Peran Berbagai Sitokin Dalam Rinosinusitis

19
Peran Berbagai Sitokin dalam Rinosinusitis Dalam satu dekade terakhir, berbagai pemahaman baru mengenai proses inflamasi yang diperoleh melalui pengamatan dan penelusuran pola dan peran berbagai sitokin dalam berbagai penyakit sinus, baik akut maupun kronis. Review ini bertujuan memberikan update terbaru dan mendiskusikan berbagai temuan yang diperoleh dari beberapa penelitian in vitro dan in vivo mengenai peran sitokin-sitokin dalam sinusitis dan poliposis nasal. Beberapa sitokin proinflamasi, seperti: interleukin-1β, interleukin-6, dan kemoatraktan neutrofil, seperti: interleukin-8 memainkan peranan penting dalam proses terjadinya sinusitis akut, sebagaimana juga dalam rinitis viral dan alergika. Pada sinusitis kronis, interleukin-3 merupakan jenis sitokin yang paling dominan dan berpengaruh terhadap aktivitas berbagai sel-sel inflamatorik. Interleukin-5 merupakan jenis protein utama yang yang berperan dalam patogenesis terjadinya poliposis nasal. Aktivasi dan persistensi/ketahanan (survival) eosinofil pada berbagai kasus polip nasal diduga diregulasi oleh hadirnya interleukin-5. Investigasi lebih lanjut mengenai pola ekspresi sitokin pada berbagai penyakit inflamasi sinus dapat memberikan dan menuntun klinisi menuju pemahaman

description

Rinosinusitis, sinositis, THT

Transcript of Peran Berbagai Sitokin Dalam Rinosinusitis

Page 1: Peran Berbagai Sitokin Dalam Rinosinusitis

Peran Berbagai Sitokin dalam Rinosinusitis

Dalam satu dekade terakhir, berbagai pemahaman baru mengenai proses inflamasi

yang diperoleh melalui pengamatan dan penelusuran pola dan peran berbagai

sitokin dalam berbagai penyakit sinus, baik akut maupun kronis. Review ini

bertujuan memberikan update terbaru dan mendiskusikan berbagai temuan yang

diperoleh dari beberapa penelitian in vitro dan in vivo mengenai peran sitokin-

sitokin dalam sinusitis dan poliposis nasal. Beberapa sitokin proinflamasi, seperti:

interleukin-1β, interleukin-6, dan kemoatraktan neutrofil, seperti: interleukin-8

memainkan peranan penting dalam proses terjadinya sinusitis akut, sebagaimana

juga dalam rinitis viral dan alergika. Pada sinusitis kronis, interleukin-3

merupakan jenis sitokin yang paling dominan dan berpengaruh terhadap aktivitas

berbagai sel-sel inflamatorik. Interleukin-5 merupakan jenis protein utama yang

yang berperan dalam patogenesis terjadinya poliposis nasal. Aktivasi dan

persistensi/ketahanan (survival) eosinofil pada berbagai kasus polip nasal diduga

diregulasi oleh hadirnya interleukin-5. Investigasi lebih lanjut mengenai pola

ekspresi sitokin pada berbagai penyakit inflamasi sinus dapat memberikan dan

menuntun klinisi menuju pemahaman yang lebih baik terhadap patogenesis

penyakit-penyakit tersebut dan pengembangan modalitas terapeutik baru.

Kata kunci: Sinusitis; Polip nasal; IL-1β; IL-3, IL-5; IL-6; IL-8; Sitokin

PENDAHULUAN

Rinosinusitis merupakan sebuah penyakit yang sering dijumpai yang

umumnya ditandai dengan terjadinya inflamasi mukosa nasal dan sinus

paranasales yang rekuren atau persisten. Ditemukannya gambaran neutrofil yang

mendominasi pada mukosa nasal dan sinus merupakan temuan histologis yang

khas terjadi pada kasus rinosinusitis. Poliposis nasal merupakan sebuah penyakit

multifaktorial dan seringkali dikaitkan dengan atau disebabkan oleh respons

inflamasi yang terjadi pada kasus rinosinusitis. Beberapa literatur terkini

memberikan berbagai bukti yang mendukung peran penting beberapa sitokin

dalam memfasilitasi terjadinya respons inflamasi pada kasus rinosinusitis dan

Page 2: Peran Berbagai Sitokin Dalam Rinosinusitis

poliposis nasal. Meskipun demikian, peran beberapa sitokin tersebut dalam

berkembangnya rinosinusitis dan poliposis nasal belum sepenuhnya dapat

dipahami dengan baik. Lebih lanjut, beberapa hasil dan pernyataan dari beberapa

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dianggap masih kontroversial

dikarenakan masih adanya insufisiensi dalam karakterisasi pasien, kurang

validnya klasifikasi penyakit sinus yang digunakan dan penggunaan berbagai

teknik investigasi yang berbeda (1). Tujuan dari penulis dalam review ini adalah

membahas hasil-hasil dari beberapa penelitian in vivo dan in vitro sebelumnya

mengenai ekspresi berbagai sitokin dalam penyakit sinusitis akut maupun kronis

baik yang disertai maupun tidak disertai dengan poliposis nasal dan

mendiskusikan peran berbagai sitokin pada berbagai kondisi tersebut.

SINUSITIS AKUT

Sinusitis akut dapat didefinisikan sebagai inflamasi pada mukosa sinus

paranasales yang terjadi kurang dari 3 minggu. Terdapat sebuah bukti yang

menyatakan bahwa beberapa sitokin proinflamasi turut memainkan peran penting

dan dominan dalam menginisiasi dan mempertahankan terjadinya inflamasi pada

kasus sinusitis bakterial maupun viral, dimana seringkali ditandai dengan

terjadinya infiltrasi neutrofil pada jaringan sinus (2). Terjadi peningkatan kadar

seluruh sitokin-sitokin proinflamasi, interleukin-1β, interleukin-6 dan interleukin-

8 pada mukosa penderita sinusitis akut dibandingkan dengan mukosa pasien

kontrol, dimana kenaikan interleukin-8 – sebuah kemoatraktan neutrofil - yang

terjadi dipertimbangkan secara statistik signifikan. Tidak dijumpai adanya up-

regulasi dari interleukin-3, interleukin-4, interleukin-13, dan interferon (IFN)-ϒ,

selain itu juga tidak dijumpai keberadaan granulocyte/macrophage colony-

stimulating factor (GM-CSF) dan interleukin-5 pada setiap sampel penelitian

(1,2). Berdasarkan hasil tersebut, berbagai sitokin inflamasi seperti interleukin-1β,

interleukin-6, dan interleukin-8 diduga turut memainkan peranan penting dalam

berkembangnya sinusitis akut. Pada kasus sinusitis akut, peningkatan sintesis

interleukin-8 diduga berhubungan dengan neutrofilia yang terjadi pada jaringan

mukosa. Diduga sekresi dini sitokin-sitokin proinflamasi dapat menginduksi

Page 3: Peran Berbagai Sitokin Dalam Rinosinusitis

terjadinya peningkatan sintesis interleukin-8 (1). Data ini dengan jelas

mengkarakterisasikan sinusitis akut sebagai salah satu reaksi inflamasi non

spesifik yang secara alamiah akan mereda/menghilang dalam beberapa harike

depannya. Meskipun demikian, dengan adanya faktor predisposisi herediter atau

abnormalitas anatomi, kondisi ini dapat berperan sebagai sinyal yang menginisiasi

terjadinya inflamasi kronis atau berperan sebagai pemicu terjadinya gangguan

imunologis kronis pada mukosa.

SINUSITIS KRONIS

Sinusitis kronis didefinisikan sebagai inflamasi yang terjadi pada mukosa

sinus paranasales yang telah berlangsung selama lebih dari 12 minggu. Pada

cairan/sekret sinus pasien yang menderita sinusitis kronis dapat dijumpai berbagai

sel-sel inflamasi, utamanya neutrofil, selain itu juga dijumpai sedikit eosinofil, sel

mast, dan basofil (3). Investigasi-investigasi yang telah dilakukan sejauh ini hanya

memfokuskan pengamatan terhadap neutrofil dalam proses berkembangnya

sinusitis kronis. Interleukin-1β mRNA dapat dideteksi dalam sejumlah sel-sel

polimorfonuklear (PMN) dan limfosit mononuklear ekstraseluler pada mukosa

penderita sinusitis maksilaris kronis, yang juga disertai dengan up-regulasi

molekul adhesi intraseluler (intercellular adhesion molecule-1, ICAM-1) dan

selektin-E pada sel-sel endotel dari mikrovaskuler mukosa (4). Hasil-hasil tersebut

menunjukkan bahwa interleukin-1β yang diproduksi oleh PMN dapat

menginduksi ekspresi ICAM-1 dan selektin-E serta menstimulasi infiltrasi PMN

dalam kasus sinusitis kronis. Meskipun demikian, pada sebuah penelitian lain,

melalui pemeriksaan imunohistokimiawi didapatkan bahwa keberadaan

interleukin-1β, ICAM-1, dan selektin-E hanya dijumpai pada sejumlah kecil

sampel jaringan yang berasal dari pasien dengan sinusitis kronis (5).

Meskipun sitokin-sitokin proinflamasi dijumpai dalam kadaryang rendah

pada kasus sinusitis kronis, interleukin-3 nampaknya menjadi sitokin yang

berperan paling dominan (2). Interleukin-3 , yang diduga diproduksi oleh sel-sel T

teraktivasi (activated T cells), sel mast, dan eosinofil diperkirakan memiliki

Page 4: Peran Berbagai Sitokin Dalam Rinosinusitis

aktivitas yang menyerupai multi-colony-stimulating-factor (CSF) dan dapat

menstimulasi diferensiasi dan aktivasi dari makrofag, sel mast, neutrofil,

eosinofil, dan berbagai sel-sel lain yang terlibat dalam proses inflamasi. Sehingga,

interleukin-3 diduga terlibat dalam pertahanan lokal (local defense) dan

perbaikan mukosa sinus yang mengalami inflamasi kronis melalui menunjang dan

mendukung kehidupan berbagai populasi sel-sel dan menginduksi sekresi

berbagai mediator. Meskipun demikian, secara tidak langsung interleukin-3 juga

berkontribusi dalam menyebabkan terjadinya fibrosis dan penebalan lapisan

mukosa yang dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi kompleks ostiomeatal (2,

6).

Kami menelusuri keberadaan/ekspresi berbagai mRNA dari berbagai

sitokin inflamasi,diantaranya: interleukin-6, interleukin-8, faktor pertumbuhan

tumor β (tumor growth factor-β, TGF-β), interleukin-4, interleukin-5, dan IFN-ϒ

pada mukosa sinus penderita sinusitis kronis menggunakan metode RT-PCR dan

Southern blot. Keberadaan mRNA dari interleukin-6, interleukin-8, TGF-β,

interleukin-4, interleukin-5,dan IFN-ϒ lebih sering ditemukan pada mukosa sinus

penderita sinusitis maksilaris kronis dibandingkan pada mukosa sinus orang

normal (Tabel 1) (7). Kami berkesimpulan bahwa beberapa sitokin turut

bertanggungjawab dalam rekrutmen sel-sel inflamasi dan penebalan mukosa yang

terjadi pada kasus sinusitis kronis dan turut menyebabkan terjadinya kronisitas

penyakit tersebut. Rhyoo dkk (8) mengkonfirmasi hasil penelitian kami melalui

demonstrasi terjadinya up-regulasi ekspresi gen interleukin-8 pada kasus sinusitis

kronis. Peningkatan interleukin-3 secara signifikan dijumpai terjadi pada mukosa

sinus, meskipun, sebuah penelitian lain menduga interleukin-8 memainkan

peranan inti dalam rekrutmen neutrofil (9). Perbedaan definisi kriteria dan teknik

investigasi yang digunakan mungkin turut berpengaru dalam timbulnya

diskrepansi/ketimpangan hasil-hasil ini.

Page 5: Peran Berbagai Sitokin Dalam Rinosinusitis

Interleukin-6 merupakan sebuah sitokin proinflamasi tipe TH2 yang dapat

menstimulasi proliferasi fibroblas dam sintesis kolagen dalam berbagai tahapan

dari respon infalamasi. Ghaffar dkk (11) melakukan pengamatan terhadap mRNA

dari interleukin-6 dan proses imunoreaktivitas yang terjadi pada sel-sel epitelial

dan sub epitelial sinus pasien-pasien yang menderita sinusitis kronis akibat alergi

maupun yang tidak berhubungan dengan alergi melalui hibridisasi in situ dan

pemeriksaan imunohistokimiawi. Meskipun dalam penelitian ini tidak dijumpai

adanya perbedaan ekspresi interleukin-6 diantara kedua kelompok sampel

tersebut. Interleukin-12 merupakan sebuah sitokin tipe TH1 yang diproduksi oleh

makrofag atau monosit yang diduga memiliki peran dalam mensupresi

perkembangan respons alergi sinonasal. Dijumpai terjadinya penurunan ekspresi

mRNA interleukin-12 dan reseptor interleukin-12 pada kasus sinusitis kronis baik

yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan proses alergi

dibandingkan dengan kontrol (12). Hasil ini menunjukkan bahwa interleukin-12

turut memainkan peran dalam supresi respons inflamasi alergi in vivo, yang mana

peran supresif tersebut terjadi diperantarai oleh reseptor interleukin-12.

Page 6: Peran Berbagai Sitokin Dalam Rinosinusitis

Beberapa laporan penelitian terkini menunjukkan terjadinya aktivasi

diferensial jalur-jalur sitokin tertentu pada pasien sinusitis kronis baik yang

berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan proses alergi.Hamilos dkk

(13) berhasil membuktikan bahwasanya interleukin-4 dan interleukin-5

merupakan jenis sitokin yang paling berpengaruh pada subkelompok alergik,

sedangkan IFN-ϒ merupakan sitokin yang paling berpengaruh pada sebkelompok

non alergik. Kotsimbos dkk (14) dan Wright dkk (12) juga berhasil menunjukkan

bahwa up-regulasi ekspresi reseptor αinterleukin-5 sering dihubungkan dengan

berkembangnya sinusitis kronis yang berhubungan dengan alergi, sedangkan up-

regulasi dari ekspresi reseptor αGM-CSF dihubungkan dengan berkembangnya

kasus sinusitis kronis yang tidak berhubungan dengan alergi.

Beberapa penelitian lain juga melaporkan terdapatnya peranan sitokin

dalam regulasi remodelling mukosa pada unit ostiomeatal yang merupakan area

utama ventilasi dan drainase sinus (1). Penelitian lebih lanjut ke depannya

mengenai regulasi proses ini nampaknya akan berperan besar dalam

mengklarifikasi dan menentukan patofisiologi dari kasus sinusitis kronis.

POLIPOSIS NASAL

Meskipun poliposis nasal dipercaya sebagai salah satu penyakit

multifaktorial, patogenesis dari penyakit ini belum banyak diketahui dengan pasti.

Guna memahami berbagai proses yang terjadi dalam penyakit ini, akumulasi

sejumlah besar eosinofil dalam polip nasal harus dijelaskan terlebih dahulu,

dimana terdapat 3 teori yang mungkin dapat menjelaskan kondisi tersebut: 1)

akibat adanya peningkatan infiltasi eosinofil dalam jaringan, 2) akibat masa hidup

yang berkepanjangan (prolonged survival) dari berbagai sel-sel tersebut, dan 3)

nampaknya terjadi akibat adanya kombinasi dari kedua faktor tersebut. Selain itu

juga terdapat pertanyaan lain yang mempertanyakan mengenai mekanisme pasti

dari eosinofil dalam menyebabkan kerusakn jaringan, inflamasi, dan pembentukan

polip (1). Guna menjawab berbagai pertanyaan tersebut, berbagai teknik, meliputi:

hibridisasi in situ, pemeriksaan imunohistokimiawi, pengukuran kadar protein-

Page 7: Peran Berbagai Sitokin Dalam Rinosinusitis

proteinm dan model biofungsional telah diaplikasikan dalam penanganan jaringan

biopsi yang diperoleh dari pasien yang menderita polip. Dalam sub bagian ini,

selain membahas hasil penelitian kami, kami juga melampirkan beberapa literatur

yang relevan. Beberapa penelitianterkini menunjukkan bahwa GM-CSF,

interleukin-3, faktor nekrosis tumor α (tumor necrosizing factor-α, TNF-α),

protein inflamatorik makrofag 1α (macrophage inflammatory protein-1α, MIP-

1α), interleukin-1, dan mRNA TGF-β seringkali dijumpai keberadaannya dalam

polip nasal. Kami berhasil menunjukkan bahwa interleukin-6, interleukin-8, TGF-

β, interleukin-4, interleukin-5, dan mRNA IFN-ϒ lebih sering terekspresikan pada

spesimen yang diperoleh dari pasien yang menderita polip dibandingkan dengan

mukosa sinus orang normal, dimana hampir pada semua spesimen polip dijumpai

rerata densitas rasio dari berbagai sitokin-sitokin yang relatif lebih tinggi

dibandingkan dengan yang dijumpai pada mukosa sinus orang normal, dengan

pengecualian berupa TGF-β (Tabel 1) (15). Liu dkk (16) dan Hamaguchi dkk (17)

melakukan penghitungan kuantitas/kadar interleukin-1β dan interleukin-1α dalam

spesimen polip nasal dan menyatakan signifikansi dari kuantitas kedua sitokin

tersebut dalam patogenesis poliposis. Baru-baru ini, kami juga menemukan bahwa

interleukin-1β selain ditemukan pada jaringan polip nasal, sitokin tersebut juga

diekspresikan pada jaringan sinus normal (15). Temuan ini menimbulkan sebuah

pertanyaan yang menarik terkait peran interleukin-1β dalam menyebabkan

terjadinya poliposis nasal pada mukosa nasal normal. Eosinofil juga diduga

berperan sebagai produsen utama dari TNF-α dan TNF-β1 dalam kasus polip

nasal, karena turut berperan dalam proses yang menyebabkan timbulnya

abnormalitas struktur, seperti: sibrosis stroma dan penebalan membrana basalis

(18). Setidaknya terdapat 3 peran TGF-β yang telah diketahui dalam timbulnya

polip nasal, diantaranya: menginduksi deposisi kolagen, stimulasi terjadinya

proliferasi fibroblas, dan inhibisi proliferasi sel T (19). TNF-α diketahui dapat

meningkatkan terjadinya eosinofil transendotel melalui induksi ICAM-1, VCAM-

1, dan selektin-E (20). TNF-α juga dapat menstimulasi sintesis metabolit-

metabolit oksigen yang dapat mengakibatkan terjadinya toksisitas sel-sel dan

cedera jaringan (21). Ohno dkk (22) menemukan adanya protein berupa GM-CSF

Page 8: Peran Berbagai Sitokin Dalam Rinosinusitis

dalam supernatan dari jaringan polip nasal yang telah dibiakkan (kultur) dan

mRNA GM-CSF dalam spesimen polip dalam penelitiannya. Sebagaimana yang

diduga, pada jaringan polip dijumpai mRNA GM-CSF dalam jumlah yang lebih

besar apabila dibandingkan dengan mukosa sinus dan konka orang normal, dan

juga terdapat hubungan antara jumlah activated EG2+ eosinophil dan mRNA

interleukin-3 dengan jumlah sel-sel yang positif GM-CSF (23).

Baru-baru ini, Hamilos dkk (24) menyatakan sebuah temuan baru

mengenai mekanisme eosinofil dalam perkembangan terjadinya poliposis nasal

baik pada pasien yang memiliki riwayat alergi maupun tidak. Hamilos dkk

menyimpulkan bahwasanya beberapa sitokin tipe TH2, termasuk: GM-CSF,

interleukin-3, interleukin-4, dan interleukin-5 berkontribusi dalam mekanisme

alergi yang diperantarai eosinofilia melalui infiltrasi terhadap sel-sel T, sedangkan

pada mekanisme non alergi turut melibatkan GM-CSF, interleukin-3, dan IFN-ϒ.

Pada penelitian kami, mRNA dari interleukin-4 dan interleukin-5 yang keduanya

dikenal sebagai sitokin tipe TH2 yang berperan penting dalam patogenesis alergi

juga dijumpai pada pasien kasus polip nasal yang tidak memiliki hubungan

dengan riwayat alergi, sebagaimana halnya yang dijumpai pada pasien polip nasal

yang memiliki riwayat alergi. Lebih lanjut, hasil dari penelitian kami yang senada

dengan hasil beberapa penelitian lain (26, 27), menunjukkan bahwa alergi

mungkin bukan merupakan penyebab berkembangnya polip nasal.

Migrasi eosinofil pada kasus poliposis nasal

Beberapa penelitian menunjukkan pentingnya berbagai sitokin dan kemokin

dalam memerantarai terjadinya migrasi sel-sel inflamasi in vitro. Interleukin-1,

interleukin-4, interleukin-5, interleukin-8, RANTES, dan eotaksin telah diketahui

dapat mengirimkan sinyal yang menyebabkan atau menunjang terjadinya influks

selektif eosinofil (1). Sitokin-sitokin inflamasi seperti interleukin-1β dan TNF-α

dapat meningkatkan terjadinya migrasi eosinofil, yang sebenarnya juga tidak

hanya spesifik bagi eosinofil saja. Interleukin-8 diketahui berperan sebagai

kemoatraktan bagi neutrofil, walaupun juga berperan sebagai agen kemotaktik

Page 9: Peran Berbagai Sitokin Dalam Rinosinusitis

dari eosinofil dalam beberapa kondisi tertentu (28). RANTES dapat menginduksi

kemotaksis dan migrasi transendotelial eosinofil, sintesis spesies reaktif oksigen

(reactive oxygen species, ROS), dan pelepasan protein kationik eosinofil

(eosinophil cationoc protein, ECP) in vitro (29). Imunoreaktivitas RANTES juga

dilaporkan terdeteksi pada homogenat sampel polip nasal dan spesimen biopsi,

selain itu protein ini juga memiliki properti kemotaktik bagi eosinofil (30).

Penelitian in vivo kami baru-baru ini menunjukkan bahwa keberadaan interleukin-

5 dan RANTES mengalami peningkatan pada jaringan polip nasal, baik yang

memiliki riwayat alergi maupun non alergi dibandingkan dengan kontrol dan

berhubungan dengan infiltrasi eosinofil yang terjadi (31).Sel-sel epitel nasal

merupakan sumber utama produsen RANTES, dimana pada jaringan ini juga

terlokalisasi sejumlah besar eosinofil. Meskipun dmeikian, Bachert dkk (1)

melaporkan bahwa tidak ditemukan perbedaan kadar protein RANTES dalam

jaringan dengan polip nasal dengan jaringan yang berasal dari pasien kontrol,

dimana temuan ini menimbulkan pertanyaan mengenai pentingnya RANTES

sebagai agen yang berperan dalam perekrutan eosinofil dalam kasus polip nasal.

Selain RANTEs, eotaksin juga diketahui dapat berperan sebagai kemoatraktan

selektif in vitro yang dapat menginduksi terjadinya migrasi eosinofil in vivo (32).

Eotaksin juga diduga berperan dalam menarik eosinofil menuju tempat terjadinya

inflamasi dan juga turut berkontribusi dalam terjadinya kerusakan jaringan

melalui kapasitasnya dalam menginduksi pelepasan ROS.

Jahnsen dkk (33) menunjukkan bahwa induksi selektif dari interleukin-1

berperan dalam rekrutmen eosinofil dalam jaringan polip nasal yang dibiakkan

(kultur). Baru-baru ini diketahui bahwa 80% dari interleukin-4-positive cells

merupakan eosinofil (34). Interleukin-13, interleukin-1, dan TNF-α menunjang

fungsi interleukin-4 dalam menginduksi ekspresi VCAM-1 in vivo dan in vitro.

Hamilos dkk (35) mengkonfirmasi beberapa temuan yang ditemukan pada

penelitian yang dilakukan oleh Jahnsen, dimana keduanya melaporkan terjadinya

up-regulasi VCAM-1 dalam jaringan polip yang berasal dari baik pasien yang

memiliki riwayat alergi maupun tidak. Selain itu kami juga berhasil menunjukkan

Page 10: Peran Berbagai Sitokin Dalam Rinosinusitis

bahwa mRNA interleukin-4 selalu dijumpai pada seluruh spesimen jaringan polip

nasal (15, 25). Meskipun demikian, Bachert dkk (36) melaporkan bahwa protein

interleukin-4 tidak dapat ditemukan/dideteksi dalam jaringan polip nasal.

Eosinophil survival dan peran dari interleukin-5

Sitokin-sitokin seperti: interleukin-3, interleukin-5, GM-CSF, dan IFN-ϒ

diketahu dapat meningkatkan ketahanan (survival) eosinofil melalui inhibisi

kematian sel terprogram (apoptosis) baik secara in vitro maupun in vivo (37).

Bukti terkait inhibisi apoptosis ini diperoleh pada kultur jaringan sampel polip

nasal saat hari ke-8 hingga ke-12, dan pada hari ke-2 hingga ke-3 pada mukosa

kontrol, dan dalam waktu 24 jam pada eosinofil yang dimurnikan dari darah (38).

Dari berbagai temuan tersebut, kami mnyimpulkan bahwa pada kasus polip nasal

terjadi penundaan apoptosis eosinofil dibandingkan yang teramati pada sampel

mukosa nasal maupun sampel eosinofil yang dimurnikan dari darah.Neutralizing

monoclonal antibody (mAb) terhadap interleukin-5 dapat menginduksi apoptosis

eosinofil dan menurunkan terjadinya eosinofilia jaringan. Analisis

imunohistokimiawi menunjukkan bahwa interleukin-5 terlokalisasi pada sel-sel

mast, limfosit, dan eosinofil dalam jaringan polip (39). Eosinofil berperan sebagai

sumber utama produsen interleukin-5 dalam polip nasal pada manusia. Diduga,

eosinofil tersebut membentuk suatu autocrine loop untuk aktivasi dan survival

mereka sendiri dalam jaringan (1). Pada stadium awal poliposis nasal, sel T

merupakan sumber utama produsen interleukin-5, tetapi seiring dengan

bertambahnya usia polip nasal tersebut, eosinofil mulai terlibat dalam proses

sintesis interleukin-5. Selain itu telah dilaporkan bahwa TGF-β dapat menginduksi

terjadinya apoptosis eosinofil (40).

Mekanisme pasti mengenai bagaimana eosinofil dapat menyebabkan

terjadinya kerusakan jaringan dan pembentukan polip masih belum dapat

dipahami sepenuhnya. Berbagai mediator yang disekresikan oleh berbagai sel-sel

inflamasi tersebut terdeposit secara ekstraseluler dalam jaringan polip dan cairan

tubuh. Eosinofil turut berkontribusi dalam menyebabkan terjadinya kerusakan

Page 11: Peran Berbagai Sitokin Dalam Rinosinusitis

jaringan dan inflamasi melalui berbagai mediator yang disekresikan, diantaranya:

protein granula sitotoksik, superoksida, leukotrienm dan sitokin-sitokin (41.

KESIMPULAN

Pada kasus sinusitis akut, berbagai sitokin proinflamasi memainkan

peranan penting dalam memfasilitasi pertahanan mukosa (mucosal defense) dan

membatasi infeksi yang terjadi hanya sebagai rinitis viral saja. Sementara, Pada

kasus sinusitis kronis, interleukin-8, yang berperan sebagai kemoatraktan neutrofil

dan interleukin-3 yang memiliki aktivitas ganda mirip CSF, merupakan sitokin-

sitokin yang terlibat dalam proses yang terjadi pada kasus sinusitis kronis.

Berbagai sitokin tersebut diduga terlibat dalam regulasi pertahanan lokal dan

perbaikan jaringan, walaupun dapat menyebabkan terjadinya penebalan mukosa

dan obstruksi kompleks ostiomeatal. Eosinofilia yang terjadi pada jaringan

sampel, yang merupakan gambaran histologis khas pada sebagian besar kasus

polip nasal diduga terjadi akibat adanya peningkatan migrasi eosinofil,

pemanjangan daya hidup eosinofil, maupun kombinasi diantara keduanya.

Interleukin-5 merupakan sitokin terpenting yang bertanggungjawab atas

terjadinya eosinofilia jaringan pada kasus polip nasal, peningkatan aktivasi dan

ketahanan hidup eosinofil. Lebih lanjut, eosinofil merupakan sumber utama

sintesis interleukin-5 pada stadium akhir penyakit ini, sehingga tercipta suatu

autocrine loop yang berguna bagi kontrol, aktivasi, dan survival mereka.

Penelusuran lebih lanjut mengenai peran dan keterlibatan berbagai sitokin dalam

rinosinusitis dan polip nasal diharapkan dapat memperluas dan memperdalam

pengetahuan dan pemahaman mengenai patofisiologi keduanya dan menyediakan

modalitas terapeutik baru yang bermanfaat.