penyakit Difteri

20
Penyakit Difteri pada Anak Nyimas Amelia Pebrina E3/102012406 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat 11510 Email : [email protected] Pendahuluan Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Skenario yang saya dapatkan adalah seorang anak laki-laki berusia 3 tahun di bawa ibunya ke IGD RS karna sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. Keluhan di dahului batuk-pilek sejak 1 minggu yang lalu. Dua hari anak mengalami demam disertai nyeri menelan. Pasien juga tidak mau makan. Riwayat imunisasi pasien ternyata tidak lengkap. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang diftero. Metode yang digunakan termasuk metode kepustakaan dimana buku-buku tersebut didapat dari 1

description

skenario 10 pbl

Transcript of penyakit Difteri

Penyakit Difteri pada AnakNyimas Amelia PebrinaE3/102012406Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat 11510Email : [email protected]

PendahuluanDifteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Skenario yang saya dapatkan adalah seorang anak laki-laki berusia 3 tahun di bawa ibunya ke IGD RS karna sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. Keluhan di dahului batuk-pilek sejak 1 minggu yang lalu. Dua hari anak mengalami demam disertai nyeri menelan. Pasien juga tidak mau makan. Riwayat imunisasi pasien ternyata tidak lengkap.Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang diftero. Metode yang digunakan termasuk metode kepustakaan dimana buku-buku tersebut didapat dari perpustakaan. Buku-buku tersebut berhubungan dengan saluran pernafasan dan penyakit yang khususnya penyakit difteri.

PembahasanSkenario 10Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun di bawa ibunya ke IGD RS karna sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. Keluhan di dahului batuk-pilek sejak 1 minggu yang lalu. Dua hari anak mengalami demam disertai nyeri menelan. Pasien juga tidak mau makan. Riwayat imunisasi pasien ternyata tidak lengkap. Kesadaran compos mentis, tampak sakit berat, denyut nadi 130x/menit, suhu 40oC, Stridor +, leher membesar teraba keras, tonsil membesar ditutupi selaput putih keabu-abuan menyebar, bila di angkat tonsil berdarah.DifteriDifteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring.1 Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijmpai pada daerah padat penduduk dingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.1 Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksi difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

AnamnesisAnamnesis adalah wawancara antara dokter dengan pasien untuk mendapatkan infomasi tentang penyakit pasien

Menanyakan identitas pasien (nama, alamat, TTL, status sosial, pekerjaan, agama) Menanyakan keluhan utamaSesak nafas, batuk-pilek, mengalami demam disertai nyeri menelan. Pasien juga tidak mau makan. Menanyakan riwayat penyakit sekarangSejak kapan batuk-pileknya?Batuknya terus menerus atau hanya waktu tertentu saja?Sesak nafasnya sejak kapan?Apa ada demam? Demam ringan atau berat?Apa disertai dengan sulit menelan? Menanyakan riwayat terdahulu Menanyakan riwayat kesehatan keluarga Menanyakan riwayat likungan dan kebiasaanLingkungan tempat tinggal bersih atau tidak, kebiasaan makannya bagaimana.

Pemeriksaan Fisika. TTV Nadi : meningkat (nadi 130x/menit), TD : menurun, RR : meningkat (50x/menit), Suhu : 30oC. b. Inspeksi : lidah kotor, anoreksia, ditemukan pseudomembran.Leher membesar, tonsil membesar ditutupi selaput putih keabu-abuan menyebar, bila di angkat tonsil berdarah. Kesadaran compos mentis, tampak sakit berat.c. Auskultasi : nafas cepat dan dangkal, Stridor +d. Palpasi : leher membesar teraba keras

Pemeriksaan penunjang1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab) ditemukan Corynebacterium diphtheriae yang berwarna merah tahan asam, tidak bergerak, dan tidak berspora.22. Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin. Terdapat leukositosis dan trombopenia3. Tes schickUji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria.2 Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna.2 Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).DiagnosisDiagnosis KerjaDifteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang menular, disebabkan oleh Corynebacteri um diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa. Difteri adalah suatu infeksi demam akut, biasanya ditenggorok dan paling sering pada bulan-bulan dingin pada daerah beriklim sedang.3 Dengan adanya imunisasi aktif pada masa anak-anak dini. Difteri adalah suatu infeksi, akut yang mudah menular dan yang sering diserang adalah saluran pernafasam bagian atas dengan tanda khas timbulnya pseudomembran. Diferi adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari corynebacterium diphtheriae (c. diphtheriae). Penyakit ini menyerang bagian atas murosasaluran pernafasan dan kulit yang terluka. Tanda-tanda yang dapat dirasakan ialah sakit letak dan demam secara tiba-tiba disertai tumbuhnya membrane kelabu yang menutupi tansil serta bagian saluran pernafasan. Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tansil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina.

Diagnosis Banding Abses PeritonsilerAbses Peritonsiler adalah penimbunan nanah di daerah sekitar tonsil (amandel). Abses peritonsiler merupakan komplikasi dari tonsilitis.3 Abses peritonsiler bisa menyerang anak-anak yang lebih besar, remaja dan dewasa muda. Tetapi sejak penggunaan antibiotik untuk mengobati tonsilitis, penyakit ini sekarang relatif jarang ditemukan.Penyebabnya biasanya adalah bakteri streptokokus beta hemolitik grup A. Salah satu atau kedua tonsil terinfeksi, terbentuk nanah dan menyebar dari tonsil ke jaringan di sekitarnya. Infeksi bisa menyebar ke langit-langit mulut, leher ataupun dada (termasuk paru-paru). Gejalanya berupa: nyeri tenggorokan pembengkakan kelenjar getah bening leher air liur menetes sakit kepala demam suara serak (kadang-kadang). Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan leher dan tenggorokan, tonsil, langit-langit, tenggorokan, leher dan kulit dada tampak merah dan membengkak. Abses RetrofaringealAbses Retrofaringeal adalah suatu penimbunan nanah di dalam jaringan tenggorokan bagian belakang. Abses biasanya disebabkan oleh infeksi streptokokus yang berasal dari amandel, tenggorokan, sinus, adenoid, hidung atau telinga tengah. Kadang cedera pada tenggorokan bagian belakang akibat tertusuk duri ikan juga bisa menyebabkan abses retrofaringeal.3 Meskipun jarang, abses retrofaringel juga bisa disebabkan oleh tuberkulosis. Abses retrofaringeal biasanya menyerang anak yang berumur kurang dari 5 tahun. Jaringan pada tenggorokan bagian belakang anak-anak memungkinkan terbentuknya rongga berisi nanah (dimana hal ini tidak terjadi pada orang dewasa). Infeksi di daerah ini bisa terjadi selama atau segera setelah infeksi tenggorokan oleh bakteri. Gejalanya berupa: Riwayat nyeri tenggorokan, infeksi hidung atau abses gigi Demam tinggi Nyeri tenggorokan hebat Pembengkakan kelenjar getah bening leher Kesulitan menelan Ngiler Gangguan pernafasan Retraksi interkostal (penarikan otot sela iga ketika penderita berusaha keras untuk bernafas) Stridor (suara pernafasan yang kasar).Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Rontgen atau CT scan leher menunjukkan adanya rongga berisi nanah diantara tenggorokan dan tulang belakang leher. Pemeriksaan darah menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel darah putih. Pembiakan lendir tenggorokan bisa menunjukkan adanya organisme penyebab.

EtiologiPenyebabnya adalah bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Beberapa jenis bakteri ini menghasilkan toksin yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak.4Polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora,mati pada pemanasan 60C selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es,air,susu dan lender yang telah mongering. Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk kolonin dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit.

EpidemiologiTidak seperti difteriroid lain (bakteria korineform), yang berada di mana-mana di alam, C. Diphtheriae adalah penghuni sendiri membrana mukosa dan kulit manusia. Penyebaran melalui udarabersama tetes pernapasan atau kontak langsung dengan sekresi pernapasan individu bergejala atau dari eksudat dari lesi kulit yang terinfeksi. Pengidap carrier pernapasa tidak bergejala penting dalam penularan. Dimana difteri endemik, 3-5% individu sehata dapat mengandung organisme bertoksin, tetapi pengidap jarang jika difteri jarang. Infeksi ulit dan pengidap kulit adalah resevoir diam difteria diam-diam.4 Ketahanan hidup dalam debu dan benda berpori sampai 6 bulan kurang berarti secara epidemiologis. Penularan melalui susu yang terkontaminasi dan pengurus makanan yang terkontaminasi telah terbukti dan di curigai.1. Person (Orang)Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan imunisasi. 1. Place (Tempat)Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

Manifesta KlinisTergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria, virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin) Corynebacterium diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit-penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria.5a) Diphtheria Hidung Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.b) Diphtheria Tonsil-FaringGejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.c) Diphtheria LaringPada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas.d) Diphtheria Kulit, Konjungtiva, TelingaDiphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.PatogenesisCorynebacterium diphteriae masuk kehidung atau mulut dimana basil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital. Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman dengan corynephage menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel, kemudian penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD).5 Sehingga sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan untuk memindahkan asam amino dan RNA dengan memperpanjang rantai polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan dan membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin, perlengketan dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai hitam tergantung jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut apabila diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri. Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas sehingga menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita tampak lemah sehingga terjadi intoleransi aktifitas.PenatalaksanaanMedikamentosaPengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.6Pengobatan spesifik untuk difteri : Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis. Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.

Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah antitoksin yang berasal dari kuda). Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai investigational product. Jika hasilnya negative, DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000 100.000 unit tergantung berat ringan serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat pemberian IM dan IV dilakukan bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat menggantikan pemberian antitoksin. Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 50.000 unit/kg BB untuk anak-anak dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua dosis. Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2 g per hari secara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik maka erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau penicillin V per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari. Pernah ditemukan adanya strain yang resisten terhadap erythromycin namun sangat jarang. Antibiotik golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan chlarithromycin juga efektif untuk strain yang sensitif terhadap erythromycin tetapi tidak sebaik erythromycin.Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia 6 tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari dengan dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari untuk orang dewasa.

Non-medikamentosaPasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam hari). Sebaiknya penunggu pasien juga harus memakai celemek tersebut untuk mencegah penularan ke luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun, lap, atau handuk yang selallu kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran juuga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan.6Risiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia.Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit karena potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang disebabkan adanya pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh basil difteri tersebut. Sumbatan jalan napas, kelainan ini terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea serta adanya pseudomembran. Gejala sumbatan adalah suara serak dan stridor inspiratoir. Bila makin berat terjadi sesak napas, sianosis, tampak retraksi otot, kedengaran stridor:a. Berikan O2b. Baringkan setengah dudukc. Hubungi dokter.d. Pasang infus (bila belum dipasang)

Pencegahana) UmumKebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anak. Pada umumnya setelah menderita penyakit diphtheria kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.6b) Khusus Isolasi PenderitaPenderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae. ImunisasiPencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar. Berikanlah imunisasi pada bayi umur dua bulan sebanyak tiga kali dengan selang satu bulan. Jenis imunisasi ini termasuk dalam Lima Imunisasi Dasar Lengkap. Biasanya imunisasi ini berbarengan dengan imunisasi polio, hepatitis B. Sedangkan imunisasi Difteri tergabung dalam Imunisasi DPT atau Difteri, Pertusis dan Tetanus. Untuk bayi umur sembilan bulan dilengkapi dengan imunisasi Campak (Morbili) . Segeralah imunisasi anak di Posyandu, Puksemas atau pelayanan kesehatan lainnya.

PrognosisBiasanya jelek tergantung dari virulensi kuman, lokasi dan perluasaan membran, kecepatan terapi dan status kekebalan.7

KomplikasiRacun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ lainnya.71) Infeksi tumpangan oleh kuman lainInfeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokokus dan staphilokokus. Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan kuman streptokokus.2) Obstruksi jalan napas akibat membran atau oedem jalan nafasObstruksi ini dapat terjadi akibat membaran atau oedem jalan nafas. Obstruksi jalan nafas dengan sengaja akibatnya, bronkopneumoni dan atelektasis.3) Sistemik MiokarditisSering timbul akibat komplikasi difteri berat tetapi juga dapat terjadi pada bentuk ringan. Komplikasi terhadap jantung pada anak diperkirakan 10-20%. Faktor yang mempengaruhi terhadap niokarditis adalah virulensi kuman. Virulensi makin tinggi komplikasi jantung. Miokarditis dapat terjadi cepat pada minggu pertama atau lambat pada minggu keenam. NeuritisTerjadi 5-10% pada penderita difteri yang biasanya merupakan komplikasi dari difteri berat. Manifestasi klinik ditandai dengan: Timbul setelah masa laten Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominan dari pada sensorik Biasanya sembuh sempurna.4) Susunan sarafKira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik. Paralysis ini dapat berupa: Paralysis palatum molle Manifestasi saraf yang paling seringTimbul pada minggu ketiga dan khas dengan adanya suara dan regurgitasi hidung, tetapi ada yang mengatakan suara ini timbul pada minggu 1-2. Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu. Ocular palsyBiasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralysis dari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur. Otot yang kena ialah m. rectus externus. Paralysis diafragmaDapat terjadi pada minus 5-7. Paralisis ini disebabkan neuritis n. phrenicus dan bila tidak segera diatasi penderita akan meninggal. Paralysis anggota gerak>> Dapat terjadi pada minggu 6-10>> Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, refleks tendon menghilang, cairan cerebrospinal menunjukan peningkatan protein yang mirip dengan sindrom guillian barre.

KesimpulanDifteri sangat rentan pada usia bayi dan anak. Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya bahayanya baik anak dan desa, proses penularannya oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.

Daftar Pustaka1. Cahyono SB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Jakrta: Kasinus; 2010. h. 61-4.2. Johnston DI. Dasar-dasar pediatri. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2008. h. 99-1-03.3. Herawati S. Ilmu penyakit telingan hidung tenggorokan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2005. h. 52-6.4. Arvin BK. Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2006. h. 955-60.5. Scwartz W. Pedoman klinis pediatri. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2005. h. 657-61.6. Banvoet JA. Gangguan laring. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2004. h. 378-85.7. Setiohadi B. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 2189-347.

13