PENDEKATAN DIAGNOSE HOLISTIK PADA PENDERITA TBCDI LAYANAN PRIMER (PUSKESMAS)
ABSTRAK
Latar Belakang.
TB merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan
penyakitsaluran pernafasan. Prevalensi TB nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit
infeksi. Menurut laporan WHO 2012, Indonesia merupakan penyumbang penderita TB terbesar
nomor empat di dunia setelah India, Cina dan Afrika selatan.
Sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosae. Data
WHO tahun 2012 dalam Global TB Report 2012, menunjukkan bahwa pada tahun 2011, terdapat
± 8,7 juta terdeteksi kasus baru TB dimana 1,4 juta kasus mengalami kematian.
HASIL:
Tn.S, laki-laki, berusia 35 tahun, BB 40 Kg, TB 175 cm datang ke praktik Dokter Layanan
Primer dengan keluhan batuk berdahak yang telah dialami dalam 2 bulan ini. Namun, pagi ini
Tn.S batuk berdahak bercampur darah, kemudian Tn.S datang berobat ke Puskesmas dan
dilakukan pemeriksaan TD:120/80 mmHg, sputum dengan hasil BTA +2, dan pemeriksaan
radiologis dengan hasil tampak gambaran bercak infiltrat dan kavitas pada lapangan paru kanan
atas dan Tn.S di diagnosis sebagai penderita TB Paru, kemudian ditatalaksana dengan obat anti
TB. Selama ini Tn.S enggan berobat ke Dokter karena khawatir di diagnosa TB Paru. Nafsu
makan tidak ada, berat badan menurun dalam sebulan terakhir.
Tn.S dan keluarga juga diberi edukasi terkait penyakit tuberkulosis, anjuran untuk melakukan
pengobatan TB secara teratur, dan melaksanakan modifikasi gaya hidup. Berdasarkan hasil
pemeriksaan (anamnese, fisik,laboratorium, EBM) dapat disimpulkan bahwa telah dilakukan
penatalaksanaan pasien dengan prinsip pelayanan dokter keluarga yang holistik dan paripurna,
berbasis evidence based medicine. Perbaikan dapat dievaluasi setelah pengobatan fase intensif
selesai dengan didapatkan berkurangnya BTA pada pemeriksaan mikroskopis sputum.
Kata Kunci. Tuberkulosis, Evidance Based Medicine, pelayanan dokter keluarga
Nn. T, perempuan berusia 49 tahun, BB 39 Kg, TB 153 cm datang berobat ke puskesmas dengan keluhan batuk berdahak yang telah dialami dalam 3 bulan ini. Kemudian, Nn. T dilakukan pemeriksaan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Di Indonesia penyakit Tuberkulosis masih menjadi masalah karena negara ini termasuk
daerah endemis. Tuberkulosis dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis, Penularan
penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis
paru. Dalam pelayanan kesehatan tidak terlepas dari keterlibatan keluarga sebagai orang yang
terdekat dari pasien, terutama pasien Tuberkulosis. Pengetahuan keluarga yang mengenai
menjaga kesehatan agar tetap dalam kondisi yang sehat baik jasmani maupun rohaninya. Peranan
motivasi keluarga dari penderita Tuberkulosis sangat diharapkan, misalnya secepat mungkin
membawa penderita ketempat pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan pengobatan
serta bagaimana perilaku dan sikap keluarga dapat mencegah penularan penyakit Tuberkulosis
(Notoatmojo, 2003).
Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan jumlah terbanyak ketiga di dunia yakni 5,8%
setelah India 21,1% dan Cina 14,3%.(Rahmawati:2009) WHO memperkirakan setiap tahunnya
di Indonesia terdapat 557.000 kasus baru TBC, dimana 250.000 diantaranya adalah penderita TB
BTA positif, dengan jumlah kematian 140.000. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT, 2001),
Konsekuensi yang dapat terjadi pada penderita TB paru yang tidak melakukan pengobatan,
setelah lima tahun menderita diprediksikan 50% dari penderita TB paru akan meninggal, adanya
sumber penularan, imunisasi, keadaan rumah yang kurang baik meliputi (suhu dalam rumah,
ventilasi, pencahayaan dalam rumah, kelembaban rumah, kepadatan penghuni dan lingkungan
sekitar rumah ) sekitar 45%, vaksin BCG sekitar 50%. Kontak yang berlebihan yang berlangsung
terus menerus selama 3 bulan atau lebih, kebiasaan penderita yang kurang baik dalam
pengeloalan ludah / secret serta tidak memakai masker debu diprediksikan 75%. Dari Puskesmas
X diperoleh data bahwa prevalensi TB Paru adalah ...........................................................
Tuberkulosis atau TB masih merupakan salah saatu masalah kesehatan masyarakat yang
menjadi tantangan global. Indonesia merupakan negara pertama diantara negara-negara dengan
beban TB yang tinggi di wilayah Asia Tenggara yang berhasil mencapai target Global untuk TB
pada tahun 2006, yaitu 70% penemuan kasus baru TB BTA positif dan 85% kesembuhan. Saat
ini peringkat Indonesia telah turun dari urutan ketiga menjadi kelima diantara negara dengan
beban TB tertinggi di dunia.
Data terbaru yang dikeluarkan WHO pada tahun 2012 dalam Global TB Report 2012,
menunjukkan bahwa pada tahun 2011, terdapat ± 8,7 juta terdeteksi kasus baru TB dimana 1,4
juta kasus mengalami kematian. Tuberkulosis di Indonesia menduduki peringkat ke-4 di dunia.
Menurut WHO dalam Global TB Report 2012, prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2011
adalah 244/100.000 penduduk.
Meskipun demikian, berbagai tantangan baru yang perlu menjadi perhatian yaitu TB/HIV,
TB-MDR, TB pada anak dan masyarakat rentan lainnya. Hal ini memacu pengendalian TB
nasional terus melakukan intensifikasi, akselerasi, ekstensifikasi dan inovasi program.
Strategi Nasional program pengendalian TB dengan visi “Menuju Masyarakat Bebas
Masalah TB, Sehat, Mandiri dan Berkeadilan”. Strategi tersebut bertujuan mempertahankan
kontinuitas pengendalian TB periode sebelumnya. Untuk mencapai target yang ditetapkan dalam
stranas, disusun 8 Rencana Aksi Nasional yaitu : (1) Public-Private Mix untuk TB ; (2)
Programmatic Management of Drug Resistance TB ; (3) Kolaborasi TB-HIV; (4) Penguatan
Laboratorium; (5) Pengembangan Sumber Daya Manusia; (6) Penguatan Logistik; (7) Advokasi,
Komunikasi dan Mobilisasi Sosial; dan (8) Informasi Strategis TB.
TB merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan
penyakit saluran pernafasan. Prevalensi TB nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit
infeksi. Menurut laporan WHO 2012, Indonesia merupakan penyumbang penderita TB terbesar
nomor empat di dunia setelah India, Cina dan Afrika SelatanUntuk menanggulangi masalah TB
di Indonesia, ISTC (International Standard of Tuberculosis Care) dan Strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO harus sungguh-sungguh
dilaksanakan. Pada awal pelaksanaan strategi ini difokuskan pada Puskesmas, kemudian secara
bertahap diekspansi ke berbagai fasilitas layanan kesehatan (fasyankes). Salah satu masalah yang
dihadapi program TB nasional dalam melakukan akselerasi dan ekspansi program adalah
kurangnya sumber daya manusia, baik kualitas maupun kuantitas. Sumber daya manusia menjadi
isu pokok dan prioritas sebagai upaya investasi yang tepat dan efektif untuk mencapai target
global.
Fakultas Kedokteran sebagai penghasil tenaga profesional dokter, memiliki potensi
kontribusi yang sangat besar terutama dalam menjamin keberlangsungan Program
Penanggulangan TB Nasional. Mereka perlu mendapat cukup bekal untuk menangani TB secara
komprehensif dimana kelak sebagian besar mereka bekerja. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, maka memasukkan materi Program Penanggulangan TB Nasional didalam kurikulum
kedokteran dinilai cukup strategis, dan memberi kesempatan kepada mahasiswa program profesi
dokter untuk melakukan kegiatan kepanitraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
dan Kedokteran Komunitas dilayanan primer (Puskesmas) dengan tujuan untuk meningkatkan
kompetensi yang dilandasi oleh profesionalitas yang luhur, mawas diri dan pengembangan diri,
serta komunikasi efektif. Selain itu kompetensi mempunyai pilar berupa pengelolaan informasi,
landasan ilmiah ilmu kedokteran, keterampilan klinis, dan pengelolaan masalah kesehatan.
Penyakit Tuberkulosis dapat terjadi karena adanya prilaku dan sikap keluarga yang kurang
baik. Kurangnya perilaku keluarga tersebut ditunjukan dengan tidak menggunakan masker debu (
jika kontak dengan pasien ), keterlambatan dalam pemberian vaksin BCG ( pada orang yang
tidak terinfeksi ), dan terapi pencegahan 6-9 bulan.Terjadinya perilaku yang kurang baik dari
keluarga karena kurangnya pengetahuan dan sikap keluarga, dalam hal ini bagaimana seharusnya
keluarga pasien yang terdiagnosa TB paru mengetahui secara jelas dan benar apa sebenarnya
penyakit Tuberkulosis ini, dan bagaimana cara penularan dan pencegahannya. Sikap keluarga
sangat menentukan keberhasilan pengobatan, terlebih dalam mencegah penularannya, karena jika
sikap keluarga pasien yang terdiagnosa TB paru mengerti apa yang sebenarnya dia lakukan maka
secara otomatis dia juga bisa dan mampu melindungi dirinya dan anggota keluarga lainnya. Jika
prilakunya baik maka akan membawa dampak positif bagi pencegahan penularan Tuberkulosis
(Notoatmojo, 2003).
Pada prinsipnya upaya-upaya pencegahan dilakukan dan pemberantasan tuberkulosis
dijalankan dengan usaha-usaha diantaranya: pendidikan kesehatan (health education) kepada
masyarakat tentang penyakit TBC, bahaya-bahanya, cara penularannya. Pencegahan dengan
vaksinasi B.C.G pada anak-anak umur 0 – 14 tahun, chemoprophylactic dengan I.N.H pada
keluarga, penderita atau orang-orang yang pernah kontak dengan penderita. Dan menghilangkan
sumber penularan dengan mencari dan mengobati semua penderita dalam masyarakat (Indan
Entjang, 2000). Adapun juga upaya pencegahan menurut WHO yaitu pencahayaan rumah yang
baik, Menutup mulut saat batuk, Tidak meludah di sembarang tempat, Menjaga kebersihan
lingkungan dan alat makan.
1.2. Aspek disiplin ilmu yang terkait dengan judul pembahasan:
Untuk pengendalian permasalahan TB pada tingkat individu dan masyarakat secara
komprehentif dan holistik yang disesuaikan dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia
(SKDI), maka mahasiswa program profesi dokter Universitas Muslim Indonesia
melakukan kegiatan kepanitraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan
Kedokteran Komunitas dilayanan primer (Puskesmas) dengan tujuan untuk meningkatkan
kompetensi yang dilandasi oleh profesionalitas yang luhur, mawas diri dan
pengembangan diri, serta komunikasi efektif. Selain itu kompetensi mempunyai landasan
berupa pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran, keterampilan klinis,
dan pengelolaan masalah kesehatan.
Kompetensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.2.1.Profesionalitas yang luhur (Kompetensi 1) : untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan
permasalahan dalam pengendalian TB secara individual, masyarakat maupun pihak terkait
ditinjau dari nilai agama, etik moral dan peraturan perundangan.
1.2.2.Mawas diri dan pengembangan diri (Kompetensi 2) : Mahasiswa mampu mengenali dan
mengatasi masalah keterbatasan fisis, psikis , sosial dan budaya sendiri dalam penangan
TB, melakukan rujukan bagi kasus TB, sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter
Indonesia yang berlaku serta mengembangkan pengetahuan.
1.2.3.Komunikasi efektif (Kompetensi 3) : Mahasiswa mampu melakukan komunikasi,
pemberian informasi dan edukasi pada individu, keluarga, masyarakat dan mitra kerja
dalam pengendalian TB.
1.2.4.Pengelolaan Informasi (Kompetensi 4) : Mahasiswa mampu memanfaatkan teknologi
informasi komunikasi dan informasi kesehatan dalam praktik kedokteran.
1.2.5.Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran (Kompetensi 5) : Mahasiswa mampu menyelesaikan
masalah pengendalian TB secara holistik dan komprehensif baik secara individu, keluarga
maupun komunitas berdasarkan landasan ilmiah yang mutakhir untuk mendapatkan hasil
yang optimum.
1.2.6.Keterampilan Klinis (Kompetensi 6) : Mahasiswa mampu melakukan prosedur klinis yang
berkaitan dengan masalah TB dengan menerapkan prinsip keselamatan pasien,
keselamatan diri sendiri, dan keselamatan orang lain.
1.2.7.Pengelolaan Masalah Kesehatan (Kompetensi 7) : Mahasiswa mampu mengelola masalah
kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat secara komprehensif, holistik,
koordinatif, kolaboratif dan berkesinambungan dalam konteks pelayanan kesehatan primer
1.3. Tujuan dan Manfaat Studi Kasus
Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah menatalaksana masalah kesehatan
dengan memandang pasien sebagai individu yang utuh terdiri dari unsur biopsikososial,
serta penerapan prinsip pencegahan penyakit promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Proses pelayanan dokter keluarga dapat lebih berkualitas bila didasarkan pada hasil
penelitian ilmu kedokteran terkini (evidence based medicine).
1.3.1. Tujuan Umum:
Tujuan dari penulisan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat menerapkan pelayanan
dokter keluarga secara paripurna (komprehensif) dan holistik, sesuai dengan Standar
Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), berbasis evidence based medicine (EBM) pada
pasien dengan mengidentifikasi faktor risiko dan masalah klinis serta prinsip
penatalaksanaan pasien berdasarkan kerangka penyelesaian masalah pasien (problem
oriented).
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan etika dalam pengendalian
TB secara individual, masyarakat maupun pihak terkait.
b. Untuk melakukan pengendalian TB dan melakukan rujukan bagi kasus TB, sesuai
dengan standar kompetensi dokter Indonesia yang berlaku.
c. Untuk melakukan komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada level individu,
keluarga, masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian TB.
d. Untuk memanfaatkan sumber informasi terkini dan melakukan kajian ilmiah dari data
di lapangan, untuk melakukan pengendalian TB.
e. Untuk menggunakan landasan Ilmu Kedokteran Klinis dan Kesehatan Masyarakat
dalam melakukan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam
pengendalian TB.
f. Untuk dapat menggunakan dan menjelaskan epidemiologi, transmisi dan patogenesis
TB.
g. Untuk melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang, serta
mengintepretasikan hasilnya dalam mendiagnosis TB paru dan ekstra paru pada pasien
dewasa dan anak
h. Untuk melakukan prosedur tatalaksana TB sesuai Program Pengendalian TB Nasional
sesuai standar kompetensi dokter Indonesia.
1.3.3. Manfaat Studi Kasus
1.3.3.1. Bagi Institusi pendidikan.
1.3.3.2. Bagi Penderita (Pasien).
1.3.3.3. Bagi tenaga kesehatan.
1.3.3.4. Bagi Pembelajar Studi Kasus (Mahasiswa)
.
1.4. Indikator Keberhasilan Tindakan
Indikator keberhasilan tindakan setelah dilakukan penatalaksanaan pasien dengan prinsip
pelayanan dokter keluarga yang holistik dan paripurna, berbasis evidence based medicine
adalah:
1.4.1.Kepatuhan penderita datang berobat di layanan primer (Puskesmas) sudah teratur.
1.4.2.Perbaikan dapat dievaluasi setelah pengobatan fase intensif selesai dengan didapatkan
berkurangnya BTA pada pemeriksaan mikroskopis sputum.
1.4.3.Pada pemeriksaan ulang radiologis Tn.S tampak gambaran bercak infiltrat dan kavitas pada
lapangan paru kanan atas sudah tidak tampak lagi, jika dibandingkan dengan foto thorax
terdahulu.
1.4.3.Gejala batuk yang disertai dengan dahak, keringat dimalam hari sudah berkurang.
1.4.4.Pemeriksaan fisik pada lapangan paru kanan atas dan suara pernapasannya terkesan
normal, jika dibandingkan dengan pemeriksaan pada waktu pertama kali datang di layanan
primer (Puskesmas) dengan hasil Fremitus mengeras pada lapangan paru kanan atas, dan
suara pernapasan dijumpai bronkial pada lapangan paru kanan atas.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian keberhasilan tindakan
pengobatan didasarkan pada hasil pemeriksaan bakteriologis, radiologi, dan klinis.
Kesembuhan TB paru yang baik akan memperlihatkan sputum BTA (-), adanya perbaikan
radiologi, dan menghilangnya gejala.
BAB II
ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS
1.1. Kerangka Teoritis
Gambaran Penyebab TBC
Faktor Genetik Pemaparan oleh bakteri Invasi Jaringan
Malnutrisi
PENJAMU
PEKA
TUBERKULOSIS
INFEKS
I
Kesesakan Kemiskinan rumah
Faktor resiko Tuberkulosis Mekanisme Tuberkulosis
1.2. Pendekatan Diagnose Holistik Pada Pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan
Primer
Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah:
a. Comprehensive care and holistic approach
b. Continuous care
c. Prevention first
d. Coordinative and collaborative care
e. Personal care as the integral part of his/her family
f. Family, community, and environment consideration
g. Ethics and law awareness
h. Cost effective care and quality assurance
i. Can be audited and accountable care
Pendekatan menyeluruh (holistic approach), yaitu peduli bahwa pasien adalah seorang
manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan spiritual, serta berkehidupan di
tengah lingkungan fisik dan sosialnya
Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita melihat dari beberapa
aspek yaitu:
Aspek personal : Keluhan utama, harapan, kekhawatiran.
Aspek klinis: diagnose klinis dan diagnose bandingnya
Aspek faktor resiko internal: perilaku kesehatan, persepsi kesehatan
Aspek faktor resiko eksternal: psikososial dan ekonomi keluarga, keadaan
lingkungan rumah dan pekerjaan.
Derajat fungsional (1 - 5)
1.3. Penyakit Tuberculosa (TB)
1.3.1. Pengertian
Tuberculosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis
dengan gejala sangat bervariasi. Sistemis sehingga dapat mengenai hampir semua organ
tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi
primer.Penyakit TB sangat menular, tetapi tidak merupakan penyakit turun temurun.
1.3.2. Patogenesis
Gambar : Patogenesis Tuberkulosa
Dasar sifat virulensi kuman ini belum diketahui. Kuman ini tidak membuat toksin, namun
keanekaragaman komponen dari kuman ini memiliki keaktifan biologis yang berbeda-beda yang
dapat mempengaruhi pathogenesis, alergi, dan kekebalan pada penyakit ini. Virulensi tergantung
pada dua senyawa di selubung sel M. tubercolosis yang berminyak. Faktor genjel (cord factor,
trehalosa mikrolet) menghambat respirasi mitokondria. Sulfolipid/ sulfatida menghambat fusi
fagosom-lisosom, sehingga M. tubercolosis dapat bertahan hidup dalam sel.
Lesi sekunder paru
Lesi di hepar, lien,ginjal,tulang,
otak dll
PecahKompleks Ghon
PerkijuanKalsifikasiPenyebaran hematogen
Pembentukan tuberkel
Resolusi Kelenjar limfe
Destruksi makrofag
Destruksi baksil TB
Baksil TB berkembang biak
Fagositosis oleh makrofagAlveolus Fagositosis oleh makrofagInhalasi baksil TB
Infeksi terjadi melalui debu atau titik cairan(droplet) yang mengandung kuman TBC dan masuk
ke jalan nafas. Penyakit imbul setelah kuman menetap dan berkembang biak dalam paru-paru
atau kelenjar getah bening regional.
Perkembangan penyakit bergantung pada : Dosis kuman yang masuk dan Daya tahan serta
hipersensitivitas hospes.
Kelainan patologi yang terjadi :
1. Tipe Eksudatif
Terdiri dari inflamasi yang akut dengan edema, sel-sel leukosit PMN dan menyusul kemudian
sel-sel monosit yang mengelilingi tuberculosis. Kelainan ini terutama terlihat pada jaringan
paru dan mirip Pneumonia bakteri. Dalam masa eksudatif ini tuberculin adalah positif.
2. Tipe Produktif
Apabila sudah matang prosesnya lesi ini berbentuk granuloma yang kronik, terdiri dari 3
zona.:
a) Zona Sentral dengan sel raksasa yang berinti banyak dan mengandung tuberculosis.
b) Zona Tengah yang terdiri dari sel-sel epitel yang tersusun radial
c) Zona yang terdiri dari fibroblast, limfosit, dan monosit. Lambat laun zona luar akan
berubah menjadi fibrotik dan zona sentral akan mengalami perkijuan. Kelainan seperi ini
disebut sebagai tuberkel.
Perjalanan Kuman tuberculosis di dalam tubuh.
Kuman menjalar melalui saluran limfe ke kelenjar getah bening atau ductus thoracicus atau
Organ tubuh melalui aliran darah atau dapat juga langsung dari proses perkijuan masuk ke
vena atau pecah ke bronkus atau tersebar ke seluruh paru-paru atau tertelan ke tractus
digastivus.
1.3.3. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis
Penyebab penyakit TB adalah kuman Mycobacterium tuberculosis, yang berbentuk
batang lurus atau agak bengkok, berukuran panjang 1 sampai 5 μ dan lebar 0.2 sampai
0.8 μ. dapat ditemukan bentuk sendiri maupun berkelompok. Kuman ini merupakan
bakteri tahan asam (BTA) yang bersifat tidak bergerak, tidak berspora, dan tidak
bersimpai. Micobacterium tuberculosis yang merupakan basil tahan asam dan dapat
dilihat dengan pewarnaan Ziehl - Neelsen (karbol fuksin). Pada pewarnaannya M.
tuberculosis tampak seperti manik-manik atau tidak terwarnai secara merata.
Mycobacterium tuberculosis pertama kali dideskripsikan pada tanggal 24 Maret 1882
oleh Robert Koch. Bakteri ini juga disebut basilus Koch.
1.3.4. Epidemiologi
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di
dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan
estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB
diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. Indonesia merupakan negara dengan
percepatan peningkatan epidemi HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV
dinyatakan sebagai epidemik erkonsentrasi (a concentrated epidemic), dengan
perkecualian di provinsi Papua yang prevalensi HIVnya sudah mencapai 2,5%
(generalized epidemic). Secara nasional, angka estimasi prevalensi HIV pada populasi
dewasa adalah 0,2%.
Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk intervensi HI dan
estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia sekitar 190.000- 400.000. Estimasi
nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah 2.8%.
Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah dari
estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan
ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya. Meskipun
memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negar pertama diantara
High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai
target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada
tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati
(data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan
demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case
Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun
terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian
target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional
yang utama.
Meskipun secara nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam penemuan
kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih menunjukkan
disparitas antar wilayah (lihat tabel).
Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka penemuan kasus (CDR)
70% dan hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85% kesembuhan.
Tabel Pencapaian target pengendalian TB per provinsi 2009
CDR ≥70% C
DR < 70%
Dengan angka nasional proporsi kasus relaps dan gagal pengobatan di bawah 2%, maka
angka resistensi obat TB pada pasien yang diobati di pelayanan kesehatan pada umumnya
masih rendah. Namun demikian, sebagian besar data berasal dari Puskesmas yang telah
menerapkan strategi DOTS dengan baik selama lebih dari 5 tahun terakhir. Probabilitas
terjadinya resistensi obat TB lebih tinggi di rumah sakit dan sektor swasta yang belum
terlibat dalam program pengendalian TB nasional sebagai akibat dari tingginya
ketidakpatuhan dan tingkat drop out pengobatan karena tidak diterapkannya strategi
DOTS yang tinggi. Data dari penyedia pelayanan swasta belum termasuk dalam data di
program pengendalian TB nasional. Sedangkan untuk rumah sakit, data yang tersedia
baru berasal dari sekitar 30% rumah sakit yang telah melaksanakan strategi DOTS.
Proporsi kasus TB dengan BTA negatif sedikit meningkat dari 56% pada tahun 2008
menjadi 59% pada tahun 2009. Peningkatan jumlah kasus TB BTA negatif yang terjadi
selama beberapa tahun terakhir sangat mungkin disebabkan oleh karena meningkatnya
pelaporan kasus TB dari rumah sakit yang telah terlibat dalam program TB nasional.
Jumlah kasus TB anak pada tahun 2009 mencapai 30.806 termasuk 1,865 kasus BTA
positif. Proposi kasus TB anak dari semua kasus TB mencapai 10.45%.
Angka-angka ini merupakan gambaran parsial dari keseluruhan kasus TB anak yang
sesungguhnya mengingat tingginya kasus overdiagnosis di fasilitas pelayanan kesehatan
yang diiringi dengan rendahnya pelaporan dari fasilitas pelayanan kesehatan.
1.3.4.1. Epidemiologi penyakit TB dapat juga digambarkan menurut Trias Epidemiologi adalah
Agent, Host dan Environment sebagai berikut :
a. Agent
TB disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, bakteri gram positif, berbentuk
batang halus, mempunyai sifat tahan asam dan aerobic. Karakteristik alami dari
agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan kimia atau antibiotika dan
mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang
lama.Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium
Tuberculosis sangat tinggi. Pathogenesis hamper rendah dan daya virulensinya
tergantung dosis infeksi dan kondisi Host. Sifat resistensinya merupakan problem
serius yang sering muncul setelah penggunaan kemoterapi modern, sehingga
menyebabkan keharusan mengembangkan obat baru .Umumnya sumber
infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk
transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi
congenital yang jarang terjadi .
b. Host
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak
kejadian dan kematian :a).Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua
penderita b) Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan
pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita c).
Puncak sedang pada usia lanjut .Dalam prkembangannya, infeksi pertama
semakin tertunda, walau tetap tidak berlaku pada golongan dewasa, terutama pria
dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau tidak terlindung dari risiko
infeksi .Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang
diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi.
Penduduk pribumi memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal
TBC sejak lama, yang disebabkan rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek
keturunan dan distribusi secara familial sulit terinterprestasikan dalam TBC, tetapi
mungkin mengacu pada kondisi keluarga secara umum dan sugesti tentang
pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi turut
memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan
kelalaian Status gizi, kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan
tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan umum juga berkepentingan besar.
Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer memberikan beberapa
resistensi, namun sulit untuk dievaluasi .
c. Environment
Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang
besar dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun
berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak geografis .Keadaan sosial-
ekonomi merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran sosiobiologis
menyebutkan adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang
mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan
tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi
dan urbanisasi komunitas perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga
fisik, pengangguran dan tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TBC dapat
juga menjadi pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini .Pada
lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan
hewan ternak yang terinfeksi adalah berbahaya .
1.3.4.2. Epidemiologi penyakit TB dapat juga digambarkan menurut Variabel Epidemiologi
adalah Person (orang), Place (tempat) dan Time (waktu) sebagai berikut :
a. Distribusi menurut orang.
Distribusi menurut umur
Distribusi menurut jenis kelamin.
Distribusi menurut etnik
b. Distribusi menurut tempat.
c. Distribusi menurut waktu.
EPIDEMIOLOGI
a. Person / Orang
Umur
Penyakit TBC dapat menyerang pada siapa saja tak terkecuali pria, wanita, tua,
muda, anak-anak, kaya dan miskin serta dimana saja. Sebagian besar penderita
TB Paru di Negara berkembang berumur dibawah 50 tahun.Data WHO
menunjukkan bahwa kasus TB di Negara berkembang banyak terdapat pada umur
produktif 15-29 tahun,Sejalan dengan penelitian Rizkiyani (2008) yang
menunjukkan jumlah penderita baru TB Paru positif 87,6% berasal dari usia
produktif (15-54 tahun) sedangkan 12,4 % terjadi pada usia lanjut (≤ 55 tahun).
Jenis Kelamin
Penyakit TB Paru menyerang orang dewasa dan anak-anak,laki-laki dan
perempuan.TB Menyerang sebagian besar wanita pada usia produktif. Serupa
dengan WHO yang menunjukkan lebih dari 900 juta wanita di seluruh dunia
tertular oleh kuman TB dan satu juta di antaranya meninggal setiap tahun.
Etnik (Suku Bangsa)
Suku bangsa atau golongan etnik adalah sekelompok manusia dalam suatu
populasi yang memiliki kebiasaan atau sifat biologis yang sama. Walaupun
klasifikasi penyakit berdasarkan suku bangsa sulit dilakukan baik secara praktis
maupun secara konseptual, tetapi karena terdapat perbedaan yang besar dalam
frekuensi dan beratnya penyakit diantara suku bangsa maka dibuat klasifikasi
walaupun kontroversi. Pada umumnya penyakit yang berhubungan dengan suku
bangsa berkaitan dengan faktor genetik atau faktor lingkungan, misalnya:
(Penyakit sickle cell anemia, Hemofilia dan Kelainan biokimia sperti glukosa 6
fosfatase).
b. Place / tempat
Lingkungan
TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang di tularkan
melalui udara.Keadaan berbagai lingkungan yang dapat mempengaruhi
penyebaran TBC salah satunya adalah lingkungan yang kumuh,kotor .Penderita
TB Paru lebih banyak terdapat pada masyarakat yang menetap pada lingkungan
yang kumuh dan kotor.
Kondisi Sosial Ekonomi
Sebagai Penderita TB Paru adalah dari kalangan Miskin.Data WHO yang
menyatakan bahwa angka kematian akibat TB sebagai besar berada di Negara
berkembang yang relative miskin
Wilayah
resiko mendapatkan infeksi dan berkembangnya klinis penyakit TB Paru
bergantung pada keberadaan infeksi dalam masyarakat misalnya Imigran dari
daerah prevalensi tinggi TB, Ras yang beresiko tinggi dan kelompok etnis
minorias(misal Afrika,Amerika,Amerika Indian,Asli Alaska,Asia,Kepulauan
Pasifik dan Hispanik)
c. Time / Waktu
Penyakit TB Paru dapat menyerang siapa saja,dimana saja dan Kapan saja tanpa
mengenal waktu,Apabila Kuman telah masuk ke dalam tubuh maka pada saat itu
kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjadinya penyakit TB Paru.
1.3.5. Cara Penularan
Kuman tuberculosis biasanya masuk ke dalam tubuh melalui hirupan nafas (air borne),
tertelan, atau masuk melalui luka pada kulit. Jika terhirup oleh pernafasan kuman ini
mengendap pada alveoli paru-paru, lalu difagosit oleh makrofag alveolus. Di dalam
fagosit kuman ini terus berkembang biak. Fagosit yang berisi kuman yang dimakannya
berfungsi sebagai alat pengangkut infeksi ke berbagai bagian tubuh.
TB ditularkan oleh penderita melalui udara. Hal ini ditularkan dari orang ke orang
melalui tetesan (droplet infection) dari tenggorokan dan paru-paru dari orang-orang
dengan penyakit TB yang aktif. Udara yang sudah tercemar apabila terhirup maka
berpotensi menimbulkan penyakit pada korban baru. Tetapi bukan berarti setiap orang
yang menghirup udara ini menjadi penderita baru, hal ini sanagt tergantung dari jumlah
udara yang terhirup serta ketahanan tubuh seseorang. Umumnya bakteri ini hanya
menyerang paru. Tapi karena penyebarannya melalui pembuluh darah dan kelenjar getah
bening, maka berbagai organ dapat diserang juga. Beberapa organ itu antara lain tulang,
ginjal, otak dll.
1.3.6. Pengobatan TB (lihat Evidence Based Medicine).
Penatalaksanaan yang diberikan ialah pemberian Obat Anti TB (OAT) kombinasi dosis
tetap (KDT) dewasa. Dosis yang diberikan sesuai dengan berat badan pasien, yaitu 50 kg
maka obat yang diberikan adalah 3 tablet OAT (1 tablet mengandung Rifampisin 150 mg,
Isoniazid 100 mg, dan Pirazinamid 400 mg serta Etambutol 275 mg) setiap harinya
selama 2 bulan pertama.
Selain diberikan OAT-KDT, pasien juga diberikan vitamin B6 (piridoksin) 2x1 tablet.
Ada kondisi-kondisi tertentu yang mengakibatkan penurunan kadar B6 dalam tubuh,
salah satunya adalah penggunaan OAT berupa Isoniazid.
Selain itu efek samping ringan dari Isoniazid adalah kesemutan, mati dan nyeri otot atau
gangguan kesadaran serta kelainan kulit yang bervariasi, antara lain gatal-gatal.
Ini dapat dikurangi dengan pemberian Pyridoxin.
Kelangsungan hidup atau prognosis pasien TB juga ditentukan dari keberhasilan
pengobatan. Ada beberapa sebab kegagalan pengobatan, antara lain: panduan obat tidak
adekuat, dosis obat tidak cukup, minum obat tidak teratur, jangka waktu pengobatan
kurang dari semestinya, terjadi resistensi obat dan bila terjadi resistensi obat harus
diwaspadai yakni bila dalam 1-2 bulan pengobatan tahap intensif, tidak terlihat perbaikan.
Permasalahan terbesar dari pasien TB sekarang adalah akibat terjadinya resistensi obat
atau multi drugs resistant (MDR) yang memberikan sumbangsing anka kematian TB
cukup besar. MDR terjadi karena pasien berhenti minum obat anti-TB yang dapat
berisiko bagi diri mereka sendiri dan orang lain. MDR adalah resiko yang sangat nyata.
Infeksi XDR-TB sangat sulit untuk mengobati dan ditandai dengan kematian yang tinggi.
Untuk menghindari dan menyukseskan program TB nasional, maka tindakan yang
dilakukan pada pasien ini adalah:
a. Mengajarkan panduan obat dengan baik dan berkelanjutan,
b. Pemberian dosis obat yang cukup sesuai dengan dosis yang ditentukan,
c. Meminta dan mengawasi minum obat setiap hari dan teratur,
d. Melakukan pengobatan sebagaimana jangka waktunya,
e. Melakukan evaluasi pengobatan dan sputum secara berkala guna mendeteksi secara
kemungkinan terjadinya MDR.
Panduan OAT pada TB paru (WHO 1993)
Panduan OAT Klasifikasi dan Fase Awal Fase
Tipe penderita lanjutan
Katagori 1 * BTA(+) baru 2HRZS(E) 4RH
* Sakit berat:BTA(-) 2RHZS(E) 4R3H3
luar paru
Katagori 2 Pengobatan ulang:
* Kambuh BTA(+) 2RHZES/1RHZE 5RHE
* Gagal 2RHZES/1RHZE 5R3H3E3
Katagori 3 * TB paru BTA(-) 2RHZ 4RH
* TB luar paru 2RHZ/2R3H3Z3 4R3H3
Keterangan 2HRZ = tiap hari selama 2 bulan
4RH = tiap hari selama 4 bulan
4H3R3 = tiga kali seminggu selama 4 bulan
Dosis obat antituberkulosis
Obat DOSIS
Setiap hari 2 kali/minggu Tiga kali/minggu
1. Isoniazid 5mg/kg 15mg/kg 15mg/kg
maks 300 mg maks.900mg maks: 900 mg
2. Rifampisin 10mg/kg 10mg/kg 10mg/kg
maks 600mg 600mg 600mg
3. Pirazinamid 15-30mg/kg 50-70mg/kg 50-70mg/kg
maks 2g maks 4 g maks 3 g
4. Etambutol 15-30mg/kg 50mg/kg 25-30 mg/kg
Maks 2,5 g
5. Streptomisin 15mg/kg 25-30mg/kg 25-30 mg/kg
maks 1 g maks 1.5 g maks 1 g
Etambutol tidak dianjurkan untuk anak-anak usia < 5 tahun karena gangguan penglihatan
sulit dipantau (kecuali bila kuman penyebabnya resisten terhadap obat TB lainnya)
1.4. Permasalahan dalam lingkup kedokteran keluarga pada pelayanan lini terdepan (layanan
kedokteran primer). Untuk memahaminya Baca Buku Panduan Kegiatan
Kepaniteraan Klinik Pendidikan Profesi Dokter Bagian IKM dan Ked-Kom FK UMI 2015
halaman 17 – 20.
BAB III.
METODOLOGI STUDI KASUS
1.1. Lokasi dan Waktu melakukan Studi Kasus.
1.1.1. Waktu Studi Kasus:
1.1.2. Lokasi Studi Kasus:
1.2. Pengumpulan data /informasi tentang penyakit atau permasalahan kesehatan dengan
melakukan komunikasi personal dengan pasien dan atau keluarganya dan analisis data.
1.3. Pengumpulan data dilakukan dengan komunikasi personal dengan pasien/keluarganya secara
langsung dengan menggunakan pertanyaan what, why, who, where, when dan how.
BAB IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.1. HASIL STUDI KASUS
A. PASIEN
Nn. T, perempuan berusia 49 tahun, BB 39 Kg, TB 153 cm datang berobat ke puskesmas
dengan keluhan batuk berdahak yang telah dialami dalam 3 bulan ini. Kemudin dilakukan
pemeriksaan TD : 110/70 mmHg, sputum dengan hasil +2, dan pemeriksaan radiologis dengan
hasil tampak gambaran bercak infiltrate dan kavitas pada lapangan paru kanan atas dan Nn. T di
diagnosis sebagai penderita TB paru, kemudian ditatalaksana dengan OAT. Selama ini Nn. T
tidak mau berobat ke dokter karena khawatir di diagnosis TB paru. Nafsu makan menurun dan
berat badan menurun dalam sebulan terakhir.
Nn. T tinggal bersama sepupu dan telah diberi edukasi terkait penyakit tuberculosis,
anjuran untuk melakukan pengobatan TB secara teratur, dan melaksanakan modifikasi gaya
hidup. Berdasarkan hasil pemeriksaan (anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium) dapat
disimpulkan bahwa telah dilakukan penatalaksaan pasien dengan prinsip pelayanan dokter
keluarga yang holistik dan paripurna, berbasis evidence based medicine. Perbaikan dapat
dievaluasi setelah pengobatan fase intensif selesai dengan didapatkan berkurangnya BTA pada
pemeriksaan mikroskopis sputum.
Informasi hasil pemeriksaan tambahan:
Batuk berdahak sudah 3 bulan.
TD 110/70 mmHg.
Demam sub febril (+)
Keringat di malam hari (+)
Nn. T takut kalau penyakitnya adalah TBC service
Kurang pengetahuan tentang TBC
Perilaku terhadap batuk.
Nn. T bekerja sebagai cleaning.
Pada pemeriksaan fisik Tn.S di dapatkan:
- Berat badan 39 kg , tinggi badan 153 cm.
- Fremitus mengeras pada lapangan paru kanan atas, dan suara pernapasan dijumpai
bronkial pada lapangan paru kanan atas.
Pada pemeriksaan penunjang di dapatkan:
- Hasil pemeriksaan dahak pasien BTA (+2).
- Pada pemeriksaan radiologis Nn. T tampak gambaran bercak infiltrat dan kavitas pada
lapangan paru kanan atas.
Pada hasil uji Tuberkulin:
- Hasil pemeriksaan Tuberculin skin test (+) pada A, sedangkan B (-).
- Ternyata keduanya sejak lahir belum pernah mendapat imunisasi BCG
B. KELUARGA
Nn. T tinggal bersama dengan sepupu (laki-laki berusia 35 tahun)
Tn. S takut dipecat dari pekerjaannya bila ternyata dia menderita TBC, dan lebih fatal lagi
kalau istrinya (Ny. S) juga dipecat, karena selama ini Ny.S bekerja paruh waktu sebagai
pengasuh anak di rumah majikan Tn.S.
Dari hasil anamnesis lanjutan dijumpai Ayah Tn.S dalam masa pengobatan obat anti
tuberkulosis selama 1 bulan ini. Dari hasil anamnese dijumpai Ayah Tn.S dalam masa
pengobatan obat anti tuberkulosis selama 1 bulan ini.
Istrinya (Ny.S) bekerja paruh waktu sebagai pengasuh di rumah majikan Tn.S.
1.2. PEMBAHASAN
1.2.1.Anamnese
Aspek Personal
Tn S, Lk, 35 tahun
Datang ke Dokter Layanan Primer (DLP) = PUSKESMAS dengan keluhan batuk
berdahak sejak 2 bulan yang lalu, pagi ini batuk berdahak bercampur darah, berwarna
merah terang.
Kekhawatiran
- Takut sakit TB
- Takut dipecat dari pekerjaan apabila benar menderita TB
- Takut isterinya juga akan kehilangan pekerjaan
Harapan
- Tidak menderita TB
Aspek Klinik
Batuk berdahak sejak 2 bulan yang lalu, pagi ini batuk berdarah berwarna merah
terang.
Demam subfebril (+)
Keringat malam hari (+)
Selera makan (-)
Berat Badan menurun dalam sebulan terakhir.
Aspek Faktor Resiko Internal
Kurangnya pengetahuan tentang TB
Kepatuhan dalam berobat kurang
Perilaku terhadap batuk yang buruk
Gizi buruk
Aspek Faktor Resiko Eksternal
Tinggal di rumah dengan isteri, 2 anak dan ayah yang sakit TB
Tempat tinggal : Rumah Sangat Sederhana, padat dan ventilasi kurang memadai
Ayah Tn.S sedang pengobatan OAT (1 bulan pertama fase aktif )
Pekerjaan pelayan rumah makan
Pekerjaan isteri pengasuh anak.
Anak-anak belum memperoleh imunisasi BCG.
Derajat Fungsional
Tn S: Masih dapat bekerja dengan baik tanpa bantuan siapapun (derajat 1 minimal)
1.2.2.Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda vital (T, N, P) misalnya: TD 120/80 mmHg
Berat Badan 40 Kg, Tinggi Badan 175 cm, IMT 13.6
Paru : Fremitus mengeras pada lapangan paru kanan atas
Suara pernapasan bronchial pada lapangan paru kanan atas
1.2.3.Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : BTA (+2)
Radiologis : Foto thorax: gambaran bercak infiltrat dan kavitas pada lapangan paru
kanan atas.
Tuberkulin test anak : A : (+) dan B : (-)
1.2.4.Genogram (Pohon Keluarga)
1.2.5.Diagnosis Holistik (Bio-psiko-sosial)
a. Diagnose Klinis: TBC Paru BTA positif dengan gizi buruk.
b. Diagnose Psikososial: kecemasan akan dipecat, kemungkinan anak isteri tertular,
penularan dari ayahnya Tn.S, Sosek rendah, sanitasi lingkungan buruk (tidak sehat)
1.2.6.Penanganannya
Bersifat komprehensif
A. Pencegahan primer
Promosi kesehatan dengan pendekatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
1. Perbaikan kondisi ventilasi rumah
2. Meningkatkan status gizi
3. Memperbaiki perilaku batuk, misalnya memakai masker (APD)
Proteksi spesifik : memberikan imunisasi pada anak yang test tuberkulinnya (-)
B. Pencegahan secunder
Terapi untuk Pasien
Medikamentosa : OAT selama minimal 6 bulan (untuk katagori I)
Perbaikan status gizi (diet TKTP) yang disesuaikan dengan berat badan ideal dan
istirahat dirumah agar tidak menular ke orang lainselama 2 minggu.
Faktor internal : Edukasi memperbaiki pengetahuan tentang TB, mengajarkan
perilaku batuk, penggunaan masker dan menyuruh isteri sebagai PMO.
Faktor eksternal: memperbaiki ventilasi rumah (dengan membuka pintu dan
jendela khususnya pada pagi hari).
Motivasi keluarga agar mendukung proses pengobatan pasien
Test screening HIV pada Tn.S
Terapi untuk Keluarga
Terapi untuk anak pertama (A) INH 10 mg/Kg BB/hari untuk anak dengan test
tuberkulin (+) sebagai profilaksis selama 6 bulan
Untuk anak kedua (B) terapi INH 5 -10 mg/KgBB/hari selama 6 bulan untuk
anak dengan kontak erat dengan penderita TB dengan BTA (+) setelah
selesai imunisasi catch up BCG
Proteksi diri dan edukasi untuk isteri Tn.S
Untuk Ayah Tn.S : terapi OAT dilanjutkan dengan isteri Tn S (menantu) sebagai
PMO dengan sistem Direcly Observed Treatment Shortcours (DOTS)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi kasus TB yang dilakukan di layanan primer (PUSKESMAS)
mengenai penatalaksanaan penderita TB dengan pendekatan diagnose holistik, dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Diagnose Klinis : Tn.S menderita TB Paru dengan hasil pemeriksaan mikroskopis
sputum BTA (+) dengan penatalaksanaan pemberian obat anti TB (OAT) minimal 6
bulan untuk katagori I; disertai dengan pemberian penyuluhan (edukasi) tentang
pengobatan secara teratur, rutin memeriksakan diri dipelayanan kesehatan primer
(Puskesmas).
2. Diagnose Psiko-sosial: Tn. S ada kecemasan akan dipecat, sosial ekonomi rendah,
menderita kurang gizi dan sanitasi lingkungan (rumah) tidak sehat.
3. Diagnose komunikasi : melakukan screening kepada orang yang terkontak, misalnya
anak majikan.
4. Gambaran dari Genogram : kemungkinan resiko penularan TB besar untuk anak dan
isteri tertular TB.
5. Perbaikan dapat dievaluasi setelah pengobatan fase intensif selesai dengan didapatkan
berkurangnya BTA pada pemeriksaan mikroskopis sputum.
1.2. Saran
Dari beberapa masalah yang dapat ditemukan pada Tn.S berupa : penyakit TB, pola hidup
dan kebersihan rumah,serta gizi kurang maka disarankan untuk:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan masalah TB;
2. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit TB;
3. Menatalaksanai pasien dengan modifikasi gaya hidup berupa:
a. Menggunakan masker dalam beraktifitas sehari-hari;
b. Mengkonsumsi makanan yang seimbang dan penuh dengan vitamin;
c. Menjaga kebersihan, kelembaban dan pencahayaan di dalam rumah;
d. Latihan fisik atau olah raga teratur.
e. Berobat secara teratur