PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas...

126
PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI TELUK JAKARTA SECARA BERKELANJUTAN INDAR PARAWANSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Transcript of PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas...

Page 1: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI TELUK

JAKARTA SECARA BERKELANJUTAN

INDAR PARAWANSA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Page 2: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, Desember 2007

Indar Parawansa 99522008

Page 3: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

ABSTRAK

Indar Parawansa. 2007. Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan. Dibimbing oleh: Hadi S Alikodra, M Sri Saeni, Dedi Soedharma, dan Dudung Darusman.

Hutan mangrove di Teluk Jakarta memerlukan kebijakan pengelolaan yang terpadu guna menjaga fungsi mangrove yang sangat vital bagi ekosistem wilayah pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui kondisi fisik dan kualitas ekosistem hutan mangrove Teluk Jakarta saat ini; mengidentifikasi kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta; dan menyusun kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan partisipatif dengan melibatkan stakeholder kunci dalam perumusan alternatif kebijakan dan strategi implementasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kondisi hutan mangrove di Teluk Jakarta mengalami degradasi berdasarkan hasil pengujian: Hasil uji vegetasi diketahui bahwa luasan hutan mangrove telah mengalami penyusutan dan spesiesnya mengalami pengurangan jenis. Hasil pengujian kualitas air diketahui bahwa parameter BOD, COD, amonia, dan logam berat (kadmiun dan timbal) telah melampaui baku mutu kualitas air. Kondisi fisik lahan mengalami kerusakan akibat alih fungsi lahan menjadi tambak, permukiman, dan industri; (2) Kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta bervariasi berdasarkan kategori stakeholder yakni kesejahteraan masyarakat, kelestarian ekosistem, dan pertumbuhan ekonomi. Kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi ditingkatkan melalui peningkatan pendapatan masyarakat, pendidikan dan kesehatan masyarakat, dan peningkatan investasi, sedangkan kelestarian ekosistem dilakukan melalui rehabilitasi kawasan secara partisipatif; dan (3) prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta secara berkelanjutan berdasarkan aspirasi stakeholder secara berturut-turut adalah pemberdayaan masyarakat, penerapan teknologi, dan pengelolaan terpadu. Ketiga kebijakan ini dilaksanakan secara terpadu dan konsisten dengan berbagai langkah-langkah strategis yang telah disepakati oleh semua stakeholder. Dalam kaitan dengan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta berdasarkan kondisi saat ini dirumuskan empat program utama yaitu rehabilitasi mangrove, penanganan sampah dan limbah, perbaikan kualitas perairan, dan pencegahan abrasi dan sedimentasi. Kata-kata kunci: kebijakan, pengelolaan, mangrove, berkelanjutan, Teluk

Jakarta.

Page 4: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

ABSTRACT

Indar Parawansa. 2007. The Regime Development Policy of Sustainable Mangrove Forest Management in Teluk Jakarta. Supervised by: Hadi S Alikodra, M Sri Saeni, Dedi Soedharma, and Dudung Darusman.

Mangrove forest in Teluk Jakarta needs a comprehensive development policy in order to preserve its important functions for the coastal area ecosystem. The purposes of this research are to: identify the stakeholder need in managing mangrove in Teluk Jakarta; arrange the policy and strategy of sustainable mangrove management. This research uses a participative approach by involving the stakeholder key in formulating the policy alternative and its implementation strategy. The result of this research shows: (1) mangrove condition in Teluk Jakarta is damaged based on analysis result. The result of vegetation analysis shows that mangrove area and the variety of its species is decreasing. The result of water quality analysis show that the parameter of BOD, COD, Ammonia and metal (Cd and Pb) exceeded the water quality standard. The condition of land physic is damaged due to the land function shifting to fish pond, settlement and industry. (2) The felt needs of stakeholders to manage the mangrove are varied due to the condition of their level of welfare, ecosystem sustainability and economic growth. The level of welfare and economic growth can be developed throught income generating activity, education and health program. While the ecosystem sustainability can be enhanced throught participatory rehabilitation program. (3) The priority of mangrove sustainable management based on the stakeholders aspirations are people empowerment, technology application, and integrated management. Based on those priorities, there are four programs to be implemented: rehabilitation, pollution and waste management, water quality improvement, and abrassion and sedimentation prevention. Keywords: policy, management, mangrove, sustainable, Teluk Jakarta.

Page 5: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

Page 6: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH

DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI TELUK JAKARTA SECARA BERKELANJUTAN

Oleh:

Indar Parawansa 99522008

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Page 7: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

Judul Disertasi : Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan

Nama Mahasiswa : Indar Parawansa

Nomor Pokok : 99522008

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS

Ketua

Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni, MS Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Anggota

Plh. Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana

Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Dr. Ir. Etty Riani, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal ujian: 19 September 2007 Tanggal lulus:

Page 8: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Kota Palu, Sulawesi Tengah pada tanggal 26 Juli 1960. Penulis adalah putra pertama dari empat bersaudara keluarga H.D Parawansa.

Pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar Negeri 3 Makassar lulus pada tahun 1972, melanjutkan ke SMP Negeri 6 Makassar dan lulus tahun 1975, selanjutnya masuk ke SMA Negeri I Makassar lulus tahun 1980. Penulis sebagai mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana Jurusan Kependudukan pada Universitas Gajah Mada dan lulus tahun 1995. Pada tahun 1999 penulis masuk Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL),

Pada tahun 1987 – 1999 mengabdi sebagai staf di Bappeda Takalar Sulawesi Selatan, pada tahun 1999 – sekarang menjadi staf pada Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri.

Penulis menikah dengan Khofifah Indar Parawansa dan dikarunia empat putra yaitu Ima, Baso, Aco dan Ali.

Bogor, Desember 2007

Indar Parawansa

Page 9: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Robbul Alamin karena atas berkat dan rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul: Pengembangan Kebijakan Pembangunan Daerah Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta secara Berkelanjutan.

Kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan, Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni, M.S., Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA, dan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman M.Sc. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan petunjuk, saran, arahan dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS, Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS, Selaku ketua program dan PLH Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan serta kepada Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro MSc, selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan izin belajar dan kuliah sehingga selesainya program doktor ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dirjen Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri, Bapak Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, Ditjen Bina Pembangunan Daerah yang memberi sangat perhatian, teman-teman di Subdit Penataan Wilayah Pengembangan Khusus, Sahabat Dr. Suaedi, MSi, Dr. BJ Protondo, MSi, Dr. Royadi, SH, MM, Dr. Syafiudin H Muhammad Saleh, MSi, Dr. Ir. H. Gatot Irianto,DEA dan Keluarga, Sawiyo, Ahied dan Dany juga Dr. Ir. H Hertomo Heroe, MM, BAPPEDA dan Kepala Dinas serta Camat dan Kepala Desa/Lurah dari Muara Angke - Penjaringan Jakarta Utara, Muara Gembong-Bekasi dan Teluk Naga, Tangerang, Banten.

Terimakasih pula pada guruku sekaligus orangtua angkatku Bapak Prof. Dr. Ida Bagoes Mantra, Guruku yang menganggapku seperti anaknya sendiri Ibunda Prof. Dr. Ir. Hj. Farida Nurland, MS, Kakanda Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri.

Penulis secara khusus mengucapkan terima kasih pula kepada ayahanda H. Djalaluddin Parawansa, Ibunda Mien Bakri (almarhumah) serta Pamanda Prof. Dr. H. Paturungi Parawansa dan mama Inna yang telah mendidik saya sejak kecil sampai menjadi sekarang ini, inilah wujud doamu kepada penulis yang dikabulkan Allah Robbull Alamin.

Kepada istri penulis Hj. Khofifah Indar Parawansa, yang turut mendorong dalam pelaksanaan kuliah, penyusunan proposal, penelitian sampai penulisan disertasi. Juga kepada anak-anakku tercinta: Ima, Baso, Aco dan Ali, adik-adikku Sila, Tayang, Ke’nang diucapkan banyak terima kasih telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan disertasi ini.

Kami menyadari bahwa disertasi ini masih kurang sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak untuk penyempurnaannya dan semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2007

Indar Parawansa

Page 10: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

x

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 4 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 6 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 6 1.5 Kerangka Pikir ................................................................................... 7 1.6 Novelty ............................................................................................... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 12

2.1 Hutan Mangrove ................................................................................ 12 2.2 Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan ..................... 23 2.3 Pengelolaan Hutan Mangrove ........................................................... 34 2.4 Pemanfaatan Hutan Mangrove .......................................................... 36 2.5 Kebijakan Publik ............................................................................... 39

III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 44 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 44 3.2 Tahapan Penelitian ............................................................................ 45 3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan ........................................................... 46 3.4 Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 47 3.5 Metode Analisis Data ........................................................................ 48

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................... 55

4.1 Sejarah dan Status Hutan Mangrove Teluk Jakarta ......................... 55 4.2 Kondisi Hutan Mangrove di Teluk Jakarta ........................................ 57 4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ................................................. 70 4.4 Permasalahan Pengelolaan Hutan Mangrove ................................... 73 4.5 Persepsi dan Keinginan Masyarakat ................................................. 79 4.6 Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta ................ 86

V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 111

5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 111 5.2 Saran ................................................................................................. 112

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 113 LAMPIRAN ..................................................................................................... 118

Page 11: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

xi

DAFTAR TABEL Halaman

1 Jenis, kerapatan dan potensi mangrove di Indonesia ........................... 15 2 Jenis data yang dikumpulkan ................................................................ 47 3 Jumlah responden berdasarkan usia .................................................... 47 4 Jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan .............................. 47 5 Jumlah responden berdasarkan pekerjaan ........................................... 48 6 Metode pengukuran kualitas air ............................................................ 51 7 Skala perbandingan berpasangan ......................................................... 53 8 Perubahan luas peruntukan lahan di Muara Angke .............................. 56 9 Perubahan luas hutan mangrove di lokasi penelitian ............................ 58 10 Spesies mangrove yang ditemukan di lokasi penelitian ........................ 66 11 Kualitas air di Teluk Jakarta .................................................................. 66 12 Luas wilayah dan kepadatan penduduk di Teluk Jakarta tahun 2004 ... 70 13 PDRB Jakarta Utara, Bekasi, dan Tangerang tahun 2004 atas dasar

harga konstan tahun 2000 ..................................................................... 73 14 Permasalahan lingkungan hutan mangrove di Teluk Jakarta ................ 74 15 Permasalahan sosial ekonomi hutan mangrove di Teluk Jakarta ......... 75 16 Permasalahan konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan hutan

mangrove di Teluk Jakarta .................................................................... 76 17 Pelaksanaan peraturan dan kinerja pengelolaan mangrove di sekitar

Teluk Jakarta ......................................................................................... 78 18 Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di

Muara Angke ......................................................................................... 80 19 Keinginan stakeholder terhadap pengembangan kawasan hutan

mangrove di Muara Angke .................................................................... 81 20 Keinginan stakeholder terhadap penyelamatan hutan mangrove

Muara Gembong .................................................................................... 82 21 Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di

Muara Gembong .................................................................................... 83 22 Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di

Kecamatan Teluk Naga ......................................................................... 85 23 Keinginan stakeholder terhadap penyelamatan hutan mangrove di

Kecamatan Teluk Naga ............................................................................. 86

Page 12: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

xii

DAFTAR GAMBAR Halaman

1 Kerangka berpikir penelitian .................................................................. 10 2 Peta lokasi penelitian ............................................................................. 44 3 Tahapan penelitian ................................................................................ 45 4 Luas hutan mangrove di Muara Angke .................................................. 61 5 Luas hutan mangrove di Muara Gembong ............................................ 62 6 Luas hutan mangrove di Teluk Naga ..................................................... 63 7 Tingkat kerapatan vegetasi di Teluk Jakarta ......................................... 64 8 Permasalahan dan alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove

di Teluk Jakarta .................................................................................... 90 9 Hasil AHP penentuan kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk

Jakarta ................................................................................................... 92 10 Hasil Analisis AHP ................................................................................. 93

Page 13: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

xiii

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Perubahan susunan jenis tumbuhan mangrove di Teluk Jakarta tahun

1988, 1994, 2000 ................................................................................... 119 2 Peta lahan mangrove di Muara Angke tahun 1997 ............................... 120 3 Peta lahan mangrove di Muara Angke tahun 2002 ............................... 121 4 Peta lahan mangrove di Muara Angke tahun 2006 ............................... 122 5 Peta lahan mangrove di Muara Gembong tahun 1997 .......................... 123 6 Peta lahan mangrove di Muara Gembong tahun 2002 .......................... 124 7 Peta lahan mangrove di Muara Gembong tahun 2006 .......................... 125 8 Peta lahan mangrove di Teluk Naga tahun 1997 .................................. 126 9 Peta lahan mangrove di Teluk Naga tahun 2002 .................................. 127 10 Peta lahan mangrove di Teluk Naga tahun 2006 .................................. 128 11 Peta tutupan lahan bervegetasi di Teluk Jakarta tahun 2001 ................ 129 12 Peta tutupan lahan bervegetasi di Teluk Jakarta tahun 2006 ................ 130 13 Hasil analisis laboratorium contoh air di kecamatan Muara Angke ....... 131 14 Hasil analisis laboratorium contoh air di kecamatan Muara Gembong .. 132 15 Hasil analisis laboratorium contoh air di kecamatan Teluk Naga .......... 134 16 Hasil analisis AHP pengelolaan Teluk Jakarta ...................................... 135 17 Foto kondisi mangrove di lokasi penelitian ........................................... 137

Page 14: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan laut

yang memiliki potensi sumberdaya alam tinggi. Salah satu sumberdaya wilayah

pesisir adalah hutan mangrove. Hutan mangrove memiliki nilai ekologis,

ekonomis dan sosial yang tinggi. Hutan mangrove berfungsi sebagai tempat ikan,

udang, kerang dan jenis biota lainnya untuk memijah dan daerah asuhan bagi

jenis-jenis udang (Fauzi, 1999). Hutan mangrove juga berfungsi menjaga

stabilitas garis pantai, melindungi pantai dan tebing sungai, memfilter dan

meremidiasi limbah, serta untuk menahan banjir dan gelombang.

Secara ekonomis fungsi hutan mangrove merupakan sumber energi,

daerah pengembangan perikanan dan pertanian, penghasil bahan bangunan,

bahan tekstil, dan produk bernilai ekonomi lainnya. Di samping itu hutan

mangrove juga memiliki manfaat sosial seperti tempat berinteraksi sosial dan

jasa-jasa wisata. Dari berbagai manfaat tersebut, nilai manfaat hutan mangrove

secara langsung hanya 3,56% sedangkan nilai manfaat tidak langsung mencapai

96,44% (Suhaeri, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa apabila hanya

memperhatikan manfaat langsung, maka hutan mangrove akan cenderung

dikonversi untuk pemanfaatan lainnya.

Fakta menunjukkan bahwa kerusakan mangrove ada dimana-mana,

bahkan intensitas kerusakan dan luasannya cenderung meningkat secara

siginifikan (Bratasida, 2002; Imanuddin dan Mardiastuti, 2002; Santoso, 2002).

Penyebab kerusakan mangrove sangat beragam menurut ruang dan waktu.

Secara umum kerusakan mangrove diakibatkan oleh tiga faktor yaitu: (1) faktor

internal seperti alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak, permukiman, industri

dan adanya pencemaran limbah, pestisida dan logam berat, (2) faktor eksternal

seperti kerusakan DAS hulu yang menyebabkan tingginya sedimentasi dan

akumulasi zat pencemar, dan (3) faktor lain yang belum diidentifikasi (Waryono

dan Yulianto, 2002; Bratasida, 2002; Kusmana, 2002).

Kegiatan konversi lahan mangrove menjadi tambak, kawasan

permukiman, dan perindustrian telah menyebabkan degradasi hutan mangrove

baik secara fisik maupun habitat. Penurunan luas hutan mangrove di sepanjang

Page 15: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

2

Pantai Utara Jawa berkaitan dengan belum adanya kejelasan tata ruang dan

rencana pengembangan wilayah pesisir, pembuangan limbah industri dan rumah

tangga, dan sedimentasi akibat pengolahan lahan yang kurang baik. Penyebab

yang terbesar adalah konversi kawasan hutan mangrove untuk usaha tambak,

permukiman, dan kawasan industri secara tak terkendali (Dahuri et al., 2001).

Akibatnya kualitas perairan pesisir merosot tajam, karena intrusi dan abrasi air

laut yang tidak dapat dikendalikan. Dampak ekonomisnya terlihat dari

menurunnya persediaan air tawar, hancurnya usaha pertambakan di daerah

pesisir, pencemaran logam berat dan bahan beracun berbahaya serta

menurunnya jenis, jumlah dan kualitas flora dan fauna di ekosistem pesisir.

Hutan mangrove di Teluk Jakarta seluas 9.749 ha. Areal hutan mangrove

di Teluk Jakarta terbentang mulai dari pantai Tangerang hingga Bekasi.

Kawasan ini meliputi tiga wilayah administratif, yaitu Kecamatan Muara Gembong

Kabupaten Bekasi, Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggerang, dan

Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara.

Saat ini hutan mangrove di Teluk Jakarta terus mengalami kerusakan.

Konversi hutan mangrove menjadi tambak telah membawa dampak penurunan

luas hutan mangrove. UNEP dan LPP-Mangrove (2004) menyebutkan bahwa

kondisi hutan mangrove di Teluk Jakarta rusak berat dan sebagian telah berubah

fungsi menjadi permukiman dan budidaya. Apabila konversi hutan mangrove

menjadi tambak tidak dihentikan dan kegiatan eksploitasi hutan mangrove tidak

diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi, maka dikhawatirkan akan mengakibatkan

kerusakan bahkan pemusnahan hutan mangrove yang akan merugikan dan

mengancam kehidupan masyarakat pesisir.

Teluk Jakarta telah tercemar oleh logam berat (khususnya merkuri) dan

pestisida (rata-rata 9 ppb PCB dan 13 ppb DDT yang keduanya melebihi ambang

batas yaitu 0,5 ppb). Keadaan menjadi lebih buruk karena pembuangan minyak

dari kapal dan perahu kecil. Ikan dan invertebrata yang hidup di daerah tercemar

selanjutnya mengancam populasi burung air melalui sistem rantai makanan.

Bahkan dapat membahayakan kesehatan masyarakat bagi mengkonsumsi ikan

yang tercemar.

Permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir Teluk Jakarta semakin

berkembang dan kompleks seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang

tinggi. Terjadi peningkatan pemanfaatan lahan dan sumberdaya hutan mangrove.

Page 16: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

3

Peningkatan pemanfaatan lahan di hutan mangrove akan merusak ekosistem

mangrove.

Rusaknya hutan mangrove di wilayah Teluk Jakarta disebabkan beberapa

hal yakni meningkatnya konversi lahan untuk permukiman, sarana dan prasarana

dan kegiatan lainnya sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk.

Peningkatan pembangunan dan permukiman akan menimbulkan tekanan

terhadap pemanfaatan sumberdaya alam, yang pada kenyataannya belum

memperhitungkan kerugian yang berdampak sosial ekonomi dan ekologis.

Demikian juga dengan pembangunan wilayah pesisir sekitar kawasan hutan

mangrove, pemanfaatan untuk usaha tambak yang dilakukan secara tidak

bijaksana. Hal ini merupakan kekeliruan dalam menilai fungsi hutan mangrove.

Untuk jangka pendek, manfaat ekonomi yang diperoleh dari lahan untuk industri

relatif tinggi dibanding sebagai lahan mangrove. Namun demikian, untuk jangka

panjang, terjadi penurunan nilai lahan industri yang semakin menurun,

sedangkan nilai lahan hutan mangrove relatif stabil untuk jangka panjang.

Dengan demikian, pertimbangan jangka panjang dalam pembangunan akan

menjadi faktor penting dalam pelestarian hutan mangrove.

Tekanan penduduk dan tingginya permintaan lahan untuk permukiman

dan industri menyebabkan kerusakan mangrove tidak dapat dielakkan.

Kepentingan ekonomi dan sosial lebih dominan dibandingkan dengan

kepentingan lingkungan. Upaya pemanfaatan mangrove dengan

mengkombinasikan kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial faktanya masih

merupakan konsep yang belum banyak diimplementasikan (Wartaputra, 1990).

Eksploitasi terhadap sumberdaya alam yang berlebihan akan

menyebabkan masalah lingkungan (Sumarwoto, 2001; Alikodra, 2002).

Munculnya masalah lingkungan secara langsung atau tidak langsung akan

berakibat pada menurunnya kualitas sumberdaya manusia yang pada akhirnya

akan memperlemah upaya pembangunan itu sendiri (Keraf, 2002). Oleh karena

itu, Pemerintah Daerah sebagai penggerak utama pembangunan, diharapkan

mampu melihat secara cermat segala potensi yang ada di wilayahnya serta

merencanakan pemanfaatannya secara berkelanjutan.

Selama ini, yang menjadi pokok perhatian dari pembangunan adalah

peningkatan ekonomi tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kondisi

ekologis dan sosial budaya. Akibatnya terjadi degradasi lingkungan berupa

Page 17: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

4

penurunan kualitas tanah, air, dan udara. Di samping itu, juga menimbulkan

konflik sosial karena kesenjangan pendapatan.

Mengingat pentingnya keberadaan hutan mangrove untuk fungsi

ekologisnya dan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat pesisir, maka perlu

dilakukan upaya pengelolaan untuk menjamin kelestarian hutan mangrove.

Berdasarkan hal tersebut penelitian tentang pengembangan kebijakan

pembangunan daerah dalam penyelamatan hutan mangrove yang sesuai dengan

prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Kebijakan pembangunan wilayah pesisir terpadu telah dicanangkan oleh

pemerintah. Berbagai strategi dan program dirumuskan untuk mencapai

pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan seperti pemberdayaan masyarakat

pesisir, pengelolaan kawasan mangrove secara terpadu, pembentukan daerah

perlindungan laut, rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak hingga bantuan

langsung kepada masyarakat pesisir. Berbagai regulasi dalam pengelolaan

wilayah pesisir termasuk pengelolaan hutan mangrove juga telah dirumuskan.

Namun demikian, laju kerusakan hutan mangrove masih relatif tinggi

Secara umum kawasan mangrove di Teluk Jakarta mengalami degradasi

baik fisik maupun habitat. Secara spesifik kondisi mangrove di Teluk Jakarta

dapat dideskripsikan menurut tiga kawasan, yaitu: Muara Gembong, Muara

Angke, dan Teluk Naga. Hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong

semakin berkurang dikarenakan lahan mangrove diubah menjadi lahan tambak

yang berakibat pada terjadinya abrasi, intrusi air laut menurunkan kualitas air dan

tanah untuk tambak yang ditandai rendahnya produktivitas tambak serta adanya

ketidakteraturan dalam hal penataan permukiman masyarakat yang dibangun di

sepanjang pesisir pantai sederhana.

Kawasan mangrove di Muara Angke sebagian besar dikonversi menjadi

permukiman dan kawasan perniagaan. Populasi mangrove di lokasi ini sudah

sangat menipis. Masalah tersebut diperparah oleh dampak aktivitas pasar ikan

yang membuang limbah tangkapan laut berupa kulit kerang di atas kawasan

mangrove. Pertumbuhan anakan mangrove serta biota perairan di sekitarnya

menjadi terhambat bahkan rusak karena timbunan kulit kerang yang menumpuk

tebal di atas permukaan tanah. Hanyutnya sampah anorganik dari hulu sungai

yang masuk ke muara menambah tingkat pencemaran polusi di sekitar perairan

Page 18: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

5

mangrove. Tingginya kandungan bahan pencemar yang hanyut telah

mempercepat kerusakan mangrove di kawasan Muara Angke.

Kawasan mangrove di Teluk Naga sudah berada pada kondisi yang

memperihatinkan. Kawasan mangrove sudah berubah 70% menjadi lahan

tambak. Tindakan konversi ke lahan tambak telah dilakukan sangat tergesa-gesa

tanpa perencanaan yang matang. Kandungan pirit yang tinggi dan jarangnya

populasi mangrove di sekitar tambak menjadikan produktivitas tambak menjadi

sangat rendah. Persaingan prioritas penggunaan lahan antara tambak dan

kawasan pariwisata menjadikan populasi mangrove semakin tergeser (DLH

Kabupaten Tangerang, 2004).

Berkurangnya ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Teluk Naga

karena usaha tambak yang dikembangkan di wilayah itu seluas 4.740,79 ha

sebagian besar memanfaatkan lahan hutan mangrove di sekitar pesisir yang

mengakibatkan abrasi yang tidak terbendung dan intrusi air laut yang

menghancurkan sebagian besar usaha petani. Kerusakan hutan mangrove di

wilayah pesisir Tangerang ini dikarenakan kurangnya pengawasan dan

kebutuhan masyarakat yang meningkat dalam pemanfaatan kayu dari hutan

(DPK Kabupaten Tangerang, 2003).

Faktor lain yang signifikan mempengaruhi hilangnya hutan mangrove di

Teluk Jakarta adalah pengembangan kawasan untuk kegiatan usaha. Konsepsi

pembangunan Jakarta sebagai water front city akan berdampak pada hilangnya

ekosistem mangrove. Pemda DKI Jakarta melalui Badan Reklamasi Pantai

(BRP) merencanakan reklamasi pantai utara (pantura) seluas 2.700 ha

sepanjang 32 km yang membentang dari Tangerang hingga Bekasi. Pemerintah

Provinsi DKI menargetkan akan membuka daratan baru untuk keperluan industri,

perkantoran, pusat bisnis, sarana transportasi, dan permukiman. Reklamasi

pantai di daerah rawa-rawa sepanjang wilayah pesisir mengakibatkan hilangnya

fungsi pemijahan, sehingga memperbesar aliran permukaan. Reklamasi yang

tidak terkontrol juga akan menghilangkan dan mengubah fungsi ekologis.

Isu lingkungan lain yang berkaitan dengan rusaknya hutan mangrove di

Teluk Jakarta adalah peningkatan muka air laut akibat pemanasan global dan

penurunan permukaan tanah akibat pengambilan air tanah yang berlebihan telah

menyebabkan intrusi air laut ke wilayah daratan semakin tinggi. Hal ini akan

berdampak terhadap kerusakan ekologi dan bangunan fisik di sekitar Teluk

Jakarta.

Page 19: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

6

Karakteristik wilayah pesisir yang dipengaruhi oleh arus air merupakan

faktor yang sulit untuk dikendalikan. Pencemaran air oleh limbah rumah tangga

dan industri yang dilakukan di sekitar Muara Angke akan menyebabkan

kerusakan lingkungan di seluruh wilayah pesisir Teluk Jakarta. Demikian pula

dengan kegiatan industri di Teluk Naga akan berdampak terhadap kualitas

perairan di seluruh wilayah Teluk Jakarta.

Karakterisitik tersebut berbeda dengan dimensi sosial budaya

masyarakat. Kawasan pesisir Muara Gembong dan Teluk Naga dihuni oleh

sebagian besar nelayan, sedangkan masyarakat Muara Angke sangat bervariasi.

Dengan demikian, penyebab kerusakan hutan mangrove di ketiga lokasi ini

berbeda-beda. Hutan mangrove di Muara Gembong dirambah untuk keperluan

tambak dan kebutuhan kayu untuk rumah tangga, di Teluk Naga untuk keperluan

tambak dan industri, sedangkan di Muara Angke untuk keperluan lahan

permukiman dan perniagaan.

Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang perlu dikaji dalam

penelitian ini adalah: (1) kondisi hutan mangrove Teluk Jakarta saat ini, (2)

kebutuhan stakeholder dalam kaitan dengan pengelolaan hutan mangrove, (3)

kebijakan dan strategi yang tepat dalam pengelolaan hutan mangrove Teluk

Jakarta secara berkelanjutan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kondisi fisik dan kualitas ekosistem hutan mangrove Teluk

Jakarta saat ini;

2. Mengidentifikasi kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove

di Teluk Jakarta di masa mendatang;

3. Menyusun kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove di Teluk

Jakarta secara berkelanjutan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Memperoleh data dan informasi tentang kondisi hutan mangrove dan kualitas

eksosistem mangrove di Teluk Jakarta sebagai dasar dalam penyusunan

kebijakan pemanfaatan hutan mangrove di masa mendatang;

Page 20: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

7

2. Sebagai bahan masukan bagi penentu kebijakan dalam proses pelibatan

masyarakat dalam mengembangkan partisipasi masyarakat untuk

pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan;

3. Memberikan sumbangan untuk memperkaya ilmu kajian lingkungan

khususnya pengembangan strategi dalam pemanfaatan hutan mangrove

secara berkelanjutan.

1.5 Kerangka Pikir

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan

yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai

penyedia hara bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam

biota, penahan abrasi, penahan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah,

pencegah intrusi air laut. Hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis

seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan

fungsi sosial sebagai lahan interaksi bagi masyarakat.

Pelaksanaan otonomi daerah mendorong daerah untuk mengambil

kewenangan pengelolaan mangrove melalui eksploitasi yang berlebihan untuk

kepentingan ekonomi sesaat. Konflik kepentingan antara sektor seperti

Departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen

Pekerjaan Umum maupun antar wilayah seperti antara Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta, Jawa Barat dan Banten merupakan faktor lain yang menyebabkan

degradasi kuantitas (kerapatan dan luas) maupun kualitas (komposisi dan

proporsi) mangrove semakin dipercepat.

Ancaman kerusakan bagi mangrove sebagian besar berasal dari aktivitas

manusia yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Secara sederhana

penyebab kerusakan mangrove dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu secara

langsung melalui: alih fungsi, reklamasi, pencemaran, abrasi, dan sedimentasi

dan secara tidak langsung melalui fenomena alam seperti penyakit, hama, dan

meningkatnya muka air laut.

Salah satu indikator hancurnya mangrove akibat alih fungsi mangrove

untuk tambak, industri dan permukiman tanpa mengindahkan kaidah konservasi

lingkungan (Wartaputra, 1990; Kusmana, 2002). Perubahan hutan mangrove

menjadi tambak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan terutama jika

terjadi pembukaan berlebihan yang menyebabkan oksidasi pirit dan intrusi serta

Page 21: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

8

abrasi gelombang laut, sehingga tanah menjadi irreversible, tidak produktif dan

sangat sulit direhabilitasi (Naamin, 2002; Soedharma et al., 1990).

Dalam kasus mangrove di Teluk Jakarta sebagai suatu ekosistem yang

meliputi tiga wilayah administrasi provinsi (DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan

Provinsi Banten), berpotensi menimbulkan konflik pengelolaan dan pemanfaatan

antar wilayah akibat perbedaan cara pandang. Kondisi ini diperburuk dengan

adanya konversi mangrove untuk tujuan ekonomi, sehingga mendorong

kerusakan mangrove semakin parah.

Faktor lain yang mendorong rusaknya hutan mangrove di Teluk Jakarta

adalah rendahnya capacity building yang meliputi sumberdaya manusia, institusi

dan mekanisme aturan. Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya koordinasi di

tingkat perencana, pengambil kebijakan dan pelaksana lapang, sehingga

menyebabkan terjadinya ketimpangan antara apa yang diinginkan (demand side)

dan apa yang dimiliki dari hutan mangrove (supply side) (Alikodra, 2002).

Kerusakan sumberdaya mangrove juga terjadi karena ekstensifikasi yang

berlebihan untuk perluasan wilayah tambak tanpa memperhitungkan kualitasnya,

serta adanya pembabatan habis untuk kebutuhan kayu bakar masyarakat.

Perbedaan persepsi dari cara pandang antara peran mangrove terhadap

lingkungan dan alih fungsi menyebabkan konflik yang tidak mudah dipecahkan,

seperti kasus Teluk Jakarta. Kemampuan tawar sektor ekonomi yang lebih kuat

dibandingkan sektor lingkungan menyebabkan pembabatan mangrove sulit

dikendalikan.

Tingkat kerusakan mangrove yang makin luas menyebabkan multifungsi

mangrove secara spasial dan temporal merosot tajam, sehingga daya dukungnya

terhadap budidaya kawasan pesisir sangat rendah. Kerusakan mangrove ini

perlu dicari solusinya agar dapat dirumuskan kebijakan dan strateginya untuk

menciptakan kelestarian ekosistem mangrove dengan tetap dapat dimanfaatkan

untuk kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

Persepsi masyarakat terhadap mangrove juga merupakan salah satu

yang mendorong kerusakan ekosistem mangrove. Salah satu bentuknya adalah

pengembangan tambak ekstensif yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan.

Supriharyono (2000) menyatakan kerusakan hutan mangrove terutama

disebabkan oleh banyaknya konversi hutan mangrove yang dijadikan tambak.

Sedangkan Budhisantoso (1998) menyebutkan bahwa permasalahan utama

yang dihadapi dalam pengelolaan pengembangan kawasan pesisir, adalah

Page 22: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

9

menyusutnya persediaan sumberdaya, khususnya hutan mangrove, dan

merosotnya mutu lingkungan. Oleh karenanya, pengelolaan kawasan pesisir

tidak terbatas pada pembinaan kelestarian alam, melainkan juga upaya

pemberdayaan penduduk secara perseorangan maupun kolektif. Peningkatan

kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup mutlak diperlukan karena

perusakan terhadap sumberdaya mangrove masih terus terjadi. Dalam

pelaksanaannya diperlukan pendekatan partisipatif, yakni masyarakat lokal

dilibatkan dalam proses pembangunan.

Hambatan dan gangguan dalam pengelolaan hutan mangrove yang

mencerminkan kaidah-kaidah perlindungan ekosistem di Indonesia antara lain

adalah benturan kepentingan pihak yang berkompeten, lemahnya informasi

ekosistem hutan mangrove, kelemahan di aspek pemanfaatan, masalah sosial

ekonomi masyarakat, sistem silvikultur hutan mangrove, dan aspek hukum dan

kelembagaan (Machfuddin dan Nasendi, 1997). Kebijakan mengenai konversi

lahan mangrove secara berlebihan menyebabkan rusaknya kawasan pesisir.

Terjadinya kerusakan wilayah pesisir akibat pembukaan hutan yang berlebihan,

mengakibatkan kualitas dan kelestarian sumberdaya mangrove mengalami

ancaman dari berbagai pemangku kepentingan.

Terdapat tiga kelompok stakeholder kunci dalam pembangunan wilayah

pesisir yakni pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Ketiga kelompok ini

memiliki motif yang berbeda dalam pemanfaatan hutan mangrove. Apabila

kebijakan pemanfaatan hutan mangrove tidak sesuai dengan kesepakatan

ketiganya, maka kerusakan hutan mangrove akan terus berlanjut. Dengan

demikian, kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan hutan mangrove perlu

dipertimbangkan sehingga terjadi sinergi dalam pemanfaatan secara lestari.

Perbedaan kepentingan antara stakeholder terhadap pemanfaatan hutan

mangrove, seperti antara kehutanan, perikanan, pertanian, pertambangan,

transmigrasi, perhubungan, pariwisata dan perindustrian, menimbulkan tekanan

yang beragam terhadap keberadaan hutan mangrove. Selain itu terjadinya

degradasi hutan mangrove juga disebabkan pencurian dan penebangan yang

tidak terkendali dan pemanfaatan yang melebihi daya dukung. Kondisi sosial,

ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove belum

sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan.

Agar permasalahan pengelolaan mangrove dapat direpresentasikan,

maka perlu pemahaman mengenai faktor-faktor penentu keberhasilan

Page 23: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

10

pengelolaan mangrove. Dalam hal ini perlu disusun alat bantu pengambilan

keputusan kebijakan pengelolaan mangrove sesuai kebutuhan stakeholder dan

peraturan perundangan yang ada, sehingga konsep perencanaan dan

pemanfaatan mangrove dapat berkelanjutan. Dalam hal studi kasus Teluk

Jakarta, maka diperlukan pemahaman tentang kondisi ekosistem mangrove yang

ada saat ini di tiga wilayah, evaluasi kebijakan pemanfaatan mangrove di Teluk

Jakarta, dan analisis kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan mangrove di

masa mendatang.

Pemahaman terhadap ketiga hal tersebut merupakan masukan dalam

penyusunan kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove secara

berkelanjutan di Teluk Jakarta. Sistem pengambilan keputusan yang mendukung

upaya ini perlu dirumuskan dengan pendekatan yang komprehensif. Rumusan

hasil keputusan ini merupakan rekomendasi untuk kebijakan pembangunan

wilayah pesisir terpadu. Secara rinci kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat

pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pikir penelitian

Page 24: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

11

1.6 Novelty

Sumbangan pemikiran baru dari penelitian ini ialah memberikan informasi

dan pendekatan baru dalam menyusun kebijakan dan strategi pembangunan

daerah dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta berdasarkan

aspirasi pemangku kepentingan yang disesuaikan dengan kondisi dan potensi

sumberdaya yang ada dan fungsi ekosistem mangrove, sehingga pemanfaatan

hutan mangrove dapat berkelanjutan khususnya di era otonomi daerah.

Page 25: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Mangrove

Hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang dipengaruhi pasang

surut air laut, dengan keadaan tanah yang anaerobik. Walaupun keberadaan

hutan ini tidak tergantung pada iklim, tetapi umumnya hutan mangrove tumbuh

dengan baik di daerah tropik pada daerah-daerah pesisir yang terlindung, seperti

delta dan estuaria.

Lingkup hutan mangrove mempunyai cakupan yang luas, meliputi: (1)

satu atau lebih jenis pohon dan semak atau rumput yang hanya tumbuh di habitat

mangrove, (2) jenis tumbuhan yang hidup berasosiasi dengan satu atau lebih

jenis pohon dan semak atau rumput, tetapi daerah tumbuhnya tidak terbatas di

habitat mangrove, dan (3) biota yang hidup di habitat mangrove, yaitu satwa

darat dan laut, lumut, jamur, alga, bakteri dan lain-lain, baik yang hidupnya

bersifat sementara atau tetap.

2.1.1 Struktur dan komposisi vegetasi

Hutan mangrove yang tumbuh baik di pantai berlumpur yang terlindung

estuaria, maupun di teluk umumnya memiliki batang lurus dan tingginya dapat

mencapai 35-45 m. Di pantai berpasir atau terumbu karang, mangrove tumbuh

kerdil, rendah dan batangnya seringkali bengkok. Daun-daun berbagai jenis

tumbuhan dalam hutan mangrove biasanya mempunyai tekstur yang serupa.

Sistem perakarannya khas dan merupakan suatu cara adaptasi terhadap

keadaan tanah yang anaerobik. Sonneratia dan Avicennia mempunyai akar

horisontal dilengkapi dengan pneumatofora berbentuk pasak yang muncul ke

permukaan tanah, Bruguiera dan Xylocarpus mempunyai akar horisontal dengan

pneumatofora berbentuk kerucut atau penebalan akar di bagian atas, sedangkan

ceriops tidak mempunyai perakaran khusus tetapi akar-akarnya terbuka dan

bagian bawah batangnya berlentisel yang cukup besar.

Komposisi mangrove berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya,

tergantung dari keadaan fisiografis pantai dan dinamika pasang surut, sehingga

di satu tempat terdapat jalur mangrove yang lebih lebar daripada di tempat

lainnya. Di sepanjang pantai yang lurus dan tidak berombak, jalur mangrove

Page 26: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

13

kebanyakan agak sempit yaitu sekitar 25-50 m. Di delta-delta dimana banyak

arus, lumut ditemukan pada kebanyakan pohon mangrove seperti R. apiculata

dan R. mucronata. Lumut yang terdapat di hutang mangrove meliputi 5 jenis

lumut daun dan 21 jenis lumut hati yang sifatnya mirip lumut daun.

Hutan mangrove dijumpai zonasi yang dibentuk oleh keadaan topografi,

frekuensi pasang surut, lamanya penggenangan, komposisi dan stabilitas

sedimen tempat tumbuh dan tipe tanah, salinitas air dan atau tanah, dinamika

penyebaran propagule, dan dinamika proses pemakanan biji mangrove oleh

organisme yang berasosiasi dengan mangrove. Pada keadaan tertentu dapat

dijumpai hanya satu zone. Pembagian zonasi mangrove didasarkan antara lain

pada: frekuensi penggenangan oleh pasang surut air, tingkat salinitas dengan

memperhatikan frekuensi penggenangan air, dan berdasarkan nama genus

pohon yang dominan.

Jenis-jenis pohon mangrove cenderung untuk tumbuh dalam kelompok-

kelompok, zone-zone atau jalur-jalur sejajar pantai. Di pantai yang landai dengan

kemiringan membawa lumpur dan pasir, hutan mangrove merupakan jalur yang

lebih lebar. Ada tiga faktor utama yang menentukan tumbuh dan penyebaran

jenis-jenis mangrove adalah: (1) kondisi dan tipe tanah: keras atau lembek,

berpasir atau berlumpur, (2) salinitas: variasi rata-rata harian maupun tahunan;

frekuensi, kedalaman dan lamanya penggenangan, dan (3) ketahanan jenis-jenis

mangrove terhadap arus dan ombak.

Ketergantungan terhadap jenis tanah ditunjukkan oleh genus Rhizophora.

Sebagai contoh, R. mucronata merupakan ciri umum untuk tanah yang

berlumpur dalam R. apiculata berlumpur dangkal, sedangkan R. stylosa erat

hubungannya dengan pantai yang berpasir atau berkarang yang sudah memiliki

lapisan lumpur atau pasar. Terhadap kadar garam (salinitas), ketergantungan

ditunjukkan apabila hubungan antara muara sungai ataupun danau dengan laut

bebas mendadak terputus, sehingga salinitas menurun karena kurangnya

pengaruh pasang surut, maka jenis Rhizophora spp., akan mati dan

permudaannya diganti oleh jenis yang dapat bertoleransi terhadap salinitas tanah

yang kurang peka terhadap kadar garam, seperti Lumnitzera sp., Xylocarpus

granatum. Meskipun komposisinya berbeda dari satu tempat dengan tempat

lainnya, dapat disebutkan bahwa anggota komunitas tumbuhan mangrove di

Indonesia paling sedikit 47 jenis pohon, 5 jenis semak, 9 jenis herba, 9 jenis

liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.

Page 27: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

14

Disamping tumbuhan tinggi, juga ditemukan berbagai ganggang dan

lumut (lumut daun dan lumut hati). Beberapa dari ganggang telah beradaptasi

untuk kehidupan dalam kondisi air payau dan jenis-jenis ini dapat melimpah

ringan, khususnya pada hutan yang paling dekat dengan laut, didominasi oleh

Avicennia yang seringkali tumbuh berasosiasi dengan Sonneratia jika kondisi

lumpurnya kaya akan bahan organik. Pada zone ini, Avicennia marina umumnya

tumbuh pada lumpur yang kokoh, sedangkan pada lumpur yang lebih lunak

tumbuh A. alba. Di belakang zone-zone ini Bruguiera cylindrica dapat

membentuk tegakan-tegakan hampir murni pada tanah lempung yang kokoh

yang biasanya sewaktu-waktu dicapai air pasang. Lebih ke arah darat B.

cylindrica bercamur dengan R. apiculata, R. mucronata, B. parviflora dan X.

granatum. Zone batas antara hutan mangrove dan hutan pedalaman ditandai

oleh adanya Nypa fruticans, Lumnitzera racemosa, X. Moluccensis, Intsia bijuga,

Ficus retusa, Pandanus sp., Calamus sp., dan Oncosperma tigillaria.

Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa liar seperti

primata, reptil dan burung. Hutan mangrove merupakan salah satu komponen

ekosistem estuaria yang sangat penting bagi kehidupan burung-burung air

termasuk pula burung-burung yang melakukan migrasi. Disamping sebagai

tempat berlindung dan mencari makan, hutan mangrove juga mempunyai peran

yang sangat penting bagi burung-burung air yang tidak melakukan migrasi, yaitu

sebagai tempat berkembang biak (kawin dan bersarang). Kemunduran potensi

(luas, penyebaran dan degradasi) hutan mangrove menyebabkan semakin

terancamnya kelestarian berbagai jenis burung air. Hasil penelitian Alikodra et al.

(1990) di hutan mangrove muara Cimanuk (Jawa Barat) dan di Segara Anakan

(Jawa Tengah) berturut-turut terdapat 23 jenis dan 16 jenis burung wader, 12

jenis diantaranya termasuk jenis burung yang melakukan migrasi. Di pantai

Sulawesi, Whitten (1987) melaporkan adanya 34 jenis burung pantai yang

tergolong dalam burung migrasi.

Jenis primata yang seringkali dijumpai di hutan mangrove di Pulau Jawa

dan Pulau Sumatera adalah kera ekor panjang (Macaca fascicularis), sedangkan

di hutan mangrove di Pulau Kalimantan, selain kera ekor panjang juga terdapat

bekantan (Nasalis larvatus) sebagai primata yang endemik dan langka. Di

beberapa kawasan konservasi, seperti di hutan mangrove Angke Kapuk, Taman

Nasional Baluran dan Taman Nasional Ujung Kulon terdapat Lutung (Presbytis

cristata) merupakan jenis primata yang sering dijumpai. Hutan mangrove dihuni

Page 28: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

15

pula oleh berbagai jenis reptil seperti biawak (Varanus salvator), kadal (Mabouya

fasciata) dan berbagai jenis ular (Boiga dendrophila). Hewan terbesar yang hidup

di rawa-rawa hutan mangrove adalah buaya muara (Crocodilus porosus).

Mengenai potensi kayu, Rambe et al., (1983) melaporkan bahwa

berdasarkan hasil cruising di 6 provinsi (Aceh, Riau, Sulawesi Selatan,

Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Irian Jaya) pada pohon-pohon

berdiameter 10 cm ke atas. Secara detail disajikan data seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis, kerapatan dan potensi mangrove di Indonesia

Jenis Kerapatan (individu/ha) Potensi (m3/ha) Avicennia spp. (6 - 45) 11 . 60 (1 - 17) Sonneratia spp. (2 - 23) 7 . 58 (1 - 12) Rhizophora spp. (37 - 185) 40 . 72 (19 - 90) Bruguiera spp. (7 - 125) 3 . 61 (3 - 29)

Sumber: Sukarjo (1999)

Data Potensi hutan mangrove terbesar yang pernah disurvei (135,5

m3/ha) terdapat di Kalimantan Selatan. Sedangkan kerapatan pohon yang cukup

tinggi terdapat di hutan mangrove di Aceh, Riau, Kalimantan Barat (estuaria

Sungai Kapuas), Kalimantan Timur (estuaria Sungai Sesayap), Jawa Tengah

(Segara Anakan), Bali (Benua), dan Irian Jaya (Teluk Bintuni dan Cendrawasih),

potensi rata-ratanya lebih dari 40 m3/ha (Sukarjo, 1999).

2.1.2 Ekosistem hutan mangrove Hutan mangrove merupakan hutan yang dipengaruhi pasang-surut air laut

(Chapman, 1977). Tipe hutan ini disamping mempunyai fungsi ekonomis melalui

hasil berupa kayu dan hasil hutan ikutannya juga mempunyai fungsi ekologis

yang sangat penting sebagai interface antara ekosistem daratan dengan

ekosistem lautan. Dengan demikian di dalam ekosistem mangrove paling sedikit

terdapat lima unsur ekosistem yang saling kait-mengkait yaitu flora, fauna,

perairan, daratan dan manusia (penduduk lokal) yang hidup bergantung pada

ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan tipe ekosistem yang unik, karena di

dalam ekosistem mangrove terdapat dua tipe karakteristik ekosistem yaitu

karakteristik ekosistem lautan dan daratan. Kondisi semacam ini mengakibatkan

jenis-jenis biota yang hidup di habitat mangrove terdiri atas biota darat dan biota

Page 29: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

16

laut. Penelitian membuktikan bahwa biota yang mendominasi ekosistem

mangrove adalah biota laut. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian-

penelitian mengenai biota di habitat mangrove masih sangat terbatas dan jauh

tertinggal dibandingkan dengan penelitian-penelitian mengenai vegetasi

mangrove. Oleh karena itu, informasi mengenai biota mangrove yang disajikan

belum mencerminkan kekayaan biota di ekosistem mangrove yang

sesungguhnya. Walaupun demikian informasi mengenai biota mangrove

seyogyanya dapat digunakan sebagai salah satu parameter yang harus

dipertimbangkan di dalam program pengelolaan hutan mangrove secara

berkesinambungan.

Ekosistem mangrove menyediakan lima tipe habitat bagi fauna, yakni: (1)

Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan serangga, (2)

Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara batang dan

cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik untuk serangga

(terutama nyamuk), (3) Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan

keong/kerang, (4) Lobang permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagai

habitat kepiting dan katak, dan (5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan

ikan/udang (Chapman, 1977).

Peranan penting dan ekosistem mangrove dalam menunjang kehidupan

biota laut sudah diyakini secara luas. Tetapi, sebenarnya habitat utama dan

ekosistem mengrove yang penting dan langsung menunjang kehidupan biota laut

adalah saluran-saluran air yang merupakan bagian integral dan ekosistem

mangrove tersebut. Dalam hal ini nampaknya vegetasi mangrove lebih berperan

sebagai penyedia nutrisi melalui serasahnya bagi produktivitas primer saluran-

saluran air tersebut.

Kartodiharjo (2000) dalam Hamilton dan Snedaker (1984), melaporkan

bahwa kelimpahan individu dan keragaman jenis biota laut tertinggi berada pada

estuaria dengan kedalaman 0,3 sampai 1,5 m. Kondisi estuaria dengan

kedalaman tersebut cenderung akan semakin banyak dijumpai di lokasi-lokasi

ekosistem mangrove yang berjarak semakin jauh dari pantai.

Di Indonesia saat ini terinventarisir sekitar 157 jenis tumbuhan mangrove

baik yang khas maupun tidak khas habitat mangrove. Jenis-jenis tumbuhan

mangrove tersebut terdiri atas 52 jenis pohon, 21 jenis semak, 13 jenis liana

(tumbuhan pemanjat), 6 jenis palma, 1 jenis pandan, 14 jenis rumput, 8 jenis

herba, 3 jenis parasit, 36 jenis epifit dan 3 jenis tema pada lampiran 2.1.

Page 30: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

17

Sedangkan penyebaran jenis-jenis pohon mangrove di pulau-pulau utama di

Indonesia dapat dilihat pada lampiran 1. Berdasarkan data pada lampiran 1

tersebut jumlah jenis pohon mangrove di pulau-pulau utama tersebut adalah 27

jenis di Jawa dan Bali, 30 jenis di Sumatera, 11 jenis di Kalimantan, 20 jenis di

Sulawesi, 28 jenis di Maluku, dan 21 jenis di Irian Jaya (Sukarjo, 1999).

Berdasarkan jenis-jenis pohon yang dominan, komunitas mangrove di

Indonesia dapat berupa konsosiasi atau asosiasi (tegakan campuran). Ada

sekitar lima konsosiasi yang ditemukan di hutan mangrove di Indonesia, yaitu

konsosiasi Avicennia, konsosiasi Rhizophora, konsosiasi Sonneratia, konsosiasi

Bruguiera, dan konsosiasi Nypa. Dalam hal asosiasi di hutan mangrove di

Indonesia, asosiasi antara Bruguiera spp. dengan Rhizophora spp. sering

ditemukan terutama di zone terdalam. Segi keanekaragaman jenis, zone transisi

(peralihan antara hutan mangrove dengan hutan rawa) merupakan zone dengan

jenis yang beragam yang terdiri atas jenis-jenis mangrove yang khas dan tidak

khas habitat mangrove.

Secara umum, sesuai dengan kondisi habitat lokal, tipe komunitas

(berdasarkan jenis pohon dominan) mangrove di Indonesia berbeda dan suatu

tempat ke tempat lain dengan variasi ketebalan dan beberapa puluh meter

sampai beberapa kilometer dan garis pantai. Berdasarkan data jenis-jenis

tumbuhan mangrove yang sudah dilaporkan saat ini oleh beberapa peneliti di

berbagai daerah di pulau-pulau utama di Indonesia, secara umum dapat

dikatakan bahwa hasil-hasil penelitian tersebut cukup mewakili keanekaragaman

jenis mangrove di Indonesia. Walaupun demikian, eksplorasi jenis tumbuhan

mangrove di berbagai daerah seyogyanya harus terus dilakukan untuk

mendapatkan data jenis tumbuhan mangrove selengkap-lengkapnya.

Penelitian mengenai fauna hutan mangrove di Indonesia masih terbatas

baik di bidang kajiannya maupun lokasinya. Sampai saat ini, beberapa hasil

penelitian yang telah dipublikasikan mengenai fauna yang berasosiasi khusus

dengan hutan bakau mengambil lokasi di Pulau Jawa (Teluk Jakarta, Tanjung

Karawang, Segara Anakan, Delta Cimanuk, Pulau Burung, Pulau Rambut),

Sulawesi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah), Ambon, Sumatera (Lampung,

Sumatera Selatan), dan Kalimantan.

Secara umum, fauna hutan mangrove terdiri atas fauna terestris dan

fauna laut (Macnae, 1968) - Fauna terestris, misalnya kera ekor panjang

(Macaca spp), biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain.

Page 31: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

18

Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan

Mollusca umumnya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan

Crustaceae didominasi oleh Brachyura. Para peneliti melaporkan bahwa fauna

laut tersebut merupakan komponen utama fauna hutan mangrove.

Alikodra et al. (1990) melaporkan adanya 45 jenis ikan dan 37 jenis famili

di Segara Anakan Cilacap dengan jenis-jenis ikan dominan seperti belanak

(Mugil sp.), boyor (Sillago sp.), tombol (Johnius sp.), susur-wedi (Trachiphalus

sp.), lidah (Cynoglossus sp.), lea (Setipine sp.), dan petek (Leiognathus sp.)

Soerianegara et al.,. (1985) melaporkan adanya sekitar 41 jenis ikan dari 26

famili, 4 jenis udang dari 3 famili, dan 3 jenis kerang di Muara Sungai Saleh,

Sumatera Selatan.

Alikodra (1999) melaporkan adanya sekitar 30 jenis burung di hutan

mangrove Segara Anakan - Jawa Tengah dan 28 jenis burung di hutan

mangrove Muara Cimanuk - Jawa Barat. Selain itu, di hutan mangrove juga

ditemukan jenis kera ekor panjang (Macaca sp.) seperti di Riau, bekantan

(Nasalis larvatus) yang endemik di hutan mangrove di Kalimantan

(Soemodihardjo et al., 1993), mamalia, reptilia dan lain-lain.

Fauna yang berada di ekosistem mangrove terdiri atas fauna daratan dan

fauna laut (Macnae, 1968) bahwa umumnya fauna darat hanya menggunakan

ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makan dan perlindungan. Di

Indonesia dikenal hanya satu jenis fauna darat yang seluruh siklus hidupnya

bergantung pada habitat mangrove, yaitu bekantan (Nasalis larvatus) yang

penyebarannya terbatas di Kalimantan.

Beberapa jenis burung yang berasosiasi dengan mangrove adalah

Phalacrocorax carbo, P. melanogaster, P. niger, Anhinga anhinga, Egretta spp.,

dan Halcyon chioris. Jenis-jenis fauna ampibi yang sering ditemukan di

mangrove adalah Rana cancrivora dan R. limnocharis. Jenis-jenis reptilia yang

sering dijumpai adalah Crocodilus porosus, Varanus salvator, Trimeresurus

wagleri, T. purpureomaculatus, Boiga dendrophila, Fordonia leucobalia, Bitia

hydroides, dan Cerberus rhynchops.

Beberapa jenis mamalia yang dijumpai di mangrove adalah Nasalis

larvatus, Presbytis cristatus, Cercopithecus mitis, Macaca irus, Sus scrofa,

Tragulus sp., Pteropsus spp., Fells viverrima, dan Herpestes spp. Banyak jenis

serangga yang menghuni habitat mangrove, yang umumnya didominasi oleh

Page 32: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

19

nyamuk. Jenis serangga lain adalah semut (Aedes pembaensis, Anopheles spp.,

Culicoides spp.).

Fauna laut merupakan elemen utama dan fauna ekosistem mangrove.

Fauna laut di mengrove terdiri atas dua komponen, yaitu infauna yang hidup di

lobang-lobang di dalam tanah, dan epifauna yang bersifat mengembara di

permukaan tanah. Fauna umumnya didominasi oleh Crustacece. Selain itu,

komunitas infauna mangrove terdiri atas beberapa jenis Bivalvia dan satu genus

ikan. Sedangkan komunitas epifauna mangrove didominasi moluska (dalam hal

ini Gastropoda) dan beberapa jenis kepiting.

Fauna laut di ekosistem mangrove memperlihatkan dua pola penyebaran,

yaitu fauna yang menyebar secara vertikal dan fauna yang menyebar secara

horizontal. Fauna yang menyebar secara vertikal (hidup di batang, cabang dan

ranting, dan daun pohon) yakni berbagai jenis Moluska, terutama keong-

keongan, seperti Littorina scrabra, L. melanostona, L. undulata, Cerithidea spp.,

Nerita birmanica, Chthalmus withersii, Murex adustus, Balanus amphitrite,

Crassostraea cucullata, Nannosesarma minuta, dan Clibanarius longitarsus.

Fauna yang menyebar secara horizontal (hidup di atas atau di dalam

substratum) yang menempati berbagai tipe habitat sebagai berikut: (a) mintakan

pedalaman (Birgus latro, Cardisoma carnifex, Thalassina anomala, Sesarma spp,

Uca lactea, U. bellator), (b) hutan Bruguiera dan Semak Ceriop (Sarmatium spp.,

Helice spp., Ilyograpsus spp., Sesarma spp., Metopograpsus frontalis, M.

thukuhar, M. messor, Cleistostoma spp., Tylodiplax spp., Ilyoplax spp.,

Thalassina anomala, Macrophthalmus depressus, Paracleistostoma depressum,

Utica spp., Telescopium telescopium, Uca spp., Cerithidea spp.), (c) hutan

Rhizophora (Metopograpsus latifrons, Alpheid prawa, Macrophthalmus

spp.,Telescopium telescopium), dan (d) mintakat pinggir pantai dan saluran

(Scartelaos viridis, Macrophthalmus Iatreillei, Boleophthalmus boddaerti, Uca

dussumieri, Periophthalmus chrysospilos, Tachypleus gigas, Cerberus

rhynchops, Syncera brevicula, Telescopium telescopium, Epixanthus dentatus,

Eurycarcinus integrifrons, Heteropanope eucratoides).

2.1.3 Peranan mangrove bagi biota laut Gambaran umum peranan suatu habitat mangrove bagi biota laut dapat

dilihat dari suatu model jaringan pangan (food web). Pada dasarnya sumbangsih

mangrove terhadap kehidupan biota laut adalah melalui guguran serasah

Page 33: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

20

vegetasi (termasuk kotoran/sisa tubuh fauna yang mati) ke lantai hutan. Serasah

ini akan terdekomposisi oleh cendawan dan bakteri menjadi detritus, yang mana

detritus tersebut merupakan makanan utama bagi konsumer primer. Selanjutnya

konsumen primer ini akan menunjang kehidupan biota tingkat konsumer

sekunder dengan top-konsumer di suatu habitat mengrove.

Produktivitas primer habitat mangrove akan diperkaya oleh komunitas

alga di lumpur di lumpur dan akar, komunitas lamun, komunitas fitoplankton dan

laut, dan limbah organik terlarut (dissolved-organic compound) dari laut dan

daratan. Kesemua fenomena ini akan mempertinggi produktivitas primer habitat

mangrove.

Tingginya produktivitas primer hutan mangrove salah satunya dapat

dilihat dan produktivitas serasah hutan tersebut yang umumnya beberapa kali

lipat produktivitas serasah tipe hutan daratan, yakni sekitar 5,7 sampai 25,7

ton/ha per tahun (Kusmana, 1993). Kondisi habitat mangrove seperti ini

mengakibatkan ekosistem mangrove berperan sebagai feeding, spawning dan

nursery ground bagi berbagai jenis biota laut (khususnya ikan dan udang) untuk

menghabiskan sebagian bahkan seluruh siklus hidupnya.

Kusmana (2000), menyatakan bahwa seperti sudah diketahui secara

umum bahwa ekosistem mangrove merupakan interface antara ekosistem

daratan dengan ekosistem laut. Oleh karena itu, habitat-habitat lain yang

berinteraksi dengan habitat mangrove berasal dan ekosistem daratan dan lautan.

Hutan mangrove akan berkembang baik di muara-muara sungai, karena

di muara tersebut arus airnya cukup tenang yang mengakibatkan sedimentasi

sering terjadi. Proses sedimentasi ini memberikan, peluang pada jenis-jenis

pohon mangrove pionir untuk menginvasi lahan tersebut, misal jenis api-api

(Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.). Apabila sedimentasi ini tidak

terkendali, maka akan terjadi pergantian komunitas mangrove dengan jenis-jenis

pohon yang bertoleransi terhadap salinitas yang kecil (Bruguiera spp.,

Xylocarpus sp.) yang selanjutnya secara bertahap akan terjadi pergantian tipe

hutan dari hutan mangrove menjadi hutan daratan.

Dalam kaitannya dengan lingkungan perairan payau sebagai bagian

integral dan ekosistem hutan mangrove, air sungai yang banyak mengandung

lumpur (penetrasi cahaya ke dalam air berkurang) akan mengakibatkan

produktivitas primer perairan tersebut berkurang. Sejalan dengan proses

sedimentasi yang terus-menerus terjadi yang mengakibatkan terjadinya

Page 34: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

21

pergantian secara bertahap dari tipe hutan mangrove ke hutan daratan, maka

lingkungan perairan payau beserta biota lautnya secara bertahap akan lenyap.

Estuaria merupakan suatu habitat akuatik yang tinggi produktivitas

primernya. Tipe habitat ini umumnya berasosiasi dengan habitat mangrove.

Nampaknya tipe habitat estuaria ini memberikan kondisi tempat hidup yang baik

untuk banyak jenis pohon mangrove dan biota laut yang berasosiasi dengan

habitat mangrove. Seagrass menunjang produktivitas mangrove melalui dua

cara, yaitu: (1) memperkecil arus air laut dan daya dorong ombak, dan (2)

menambah serasah sebagai input energi ke habitat mangrove. Fenomena

semacam ini akan mempertinggi produktivitas primer habitat mangrove.

Hutan mangrove yang lebat umumnya dijumpai di pantai-pantai yang

terlindung dari hempasan ombak yang kuat. Dalam hal ini, secara fisik terumbu

karang akan menahan hempasan ombak sehingga perairan di belakang karang

tersebut akan berarus tenang yang mana kondisi seperti ini akan memberikan

peluang yang baik untuk tumbuhnya pohon-pohon mangrove dan biota laut yang

berasosiasi dengan habitat mangrove tersebut. Secara simultan keterkaitan

antara ekosistem mangrove dengan tipe ekosistem lainnya akan menyebabkan

terbentuknya tiga macam tipe ekosistem yang saling berinteraksi dengan habitat

mangrove yaitu benthic ecosystem, pelagic ecosystem, dan supratidal

ecosystem.

Manfaat mangrove dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya aspek

ekologis, aspek ekonomis dan pemenuhan sebagai pangan. Manfaat ekologis

mangrove adalah: (a) sebagai bahan organik dan hara bagi ekosistem akuatik

yang bersangkutan, (b) sebagai daerah pembiakan bagi berbagai binatang

terutama ikan dan udang, (c) merupakan lingkungan yang sangat heterogen

secara fisik memberikan berbagai macam relung, tempat perlindungan, daerah

khusus yang digunakan oleh spesies lainnya, (d) memberikan perlindungan

pantai (mencegah erosi) selama banjir bandang dan badai, (e) sebagai

penangkap sedimen menyebabkan pertambahan tanah (akresi), (f) menyaring

bahan-bahan pencemar dan hara yang dapat masuk wilayah pantai atau perairan

(menjadi suatu masalah jika ketidaksediaan hara dan bahan pencemar

berlebihan ada di perairan), dan (g) penyangga penting bagi hutan rawa yang

tidak toleran dengan air asin (Rawana et al., 2001).

Manfaat ekonomis yang dapat diperoleh dari hutan mangrove diantaranya

dapat diambil dari tumbuhan mangrove, tumbuhan bukan mangrove dan dari

Page 35: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

22

hewan yang hidup disekitar hutan mangrove. Beberapa manfaat dari hutan

mangrove antara lain adalah sebagai: bahan bakar, konstruksi, produksi kertas,

alat rumah tangga, obat-obatan tradisional, pupuk hijau, pakan ternak,

peternakan lebah.

Pada hutan mangrove selain tumbuhan mangrove, tumbuhan lain yang

berada di hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan ekonomi

adalah rumput got-got dan nipah. Manfaat ekonomi dari hewan yang hidup di

sekitar hutan mangrove di antaranya: sirip ikan sebagai bahan makanan dan

pupuk, krustase sebagai bahan makanan, lebah penghasil madu dan lilin,

unggas sebagai bahan makanan dan kerajinan bulu unggas yang bernilai

estetika atau keindahan.

Mangrove mempunyai peran yang sangat strategis baik dari aspek

lingkungan, ekonomi dan sosial. Beberapa fungsi utama mangrove yaitu: (1) filter

air asin (menghasilkan air payau, mengendalikan intrusi air laut, melindungi

abrasi pantai), (2) media tumbuh dan berkembangnya flora dan fauna (biologi

dan mikrobiologi), dan (3) ekotourisme.

Sebagian besar tanaman mempunyai toleransi yang rendah terhadap

garam, tetapi dalam mangrove mengalami setidaknya dua kali sehari pasang

naik air asin. Bahkan ada spesies yang tahan sampai kadar garam 90%. Akar

dapat melakukan fitrasi untuk dapat beradaptasi dari fluktuasi kadar garam.

Tanaman mangrove dapat tumbuh ideal apabila airnya terdiri atas 50% air tawar

dan 50% air laut. Mangrove dapat menyerap air asin dan CO2 untuk keperluan

fotosintesisnya. Selain menurunkan kadar garam dan menghasilkan air bersih,

mangrove juga turut menyerap gas rumah kaca yang saat ini dituding sebagai

salah satu penyebab pemanasan global (Ball et al., 1997). Indikasi penyerapan

air garam terlihat dari konsentrasi lapisan garam pada permukaan daun.

Menyimpan air asin daun yang tebal, rambut yang berfungsi mengurangi

transpirasi. Bahkan ada beberapa spesies yang dapat menyimpan air di jaringan

internalnya.

Media tumbuh dan berkembangnya flora dan fauna in-situ (biologi dan

mikrobiologi). Siklus flora dan fauna (biologi dan mikrobiologi). Mangrove

merupakan sumber makanan bakteri yang berperan dalam proses dekomposisi

sisa tanaman dan hewan. Interaksi komponen tersebut menjadikan mangrove

sebagai habitat pantai yang sangat penting.

Page 36: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

23

Ekoturisme merupakan salah satu sumber pendapatan negara dari sektor

non-migas yang tidak terkena dampak resesi. Pengembangan sumberdaya

mangrove dengan segala komponen flora dan fauna yang ada dapat

dimanfaatkan sebagai salah satu tujuan wisata. Di negara-negara maju

ekotourisme kawasan mangrove dapat sejajar dengan tujuan wisata lainnya,

karena di kawasan tersebut dapat dikembangkan berbagai hal menyangkut ikan,

pengembangan reptil dan sebagainya.

2.2 Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan

2.2.1 Konsepsi pengelolaan sumberdaya alam

Sumberdaya alam merupakan modal dasar dalam suatu pembangunan

yang harus dikelola secara arif dan bijaksana agar dapat memberikan manfaat

bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, maka

penggunaan dan pemanfaatannya harus dilakukan secara lestari, serasi,

seimbang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan

sehingga menjamin generasi yang akan datang.

Sumberdaya alam dan lingkungan memegang peranan penting bagi

pembangunan ekonomi. Selain menyediakan barang dan jasa, juga menjadi

tulang punggung pertumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat

serta sebagai aset bangsa yang penting. Untuk itu, ketersediaan dan

kesinambungan dari sumberdaya alam menjadi sangat krusial bagi

kelangsungan pembangunan ekonomi dan sangat tergantung kepada kinerja

pengelola yaitu masyarakat dan pemerintah.

Manajemen berarti mengerjakan sesuatu, namun tidak dalam pengertian

manajemen jika kita menyiapkan suatu bidang lahan dan meninggalkanya begitu

saja. Berbeda dengan melindungi suatu kawasan pada keadaan alam dalam

pengelolaan dalam kawasan perlindungan alam adalah suatu tindakan

manajemen. Jika manajemen tersebut aktif, maka tahap pertama adalah

menetapkan suatu keputusan (Alikodra, 1999).

Hukum dasar manusia dan alam adalah bahwa manusia memiliki

kebutuhan yang tidak terbatas sedangkan kemampuan sumberdaya alam ada

batasnya bahkan dapat mengalami kelangkaan. Untuk itu harus melakukan

pilihan yang cermat. Pilihan ini harus memperhatikan apa yang diinginkan dan

apa yang dibutuhkan, dan kepentingan dimensi lain yaitu perlindungan,

Page 37: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

24

pelestarian dan pemeliharaan sumberdaya alam yang kita memiliki (Alikodra,

1999). Ekologi, ekonomi dan sosial merupakan ukuran yang dapat dipergunakan

dalam pengelolaan sumberdaya alam yang sesuai, yaitu dengan

mengembangkan pertanyaan (1) apakah layak secara ekologi (2) apakah layak

secara ekonomi (3) apakah layak secara sosial dan politik.

2.2.2 Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Alam

Kartodihardjo et al., (2000) mengatakan kelembagaan (institusi) baik

formal maupun non-formal merupakan salah satu penentu dalam kinerja

pembangunan. Perbedaan kelembagaan (institusi) dengan organisasi perlu ada

pemahaman yang jeias dan pasti. Aturan-aturan dalam kelembagaan

dipergunakan untuk menata aturan main dan pemain-pemain atau organisasi-

organisasi yang terlibat, sedangkan aturan dalam organisasi ditujukan untuk

memenangkan permainan itu.

Schmid (1987) mendefinisikan institusi adalah seperangkat ketentuan

yang mengatur masyarakat yang mana masyarakat tersebut telah mendefinisikan

bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak tertentu terhadap

pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang

telah mereka lakukan. Koentjaraningrat (1964) menyatakan bahwa kelembagaan

atau pranata sosial merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang

berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kelompok-kelompok

kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Kelembagaan dapat juga

diartikan sebagai tatacara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur

hubungan antar manusia yang berkelompok pada suatu kelompok

kemasyarakatan. Berkaitan dengan hal tersebut kelembagaan merupakan suatu

jaringan dari proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok

manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut serta

pelakunya sesuai dengan kepentingan individu dan kelompoknya.

Sanim (1999) menyebutkan bahwa pada dasarnya kelembagaan

mempunyai beberapa fungsi, antara lain: (1) Memberikan pedoman kepada

anggota-anggota masyarakat tentang bagaimana mereka harus bertingkah laku

atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah di dalam masyarakat

terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan, (2)

Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan, dan (3) Memberikan

pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial

Page 38: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

25

artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-

anggotanya.

Peranan ketiga komponen tersebut saling berpengaruh terhadap

efektivitas pelaksanaannya dalam memberikan layanan, hak dan kewajiban

terhadap pemanfaatan dan penggunaan suatu sumberdaya. Berkenaan dengan

gambaran tersebut, dalam suatu sistem kelembagaan harus mengandung

perangkat aturan dari kelembagaan dan operasionalisasi kegiatan dari

kelembagaan yang bersangkutan dalam masyarakat. Dengan perkataan lain

sistem kelembagaan harus mengandung aturan-aturan atau norma-norma dalam

masyarakat dan sistem.

GilIin (1987) dalam bukunya General Feature of Social Institution suatu

kelembagaan harus bercirikan lima hal, yakni: (1) suatu institusi merupakan

suatu organisasi dan pada pola-pola pemikiran dan kelakuan yang terwujud

melalui aktivitas-aktivitasnya, (2) memiliki tingkat kekekalan tertentu, (3)

mempunyai tujuan tertentu, (4) adanya alat untuk mencapai tujuan, dan (5)

mempunyai karakteristik tertentu.

Suatu kelembagaan, dicirikan oleh tiga komponen utama, yang menurut

Schmidt (1987) dalam Pakpahan (1990) adalah:

a. Batas kewenangan. Batas kewenangan ini akan menghasilkan keragaan

seperti yang diharapkan, ditentukan oleh empat hal, yaitu perasaan para

peserta sebagai suatu masyarakat, homogenitas, eksternalitas dan skala

ekonomi. Israel (1990) menegaskan bahwa batas kewenangan berperan

untuk mengatur penggunaan sumberdaya, dana dan tenaga dalam

organisasi. Selain itu juga berperan dalam menentukan laju pemanfaatan

sumberdaya, sehingga pada gilirannya akan menentukan sifat berkelanjutan

sumberdaya tersebut dan pembagian manfaat bersih yang diperoleh masing-

masing pihak.

b. Hak kepemilikan. Hak yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat terhadap

sumberdaya tertentu yang diatur oleh peraturan, adat dan tradisi atau

konsensus yang mengatur hubungan anggota masyarakat. Oleh karena itu

tidak seorangpun yang dapat menyatakan hak atau hak penguasaan, apabila

tanpa pengesahan dan masyarakat sekitarnya. lmplikasinya adalah (1) hak

seorang adalah kewajiban orang dan (2) hak yang tercermin oleh kepemilikan

adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya. Bahwa property

Page 39: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

26

right yang paling penting adalah faktor kepemilikan terhadap lahan, hasil

produksi dan lain-lain.

c. Aturan perwakilan. Mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses

pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya

terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah perwakilan yang

digunakan dalam proses pengambilan keputusan.

Terdapat tiga komponen utama dalam kelembagaan, yakni; (1) organisasi

atau wadah dan suatu kelembagaan, (2) fungsi dan kelembagaan dalam

masyarakat, dan (3) aturan main yang ditetapkan itu sendiri (Sanim, 1999).

Berkaitan dengan hal tersebut, organisasi dalam suatu sistem kelembagaan

mempunyai fungsi pokok sebagai berikut, yakni (1) operative institution dan (2)

regulative institution. Sebagai operative institution, suatu sistem kelembagaan

harus menghimpun berbagai pola atau tata cara dan perangkat aturan dalam

mengelola aktivitas masyarakat yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga

yang bersangkutan. Sedangkan sebagai regulative institution, suatu sistem

kelembagaan bertujuan untuk mengawasi adat istiadat atau tata kelakuan setiap

aktivitas anggota masyarakat yang menjadi bagian mutlak dan lembaga itu

sendiri melalui sistem pengawasan dan kontrol.

Dalam pengelolaan dalam sumberdaya kelembagaan berperan dalam

penetapan dan pengaturan berbagai peraturan yang melembaga yang

menetapkan berbagai tingkat pengawasan terhadap penggunaan sumberdaya

atau barang dan jasa kepada para pengambil keputusan yang berbeda, baik

individu maupun kelampok. Jadi hak-hak milik mengacu kepada hak-hak yang

diberikan kepada pemilik sumberdaya dan pembatasan dalam penggunaan

sumberdaya (Sanim, 1999).

Efektivitas kelembagaan dalam menggambarkan struktur hak-hak milik

yang dapat mengalokasikan sumberdaya yang efisien tergantung pada

pemenuhan syarat-syarat pendefinisian hak-hak kepemilikan, yakni (1) universal,

(2) eksklusif, (3) dapat dipindahtangankan dan terjamin pelaksanaannya. Dengan

perkataan lain kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya terkait erat dengan

hak-hak kepemilikan.

Di sisi lain peranan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam,

diupayakan untuk (1) membangun kerangka umum pemanfaatan sumberdaya

alam agar sistem dan prosedur pendayagunaan sumberdaya alam lebih etis, (2)

mengarahkan dan mengatur pelaku pengguna sumberdaya alam sesuai dengan

Page 40: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

27

segala sesuatu yang telah dikukuhkan dalam kerangka umum pemanfaatan

sumberdaya alam (3) mengubah perilaku, kebijakan (pengaturan alokasi

sumberdaya alam dan perlindungan sumberdaya alam) dan teknologi

pemanfaatan sumberdaya alam (4) menginternalisasikan biaya oportunitas ke

dalam nilai (harga) sumberdaya alam, dan (5) menjamin kepentingan untuk

menunjang sistem keamanan pemanfaatan sumberdaya alam.

Peranan kelembagaan Iainnya dalam upaya penetapan manfaat dan

biaya dan pengelolaan sumberdaya dengan memperhatikan dimensinya, yakni

(1) dimensi temporal; yang berkaitan dengan manfaat yang bentambah segera

atau manfaat bertambah setelah kurun waktu yang sama, (2) dimensi spasial;

manfaat bertambah pada okasi tertentu atau manfaat bertambah sedikit

(remotely), (3) kemampuan untuk diraba (tangibility); manfaat yang cukup jelas

atau manfaat yang relatif untuk didefinisikan, dan (4) distribusi; manfaat

bertambah pada orang-orang yang menanggung biaya pengelolaan atau manfaat

bertambah pada orang lain.

Pengelolaan sumberdaya alam harus memperhatikan; (1) Keutuhan

fungsi ekosistem, yaitu keterkaitan keanekaragaman, keselarasan, dan

keberlanjutan dan ekosistem, (2) Memperhatikan dampak pembangunan

terhadap Iingkungan dengan menerapkan sistem analisis mengenai dampak

Iingkungan, sehingga dampak negatif dapat dikendalikan dan dampak positif

dapat dikembangkan, (3) Kepentingan generasi masa depan bahkan diusahakan

tercapainya transgenerational equity, sehingga kualitas dan kuantitas

sumberdaya alam dijaga keutuhannya untuk generasi akan datang (4) Wawasan

jangka panjang, karena perubahan lingkungan berlangsung penciutan

sumberdaya alam tidak masuk pasar. Perhitungan penciutan ini dilakukan secara

eksplisit. Komponen lingkungan yang tidak dapat dipasarkan seperti nilai

sumberdaya hayati yang utuh di hutan, bebas polusi, bebas kebisingan, dan hal-

hal lain yang meningkatkan kualitas lingkungan, sehingga proses ekonomi

secara integral memperhitungkan kualitas lingkungan.

Di dalam pengelolaan sumberdaya alam tidak mudah untuk menentukan

lembaga-lembaga mana yang seharusnya terlibat dan bagaimana susunan

kelembagaannya. Kejelian dalam menentukan hal tersebut sangat esensial

dalam mengevaluasi kelembagaan lokal. Ada beberapa hal yang perlu dikaji,

yakni (1) pembatasan sumberdaya dan penggunaannya, (2) distribusi biaya dan

Page 41: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

28

manfaatnya, (3) karakteristik sumberdaya, (4) karakteristik penggunaannya dan

(5) pertimbangan pemilikan bersama.

Eksistensi kelembagaan dalam kaitannya dengan pengelolaan

sumberdaya alam meliputi: (1) pentingnya peranan dan fungsi kelembagaan

dalam pengelolaan sumberdaya, (2) munculnya kegagalan pasar, (3)

kelembagaan mempunyai fungsi dan peranan yang berbeda yang semuanya

memiliki tugas yang jelas batasannya yang bersifat kompleks, formal, dan

permanen, (4) kelembagaan mempunyal kekuasaan yang sah untuk membuat

keputusan yang final dan mengikat, dan (5) kelembagaan mempunyai

kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik.

2.2.3 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Beberapa pengelola lingkungan merasa tertantang dengan pendekatan

partisipatif, karena menyadari bahwa merupakan tugas merekalah untuk

merumuskan persoalan dan mengembangkan penyelesaiannya. Saat ini di

negara-negara demokratik dengan masalah yang sedemikian kompleks lebih

banyak pengelola memandang positif pendekatan partisipatif ini (Mitchell et al.,

1997).

Bryan and Louse (1982), partisipasi di bidang pembangunan mencakup

keterlibatan mental dan emosional, penggeraknya adalah kesediaan untuk

memberi konstribusi dalam pembangunan dan kesediaan untuk turut

bertanggung jawab. Mubyarto (1984) menyebutkan bahwa partisipasi adalah

kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan

kemampuannya tanpa mengorbankan diri sendiri. Partisipasi oleh beberapa ahli

dikaitkan dengan upaya dalam mendukung program pemerintah.

Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan

keputusan tentang apa yang dilakukan dan bagaimana keterlibatan dalam

pelaksanaan program dan keputusan dalam konstribusi sumberdaya atau

bekerjasama dalam organisasi-organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat

dan program pembangunan, atau keterlibatan dalam evaluasi program.

Secara umum keempat macam ketertibatan ini mengarah kepada

partisipasi dalam kegiatan pembangunan masyarakat. Pentingnya keterlibatan

masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pengelolaan

Iingkungan pesisir. Menurut Cohen dan Uphoff (1977) setidaknya memiliki tiga

alasan utama, yaitu: (1) Sebagai Iangkah awal mempersiapkan masyarakat

Page 42: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

29

untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat setempat

terhadap program pengelolaan Iingkungan yang dilaksanakan, (2) Sebagai alat

untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi dan sikap masyarakat

setempat, dan (3) Masyarakat mempunyai hak untuk urun rembug dalam

menentukan program-program pengelolaan Iingkungan yang akan dilaksanakan

di wilayah mereka.

Partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan Iingkungan akan

terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila memenuhi tiga faktor utama

pendukungnya, yaitu:

1. Faktor kemampuan peran serta bersumber pada faktor psikologis individu

yang menyangkut persepsi dan emosi yang melekat pada diri manusia.

Faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya,

sulit diamati dan diketahui dengan pasti dan tidak mudah dikomunikasikan,

namun selalu ada pada setiap individu dan merupakan motor penggerak

perilaku manusia. Objek pengelolaan lingkungan yang berkaitan dengan

keberadaan, manfaat, hasil dan upaya yang menarik minat seseorang untuk

berpartisipasi. Subjek akan berpartisipasi karena memiliki persepsi positif

terhadap kegiatan tersebut, yaitu memperoleh hasil atau keuntungan bagi

dirinya. Persepsi berkaitan dengan bagaimana seseorang melihat lingkungan

sekitar, mendengar suara, merasakan atau mencium sesuatu. Dengan kata

lain, persepsi adalah apa yang dialami langsung oleh seseorang (Bell, 1978).

Persepsi berhubungan dengan ketergantungan seseorang kepada berapa

jauh impresi suatu objek membuat arti.

2. Faktor tingkat kemampuan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan

tergantung pada banyak faktor yang sating berinteraksi, terutama faktor

pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal, keterampilan,

pengalaman dan ketersediaan permodalan. Tingkat pendidikan akan

tercermin pada tingkat pengetahuan, sikap mental dan keterampilan.

Kemampuan permodalan akan tercermin pada tingkat pendapatan rumah

tangga dan bantuan dana yang bisa diperoleh, sedangkan pengalaman akan

dicerminkan oleh lamanya seseorang berkecimpung dalam kegiatan-kegitan

pengelolaan lingkungan yang telah berlangsung. Faktor kemampuan

menunjukkan lapisan keberadaan masyarakat.

3. Faktor kesempatan masyarakat dalam proses pengelolaan lingkungan

dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi, terutama faktor

Page 43: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

30

ketersediaan sarana dan prasarana fisik yang diperlukan untuk

berlangsungnya proses pengelolaan lingkungan, kelembagaan yang

mengatur interaksi masyarakat dalam proses pengelolaan Iingkungan,

birokrasi yang mengatur dan menyediakan kemudahan dan mendorong

masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, serta faktor

sosial budaya masyarakat.

Pengertian partisipasi yang diharapkan dalam pembangunan masyarakat

adalah keterlibatan masyarakat secara aktif baik moril maupun materil dalam

program pembangunan untuk mencapai tujuan bersama yang di dalamnya

menyangkut kepentingan individu. Partisipasi merupakan masukan daam proses

pembangunan dan sekaligus juga sebagai keluaran atau sasaran dan

pelaksanaan pembangunan. Dalam kenyataannya partisipasi masyarakat dalam

pembangunan dapat bersifat vertikal dan dapat pula bersifat horizontal.

Terdapat delapan tingkatan partisipasi masyarakat, yaitu: manipulasi,

terapi, menyampaikan informasi, konsultasi, peredaman, kemitraan,

pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat. Tipe partisipasi

manipulasi dan terapi dikategorikan sebagai non partisipasi. Tipe partisipasi

menyampaikan informasi, konsultasi dan peredaman dikategorikan sebagai

tingkat partisipasi tokenisme, yaitu suatu tingkat partisipasi dimana masyarakat

didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki

kemampuan untuk mendapat jaminan bahwa pandangan mereka akan

dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Jika

partisipasi dibatasi pada tingkat ini, maka kecil kemungkinan ada perubahan

dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Tipe partisipasi kemitraan,

pendelegasian kekuasaan, pengawasan masyarakat dikategorikan sebagai

tingkat partisipasi otoritas masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam tingkatan ini

memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan

kemitraan dan memiliki kemampuan tawar-menawar dengan pengambil

keputusan. Bahkan Iebih jauh masyarakat memiliki mayoritas suara dalam

proses pengambilan keputusan dan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh

mengelola suatu objek kebijakan tertentu.

Partisipasi daIam pembuatan keputusan adalah partisipasi dengan

memberikan kesempatan kepada masyarakat mengemukakan pendapat dan

aspirasinya dalam menilai suatu rencana kegiatan. Masyarakat juga diberi

kesempatan untuk menimbang suatu keputusan yang akan diambil. Partisipasi

Page 44: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

31

dalam pelaksanaan pembangunan adalah partisipasi dengan mengikutsertakan

masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan rencana yang telah

disepakati bersama. Partisipasi dalam memanfaatkan hasil pembangunan adalah

partisipasi masyarakat dalam menggunakan hasil-hasil pembangunan yang telah

dilaksanakan, baik pemerataan kesejahteraan dan fasilitas yang ada di

masyarakat dan ikut menikmati atau menggunakan sarana hasil pembangunan.

Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan adalah partisipasi

masyarakat dalam bentuk keikutsertaannya menilai serta mengawasi kegiatan

pembangunan dan memelihara hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.

Tahapan partipasi masyarakat dalam pembangunan diharapkan dapat

terlibat pada semua tahapan program, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan

sampai pada pemanfaatan hasil kegiatan pembangunan. Dalam hal ini dapat

dikatakan bahwa jika masyarakat sejak awal dilibatkan secara penuh dalam

suatu kegiatan, maka dengan sendirinya akan timbul rasa memiliki dan tanggung

jawab moral terhadap keberhasilan pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan.

Visi yang mendasari model strategi pemberdayaan masyarakat adalah

segenap upaya pembangunan yang diselenggarakan harus diarahkan langsung

pada akar persoalannya yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Komponen-

komponen yang masih tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan

kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan keseluruhan

potensinya atau dengan kata lain memberdayakannya.

Canter (1977), Comick (1979) dan Coulet (1989), Wengert (1979) dalam

Santoso (1993) merinci peran serta masyarakat sebagai berikut :

1) Peran serta masyarakat sebagai suatu kebijakan. Penganut paham ini

berpendapat bahwa peran serta masyarakat merupakan suatu kebijaksanaan

yang tepat dan baik untuk diiaksanakan. Paham ini dilandasi oleh suatu

pemahaman bahwa masyarakat yang potensial dikorbankan atau

terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk

dikonsultasi.

2) Peran serta masyarakat sebagai strategi. Penganut paham ini mendalilkan

bahwa peran serta masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan

dukungan masyarakat. Pendapat ini didasarkan kepada suatu pemahaman

bahwa apabila masyarakat merasa memiliki akses terhadap proses

pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat pada tiap tingkatan

Page 45: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

32

pengambilan keputusan didokumentasikan dengan baik, maka keputusan

tersebut akan memiliki kredibilitas.

3) Peran serta masyarakat sebagai alat komunikasi. Peran serta masyarakat

didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi

dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini dilandasi oleh suatu

pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat,

sehingga pandangan dan preferensi dan masyarakat tersebut adalah

masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif.

4) Peran serta masyarakat sebagai alat penyelesaian sengketa. Dalam konteks

ini peran serta masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara untuk

mengurangi atau meredakan konflik melalui usaha Pencapaian konsensus

dan pendapat-pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi ini

adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat meningkatkan pengertian dan

toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan.

5) Peran serta masyarakat sebagai terapi. Menurut persepsi ini, peran serta

masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk mengobati masalah-masalah

psikologis masyarakat seperti halnya perasaan ketidakberdayaan, tidak

percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka bukan sebagai komponen

penting dalam masyarakat.

6) Pemberian wewenang kepada masyarakat. Disamping dikehendak terjadinya

perubahan sikap dan perilaku dan institusi pemerintah seperti telah

dipaparkan diatas secara teoritik kepada pihak masyarakat perlu terus

diberdayakan kesadarannya serta didorong tanggung jawab dan

kemandiriannya.

Secara konseptual Iangkah pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan

melalui suatu strategi pemberian wewenang demokrasi partisipatif. Osborn

(1996) menyebut langkah trersebut sebagai perwujudan model great society.

Pertimbangan perwujudan model great society ini menjadi penting karena

didasarkan kepada beberapa alasan pertimbangan sebagai berikut: (1)

komunitas masyarakat memiliki komitmen lebih besar terhadap anggotanya

ketimbang sistem birokrasi; (2) komunitas masyarakat Iebih memahami

masalahnya sendiri, ketimbang birokrasi pelayanan; (3) birokrasi akan lebih

memfokuskan memberikan pelayanan, sedangkan masyarakat akan lebih pada

memecahkan masalahnya; (4) birokrasi sebaiknya menawarkan pelayanan,

sedangkan masyarakat lebih menawarkan kepedulian; (5) komunitas lebih

Page 46: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

33

fleksibel dan kreatif dalam menangani masalahnya sendiri, ketimbang birokrasi

pelayanan; (6) biaya yang dibutuhkan oleh komunitas lebih murah daripada biaya

yang dibutuhkan oleh pelayanan birokrasi; (7) standar perilaku komunitas Iebih

efektif daripada pelayanan birokrasi; dan (8) komunitas masyarakat dapat Iebih

memfokuskan pada kapasitas dan sistem pelayanan Iebih pada kekurangan.

Perpaduan antar stakeholders dalam mengembangkan potensi daerah

serta sektor-sektor kegiatan usaha strategis maupun dalam menanggulangi

permasalahan serta persoalan Iingkungan yang ada di daerah dapat diwujudkan

melalui kerjasama antar ketiganya secara sinergis. Secara kualitatif, tolok ukur

keberhasilan kerjasama secara sinergis tadi adalah terciptanya suatu kondisi

segi harmonis berupa kemakmuran bagi wilayah dan kesejahteraan bagi

masyarakat serta keuntungan bagi pengusaha. Tingkat pelibatan masyarakat

yang diharapkan dan dimungkinkan harus ditentukan.

Pengelola tradisional biasanya enggan untuk melewati tingkat pelibatan

masyarakat, dengan keyakinan bahwa masyarakat biasanya apatis dan

membuang-buang waktu. Pengelola pada dasarnya mempunyai tanggung jawab

untuk melakukan pendekatan partisipasi masyarakat berdasarkan kaidah-kaidah

ilmiah, dan Iembaga-lembaga masyarakat mempunyai tugas berdasarkan hukum

yang tidak dapat dilimpahkan ke pihak lain. Sebaliknya, masyarakat semakin

meningkat kesadarannya dengan mengharapkan partisipasi yang Iebih

bermanfaat, yang dalam keyakinan mereka termasuk pula pelimpahan sebagian

kekuasaan. Pelimpahan atau alokasi kembali kekuasaan itu menimbulkan isu

tentang apakah kelompok yang diberikan kepercayaan dan kekuasaan dapat

dipercaya.

Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan

mangrove memerlukan suatu pendekatan yang fleksibel, sabar dan

membutuhkan waktu. Membangun pemahaman dan keyakinan masyarakat

terhadap pentingnya pengelolaan mangrove sangat memakan waktu dan dapat

memperlambat pengukuran kemajuan pekerjaan dalam rehabilitasi mangrove.

Namun hal tersebut sebanding dengan perolehan hasil dalam jangka panjang

karena dapat membangun rasa kepemilikan dan komitmen masyarakat yang kuat

yang merupakan jaminan kelangsungan rehabilitasi mangrove.

Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan dengan melibatkan

masyarakat dalam menyusun proses perencanaan dan pengelolaan hutan

mangrove secara lestari. Dengan pola pendekatan pengelolaan berbasiskan

Page 47: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

34

masyarakat, diharapkan setiap rumusan perencanaan muncul dan aspirasi

masyarakat. Pola pendekatan ini dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu: (1)

program perencanaan partisipasi pembangunan masyarakat desa (P3MD), dan

(2) pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal). PRA secara harfiah diartikan

sebagai cara untuk memahami keadaan atau kondisi desa dengan melibatkan

partisipasi masyarakat.

PRA secara luas diartikan sebagai pendekatan dan tekhnik-tekhnik

pelibatan masyarakat dalam proses-proses pemikiran yang berlangsung selama

kegiatan perencanaan dan pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi

program pembangunan masyarakat, sehingga dengan PRA dimaksudkan untuk

memungkinkan masyarakat setempat melaksanakan analisis tentang mereka

sendiri dan sering juga untuk merencanakan dan mengambil tindakan.

2.3 Pengelolaan Hutan Mangrove Pengelolaan sumber daya alam adalah upaya manusia dalam mengubah

sumber daya alam agar diperoleh manfaat yang maksimal dengan

mengusahakan kontinuitas produksi (Soerianegara, 1987). Dahuri (2001)

menyatakan bahwa tujuan utama pengelolaan hutan, termasuk hutan mangrove,

adalah untuk mempertahankan produktivitas lahan hutan sehingga kelestarian

hasil merupakan tujuan utama pengelolaan hutan. Kelestarian produktivtas

mempunyai dua arti, yaitu kesinambungan pertumbuhan dan kesinambungan

hasil panen.

Pengelolaan hutan mangrove harus berdasarkan filosofi konservasi. Hal

ini sebagai Iangkah awal adalah mencegah semakin rusaknya ekosistem hutan

mangrove harus mencakup rencana pengelolaan yang mengoptimumkan

konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan manusia, dengan

tetap mempertahankan cadangan yang cukup untuk melindungi

keanekaragaman flora dan fauna yang hidup di dalamnya (Saenger et al., 1983).

Dalam konteks pengembangan mangrove, rencana pengelolaan hutan

mangrove dibuat untuk lokasi-lokasi mangrove yang telah ditetapkan. Rencana

pengelolaan ini harus dijadwalkan dan dikoordinasi secara resmi di dalam

rencana tata ruang daerah tersebut dan merupakan rencana tata ruang

kabupaten. Rencana-rencana tersebut harus disusun berdasarkan survei yang

akurat untuk mengetahui potensi sumberdaya yang ada dan aspirasi masyarakat

perlu dinilai dan didengar melalui komunikasi Iangsung dan dipertimbangkan

Page 48: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

35

dalam rencana pengelolaan. Tanpa persetujuan, pengertian dan kerjasama

dengan masyarakat setempat, maka rencana pengelolaan tersebut tidak akan

berfungsi dengan baik (Alikodra, 1999).

Pengelolaan hutan mangrove harus memperhatikan keterkaitan dengan

ekosistem di sekitarnya sehingga tidak berorientasi dalam lingkup kecil. Saenger,

et al., (1983) mengatakan bahwa pengelolaan hutan mangrove harus mencakup

wilayah yang Iebih luas dari ekosistem tersebut, sehingga secara ideal

merupakan pengelolaan wilayah pesisir secara keseluruhan.

Aspek sosial ekonomi menghendaki setiap bentuk manfaat yang

diperoleh dan pengelolaan sumberdaya alam diprioritaskan kepada daerah dan

masyarakat lokal tempat sumberdaya alam berada. Pengelolaan hutan mangrove

tidak boleh mengesampingkan masyarakat setempat, namun membuka akses

kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara Iangsung

maupun tidak langsung. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat

menyadari arti penting pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan

menjamin kelestarian sumberdaya alam tersebut. Aspek sosial ekonomi

diwujudkan dalam bentuk pengelolaan multiguna (Ahson, 1993).

Pengelolaan multiguna mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk

kepentingan banyak pihak secara seimbang, sehingga terhindar dari orientasi

tunggal yang sempit dan berjangka pendek Dahuri, et al., (2001). Pengelolaan

multiguna juga akan membawa jangkauan kegiatan yang beragam sehingga

membuka pilihan yang Iebih luas bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam

pengelolaan hutan mangrove.

Pelestarian hutan mangrove merupakan suatu usaha yang kompleks

untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat

akomodatif dari pihak-pihak terkait baik yang berada di sekitar maupun di luar

kawasan. Pada dasarnya kegiatan pelestarian mangrove dilakukan demi

memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Sifat akomodatif tersebut akan

Iebih dirasakan manfaatnya apabila Iebih berpihak pada institusi yang paling

rentan terhadap sumberdaya mangrove, yakni masyarakat. Masyarakat harus

diberikan porsi yang lebih besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah

menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian hutan

mangrove. Dengan demikian persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan

mangrove perlu diarahkan kepada cara pandang pentingnya sumberdaya ini.

Page 49: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

36

2.4 Pemanfaatan Hutan Mangrove

Pemanfaatan hutan mangrove bergantung sepenuhnya pada

perencanaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem

mangrove (Dahuri, 2001). Kawasan hutan menurut fungsinya dibagi menjadi

beberapa peruntukkan, yaitu hutan produksi, hutan lindung, hutan wisata dan

hutan suaka alam (Alikodra, 1999). Kegiatan penataan hutan ini berdasarkan

pedoman pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No.

60/Kpts/DJ/I/1978 dengan memperhatikan usulan dan pertimbangan Direktorat

Perlindungan dan Pengawetan Alam. Selain tipe-tipe hutan di atas, hutan

mangrove di Indonesia juga ada yang tumbuh di kawasan non kehutanan yaitu

rakyat.

Hutan mangrove yang terletak di hutan produksi digunakan untuk

menghasilkan keperluan masyarakat pada umumnya dan untuk kepentingan

pembangunan industri serta ekspor. Hasil hutan mangrove di hutan produksi

dapat berupa kayu bahan bangunan, kayu bakar, arang dan kulit kayu yang

mengandung zat penyamak atua tanin.

Di Indonesia, hutan mangrove ini dapat dibedakan menjadi tiga macam

berdasarkan sifat pengelolaannya, yaitu IUPHHK, IUPHHT, dan Perum

Perhutani. Pengelolaan oleh IUPHHK dan IUPHHT biasanya diterapkan pada

hutan mangrove yang terletak di luar Pulau Jawa yang masuk dalam areal

konsesi pemegang IUPHHK dan IUPHHT. Sedangkan di Pulau Jawa,

pengelolaan hutan mangrove diserahkan pada Perum Perhutani.

Sistem silvikultural yang digunakan dalam pengelolaan hutan ini adalah

sistem pohon induk (seed trees method). Sistem ini berdasarkan pada Surat

Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 8 Mei

1978 yang mengatur cara penebangan dan pemeliharaan hutan mangrove

sebagai suatu keterpaduan pekerjaan.

Hutan mangrove yang boleh ditebang harus terletak mulai dari jarak 50 m

dari tepi hutan yang menghadap ke arah pantai dan 10 m dari tepi hutan yang

menghadap ke tepi sungai, alur air dan jalan raya. Penebangan dilakukan

dengan meninggalkan 40 batang pohon induk tiap ha setelah itu areal ditutup

terhadap penebangan. Pohon yang ditebang berdiameter minimal 10 cm pada

ketinggian 20 cm di atas pangkal akar tunjang atau banir. Pada umur 15-20

tahun setelah penebangan dilakukan penjarangan, kemudian ditutup kembali

terhadap penebangan sampai hutan tersebut berumur 30 tahun.

Page 50: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

37

Pembangunan hutan tanaman industri hutan mangrove dapat

dilaksanakan di lahan non produktif, namun masih layak atau cocok untuk

ditanami dengan jenis pohon mangrove dan terletak tidak jauh dari tepi sungai

yang masih digenangi oleh air laut saat pasang. Kegiatan dalam IUPHHK dan

IUPHHT ini meliputi persiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman,

pemeliharaan dan pemanenan.

Luas hutan mangrove di Pulau Jawa adalah 70.502 ha yang tersebar di

Unit I Jawa Tengah sebesar 16.513 ha, Unit II Jawa Timur sebesar 20.994 ha

dan Unit III Jawa Barat seluas 32.995 ha (Perhutani, 1996). Pola pengelolaan

hutan mangrove di ketiga unit tersebut berbeda-beda tergantung pada kondisi

setempat. Hutan mangrove di Unit I dan II sedikit terpengaruh oleh pasang surut,

sedangkan di Unit III Jawa Barat umumnya dipengaruhi oleh pasang surut.

Sehingga pengelolaan hutan mangrove di Unit III dilakukan dengan model

empang parit (sylvofishery).

Model empang parit ini pada intinya melibatkan masyarakat secara

langsung berperan serta dalam pembangunan hutan, dimana 20% dari luas

lahan digunakan untuk tambak dan sisanya (80%) ditanami dengan vegetasi

mangrove. Perbandingan luas antara tegakan mangrove dengan empang adalah

4:1. Penanaman dilakukan dengan jarak 5 x 2 meter. Jenis-jenis vegetasi yang

ditanam adalah Sonneratia sp., Lumnitzera sp., Rhizophora sp., Bruguiera sp.,

Ceriops sp., Avicenia sp., dan Xylocarpus sp.

Dalam sistem ini, para petani dikelompokkan dalam wadah Kelompok

Tani Hutan (KTH) yang terdiri atas 16-25 KK tiap KTH. Tiap KK diberi lahan

garapan seluas + 5 ha dan pada tahap awal Perum Perhutani memberi bantuan

gratis berupa pupuk 450 kg/ha dan kredit tanpa bunga berupa benih ikan sesuai

dengan kebutuhan. Biaya pengolahan tanah sepenuhnya tanggungan petani,

sedangkan biaya penanaman vegetasi mangrove ditanggung oleh Perum

Perhutani.

Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas

yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun

bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta

memelihara kesuburan tanah (Surat Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990).

Hutan mangrove yang terletak dalam kawasan lindung adalah hutan yang

mangrove yang tumbuh di sempadan pantai, sempadan sungai dan kawasan

pantai berhutan bakau.

Page 51: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

38

Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya

proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik

pasang tertinggi ke arah darat. Kriteria sempadan sungai adalah sekurang-

kurangnya 100 meter di kanan kiri sungai besar dan 50 meter di kanan kiri anak

sungai yang berada di luar permukiman. Untuk sungai di kawasan permukiman

berupa jalan inspeksi selebar 10-15 meter. Kriteria kawasan pantai perhutani

bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan

terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.

Di dalam kawasan ini dilarang dilakukan kegiatan budidaya kecuali yang

tidak mengganggu fungsi lindung. Kegiatan budidaya yang sudah ada harus

mematuhi ketentuan-ketentuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Kegiatan budidaya yang mengganggu fungsi lindung maka harus dicegah

perkembangannya dan fungsi kawasan dikembalikan secara bertahap. Kegiatan

yang diperbolehkan di kawasan ini adalah penelitian eksplorasi mineral dan air

tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam.

Hutan suaka alam adalah hutan yang karena sifatnya diperuntukkan

secara khusus untuk melindungi alam hayati dan manfaat-manfaat lainnya (UU

No. 5 tahun 1967). Hutan suaka alam terdiri dari cagar alam dan suaka

margasatwa. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan

alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau

ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung

secara alami. Sedangkan suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang

mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan keunikan jenis satwa yang

untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

Pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai

upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta

ekosistemnya. Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam cagar alam adalah untuk

kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan

kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Fungsi penunjang budidaya dapat

dilaksanakan dalam bentuk penggunaan plasma nutfah yang terdapat dalam

cagar alam untuk keperluan pemuliaan jenis dan penangkaran. Sedangkan

kegiatan boleh yang dilakukan di suaka margasatwa hampir sama dengan cagar

alam dengan tambahan diperbolehkannya kegiatan wisata secara terbatas yaitu

kegiatan mengunjungi, melihat dan menikmati keindahan alam di suaka

margasatwa dengan persyaratan tertentu.

Page 52: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

39

Hutan ini berfungsi sebagai hutan yang dapat memenuhi kepentingan

rekreasi dan kebudayaan. Dalam fungsi ini terdapat unsur komersial, sehingga

dalam pengelolaannya termasuk kegiatan bidang pengusahaan. Prinsipnya

adalah mencari manfaat yang sebesar-besarnya, keserbagunaan manfaat secara

lestari baik spiritual dan material tanpa mengganggu kelestarian hutannya.

Selain hutan produksi, hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan wisata,

hutan mangrove juga tumbuh di kawasan budidaya non kehutanan. Kawasan ini

dapat berupa hutan produksi yang dikonversi atau areal dengan tujuan

penggunaan lain. Hutan mangrove di kawasan ini biasanya dijadikan sebagai

daerah permukiman, industri, areal persawahan pasang surut, areal

pertambakan dan sebagainya. Pola pengelolaan di kawasan ini cenderung

merusak dan menurunkan fungsi serta luas hutan mangrove, termasuk

meniadakan jalur hijau mangrove. Hal ini disesuaikan dengan kepentingan dan

tujuan pemilik hutan mangrove tersebut.

Bagi petani tambak yang memelihara ikan dan udang secara intensif,

keberadaan hutan mangrove sangat mengganggu karena dijadikan sebagai

tempat persembunyian hama dan penyakit. Sehingga mereka menebang habis

vegetasi mangrove di tambaknya. Selain itu, adanya perbedaan persepsi dan

konflik kepentingan mengenai status serta pemanfaatan hutan mangrove

diantara berbagai sektor pemerintahan mengakibatkan pengelolaan yang

serampangan, tidak terpadu dan tidak memperhatikan kelestarian hasil.

2.5 Kebijakan Publik

Secara umum istilah kebijakan dipergunakan untuk menunjuk perilaku

seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu

(Anderson, 1999). Kebijakan publik didefinisikan oleh Eyestone (1971) sebagai

hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungan. Dunn (1999) memberikan

pengertian kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk

dilakukan dan tidak dilakukan. Jadi kebijakan merupakan arah tindakan yang

mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor

dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.

Santoso (1993) dengan mengkomparasi berbagai definisi yang

dikemukakan para ahli menyimpulkan bahwa pada dasarnya pandangan

Page 53: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

40

mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu 1) para ahli

yang berpendapat bahwa kebijakan publik adalah semua tindakan pemerintah

disebut kebijakan publik, 2) para ahli yang memberikan perhatian khusus pada

pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang terkelompok dalam pandangan kategori

kedua terbagi pula kedalam dua kubu pendapat, yakni mereka yang memandang

kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai

tujuan dan maksud tertentu. Sedangkan kubu lainnya menganggap kebijakan

publik sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan.

Penjelasan lebih lanjut dan pandangan kelompok pertama para ahli

tersebut adalah melihat kebijakan publik dalam tiga lingkungan yaitu perumusan

kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian, dengan kata lain bahwa

kebijakan publik adalah serangkaian instruksi dan para pembuat keputusan

kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan dan cara-cara untuk

mencapai tujuan tersebut. Padangan dan kelompok kedua menyatakan kebijakan

publik terdiri dan keputusan dan tindakan artinya kebijakan publik sebagai suatu

hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bisa

diramalkan.

Dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan semua

harus diperhitungkan yaitu: (1) Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik

dan dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat, dengan demikian mereka

atau individu-individu yang diharapkan untuk dipengaruhi oleh kebijakan harus

dibatasi. Ada juga dampak yang diinginkan (intended consequences) dan ada

dampak yang tidak diinginkan (unintended consequences); (2) Kebijakan yang

mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok

diluar sasaran atau tujuan kebijakan, atau juga dinamakan dampak yang

melimpah (externalities or spillover effects), (3) Kebijakan yang mungkin

mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan-keadaan

dimasa yang akan datang, dengan kata lain kebijakan yang berdampak

berdasarkan dimensi waktu yakni masa sekarang dan masa yang akan datang;

(4) Kebijakan yang mempunyai dampak dalam bentuk biaya langsung dan biaya

tidak Iangsung, artinya ada biaya yang langsung dikeluarkan oleh program

tersebut dan ada biaya tidak Iangsung dikeluarkan oleh pihak lain, apakah oleh

pemerintah, swasta atau masyarakat; dan (5) Kebijakan yang mempunyai

dampak terhadap biaya-biaya yang tidak bisa dihitung, tetapi dapat dirasakan

oleh semua pihak.

Page 54: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

41

Analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab

pertanyaan: (1) apa hakekat permasalahan, (2) kebijakan apa yang sedang atau

pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya, (3) seberapa

bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah, (4) alternatif kebijakan

apa yang tersedia untuk menjawab masalah, dan hasil apa yang dapat

diharapkan. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut membuahkan informasi

tentang: masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil

kebijakan, dan kinerja kebijakan.

Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang

lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu: (1) perumusan

masalah (definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang

menimbulkan masalah kebijakan; (2) peramalan (prediksi) menyediakan

informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif

kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu; (3) rekomendasi (preskripsi)

menyediakan informsi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di

masa depan dari suatu pemecahan masalah; (4) pemantauan (deskripsi)

menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari

diterapkannya alternatif kebijakan; dan (5) evaluasi menyediakan informasi

mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah.

Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang

tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan preskriptif. Sebagai disiplin ilmu

terapan, analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan perilaku tetapi

juga administrasi publik, hukum, etika dan berbagai macam cabang analisis

sistem dan matematika terapan. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk

menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga

macam pertanyaan: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama

untuk melihat apakah masalah telah teratasi, (2) fakta yang keberadaannya

dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan

yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai.

Dalam menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal

mengenai tiga macam pertanyaan tersebut, dapat digunakan satu atau lebih dari

tiga pendekatan analisis, yaitu:

1) Pendekatan empiris: ditekankan terutama pada penjelasan berbagai sebab

dan akibat dari kebijakan publik. Pertanyaan utama bersifat faktual dan

macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif.

Page 55: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

42

2) Pendekatan valuatif: ditekankan pada penentuan bobot atau nilai beberapa

kebijakan. Pertanyaan berkenaan dengan nilai (berapa nilainya) dan tipe

informasi yang dihasilkan bersifat valuatif.

3) Pendekatan normatif: ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan

yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah publik, dan informasi

yang dihasilkan bersifat preskriptif.

Analisis kebijakan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mengetahui

apa yang sesungguhnya dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal

tersebut dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya dengan cara yang

berbeda-beda. Analisis kebijakan merupakan suatu proses pencarian kebenaran

yang bermuara pada penggambaran dan penjelasan mengenai sebab-sebab dan

akibat dari tindakan pemerintah.

Ada tiga jenis analisis kebijakan, yaitu : (1) analisis prospektif, (2) analisis

retrospektif, dan (3) analisis terintegrasi (Dunn, 1994). Analisis prospektif

merupakan analisis kebijakan yang terkait dengan produksi dan transformasi

informasi sebelum tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya

berkaitan dengan produksi dan transformasi informal setelah tindakan kebijakan

dilakukan. Sedangkan analisis terintegrasi adalah analisis kebijakan yang secara

utuh mengkaji seluruh daur kebijakan dengan menggabungkan analisis

prospektif dan retrospektif.

Kebijakan pembangunan kehutanan yang diterapkan selama lebih dari 30

tahun ternyata belum mampu mewujudkan keberpihakan kepada rakyat karena

masih beriorentasi sentralistik. Oleh karena itu, dalam era reformasi saat ini

rakyat menginginkan terjadinya perubahan dalam pembangunan kehutanan

(Alikodra, 2000). Perubahan kebijakan yang diperlukan diharapkan mampu

memenuhi harapan: (1) menghilangkan dan mencegah terjadinya kolusi, korupsi

dan nepotisme di lingkungan institusi kehutanan, (2) menerapkan asas-asas

profesionalisme dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, (3) memberikan

manfaat yang maksimal dan berkelanjutan bagi rakyat serta mengembangkan

peran serta rakyat dalam segala aspek pembangunan kehutanan, dan (4)

menjaga dan menjamin terwujudnya kelestarian sumber daya hutan.

Berkaitan dengan kebijakan pelestarian hutan mangrove, menurut LPP-

Mangrove (2001) bahwa berbagai kegiatan kehutanan yang berlaku selama ini

dirasakan kurang menyentuh dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas,

terutama bagi kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar atau dekat hutan.

Page 56: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

43

Bahkan dengan berkembangnya IUPHHK, IUPHHT sebagian besar dari mata

pencaharian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tersebut secara otomatis

menjadi berkurang. Akibatnya masyarakat dimaksud, menjadi kurang peduli

terhadap pengamanan hutan. Artinya, aspek lingkungan dan keamanan hutan

menjadi terganggu, dan selanjutnya aspek sosialnya juga sulit dipertahankan

keabsahannya.

Page 57: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Teluk Jakarta yang meliputi tiga lokasi

penelitian yaitu: Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tangerang, Kecamatan

Penjaringan Jakarta Utara, dan Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi.

Muara Angke secara geografis terletak pada 06o 06’ 03’’– 06o 06’ 17’’LS dan 106o

44’ 43’’ – 106o 45’ 45’’ BT. Muara Gembong terletak diantara 060 00' 20" - 06° 03'

37" LS dan 106° 59' 30” - 107° 00' 43" BT. Teluk Naga secara geografis terletak

diantara 106° 42’ 08” - 106° 42’ 58” BT dan 06° 01’ 53” - 06° 02’ 44” LS. Desa-

desa di tiga lokasi tersebut dapat mewakili lokasi penelitian dengan karakteristik

utama memiliki hutan mangrove. Peta lokasi penelitian seperti tertera pada

Gambar 2.

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

##

#

#

#

##

#

#

#

#

# #

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

##

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

##

##

#

#

#

#

#

##

#

#

#

#

#

#

# #

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

# #

#

#

##

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

# #

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

# #

# #

#

#

#

#

#

#

#

##

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

###

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

# #

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

##

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

# #

#

#

#

#

#

#

#

##

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

# #

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

# #

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

##

#

#

###

# #

#

##

#

#

#

##

#

##

#

#

#

#

#

#

#

#

##

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

#

# # #

#

#

#

#

# # #

#

#

#

#

#

# # #

#

#

##

#

#

##

#

#

#

#

##

#

2.7 0

5.67

2. 74

4.57

3.39

5.59

6.36

4.00

1.00

8. 61

2.242.35

2. 63 0.3 6

0.1 30.37

0.192.080.79

1.06

6.50

2.53

4.59

2. 72 2. 41

1.46

1.89

3. 16

2.8 22.761. 50

3.22

1. 28

4. 42

0.34

3.6 3

0.7 3

1.83

3. 61

2. 85

3. 63

3. 16

2.0 0

2.00

2. 66

1. 33

1.0 0

0.0 1

1. 000.90

3.67

0.70

1.87

0.86

1.62 2.13

0.50

1.15

0.6 9

1.72 0.52

5.78 1.1 9

0.63

0.74 1. 82

1.552.251.2 1

1.6 7

0.76

8. 37 1.47

1.70

2.701.81

0.902.39

1.70

1.37

2. 77

1.06

0. 75

2. 23

1.71 1.5 9 2.511. 08

1.51

1.64 2. 91

0.38 2.85

2.65 0. 84

0. 80

3.0 8

1. 272.8 9

1.24

0.83 2. 700. 84

0. 92

ANGKE

SAPAT ANCOLANCOL

PLUIT

Tipar

Kuru s

PLUIT ANCOL

POLM AS

Rengas

WARAKAS

Kodam ar

Ka ndang

Wa rakas

CIKARANG

Suka pura

Plumpa ng

KAPUKMAS

PODOMORO

MUARABARU

RawaindahSUNT ERMAS

TTG. 249A

PLUITMURNI

KAMALMUARA

PADEMANGANKAPUKMUARA

Malaka DuaRa wama la ng

KALI ANGKEKALI PLUI T KALI ANCOL

KAPUKMUARA PADEMANGAN

SUNTERJAYA

KAMALMUARA

WADUK PLUIT

MUARABAHARI

ANCOL TIM UR

SungaiBambu

Kanda ngsapi

Malaka Sa tu

Saran gbang o

Su ngaibego g

Vila g ading

JEMBATANDUA

PLUITMUT IARA

TANJUNGPRIOK

T ANJUNGPRIOK

Kelapa gading

Pulong andang

KEL. PAPANGGO

DAERAH KHUSUS

KALI SUNT ER 2KALI SUNTER 1

PULAU UNT UNG JAWA

Ma laka hajibandanKEC.KEL APAGADING

KALI BANJIRKANAL

KELURAHAN ROROTAN

KEL .PEGANGSAAN DUA

KECAMATAN CI LINCI NGKOTAMADYA JAKARTA UT ARA

KELURAHAN KELAPAGADING TI MUR

KELURAHAN KELAPAGADING BARAT

LAJI

GAGA

ANGKE

SLIPI

KAPUK

KAMAL

KOANG

BULAK

KAPUKKAPUK

GROGOL

TOMANG

PESING KRUKUT

MAPHAR

CIT RA5

KRESEK

MALANG

DUT AMAS

PAKU WAN

PERMATA

MENCENG

KEM BANG

SEMANAN

DURIKEPA

TTG. 2 71

PALM ERAH

JATI PULO

JELAMBAR

DURIKEPACIPONDOH

RAWALELE

TTG. 273

TEGALALURKALIDERES

RAWABUAYA

BULAKSERE

HUT ANJAT I

KEM BANGAN

ANEKAELOK

KALIDERES

KALI ANGKE

GREENVILLA

PINTUKECIL

KAYU BESARKAPLINGPTB

CENGKARENG

BOJONGRAYA

PONDOKCABEKALI GROGOL

KALI GROGOL

KEMANGGISAN

LI NGKUNGAN3

BOJONGINDAH

KAMPUNGDURI

KAM PUNGBARU

PURIKEMBANG

DKI JAKARTA

MERUYA UT ARA

TAMANKENCANA

KAM PUNGG UNUNG

BAMBULARANGAN

JAKART A BARAT

KEDOYA SELATAN

CENGKARENGINDAH

GALU R

SENEN GALURGAM BIR

GEM POL

CIKI NI

GAM BIR

CIDENG

CI DENG

HARMONI

KARTINI SERDANG

KWITANG

PASEBAN

SERDANG

KAYUAWET

DURIPOLO

KEBONSI RI H

CI LIWUNG 3

KEBONKELAPA

KARANGANYARKEBONKOSONG

KAL I KRUKUT 1

MANGGGADUA SELATAN

4.7 1

5. 99

2. 04

34

294.71

4.80

4.26

1.30

2.04

3.73

4.594. 36

1.75

2. 00 2.00

2.001.00

2.00

1.00

2. 00

2. 00

2.00

1.002.00

2.00

3

OMUARA

UARA

SAMBI

T APANG

RU

RUM UDI

RAWABOKOR

TANJUNGAN

MULYA

BENDUNGANLYA

DADAPLEBAK

NDAH

M BAN

BON BESAR

WALUMPANG

KALI PERANCIS

SUNGAI TAHANG

KOSAMBI T IMUR

KOSAMBI BARAT

R TIM UR

2.2 7

2. 00

2. 96

2.00 1. 33

2. 681.46

1.3 72.5 3

1.25

1. 281.63

1.8 4

1.90 2.1 1

2.11

1. 60

1.281.1 0

1.141.05

1. 05

2.2 0

2.87 4.03

3. 63

3.20

3.694.214.03

4.0 3

6. 05

2.561.86

1. 341.09

2.3 5

3.00

1. 60

1.6 0

1.66

Kepu

Tanah ap it

Su ngaibambu

Po mahanbu la k

Peju angpra tama

Kaliaban ggatet

LAUT JAWA

PANTAI MAKMUR

PAHLAWAN SETIA

KECAMAT AN TARUNAJAYA

KECAMATANBEBELAN

PANTAI SEDERHANA

PANTAI MEKAR

PANTAI HARAPAN JAYA

HU

Tanjun g nuhun

Gaga teng ah

Muar age mbong

Tanah ba ru Po n

Se mbilangan

Ceg er

Sasa k

PETA LOKASI PENELITIANTELUK JAKARTA

U

2 0 2 4 6 Km

KETER ANGAN :

Batas Administras i :

: Batas Prov ins i

: Batas Kabupaten

: Batas Kecamat an

: Batas Des a

: J alan Layang

: J alan Lokal

: J alan U tama

: J alan TolTransportasi :

H UTAN R AW A

H UTAN BAK AU

P ADANG RU MPUT

P ASIR/B UKIT PAS IR LAUT

K EBUN

P ERMU KIMAN

R AWA

S AWAH

S EMAK BELUKAR

TEGALAN /LADANG

TAMAN

: J alan Lain

: J alan S etapak

E MPAN G

Landuse :

Sungai

#

3.00 Titik Tinggi

Sumber Dat a :

Pet a Rupabumi BAKOSUR TAN AL Skala 1 : 25.000

6 ° 8 ' 2 0 " 6 ° 8 ' 2 0 "

6 ° 3 ' 1 0 " 6 ° 3 ' 1 0 "

5 ° 5 8 ' 0 0 " 5 ° 5 8 ' 0 0 "

1 0 6 ° 4 1 ' 2 0 "

1 0 6 ° 4 1 ' 2 0 "

1 0 6 ° 4 6 ' 3 0 "

1 0 6 ° 4 6 ' 3 0 "

1 0 6 ° 5 1 ' 4 0 "

1 0 6 ° 5 1 ' 4 0 "

1 0 6 ° 5 6 ' 5 0 "

1 0 6 ° 5 6 ' 5 0 "

Gambar 2. Peta lokasi penelitian

Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan yaitu: (1)

Teluk Jakarta dapat menjadi potret pengelolaan kawasan mangrove di Indonesia,

(2) Teluk Jakarta terdiri atas tiga wilayah administrasi yang memiliki orientasi

Page 58: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

45

yang berbeda dalam pemanfaatan kawasan di sekitar hutan mangrove, dan (3)

kondisi kawasan mangrove di Teluk Jakarta mengalami degradasi fisik dan

habitat yang masih terus berlangsung.

Penelitian awal dilakukan mulai bulan November sampai dengan

Desember 2005, sedangkan pelaksanaan penelitian lapangan dilakukan pada

Januari 2006 sampai dengan Januari 2007.

3.2 Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan yaitu: (1) menganalisis

kondisi ekosistem mangrove di Teluk Jakarta pada tiga lokasi yakni Muara

Gembong, Teluk Naga, dan Muara Angke, (2) mereview kebijakan dan

permasalahannya serta menganalisis kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan

hutan mangrove, dan (3) menyusun prioritas kebijakan pengelolaan hutan

mangrove Teluk Jakarta dan strategi implementasinya. Secara visual tahapan

penelitian disajikan pada Gambar 3.

7DKDS�

7DKDS� 7DKDS�

. HELMDNDQ�3HQJHORODDQ�+XWDQ�0 DQJURYH�GDQ�

3HUP DVDODKDQQ\ D

6WUDWHJL�,PSOHP HQWDVL�GDQ�

5HNRP HQGDVL

. RQGLVL�( NRVLVWHP �0 DQJURYH�7HOXN�- DNDUWD

. HEXWXKDQ�6WDNHKROGHU�GDODP � 3HQJHORODDQ�+ XWDQ�

0 DQJURYH

3ULRULWDV�. HELMDNDQ�

3HQJHORODDQ

$QDOLVLV�YHJHWDVL� VSDVLDO$QDOLVLV�NXDOLWDV�DLU

$QDOLVLV�NHEXWXKDQ

) * '$ + 3$QDOLVLV�NHELMDNDQ

Gambar 3. Tahapan penelitian

Analisis spasial vegetasi mangrove di wilayah Teluk Jakarta dilakukan

untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove saat ini dan perubahannya

dengan menggunakan sistem informasi geografis. Hasil analisis ini memberikan

Page 59: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

46

gambaran kondisi magrove berupa kerapatan dan perubahan tutupan lahan di

setiap wilayah. Analisis kualitas air dilakukan secara langsung di lokasi

penelitian. Hasil analisis ini memberikan gambaran kondisi perairan di Teluk

Jakarta dari aspek fisika dan kimia. Parameter kualitas air yang digunakan

adalah kualitas air baku untuk perairan.

Analisis kebijakan pengelolaan hutan mangrove di wilayah Teluk Jakarta

mencakup kebijakan yang telah dirumuskan selama ini. Hasil analisis ini berupa

deskripsi kebijakan dan permasalahan implementasinya pada tiga wilayah

administrasi yaitu Muara Angke, Muara Gembong, dan Teluk Naga. Selanjutnya

dilakukan analisis kebutuhan masyarakat dan stakeholder kunci dalam

pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta. Kebutuhan masyarakat dan

stakeholder dikategorikan berdasarkan tiga wilayah administrasi.

Hasil analisis tersebut selanjutnya digunakan sebagai masukan dalam

perumusan kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove secara

berkelanjutan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan partisipatif

dengan melibatkan semua stakeholder. Perumusan alternatif kebijakan

didasarkan pada permasalahan yang ditemukan dan kebutuhan masyarakat dan

stakeholder. Alternatif kebijakan tersebut disusun dalam bentuk prioritas

kebijakan menggunakan analytical hierarchy process (AHP) secara partisipatif.

Strategi implementasi kebijakan dirumuskan oleh semua stakeholder

untuk setiap alternatif kebijakan. Teknik yang digunakan adalah focus group

discussion (FGD) melibatkan pakar dan stakeholder di tiga wilayah yaitu Muara

Gembong, Muara Angke, dan Teluk Naga. Hasil FGD merupakan kesepakatan

bersama semua stakeholder dan pakar sehingga strategi yang dirumuskan lebih

mudah diimplementasikan.

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini

dikelompokkan menjadi data primer dan data sekunder. Primer diambil secara

langsung di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait.

Metode wawancara dan pengamatan langsung di lapangan digunakan untuk

memperoleh data dan informasi yang lebih rinci tentang kondisi parameter yang

dikaji, sedangkan dokumentasi ditekankan untuk memperoleh informasi

pendukung yang dapat memberikan gambaran secara umum. Data yang

diperlukan secara rinci sebagaimana tertera pada Tabel 2.

Page 60: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

47

Tabel 2. Jenis data yang dikumpulkan

No Jenis Data Sumber Data Keterangan

1. Penggunaan lahan, peta RTR Kab. Bekasi, Kab. Tangerang, dan Kota Jakarta Utara

BPN, Bappeda: Kab. Bekasi, Kab. Tangerang, dan Kota Jakarta Utara

Data sekunder

2. Data keadaan penduduk, (sosial dan ekonomi)

BPS, wawancara, dan kuesioner Data primer dan sekunder

3. Kualitas air (fisika dan kimia) Pengukuran langsung dan analisis laboratorium

Data primer

4. Vegetasi mangrove Citra landsat TM tahun 1997, 2002, 2006, pengukuran langsung, dan studi pustaka

Data primer

5. Kebutuhan stakeholder dan pendapat pakar

Wawancara, kuesioner, dan diskusi

Data primer

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini

dilakukan melalui beberapa metode, yakni: studi literatur, wawancara dan

pengamatan lapangan.

Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan pengamatan

langsung di lapangan dan melalui cluster random sampling. Responden dibagi ke

dalam cluster kecamatan yakni Muara Gembong, Penjaringan, dan Teluk Naga.

Komposisi responden penelitian ini berdasarkan kategori usia, pendidikan, dan

pekerjaan disajikan pada Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5.

Tabel 3. Jumlah responden berdasarkan usia

Kecamatan Usia Responden

Total 20 – 30 tahun 31 – 49 tahun > 49 tahun

Muara Gembong 46 34 20 100

Penjaringan 20 74 6 100

Teluk Naga 30 40 30 100

Tabel 4. Jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan

Kecamatan Pendidikan Responden

Total SD SMP SMA

Muara Gembong 44 40 16 100

Penjaringan 22 50 28 100

Teluk Naga 28 38 34 100

Page 61: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

48

Tabel 5. Jumlah responden berdasarkan pekerjaan

Kecamatan Pekerjaan Responden

Total Buruh Petani Nelayan Pengusaha Pegawai

Muara Gembong 26 22 38 2 12 100 Penjaringan 40 34 8 10 8 100

Teluk Naga 68 14 12 2 4 100

Metode wawancara digunakan untuk memperoleh data yang belum

tercatat dalam literatur serta untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat.

Metode wawancara yang akan dilakukan terdiri atas wawancara bebas dan tidak

terstruktur serta wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner.

Wawancara ini akan dilakukan terhadap masyarakat, tokoh masyarakat,

pengurus lembaga, aparat pemerintahan desa, pejabat pemerintah daerah dan

instansi terkait, serta para pakar di bidang hutan mangrove. Metode ini dilakukan

guna mengetahui persepsi dan harapan masyarakat dengan adanya upaya

penyelamatan hutan mangrove.

Studi literatur dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dan

informasi pendukung yang sangat diperlukan dalam penelitian ini, yang terkait

dengan pengembangan kebijakan pembangunan daerah dalam menyelamatkan

hutan mangrove. Data dan informasi meliputi: kondisi dan karakteristik

sumberdaya alam, kondisi dan karakteristik lokasi. Kondisi sosial ekonomi dan

lingkungan, khususnya yang berkaitan dengan hutan mangrove. Sumber data

dan informasi ini berupa jurnal, laporan-laporan, karya ilmiah, proseding dan

berbagai sumber pustaka lainnya.

Pengamatan merupakan kegiatan pengumpulan data yang dilakukan

melalui pencatatan, pengukuran dan pengamatan terhadap kejadian atau faktor-

faktor yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian. Pengamatan dan analisis

vegetasi dilakukan untuk mengetahui kondisi dan jumlah hutan mangrove, dan

pengamatan untuk kualitas air dilakukan baik secara insitu maupun eksitu.

3.5 Metode Analisis Data

Pada dasarnya penelitian ini bersifat eksploratif atau kajian evaluatif,

untuk itu berdasarkan data yang telah diperoleh dianalisis dengan metode

sebagai berikut:

Page 62: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

49

1. Analisis spasial vegetasi mangrove

Untuk analisis secara keseluruhan di ketiga lokasi penelitian digunakan

sistem informasi geografis (SIG). Hal ini untuk memudahkan melihat perubahan

tutupan lahan khususnya tutupan lahan vegetasi mangrove. Citra yang

digunakan sebagai dasar analisis adalah citra satelit Landsat 7 ETM.

SIG adalah suatu sistem analisis berbasis komputer yang mampu

melakukan hubungan (relasi) antara data spasial (keruangan) dan data atribut

(data base). Sistem Informasi Geografi memerlukan konfigurasi software dan

hardware dengan performa yang tinggi. Hardware yang dibutuhkan antara lain

komputer dengan basis Windows, Digitizer dan Ploter, sedangkan Software yang

dibutuhkan antara lain PC ArcInfo dan ArcView. Dalam proses penyusunan SIG,

diperlukan beberapa tahapan proses hingga dihasilkan SIG. Adapun tahapan

tersebut adalah inventarisasi kawasan mangrove, penyusunan basis data dan

penyusunan basis model.

Delineasi kawasan mangrove menggunakan citra penginderaan jauh

skala tinjau 1: 250.000 (Landsat). Tahap berikutnya adalah melakukan uji lapang

(ground truth) terhadap hasil interpretasi. Hasil delineasi bentuk lahan setelah

uji lapang, kemudian diplot pada peta Rupabumi Indonesia skala 1: 25.000, agar

posisi koordinatnya mengacu pada sistem koordinat sebenarnya (real world

coordinate).

Basis data merupakan prasyarat utama memanfaatkan SIG untuk

berbagai aplikasi, termasuk untuk penyusunan SIG kawasan mangrove.

Pengertian basis data (database) adalah himpunan rekaman data (record) yang

bersifat spesifik, dimana pengaksesannya dikontrol oleh DBMS (database

management systems). Apabila basis data telah didefinisikan, struktur record

data yang berkaitan dengan panjang item (item width), nama item (field) dan

jenis data (integer, numerik, karakter) dijabarkan kedalam DBMS. Kemudian

apabila key in data ke dalam basis data dilaksanakan, DBMS bertanggung jawab

terhadap berbagai analisis untuk sorting data, penyajian, dan hubungan antar

record data.

Dalam menyusun basis data, himpunan data perlu dikelompokkan

berdasarkan temanya. Agar dapat dihimpun secara terstruktur dan sistematis,

maka karakteristik data perlu diklasifikasikan. Dalam klasifikasi data, karakteristik

data yang disajikan dalam atribut dalam bentuk kode. Penyusunan dan penyajian

kodifikasi karakteristik data ke dalam atribut perlu dikomunikasikan dengan

Page 63: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

50

pengguna agar penempatan kumpulan record datanya sesuai pada atribut yang

diinginkanya.

Basis data dasar yang diperlukan meliputi: garis pantai, jaringan jalan,

jaringan sungai (hidrologi), nama-nama wilayah geografi (toponim), dan wilayah

administrasi pemerintahan. Basis data tematik meliputi: kawasan mangrove, dan

penutup lahan.

Basis model (model base) merupakan model aplikasi SIG untuk

mendukung pengambilan keputusan dari perencanaan spasial. Penyusunan

basis model menggunakan fungsi-fungsi SIG, terutama mengenai transformasi

dan integrasi data untuk menghasilkan informasi sintetik. Burrough (1983)

menjelaskan bahwa SIG mempunyai fungsi untuk memanipulasi dan

mengintegrasikan berbagai data tematik dengan teknik overlay. Metode overlay

memudahkan analisis dalam memberikan kriteria berbagai indikator dari data

tematik yang dihimpun dalam basis model (Birkin et al., 1996). Keseluruhan hasil

analisis SIG akan disajikan dalam ArcView. ArcView dapat menampilkan

hubungan antara data spasial dan data atribut secara bersamaan, sehingga

memudahkan dalam analisis perencanaan ataupun analisis kebijakan.

Untuk mengetahui tingkat kerapatan vegetasi, dilakukan kalkulasi

kerapatan vegetasi dengan metode normalized difference vegetation index

(NDVI). Persamaan NDVI adalah:

3434

BandBandBandBand

NDVI+−

=

Band 4 merujuk pada band dengan kisaran panjang gelombang infra

merah dekat (near infra red), Band 3 merujuk pada band dengan kisaran panjang

gelombang merah. Jika citra yang dihasilkan kurang bagus tingkat

kekontrasannya akibat cuaca, maka klasifikasi citra yang digunakan adalah

dengan metode interpretrasi.

Berdasarkan penghitungan NDVI tersebut diperoleh citra NDVI yang

merefleksikan tutupan vegetasi di permukaan bumi. Untuk memperoleh informasi

spasial tentang kelas penutupan vegetasi, selanjutnya dilakukan proses density

slicing dengan mengikuti batas kelas yang digunakan dalam penilaian vegetasi

tutupan lahan. Batas kelas dalam proses density slicing diperoleh dengan

Page 64: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

51

mengalikan nilai NDVI dengan batas kelas yang digunakan untuk penilaian pada

kondisi tutupan lahannya.

Kerapatan vegetasi di suatu lokasi dapat dideteksi dengan tampilan

degradasi warna putih pada citra NDVI. Semakin gelap warna hijau yang

ditampilkan citra pada suatu lokasi menunjukkan bahwa intensitas vegetasi di

lokasi tersebut semakin tinggi dan sebaliknya bila obyek diperlihatkan dengan

degradasi warna hijau yang lebih terang.

Untuk mendapatkan gambaran tentang obyek yang ada pada citra

dengan keadaan di lapangan, dilakukan pengambilan sampel ke lokasi

penelitian. Lokasi yang diambil sebagai sampel adalah lokasi yang memberikan

kenampakan yang berbeda pada citra. Untuk menentukan koordinat di lokasi

digunakan GPS.

2. Analisis kualitas air

Pertumbuhan vegetasi mangrove sangat tergantung pada dinamika

lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhannya. Faktor-faktor lingkungan yang

berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove yang pada intinya mencakup

genangan pasang surut, dan salinitas perairan serta faktor-faktor yang

mempengaruhi kedua unsur ini seperti air tawar, iklim dan kaitannya dengan

berbagai proses-proses geomorfologi dan geofisik. Pengambilan sampel

dilakukan pada setiap titik pengamatan yang telah ditentukan. Parameter dan

alat pengukuran disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Metode pengukuran kualitas air

Parameter Peubah Satuan Alat Pengukuran

Fisika Suhu °C Termometer

Salinitas ‰ Refraktometer

Kimia pH - pH Meter

Daya hantar listrik µmhos/cm Konduktometer

Oksigen terlarut mg/liter DO Meter

BOD mg/liter Reaksi Nessler COD, CO2 bebas mg/liter Titrasi

Amonia mg/liter Spektrofometer

Hg, Cd, Pb mg/liter AAS

Page 65: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

52

3. Analisis kebutuhan stakeholder

Pengembangan kebijakan pembangunan daerah dalam pengelolaan

hutan mangrove secara berkelanjutan dilakukan dengan pendekatan partisipatif.

Pendekatan partisipatif merupakan strategi dalam paradigma pembangunan

yang bertumpu pada masyarakat dan stakeholder. Strategi ini menyadari

pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan

internal, melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumberdaya

material dan non-material yang penting melalui redistribusi modal atau

kepemilikan.

Participatory rural appraisal (PRA) dilakukan untuk memperoleh informasi

tentang kondisi sosial dan ekonomi pada kawasan hutan mangrove Teluk

Jakarta. PRA dilakukan dengan melibatkan semua masyarakat pada tiga lokasi

terpilih. Kegiatan PRA dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dan

penjaringan aspirasi. Informasi yang diperoleh berkaitan dengan, keterlibatan,

kepentingan, pengetahuan, dan kebutuhan terhadap hutan mangrove.

4. Analisis kebijakan

Dalam penentuan kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk

Jakarta dilakukan dengan analisis multikriteria yang dilakukan dengan partisipatif.

Alat analisis yang digunakan adalah AHP. Penggunaan AHP dimasudkan untuk

penelusuran permasalahan secara bertahap dan membantu pengambilan

keputusan dalam memilih strategi terbaik dengan cara: (1) mengamati secara

sistematis dan meneliti ulang tujuan dan alternatif strategi atau cara bertindak

untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik; (2) membandingkan

secara kuantitatif dari segi manfaat dan resiko dari tiap alternatif; (3) memilih

alternatif terbaik untuk diimplementasikan; dan (4) membuat strategi pengelolaan

hutan mangrove secara optimal, dengan cara menentukan prioritas kegiatan.

Penetapan prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk

Jakarta dalam AHP dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi

masyarakat, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang tidak terukur (intangible)

ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat dibandingkan. Tahap terpenting dari

AHP adalah penilaian perbandingan berpasangan, yang pada dasarnya

merupakan perbandingan tingkat kepentingan antar komponen dalam suatu

tingkat hirarki (Saaty, 1993).

Page 66: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

53

Dalam melakukan perhitungan matriks, akan sangat rumit sehingga

diperlukan paket komputer khusus mengenai AHP. Pengolahan data berbasis

komputer menggunakan perangkat lunak Expert Choice 2000. Expert Choice

merupakan perangkat lunak sistem pendukung keputusan yang didasarkan atas

metodologi pengambilan keputusan yakni AHP.

Langkah-langkah dalam analisis data dengan AHP adalah:

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah

2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan fokus, dilanjutkan dengan

tujuan, kriteria dan alternatif kebijakan pada tingkatan level paling bawah.

3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan

pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing

tujuan yang setingkat diatasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari

para pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen

dibandingkan dengan elemen lainnya. Untuk mengkuantifikasi data kualitatif

pada materi wawancara digunakan nilai skala komparasi 1 – 9 berdasarkan

skala Saaty seperti pada Tabel 7.

Tabel 7. Skala perbandingan berpasangan

Skala Definisi

1 Kedua elemen sama pentingnya (equally importance) terhadap tujuan

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen lainnya (moderately importance)

5 Elemen satu lebih penting dari pada elemen lainnya (strongly importance)

7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting dari pada elemen lainnya (very strongly importance)

9 Satu elemen mutlak penting dari pada elemen lainnya (extremely importance)

2, 4, 6 dan 8

Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan (intermediate value)

Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka jika dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i

Sumber: Saaty (1993)

4. Melakukan perbandingan berpasangan. Kegiatan ini dilakukan oleh

stakeholder yang berkompeten berdasarkan hasil identifikasi stakeholder.

5. Menghitung akar ciri, vektor ciri, dan menguji konsistensinya. Jika tidak

konsisten maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi. Indeks konsistensi

(CI) menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang

Page 67: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

54

konsisten tidaknya suatu penilaian perbandingan berpasangan. Nilai

pengukuran konsistensi diperlukan untuk mengetahui konsistensi jawaban

dari responden karena akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil.

5. Penyusunan strategi dan arahan program

Arahan strategi dan program pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta

disesuaikan dengan kondisi wilayah dan kebutuhan stakeholder di masa

mendatang agar dihasilkan rumusan yang memberikan jaminan keberlanjutan

pengelolaan hutan mangrove. Kegiatan ini dilakukan melalui focus group

discussion (FGD) di Jakarta dengan melibatkan semua stakeholder.

FGD dilakukan untuk menemukan alternatif penyelesaian secara

partisipatif. Diskusi difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan spesifik. Tujuan

FGD adalah untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dari sudut pandang

dan pengalaman peserta, persepsi, pengetahuan, dan sikap tentang pengelolaan

hutan mangrove.

Stakeholder yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove di Teluk

Jakarta dikategorikan berdasarkan tingkat nasional, regional, dan lokal yaitu:

1. Nasional: Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan,

Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Dalam Negeri, LPP Mangrove,

pakar dan peneliti dari IPB dan LIPI.

2. Regional: Bappeda, BPLHD, DPRD, Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan,

Dinas Pariwisata (Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, dan Kota

Jakarta Utara).

3. Lokal: Camat, Koperasi nelayan, pengusaha hotel dan restoran, pengusaha

perikanan tambak, pedagang sektor informal, nelayan, wisatawan, lembaga

lokal, dan organisasi sosial.

Page 68: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Sejarah dan Status Hutan Mangrove Teluk Jakarta

1. Muara Angke

Hutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan

mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di pantai utara Jakarta. Pada mulanya

kelompok hutan ini seluas 1.114 ha, namun karena kegiatan pembangunan

luasnya menurun menjadi 327,7 ha.

Pembangunan kawasan Kapuk-Angke digagas oleh Pemerintah Daerah

DKI Jakarta, sesuai arahan RUTR DKI 1965-1985 bertujuan untuk

mengembangkan areal tambak dan ”eks-hutan” Angke-Kapuk yang terbengkalai,

untuk perumahan dan fungsi kota lainnya. Wilayah tanah hutan Angke-Kapuk

seluas ±1.114 ha berada di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan DKI Jakarta

(berdasarkan Piagam Kerjasama antara Pemda DKI dengan Departemen

Pertanian cq Direkorat Jendral Kehutanan yang ditandatangani tanggal 24 Juni

1977, dan didalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah). Tujuan kerjasama

dimaksud adalah untuk mengelola, memanfaatkan dan membina kawasan hutan

seluas ±1.114 ha yang terletak di Kelurahan Kapuk Muara, Muara Kamal dan

Muara Angke.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 161/Kpts/Um/6/1977

tanggal 10 Juni 1977, ditetapkan kembali fungsi kawasan hutan Tegal Alur,

Angke Kapuk dan sekitarnya sebagai berikut: a) sebagai hutan lindung, 5 km

sepanjang pantai selebar 100 meter; b) sebagai cagar alam Muara Angke; c)

sebagai kebun pembibitan; dan d) sebagai ”lapangan dengan tujuan istimewa”.

Kawasan delta Sungai Angke pertama kali ditetapkan sebagai Cagar Alam

dengan keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda (GB) No 24 tanggal 18 Juni

1939 seluas 15,40 ha.

Berkaitan dengan adanya kegiatan pembangunan permukiman di

kawasan ini, maka pada tahun 1984 Departemen Kehutanan melakukan

pengukuran dan pemancangan batas ulang yang antara lain menghasilkan

kawasan hutan yang tetap dikuasai pemerintah yakni 322.6 ha. Berdasarkan

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 097/Kpts-II/1998 tanggal 29 Februari 1988

yang menetapkan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan adalah seluas

Page 69: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

56

335,50 ha. Kemudian berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara

Tata Batas yang ditandatangani pada tanggal 25 Juli 1994 oleh Panitia Tata

Batas yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota

Jakarta Nomor 924 tahun 1989, diketahui bahwa hutan yang dipertahankan

adalah seluas 327,70 ha. Secara detil disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Perubahan luas peruntukan lahan di Kawasan Muara Angke (ha)

Kawasan Menhut (1984) Menhut (1988) Gub DKI (1989) Hutan lindung 49,25 50,80 44,76 Cagar alam Muara Angke 21,45 25,00 25,02 Hutan wisata 91,45 101,60 99,85 Kebun pembibitan kehutanan 10,47 10,47 10,52 Cengkareng Drain 29,05 28,36 28,93 Jalur transmisi PLN 29,90 25,90 23,07 Jalur tol dan jalur hijau 91,37 91,37 95,50

Jumlah 322,60 335,50 327,70

2. Muara Gembong

Sejarah pengelolaan mangrove di Muara Gembong Kabupaten Bekasi

pada awalnya dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda, kemudian setelah

masa kemerdekaan Negara Republik Indonesia maka pengelolaan mangrovenya

dilakukan oleh Jawatan Kehutanan Daerah Swatantra Tingkat I Jawa Barat.

Perkembangan berikutnya pada tahun 1976, dengan terbentuknya Unit III Perum

Perhutani maka pengelolaan mangrove di kawasan Muara Gembong dilakukan

oleh Resort Pemangkuan Hutan Muara Gembong Bagian Kesatuan Pemangkuan

Hutan Ujung Karawang Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor Perum Perhutani

Unit III Jawa Barat.

Sebagai konsekuensi daerah penyangga DKI Jakarta, aktivitas

pembangunan di DKI mengakibatkan permintaan lahan di Kabupaten Bekasi

meningkat sehingga dari luasan mangrove 9.764,45 ha yang tersisa menjadi

hutan hanya 330,24 ha (3,4%), sedangkan yang lainnya telah beralih fungsi

menjadi pertambakan (68,85%), persawahan (22,30%) dan bentuk penggunaan

lainnya (Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi, 2000).

Kondisi penggunaan kawasan hutan mangrove di Kabupaten Bekasi

adalah: hutan sekitar 1.093,28 ha, sawah sekitar 1.225,95 ha, permukiman

Page 70: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

57

sekitar 365,45 ha, empang sekitar 7.434,77 ha, kebun campuran sekitar 159,65

ha dan abrasi mencapai 202,05 ha (KPH Bogor, 2004).

Kerusakan mangrove pada kawasan ini juga diprediksi terus meningkat,

sejalan dengan diterbitkannya Perda Kabupaten Bekasi No. 5 Tahun 2003

tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Khusus Pantai Utara. Dalam Perda ini,

kawasan mangrove dapat dimanfaatkan bagi kawasan pelabuhan, industri,

pariwisata dan perikanan dimana sektor-sektor tersebut telah dijadikan sektor

andalan bagi penggerak perekonomian di Kabupaten Bekasi.

Pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan oleh Perum Perhutani

difokuskan kepada usaha persewaan lahan garapan, demikian halnya pelayanan

publik yang dilakukan Pemda lebih memfokuskan kepada penerimaan pajak atas

lahan garapan. Situasi ini yang mendorong pergerakan politik penggarap untuk

tidak membayar kedua jenis pajak. Persoalan ketidaktaatan terhadap kontrak

dan duplikasi pajak, telah menimbulkan konflik baik antara penggarap dan Perum

Perhutani maupun konflik peran antara Pemda dengan Perum Perhutani.

Kondisi ini mempengaruhi kerusakan hutan mangrove, sehingga pada periode

tahun 1943 – 2002 kerusakan hutan mangrove mencapai 15.058,23 ha (Suhaeri,

2005).

3. Teluk Naga

Sejak dikembangkan budidaya udang pada tahun 1986 dengan membuka

tambak-tambak baru, pengelolaan lingkungan di Kecamatan Teluk Naga semakin

tidak terarah. Seiring dengan pengembangan usaha tambak, penambangan pasir

laut yang dimaksudkan untuk membangun prasarana tambak ternyata

menyebabkan terjadinya abrasi pantai, yang berakibat pada rusaknya lingkungan

di kawasan hutan mangrove yang semula luasnya 1.192 ha, kini tidak ada lagi

(Bappeda Kabupaten Tangerang, 2004).

4.2 Kondisi Hutan Mangrove Teluk Jakarta

1. Hasil analisis vegetasi Hutan mangrove di Teluk Jakarta saat ini dalam kondisi yang rusak dan

luasnya makin berkurang. Hasil kajian pada tiga lokasi penelitian (Muara Angke,

Muara Gembong, dan Teluk Naga) menggambarkan variasi jenis mangrove

mulai berkurang setiap tahun. Di wilayah Teluk Naga tidak ditemukan ekosistem

Page 71: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

58

hutan mangrove, karena lahan hutan mangrove telah dikonversi menjadi lahan

tambak, aktifitas penambangan pasir laut, dan pariwisata.

Hasil analisis sistem informasi geografis menunjukkan perubahan tutupan

lahan mangrove pada tahun 1997, 2002, dan 2006 yang signifikan. Kawasan

pesisir Teluk Jakarta selama 10 tahun telah mengalami perubahan tutupan lahan

yang relatif tinggi. Laju perubahan luas hutan mangrove pada tiga wilayah

berbeda-beda. Hasil analisis sistem informasi geografis tentang perubahan luas

hutan mangrove disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Perubahan luas hutan mangrove di lokasi penelitian

Lokasi Luas hutan mangrove (ha) Persentase

perubahan (%) 1997 2002 2006 Muara Angke 122,04 102,37 117,60 3,63 Muara Gembong 174,49 121,27 108,19 37,99 Teluk Naga 44,37 12,62 6,25 85,91

Total 340,90 236,26 232,04 42,52 Sumber: Hasil analisis SIG (2007)

Hutan mangrove di lokasi penelitian mengalami perubahan luasan. Dalam

waktu 10 tahun mencapai 42,52%. Perubahan luas hutan mangrove berbeda-

beda antar lokasi sesuai dengan karakteristik ekologis dan sosial masyarakat.

Hutan mangrove di Muara Angke relatif tidak berubah selama 10 tahun. Hal ini

karena adanya perhatian pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam

melestarikan hutan mangrove. Penetapan status kawasan lindung Muara Angke

mendorong pemerintah untuk senantiasa menjaga kelestarian hutan mangrove.

Lembaga swadaya masyarakat bersama masyarakat telah melakukan berbagai

kegiatan rehabilitasi kawasan dan pendidikan lingkungan bagi masyarakat untuk

menjaga hutan mangrove di Muara Angke. Fakor ini merupakan hal positif yang

dapat dijadikan model pengelolaan kawasan mangrove.

Hutan mangrove di Muara Gembong mengalami degradasi fisik. Alih

fungsi lahan menjadi tambak dan kerusakan habitat akibat abrasi dan

sedimentasi menyebabkan kerusakan mangrove terus berlanjut. Selain itu terjadi

konflik pemanfaatan antara masyarakat dengan Perum Perhutani dan Pemda

sehingga para pemangku kepentingan kurang bertanggung jawab terhadap

kelestarian hutan mangrove.

Page 72: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

59

Hutan mangrove di Teluk Naga mengalami perubahan yang sangat

signifikan selama 10 tahun, yakni mencapai 85,91%. Luas kawasan mangrove

yang tersisa adalah 6,25 ha. Perubahan luas hutan mangrove ini disebabkan

oleh alih fungsi lahan menjadi tambak dan kawasan industri. Tidak jelasnya

sistem pengelolaan dan penatagunaan lahan di kawasan pesisir mendorong

pemanfaatan kawasan yang berlebih. Selain faktor pengelolaan, kerusakan

ekosistem mangrove juga disebabkan oleh kegiatan penambangan pasir laut di

sekitar pantai sehingga ekosistem mangrove menjadi terdegradasi. Secara visual

kondisi tutupan lahan di Teluk Jakarta di sajikan pada Gambar 4, Gambar 5, dan

Gambar 6.

Selain perubahan luas tutupan lahan, hutan mangrove Teluk Jakarta juga

mengalami penurunan kualitas habitat berupa pengurangan kerapatan vegetasi

(Gambar 7). Hal ini terlihat rendahnya persentase tutupan lahan yang masih

tergolong hijau. Laju perubahan kerapatan vegetasi pada Teluk Jakarta semakin

tinggi. Hal ini mengindikasikan adanya degradasi lingkungan mangrove.

Hasil pengamatan vegetasi mangrove di Teluk Jakarta menunjukkan

bahwa jenis mangrove yang tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah dan air.

Selain itu juga dipengaruhi kebijakan penanaman mangrove oleh instansi

pemerintah dan lembaga swadaya. Jenis vegetasi mangrove di Teluk Jakarta

secara rinci disajikan berdasarkan tiga wilayah studi.

Jenis mangrove di Muara Angke yang ditemukan adalah jenis api-api,

bakau, dan pidada. Berdasarkan kawasan, jenis mangrove di Muara Angke

adalah: (1) hutan lindung Angke-Kapuk didominasi oleh api-api dan bakau; (2)

suaka margasatwa Muara Angke didominasi oleh pidada; (3) taman wisata alam

ditanami dengan jenis bakau; dan (4) Lahan dengan tujuan istimewa (LDTI)

mencakup: kebun pembibitan kehutanan yang didominasi oleh jenis api-api dan

bakau, Cengkareng drain ditanami dengan jenis ketapang, jalur transmisi PLN

didominasi jenis api-api, dan jalur hijau tol Sedyatmo didominasi oleh jenis api-

api, bakau, dan pidada.

Kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah jenis tumbuhan di Muara Angke

semakin berkurang. Hal ini terlihat dari kondisi tahun sebelumnya, seperti terlihat

dari hasil penelitian Kusmana (1983) yang menyatakan bahwa di Muara Angke

terdapat 11 spesies dan penelitian Sukardjo (1981) yang menyatakan bahwa

vegetasi mangrove yang terdapat di Muara Angke di dominasi oleh Avicennia

Page 73: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

60

mariana, A. alba, A. officinalis, Rhizophora apicullata, R. mucronata, Bruguiera

parviflora, Someratia alba, dan Excoecasia aglocha.

Berkurangnya spesies mangrove dari tahun-tahun sebelumnya

disebabkan oleh adanya perubahan lahan sekitar kawasan Muara Angke yang

dialihkan menjadi pertokoan dan perindustrian, perumahan dan beberapa fungsi

lainnya yang menyebabkan hilangnya daerah resapan air dan aliran air di muara

sungai semakin melambat karena jalur yang ditempuh semakin panjang,

sehingga laju sedimentasi di muara semakin meningkat.

Jenis mangrove di Muara Gembong yang ditemukan adalah jenis api-api,

bakau, dan pidada. Berdasarkan wilayah adminisitrasi, jenis mangrove yang

dominan di setiap desa adalah: (1) Desa Pantai Sederhana didominasi oleh

bakau dan terdapat pula tanaman sela yaitu jeruju dan piai; (2) Desa Pantai

Mekar didominasi oleh bakau dan api-api; (3) Desa Pantai Harapan Jaya

didominasi oleh pidada dan bakau; (4) Desa Bakti didominasi oleh didominasi

oleh bakau; (5) Desa Pantai Bahagia didominasi oleh bakau; dan (6) Desa

Jayasakti didominasi oleh bakau dan api-api.

Kegiatan usaha pertambakan telah menyebabkan berkurangnya jenis

mangrove. Selain itu faktor alam di beberapa lokasi berupa pantai terbuka

menyebabkan anakan mangrove tidak dapat tumbuh dengan baik di wilayah

tersebut. Kondisi ini mendorong perlunya kegiatan rehabilitasi mangrove

sehingga jenis mangrove yang ditemukan lebih homogen.

Pada tahun 1998 telah dilakukan kegiatan rehabilitasi jalur hijau dengan

luasan 5 ha. Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh LPP Mangrove (survey

lapang pada Juli 2000), diketahui bahwa kondisi terakhir areal hasil penanaman

pada kegiatan rehabilitasi pada tahun 1998 cukup baik (LPP Mangrove, 2000).

Komposisi jenis pohon yang terdapat di areal jalur hijau hasil penanaman tahun

1998 terdiri dari jenis Avicennia sp. (permudaan alam), Rhizophora mucronata,

R. apiculata, R. stylosa dan Bruguiera gymnorrhiza (hasil penanaman). Jenis

pohon yang mendominasi areal ini adalah jenis Avicennia sp.

Hutan mangrove di Teluk Naga yang seluas 6,25 ha terletak di Desa

Teluk Naga. Jenis mangrove yang ditemukan adalah bakau dan nipa. Saat ini

berkembang usaha pembibitan bakau di beberapa lokasi. Hal ini karena masih

sesuainya lahan untuk pembibitan bakau

Page 74: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

61

Gambar 4. Luas hutan mangrove di Muara Angke

Page 75: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

62

Gambar 5. Luas hutan mangrove di Muara Gembong

Page 76: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

63

Gambar 6. Luas hutan mangrove di Teluk Naga

Page 77: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

64

Gambar 7. Tingkat kerapatan vegetasi di Teluk Jakarta

Kerapatan rendah Kerapatan sedang Kerapatan tinggi

Page 78: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

65

Hasil penelitian Pusat Studi Kelautan Universitas Indonesia (2002)

menyatakan bahwa vegetasi hutan mangrove di Kabupaten Bekasi masih alami.

Jenis-jenis vegetasi yang ada sebanyak 13 jenis, yaitu Avicenna alba, Avicenna

officinalis, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, Excocaria agallocha,

Acanthus ilicifolius, Acrostichum aureum, Derris trifoliate, Chromolaena odorate,

Cyperus maritime, Nypa fruticans, Sesuvum portulacastum dan Wedelia biflora.

Komposisi jenis tumbuhan dan komponen utama penyusun kawasan

hutan mangrove adalah api-api (Avicennia spp), bakau (Rhizophora mucronata)

dan pidada (Sonneratia alba). Tumbuhan yang mendominasi adalah Avicenna

officinalis dan Rhizophora mucronata. Hasil analisis vegetasi menunjukkan

bahwa Avicenna officinalis memiliki kerapatan relatif (KR) sebesar 30,5% dengan

frekuensi relatifnya (FR) sebesar 49,5%, sedangkan Rhizophora mucronata

memiliki kerapatan relatif (KR) sebesar 44,2% dan frekuensi relatif (FR) 12,3%

(PSK-UI, 2002).

Berkurangnya spesies mangrove ini diduga sebagai akibat dari

meningkatnya limbah rumah tangga dan industri yang mengakibatkan

menurunnya kualitas air yang akhirnya mengganggu pertumbuhan dan

kehidupan berbagai spesies mangrove dan berbagai tingkatan pada setiap

spesies mangrove. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kadar logam berat dan

amonia yang melebihi standar baku mutu yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI

Jakarta (1995), yakni melebihi standar baku mutu lingkungan perairan.

Vegetasi hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong berbeda

berdasarkan tingkatan vegetasi. Vegetasi hutan mangrove pada tingkat semai

didominasi oleh mangrove dari jenis piyae (Acrostichum aureum) dan jenis nipa

(Nypa fructicans), dan bakau (Rhizophora mucronata). Vegetasi hutan mangrove

tingkat pancang dijumpai didominasi oleh Rhizophora mucronata, Acrostichum

auereum dan Acanthus Illicifolius. Vegetasi hutan mangrove tingkat pohon

didominasi oleh Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Kondisi vegetasi mangrove tersebut menggambarkan bahwa hutan

mangrove di Teluk Jakarta masih baik dan layak untuk dilestarikan. Masih

terdapat variasi sejumlah spesies mangrove di lokasi penelitian. Namun jika

pertumbuhan hutan mangrove yang ada tidak dijaga dengan baik, maka akan

terjadi pengurangan kuantitas maupun kualitas hutan mangrove itu. Secara

umum jenis vegetasi mangrove yang terdapat di Teluk Jakarta disajikan pada

Tabel 10.

Page 79: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

66

Tabel 10. Spesies mangrove yang ditemukan di Muara Angke, Muara

Gembong, Teluk Naga

Spesies Mangrove Muara Angke

Muara Gembong

Teluk Naga

Jeruju putih (Acanthus ebracteatus) √ Jeruju hitam (Acanthus ilicifolius) √ Piai raya (Acrostichum aureum) √ √ Piai lasa (Acrostichum speciosum) √ Teruntun (Aegiceras corniculatum) √ √ Api-api (Avicennia alba) √ √ Api-api putih (Avicennia marina) √ √ √ Lenggadai (Bruguiera cylindrical) √ Tancang merah (Bruguiera gymnorrhiza) √ √ Buta-buta (Excoecaria agallocha) √ √ Nipah (Nypa fructicans) √ √ Bakau minyak (Rhizopora apiculata) √ √ Bakau merah (Rhizopora mucronata) √ √ √ Bakau (Rhizopora stylosa) √ Pidada (Sonneratia alba) √ Pidada (Sonneratia caseolaris) √ √ √

Sumber: LPP-Mangrove (2004)

2. Hasil analisis kualitas air

Kajian mengenai kualitas air difokuskan pada faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove dan kualitas air untuk perairan

umum dan perikanan. Parameter yang digunakan adalah paramater fisika dan

kimia. Hasil analisis kualitas air disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Kualitas air di Teluk Jakarta

Parameter Satuan Muara Angke Muara Gembong Teluk Naga Baku Mutu Suhu °C 26,44 – 27,41 28,15 – 28,23 26,10 – 26,49 21,0 – 32,0

Salinitas ‰ 26,34 – 26,67 24,73 – 26,00 24,43 – 26,56 0,0 – 35,0 pH - 7,39 – 7,83 6,78 – 7,70 7,06 – 7,23 6,5 – 8,5 DHL μmhos/cm 1162 – 2300 79 – 1524 1000 – 3022 -

CO2 bebas mg/liter 0,43 – 0,85 0,60 – 0,94 0,50 – 0,110 ≤ 6,00 DO mg/liter 0,21 – 0,13 3,34 – 7,60 3,00 – 4,11 ≤ 25,00 BOD mg/liter 446,10 – 329,12 20,00 – 28,45 25,23 – 39,00 40 – 80 COD mg/liter 45,22 – 789,0 93,00 – 193,00 56,67 – 180,00 - Amonia mg/liter 7,11 – 3,32 0,15 – 0,30 1,98 – 4,23 ≤ 0,16 Merkuri mg/liter - 0,0004 – 0,0009 - ≤ 0,32 Kadmium mg/liter 0,001 0,005 – 0,04 0,008 – 0,015 ≤ 0,001 Timbal mg/liter 0,021 – 0,034 0,02 – 0,09 0,07 – 1,00 ≤ 0,03

Sumber: Hasil analisis (2005)

Page 80: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

67

Stasiun pengamatan di Kecamatan Penjaringan, tepatnya di Desa Muara

Angke terdapat di kawasan suaka marga satwa Muara Angke. Kawasan hutan

mangrove yang masih tersisa di wilayah Muara Angke dan merupakan lahan

basah (wet land) yang lebih dipengaruhi luapan Sungai Angke pada saat pasang

surut air laut.

Rata-rata suhu di Sungai Angke maupun lahan mangrove adalah 27,4oC

pada saat pasang dan 26,4oC pada saat surut. Rata-rata salinitas air adalah

26,3‰ saat surut dan saat pasang mencapai 26,7‰. pH air saat surut adalah 7,4

dan saat pasang adalah 8,3 dengan rata-rata 7,8. Jika dibandingkan dengan

baku mutu kualitas air sesuai PP No. 48 tahun 1990 parameter suhu, salinitas

dan pH masih dalam batas yang ditolerir namun BOD, COD, amonia, dan logam

berat telah melampaui ambang batas. Rendahnya kualitas air tersebut diduga

menjadi penyebab langkanya kehidupan biota perairan di kawasan suaka marga

satwa Muara Angke. Rusaknya hutan mangrove di kawasan Muara Angke ini

juga menyebabkan langkanya air tawar di daratan, karena mengakibatkan

terjadinya intrusi air laut ke daratan Penjaringan dan sekitarnya.

Muara Gembong merupakan salah satu wilayah yang berada di Teluk

Jakarta, yang merupakan daerah yang cukup terlindung dari hempasan ombak

dan gelombang pantai Teluk Jakarta. Hal ini menyebabkan kawasan hutan

mangrove yang berada di wilayah tersebut masih cukup baik, namun kerusakan

terjadi karena perubahan fungsi dari kawasan hutan mangrove menjadi daerah

pertambakan. Rendahnya salinitas air ini karena ke lokasi ini banyak masuk air

tawar.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tingginya BOD dan COD

yang telah melebihi batas ambang untuk air minum baku (lebih dari 6 mg/l).

Demikian pula untuk perikanan laut yaitu >20 mg/l (SK Gubernur DKI Jakarta,

1995). Nilai BOD5 relatif tinggi yaitu di muara sungai Citarum yang disebabkan

karena buangan rumah tangga dari pemukiman nelayan di perairan estuaria

tersebut, serta adanya penimbunan bahan organik yang tidak terbawa arus pada

saat pasang. Kadar amonia dan logam berat juga menyebabkan terjadinya

hambatan pada pertumbuhan hutan mangrove.

Tipe pasut di Kecamatan Muara Gembong sama dengan di Muara Angke

yakni tipe pasut tunggal. Sifat fisik tanah pada hutan mangrove Muara Gembong

secara umum adalah tipe liat berlempung, permiabilitas lambat, dan drainae

Page 81: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

68

terhambat. Kondisi perairan terganggu akibat aktivitas manusia mengubah hutan

mangrove menjadi tambak.

Kecamatan Teluk Naga dulunya merupakan lokasi hutan mangrove,

namun pada tahun 1986 dikembangkan menjadi daerah pertambakan seluas

4.740,8 ha. Akibat konversi lahan tersebut, selain mengakibatkan terjadinya

abrasi juga mengakibatkan terjadinya intrusi air laut yang menghancurkan

sebagian besar usaha petani. Namun kondisi wilayah yang ada masih

memungkinkan untuk menyelamatkan hutan mangrove guna menghindari

terjadinya abrasi pantai yang lebih luas.

Suhu perairan di hutan mangrove Teluk Naga pada saat pasang yaitu

26,5oC dan terendah 26,1oC. pH pada saat pasang 7,2 dan pada saat surut 7,1

dengan pH rata-rata 7,2. Parameter BOD, COD, amonia, sangat tinggi sehingga

menimbulkan pencemaran perairan. Di lokasi penelitian juga terdapat logam

berat kadmium dan timbal yang kadarnya sudah tinggi. Kandungan Cd di

perairan berkisar 0,0009 – 0,104 mg/l dengan rata-rata 0,022 mg/l pada saat

pasang dan saat surut berkisar 0,008 – 0,013 mg/l dengan rata-rata 0,010 mg/l.

Nilai rata-rata ini telah melebihi baku mutu air untuk air minum (Saeni, 2004).

Selain logam berat Cd, Logam berat timbal (Pb) juga telah melebihi baku mutu.

Kandungan Pb berkisar 0,08 – 1,00 mg/l dengan rata-rata 0,49 mg/l pada saat

pasang dan saat surut berkisar 0,07 – 1,00 mg/l dengan rata-rata 0,18 mg/l.

Kadar logam berat Pb telah melewati ambang batas sehingga perairan

tidak layak untuk air minum, kegiatan perikanan, pertanian, dan peternakan.

Kondisi perairan Teluk Naga tersebut memerlukan perhatian terhadap masalah

kualitas air guna penyelamatan hutan mangrove yang telah rusak. Terjadinya

peningkatan kadar orto-fosfat di perairan disebabkan oleh meningkatnya

buangan limbah industri dan rumah tangga, begitu pula halnya dengan

parameter logam berat seperti kadmium dan timbal yang meningkat sebagai

akibat adanya aktivitas kegiatan industri, gedung tinggi, jalan sempit, dan

kemacetan lalu lintas (Saeni, 2004). Selain hal tersebut suhu perairan juga

terindikasi meningkat sehingga bisa mengganggu proses fisiologis (metabolisme)

tumbuhan mangrove.

Pertumbuhan dan perkembangan mangrove sangat dipengaruhi oleh

faktor-faktor lingkungan. Kusmana (2005) menyatakan bahwa berdasarkan

berbagai hasil penelitian dapat disimpulkan penyebaran jenis mangrove sangat

berkaitan dengan salinitas, tipe pasang dan frekuensi penggenangan.

Page 82: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

69

Supriharyono (2000) menyatakan bahwa walaupun tumbuhan mangrove dapat

berkembang pada kondisi lingkungan yang buruk, akan tetapi setiap tumbuhan

mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri

terhadap kondisi lingkungan fisik-kimia. Dinyatakan bahwa ada empat faktor

utama yang menentukan penyebaran tumbuhan mangrove yaitu: frekuensi arus

pasang, salinitas tanah, air tanah, dan suhu air.

Berdasarkan nilai-nilai kisaran parameter lingkungan tersebut diketahui

bahwa mangrove masih dapat tumbuh dengan baik. Dengan nilai kisaran suhu

yang diperoleh memungkinkan semua jenis tumbuhan mangrove dapat tumbuh,

sehingga memungkinkan untuk menjumpai jenis-jenis mangrove antara lain:

Rhizophora apiculata, Xylocarpus ganatum, Sonneratia alba, Limnitzera

racemosa, Bruguera rymnorhiza, Rhizophora stylosa, dan Rhizophora

mucronata. Walsh (1974) menyatakan bahwa suhu merupakan pembatas

kehidupan mangrove, dengan suhu yang baik tidak kurang dari 20 0C sedangkan

kisaran suhu musiman tidak melebihi 50C. Namun demikian suhu yang tinggi

(400C), cenderung tidak mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan tumbuhan

mangrove.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan

mangrove adalah salinitas. Kusmana (2000) menyatakan bahwa salinitas air dan

salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya

tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di

daerah estuaria dengan salinitas 10 - 30‰. Nilai salinitas memungkinkan

tumbuhan mangrove dengan beberapa jenis dapat tumbuh dengan baik.

Faktor lingkungan lain yang menjadi pembatas dalam pertumbuhan

mangrove adalah kadar oksigen rendah. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh

nilai kisaran kadar oksigen terlarut (DO) yaitu 0,21 – 7,26 mg/l. Nilai tersebut

tergolong ideal untuk kebutuhan pertumbuhan mangrove. Apabila kandungan

oksigen terlarut rendah maka mangrove memiliki tingkat adaptasi dengan sistem

perakaran khas yang dimiliki. Sistem perakaran mangrove dua tipe yakni: tipe

cakar ayam yang mempunyai pneumatofora dan tipe tongkat yang mempunyai

lentisel. Tingkat kandungan oksigen terlarut yang tinggi memungkinkan bagi

tumbuhan mangrove untuk tumbuh dengan baik, dan apabila habitat mengalami

kandungan oksigen terlarut yang rendah, maka sistem perakaran tersebut

berfungsi untuk mengambil dan mengikat oksigen dari udara.

Page 83: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

70

Hasil pengukuran pH diperoleh bahwa rata-rata nilai pH yaitu 6,7 – 7,8.

Nilai tersebut merupakan pH netral. Kisaran pH tersebut tidak terlalu

berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove, hal tersebut disebabkan karena

pH yang terukur merupakan pH netral dan masih mampu ditolerir atau masih

dalam batas toleransi.

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Kondisi sosial ekonomi masyarakat pada ketiga wilayah kajian berbeda-

beda, baik dari struktur perekonomian maupun karakteristik sosial budaya

masyarakatnya. Wilayah kecamatan terluas adalah Kecamatan Muara Gembong

tetapi memiliki kepadatan penduduk yang paling rendah. Persentase penduduk

Kecamatan Muara Gembong juga relatif kecil (1,78%). Kecamatan Penjaringan

merupakan wilayah yang terpadat dari tiga lokasi kajian. Kecamatan Teluk Naga

relatif kecil dibanding luas wilayah Kabupaten Tangerang. Secara rinci masing-

masing wilayah dideskripsikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Luas wilayah dan kepadatan penduduk di Kecamatan Penjaringan, Muara Gembong, dan Teluk Naga tahun 2004

Kecamatan Luas wilayah Penduduk Kepadatan

Penduduk (jiwa/km2)

Luas (km2)

% terhadap Kabupaten

Jumlah (jiwa)

% terhadap Kabupaten

Penjaringan 35,48 25,42 176.586 15,04 4.977Muara Gembong 140,09 11,00 36.109 1,78 258Teluk Naga 40,58 3,65 106.162 3,20 2.616

Sumber: BPS Jakarta Utara (2006); BPS Bekasi (2006); BPS Tangerang (2006)

1. Muara Angke

Secara administratif kawasan hutan mangrove Muara Angke termasuk

wilayah Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Kapuk Muara dan Kelurahan Pluit,

Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Luas wilayah Jakarta Utara 139,55 km2,

dengan jumlah penduduk tahun 2005 sekitar 1.173.935 jiwa dengan rincian

jumlah laki-laki 601.567 jiwa (51,43%) dan jumlah perempuan 572.368 jiwa

(48,57%). Tingginya tingkat kepadatan penduduk di Jakarta Utara ini

dikarenakan tingkat urbanisasi yang tinggi (Jakarta Utara Dalam Angka, 2005).

Page 84: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

71

Luas wilayah Kecamatan Penjaringan 35,49 km2, dengan jumlah

penduduk 176.586 jiwa (91.502 jiwa laki-laki dan 85.084 jiwa perempuan),

kepadatan penduduk 4.976 jiwa/km2. Penduduk yang tinggalnya berdekatan

dengan hutan mangrove Muara Angke adalah penduduk yang berada di

Kelurahan Pluit, Kelurahan Angke dan Kelurahan Kamal Muara. Disamping itu

beberapa anggota masyarakat juga ikut memberikan pengaruh terhadap

keberadaan hutan mangrove Muara Angke, seperti Kelurahan Tegal Alur dan

Kelurahan Teluk Gong.

Penduduk di Kelurahan Pluit mempunyai tingkat pendidikan yang merata

mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi. Mata pencaharian

masyarakat di Kelurahan Pluit sebagian besar adalah karyawan (pegawai negeri

dan swasta), pedagang, dan nelayan.

Keberadaan perumahan Pantai Indah Kapuk dengan segenap sarana

prasarananya (rumah sakit, lapangan golf, pertokoan dan lain-lain) telah

memberikan dampak langsung terhadap pengembangan wilayah Kelurahan Pluit

termasuk pengembangan wilayah Kecamatan Penjaringan. Di samping itu

adanya Tempat Pelelangan Ikan di Muara Angke, pengolahan ikan asin dan

kerang hijau, terminal dan restoran juga merupakan pusat-pusat kegiatan yang

memberikan pengaruh besar terhadap kondisi pengembangan wilayah dan

peningkatan pendapatan masyarakat.

Di samping itu, terbukanya akses dari beberapa potensi obyek wisata di

wilayah DKI Jakarta (Taman Impian Jaya Ancol, Mangga Dua, Glodok, Mega

Mall Pluit, Anggrek Mall, Senayan Plaza, Bandara Sukarno Hatta) menuju

wilayah Kelurahan Pluit dan SM Muara Angke, memberikan peluang besar untuk

dapat mengembangkan kegiatan pendidikan lingkungan dan wisata terbatas,

serta mengembangkan kegiatan ekonomi yang mendukung kegiatan wisata di

Kelurahan Pluit dan Kecamatan Penjaringan.

2. Muara Gembong

Kecamatan Muara Gembong berada di utara Kabupaten Bekasi yang

berbatasan langsung dengan Laut Jawa, memiliki luas wilayah 140,09 km2 dan

merupakan kecamatan terbesar di Kabupaten Bekasi. Jumlah penduduknya

mencapai 36.108 jiwa dengan kepadatan 258 jiwa /km2.

Panjang pantai di Kecamatan Muara Gembong adalah 17 km. Hutan

mangrove yang dimiliki saat ini luasnya 330,24 ha. Luas tambak yang ada di

Page 85: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

72

kecamatan ini seluas 6.714,94. Sarana dan prasarana yang ada di kecamatan ini

adalah satu buah Tempat Pelelangan Ikan.

Kabupaten Bekasi yang merupakan penyangga DKI Jakarta mempunyai

nilai lokasi strategis untuk rencana pembangunan di masa yang akan datang.

Kegiatan ekonomi yang diselenggarakan di DKI Jakarta akan mempunyai

dampak langsung maupun tidak langsung

3. Teluk Naga

Kecamatan Teluk Naga terletak di daerah pesisir Teluk Jakarta. Sebagian

wilayahnya berada di pinggir pantai, sedangkan sebagian wilayah berupa

dataran. Jumlah penduduk di Kecamatan Teluk Naga adalah 113.696 jiwa,

dengan kepadatan adalah 2.399 jiwa per km2, dimana kepadatan tertinggi

terdapat di Desa Kampung Melayu Barat dan kepadatan terendah di Desa

Muara. Pendapatan per kapita penduduk adalah Rp4.585,07.

Luas areal hutan di Kecamatan Teluk Naga adalah 620 ha dimana hutan

milik negara seluas 10 ha, tanah adat 223 ha dan hutan milik Perum Perhutani

387 ha. Luas pertambakan di kecamatan ini adalah 527 ha. Sarana dan

prasarana transportasi yang ada di kecamatan ini adalah jalan desa 36.907,86

m, jalan penghubung antar desa sepanjang 596 m. Dermaga kapal sebanyak 4

buah, yang mendukung kelancaran akses ke pulau-pulau yang terletak di

Kepulauan Seribu (BPS Kabupaten Tangerang, 2005).

Struktur perekonomian di wilayah sekitar Teluk Jakarta bervariasi pada

setiap lokasi. Namun demikian, ketiga lokasi memiliki karakteristik yang sama

yakni peran sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan relatif kecil.

Sektor yang memberikan sumbangan terbesar adalah industri pengolahan dan

perdagangan, hotel, dan restoran.

Di Jakarta Utara, peran sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan

perikanan hanya mencapai 0,16%. Demikian pula dengan sumbangan sektor ini

terhadap perekonomian Kabupaten Bekasi yang hanya 2,25%. Laju

pertumbuhan sektor ini di ketiga wilayah semakin menurun. Hal ini merupakan

ancaman terhadap kelestarian kawasan mangrove yang memiliki fungsi ekologis

penting. Distribusi PDRB pada tiga lokasi penelitian disajikan pada Tabel 13.

Page 86: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

73

Tabel 13. PDRB Jakarta Utara, Bekasi, dan Tangerang tahun 2004 atas harga dasar konstan tahun 2000

Lapangan usaha Jakarta Utara Bekasi Tangerang

Juta Rupiah % Juta Rupiah % Juta Rupiah % Pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan

86.096 0,16 841.132 2,25 1.470.664 9,76

Pertambangan dan penggalian

- - 482.680 0,13 12.597 0,08

Industri pengolahan 24.802.860 47,10 30.023.618 80,33 8.370.263 55,54Listrik, gas, dan air bersih

805.809 1,53 681.015 1,82 946.300 0,06

Bangunan 4.578.281 8,69 406.365 1,09 285.067 1,89Perdagangan, hotel, dan restoran

9.487.044 18,02 3.353.750 8,97 1.878.403 12,46

Pengangkutan dan komunikasi

5.886.604 11,18 520.089 1,39 1.084.697 7,20

Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan

3.105.511 5,90 350.431 0,94 381.079 2,53

Jasa-jasa 3.907.100 7,42 718.565 1,92 641.731 4,26Jumlah 52.659.305 100,00 37.377.649 100,00 15.070.780 100,00

Sumber: BPS Jakarta Utara (2006); BPS Bekasi (2006); BPS Tangerang (2006)

4.4 Permasalahan Pengelolaan Hutan Mangrove

Berdasarkan hasil penelitian lapangan di tiga lokasi yaitu Muara Angke

Muara Gembong dan Teluk Naga dan berdasarkan hasil data sekunder yang

relevan dengan topik penelitian, ditemukan beberapa permasalahan pokok yang

dapat mengancam kelestarian hutan Mangrove.

1. Degradasi hutan mangrove

Hutan mangrove di kawasan Muara Angke yang berstatus hutan lindung

tahun 1995 seluas 50,80 ha dan tahun 1999 luasan menyusut menjadi 44,76 ha

atau berkurang 6,04 ha selama 5 tahun atau 1,21 ha per tahun. Demikian juga

hutan wisata Muara Kamal dari 101,60 ha berkurang 99,82 ha atau menyusut

1,78 ha atau 0,36 ha per tahun. Hutan mangrove cagar alam Muara Angke relatif

tetap yaitu 25,25 ha. Di Muara Gembong luasan hutan mangrove dari 9.749,9 ha

menjadi 3.320 ha berarti menyusut menjadi 6.429,90 ha.

Rusaknya hutan mangrove berarti terganggunya penyediaan serasah

dalam perairan yang sangat dibutuhkan untuk tumbuhnya mikroorganisme.

Disamping itu terganggunya daerah pengasuhan (nursery ground), daerah

Page 87: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

74

mencari pakan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spanning ground) bagi

berbagai jenis ikan, udang dan biota air lainnya.

Lokasi Muara Angke, Muara Gembong dan Teluk Naga yang memiliki

hutan mangrove menjadi sangat rentan terhadap meningkatnya jumlah

penduduk, terutama untuk pemukiman dan pemenuhan kebutuhan hidupnya

misalnya untuk tambak. Akibatnya pantai terancam terjadi abrasi dan

sedimentasi, bahkan pencemaran dari sampah rumah tangga dan domestik tidak

dapat dikendalikan. Hal ini akan mengganggu kelestarian lingkungan.

Berdasarkan hasil penelitian lapangan di tiga lokasi dapat dilacak, ditemukan

permasalahan lingkungan hutan mangrove sebagaimana tertera pada Tabel 14.

Tabel 14. Permasalahan lingkungan hutan mangrove di Teluk Jakarta

Muara Angke Muara Gembong Teluk Naga

- Dikonversi menjadi permukiman.

- Di sebelah timur ada pemukiman nelayan dan di selatan pantai indah kapuk,

- Abrasi dan sedimentasi

- Pencemaran dari sampah dan limbah industri.

- Luas hutan mangrove menyusut

- Kawasan pantai yang berhadapan dengan ombak dan gelombang besar sehingga terjadi abrasi dan sedimentasi

- Eksploitasi hutan mangrove untuk kepentingan ekonomi sesaat.

- Hutan mangrove telah rusak - Terjadi abrasi dan sedimentasi- Pencemaran air, akumulasi

sampah dan limbah - Wilayah pesisir dari utara ke

selatan tidak ada hutan mangrove

- Kualitas air rendah, kotor, warna hitam dan bau

- Penambangan pasir laut. - Pembangunan fasilitas wisata

Sumber: Hasil survey lapangan (2006) 2. Permasalahan sosial ekonomi

Persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove, yang menilai

mangrove tidak memiliki nilai berharga, sehingga keberadaan pohon mangrove

dibabat untuk kepentingan kayu bakar, bahan bangunan, bahan arang dan

bahan kertas (pulp). Pada umumnya hutan mangrove seperti di Muara Gembong

dan Teluk Naga digunakan usaha tambak, bahkan ada anggapan dengan

semakin luas membabat mangrove, areal tambak menjadi luas dan produksinya

meningkat. Hutan mangrove sangat rentan terhadap kegiatan manusia untuk

tambak, persawahan dan pemukiman.

Faktor sosial lain yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan hutan

mangrove adalah aspek kepemilikan lahan. Di Muara Gembong, sebagian besar

lahan budidaya telah menjadi milik pengusaha dari luar Muara Gembong untuk

Page 88: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

75

dijadikan lahan budidaya perikanan. Tenaga kerja di usaha budidaya perikanan

tersebut adalah masyarakat Muara Gembong yang belum memiliki lahan. Petani

juga menggarap lahan hutan milik Perum Perhutani dengan sistem sewa lahan.

Pendapatan petani masih relatif rendah. Keuntungan lebih banyak diperoleh

pedagang dan pemilik lahan.

Dukungan pendanaan untuk melestarikan hutan mangrove relatif kurang

karena apresiasi penentu kebijakan terhadap pelestarian hutan mangove masih

rendah. Pada umumnya pertimbangan pendanaan lebih diarahkan pada sektor-

sektor yang memberikan hasil ekonomi secara langsung. Berdasarkan hasil

penelitian lapangan di tiga lokasi ditemukan permasalahan sosial ekonomi

masyarakat hutan mangrove secara rinci sebagaimana tertera pada Tabel 15.

Tabel 15. Permasalahan sosial ekonomi hutan mangrove di Teluk Jakarta

Muara Angke Muara Gembong Teluk Naga - Tingginya permintaan sumber

daya lahan untuk pemukiman. - Pembabatan mangrove untuk

kayu bakar, konstruksi, dan pembuatan arang.

- Partisipasi masyarakat rendah. - Belum memiliki data dan

informasi mangrove yang lengkap

- Keterbatasan wawasan terhadap manfaat dan fungsi hutan mangrove

- Tidak taatnya petambak terhadap kontrak dengan Perum Perhutani

- Tingginya kebutuhan masyarakat untuk lahan tambak.

- Kesenjangan ekonomi antara penduduk Jakarta dengan penduduk Muara Gembong.

- Terjadi penggalian pasir laut untuk kepentingan ekonomi

- Keinginan Pemda guna meningkatkan PAD sehingga mengkonversi hutan mangrove

- Tekanan jumlah penduduk mengganggu lahan hutan mangrove

Sumber: Hasil survey lapangan (2006)

3 Konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan

Pengelolaan hutan mangrove terdiri atas dua fungsi utama yaitu pertama

sebagai fungsi lindung yang diselenggarakan dengan tujuan untuk meningkatkan

fungsi pengaturan tata air, pencegahan intrusi air laut, polusi, perlindungan

terhadap angin, abrasi pantai dan mempertahankan habitat biota akuatik dan

terrestrial. Kedua, pengelolaan hutan mangrove dengan fungsi pelestarian

diselenggarakan dengan tujuan untuk menjaga kemurnian, keunikan

keanekaragaman genetik, spesies dan ekosistem hutan mangrove. Dalam

kegiatan perlindungan dan pelestarian hutan mangrove diupayakan dapat

terintegrasi dengan kepentingan dan hak masyarakat sekitarnya.

Page 89: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

76

Permasalahan utama dalam pengelolaan hutan mangrove yang berkaitan

dengan upaya kelestarian fungsinya adalah perambahan hutan mangrove dalam

bentuk perubahan status kawasan untuk keperluan perluasan tambak yang

dilakukan secara besar-besaran oleh pihak swasta atau secara sporadis oleh

masyarakat untuk keperluan permukiman, kawasan industri dan keperluan lain

serta pengambilan kayu oleh masyarakat. Luas kawasan hutan mangrove di

Muara Angke, kondisinya banyak mengalami tekanan berupa pencemaran dan

perambahan. Selain itu belum ditemukan formula yang cukup memadai untuk

menghentikan atau menghambat upaya perambahan yang dilakukan secara

sistematis dan sporadis.

Pemanfaatan lahan di wilayah pesisir Teluk Jakarta mengalami konflik

antar stakeholder. Konflik pemanfaatan terjadi secara horisontal antar

masyarakat dan pengusaha, dan konflik vertikal antar pemerintah daerah. Konflik

di Muara Gembong dan di Teluk Naga akibat belum memiliki status hutan yang

jelas. Sosialisasi kebijakan bagi para petambak dan masyarakat kurang efektif

sehingga tetap menimbulkan pola pemanfaatan yang berlebihan.

Pantai Utara Jakarta yang terbentang sepanjang 32 km, akan direklamasi

dengan mengambil lebar dari bibir pantai ke arah laut sejauh 1,5 km dan

kedalaman maksimal 8 m. Artinya seluruh lahan reklamasi akan menghabiskan

lahan seluas 2.500 ha. Rencananya, diatas lahan reklamasi itu, selain untuk

pembangunan kegiatan industri, juga untuk fasilitas kegiatan pariwisata,

perkantoran, pusat bisnis, sarana transportasi dan perumahan penduduk untuk

750. 000 jiwa. Kawasan ini meliputi Kabupaten Bekasi di timur hingga Kabupaten

Tangerang di sebelah barat.

Kawasan reklamasi tersebut diapit dua sungai besar yang berpotensi

sebagai sumberdaya air, yakni sungai Citarum di timur dan sungai Cisadane di

barat. Juga terdapat 13 sungai kecil lainnya yang bermuara ke teluk Jakarta.

Untuk mereklamasinya dibutuhkan 335 juta meter kubik bahan urukan, termasuk

pasir. Untuk pemenuhan deposit pasir laut ini, berdasarkan studi terdapat di

Tanjung Burung, pulau Tidung, TanjungKait,TanjungPontang, pantai Cemara,

pasir Putih, serta bekas pertambangan timah di pulau Bangka dan Belitung.

Kawasan reklamasi tengah diperuntukkan sebagai pusat bisnis,

perkantoran, industri, pergudangan dan apartemen yang akan dimulai dari

sekarang hingga 2010, dan untuk perumahan dan pariwisata, lahan reklamasi

Page 90: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

77

yang disediakan adalah bagian barat dan timur, yang akan dibangun mulai 2005

sampai 2015.

Pemda DKI Jakarta belum menilai biaya kerusakan ekosistem seperti

mangrove, padang lamun, terumbu karang, ikan dan ekosistem laut yang akan

hilang dari kawasan ini. Hilangnya cagar alam Muara Angke yang selama ini

berfungsi ekologis strategis bagi Jakarta. Hilangnya mata pencarian

pembudidaya ikan yang memanfaatkan teluk Jakarta selama ini, tidak menjadi

bahan pertimbangan. Sementara keahlian mayoritas di kawasan itu adalah

budidaya dan menangkap ikan.

Dalam peraturan daerah tentang RUTR (Rencana Umum Tata Ruang)

1960 - 1985 maupun RUTR 1985 – 2005 tidak terdapat rencana reklamasi

pantura. Landasan hukum reklamasi Pantura adalah Keppres No. 52 tahun 1995

tentang Reklamasi Pantura. Dalam Peraturan Daerah No. 6 tahun 1999 tentang

rencana tata ruang wilayah (RTRW) 2010 muncul ketentuan tentang reklamasi

pantura.

Alih fungsi lahan terjadi karena tidak tegasnya penegakan hukum

mengenai ketaatan terhadap rencana tata ruang yang telah disusun. Alih fungsi

lahan terjadi khususnya untuk hutan mangrove di Muara Angke untuk

permukiman dan pedagangan, di Muara Gembong untuk kegiatan pertambakan,

dan di Teluk Naga untuk kegiatan pertambakan dan industri. Permasalahan

konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan hutan mangrove di Teluk Jakarta

disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Permasalahan konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan hutan

mangrove di Teluk Jakarta

Muara Angke Muara Gembong Teluk Naga - Konflik

pemanfatan untuk permukiman dan kawasan lindung

- Reklamasi kawasan Pantura Jakarta

- Terjadi konflik pemanfaatan kepentingan lahan antar petambak dengan Perum Perhutani, dan Perum Perhutani dengan Pemda.

- Belum ditetapkan status dan fungsi hutan mangrove

- Dikonversi menjadi lahan tambak dan penambangan pasir laut

- Terjadi penggalian pasir laut untuk kepentingan ekonomi

4. Permasalahan kelembagaan dan kebijakan

Penentu dan pembuat kebijakan yang kurang mempertimbangkan nilai

dan fungsi hutan mangrove merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

kerusakan mangrove di Teluk Jakarta. Salah satu indikasi dari hal tersebut

Page 91: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

78

adalah pemanfaatan ruang yang tidak konsisten dengan RTRW. Disamping itu

sosialisasi kebijakan dalam pelestarian hutan mangrove belum

diimplementasikan secara tepat sehingga masyarakat belum sepenuhnya

mengetahui adanya kebijakan tersebut.

Kelembagaan pemerintah di Muara Angke, Muara Gembong, dan Teluk

Naga belum berperan secara tepat, untuk itu perlu ditingkatkan kapasitasnya.

Sampai saat ini belum ada kelembagaan yang memiliki kewenangan dan tugas

pokok dalam mengelola dan melestarikan hutan mangrove pada wilayah Teluk

Jakarta secara terpadu. Hal ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih kegiatan

di tingkat lapangan dan tidak jelasnya penanggung jawab jika terjadi

permasalahan.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan permasalahan kelembagaan

hutan mangrove di Teluk Jakarta sebagai berikut: (1) Belum ada lembaga yang

terpadu mengelola Teluk Jakarta; (2) Lembaga sosial ekonomi belum berperan

dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (3) Belum didukung data dan

informasi tentang hutan mangrove; (4) Belum ada kebijakan mendorong

pemanfaatan lahan secara optimal dan berkelanjutan dengan tetap

memperhatikan kelestarian ekosistem mangrove; (5) Adanya egoisme sektoral,

tugas dan kewenangan dari masing-masing instansi terkait; (6) Peran pemerintah

dalam menyelesaikan konflik antar instansi, pengusaha, dan masyarakat belum

optimal; dan (7) Rencana tata ruang wilayah pesisir yang disepakati oleh tiga

wilayah administrasi di Teluk Jakarta belum ada.

Peraturan berfungsi sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku

stakeholder dalam melakukan pemanfaatan hutan mangrove. Kinerja

pengelolaan hutan mangrove merupakan output dari peraturan. Terdapat 67

peraturan yang terkait secara langsung dan tidak langsung dengan pengelolaan

hutan mangrove. Hirarki peraturan mulai dari UU hingga peraturan desa, yang

berdasarkan pengaturannya terdiri atas: pengalokasian distribusi kewenangan

pengelolaan hutan mangrove; pengaturan substansi penentuan kawasan hutan

mangrove dan konversi mangrove; pengaturan pemanfaatan hutan mangrove;

pengaturan rehabilitasi hutan mangrove; dan perlindungan serta pengamanan

hutan mangrove. Secara garis besar pengaruh berbagai peraturan terhadap

kinerja pengelolaan hutan mangrove disajikan pada Tabel 17.

Page 92: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

79

Tabel 17. Pelaksanaan peraturan dan kinerja pengelolaan mangrove di sekitar Teluk Jakarta

Peraturan Bidang isi Pelaksanaan Kinerja

PP Nomor 69 Tahun 1996

Pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang

PERDA No. 5 tahun 2003 tidak melibatkan masyarakat sekitar hutan mangrove,

Menimbulkan keraguan status hutan mangrove dan peluang bagi free rider untuk memperjualbelikan lahan garapan. Kawasan ini termasuk dalam daerah lingkungan kepentingan pelabuhan.

PP Nomor 70 Tahun 1996

Pelabuhan Relokasi pelabuhan Tanjung Priok ke wilayah pantai utara Kab. Bekasi

PP Nomor 15 Tahun 1990 jo. No. 141/2000

Usaha perikanan Diimplementasikan pada areal garapan dan penggarap memperoleh insentif

Perubahan pola pemanfaatan dari tambak tumpangsari menjadi tambak intensif. Kuota pemanfaatan melewati 4 kali lebih besar dari 2.156,71 ha menjadi 8.431,55 ha.

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2000

Perijinan usaha perikanan

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 09/Men/2001

Intensifikasi budidaya udang pada rawa dan payau

Dalam tataruang mangrove dialokasikansebagai kawasan pelabuhan

Keputusan Menteri Keuangan No 174/KMK. 04/1993

Penentuan klasifikasi dan besarnya nilai jual objek pajak sebagai dasar pengenaan PBB

Mangrove dikategorikan sebagai tanah yang tidak terlalu produktif,nilai jualnya sdh sama dengan kelas terendah.

Mangrove dianggap bernilai apabila bermanfaat dalam jangka pendek

Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 593/Kep 518/Huk/1988

Penguasaan, peruntukkan dan penggunaan tanah timbul di Provinsi Jawa Barat

Duplikasi pengaturan kawasan mangrove terutama yang tidak ada tanamannya karena dianggap sebagai tanah timbul

Tanah timbul yang berbatasan dengan lahan objek land reform. Terjadi dualisme lembaga hak pemilikan dan tidak bisa diekslusinya 530 penggarap illegal

SK Dirut Perum Perhutani

Pengelolaan hutan bersama masyarakat

Diterapkan pada kegiatan pengelolaan hutan mangrove

Hutan mangrove yang tersisa antara 330,24 – 1.195,28 ha, karena hak kepemilikan menimbulkan ketidakpastian

Perda Kabupaten No.44 Bekasi No5 2003.

Tata ruang kawasan khususnya Pantura

Mangrove tidak dijadikan sebagai kawasan lindung

Penggarap tidak taat aturan main kontrak

SK Kepala Unit III No. 2201/Kpts/III/1997

Petunjuk kerja GRPKH

Dilaksanakannya sejak tahun 1999.

Hasil reboisasi 21,68 ha/tahun dengan laju pemanfaatan mangrove 255,44 ha/tahun. Hutan yang tersisa 386,21 ha.

SKB Bupati Bekasi, dan KKPH Bogor No.5 /SPK/Ek/236.3/VIII19 85 dan No. 059.7/Bgr/Ill.

Kerjasama pelestarian mangrove

Merehabilitasi 5.700 ha lahan kritis di kawasan hutan mangrove

PERDES Harapan Jaya, Panti Bahagia, Pantai Bakti, Pantai Mekar dan Pantai Sederhana

Penolakan program pengelolaan hutan mangrove yang diinisiasi Perhutani

Penebangan mangrove pada lahan garapan dan penggarap tidak menanam mangrove pada lahan garapan

Tanaman mangrove hanya disisakan pada pematang tambak berkisar antara 5 – 10 pohon/lahan garapan

Sumber: Suhaeri (2005)

Page 93: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

80

Permasalahan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta yaitu: (a)

adanya interaksi yang tinggi dari masyarakat karena kebutuhan akan lahan

menyebabkan alih fungsi lahan hutan menjadi tambak, sawah, pemukiman, dan

kebun; (b) lebih dominannya pertimbangan ekonomi sehingga terjadi perubahan

penggunaan lahan; (c) kurangnya dukungan Pemda dalam hal penegakan

hukum; (d) belum samanya persepsi tentang eksistensi hutan mangrove, baik

status maupun fungsi; dan (e) rendahnya tingkat pendapatan masyarakat di

sekitar hutan mangrove.

4.5 Persepsi dan Keinginan Masyarakat

Aspirasi para pihak (pemerintah, pengusaha, LSM, dan masyarakat) perlu

dikumpulkan dan dikaji secara bersama-sama melalui. Mekanisme penyaringan

aspirasi perlu dipandu fasilitator atau tenaga ahli yang menguasai permasalahan

tentang pengembangan kebijakan dan kapasitas kebijakan secara tepat yang

dapat menyelamatkan hutan mangrove serta prinsip-prinsip pengusahaan yang

mampu mendorong peran serta para pihak secara adil, transparan dan

berwawasan lingkungan kebijakan pembangunan daerah dan pengembangan

kapasitas kebudayaan dalam penyelamatan hutan mangrove.

1. Muara Angke

Hasil wawancara terhadap keinginan 100 responden di kawasan Hutan

Muara Angke dan wilayah sekitarnya menunjukkan bahwa diperlukan adanya

penanaman kembali berbagai jenis mangrove yang layak tumbuh guna menjaga

kelestarian hutan mangrove pada saat ini dan di masa yang akan datang.

Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove di Muara

Angke, 30,0% responden menyatakan sangat setuju untuk menjaga dan

melindungi hutan mangrove guna menghindari kerusakan, 65,6% menyatakan

setuju, 3,2% kurang setuju, 1,0% tidak setuju, serta 0,2% menyatakan sangat

tidak setuju secara rinci seperti tertera pada Tabel 18. Kenyataan ini

menggambarkan bahwa dalam mengembangkan hutan mangrove di kawasan

suaka marga satwa dan wilayah sekitarnya diperlukan peran serta masyarakat.

Untuk itu maka sangat diharapkan adanya upaya perlindungan hutan mangrove

secara efisien dan efektif guna menghindari kerusakan yang berkepanjangan

yang pada akhirnya akan berakibat pada perubahan situasi lingkungan.

Page 94: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

81

Tabel 18. Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Muara Angke

Pertanyaan

Jumlah Responden

Sangat Setuju Setuju Kurang

SetujuTidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

Penyelamatan hutan mangrove 50 46 4 0 0

Zonasi dalam pemanfaatan hutan mangrove

20 72 5 3 0

Manfaat hutan mangrove bagi masyarakat

19 79 1 1 0

Perlu sangsi bagi yang merusak ekosistem hutan mangrove dan habitat yang ada didalamnya

36 61 2 1 0

Partisipasi masyarakat dibutuhkan dalam penyelamatan hutan mangrove

25 70 4 0 1

Jumlah 150 328 16 5 1

Persentase (%) 30,0 65,6 3,2 1,0 0,2 Sumber: Hasil analisis (2006)

Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove tergolong

tinggi yakni mencapai 96%. Hal ini menunjukkan besarnya ketergantungan

masyarakat pesisir terhadap sumberdaya hutan mangrove. Dalam kegiatan

pengelolaan, masyarakat perlu dilibatkan secara substantif. Persentase

masyarakat yang menyatakan bahwa partisipasi masyatakat dibutuhkan

mencapai 95%. Kondisi ini menunjukkan perlunya pelibatan masyarakat dalam

pengelolaan hutan mangrove dari waktu ke waktu. Selain itu secara langsung

juga akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan pada lokasi tersebut. Untuk

itu perlu diupayakan kembali peningkatan luas dan kerapatan hutan mangrove

dalam rangka mengantisipasi perubahan lingkungan yang menyebabkan

rusaknya hutan mangrove tersebut. Penyebaran hutan mangrove secara baik

dapat ditentukan oleh kondisi ekologi hutan dan habitat dari jenis hutan

mangrove tersebut (Istomo, 1992; Dahuri, 2003).

Kawasan hutan mangrove Muara Angke merupakan salah satu jenis

hutan kota yang masih relatif terpelihara dengan baik di wilayah Jakarta Utara.

Oleh karena itu diharapkan adanya perlindungan guna penyelamatan hutan pada

masa yang akan datang.

Page 95: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

82

Tabel 19. Keinginan stakeholder terhadap pengembangan kawasan hutan mangrove di Muara Angke

Keinginan Stakeholder Jumlah Responden

Persentase (%)

Perlu menjaga kelestarian kawasan hutan mangrove 26 26,0

Perlu penanaman kembali berbagai jenis mangrove yang layak tumbuh di lokasi tersebut

31 31,0

Perlu dikembangkan hutan lindung pada lokasi tersebut 18 18,0

Perlu peningkatan sarana dan prasarana penunjang pembangunan

11 11,0

Meningkatkan lapangan kerja 6 6,0

Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan 8 8,0

Jumlah 100 100,0 Sumber: Hasil analisis (2006)

Kegiatan pembangunan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung

kegiatan pembangunan dalam berbagai sektor cukup menentukan keberhasilan

suatu pembangunan. Pada penelitian ini terlihat bahwa masyarakat yang

berkeinginan meningkatkan sarana pembangunan hanya 11,0%. Rustiadi et al.,

(2004) menyatakan bahwa semakin meningkat sarana dan prasarana

infrastruktur penunjang pembangunan merupakan suatu pertanda bahwa daerah

tersebut maju dan berkembang dari waktu ke waktu, serta dalam berbagai sektor

pembangunan juga meningkat. Hal ini sejalan dengan pendapat Susilo (2003)

bahwa peningkatan sarana dan prasarana pembangunan di desa yang

berdekatan tidak sama, sehingga perkembangan desa tersebut juga beda.

Untuk itu pada penelitian ini selain kondisi lingkungan yang diperlukan dalam

peningkatan suatu kawasan hutan mangrove, faktor penting lain yang perlu

diperhatikan adalah peningkatan sarana dan prasarana untuk pengembangan

kawasan hutan tersebut.

Terpeliharanya kawasan hutan mangrove di Muara Angke dan wilayah

sekitarnya yang ditunjang dengan peningkatan sarana dan prasarana yang ada

di dalamnya, maka diharapkan akan dapat menggenjot subsektor tenaga kerja

melalui ketersediaan lapangan kerja. Keadaan ini sangat diharapkan oleh

masyarakat yang berada di sekitar wilayah kawasan hutan mangrove, seperti

yang terlihat pada Tabel 19 yang menunjukkan adanya persentase responden

sebesar 26,0%.

Page 96: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

83

Partisipasi masyarakat secara langsung dalam setiap kegiatan

pembangunan merupakan bentuk interaksi sosial. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa keterlibatan masyarakat juga sangat penting dalam menentukan suatu

keberhasilan dalam pembangunan di setiap subsektor. Soetrisno (1995)

menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan

kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat dalam merencanakan,

melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai.

2. Muara Gembong

Hasil wawancara di Kecamatan Muara Gembong secara umum terlihat

bahwa keinginan stakeholder untuk menyelamatkan hutan mangrove cukup

besar. Sebanyak 60% responden menginginkan perlunya menjaga kelestarian

hutan mangrove dan melakukan rehabilitasi mangorve yang sesuai dengan

kondisi lokasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Keinginan stakeholder terhadap penyelamatan hutan mangrove

Muara Gembong

Keinginan Stakeholder Jumlah Responden

Persentase (%)

Perlu menjaga kelestarian kawasan hutan mangrove 30 30,0

Perlu penanaman kembali berbagai jenis mangrove yang layak tumbuh di lokasi tersebut

29 29,0

Perlu dikembangkan hutan lindung pada lokasi tersebut 5 5,0

Perlu peningkatan sarana dan prasarana penunjang pembangunan

10 10,0

Meningkatkan lapangan kerja 11 11,0

Dalam pengelolaan melibatkan masyarakat 15 15,0

Jumlah 100 100,0 Sumber: Hasil analisis (2006)

Tabel 21 menunjukkan bahwa dalam upaya penyelamatan hutan

mangrove di Kecamatan Muara Gembong, maka kelestarian hutan mangrove

perlu dijaga dengan mencegah terjadinya konversi lahan menjadi peruntukan

lain secara berlebihan, kualitas perairan perlu dijaga dari buangan limbah rumah

tangga mengingat umumnya masyarakat Kecamatan Muara Gembong hidupnya

di pesisir pantai Kecamatan Muara Gembong. Aktifitas lain yang diinginkan

masyarakat adalah melakukan penanaman kembali anakan berbagai jenis

Page 97: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

84

mangrove guna mencegah berkurangnya berbagai jenis hutan mangrove di

pesisir Muara Gembong. Dalam rangka penyelamatan hutan mangrove,

pelibatan masyarakat sangat dibutuhkan baik sebagai penyedia tenaga kerja

maupun untuk mengambil keputusan dalam pelaksanaan setiap kegiatan di

wilayah pesisir.

Tabel 21. Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Muara Gembong

Pertanyaan

Jumlah Responden

Sangat Setuju Setuju Kurang

Setuju Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

Penyelamatan hutan mangrove 27 68 2 2 1

Zonasi dalam pemanfaatan hutan mangrove

22 70 5 2 1

Manfaat hutan mangrove bagi masyarakat

22 74 2 1 1

Perlu sangsi bagi yang merusak ekosistem hutan mangrove dan habitat yang ada didalamnya

23 58 11 3 5

Partisipasi masyarakat dibutuhkan dalam penyelamatan hutan mangrove

15 75 10 0 0

Jumlah 109 345 30 8 8

Persentase (%) 21,8 69, 0 6,0 1,6 1,6 Sumber: Hasil analisis (2006)

Persepsi responden masyarakat (90,8%) Kecamatan Muara Gembong

menginginkan adanya perhatian yang serius terhadap kelestarian hutan

mangrove. Persepsi ini berkembang karena lahan yang semulanya merupakan

lahan hutan mangrove dialihkan menjadi peruntukan lainnya. Peralihan lahan

hutan mangrove menjadi peruntukan lainnya semakin berkembang di Kecamatan

Muara Gembong sejalan dengan keluarnya Perda Kabupaten Bekasi No. 5 tahun

2003 tentang rencana tata ruang kawasan khusus pantai utara. Penilaian

secara ekonomis yang hanya sesaat, Perda ini sangat menguntungkan karena

membuka lapangan kerja baru, meningkatnya basis-basis pertumbuhan ekonomi

untuk sub sektor perhubungan, industri, pariwisata, dan perikanan namun

secara ekologis menimbulkan kerusakan pada lahan hutan mangrove yang

berdampak pada terjadinya abrasi pantai.

Page 98: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

85

Menurut McNelly (1992) dan Suhaeri (2005) peranan hutan mangrove

belum mendapat penghargaan sebagaimana mestinya, sebagaimana terlihat

di Kecamatan Muara Gembong. Total PDRB yang bersumber dari mangrove

terus mengalami peningkatan, namun penghargaan mangrove baru dinilai dari

kontribusi langsung komoditas kehutanan dan belum dinilai secara utuh sebagai

ekosistem. Tingkat kerusakan hutan mangrove semakin meningkat dari tahun ke

tahun seiring dengan perubahan lahan hutan mangrove menjadi peruntukan lain

sekaligus peningkatan lapangan usaha.

3. Teluk Naga

Kondisi kawasan pesisir pantai utara (Pantura) Kabupaten Tangerang,

DKI Jakarta dan Bekasi telah lama memburuk serta tampak tak terurus dan

cenderung terabaikan sehingga telah kehilangan kemampuannya sebagai

agen perlindungan ekosistem pantai. Adanya reklamasi pantai di lokasi tersebut

yang dirintis sejak jaman pemerintahan Soeharto, Sejalan dengan itu, dalam

rangka memperbaiki pantai yang rusak ke kondisi semula, telah dilakukan

kegiatan membersihkan sampah yang berlebihan dan memperkaya

tumbuhannya, khususnya mengembalikan kemampuan fungsi sebagai

penyangga ekosistem dan perlindungan pantai, maka pemerintah mengeluarkan

Keputusan Presiden (Keppres) nomor 32 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah

(PP) nomor 47 tahun 1997 merupakan kawasan lindung sempadan pantai.

Kenyataannya kebijakan tersebut disalahartikan karena dengan adanya

reklamasi, dengan tujuan untuk pembangunan water front city serta pusat bisnis,

bahkan secara illegal diikuti oleh pengembang dengan dalih adanya ijin seperti

pemerintah Kabupaten Tangerang untuk membangun pusat wisata. Dengan

perubahan ini, maka sebagian besar lahan di pesisir Kabupaten Tangerang

menjadi rusak berat dan secara langsung berakibat pada rusaknya lahan hutan

mangrove. Hal ini sudah disadari oleh masyarakat setempat (pesisir Kabupaten

Tangerang), sehingga 95% diantara mereka mengatakan perlunya

menyelamatkan kondisi kawasan pesisir dan ekosistem hutan mangrove dari

kerusakan yang berkepanjangan.

Hanya sebagian masyarakat yang mempunyai keinginan untuk

menyelamatkan hutan mangrove di Teluk Naga. Dari Tabel 22 juga terlihat

adanya sejumlah responden yang tidak memahami manfaat dari pelestarian

hutan mangrove. Hal ini terjadi karena didesak oleh keterbatasan lapangan

Page 99: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

86

kerja dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga meskipun

kawasan pesisir pantai utara Kabupaten Tangerang telah memburuk di

Kecamatan Teluk Naga masih ada responden yang kurang mendukung upaya

penyelamatan hutan mangrove, secara rinci seperti tertera pada Tabel 22.

Tabel 22. Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Teluk

Naga

Pertanyaan

Jumlah Responden

Sangat Setuju Setuju Kurang

Setuju Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

Penyelamatan hutan mangrove 15 85 0 0 0

Zonasi dalam pemanfaatan hutan mangrove

20 64 5 6 5

Manfaat hutan mangrove bagi masyarakat

23 70 3 4 0

Perlu sangsi bagi yang merusak ekosistem hutan mangrove dan habitat yang ada di dalamnya

33 55 8 1 3

Partisipasi masyarakat dibutuhkan dalam penyelamatan hutan mangrove

40 60 0 0 0

Jumlah 131 334 16 11 8

Persentase (%) 26,2 66,8 3,2 2,2 1,6 Sumber: Hasil analisis (2006)

Data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang (2005) luas

abrasi di pantai utara Kabupaten Tangerang telah mencapai 193 ha lebih.

Kawasan yang terkena abrasi membentang sepanjang 52 km dengan garis

pantai yang telah bergeser antara 15 sampai 50 m ke arah daratan. Abrasi

pantai di pesisir utara Kabupaten Tangerang terjadi sangat parah, mulai dari

Tanjung Kait di bagian barat sampai Tanjung Pasir dan Teluk Naga di bagian

timur tak luput dari penggalian pasir yang membuahkan abrasi pantai.

Hal ini juga terlihat dari pemandangan di sepanjang jalan raya pantai

utara Kabupaten Tangerang sepanjang kurang lebih 15 km dari Tanjung Kait

menuju Tanjung Pasir banyak didapati empang-empang maupun cekungan

bekas penambangan pasir. Stakeholder di Kecamatan Teluk Naga pada

umumnya menginginkan adanya perhatian khusus pada kawasan hutan

mangrove yang telah mengalami kerusakan serius (Tabel 23).

Page 100: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

87

Tabel 23. Keinginan stakeholder terhadap penyelamatan hutan mangrove di Kecamatan Teluk Naga

Keinginan Stakeholder Jumlah Responden

Persentase (%)

Perlu menjaga kelestarian kawasan hutan mangrove 46 46,0

Perlu penanaman kembali berbagai jenis mangrove yang layak tumbuh di lokasi tersebut

21 21,0

Perlu dikembangkan hutan lindung pada lokasi tersebut 14 14,0

Perlu peningkatan sarana dan prasarana penunjang pembangunan

2 2,0

Meningkatkan lapangan kerja 7 7,0

Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan 10 10,0

Jumlah 100 100,0 Sumber: Hasil analisis (2006)

Masyarakat di pesisir Kecamatan Teluk Naga telah menyadari bahwa

kawasan hutan mangrove di pesisir Kecamatan Teluk Naga telah rusak berat.

46% responden masyarakat mengharapkan adanya perhatian serius terhadap

perbaikan kawasan hutan mangrove, dan 21% dari mereka perlu menanam

kembali jenis mangrove yang layak tumbuh di lokasi tersebut, disamping itu 10%

dari mereka mengharapkan adanya keterlibatan masyarakat dalam setiap

aktivitas kegiatan pembangunan.

4.6 Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Teluk Jakarta

Sebagai salah satu negara yang memiliki tekanan penduduk dan ekonomi

yang tinggi di daerah pantai, pemerintah Indonesia memandang bahwa wawasan

dan kesepakatan mangrove harus di dasarkan pada pertimbangan nilai ekologi,

sosial dan budaya (Alikodra, 2000). Permasalahan utama dalam pengelolaan

mangrove secara lestari sangat tergantung pada keharmonisan diantara ketiga

komponen tersebut.

Manfaat mangrove secara terhadap kepentingan bangsa dan masyarakat

setempat sudah didokumentasikan dengan baik sekalipun masih belum

sepenuhnya diakui oleh ilmuwan lain yang berhubungan dengan pengumpulan

data dan penelitian sumberdaya pantai. Demikian juga sudah diketahui tentang

kondisi adanya tekanan sosial ekonomi terhadap sumberdaya mangrove, status

Page 101: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

88

hukum dan kelembagaan yang belum jelas sehingga berbagai instansi

mengembangkan sumberdaya mangrove.

Keseimbangan kepentingan perlu dijaga untuk mencapai peningkatan

pengembangan ekonomi, di satu pihak, dan usaha perlindungan ekosistem hutan

mangrove di lain pihak. Peningkatan kesadaran akan fungsi perlindungan,

produksi dan sosial ekonomi dari ekosistem mangrove tropis, serta konsekuensi

kerusakan hutan mangrove merupakan pokok-pokok yang harus

dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya secara terpadu untuk

konservasi dean pelestarian. Memperhatikan berbagai fungsi tersebut, maka

dalam pengelolaan mangrove dengan didasari ekosistem daratan dan lautan,

perlu menggunakan konsep perencanaan pengelolaan wilayah pesisir yang

terpadu.

Pada prinsipnya ada tiga pilihan dalam pengelolaan dan pengembangan

mangrove: (1) perlindungan ekosistem secara alami; (2) pemanfaatan ekosistem

untuk berbagai penggunaan barang dan jasa atas dasar kelestarian; (3)

konservasi ekosistem alami, khususnya untuk kepentingan tertentu. Dalam

melaksanakan ketiga pilihan diatas belum didukung oleh ketersediaan data yang

lengkap.

Fungsi dan manfaat hutan mangrove dapat menempatkan peranannya

yang cukup besar dalam kelestarian mutu dan tatanan lingkungan serta

pengembangan ekonomi kerakyatan dan pendapatan negara. Oleh karena itu

pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya hutan mangrove perlu dilakukan

melalui suatu sistem pengelolaan yang dapat menjaga serta meningkatkan fungsi

dan peranannya bagi kepentingan generasi masa kini maupun masa datang

serta perlunya dibangun institusi pengelola yang profesional.

Prinsip kelestarian menjadi tujuan utama dalam pengelolaan hutan

mangrove yang diindikasikan oleh tiga tujuan pokok yang saling terkait dan tidak

dapat terpisahkan antara satu dengan yang lainnya, yaitu tujuan ekologis,

ekonomis, dan sosial. Tujuan ekologis, yaitu sebagai suatu sistem penyangga

kehidupan antara lain merupakan pengatur tata air, menjaga kesuburan tanah,

mencegah erosi dan abrasi, menjaga keseimbangan iklim mikro, penghasil udara

bersih, menjaga siklus makanan serta sebagai tempat pengawetan

keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.

Tujuan ekonomis, yaitu sebagai sumber yang menghasilkan barang dan

jasa baik yang terukur seperti hasil hutan berupa kayu dan non kayu, maupun

Page 102: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

89

yang tidak terukur seperti ekoturisme. Tujuan sosial, yaitu sebagai sumber

penghidupan dan lapangan kerja serta kesempatan berusaha bagi sebagian

masyarakat terutama yang hidup di dalam dan sekitar hutan mangrove, serta

untuk kepentingan pendidikan dan penelitian demi pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi.

Pengelolaan hutan mangrove merupakan bagian pengembangan

kawasan pesisir secara keseluruhan sehingga selalu mempertimbangkan

kepentingan dan manfaat yang lebih luas, dengan tetap mengutamakan

kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. UU No. 32 tahun 2004

memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah sebagai daerah otonom

dalam pengelolaan lingkungan, termasuk didalamnya pengelolaan mangrove.

Langkah yang perlu dilakukan untuk menanggulangi kerusakan hutan

mangrove melalui: (a) komitmen dan konsistensi Pemerintah Daerah Provinsi

atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam pengembangan wilayahnya

untuk tetap mengacu kepada Tata Ruang Daerah dengan prinsip konservasi

untuk kawasan jalur hijau mangrove dan tetap menjaga fungsi pelestarian untuk

kawasan hutan mangrove yang telah ditetapkan peruntukannya sebagai suaka

alam atau suaka margasatwa; (b) penetapan jalur hijau pantai dengan mangrove

untuk kawasan-kawasan yang sesuai secara ekologis (Keppres 32 Tahun 1990

tentang Kawasan Lindung), yaitu 130 kali perbedaan pasang-surut melalui

Peraturan Daerah; dan (c) menetapkan lokasi prioritas rehabilitasi dan

melaksanakan rehabilitasi untuk kawasan hutan mangrove yang telah mengalami

degradasi melalui kemitraan antara pemerintah dan masyarakat.

Secara umum permasalahan yang perlu diatasi agar kerusakan hutan

mangrove tidak berkelanjutan adalah: (1) data dan informasi serta pengetahuan

dam teknologi yang berkaitan dengan sumberdaya alam mangrove masih

terbatas, sehingga belum mendukung tata ruang, pembinaan, pemanfaatan yang

lestari dan perlindungan serta rehabilitasinya, (2) belum berkembangnya

pengelolaan hutan mangrove, baik dalam hal silvikultur, sumberdaya manusia,

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan maupun pengawasannya, (3)

kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan

mangrove belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara

lestari, terutama dalam hal pendidikan, pengetahuan, kesadaran, keterbatasan,

dan kesempatan berusaha, (4) pengelolaan kawasan hutan mangrove

merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, namun

Page 103: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

90

keikutsertaan secara aktif dari masyarakat dalam proses perencanaan,

pelaksanaan sampai dengan pemanfaatannya masih terbatas, sehingga pesepsi

dan kepedulian antara pengelola dan pengguna hutan mangrove berbeda-beda,

dan (5) mekanisme pendanaan yang belum memadai untuk program-program

pengelolaan hutan mangrove yang meliputi perlindungan, pelestarian, penelitian,

dan pemanfaatan yang lestari dengan melibatkan berbagai aspek pokok seperti

sarana dan prasarana (Alikodra, 1999).

Dalam wilayah penelitian, diidentifikasi empat permasalahan utama dalam

pengelolaan hutan mangrove yaitu degradasi ekosistem mangrove, persepsi dan

pola hidup masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove, konflik

pemanfaatan dan laih fungsi lahan, kelembagaan pengelolaan dan kebijakan

yang sifatnya sektoral.

Berdasarkan hasil analisis vegetasi mangrove, analisis kebutuhan

masyarakat dan stakeholder, kebijakan pembangunan wilayah pesisir Teluk

Jakarta, hasil diskusi dengan pakar dan stakeholder diperoleh lima alternatif

kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta secara berkelanjutan

berdasarkan permasalahan yang ada seperti yang disajikan pada Gambar 8.

Penerapan Teknologi

Pemberdayan Masyarakat

Pengelolaan Terpadu

Penegakan Hukum

Konflik Pemanfaatan dan alih fungsi lahan

Degradasi ekosistem mangrove

Persepsi dan pola hidup masyarakat

Kelembagaan dan Kebijakan Sektoral

PERMASALAHAN

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN

Penguatan Kelembagaan

Gambar 8. Permasalahan dan alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta

Page 104: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

91

Deskripsi alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk

Jakarta adalah:

1. Kebijakan penegakan hukum mencakup penyediaan perangkat hukum yang

tepat, melakukan penegakan hukum melalui mekanisme pemberian sanksi

yang konsisten dan reward. Guna menghindari terjadinya ketimpangan dan

konflik kepentingan serta aktualisasi pelaksanaan kebijakan dan strategi

dalam pengelolaan lingkungan maka perlu ada koordinasi dan sinkronisasi

kebijakan dan peraturan perundang-undangan di pusat dan di daerah dengan

memperhatikan hukum adat dan kearifan lokal. Penegakan hukum (law

enforcement) dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan kebijakan yang

telah ditetapkan dapat dilaksanakan secara konsisten, menghindari konflik

kepentingan horizontal dan vertikal.

2. Pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan partisipasi dan akses

masyarakat dalam pembangunan. Dalam kaitan itu, pemberdayaan dan

peningkatan partisipasi masyarakat sekitar hutan mangrove sangat

diperlukan dan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam upaya

melestarikan hutan mangrove sekaligus mensejahterakan masyarakat.

Mengingat, masyarakat pesisir merupakan komunitas yang pola

kehidupannya sebagian besar sangat tergantung dengan sumberdaya hutan

mangrove, dan sebaliknya masyarakat di sekitar hutan mangrove yang akan

merasakan dampak dari kerusakan hutan mangrove. Dalam pengelolaan

lingkungan diperlukan keterlibatan dan partisipasi aktif masyarakat sejak

proses perencanaan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasi. Hal ini

dilakukan agar pengelolaan lingkungan untuk menjaga ekosistem kelautan

lebih sesuai dengan proses demokratisasi dan penerapan prinsip people

centre development. Strategi pemberdayaan masyarakat (community

empowerment) diarahkan bagi masyarakat lokal agar dapat mengakses

sumberdaya informasi, politik, ekonomi, teknologi dan sosial untuk

kesejahteraannya dan untuk pemeliharaan kualitas lingkungan. Upaya yang

dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan potensi sumberdaya

lokal sehingga akan terbangun rasa memiliki akan sumberdaya yang ada.

3. Melakukan pengembangan dan penerapan teknologi kelautan yang efisien,

efektif, dan ramah lingkungan melalui investasi pemerintah dan swasta

dengan kolaborasi lembaga riset dan partisipasi masyarakat. Pengembangan

dan penerapan teknologi mencakup adopsi teknologi ramah lingkungan yang

Page 105: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

92

produktif dan efisien. Arah pengembangan teknologi yang dikembangkan

adalah pada pengembangan dan penerapan teknologi budidaya perikanan,

mitigasi bencana, pencegahan abrasi pantai, dan penanggulangan illegal

fishing. Pengembangan dan penerapan teknologi ini harus dapat menjamin

peningkatan kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan ekonomi nasional, dan

kelestarian lingkungan. Untuk itu diperlukan kemitraan dengan dunia usaha,

kolaborasi dengan lembaga riset dan partisipasi masyarakat.

4. Pengelolaan terpadu dari aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan

pertahanan keamanan yang bersifat lintas sektor dan multistakeholder.

Pengelolaan lingkungan untuk menjaga ekosistem kelautan dilakukan secara

terpadu dan komprehensif (integrated management) dari berbagai aspek

pembangunan sehingga terwujud suatu mekanisme pengelolaan lingkungan

yang optimal dan berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai

kepentingan. Keterpaduan mencakup pengelolaan pada level birokrasi,

keterpaduan wilayah, dan keterpaduan antar stakeholder yakni masyarakat,

pemerintah, pengusaha, dan lembaga swadaya masyarakat yang

menggunakan prinsip-prinsip sistem manajemen nasional.

5. Penguatan kapasitas kelembagaan mencakup kelembagaan pemerintah,

pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha. Kelembagaan ini perlu

ditingkatkan baik kualitas maupun peransertanya dalam pembangunan.

Peningkatan kapasitas kelembagaan (capacity building) untuk menegaskan

mekanisme kerjasama antar lembaga guna menghindari konflik kewenangan

dan konflik pemanfaatan. Peningkatan kapasitas kelembagaan diarahkan

dalam rangka kerjasama yang harmonis diantara semua institusi serta

kemampuan dalam pengelolaan lingkungan di wilayahnya masing-masing.

Perangkat hukum yang memadai, penegakan hukum yang tegas, dan

kapasitas kelembagaan yang sesuai akan berdampak positif secara ekonomi,

politik, sosial budaya, dan pertahanan dan keamaman.

4.6.1 Prioritas kebijakan pengelolaan Penentuan prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk

Jakarta disusun menurut urutan prioritas berdasarkan hasil analisis yang

melibatkan pakar dan praktisi yang berkompeten dibidangnya. Analisis yang

digunakan adalah analytical hierarchy process (AHP) yang merupakan salah satu

metodologi paling efektif dalam penentuan prioritas-prioritas yang strategis

Page 106: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

93

karena datanya merupakan representasi dari aspirasi para expert yang juga

mewakili instansi-instansi dan kepakaran-kepakaran yang terkait dengan

substansi kajian. Ada sembilan expert sebagai responden yang mewakili

instansi-instansi terkait, yaitu perguruan tinggi (IPB), Kementerian Lingkungan

Hidup, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kehutanan, serta

individual pakar. Hirarki analisis AHP disajikan pada Gambar 9.

PENENTUAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI TELUK JAKARTA

PEMERINTAH (PUSAT DAN DAERAH)

(0,637)

LEVEL 1FOKUS

PENGUSAHA DAN INVESTOR

(0,105)

MASYARAKAT DAN LSM

(0,258)

Penegakan Hukum(0,092)

LEVEL 5KEBIJAKAN

Penerapan Teknologi

(0,270)

Pengelolaan Terpadu(0,220)

Penguatan Kelembagaan

(0,104)

LEVEL 2AKTOR

LEVEL 4KRITERIA

Terpeliharanya habitat

mangrove

Tercukupinya luas lahan mangrove

Peningkatan Pendapatan masyarakat

Peningkatan pendidikan

dan kesehatan

Peningkatan PAD

Meningkatnya investasi

Berkembangnya sektor informal

Terciptanya kesempatan

kerja dan berusaha

Pemberdayaan Masyarakat

(0,314)

Kelestarian Ekosistem

(0,250)

LEVEL 3TUJUAN

Pertumbuhan ekonomi(0,250)

Kesejahteraan Masyarakat

(0,500)

Terjaganya fungsi

ekosistem

Gambar 9. Hasil AHP penentuan kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk

Jakarta

Analisis AHP dalam kajian ini memperhatikan aktor dalam pengelolaan

hutan mangrove. Hasil judgement pakar dan stakeholder menunjukkan bahwa

aktor yang paling berperan dalam penentuan kebijakan pengelolaan hutan

mangrove di Teluk Jakarta adalah pemerintah dan pemerintah daerah (bobot

0,637). Hal ini berkaitan dengan fungsi dan kewenangan pemerintah untuk

mengatur sumberdaya milik bersama seperti hutan mangrove. Di samping itu,

hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat vital sehingga apabila

keberadaannya terganggu dapat menghambat proses pembangunan yang akan

merugikan semua pihak. Aktor yang juga memiliki peran penting adalah

masyarakat (bobot 0,258). Masyarakat dalam hal ini adalah pihak yang langsung

memanfaatkan hutan mangrove untuk kegiatan sehari-hari. Dengan demikian

sangat terkait dengan kebijakan pengelolaan hutan mangrove.

Page 107: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

94

Pada level tujuan, yang menjadi prioritas utama adalah kesejahteraan

masyarakat (bobot 0,500). Hal ini menunjukkan indikasi bahwa kesejahteraan

masyarakat sangat berperan dalam keberhasilan pengelolaan hutan mangrove.

Masyarakat sebagai penerima manfaat terbesar dari keberadaan hutan

mangrove memerlukan perhatian khusus terkait dengan tingkat

kesejahteraannya. Kelestarian pemanfaatan hutan mangrove berkaitan erat

dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Tingginya pengetahuan tentang

konservasi dan tingkat pendapatan masyarakat akan menunjang keberlanjutan

pengelolaan mangrove. Tujuan kelestarian ekologi dan pertumbuhan ekonomi

memiliki bobot yang sama yakni 0,250. Hal ini menunjukkan bahwa kelestarian

ekologi dan pertumbuhan ekonomi harus didorong untuk memenuhi tujuan

kesejahteraan masyarakat.

Untuk mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat, kriteria

yang paling utama adalah peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan

pendidikan dan kesehatan. Untuk mencapai tujuan kelestarian ekologi faktor

terpeliharanya habitat mangrove dan terjaganya fungsi ekosistem merupakan

kriteria yang harus diperhatikan. Sedangkan untuk mencapai tujuan pertumbuhan

ekonomi, faktor yang paling utama adalah perkembangan sektor informal dan

tumbuhnya investasi swasta.

Hasil analisis AHP pada level alternatif kebijakan berdasarkan judgement

pakar dan stakeholder diperoleh hasil seperti pada Gambar 10.

Gambar 10. Hasil analisis AHP

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemberdayaan

masyarakat merupakan prioritas tertinggi dalam pengelolaan hutan mangrove di

Teluk Jakarta dengan bobot 0,314. Kebijakan ini perlu dilaksanakan secara

menyeluruh dengan didukung oleh seluruh stakeholder. Prioritas kedua adalah

Page 108: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

95

penerapan teknologi dengan bobot 0,270 dan ketiga adalah pengelolaan terpadu

dengan bobot 0,220. Kebijakan penerapan teknologi dan pengelolaan terpadu ini

perlu dilakukan untuk mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat.

4.6.2 Strategi implementasi kebijakan pengelolaan Secara operasional diperlukan suatu strategi implementasi guna

memudahkan perwujudan kebijakan yang menjadi prioritas pengelolaan hutan

mangrove di Teluk Jakarta. Strategi implementasi ini dirumuskan melalui FGD

yang melibatkan pakar dan praktisi. Pada saat FGD disepakati bahwa kelima

kebijakan yang dirumuskan harus dilakukan secara konsisten dan terpadu

dengan melibatkan stakeholder pada ketiga wilayah kajian.

Pada tahap operasional, strategi dan program harus disesuaikan dengan

karakteristik ketiga wilayah kajian dengan memperhatikan aspek ekologi,

ekonomi, sosial budaya, dan teknologi. Guna menyelamatkan hutan mangrove

yang masih ada dan memperluas kawasan hutan mangrove sesuai dengan yang

dibutuhkan untuk dapat berfungsi secara optimal, maka terdapat empat program

yang perlu dilakukan yaitu rehabilitasi kawasan mangrove, perbaikan kualitas

perairan, penanganan sampah dan limbah, dan pengendalian abrasi dan

sedimentasi.

1. Strategi pemberdayaan masyarakat Masyarakat pesisir dapat dibedakan menjadi dua kelompok menurut jenis

kegiatan utamanya yaitu nelayan penangkap ikan dan nelayan petambak.

Nelayan penangkap ikan adalah seseorang yang pekerjaan utamanya di sektor

perikanan laut dan mengandalkan ketersediaan sumberdaya ikan di alam bebas.

Petambak adalah nelayan yang kegiatan utamanya membudidayakan ikan atau

sumberdaya laut lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di

wilayah pantai (Soewito, 1984). Namun untuk wilayah Teluk Jakarta, selain

sebagai nelayan, masyarakat di wilayah pesisir juga ada yang menjadi buruh,

pedagang, dan karyawan untuk kegiatan di sekitar pantai.

Beberapa strategi pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan

sumberdaya hutan mangrove di Teluk Jakarta yang cukup efektif dan efisien

untuk diterapkan dan dikembangkan adalah: pendekatan kelompok, penguatan

kelembagaan, pendampingan, pengembangan sumberdaya manusia, dan

Page 109: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

96

pemberian stimulan. Kelima strategi tersebut merupakan satu kesatuan yang tak

dapat dipisahkan dan saling mempunyai kerkaitan yang erat satu sama lain.

Dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, dapat dilakukan dengan

cara: (a) pemberian motivasi untuk menciptakan kondisi yang membangkitkan

kesadaran akan potensi yang dimilikinya dan berupaya mengembangkannya; (b)

penguatan untuk memperkuat potensi dan daya yang dimiliki masyarkat dengan

memberikan input dan membuka peluang untuk berkembang; dan (c) pemberian

potensi untuk memberikan perlindungan agar mempunyai kemampuan bersaing.

Upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan mangrove, akan dapat

dilakukan secara baik jika masyarakat yang bersangkutan didukung oleh: (1)

taraf pendidikan yang memadai, baik secara kuantitatif maupun kualitatif; (2)

Tingkat kesehatan yang memadai baik secara kualitas maupun kuantitas; (3)

Penguasaan/akses sumber-sumber kemajuan ekonomi yang memadai seperti

modal, teknologi, lapangan kerja, pasar, dsb; (4) Keberadaan faktor-faktor sosial

budaya yang mendukung baik yang berkaitan dengan tata nilai, kelembagaan

sosial, maupun interaksi sosial antar kelompok.

Pendidikan masyarakat umumnya masih rendah dan bersifat non-captive,

sehingga upaya peningkatan sumberdaya manusia dilakukan melalui

pendekatan kelompok (penyuluhan interpretatif, demonstrasi, pelatihan dan studi

banding) maupun perorangan (pendampingan). Agar masyarakat dapat

mengapresiasikan kegiatan dengan baik, maka perlu dilibatkan dalam seluruh

tahap manajemen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan

dan evaluasi. Dengan demikian masyarakat dapat merasakan bahwa masalah

yang ada merupakan masalah yang bersama yang perlu dipecahkan sendiri.

Pengenalan masalah dilakukan bersama-sama masyarakat dengan

menggunakan teknik participatory rural appraisal (PRA).

Pendekatan sosial budaya pada dasarnya untuk mengubah perilaku

masyarakat yang bersifat negatif menjadi positif serta mengembangkan budaya

positif yang telah ada pada sebagian anggota masyarakat sehingga bisa

memasyarakat. Pengubahan perilaku merupakan bukan hal yang mudah karena

berkaitan dengan sistem nilai yang berlaku dan telah mengakar dalam

masyarakat serta mengubah sikap masyarakat tersebut sesuai dengan yang

diharapkan.

Metode yang dapat digunakan adalah metode penyuluhan atau

interpretasi sosial budaya yang disertai dengan penyediaan sarana sosial budaya

Page 110: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

97

yang mendukung perilaku masayarakat tersebut. Hal yang penting adalah bahwa

perubahan perilaku tersebut terjadi secara sukarela atas kepentingannya sendiri.

Masyarakat mengetahui bahwa apabila ia berperilaku sebagaimana yang

disarankan, maka ia akan memperoleh insentif dan apabila tidak melakukan hal

tersebut akan rugi dibanding dengan orang yang melakukannya.

Upaya pelestarian terhadap keberadaan suaka margasatwa Muara Angke

akan sulit dilakukan, mengingat tekanan yang begitu besar dan permasalahan

yang sedemikian kompleks. Untuk itu diperlukan upaya bersama antara

stakeholder dan pihak-pihak lain yang bersifat terus menerus, terkonsentrasi

yang dituangkan dalam bentuk upaya konkrit pengelolaan dan rehabilitasi hutan

mangrove di kawasan tersebut.

Disamping itu perlu adanya monitoring terhadap mangrove yang telah

ditanam, agar rehabilitasi yang telah dilakukan benar-benar sesuai dengan

rencana, selain itu perlunya tindak lanjut kegiatan tersebut dikaitkan dengan

kegiatan lainnya seperti penelitian, wisata dan pendidikan lingkungan. Dalam

kaitan dengan rencana reklamasi Pantura, perlu melibatkan masyarakat dalam

proses perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Proses partisipatif ini akan

lebih menjamin kesejahteraan masyarakat, kelestarian ekosistem, dan

keberlanjutan pembangunan yang dilaksanakan di Teluk Jakarta. Pada proses

ini, dapat disepakati bersama berbagai kegiatan pembangunan yang dapat

dilakukan dengan melibatkan masyarakat.

Selain peningkatan kualitas pendidikan, langkah-langkah strategis

pemberdayaan masyarakat yang harus dilakukan adalah:

1) Mentransformasi nelayan tradisional menjadi nelayan modern untuk

memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir yang ada yang sekaligus dapat

memainkan peran ganda dalam membantu menjalankan fungsi pengawasan

terhadap berbagai praktek ilegal yang dilakukan di sekitar hutan mangrove.

Kegiatan transformasi nelayan dilakukan secara spesifik lokasi yakni nelayan

dapat diarahkan pada kegiatan yang tidak bergantung pada sumberdaya

mangrove misalnya nelayan Muara Angke ke arah budidaya perairan,

nelayan Muara Gembong ke arah pengolahan hasil perikanan, dan nelayan

Teluk Naga ke arah jasa wisata.

2) Peningkatan keberpihakan pemerintah dan pengusaha terhadap nelayan

kecil dan masyarakat di wilayah pantai yang tingkat kesejahteraannya masih

relatif rendah. Upaya ini dilakukan dengan peningkatan aktivitas nelayan

Page 111: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

98

dalam kegiatan produksi dengan memberikan wilayah tangkapan yang sesuai

dengan kemampuannya dengan mengubah rezim pengelolaan perikanan dari

quasi open acces menjadi limited entry. Penentuan sistem ini harus disepakti

oleh semua stakeholder di wilayah Teluk Jakarta. Untuk nelayan di Muara

Gembong dan Teluk Naga, perlu perhatian yang lebih serius karena sulitnya

mencari alternatif usaha sehingga dapat mengancam keberlanjutan program.

Dengan demikian perlu pendampingan dan sosialisasi kegiatan yang intensif

pada awal program.

3) Memberikan aksesibilitas yang tinggi kepada generasi muda nelayan untuk

memperoleh pendidikan yang terjangkau, akses terhadap pelayanan

kesehatan yang murah, dan akses terhadap lembaga keuangan yang mudah

khususnya lembaga keuangan mikro di pedesaan. Upaya ini tentu saja harus

dimulai dengan program pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat

(pembinaan, pendampingan, penyuluhan) secara bertahap hingga mencapai

tingkat mandiri. Selain itu perlu fasilitasi pemerintah untuk pemasaran dan

pengolahan hasil perikanan yang dapat menjamin peningkatan kesejahteraan

nelayan.

2. Strategi penerapan teknologi Jenis teknologi yang dikembangkan di masing-masing lokasi adalah jenis

teknologi yang prospektif, yaitu: secara ekonomis menguntungkan, secara teknis

mudah dilakukan oleh masyarakat, secara sosial budaya dapat diterima (tidak

bertentangan dengan norma-norma yang berlaku), dan secara lingkungan tidak

menimbulkan kerusakan ekosistem.

Pengembangan dan peningkatan penguasaan teknologi dilakukan melalui

berbagai pendekatan yaitu introduksi inovasi, perbaikan teknologi yang ada,

introduksi metode, memperbaiki dan mengembangkan kembali pengetahuan

lokal yang ada, merekayasa teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat,

atau introduksi alat. Metodologi yang digunakan adalah demonstrasi cara dan

pembangunan proyek percontohan (demonstrasi plot) seperti metode rehabilitasi

di Teluk Naga.

Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkan strategi ini adalah:

1) Pengembangan teknologi perlindungan wilayah pantai dan mitigasi bencana.

Teknologi ini dapat memanfaatkan sumberdaya lokal seperti penanaman

mangrove yang dikombinasi dengan break waters. Untuk kawasan tertentu

Page 112: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

99

yang telah mengalami abrasi, dilakukan dengan bangunan tanggul yang

kokoh kemudian melakukan program rehabilitasi dan reboisasi kawasan

menjadi hutan mangrove. Program ini perlu dilakukan khususnya di Muara

Gembong dan Teluk Naga yang sangat rentang terhadap abrasi dan

sedimentasi. Luas hutan mangrove yang dipersyaratkan yakni sesuai dengan

keputusan Menteri Lingkungan Hidup. Selain itu perlu pengembangan teknik

konservasi yang ekonomis, efektif, dan dapat dilakukan oleh masyarakat

secara berkelanjutan.

2) Pengembangan dan adopsi teknologi pengolahan hasil perikanan. Upaya ini

dimulai dengan penyediaan coldstorage dengan kapasitas yang besar di

setiap sentra penghasil perikanan guna menjamin ketersediaan bahan baku

dan kepastian harga, menambah jumlah sarana dan prasarana pelabuhan

perikanan dan pusat pendaratan ikan. Selanjutnya perlu dikembangkan

teknologi pengolahan hasil perikanan yang ekonomis dan berdasarkan

permintaan pasar. Meningkatkan fasilitas laboratorium pengujian mutu hasil

perikanan (laboratorium), baik yang terdapat di pusat maupun di daerah, agar

mampu melaksanakan pengujian mutu sesuai standar yang berlaku terhadap

produk perikanan yang akan dipasarkan ke pasar lokal maupun ekspor.

Untuk menjamin keberlanjutan upaya ini, perlu dikembangkan pula sistem

agribisnis yang dapat menunjang pemasaran hasil produksi perikanan dan

produk olahannya.

3) Penerapan teknologi budidaya perikanan untuk komoditi potensial. Sistem

yang tepat untuk pengembangan budidaya laut adalah sea farming. Sistem

ini mengkombinasikan kegiatan restocking (rehabilitasi stok ikan), budidaya

dalam keramba jaring apung, budidaya dalam kadang sekat, dan penyediaan

sarana seperti hacthery. Sistem sea farming dapat digunakan untuk wilayah

di sekitar Teluk Jakarta dan telah dilakukan di Kepulauan Seribu. Teknik

budidaya yang sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan ekosistem mangrove

adalah sistem sylvofishery (tumpangsari) antara budidaya perikanan dan

pelestarian mangrove. Teknik ini dapat digunakan di wilayah Muara

Gembong yang kualitas airnya relatif masih mendukung.

5) Pembinaan dan pendampingan penggunaan teknologi tepat guna secara

bertahap sesuai dengan tingkat adopsinya. Pembinaan ini dilakukan untuk

masyarakat agar dapat terus meningkatkan kemampuannya dalam

menerapkan teknologi yang sesuai sehinga tingkat kesejahteraannya dapat

Page 113: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

100

meningkat sejalan dengan produktivitasnya. Lembaga yang diharapkan

berperan dalam upaya ini adalah lembaga pendidikan dan lembaga swadaya

masyarakat. Upaya ini difokuskan pada kawasan yang memiliki potensi

perikanan tinggi tetapi kualitas SDM yang rendah seperti di Muara Gembong

dan Teluk Naga.

3. Strategi pengelolaan terpadu Dalam rangka mengimplementasikan strategi pengelolaan hutan

mangrove Teluk Jakarta secara berkelanjutan diperlukan dukungan program-

program berbagai instansi terkait dari tingkat pusat sampai tingkat desa dan

lembaga-lembaga lainnya. Kegiatan pembangunan dan pengembangan sarana

dan prasarana merupakan kewenangan instansi sektoral. Seringkali berbagai

macam kegiatan tersebut sebenarnya sudah direncanakan tetapi dalam waktu

dan atau tempat yang berbeda, sehingga seolah-olah masing-masing berjalan

sendiri. Apabila kegiatan tersebut dapat dilaksanakan secara bersama-sama

menangani permasalahan yang ada, maka akan terjadi kerjasama yang sinergis.

Untuk itu diperlukan koordinasi yang baik sampai di tingkat lokasi kegiatan, baik

pada tahap perencanaan maupun dalam tahap implementasinya di lapangan.

Berdasarkan penelitian di lapangan, instansi yang berperan penting di

tingkat kabupaten/kota yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kimpraswil,

Dinas Perindag, Dinas Pertanian, Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup,

Dinas Kehutanan, Dinas Koperasi UKM, dan PT Perhutani. Lembaga-lembaga

penunjangnya adalah Kadin, Lembaga Asuransi, Perbankan, Lembaga

Penjamin, BUMN dan BUMD, LSM dan berbagai stakeholder.

Dinas Perikanan dan Kelautan berperan dalam membina dan

mengembangkan usaha dan produksi perikanan, termasuk pertambakan. Dinas

Kimpraswil berperan dalam penyediaan dan perbaikan sarana dan prasarana,

pembuatan jalan, saluran, pengerukan, dan pencegahan abrasi. Dinas Perindag

berperan dalam penyediaan informasi pasar dan harga. Dinas Pertanian

berperan dalam pengembangan produksi pertanian, termasuk mengawasi

konversi lahan pertanian. Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup berperan

dalam membina dan memantau lingkungan hidup. Dinas Kehutanan dan PT

Perhutani berperan dalam menjaga kelestarian hutan mangrove dan mengawasi

pengelolaan dan penyelamatan hutan mangrove. Dinas Koperasi UKM membina

Page 114: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

101

koperasi dan UKM. Bappeda mengendalikan prasarananya, dan Dinas

Pemberdayaan Masyarakat membantu masyarakat untuk mandiri.

Lembaga-lembaga penunjang seperti bank dan lembaga keuangan bukan

bank berperan membina kelembagaan yang ada. Perbankan berperan dalam

penyediaan perkreditan dan pinjaman, lembaga penjamin dan asuransi berperan

dalam memberikan konsultasi dan penjamin BUMN dan BUMD, swasta dan LSM

berperan sebagai mitra usaha yang saling membutuhkan, saling memperkuat

dan saling menguntungkan.

Peran Camat dipertegas dengan Peraturan Daerah dalam

mengkoordinasikan kepala desa dan berbagai stakeholder. Kepala Desa

berperan penting sebagai ujung tombak dalam meningkatkan pengetahuan,

pengawasan kemampuan dan kesejahteraan warganya. Untuk itu, camat dan

kepala desa perlu dibekali wawasan dan pengetahuan tentang penyelamatan

hutan mangrove melalui pendidikan dan latihan sesuai dengan yang dibutuhkan

dengan dukungan dari berbagai instansi secara lintas sektoral dari tingkat pusat,

provinsi, dan kabupaten/kota, kecamatan, dan desa.

Keterpaduan pengelolaan lingkungan merupakan necessary condition

untuk mencapai kelestarian lingkungan kelautan dan keberlanjutan usaha

perikanan. Keterpaduan ini mencakup antara pusat dan daerah dan antar

wilayah. Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkan strategi ini

adalah:

1) Menyusun mekanisme kerjasama antar instansi dan sistem koordinasi

kelembagaan yang transparan di pusat dan antar daerah. Mekanisme ini

menjadi blue print pengelolaan sumberdaya hutan mangrove yang disusun

dan disepakati secara bersama-sama semua stakeholder yang dilengkapi

dengan mekanisme kerjasama, tata laksana dan aspek insentif/disinsentif

serta seleksi.

2) Penataan ruang kawasan budidaya agar terhindar dari eksternalitas yang

dapat mengganggu kualitas lingkungan perairan sehingga usaha budidaya

yang dilakukan dapat berkelanjutan. Selanjutnya membangun komitmen

pelaksanaan program pembangunan kelautan dan pantai sesuai RTR dan

kemudian penyediaan jaringan infrastruktur penunjang budidaya seperti

jaringan listrik, jalan, dan komunikasi.

3) Peningkatan kapasitas stakeholder pembangunan khususnya di daerah

sehingga semua pelaku pembangunan dapat memahami dan menjalankan

Page 115: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

102

tugas fungsi dan kewenangannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku

tanpa konflik dengan pihak lain.

4) Mengembangkan sistem informasi eksekutif pengelolaan mangrove yang

terkait dengan semua sektor lainnya di seluruh wilayah Teluk Jakarta. Sistem

ini berbasis teknologi informasi yang dapat di akses oleh semua instansi, baik

untuk memperoleh informasi maupun untuk memberikan informasi. Potensi

dan kondisi wilayah perairan dapat diketahui dengan cepat dan akurat

sehingga dapat meningkatkan efektivitas perencanaan, pelaksanaan, dan

pengawasan kegiatan pembangunan wilayah Teluk Jakarta.

4. Penguatan kelembagaan Pemanfaatan hutan dan ekosistem hutan mangrove melibatkan berbagai

instansi. Setiap instansi sudah ditentukan perannya, namun penjabarannya

terkadang tidak jelas dan seringkali terlihat adanya peranan dan tanggung jawab

yang terisolir. Banyak duplikasi dan tumpang tindih antara tanggung jawab dan

peranan pada berbagai instansi pemerintah.

Terdapat instansi kunci yang berperan dan mempunyai tanggung jawab

yang lebih besar dari instansi lainnya, yaitu Departemen Kehutanan, Departemen

Kelautan dan Perikanan, Departemen Dalam Negeri, dan Kementerian Negara

Lingkungan Hidup. Departemen Kehutanan mempunyai tanggung jawab dalam

pengelolaan seluruh kawasan hutan pantai termasuk hutan mangrove tetapi tidak

menyebutkan tanggung jawab dan otoritas lintas sektoral untuk menjamin

keharmonisan dalam pelaksanaan dengan berbagai instansi. Kekosongan

kewenangan ini merupakan kewenangan Departemen Dalam Negeri untuk

sinkronisasi kegiatan lintas sektor dan lintas wilayah. Departemen Kelautan dan

Perikanan mempunyai peranan dalam pengelolaan sumberdaya mangrove

khususnya yang berhubungan dengan produksi perikanan. Kementerian Negara

Lingkungan Hidup melakukan penyelamatan lingkungan dari kerusakan akibat

kegiatan pemanfaatan hutan mangrove.

Paradoks kelembagaan yang mendasar dalam pengelolaan mangrove

dan sumberdaya wilayah pantai adalah instansi masing-masing bertindak

menurut kepentingan sektoralnya dan secara umum tidak memandang situasi

secara jernih meskipun pemisahan kepentingan sektoral di wilayah pantai

bertentangan dengan prinsip pengelolaan sumberdaya secara lestari. Adanya

kepentingan multisektoral memerlukan peran Depdagri untuk melaksanakan

Page 116: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

103

kebijakasanaan lintas sektoral. Dengan demikian Depdagri mempunyai

kewenangan dalam pengelolaan mangrove di Teluk Jakarta, yang harus

bertanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya hutan mangrove.

Kerangka kerja instansi sektoral harus terkait secara baik dangan

kebijakan yang dibuat oleh lembaga koordinasi seperti Bappenas pada tingkat

nasional dan Bappeda untuk tingkat daerah. Kelemahan yang ada saat ini

adalah: (1) Kejelasan tentang peranan dan tanggung jawab masing-masing

instansi di dalam pengelolaan sumberdaya mangrove secara lestari; (2)

Kurangnya pemahaman terhadap peranan pentingnya strategi dan rencana

pengelolaan sumberdaya mangrove secara lestari dan wilayah pantai diantara

instansi sektor dan bahkan instansi koordinator yang dapat menentukan strategi

dan rencana tersebut; dan (3) Kurangnya tenaga perencana dan pakar di Kantor

Bappeda dalam memberikan input penting untuk perencanaan tata ruang

provinsi dan kabupaten, serta menyiapkan data base sumberdaya alam.

Urusan yang menjadi kewenangan pusat adalah penyelenggaraan

konservasi alam karena fungsi dan karakteristik pengelolaannya akan lebih aman

jika ada di Pusat. Di luar konservasi sumberdaya alam urusan yang termasuk

administrasi dan teknis operasional menjadi kewenangan daerah Kabupaten dan

Kota, sedangkan daerah provinsi kewenangannya dalam perencanaan makro

provinsi, pedoman, pengawasan dan hal-hal lain yang cakupannya melintas

batas kabupaten.

Pada tingkat provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten), belum

sepenuhnya menjabarkan dan mengimplementasikan kelembagaan yang dapat

berperan dalam pelestarian atau penyelamatan hutan mangrove di wilayahnya.

Demikian juga lembaga seperti BPN, Dinas Tata Kota, Bappeda, perlu mengatur

penataan ruang dan penggunaan lahan yang berwawasan lingkungan.

Guna membantu pelaku usaha kecil mengatasi masalah permodalan

diperlukan suatu lembaga keuangan satu lembaga keuangan mikro yang dapat

memberi pinjaman dengan persyaratan yang sederhana sehingga mereka dapat

segera mendapatkan modal pada saat yang diperlukan. Pelaku usaha tersebut

harus tetap dididik untuk selalu bertanggung jawab sehingga mereka dapat

mengembalikan pinjamannya dan meningkatkan usahanya. Karena penghasilan

mereka tidak tetap dan beragam maka sistem pengembalian sebaliknya

dilakukan secara periodik dengan jumlah yang tidak ditentukan tetapi mereka

harus melunasi pinjamannya dalam jangka waktu maksimum yang ditentukan.

Page 117: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

104

Upaya-upaya yang dapat ditempuh adalah 1) mengembangkan lembaga

keuangan yang telah ada dengan memperluas jangkauan sampai ke lokasi

sasaran. Lembaga keuangan yang telah ada adalah Bank Rakyat Indonesia,

Bank Perkreditan Rakyat, atau Perum Pegadaian atau 2) menciptakan suatu

sistem dana bergulir yang dilengkapi dengan kelembagaan kelompok yang

dibuat oleh kelompok sendiri, misalnya untuk dana yang bersumber dari

pengurangan subsidi BBM atau program lainnya.

Peningkatan mutu kelembagaan masyarakat yang dilakukan oleh

keluarga, perlu diberi pengetahuan tentang prinsip-prinsip usaha, yaitu

pengelolaan sumberdaya modal, bahan baku, dan tenaga kerja untuk

menghasilkan suatu produk dan pemasarannya secara berkelanjutan. Walaupun

usaha tersebut tetap dilaksanakan dalam lembaga keluarga, tetapi pelaku usaha

perlu diberi pengertian tentang pentingnya administrasi usaha dengan baik

sehingga perkembangan usahanya dapat dimonitor. Untuk itu, diperlukan

pelatihan dan bimbingan secara kontinu sampai mereka menyadari, memahami

serta mau dan dapat melaksanakan sendiri.

Metode yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut adalah penyuluhan,

pelatihan, pendampingan, dan pemagangan. Peningkatan peran perluasan

jaringan usaha seperti koperasi, usaha patungan, kelompok usaha, bersama baik

di bidang produksi, pengolahan, distribusi dan pemasaran.

Upaya lainnya adalah mengintroduksi lembaga perkreditan seperti

lembaga keuangan mikro. Lembaga perkreditan yang diintroduksikan harus

dapat memberikan pinjaman dengan prosedur yang sederhana dan dalam waktu

cepat serta besar pinjaman yang sesuai kelayakan usaha tani. Lembaga yang

dapat berfungsi seperti itu adalah lembaga keuangan pemerintah, misalnya Bank

Rakyat Indonesia (BRI), Bank DKI, Bank Jabar, atau Bank Perkreditan Rakyat

(BPR) dan Perum pengadaian, termasuk koperasi.

Meningkatkan kekuatan lembaga yang telah ada di masyarakat

(penguatan internal) dengan membangun dan mengembangkan unsur-unsur

lembaga sosial kemasyarakatan yang ada di masyarakat, misalnya kebiasaan

orang tua menabung di sekolah, lembaga arisan, lembaga keuangan yang

terbentuk dalam pengajian, majelis taklim, organisasi masyarakat, atau

mengubah paradigma dan memperbaiki kinerja koperasi yang telah ada agar

sesuai dengan sendi-sendi koperasi.

Page 118: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

105

5. Penegakan hukum Regulasi mengenai kawasan pesisir belum banyak. Regulasi yang ada

sebagian besar tidak khusus mengenai kawasan mangrove. Beberapa regulasi

yang berkenaan dengan ekosistem pesisir, pantai dan pulau kecil yaitu regulasi

dalam hal perikanan, sumberdaya alam, lingkungan, dan tata ruang.

Kekurangan regulasi ini berlanjut dengan pelaksanaannya di lapangan.

Secara umum bisa dikatakan bahwa implementasi regulasi masih sangat lemah

yang ditujukan oleh banyaknya pelanggaran dan ketidakpatuhan hukum.

Kelemahan implementasi hukum ini juga karena sistem peradilan yang tidak

efisien yang tidak memberikan dorongan bagi masyarakat untuk memenuhi

regulasi yang ada. Dengan demikian maka kelemahan implementasi hukum

merupakan kelemahan sistem atau kelembagaan yang memang merupakan

prasyarat pelaksanaan hukum secara efisien.

Akibat kelemahan regulasi serta kelembagaan maka sumberdaya hutan

mangrove tidak tertata dengan baik. Tumpang tindih kegiatan dalam hal

pemanfaatan ruang masih terjadi. Dampak eksternalitas negatif pemanfaatan

sumberdaya masih tetap berlangsung namun tidak dapat dihentikan karena

kelembagaan yang ada tidak memiliki kapasitas untuk mengatasinya. Demikian

pula, transfer dan alokasi hasil pemanfaatan sumberdaya cenderung tidak adil

dan hanya menguntungkan beberapa pihak yang memiliki kekuatan sosial,

ekonomi dan politik. Kelemahan dalam aspek hukum dan kelembagaan ini

membuat proses pemiskinan di satu sisi serta pengkayaan di sisi lain tetap

berlangsung. Dengan kata lain, akibat hukum dan kelembagaan yang lemah

maka distribusi manfaat serta disparitas status sosial ekonomi tetap berlangsung

di antara masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan

mangrove.

Hukum pengelolaan hutan mangrove meliputi semua peraturan

perundang-undangan yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga-lembaga

pemerintah untuk mengatur hubungan antara manusia dengan sumberdaya

wilayah pesisir dan lautan. Dari sudut hirarkinya, peraturan perundang-undangan

yang memiliki tingkat lebih tinggi akan ditindaklanjuti dengan peraturan

pelaksanaan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi. Semua permasalahan seperti benturan kepentingan antara

lembaga harus diselesaikan dengan mengacu kepada peraturan perundang-

undangan yang mempunyai tingkatan lebih tinggi.

Page 119: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

106

Peraturan tentang pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, seperti

Undang-Undang Nomor 41 tahun 2005 tentang Perikanan, Undang-Undang

Nomor 41 tentang 1999 Kehutanan, dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997

tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengatur mengenai pengelolaan

dan pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan. Namun demikian

kerusakan wilayah pesisir dan degradasi habitat masih terjadi. Hal ini merupakan

indikasi lemahnya penegakan hukum. Untuk penegakan hukum tentunya perlu

memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap citra dan peranan aparatur

negara dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Upaya-

upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkan strategi ini adalah:

1) Menelaah dan mengkaji materi yang terkandung dalam setiap peraturan yang

ada mengenai validitasnya jika dihadapkan pada tuntutan kebutuhan

masyarakat dalam rangka mengembangkan stabilitas politik, ekonomi, sosial

budaya, dan hankam. Juga perlu merevitalisasi kebijakan–kebijakan maupun

aturan–aturan yang selama ini memberikan peluang tindak pidana korupsi,

kolusi dan nepotisme dengan mengedepankan pengetatan fungsi

pengawasan dan pemeriksaan.

2) Penegakan aturan hukum dan sanksi yang tegas terhadap para pelaku IUU

(illegal, unreported, and unrated) fishing; Masih banyaknya kegiatan IUU

fishing baik oleh nelayan Indonesia maupun oleh kapal-kapal ikan asing

selain disebabkan oleh kurangnya pengawasan juga disebabkan oleh

lemahnya penegakan aturan hukum dan kurang beratnya sanksi yang

dikenakan terhadap para pelanggar. Hal ini diperparah lagi oleh adanya

pihak-pihak tertentu yang menjadi backing kegiatan IUU fishing tersebut.

Oleh karena itu menjadi tugas DKP, dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri

Sipil, Kejaksaan, Kepolisian dan Pengadilan untuk menegakkan aturan

hukum dan sanksi yang tegas terhadap para pelanggar.

3) Mengembangkan sistem pengawasan berbasis teknologi informasi sehingga

informasi pelanggaran dapat diperoleh lebih akurat, cepat, efisien, dan efektif.

Pengembangan teknologi ini diharapkan saling sinergi dengan teknologi

penangkapan ikan dan mitigasi bencana. Diharapkan perhatian dari

Departemen Kelautan dan Perikanan, LIPI, perguruan tinggi, dan pengusaha

untuk memberi dukungan dalam pengembangan sistem ini.

Page 120: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

107

4.6.3 Arahan program pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta Dalam konteks pengembangan mangrove, rencana pengelolaan hutan

mangrove tersebut dibuat untuk lokasi-lokasi mangrove yang telah ditetapkan.

Rencana pengelolaan ini harus dijadwalkan dan diakomodir secara resmi di

dalam rencana tata ruang daerah tersebut, dan merupakan bagian dari rencana

tata ruang kabupaten. Rencana-rencana tersebut harus disusun berdasarkan

survey yang akurat untuk mengetahui potensi sumberdaya yang ada. Untuk

aspirasi masyarakat perlu dinilai dan di dengar melalui komunikasi langsung dan

dipertimbangkan didalam rencana pengelolaan. Tanpa persetujuan, pengertian,

dan kerjasama dengan masyarakat setempat maka rencana pengelolaan

tersebut tidak akan berfungsi dengan baik (Alikodra, 2000).

Dalam kaitan dengan kondisi mangrove di tiga lokasi, maka terdapat

emapt program utama yang harus dilakukan yakni rehabilitasi mangrove,

penanganan sampah, perbaikan kualitas air, dan pengendalian abrasi dan

sedimentasi.

1. Rehabilitasi mangrove

Beberapa prinsip-prinsip rehabilitasi yang merupakan bagian dari strategi

nasional diantaranya: (1) masyarakat mempunyai hak untuk memanfaatkan/

menggunakan mangrove dalam rangka memperoleh produksi yang

berkesinambungan, (2) keanekaragaman hayati harus dipertahankan atau

ditingkatkan, (3) areal mangrove tidak boleh berkurang, dan (4) melestarikan

mangrove harus dilakukan dengan jalan melestarikan habitat, tidak sekadar

dengan penanaman saja.

Dalam ekosistem pesisir, secara alami hutan mangrove mempunyai

peran ekologis yang sangat penting dan tidak dapat tergantikan. Walaupun

manusia dapat merekayasa, akan tetapi memerlukan biaya yang tinggi dan

sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Oleh karena itu, dalam jangka

panjang keberlangsungan usaha kecil, baik pertanian, tambak, nelayan,

pembuatan terasi, pembuatan ikan asin maupun usaha pembesaran nener

ditentukan oleh kuantitas (luas) dan kualitas hutan mangrove.

Untuk melindungi sumberdaya lahan sawah diperlukan kebijakan yang

dapat mencegah konversi lahan sawah menjadi tambak (misalnya dengan

kebijakan insentif-disinsentif), pembuatan tanggul penangkal (break water) yang

dapat mencegah masuknya air (pasang) laut sekaligus sebagai pembatas antara

Page 121: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

108

areal persawahan dengan pertambakan, dan pembuatan saluran irigasi sehingga

mampu memenuhi kebutuhan air sawah, terutama pada musim kemarau. Dalam

kaitannya dengan perlindungan sumberdaya hutan mangrove, tata ruang

kabupaten/kota yang ada saat ini perlu disesuaikan dengan kebutuhan

masyarakat dan pelestarian hutan mangrove.

Rencana penanaman tidak dapat dipisahkan dari penyusunan rencana

pengembangan sumber daerah pantai secara keseluruhan dan juga tidak dapat

dipisahkan dari rencana pengelolaan wilayah tersebut, karena sangat penting

ditinjau dari tipe program rehabilitasinya, faktor ekologis dan sosial ekonominya.

Beberapa arahan prinsip yang terpenting adalah: (1) perlunya penyesuaian

(kecocokan) antara rencana penanaman dan prinsip-prinsip ekologis yang

berlaku pada perencanaan sumberdaya pantai dalam mendukung pembangunan

yang berkelanjutan, dan (2) upaya penanaman mangrove pada tempat-tempat

yang tidak pernah ada mangrovenya tidak akan bermanfaat. Kegiatan ini

kemungkinan akan gagal karena kondisi lapangan tidak sesuai dengan

pertumbuhan mangrove.

Rehabilitasi kerusakan hutan mangrove harus menjadi salah satu

program kerja prioritas, meliputi: (1) koordinasi dan pendekatan sosial dengan

masyarakat untuk mensosialisasikan dan menyamakan persepsi arti pentingnya

hutan mangrove dalam kaitannya dengan produktivitas usaha; (2) partisipasi

masyarakat melalui kelompok-kelompok, sekolah-sekolah, dan acara-acara

khusus (pengajian, arisan) dalam menghutankan kembali mangrove; (3) insentif

kepada masyarakat yang melaksanakan rehabilitasi hutan mangrove

memanfaatkan dana-dana crash programme dari BUMN dan swasta; (4)

peningkatan jaringan kemitraan dengan melakukan pendekatan ke instansi

pemerintah dalam peningkatan usaha tambak yang dikaitkan dengan

penanaman hutan mangrove; (5) penyuluhan, pembinaan dan menyebarluaskan

informasi melalui leaflet, brosur, dan buku-buku saku tentang arti dan pentingnya

mangrove; (6) pendekatan ke sekolah-sekolah untuk melakukan praktek

bersama antara siswa dengan anggota dan masyarakat dalam rehabilitasi

mangrove atas dasar saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling

menguntungkan; dan (7) tenaga pendamping yang ahli dalam bidang hutan

mangrove untuk membantu koperasi dan masyarakat.

Page 122: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

109

2. Penanganan sampah dan limbah

Program yang perlu diprioritaskan dalam penanganan sampah dan

limbah, meliputi: (1) penyuluhan dan pembinaan kepada anggota dan

masyarakat tentang jenis-jenis limbah dan dampak negatifnya melalui

pendekatan sosial dari penggunan pakan dan pestisida; (2) pelatihan tentang

teknik-teknik budidaya tambak atas usaha lain yang cepat mengurangi terjadinya

limbah dan teknik penanganan limbah yang ramah lingkungan; (3)

penyebarluasan brosur-brosur dan leaflet tentang jenis-jenis limbah, tanda-tanda

(indikator) adanya limbah, bahaya yang ditimbulkan dan cara mengatasinya; (4)

partisipasi anggota dan masyarakat dalam mengatasi limbah dengan sistem

insentif dan menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab; (5) petak-petak

percontohan tentang teknik penanganan limbah di lingkungannya; (6) jaringan

kemitraan dengan instansi pemerintah dan swasta yang terkait dengan usaha-

usaha seperti pemberian dan pestisida dan penanganan limbah yang

ditimbulkan; dan (7) informasi pada lembaga kelompoknya tentang bencana

limbah di wilayah kinerja yang disebabkan oleh usaha perorangan/kelompok,

perusahaan yang menghasilkan limbah dan membahayakan.

3. Perbaikan kualitas perairan

Program penanganan kualitas perairan untuk mendukung penyelamatan

hutan mangrove yang perlu diprioritaskan melalui: (1) koordinasi dan pendekatan

sosial dengan tokoh-tokoh masyarakat, kelompok, dan lembaga-lembaga yang

ada untuk menyamakan persepsi arti dan pentingnya menangani kualitas

perairan yang terkena pencemaran; (2) jaringan kemitraan dan pendekatan

dengan instansi Pemerintah dan swasta dalam mengadakan sosialisasi dan

teknik penanganan pencemaran; (3) partisipasi dan kesadaran anggota dan

masyarakat dalam menangani pencemaran, misalnya tidak membuang

sampah/limbah ke sungai, laut, saluran tambak, tetapi mengolah yang lebih

bermanfaat/mendaur ulang limbah yang dihasilkan; (4) kerjasama dengan

lembaga-lembaga penelitian secara periodik dalam pemeriksaan kondisi

perairannya; dan (5) pembinaan, penyuluhan, dan penyebarluasan informasi

melalui brosur, leaflet atau media lainnya tentang jenis-jenis pencemaran, baku

mutu lingkungan, dan teknik-teknik penanganannya.

Page 123: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

110

4. Pengendalian abrasi dan sedimentasi

Program yang perlu diprioritaskan dalam penanganan abrasi pantai dan

sedimentasi meliputi: (1) koordinasi dan pendekatan sosial dengan tokoh-tokoh

masyarakat, pemuka agama, dan lembaga lainnya untuk menyamakan persepsi,

arti dan pentingnya pengendalian abrasi pantai dan sedimentasi dengan sistem

insentif; (2) jaringan kemitraan dan pendekatan dengan instansi pemerintah dan

swasta berkaitan dengan bencana alam abrasi pantai dan sedimentasi, misalnya

pembuatan break water, penanaman hutan mangrove secara bersama seperti

gotong royong; (3) pembinaan, penyuluhan dan penyebarluasan informasi yang

berkaitan dengan abrasi, sedimentasi dan teknik-teknik pengendalian langsung

dan tak langsung pada anggota dan masyarakat; (4) informasi kepada instansi

dan lembaga yang tugas dan kewenangannya berkaitan dengan pengendalian

abrasi pantai dan sedimentasi khususnya yang terjadi di wilayah kerjanya; dan

(5) partisipasi dan kesadaran anggota dan masyarakat dalam pengendalian

abrasi pantai dan sedimentasi dengan sistem insentif (bonus).

Page 124: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pengembangan kebijakan

dan strategi dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta diperoleh

kesimpulan sebagai berikut:

1. Kondisi hutan mangrove di Teluk Jakarta mengalami degradasi berdasarkan

hasil pengujian:

a. Hasil analisis spasial vegetasi mangrove diketahui bahwa luasan hutan

mangrove telah mengalami penyusutan dan spesiesnya mengalami

pengurangan jenis. Persentase perubahan luas hutan mangrove selama

10 tahun mencapai 42,52% dari 340,90 ha menjadi 232,04 ha.

b. Hasil pengujian kualitas air diketahui bahwa parameter BOD, COD,

amonia, dan logam berat (kadmiun dan timbal) telah melampaui baku

mutu kualitas air. Kondisi fisik lahan mengalami kerusakan akibat alih

fungsi lahan menjadi tambak, permukiman, dan industri.

c. Hutan mangrove Teluk Jakarta sangat rentan terhadap abrasi,

sedimentasi, dan alih fungsi lahan.

2. Kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta

bervariasi berdasarkan kategori stakeholder yakni kesejahteraan masyarakat,

kelestarian ekosistem, dan pertumbuhan ekonomi. Kesejahteraan

masyarakat dan pertumbuhan ekonomi ditingkatkan melalui peningkatan

pendapatan masyarakat, pendidikan dan kesehatan masyarakat, dan

peningkatan investasi, sedangkan kelestarian ekosistem dilakukan melalui

rehabilitasi kawasan secara partisipatif.

3. Prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta secara

berkelanjutan berdasarkan aspirasi stakeholder secara berturut-turut adalah

pemberdayaan masyarakat (0,314), penerapan teknologi (0,270), dan

pengelolaan terpadu (0,220). Ketiga kebijakan ini dilaksanakan secara

terpadu dan konsisten dengan berbagai langkah-langkah strategis yang telah

disepakati oleh semua stakeholder. Dalam kaitan dengan pengelolaan hutan

mangrove di Teluk Jakarta berdasarkan kondisi saat ini dirumuskan empat

Page 125: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

112

program utama yaitu rehabilitasi mangrove, penanganan sampah dan limbah,

perbaikan kualitas perairan, dan pencegahan abrasi dan sedimentasi.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian, hasil analisis dan pembahasan maka

disarankan:

1. Merancang mekanisme pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan

kawasan mangrove di Teluk Jakarta.

2. Menyusun informasi hutan mangrove melalui inventarisasi dan pemetaan

baik aspek lingkungan, sosial dan ekonomi serta penataan kembali tata

ruang dan tata guna lahan yang melibatkan seluruh wilayah administrasi di

Teluk Jakarta.

3. Melakukan reformasi terhadap mekanisme koordinasi instansi-instansi yang

terkait dalam penjabaran aturan dan kebijakan dalam bentuk pokja (model

satu atap)

Page 126: PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH … · mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1986 dan melanjutkan Program Studi Pascasarjana

McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. DLH Kabupaten Tangerang. 2004. Perencanaan Strategis (Renstra) 2003-2008. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang. Tangerang. [DPK]. 2003. Rencana Strategis Pembangunan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang Tahun 2003 – 2008. Dinas Perikanan dan Kelautan. Tangerang. Imanuddin dan A. Mardiastuti. 2002. Ekologi Bangau Bluwok Mycteria cinerea di Suaka Margasatwa Pulau Rambut. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Bogor. Soerianegara, I. 1987. The Width of Mangrove Green Belt as Coastal Zone Protection Forest. Media Konservasi. Buletin Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Alikodra, H.S. 2002. Policy Analysis on Sustainable Mangrove Conservation. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove Tanggal 6 – 7 Agustus 2002. Jakarta. Soemodihardjo, S., A. Budiman, S. Hardjowigeno, N. Naamin, E. Subiandono, dan Sudarmadji. 1993. Penelitian dan Pengembangan. Makalah Utama. Seminar Pembahasan Strategi Nasional dan Program Aksi Mangrove di Indonesia. Jakarta. Walsh, G.E. 1974. Mangrove: a review. In : Ecology of halophytes. Academic Press. New York. Wartaputra, S. Kebijaksanaan Pengelolaan Mangrove ditinjau dari sudut konservasi. Dalam Soemihardjo dkk. (eds) Prosiding Seminar IV Ekosystem aturan baru. Sumarwoto, O. 2001. Atur – Diri – Sendiri. Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Keraf, A. S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. [BAPPEDA] Badan Perencana Daerah. 2004. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tangerang. [BPS Tangerang] 2005. Kotamadya Tangerang dalam Angka. Kota Tangerang pada tahun 2004. [BPS Jakarta] 2006. Kota DKI dalam Angka.. Jakarta. [BPS Bekasi] 2005. Kota Bekasi dalam angka. Bekasi.