Pendekatan Diagnose Holistik Pada Penderita Tbc

42
PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA TBC DI LAYANAN PRIMER (PUSKESMAS) ABSTRAK Latar Belakang. TB merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakitsaluran pernafasan. Prevalensi TB nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi. Menurut laporan WHO 2012, Indonesia merupakan penyumbang penderita TB terbesar nomor empat di dunia setelah India, Cina dan Afrika selatan. Sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosae. Data WHO tahun 2012 dalam Global TB Report 2012, menunjukkan bahwa pada tahun 2011, terdapat ± 8,7 juta terdeteksi kasus baru TB dimana 1,4 juta kasus mengalami kematian. HASIL: Tn.S, laki-laki, berusia 35 tahun, BB 40 Kg, TB 175 cm datang ke praktik Dokter Layanan Primer dengan keluhan batuk berdahak yang telah dialami dalam 2 bulan ini. Namun, pagi ini Tn.S batuk berdahak bercampur darah, kemudian Tn.S datang berobat ke Puskesmas dan dilakukan pemeriksaan TD:120/80 mmHg, sputum dengan hasil BTA +2, dan pemeriksaan radiologis dengan hasil tampak gambaran bercak infiltrat dan kavitas pada lapangan paru kanan atas dan Tn.S di diagnosis sebagai penderita TB Paru, kemudian ditatalaksana dengan obat anti TB. Selama ini Tn.S

description

IKM

Transcript of Pendekatan Diagnose Holistik Pada Penderita Tbc

PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA TBCDI LAYANAN PRIMER (PUSKESMAS)

ABSTRAK

Latar Belakang.

TB merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan

penyakitsaluran pernafasan. Prevalensi TB nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit

infeksi. Menurut laporan WHO 2012, Indonesia merupakan penyumbang penderita TB terbesar

nomor empat di dunia setelah India, Cina dan Afrika selatan.

Sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosae. Data

WHO tahun 2012 dalam Global TB Report 2012, menunjukkan bahwa pada tahun 2011, terdapat

± 8,7 juta terdeteksi kasus baru TB dimana 1,4 juta kasus mengalami kematian.

HASIL:

Tn.S, laki-laki, berusia 35 tahun, BB 40 Kg, TB 175 cm datang ke praktik Dokter Layanan

Primer dengan keluhan batuk berdahak yang telah dialami dalam 2 bulan ini. Namun, pagi ini

Tn.S batuk berdahak bercampur darah, kemudian Tn.S datang berobat ke Puskesmas dan

dilakukan pemeriksaan TD:120/80 mmHg, sputum dengan hasil BTA +2, dan pemeriksaan

radiologis dengan hasil tampak gambaran bercak infiltrat dan kavitas pada lapangan paru kanan

atas dan Tn.S di diagnosis sebagai penderita TB Paru, kemudian ditatalaksana dengan obat anti

TB. Selama ini Tn.S enggan berobat ke Dokter karena khawatir di diagnosa TB Paru. Nafsu

makan tidak ada, berat badan menurun dalam sebulan terakhir.

Tn.S dan keluarga juga diberi edukasi terkait penyakit tuberkulosis, anjuran untuk melakukan

pengobatan TB secara teratur, dan melaksanakan modifikasi gaya hidup. Berdasarkan hasil

pemeriksaan (anamnese, fisik,laboratorium, EBM) dapat disimpulkan bahwa telah dilakukan

penatalaksanaan pasien dengan prinsip pelayanan dokter keluarga yang holistik dan paripurna,

berbasis evidence based medicine. Perbaikan dapat dievaluasi setelah pengobatan fase intensif

selesai dengan didapatkan berkurangnya BTA pada pemeriksaan mikroskopis sputum.

Kata Kunci. Tuberkulosis, Evidance Based Medicine, pelayanan dokter keluarga

Nn. T, perempuan berusia 49 tahun, BB 39 Kg, TB 153 cm datang berobat ke puskesmas dengan keluhan batuk berdahak yang telah dialami dalam 3 bulan ini. Kemudian, Nn. T dilakukan pemeriksaan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Di Indonesia penyakit Tuberkulosis masih menjadi masalah karena negara ini termasuk

daerah endemis. Tuberkulosis dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis, Penularan

penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis

paru. Dalam pelayanan kesehatan tidak terlepas dari keterlibatan keluarga sebagai orang yang

terdekat dari pasien, terutama pasien Tuberkulosis. Pengetahuan keluarga yang mengenai

menjaga kesehatan agar tetap dalam kondisi yang sehat baik jasmani maupun rohaninya. Peranan

motivasi keluarga dari penderita Tuberkulosis sangat diharapkan, misalnya secepat mungkin

membawa penderita ketempat pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan pengobatan

serta bagaimana perilaku dan sikap keluarga dapat mencegah penularan penyakit Tuberkulosis

(Notoatmojo, 2003).

Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan jumlah terbanyak ketiga di dunia yakni 5,8%

setelah India 21,1% dan Cina 14,3%.(Rahmawati:2009) WHO memperkirakan setiap tahunnya

di Indonesia terdapat 557.000 kasus baru TBC, dimana 250.000 diantaranya adalah penderita TB

BTA positif, dengan jumlah kematian 140.000. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT, 2001),

Konsekuensi yang dapat terjadi pada penderita TB paru yang tidak melakukan pengobatan,

setelah lima tahun menderita diprediksikan 50% dari penderita TB paru akan meninggal, adanya

sumber penularan, imunisasi, keadaan rumah yang kurang baik meliputi (suhu dalam rumah,

ventilasi, pencahayaan dalam rumah, kelembaban rumah, kepadatan penghuni dan lingkungan

sekitar rumah ) sekitar 45%, vaksin BCG sekitar 50%. Kontak yang berlebihan yang berlangsung

terus menerus selama 3 bulan atau lebih, kebiasaan penderita yang kurang baik dalam

pengeloalan ludah / secret serta tidak memakai masker debu diprediksikan 75%. Dari Puskesmas

X diperoleh data bahwa prevalensi TB Paru adalah ...........................................................

Tuberkulosis atau TB masih merupakan salah saatu masalah kesehatan masyarakat yang

menjadi tantangan global. Indonesia merupakan negara pertama diantara negara-negara dengan

beban TB yang tinggi di wilayah Asia Tenggara yang berhasil mencapai target Global untuk TB

pada tahun 2006, yaitu 70% penemuan kasus baru TB BTA positif dan 85% kesembuhan. Saat

ini peringkat Indonesia telah turun dari urutan ketiga menjadi kelima diantara negara dengan

beban TB tertinggi di dunia.

Data terbaru yang dikeluarkan WHO pada tahun 2012 dalam Global TB Report 2012,

menunjukkan bahwa pada tahun 2011, terdapat ± 8,7 juta terdeteksi kasus baru TB dimana 1,4

juta kasus mengalami kematian. Tuberkulosis di Indonesia menduduki peringkat ke-4 di dunia.

Menurut WHO dalam Global TB Report 2012, prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2011

adalah 244/100.000 penduduk.

Meskipun demikian, berbagai tantangan baru yang perlu menjadi perhatian yaitu TB/HIV,

TB-MDR, TB pada anak dan masyarakat rentan lainnya. Hal ini memacu pengendalian TB

nasional terus melakukan intensifikasi, akselerasi, ekstensifikasi dan inovasi program.

Strategi Nasional program pengendalian TB dengan visi “Menuju Masyarakat Bebas

Masalah TB, Sehat, Mandiri dan Berkeadilan”. Strategi tersebut bertujuan mempertahankan

kontinuitas pengendalian TB periode sebelumnya. Untuk mencapai target yang ditetapkan dalam

stranas, disusun 8 Rencana Aksi Nasional yaitu : (1) Public-Private Mix untuk TB ; (2)

Programmatic Management of Drug Resistance TB ; (3) Kolaborasi TB-HIV; (4) Penguatan

Laboratorium; (5) Pengembangan Sumber Daya Manusia; (6) Penguatan Logistik; (7) Advokasi,

Komunikasi dan Mobilisasi Sosial; dan (8) Informasi Strategis TB.

TB merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan

penyakit saluran pernafasan. Prevalensi TB nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit

infeksi. Menurut laporan WHO 2012, Indonesia merupakan penyumbang penderita TB terbesar

nomor empat di dunia setelah India, Cina dan Afrika SelatanUntuk menanggulangi masalah TB

di Indonesia, ISTC (International Standard of Tuberculosis Care) dan Strategi DOTS (Directly

Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO harus sungguh-sungguh

dilaksanakan. Pada awal pelaksanaan strategi ini difokuskan pada Puskesmas, kemudian secara

bertahap diekspansi ke berbagai fasilitas layanan kesehatan (fasyankes). Salah satu masalah yang

dihadapi program TB nasional dalam melakukan akselerasi dan ekspansi program adalah

kurangnya sumber daya manusia, baik kualitas maupun kuantitas. Sumber daya manusia menjadi

isu pokok dan prioritas sebagai upaya investasi yang tepat dan efektif untuk mencapai target

global.

Fakultas Kedokteran sebagai penghasil tenaga profesional dokter, memiliki potensi

kontribusi yang sangat besar terutama dalam menjamin keberlangsungan Program

Penanggulangan TB Nasional. Mereka perlu mendapat cukup bekal untuk menangani TB secara

komprehensif dimana kelak sebagian besar mereka bekerja. Untuk memenuhi kebutuhan

tersebut, maka memasukkan materi Program Penanggulangan TB Nasional didalam kurikulum

kedokteran dinilai cukup strategis, dan memberi kesempatan kepada mahasiswa program profesi

dokter untuk melakukan kegiatan kepanitraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat

dan Kedokteran Komunitas dilayanan primer (Puskesmas) dengan tujuan untuk meningkatkan

kompetensi yang dilandasi oleh profesionalitas yang luhur, mawas diri dan pengembangan diri,

serta komunikasi efektif. Selain itu kompetensi mempunyai pilar berupa pengelolaan informasi,

landasan ilmiah ilmu kedokteran, keterampilan klinis, dan pengelolaan masalah kesehatan.

Penyakit Tuberkulosis dapat terjadi karena adanya prilaku dan sikap keluarga yang kurang

baik. Kurangnya perilaku keluarga tersebut ditunjukan dengan tidak menggunakan masker debu (

jika kontak dengan pasien ), keterlambatan dalam pemberian vaksin BCG ( pada orang yang

tidak terinfeksi ), dan terapi pencegahan 6-9 bulan.Terjadinya perilaku yang kurang baik dari

keluarga karena kurangnya pengetahuan dan sikap keluarga, dalam hal ini bagaimana seharusnya

keluarga pasien yang terdiagnosa TB paru mengetahui secara jelas dan benar apa sebenarnya

penyakit Tuberkulosis ini, dan bagaimana cara penularan dan pencegahannya. Sikap keluarga

sangat menentukan keberhasilan pengobatan, terlebih dalam mencegah penularannya, karena jika

sikap keluarga pasien yang terdiagnosa TB paru mengerti apa yang sebenarnya dia lakukan maka

secara otomatis dia juga bisa dan mampu melindungi dirinya dan anggota keluarga lainnya. Jika

prilakunya baik maka akan membawa dampak positif bagi pencegahan penularan Tuberkulosis

(Notoatmojo, 2003).

Pada prinsipnya upaya-upaya pencegahan dilakukan dan pemberantasan tuberkulosis

dijalankan dengan usaha-usaha diantaranya: pendidikan kesehatan (health education) kepada

masyarakat tentang penyakit TBC, bahaya-bahanya, cara penularannya. Pencegahan dengan

vaksinasi B.C.G pada anak-anak umur 0 – 14 tahun, chemoprophylactic dengan I.N.H pada

keluarga, penderita atau orang-orang yang pernah kontak dengan penderita. Dan menghilangkan

sumber penularan dengan mencari dan mengobati semua penderita dalam masyarakat (Indan

Entjang, 2000). Adapun juga upaya pencegahan menurut WHO yaitu pencahayaan rumah yang

baik, Menutup mulut saat batuk, Tidak meludah di sembarang tempat, Menjaga kebersihan

lingkungan dan alat makan.

1.2. Aspek disiplin ilmu yang terkait dengan judul pembahasan:

Untuk pengendalian permasalahan TB pada tingkat individu dan masyarakat secara

komprehentif dan holistik yang disesuaikan dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia

(SKDI), maka mahasiswa program profesi dokter Universitas Muslim Indonesia

melakukan kegiatan kepanitraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan

Kedokteran Komunitas dilayanan primer (Puskesmas) dengan tujuan untuk meningkatkan

kompetensi yang dilandasi oleh profesionalitas yang luhur, mawas diri dan

pengembangan diri, serta komunikasi efektif. Selain itu kompetensi mempunyai landasan

berupa pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran, keterampilan klinis,

dan pengelolaan masalah kesehatan.

Kompetensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.2.1.Profesionalitas yang luhur (Kompetensi 1) : untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan

permasalahan dalam pengendalian TB secara individual, masyarakat maupun pihak terkait

ditinjau dari nilai agama, etik moral dan peraturan perundangan.

1.2.2.Mawas diri dan pengembangan diri (Kompetensi 2) : Mahasiswa mampu mengenali dan

mengatasi masalah keterbatasan fisis, psikis , sosial dan budaya sendiri dalam penangan

TB, melakukan rujukan bagi kasus TB, sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter

Indonesia yang berlaku serta mengembangkan pengetahuan.

1.2.3.Komunikasi efektif (Kompetensi 3) : Mahasiswa mampu melakukan komunikasi,

pemberian informasi dan edukasi pada individu, keluarga, masyarakat dan mitra kerja

dalam pengendalian TB.

1.2.4.Pengelolaan Informasi (Kompetensi 4) : Mahasiswa mampu memanfaatkan teknologi

informasi komunikasi dan informasi kesehatan dalam praktik kedokteran.

1.2.5.Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran (Kompetensi 5) : Mahasiswa mampu menyelesaikan

masalah pengendalian TB secara holistik dan komprehensif baik secara individu, keluarga

maupun komunitas berdasarkan landasan ilmiah yang mutakhir untuk mendapatkan hasil

yang optimum.

1.2.6.Keterampilan Klinis (Kompetensi 6) : Mahasiswa mampu melakukan prosedur klinis yang

berkaitan dengan masalah TB dengan menerapkan prinsip keselamatan pasien,

keselamatan diri sendiri, dan keselamatan orang lain.

1.2.7.Pengelolaan Masalah Kesehatan (Kompetensi 7) : Mahasiswa mampu mengelola masalah

kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat secara komprehensif, holistik,

koordinatif, kolaboratif dan berkesinambungan dalam konteks pelayanan kesehatan primer

1.3. Tujuan dan Manfaat Studi Kasus

Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah menatalaksana masalah kesehatan

dengan memandang pasien sebagai individu yang utuh terdiri dari unsur biopsikososial,

serta penerapan prinsip pencegahan penyakit promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Proses pelayanan dokter keluarga dapat lebih berkualitas bila didasarkan pada hasil

penelitian ilmu kedokteran terkini (evidence based medicine).

1.3.1. Tujuan Umum:

Tujuan dari penulisan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat menerapkan pelayanan

dokter keluarga secara paripurna (komprehensif) dan holistik, sesuai dengan Standar

Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), berbasis evidence based medicine (EBM) pada

pasien dengan mengidentifikasi faktor risiko dan masalah klinis serta prinsip

penatalaksanaan pasien berdasarkan kerangka penyelesaian masalah pasien (problem

oriented).

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan etika dalam pengendalian

TB secara individual, masyarakat maupun pihak terkait.

b. Untuk melakukan pengendalian TB dan melakukan rujukan bagi kasus TB, sesuai

dengan standar kompetensi dokter Indonesia yang berlaku.

c. Untuk melakukan komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada level individu,

keluarga, masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian TB.

d. Untuk memanfaatkan sumber informasi terkini dan melakukan kajian ilmiah dari data

di lapangan, untuk melakukan pengendalian TB.

e. Untuk menggunakan landasan Ilmu Kedokteran Klinis dan Kesehatan Masyarakat

dalam melakukan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam

pengendalian TB.

f. Untuk dapat menggunakan dan menjelaskan epidemiologi, transmisi dan patogenesis

TB.

g. Untuk melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang, serta

mengintepretasikan hasilnya dalam mendiagnosis TB paru dan ekstra paru pada pasien

dewasa dan anak

h. Untuk melakukan prosedur tatalaksana TB sesuai Program Pengendalian TB Nasional

sesuai standar kompetensi dokter Indonesia.

1.3.3. Manfaat Studi Kasus

1.3.3.1. Bagi Institusi pendidikan.

1.3.3.2. Bagi Penderita (Pasien).

1.3.3.3. Bagi tenaga kesehatan.

1.3.3.4. Bagi Pembelajar Studi Kasus (Mahasiswa)

.

1.4. Indikator Keberhasilan Tindakan

Indikator keberhasilan tindakan setelah dilakukan penatalaksanaan pasien dengan prinsip

pelayanan dokter keluarga yang holistik dan paripurna, berbasis evidence based medicine

adalah:

1.4.1.Kepatuhan penderita datang berobat di layanan primer (Puskesmas) sudah teratur.

1.4.2.Perbaikan dapat dievaluasi setelah pengobatan fase intensif selesai dengan didapatkan

berkurangnya BTA pada pemeriksaan mikroskopis sputum.

1.4.3.Pada pemeriksaan ulang radiologis Tn.S tampak gambaran bercak infiltrat dan kavitas pada

lapangan paru kanan atas sudah tidak tampak lagi, jika dibandingkan dengan foto thorax

terdahulu.

1.4.3.Gejala batuk yang disertai dengan dahak, keringat dimalam hari sudah berkurang.

1.4.4.Pemeriksaan fisik pada lapangan paru kanan atas dan suara pernapasannya terkesan

normal, jika dibandingkan dengan pemeriksaan pada waktu pertama kali datang di layanan

primer (Puskesmas) dengan hasil Fremitus mengeras pada lapangan paru kanan atas, dan

suara pernapasan dijumpai bronkial pada lapangan paru kanan atas.

Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian keberhasilan tindakan

pengobatan didasarkan pada hasil pemeriksaan bakteriologis, radiologi, dan klinis.

Kesembuhan TB paru yang baik akan memperlihatkan sputum BTA (-), adanya perbaikan

radiologi, dan menghilangnya gejala.

BAB II

ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS

1.1. Kerangka Teoritis

Gambaran Penyebab TBC

Faktor Genetik Pemaparan oleh bakteri Invasi Jaringan

Malnutrisi

PENJAMU

PEKA

TUBERKULOSIS

INFEKS

I

Kesesakan Kemiskinan rumah

Faktor resiko Tuberkulosis Mekanisme Tuberkulosis

1.2. Pendekatan Diagnose Holistik Pada Pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan

Primer

Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah:

a. Comprehensive care and holistic approach

b. Continuous care

c. Prevention first

d. Coordinative and collaborative care

e. Personal care as the integral part of his/her family

f. Family, community, and environment consideration

g. Ethics and law awareness

h. Cost effective care and quality assurance

i. Can be audited and accountable care

Pendekatan menyeluruh (holistic approach), yaitu peduli bahwa pasien adalah seorang

manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan spiritual, serta berkehidupan di

tengah lingkungan fisik dan sosialnya

Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita melihat dari beberapa

aspek yaitu:

Aspek personal : Keluhan utama, harapan, kekhawatiran.

Aspek klinis: diagnose klinis dan diagnose bandingnya

Aspek faktor resiko internal: perilaku kesehatan, persepsi kesehatan

Aspek faktor resiko eksternal: psikososial dan ekonomi keluarga, keadaan

lingkungan rumah dan pekerjaan.

Derajat fungsional (1 - 5)

1.3. Penyakit Tuberculosa (TB)

1.3.1. Pengertian

Tuberculosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis

dengan gejala sangat bervariasi. Sistemis sehingga dapat mengenai hampir semua organ

tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi

primer.Penyakit TB sangat menular, tetapi tidak merupakan penyakit turun temurun.

1.3.2. Patogenesis

Gambar : Patogenesis Tuberkulosa

Dasar sifat virulensi kuman ini belum diketahui. Kuman ini tidak membuat toksin, namun

keanekaragaman komponen dari kuman ini memiliki keaktifan biologis yang berbeda-beda yang

dapat mempengaruhi pathogenesis, alergi, dan kekebalan pada penyakit ini. Virulensi tergantung

pada dua senyawa di selubung sel M. tubercolosis yang berminyak. Faktor genjel (cord factor,

trehalosa mikrolet) menghambat respirasi mitokondria. Sulfolipid/ sulfatida menghambat fusi

fagosom-lisosom, sehingga M. tubercolosis dapat bertahan hidup dalam sel.

Lesi sekunder paru

Lesi di hepar, lien,ginjal,tulang,

otak dll

PecahKompleks Ghon

PerkijuanKalsifikasiPenyebaran hematogen

Pembentukan tuberkel

Resolusi Kelenjar limfe

Destruksi makrofag

Destruksi baksil TB

Baksil TB berkembang biak

Fagositosis oleh makrofagAlveolus Fagositosis oleh makrofagInhalasi baksil TB

Infeksi terjadi melalui debu atau titik cairan(droplet) yang mengandung kuman TBC dan masuk

ke jalan nafas. Penyakit imbul setelah kuman menetap dan berkembang biak dalam paru-paru

atau kelenjar getah bening regional.

Perkembangan penyakit bergantung pada : Dosis kuman yang masuk dan Daya tahan serta

hipersensitivitas hospes.

Kelainan patologi yang terjadi :

1. Tipe Eksudatif

Terdiri dari inflamasi yang akut dengan edema, sel-sel leukosit PMN dan menyusul kemudian

sel-sel monosit yang mengelilingi tuberculosis. Kelainan ini terutama terlihat pada jaringan

paru dan mirip Pneumonia bakteri. Dalam masa eksudatif ini tuberculin adalah positif.

2. Tipe Produktif

Apabila sudah matang prosesnya lesi ini berbentuk granuloma yang kronik, terdiri dari 3

zona.:

a) Zona Sentral dengan sel raksasa yang berinti banyak dan mengandung tuberculosis.

b) Zona Tengah yang terdiri dari sel-sel epitel yang tersusun radial

c) Zona yang terdiri dari fibroblast, limfosit, dan monosit. Lambat laun zona luar akan

berubah menjadi fibrotik dan zona sentral akan mengalami perkijuan. Kelainan seperi ini

disebut sebagai tuberkel.

Perjalanan Kuman tuberculosis di dalam tubuh.

Kuman menjalar melalui saluran limfe ke kelenjar getah bening atau ductus thoracicus atau

Organ tubuh melalui aliran darah atau dapat juga langsung dari proses perkijuan masuk ke

vena atau pecah ke bronkus atau tersebar ke seluruh paru-paru atau tertelan ke tractus

digastivus.

1.3.3. Etiologi

Mycobacterium tuberculosis

Penyebab penyakit TB adalah kuman Mycobacterium tuberculosis, yang berbentuk

batang lurus atau agak bengkok, berukuran panjang 1 sampai 5 μ dan lebar 0.2 sampai

0.8 μ. dapat ditemukan bentuk sendiri maupun berkelompok. Kuman ini merupakan

bakteri tahan asam (BTA) yang bersifat tidak bergerak, tidak berspora, dan tidak

bersimpai. Micobacterium tuberculosis yang merupakan basil tahan asam dan dapat

dilihat dengan pewarnaan Ziehl - Neelsen (karbol fuksin). Pada pewarnaannya M.

tuberculosis tampak seperti manik-manik atau tidak terwarnai secara merata.

Mycobacterium tuberculosis pertama kali dideskripsikan pada tanggal 24 Maret 1882

oleh Robert Koch. Bakteri ini juga disebut basilus Koch.

1.3.4. Epidemiologi

Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di

dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan

estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB

diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. Indonesia merupakan negara dengan

percepatan peningkatan epidemi HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV

dinyatakan sebagai epidemik erkonsentrasi (a concentrated epidemic), dengan

perkecualian di provinsi Papua yang prevalensi HIVnya sudah mencapai 2,5%

(generalized epidemic). Secara nasional, angka estimasi prevalensi HIV pada populasi

dewasa adalah 0,2%.

Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk intervensi HI dan

estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia sekitar 190.000- 400.000. Estimasi

nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah 2.8%.

Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah dari

estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan

ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya. Meskipun

memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negar pertama diantara

High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai

target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada

tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati

(data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan

demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case

Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun

terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian

target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional

yang utama.

Meskipun secara nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam penemuan

kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih menunjukkan

disparitas antar wilayah (lihat tabel).

Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka penemuan kasus (CDR)

70% dan hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85% kesembuhan.

Tabel Pencapaian target pengendalian TB per provinsi 2009

CDR ≥70% C

DR < 70%

Dengan angka nasional proporsi kasus relaps dan gagal pengobatan di bawah 2%, maka

angka resistensi obat TB pada pasien yang diobati di pelayanan kesehatan pada umumnya

masih rendah. Namun demikian, sebagian besar data berasal dari Puskesmas yang telah

menerapkan strategi DOTS dengan baik selama lebih dari 5 tahun terakhir. Probabilitas

terjadinya resistensi obat TB lebih tinggi di rumah sakit dan sektor swasta yang belum

terlibat dalam program pengendalian TB nasional sebagai akibat dari tingginya

ketidakpatuhan dan tingkat drop out pengobatan karena tidak diterapkannya strategi

DOTS yang tinggi. Data dari penyedia pelayanan swasta belum termasuk dalam data di

program pengendalian TB nasional. Sedangkan untuk rumah sakit, data yang tersedia

baru berasal dari sekitar 30% rumah sakit yang telah melaksanakan strategi DOTS.

Proporsi kasus TB dengan BTA negatif sedikit meningkat dari 56% pada tahun 2008

menjadi 59% pada tahun 2009. Peningkatan jumlah kasus TB BTA negatif yang terjadi

selama beberapa tahun terakhir sangat mungkin disebabkan oleh karena meningkatnya

pelaporan kasus TB dari rumah sakit yang telah terlibat dalam program TB nasional.

Jumlah kasus TB anak pada tahun 2009 mencapai 30.806 termasuk 1,865 kasus BTA

positif. Proposi kasus TB anak dari semua kasus TB mencapai 10.45%.

Angka-angka ini merupakan gambaran parsial dari keseluruhan kasus TB anak yang

sesungguhnya mengingat tingginya kasus overdiagnosis di fasilitas pelayanan kesehatan

yang diiringi dengan rendahnya pelaporan dari fasilitas pelayanan kesehatan.

1.3.4.1. Epidemiologi penyakit TB dapat juga digambarkan menurut Trias Epidemiologi adalah

Agent, Host dan Environment sebagai berikut :

a. Agent

TB disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, bakteri gram positif, berbentuk

batang halus, mempunyai sifat tahan asam dan aerobic. Karakteristik alami dari

agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan kimia atau antibiotika dan

mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang

lama.Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium

Tuberculosis sangat tinggi. Pathogenesis hamper rendah dan daya virulensinya

tergantung dosis infeksi dan kondisi Host. Sifat resistensinya merupakan problem

serius yang sering muncul setelah penggunaan kemoterapi modern, sehingga

menyebabkan keharusan mengembangkan obat baru .Umumnya sumber

infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk

transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi

congenital yang jarang terjadi .

b. Host

Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak

kejadian dan kematian :a).Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua

penderita b) Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan

pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita c).

Puncak sedang pada usia lanjut .Dalam prkembangannya, infeksi pertama

semakin tertunda, walau tetap tidak berlaku pada golongan dewasa, terutama pria

dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau tidak terlindung dari risiko

infeksi .Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang

diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi.

Penduduk pribumi memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal

TBC sejak lama, yang disebabkan rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek

keturunan dan distribusi secara familial sulit terinterprestasikan dalam TBC, tetapi

mungkin mengacu pada kondisi keluarga secara umum dan sugesti tentang

pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi turut

memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan

kelalaian Status gizi, kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan

tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan umum juga berkepentingan besar.

Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer memberikan beberapa

resistensi, namun sulit untuk dievaluasi .

c. Environment

Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang

besar dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun

berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak geografis .Keadaan sosial-

ekonomi merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran sosiobiologis

menyebutkan adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang

mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan

tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi

dan urbanisasi komunitas perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga

fisik, pengangguran dan tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TBC dapat

juga menjadi pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini .Pada

lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan

hewan ternak yang terinfeksi adalah berbahaya .

1.3.4.2. Epidemiologi penyakit TB dapat juga digambarkan menurut Variabel Epidemiologi

adalah Person (orang), Place (tempat) dan Time (waktu) sebagai berikut :

a. Distribusi menurut orang.

Distribusi menurut umur

Distribusi menurut jenis kelamin.

Distribusi menurut etnik

b. Distribusi menurut tempat.

c. Distribusi menurut waktu.

EPIDEMIOLOGI

a. Person / Orang

Umur

Penyakit TBC dapat menyerang pada siapa saja tak terkecuali pria, wanita, tua,

muda, anak-anak, kaya dan miskin serta dimana saja. Sebagian besar penderita

TB Paru di Negara berkembang berumur dibawah 50 tahun.Data WHO

menunjukkan bahwa kasus TB di Negara berkembang banyak terdapat pada umur

produktif 15-29 tahun,Sejalan dengan penelitian Rizkiyani (2008) yang

menunjukkan jumlah penderita baru TB Paru positif 87,6% berasal dari usia

produktif (15-54 tahun) sedangkan 12,4 % terjadi pada usia lanjut (≤ 55 tahun).

Jenis Kelamin

Penyakit TB Paru menyerang orang dewasa dan anak-anak,laki-laki dan

perempuan.TB Menyerang sebagian besar wanita pada usia produktif. Serupa

dengan WHO yang menunjukkan lebih dari 900 juta wanita di seluruh dunia

tertular oleh kuman TB dan satu juta di antaranya meninggal setiap tahun.

Etnik (Suku Bangsa)

Suku bangsa atau golongan etnik adalah sekelompok manusia dalam suatu

populasi yang memiliki kebiasaan atau sifat biologis yang sama. Walaupun

klasifikasi penyakit berdasarkan suku bangsa sulit dilakukan baik secara praktis

maupun secara konseptual, tetapi karena terdapat perbedaan yang besar dalam

frekuensi dan beratnya penyakit diantara suku bangsa maka dibuat klasifikasi

walaupun kontroversi. Pada umumnya penyakit yang berhubungan dengan suku

bangsa berkaitan dengan faktor genetik atau faktor lingkungan, misalnya:

(Penyakit sickle cell anemia, Hemofilia dan Kelainan biokimia sperti glukosa 6

fosfatase).

b. Place / tempat

Lingkungan

TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang di tularkan

melalui udara.Keadaan berbagai lingkungan yang dapat mempengaruhi

penyebaran TBC salah satunya adalah lingkungan yang kumuh,kotor .Penderita

TB Paru lebih banyak terdapat pada masyarakat yang menetap pada lingkungan

yang kumuh dan kotor.

Kondisi Sosial Ekonomi

Sebagai Penderita TB Paru adalah dari kalangan Miskin.Data WHO yang

menyatakan bahwa angka kematian akibat TB sebagai besar berada di Negara

berkembang yang relative miskin

Wilayah

resiko mendapatkan infeksi dan berkembangnya klinis penyakit TB Paru

bergantung pada keberadaan infeksi dalam masyarakat misalnya Imigran dari

daerah prevalensi tinggi TB, Ras yang beresiko tinggi dan kelompok etnis

minorias(misal Afrika,Amerika,Amerika Indian,Asli Alaska,Asia,Kepulauan

Pasifik dan Hispanik)

c. Time / Waktu

Penyakit TB Paru dapat menyerang siapa saja,dimana saja dan Kapan saja tanpa

mengenal waktu,Apabila Kuman telah masuk ke dalam tubuh maka pada saat itu

kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjadinya penyakit TB Paru.

1.3.5. Cara Penularan

Kuman tuberculosis biasanya masuk ke dalam tubuh melalui hirupan nafas (air borne),

tertelan, atau masuk melalui luka pada kulit. Jika terhirup oleh pernafasan kuman ini

mengendap pada alveoli paru-paru, lalu difagosit oleh makrofag alveolus. Di dalam

fagosit kuman ini terus berkembang biak. Fagosit yang berisi kuman yang dimakannya

berfungsi sebagai alat pengangkut infeksi ke berbagai bagian tubuh.

TB ditularkan oleh penderita melalui udara. Hal ini ditularkan dari orang ke orang

melalui tetesan (droplet infection) dari tenggorokan dan paru-paru dari orang-orang

dengan penyakit TB yang aktif. Udara yang sudah tercemar apabila terhirup maka

berpotensi menimbulkan penyakit pada korban baru. Tetapi bukan berarti setiap orang

yang menghirup udara ini menjadi penderita baru, hal ini sanagt tergantung dari jumlah

udara yang terhirup serta ketahanan tubuh seseorang. Umumnya bakteri ini hanya

menyerang paru. Tapi karena penyebarannya melalui pembuluh darah dan kelenjar getah

bening, maka berbagai organ dapat diserang juga. Beberapa organ itu antara lain tulang,

ginjal, otak dll.

1.3.6. Pengobatan TB (lihat Evidence Based Medicine).

Penatalaksanaan yang diberikan ialah pemberian Obat Anti TB (OAT) kombinasi dosis

tetap (KDT) dewasa. Dosis yang diberikan sesuai dengan berat badan pasien, yaitu 50 kg

maka obat yang diberikan adalah 3 tablet OAT (1 tablet mengandung Rifampisin 150 mg,

Isoniazid 100 mg, dan Pirazinamid 400 mg serta Etambutol 275 mg) setiap harinya

selama 2 bulan pertama.

Selain diberikan OAT-KDT, pasien juga diberikan vitamin B6 (piridoksin) 2x1 tablet.

Ada kondisi-kondisi tertentu yang mengakibatkan penurunan kadar B6 dalam tubuh,

salah satunya adalah penggunaan OAT berupa Isoniazid.

Selain itu efek samping ringan dari Isoniazid adalah kesemutan, mati dan nyeri otot atau

gangguan kesadaran serta kelainan kulit yang bervariasi, antara lain gatal-gatal.

Ini dapat dikurangi dengan pemberian Pyridoxin.

Kelangsungan hidup atau prognosis pasien TB juga ditentukan dari keberhasilan

pengobatan. Ada beberapa sebab kegagalan pengobatan, antara lain: panduan obat tidak

adekuat, dosis obat tidak cukup, minum obat tidak teratur, jangka waktu pengobatan

kurang dari semestinya, terjadi resistensi obat dan bila terjadi resistensi obat harus

diwaspadai yakni bila dalam 1-2 bulan pengobatan tahap intensif, tidak terlihat perbaikan.

Permasalahan terbesar dari pasien TB sekarang adalah akibat terjadinya resistensi obat

atau multi drugs resistant (MDR) yang memberikan sumbangsing anka kematian TB

cukup besar. MDR terjadi karena pasien berhenti minum obat anti-TB yang dapat

berisiko bagi diri mereka sendiri dan orang lain. MDR adalah resiko yang sangat nyata.

Infeksi XDR-TB sangat sulit untuk mengobati dan ditandai dengan kematian yang tinggi.

Untuk menghindari dan menyukseskan program TB nasional, maka tindakan yang

dilakukan pada pasien ini adalah:

a. Mengajarkan panduan obat dengan baik dan berkelanjutan,

b. Pemberian dosis obat yang cukup sesuai dengan dosis yang ditentukan,

c. Meminta dan mengawasi minum obat setiap hari dan teratur,

d. Melakukan pengobatan sebagaimana jangka waktunya,

e. Melakukan evaluasi pengobatan dan sputum secara berkala guna mendeteksi secara

kemungkinan terjadinya MDR.

Panduan OAT pada TB paru (WHO 1993)

Panduan OAT Klasifikasi dan Fase Awal Fase

Tipe penderita lanjutan

Katagori 1 * BTA(+) baru 2HRZS(E) 4RH

* Sakit berat:BTA(-) 2RHZS(E) 4R3H3

luar paru

Katagori 2 Pengobatan ulang:

* Kambuh BTA(+) 2RHZES/1RHZE 5RHE

* Gagal 2RHZES/1RHZE 5R3H3E3

Katagori 3 * TB paru BTA(-) 2RHZ 4RH

* TB luar paru 2RHZ/2R3H3Z3 4R3H3

Keterangan 2HRZ = tiap hari selama 2 bulan

4RH = tiap hari selama 4 bulan

4H3R3 = tiga kali seminggu selama 4 bulan

Dosis obat antituberkulosis

Obat DOSIS

Setiap hari 2 kali/minggu Tiga kali/minggu

1. Isoniazid 5mg/kg 15mg/kg 15mg/kg

maks 300 mg maks.900mg maks: 900 mg

2. Rifampisin 10mg/kg 10mg/kg 10mg/kg

maks 600mg 600mg 600mg

3. Pirazinamid 15-30mg/kg 50-70mg/kg 50-70mg/kg

maks 2g maks 4 g maks 3 g

4. Etambutol 15-30mg/kg 50mg/kg 25-30 mg/kg

Maks 2,5 g

5. Streptomisin 15mg/kg 25-30mg/kg 25-30 mg/kg

maks 1 g maks 1.5 g maks 1 g

Etambutol tidak dianjurkan untuk anak-anak usia < 5 tahun karena gangguan penglihatan

sulit dipantau (kecuali bila kuman penyebabnya resisten terhadap obat TB lainnya)

1.4. Permasalahan dalam lingkup kedokteran keluarga pada pelayanan lini terdepan (layanan

kedokteran primer). Untuk memahaminya Baca Buku Panduan Kegiatan

Kepaniteraan Klinik Pendidikan Profesi Dokter Bagian IKM dan Ked-Kom FK UMI 2015

halaman 17 – 20.

BAB III.

METODOLOGI STUDI KASUS

1.1. Lokasi dan Waktu melakukan Studi Kasus.

1.1.1. Waktu Studi Kasus:

1.1.2. Lokasi Studi Kasus:

1.2. Pengumpulan data /informasi tentang penyakit atau permasalahan kesehatan dengan

melakukan komunikasi personal dengan pasien dan atau keluarganya dan analisis data.

1.3. Pengumpulan data dilakukan dengan komunikasi personal dengan pasien/keluarganya secara

langsung dengan menggunakan pertanyaan what, why, who, where, when dan how.

BAB IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1. HASIL STUDI KASUS

A. PASIEN

Nn. T, perempuan berusia 49 tahun, BB 39 Kg, TB 153 cm datang berobat ke puskesmas

dengan keluhan batuk berdahak yang telah dialami dalam 3 bulan ini. Kemudin dilakukan

pemeriksaan TD : 110/70 mmHg, sputum dengan hasil +2, dan pemeriksaan radiologis dengan

hasil tampak gambaran bercak infiltrate dan kavitas pada lapangan paru kanan atas dan Nn. T di

diagnosis sebagai penderita TB paru, kemudian ditatalaksana dengan OAT. Selama ini Nn. T

tidak mau berobat ke dokter karena khawatir di diagnosis TB paru. Nafsu makan menurun dan

berat badan menurun dalam sebulan terakhir.

Nn. T tinggal bersama sepupu dan telah diberi edukasi terkait penyakit tuberculosis,

anjuran untuk melakukan pengobatan TB secara teratur, dan melaksanakan modifikasi gaya

hidup. Berdasarkan hasil pemeriksaan (anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium) dapat

disimpulkan bahwa telah dilakukan penatalaksaan pasien dengan prinsip pelayanan dokter

keluarga yang holistik dan paripurna, berbasis evidence based medicine. Perbaikan dapat

dievaluasi setelah pengobatan fase intensif selesai dengan didapatkan berkurangnya BTA pada

pemeriksaan mikroskopis sputum.

Informasi hasil pemeriksaan tambahan:

Batuk berdahak sudah 3 bulan.

TD 110/70 mmHg.

Demam sub febril (+)

Keringat di malam hari (+)

Nn. T takut kalau penyakitnya adalah TBC service

Kurang pengetahuan tentang TBC

Perilaku terhadap batuk.

Nn. T bekerja sebagai cleaning.

Pada pemeriksaan fisik Tn.S di dapatkan:

- Berat badan 39 kg , tinggi badan 153 cm.

- Fremitus mengeras pada lapangan paru kanan atas, dan suara pernapasan dijumpai

bronkial pada lapangan paru kanan atas.

Pada pemeriksaan penunjang di dapatkan:

- Hasil pemeriksaan dahak pasien BTA (+2).

- Pada pemeriksaan radiologis Nn. T tampak gambaran bercak infiltrat dan kavitas pada

lapangan paru kanan atas.

Pada hasil uji Tuberkulin:

- Hasil pemeriksaan Tuberculin skin test (+) pada A, sedangkan B (-).

- Ternyata keduanya sejak lahir belum pernah mendapat imunisasi BCG

B. KELUARGA

Nn. T tinggal bersama dengan sepupu (laki-laki berusia 35 tahun)

Tn. S takut dipecat dari pekerjaannya bila ternyata dia menderita TBC, dan lebih fatal lagi

kalau istrinya (Ny. S) juga dipecat, karena selama ini Ny.S bekerja paruh waktu sebagai

pengasuh anak di rumah majikan Tn.S.

Dari hasil anamnesis lanjutan dijumpai Ayah Tn.S dalam masa pengobatan obat anti

tuberkulosis selama 1 bulan ini. Dari hasil anamnese dijumpai Ayah Tn.S dalam masa

pengobatan obat anti tuberkulosis selama 1 bulan ini.

Istrinya (Ny.S) bekerja paruh waktu sebagai pengasuh di rumah majikan Tn.S.

1.2. PEMBAHASAN

1.2.1.Anamnese

Aspek Personal

Tn S, Lk, 35 tahun

Datang ke Dokter Layanan Primer (DLP) = PUSKESMAS dengan keluhan batuk

berdahak sejak 2 bulan yang lalu, pagi ini batuk berdahak bercampur darah, berwarna

merah terang.

Kekhawatiran

- Takut sakit TB

- Takut dipecat dari pekerjaan apabila benar menderita TB

- Takut isterinya juga akan kehilangan pekerjaan

Harapan

- Tidak menderita TB

Aspek Klinik

Batuk berdahak sejak 2 bulan yang lalu, pagi ini batuk berdarah berwarna merah

terang.

Demam subfebril (+)

Keringat malam hari (+)

Selera makan (-)

Berat Badan menurun dalam sebulan terakhir.

Aspek Faktor Resiko Internal

Kurangnya pengetahuan tentang TB

Kepatuhan dalam berobat kurang

Perilaku terhadap batuk yang buruk

Gizi buruk

Aspek Faktor Resiko Eksternal

Tinggal di rumah dengan isteri, 2 anak dan ayah yang sakit TB

Tempat tinggal : Rumah Sangat Sederhana, padat dan ventilasi kurang memadai

Ayah Tn.S sedang pengobatan OAT (1 bulan pertama fase aktif )

Pekerjaan pelayan rumah makan

Pekerjaan isteri pengasuh anak.

Anak-anak belum memperoleh imunisasi BCG.

Derajat Fungsional

Tn S: Masih dapat bekerja dengan baik tanpa bantuan siapapun (derajat 1 minimal)

1.2.2.Pemeriksaan Fisik

Tanda-tanda vital (T, N, P) misalnya: TD 120/80 mmHg

Berat Badan 40 Kg, Tinggi Badan 175 cm, IMT 13.6

Paru : Fremitus mengeras pada lapangan paru kanan atas

Suara pernapasan bronchial pada lapangan paru kanan atas

1.2.3.Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : BTA (+2)

Radiologis : Foto thorax: gambaran bercak infiltrat dan kavitas pada lapangan paru

kanan atas.

Tuberkulin test anak : A : (+) dan B : (-)

1.2.4.Genogram (Pohon Keluarga)

1.2.5.Diagnosis Holistik (Bio-psiko-sosial)

a. Diagnose Klinis: TBC Paru BTA positif dengan gizi buruk.

b. Diagnose Psikososial: kecemasan akan dipecat, kemungkinan anak isteri tertular,

penularan dari ayahnya Tn.S, Sosek rendah, sanitasi lingkungan buruk (tidak sehat)

1.2.6.Penanganannya

Bersifat komprehensif

A. Pencegahan primer

Promosi kesehatan dengan pendekatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

1. Perbaikan kondisi ventilasi rumah

2. Meningkatkan status gizi

3. Memperbaiki perilaku batuk, misalnya memakai masker (APD)

Proteksi spesifik : memberikan imunisasi pada anak yang test tuberkulinnya (-)

B. Pencegahan secunder

Terapi untuk Pasien

Medikamentosa : OAT selama minimal 6 bulan (untuk katagori I)

Perbaikan status gizi (diet TKTP) yang disesuaikan dengan berat badan ideal dan

istirahat dirumah agar tidak menular ke orang lainselama 2 minggu.

Faktor internal : Edukasi memperbaiki pengetahuan tentang TB, mengajarkan

perilaku batuk, penggunaan masker dan menyuruh isteri sebagai PMO.

Faktor eksternal: memperbaiki ventilasi rumah (dengan membuka pintu dan

jendela khususnya pada pagi hari).

Motivasi keluarga agar mendukung proses pengobatan pasien

Test screening HIV pada Tn.S

Terapi untuk Keluarga

Terapi untuk anak pertama (A) INH 10 mg/Kg BB/hari untuk anak dengan test

tuberkulin (+) sebagai profilaksis selama 6 bulan

Untuk anak kedua (B) terapi INH 5 -10 mg/KgBB/hari selama 6 bulan untuk

anak dengan kontak erat dengan penderita TB dengan BTA (+) setelah

selesai imunisasi catch up BCG

Proteksi diri dan edukasi untuk isteri Tn.S

Untuk Ayah Tn.S : terapi OAT dilanjutkan dengan isteri Tn S (menantu) sebagai

PMO dengan sistem Direcly Observed Treatment Shortcours (DOTS)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

1.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil studi kasus TB yang dilakukan di layanan primer (PUSKESMAS)

mengenai penatalaksanaan penderita TB dengan pendekatan diagnose holistik, dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Diagnose Klinis : Tn.S menderita TB Paru dengan hasil pemeriksaan mikroskopis

sputum BTA (+) dengan penatalaksanaan pemberian obat anti TB (OAT) minimal 6

bulan untuk katagori I; disertai dengan pemberian penyuluhan (edukasi) tentang

pengobatan secara teratur, rutin memeriksakan diri dipelayanan kesehatan primer

(Puskesmas).

2. Diagnose Psiko-sosial: Tn. S ada kecemasan akan dipecat, sosial ekonomi rendah,

menderita kurang gizi dan sanitasi lingkungan (rumah) tidak sehat.

3. Diagnose komunikasi : melakukan screening kepada orang yang terkontak, misalnya

anak majikan.

4. Gambaran dari Genogram : kemungkinan resiko penularan TB besar untuk anak dan

isteri tertular TB.

5. Perbaikan dapat dievaluasi setelah pengobatan fase intensif selesai dengan didapatkan

berkurangnya BTA pada pemeriksaan mikroskopis sputum.

1.2. Saran

Dari beberapa masalah yang dapat ditemukan pada Tn.S berupa : penyakit TB, pola hidup

dan kebersihan rumah,serta gizi kurang maka disarankan untuk:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan masalah TB;

2. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit TB;

3. Menatalaksanai pasien dengan modifikasi gaya hidup berupa:

a. Menggunakan masker dalam beraktifitas sehari-hari;

b. Mengkonsumsi makanan yang seimbang dan penuh dengan vitamin;

c. Menjaga kebersihan, kelembaban dan pencahayaan di dalam rumah;

d. Latihan fisik atau olah raga teratur.

e. Berobat secara teratur