangi paling sedikit tiga kali lamanya.
Hakim juga akan mendengar saksi-saksi yang dianggap perlu mengetahui
duduk perkaranya mengenai orang yang meninggalkan tempat tinggalnya itu
24
Ibid, h. 292.
48
dan jika dianggapnya perlu dapat menunda pengambilan keputusan hingga
lima tahun lagi dengan mengulangi panggilan umum.
B. Lama Waktu Kepergian Suami
Karena luasnya pembahasan tentang perceraian, maka penulis lebih
memfokuskan pada perceraian yang diakibatkan oleh suami ghoib (mafqud).
1. Pandangan Hukum Positif
Undang-undang Perkawinan Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974
yang berlaku efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975 adalah undang-undang
yang luas sekali ruang lingkupnya. Undang-undang tersebut tidak hanya
mengatur soal perkawinan, tetapi juga masalah perceraian serta akibatnya.25
Dalam undang-undang ini ketentuan perceraian telah diatur dalam,
pasal 38, perkawinan dapat putus karena : a. kematian b. perceraian dan c. atas
keputusan pengadilan.
Pasal 39 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
pertama perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak, kedua untuk melakukan perceraian harus ada cukup
alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai
suami istri, tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan sendiri.
25
Muhammad Daud Ali “Hukum Islam dan Peradilan Agama” (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 2002), Cet. Ke-2, h. 19.
49
Pasal tersebut berkaitan dengan isi pasal 29 tentang perjanjian
perkawinan:
a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak
atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku
juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas,
agama, dan kesusilaan.
c. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.26
Berdasarkan peraturan yang dijelaskan pada pasal 39 ayat 2
menjelaskan tentang alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk
perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin tanpa alasan yang sah atau kaerena hal yang lain di luar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman yang yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkab tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.27
26
K. Wantjik Saleh, “Himpunan Peraturan dan Undang-undang Perkawinan”,(Jakarta: PT.
Ichtiar Baru, 1974) Cet II, h. 95-96.
27
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-undang Hukum Perdata: dengan
Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan”, h. 549.
50
Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) putusnya perkawinan dapat putus
karena: a. kematian b. perceraian, dan atas keputusan pengadilan (pasal 113),
talak dan berdasarkan gugatan cerai (pasal 114), dan dapat terjadi dengan
alasan (pasal 116):
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman lima tahun atau hukuman yang berat
setelah hukuman berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.28
Di dalam buku hukum perkawinan dan perceraian di Malaysia dan
Indonesia disitu dituliskan, Undang-undang perkawinan mengikuti ordonasi
perkawinan Kristen Indonesia dalam hal panjangnya jangka waktu
meninggalkan salah satu pihak tanpa izin sebagai alasan memohon cerai.
Kitab undang-undang hukun perdata menentukan lebih lama, yaitu lima
tahun. Persyaratan yang penting dalam hal meninggalkan salah satu pihak ini
itikadnya yang memang ingin meninggalkannya tanpa suatu alasan yang sah
dan tanpa izin dari orang yang ditinggalkan itu. Kalau kiranya kepergiannya
itu karena hendak berlibur, dinas ke luar kota, urusan dagang, dan lain-lain
demi kepentingan yang berkaitan dengan kelangsungan kehidupan mereka
pada masa yang akan dating, sudah tentu sebab-sebab itu tidak dapat
28
Tim Redaksi Fokusmedia, “Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Kompilasi
Hukum Islam”, h. 38-39.
51
digunakan oleh pihak yang ditinggalkan untuk digunakan sebagai alasan
memohon perceraian.
2. Pandangan Hukum Islam
Secara etimologis kata hukum berasal dari bahasa arab yang berarti
memutuskan atau menetapkan dan menyelesaikan.29
Kata hukum (kata
jamaknya ahkam) yang berarti putusan, ketetapan, perintah, pemerintahan,
kekuasaan, hukuman dan lain-lain. Pengertian hukum yang lebih umum
secara bahasa adalah bila anda memutuskan sesuatu dengan begitu atau
dengan begini baik keputusan tersebut mengikat orang lain atau tidak.30
Hukum Islam itu berdasarkan pada empat sumber yaitu, Al-Qur‟an,
Hadis, Fiqih dan ketetapan undang-undang. Di mana keempat hal tersebut
secara hierarkis menjadi rujukan di dalam setiap jawaban untuk memecahkan
persoalan yang ada pada agama Islam.
Hukum Islam mengakui adanya empat cara yang sah untuk pemutusan
perkawinan, yaitu (1) kematian dari salah satu pihak, (2) talak, termasuk talik
talak dan talak melalui syiqaq, (3) khuluk, termasuk khulu‟ melalui syiqaq dan
(4) fasakh, istri dapat meminta cerai, apabila suaminya ghoib atau tidak
berada ditempat selama beberapa waktu.
Dari empat cara pemutusan perkwinan yang telah disebutkan di atas,
penulis membatasi pembahasan pada putusnya perkawinan apabila suami
29
Basiq Djalil “Pernikahan Lintas Agama” (Jakarta: Qolbun Salim, 2005) Cet. Ke-1, h. 9.
30
Ibid, h. 12.
52
ghoib (mafqud) atau tidak ada ditempat selama beberapa waktu. Mengenai hal
ini dapat kita cantumkan beberapa pendapat ulama fiqih.
Mengenai batas waktu hilangnya suami, Imam Malik mengatakan
setahun. Tapi ada yang mengatakan tiga tahun. Dan Imam Ahmad
berpendapat, bahwa waktu tercepat bagi kebolehan istri minta diceraikan
adalah enam bulan. Setelah enam bulan ini, ia boleh minta dipisahkan, sebab
waktu inilah yang paling lama bagi wanita untuk bisa sabar atas hilangnya
suami.31
Walau terjadi perbedaan pendapat mengenai batas waktu suami
meninggalkan istri, namun hal diatas dengan tegas menyepakati bahwa
dilarang bagi orang suami meninggalkan istri dengan maksud
menelantarkannya. Kesepakatan ini didasarkan dalam menjalani hak dan
kewajiban sebagai suami istri. Mengenai hal ini sebagian ulama berpendapat,
al-Malikiyah berpendapat bahwa bila istri berbahaya lantaran ditinggal pergi
lama oleh suaminya, seperti misalnya ia takut menyeleweng, maka ia harus
mengajukan perkaranya kepada Hakim mengenai perceraiannya. al-Hanafiah
dan al-Syafi‟iyah berpendapat bahwa hilangnya suami itu tidak dianggap
suatu alasan yang benar bagi perempuan dalam memohon perceraian.32
Istri juga mempunyai hak untuk minta diceraikan lantaran kesepian
yang melanda dirinya karena suaminya jauh bukan karena hilang. Kesepian
31
Ibrahim Muhammad al-Jamal “Fiqh Wanita Islam” (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991) Cet.
Pertama, h. 76.
32
Ibid, h. 75.
53
yang melanda dirinya ini setahun lamanya dan ia merasa harus, sementara ia
takut terjerumus dalam apa yang telah diharamkan oleh Allah.
Artinya : “Dari ibnu Abbas, semoga Allah meridhoinya, dia berkata :
Rosulullah pernah berkata: janganlah merusakan orang lain dan
jangan membalasi kerusakan itu dengan kerusakan pula. (H.R.
Ahmad dan Ibn Majah)”33
Pengertian hadis ini yaitu bahwa janganlah orang lain termasuk suami
ataupun mantan istri untuk saling membahayakan atau memadharatkan. Dan
juga janganlah membalas suatu kerusakan dengan kerusakan pula, karena hal
ini tidak akan menjadikan sebuah akhir yang baik dari segala permasalahan
termasuk perceraian. Apabila suami istri menginginkan perceraian, maka
kedua belah pihak janganlah melakukan kerusakan atau balas dendam diantara
mereka, seperti mengungkit atau menggunjing kesalahan pada waktu lalu, dan
janganlah pula membalas hal tersebut dengan perbuatan yang sama.
3. Pandangan Para Ahli
Pasal 29 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
mengatur perjanjian perkawinan pasal ini ada kaitannya dengan pasal 35 ayat
2 mengenai penguasaan atas harta bawaan dari masing-masing sumi istri.
Menurut penjelasan resmi atas pasal 29 tersebut, taklik talak tidak termasuk
33
Jalaludin Abd. Rahman bin Abi Bakar as-Suyuti, “Uqud Zabarjad „ala Musnad al-Imam
Ahmad”,(Beirut: Dar-al Ilmiyah, 1987), h. 105.
54
dalam perjanjian yang dimaksud dengan pasal 29 itu. Hazairin membenarkan
hal ini, dengan alasan bahwa taklik talak di Indonesia itu bukan perjanjian
yang bersifat bilateral, melainkan hanya merupakan pernyataan yang bersifat
unilateral yang mengikat pihak yang mengucapkannya, yaitu suami dan
menjadi sumber hak bagi istri, apabila syarat yang disebut dalam talik talak
itu terpenuhi.34
Senada dengan hal tersebut J. Prins mengatakan dalam kaitan ini kita
harus kembali sekejap pada memori penjelasan atas pasal 29 undang-undang,
berbunyi: yang dimaksud dengan “perjanjian” dalam pasal ini tidak termasuk
taklik talak. Seperti diketahui, dengan istilah ini dimaksud perjanjian tertentu
yang oleh suami diucapkan pada saat berlangsungnya pernikahan. Untuk
mengungkapkannya dengan kata-kata: seorang suami praktis pada setiap
pernikahan mengucapkan suatu rumus yang mengandung isi bahwa
seandainya ia telah meninggalkan istrinya selama beberapa bulan, tanpa
pernah member nafkah kepadanya (atau jika dia melakukan hal-hal yang
sangat tidak menyenagkan terhadap istrinya) dan istrinya menyukai hal itu,
dan mengadu kepada pemerintah (hakim), istri akan ditalak.35
Mengenai taklik talak, lebih lanjut Hazairin mengatakan bahwa taklik
talak telah ditetapkan secara uniform oleh menteri agama untuk seluruh
34
Ismuha “Pencaharian Bersama Suami Istri” (Jakarta; PT. Bulan Bintang, 1986) Cet.
Pertama, h.106.
35
J. Prins “Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia” (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982) Cet.
Pertama, h. 67.
55
Indonesia dalam rangka memberikan pertolongan kepada wanita dalam hal
ditelantarkan oleh suaminya.
Oleh karena itu pemerintah telah menyediakan contoh-contoh (model)
kontrak-kontrak perkawinan, dibagian belakang formulir telah dicetak rumus-
rumus talak yang menurut kebisaaan menetapkan bahwa talak yang menurut
kebisaaan menetapkan bahwa talak satu akan jatuh secara otomatis, apabila;
a. Suami meninggalkan istrinya selama enam bulan berturut-turut, atau;
b. Selama tiga bulan turut tidak member nafkah, atau juga;
c. Memperlakukan istrinya dengan kasar, menukulinya atau;
d. Selama tiga bulan berturut-turut mempermainkannya (misalnya suatu
permainan dengan ancaman talak, untuk sementara tidak member nafkah
dan seterusnya) untuk ini siistri harus mengadukan kelakuan yang tdak
sepantasnya dari suami atau kealpaannya kepada pengadilan.36
Semua merupakan persyaratan yang baku dan istri masih boleh untuk
menambahkan persyaratan lain. Menurut perjanjian itu, bila istri mengetahui
adanya salah satu persyaratan dilanggar oleh suami dan istri tidak rela dan
mengadukan halnya kepada hakim agama, disertai dengan dua orang saksi
yang mengetahui keadaan rumah tangga mereka.
36
Ibid, h. 68.
56
BAB IV
ANALISA PUTUSAN
A. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Mengenai Perceraian.
1. Duduk Perkara
a. Tentang para pihak, Pada kasus ini adalah perkara Nomor:
0965/Pdt.G/2009/PAJS. Penggugat adalah isteri, umur 36 tahun agama
Islam, pekerjaan swasta, tempat tinggal di jalan Karet Belakang RT.014
RW. 007 No. 16 Kelurahan Karet Kuningan Kecamatan Setiabudi Jakarta
Selatan.
Tergugat adalah suami, umur 33 tahun agama Islam, pekerjaan swasta,
tempat kediaman dahulu di komplek Kodam RT.002 RW. 008 Kelurahan
Kebayoran Lama Selatan Kecamatan Kebayoran Lama Jakarta Selatan.
Dan saat ini tidak diketahui alamatnya atau tempat tinggalnya yang pasti
baik didalam maupun di luar Indonesia ghoib (mafqud).
b. Tentang Posita / Duduk Perkara
Bahwa, Penggugat dan Tergugat telah menikah pada tanggal 16 desember
2008, ketentuan hukum Islam dan dan telah dicatat menurut perundang-
undangan yang berlaku, sesuai akta nikah Nomor: 397/37/XII/2008 yang
dikeluarkan oleh kantor Urusan AAgama Kecamatan Polanharjo Klaten,
sebagaimana terbukti dari kutipan Akta Nikah Nomor: 397/37/XII/2008
tanggal 16 desember 2008;
57
Bahwa, sesudah menikah penggugat dan tergugat hidup rukun
dalam membina rumah tangga, dan dari pernikahan tersebut antara
penggugat dan tergugat belum dikaruniai anak (keturunan).
Bahwa kurang lebih sejak akhir bulan desember 2008 ketentraman
rumah tangga mulai goyah setelah tergugat pergi meninggalkan rumah
tanpa sebab, dan kepergian tergugat tersebut juga tidak pamit atau bilang
akan pergi kemana, penggugat menunggu tergugat sehari dua hari dan
seterusnya namun tergugat tidak kunjung dating dan pulang kerumah
sampai dengan sekarang tanpa nafkah lahir batin yang hingga saat ini
tidak ada kabar beritanya dan tidak diketahui keberadaannya ghoib
(mafqud).
Penggugat sudah berupaya mencari kediaman tergugat, namun
hingga saat ini penggugat tidak berhasil menemukan tempat tinggal
tergugat. Dengan keadaan yang demikian, penggugat merasa sudah tidak
mungkin lagi untuk mempertahankan rumah tangga bersama tergugat.
Oleh karena itu penggugat berketetapan hati untuk bercerai dengan
tergugat, dan penggugat berpendirian rumah tangganya dengan tergugat
sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
c. Tentang Petitum / Tuntutan
Pada tuntutannya penggugat menuntut hal-hal berikut:
1) Penggugat memohon kepada Majelis Hakim agar tuntutannya
dikabulkan seluruhnya.
58
2) Penggugat memohon kepada majlis Hakim agar menceraikan tergugat
atas penggugat, menjatuhkan talak satu bain sugro.
3) Penggugat memohon kepada majlis Hakim agar menetapkan biaya
perkara ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
menjatuhkan perkara dengan seadil-seadilnya.
2. Pertimbangan Hukum
Dalam putusan yang dikeluarkan pengadilan agama, Hakim
mengabulkan gugatan yang diajukan oleh penggugat. Dalam hal ini, isteri
selaku korban suami ghoib (mafqud), sedangkan dalam gugatan tersebut
terdapat beberapa alasan yang menyebabkan isteri mengajukan gugatan cerai
ke pengadilan agama yang berwenang, salah satu gugatannya yaitu, suami
ghoib (mafqud) atau menghilang tanpa kabar dan berita tentang
keberadaannya.
Adapun pertimbangan Hakim dalam mengabulkan gugatan penggugat
untuk bercerai kepada suaminya, karena penggugat tetap pada pendiriannya
untuk bercerai. Selain itu masih banyak lagi alasan yang menyebabkan isteri
ingin tetap bercerai, salah satunya adalah karena sang suami telah
meninggalkannya tanpa ada kabar dan berita tentang keberadaannya. Hal ini
sangat berakibat buruk terhadap penggugat, seperti sudah tidak adanya
tanggung jawab terhadap keluarga baik itu dari segi nafkah lahir maupun
nafkah bathin.
59
Pertimbangan hal lainnya yaitu dalil gugatan penggugat dapat
dibuktikan dengan adanya kesaksian dua orang saksi yang menyatakan
jawaban yang sama mengenai dalail gugatan penggugat. Hal ini dianggap oleh
Majelis Hakim, bahwa penggugat dapat membuktikan dalil gugatan yang
beralasan dan tidak melawan hukum. Dengan demikian Majelis Hakim
menilai gugatan penggugat telah memenuhi ketentuan yang dimaksud pasal
19 huruf (f) dan huruf (b) PP Nomor. 9 tahun 1975 Jo pasal 116 huruf (f)
Kompilasi Hukum Islam tentang alasan bercerai. Oleh karenanya gugatan
cerai patut dikabulkan.
Dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang terdapat diatas,
sudah jelas bahwa pihak penggugat tetap pada pendiriannya, yaitu bercerai
dengan tergugat dan Majelis Hakim memutuskan verstek. Pertimbangan
Hakim dalam memutuskan verstek, didasarkan dengan pelanggaran yang
dibuat dari pihak tergugat yang mengabaikan panggilan Majelis Hakim. Hal
tersebut terdapat pada pasal 19 huruf (f), PP Nomor 9 tahun 1975 Jo pasal 116
huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Oleh karena itu, penggugat dapat
dikabulkan atas permohonannya untuk menggugat cerai yaitu jatuh talak satu
ba‟in sugra yang bersifat alternatif dari petitum sebelumnya yang telah di
kabulkan.
60
B. Analisa Putusan
Dalam sub bab ini penulis akan menganalisa kasus menurut perspektif
fiqih masalah perceraian akibat suami ghoib (mafqud) yang ditetapkan oleh
Pengadilan Agama Jakarta selatan, kasus ini di periksa oleh Pengadilan Agama
Jakarta Selatan yang mengambil sumber hukum Undang-undang Perakawinan
Nomor. 1 tahun 1074, PP Nomor. 9 tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam.
Dimana ketiga perundang-undangan inilah yang dipakai pengadilan agama di
seluruh Indonesia.
Dari kasus perceraian yang dikemukakan diatas, posita yang akan
dicermati penulis adalah suami meninggalkan isteri tanpa adanya kabar dan
alasan yang sah serta tidak diketahui lagi dimana keberadaannya.
Menurut putusan yang penulis dapatkan, perceraian yang disebabkan
suami ghoib (mafqud) dapat dijadikan alasan perceraian, padahal seperti yang
telah penulis paparkan dalam bab sebelumnya, jika dilihat dari kacamata fiqih
alasan tersebut diatas belum bisa dijadikan alasan terjadinya perceraian sampai
jelas datangnya kabar tentang hidup dan matinya atau keberadaannya. Lantas apa
yang membuat Hakim membuat putusan demikian.
Pertimbangan Hakim dalam mengambil putusan tersebut diatas adalah
karena rumah tangga penggugat sudah tidak ada keharmonisan karena sudah satu
tahun lebih lamanya tergugat telah pergi meninggalkan penggugat tanpa kabar
dan alasan yang sah serta tidak diketahui lagi dimana keberadaannya. Hakim
mendasarkan putusannya juga pada putusan verstek. Hal ini disebabkan karena
61
salah satu pihak (tergugat) mengabaikan panggilan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Putusan verstek tersebut didasarkan pada pasal 125, 126 H.I.R. yang
menyatakan bahwa:
Pasal 125 H.I.R
“Apabila pihak tergugat tidak hadir atau mengirimkan wakilnya yang sah
dalam persidangan, meski telah dipanggil secara patut maka gugatan itu
diterima dengan putusan tak hadir (verstek), kecuali kalau ternyata bagi
pengadilan negeri bahwa gugatan tersebut tidak beralasan”.
Pasal 126 H.I.R
“Sebelum menyatakan suatu putusan, pengadilan dapat memerintahkan
supaya pihak yang tidak hadir dipanggil sekali lagi supaya hadir pada hari
sidang yang lain. Kepada pihak yang hadir diberitahukan oleh ketua dalam
persidangan; panggilan itu sama dengan panggilan baginya”.
Jika pertimbangan Hakim pengadilan agama Jakarta selatan dalam
pengambilan hukum suami yang ghoib (mafqud) demikian, tidak demikian halnya
dengan para ulama fiqih. Mereka mempunyai pendapat masing-masing dalam
masalah ini yang sudah di bahas di bab sebelumnya.
Dalam masalah ini pengadilan-pengadilan agama di mesir telah melihat
bahwa dalam masalah orang hilang ini, tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kemajuan perhubungan yang dicapai oleh Negara-negara didunia, demikian
halnya Indonesia.
62
Oleh karena itu pasal 7 dan pasal 8 Undang-undang No. 25 tahun 1920
menetapkan bahwa Hakim memberitahukan kepada isteri sesudah dicari dan
lewat masa 4 tahun, supaya ia memulai ber‟iddah sebagai „iddah wanita yang
suaminya meninggal.
Kemudian Mahkamah itu juga membagi orang hilang kepada dua
macam1:
1. Hilang yang lahirnya tidak selamat, ditentukan waktu tungunya selama 4
tahun.
2. Hilang yang menurut lahirnya selamat, dalam hal ini dserahkan kepada
kebijaksanaan Hakim.
Bila dianalisa ternyata masalah dalam perkara perceraian suami ghoib
(mafqud) tersebut, yaitu karena suami telah membuat isteri dan anaknya sengsara
karena tidak adanya nafkah baik itu lahir ataupun bathin, tentunya Hakim sangat
memahami masalah ini. Karena apabila tidak segera ditangani akan menimbulkan
bahaya bagi si isteri. Apabila kalau diambil dari pendapat ulama yang
mengatakan bahwa menceraikan antara orang yang hilang dan isterinya adalah
didasarkan kepada menolak kemelaratan terhadap isteri yang suaminya sudah
hilang dan meninggalkannya berhadapan dengan kepahitan hidup sendirian, dan
apabila isterinya itu masih muda, tentu ia tidak dapat menjaga dirinya dari factor-
faktor fitnah di sekelilingnya. Maka dari itu, seandainya saja suami meningalkan
1 Ismuha. “Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih” (Jakarta: Bulan Bintang) Cet 8,
1996, h. 248.
63
isterinya dengan izin dan alasan serta tempat tinggalnya diketahui, tentunya isteri
juga tidak akan menggugat cerai.
Menurut pengamatan penulis dari putusan diatas, isteri yang menggugat
cerai suaminya karena ghoib (mafqub) bukanlah hanya kepergiannya yang tanpa
alasan dan tidak diketahui keberadaannya saja yang menjadi alasan, namun
kadangkala ada penyebab-penyebab lain yang bersifat negative, seperti sering
terjadinya pertengkaran diantara suami dan isteri, dan sudah tidak adanya nafkah
lahir dan bathin. Penyebab utama bukanlah dikarenakan oleh suami mafqud
(ghoib). Maka dari itu, penulis merasa sudah sepatutnya masalah ini mempunyai
kepastian hukum yang menjelaskan secara eksplisit baik dari Undang-undang
Perkawinan ataupun Kompilasi Hukum Islam.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penulis telah menguraikan pada bab sebelumnya mengenai perceraian
akibat suami ghoib (mafqud) menurut hukum Islam yang didasarkan kepada
putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dari ikatan yang suci dan luhur, kedua belah pihak
harus melaksanakan hak dan kewajibannya, sebagaimana yang telah diatur dalam
ajaran Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Suami mafqud (ghoib) adalah jika lama waktu kepergian suami melebihi
dari batas waktu yang menurut kebiasaan diperkirakan tidak kembali. Bilamana
suami mafqud (ghoib) maka seorang istri dapat mengajukan permohonan
perceraian pada pengadilan yang berwenang dengan tetap memperhatikan
keputusan hakim, sedangkan dalam hukum Islam maka telah jatuh talak isteri
kepada suami.
Adapun pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam
mengabulkan gugatan penggugat untuk bercerai kepada suaminya, karena
penggugat tetap pada pendiriannya untuk bercerai. Selain itu masih banyak lagi
alasan yang menyebabkan isteri ingin tetap bercerai, salah satunya adalah karena
65
sang suami telah meninggalkannya tanpa ada kabar dan berita tentang
keberadaannya (pasal 39 ayat 2 pada huruf b Undang-undang No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan). Hal ini sangat berakibat buruk terhadap penggugat, seperti
sudah tidak adanya tanggung jawab terhadap keluarga baik itu dari segi nafkah
lahir maupun nafkah bathin.
Pertimbangan hal lainnya yaitu dalil gugatan penggugat dapat dibuktikan
dengan adanya kesaksian dua orang saksi yang menyatakan jawaban yang sama
mengenai dalail gugatan penggugat. Hal ini dianggap oleh Majelis Hakim, bahwa
penggugat dapat membuktikan dalil gugatan yang beralasan dan tidak melawan
hukum. Dengan demikian Majelis Hakim menilai gugatan penggugat telah
memenuhi ketentuan yang dimaksud pasal 19 huruf (f) dan huruf (b) PP Nomor. 9
tahun 1975 Jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam tentang alasan
bercerai. Oleh karenanya gugatan cerai patut dikabulkan.
Suami ghoib (mafqud) dapat menjadi salah satu alasan perceraian di
Pengadilan Agama adalah berdasarakan pasal 19 huruf (f) dan huruf (b) PP
Nomor. 9 tahun 1975 Jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam tentang
alasan bercerai.
Hakim mendasarkan putusannya juga pada putusan verstek. Hal ini
disebabkan karena salah satu pihak (tergugat) mengabaikan panggilan Pengadilan
Agama Jakarta Selatan. Putusan verstek tersebut didasarkan pada pasal 125, 126
H.I.R. yang menyatakan bahwa:
66
Pasal 125 H.I.R
“Apabila pihak tergugat tidak hadir atau mengirimkan wakilnya yang sah
dalam persidangan, meski telah dipanggil secara patut maka gugatan itu
diterima dengan putusan tak hadir (verstek), kecuali kalau ternyata bagi
pengadilan negeri bahwa gugatan tersebut tidak beralasan”.
Pasal 126 H.I.R
“Sebelum menyatakan suatu putusan, pengadilan dapat memerintahkan
supaya pihak yang tidak hadir dipanggil sekali lagi supaya hadir pada hari
sidang yang lain. Kepada pihak yang hadir diberitahukan oleh ketua dalam
persidangan; panggilan itu sama dengan panggilan baginya”.
B. Saran-saran
Ada banyak hal yang memotivasi pasangan suami istri untuk melakukan
perceraian dengan alasan-alasan perceraian, hal ini mengakibatkan dampak
negatif bukan hanya pasangan suami istri yang bercerai tersebut melainkan juga
bagi anak mereka. Untuk meminialisir dampak tersebut, penulis menyarankan
sebagai berikut:
1. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat tentang hakiat sebuah perkawinan,
karena pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya
sampai meninggalnya salah seorang suami istri, inilah sebenarnya yang
dikehendaki agama Islam.
67
2. Meskipun dalam perkawinan pria dan wanita mempunyai hak untuk bercerai,
sebaiknya hak tersebut digunakan pada saat-saat yang tepat atau merupakan
opsi terakhir dalam menyelesaikan masalah tersebut agar tidak ada yang
merasa dirugikan.
3. Tentang hak dan kewajiban suami istri sebaiknya diberi pengertian sejak dini,
seperti disekolah aliayah dan pemerintah juga ikut andil dalam member
pengertian kepada masyarakat supaya mengurangi terjadinya perceraian d
Indonesia.
68
DAFTAR PUSTAKA
Al-Amili, Ali Husain Muhammad Makki. “Perceraian Salah Siapa? Bimbingan
Islam Dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga” (Jakarta:
Lentera,2001)
Al-Anshari, Abu Yahya Zakariya. “Fathul Wahab”, (Beirut: Darul Fikri, t.th), Juz II
Al-Halabi, Al-baabi Musthofa. “Mughni Al-Muhtaaj” (Kairo: Maktabah Ar-riyadhi
Al-Haditsah)
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. “Fiqh Wanita Islam” (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1991) Cet. Pertama
Al-Jaziri, Abdurrahman. “Al-Fiqh „ala al-Arba‟ah” (Mesir: al-Maktabah at-
Tijariyyah al-Kubra, t.th), Jilid IV
Al-Zuhaily, Wahbah. “Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Juz 7” (Beirut : Dar-El
Fikr,t,th)
As-Suyuti, Jalaludin Abd. Rahman bin Abi Bakar. “Uqud Zabarjad „ala Musnad al-
Imam Ahmad”,(Beirut: Dar-al Ilmiyah, 1987)
Abbas Sirajuddin, “Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi‟ie”, (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1995) Cet VII
Ahmad, Rofiq. Hukum Islam di Indonesia, cet IV, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000)
Ali, Muhammad Daud. “Hukum Islam dan Peradilan Agama” (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 2002), Cet. Ke-2
Bagian Tahimiyah Pondok Pesantren Sidogiri. “Fikih Kita di Masyarakat Antara
Teori dan Praktek” (Sidogiri: Pustaka Sidogiri, th 1981)
Djalil, Basiq. “Pernikahan Lintas Agama” (Jakarta: Qolbun Salim, 2005) Cet. Ke-1
Djoko, Prakoso, Murtika I Ketut. “Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia”
(Jakarta, Bina Aksara Jakarta, 1987)
69
http:// mlatiffauzi. files. Wordpress.com/2007/09/iddah/pdf. Diakses pada 5 Agustus
2010
http://hukumonline.com.asp?id=1594&c1=fokus diakses pada 7 September 2010
http:// mlatiffauzi. files. Wordpress.com/2007/09/iddah/pdf. Diakses pada 22 Juli
2010
Ismuha. “Pencaharian Bersama Suami Istri” (Jakarta; PT. Bulan Bintang, 1986) Cet.
Pertama
Ismuha. “Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih (Jakarta: Bulan Bintang) Cet
8, 1996
Kamal, Mukhtar. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993)
Komandoko, Gamal. Ensiklopedi Istilah Islam, (Yogyakarta: Cakrwala, 2005), Cet. I
Mughniyyah, Muhammad Jawad. “Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi. Maliki,
Syafi‟ie. Hambali”. Penerjemah Masykur A.B, dkk, (Jakarta: Lentera, 2005),
Cet IV
Munawwir, Ahmad Warson. “al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia,” (t.t.,:t.p.,
t.th.,)
M. Zein, Satria Effendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, cet.
Pertama, (Jakarta: PT. Prenada Persada, 2000)
Nuruddin, Amiur. Azhari Akmal Tarigan. “Hukum Perdata Islam di Indonesia-Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU no. 1/1974 sampai KHI”
(Jakarta: Prenada media, 2004) Cet-1
Prins, J. “Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia” (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982) Cet. Pertama
Prodjohamidjojo, Martiman. “Hukum Perkawinan Indonesia” (Jakarta: Indonesia
Legal Central Publishing, 2002)
Rasyidi, Lili. “Hukum perkawinan dan perceraian di Malaysia dan Indonesia”
(Bandung: Alumni, 1982)
70
Saleh, K. Wantjik. “Himpunan Peraturan dan Undang-undang
Perkawinan”,(Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1974) Cet II
Sjaltout Sjaich Mahmoud, as-Sajis Sjaich M. Ali. “Perbandingan Mazhab dalam
Masalah Fiqih” (Djakarta; Bulan Bintang, 1973) Cet I,
Sayyid, Sabiq. “Fiqih Sunnah”,(Beirut: Darul Fikr, 1983), Cet IV, Jilid II
Subekti, R. dan Tjitrosudibio, R. “Kitab Undang-undang Hukum Perdata: dengan
Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-Undang
Perkawinan”, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2001), Cet 31
Syarifuddin, Amir. “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan” (Jakarta: Prenada Media, 2006)
Thalib, Sayyuti. “Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat
Islam”,(Jakarta: UI Press, 1998) Cet V
Tihami, Sohari. “Fikih Munakat Kajian Fikih Nikah Lengkap” (Jakarta: Rajawali
Press, 2009)
Tim Pustaka Phonix. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: PT. Media
Pustaka, 2009), cet IV
Tim Redaksi Fokusmedia. “Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang
Kompilasi Hukum Islam”, (Bandung: Fokus Media, 2007)
Yunus, Mahmud.“Kamus Arab Indonesia” (Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Pentarjamah/Penafsir Al-Qur‟an, 1973 ) 1998) Cet V
Zurinal, Z dan Aminuddin. “Fiqih Ibadah,” (Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2008), Cet I