Pemodelan dan Peratingan CG UGM

27
PEMODELAN DAN PERATINGAN CORPORATE GOVERNANCE DI INDONESIA Oleh: Tim – Center for Good Corporate Governance (CGCG) FEB UGM I. LATAR BELAKANG Corporate governance (CG) telah menjadi salah satu frasa yang banyak digunakan dalam kosa kata bisnis global saat ini. Kasus kehancuran Enron di tahun 2001 semakin menarik perhatian internasional terhadap peran penting CG untuk mencegah kegagalan perusahaan. Banyak negara di dunia, termasuk di Asia (Wallace and Zinkin 2005), telah mendorong program-program reformasi CG yang ditunjukkan dengan berkembangnya peraturan serta kebijakan CG yang dihasilkan. Arti penting CG diprediksi semakin meningkat di masa datang seiring dengan kompleksitas perusahaan dan dinamika globalisasi. Di Indonesia, CG bukan lagi dilihat sebagai asesoris semata tetapi diterapkan sebagai suatu sistem nilai dan best practices yang fundamental (Arafat dan Waluyo, 2008). Pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Negara BUMN No. 117/2002 tentang penerapan CG di badan usaha milik negara (BUMN) berupaya untuk mengimplementasikan good corporate governance (GCG). Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) juga dibentuk untuk menyiapkan rerangka dasar pelaksanaan GCG. Pada tahun 2006 KNKG menerbitkan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia “untuk mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat di Indonesia dan menjadi bagian dari upaya penegakan good governance yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah.” (Boediono selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia dalam KNKG 2006, hal. i). Masih banyak lembaga 1

Transcript of Pemodelan dan Peratingan CG UGM

Page 1: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

PEMODELAN DAN PERATINGAN

CORPORATE GOVERNANCE DI INDONESIA

Oleh: Tim – Center for Good Corporate Governance (CGCG) FEB UGM

I. LATAR BELAKANG

Corporate governance (CG) telah menjadi salah satu frasa yang banyak digunakan dalam kosa kata

bisnis global saat ini. Kasus kehancuran Enron di tahun 2001 semakin menarik perhatian internasional

terhadap peran penting CG untuk mencegah kegagalan perusahaan. Banyak negara di dunia, termasuk di

Asia (Wallace and Zinkin 2005), telah mendorong program-program reformasi CG yang ditunjukkan

dengan berkembangnya peraturan serta kebijakan CG yang dihasilkan.

Arti penting CG diprediksi semakin meningkat di masa datang seiring dengan kompleksitas

perusahaan dan dinamika globalisasi. Di Indonesia, CG bukan lagi dilihat sebagai asesoris semata tetapi

diterapkan sebagai suatu sistem nilai dan best practices yang fundamental (Arafat dan Waluyo, 2008).

Pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Negara BUMN No. 117/2002 tentang penerapan CG di

badan usaha milik negara (BUMN) berupaya untuk mengimplementasikan good corporate governance

(GCG). Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) juga dibentuk untuk menyiapkan rerangka

dasar pelaksanaan GCG. Pada tahun 2006 KNKG menerbitkan Pedoman Umum Good Corporate

Governance Indonesia “untuk mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat di Indonesia dan menjadi

bagian dari upaya penegakan good governance yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah.” (Boediono

selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia dalam KNKG 2006, hal. i). Masih

banyak lembaga maupun asosiasi yang juga terlibat aktif dalam pengembangan CG di Indonesia (lihat

Institute on Directors 2005).

Berbagai model CG dikembangkan di banyak lembaga dan negara. Model-model CG yang

dikembangkan lazimnya disesuaikan dengan kondisi dimana perusahaan tersebut berdomisili. Demikian

pula, banyak lembaga mengembangkan model peratingan CG (Solomon 2007; Rezaee 2007). Oleh karena

itu banyak ahli berpendapat bahwa model CG bervariasi antar industri maupun negara (Luo 2007).

Namun demikian, usaha-usaha untuk mengembangkan model CG yang dapat mengkonvergensi banyak

kepentingan selalu diusahakan (O’Brien 2005; Rezaee 2007). Konvergensi model CG seharusnya selalu

didukung karena konvergensi dapat membantu penciptaan CG yang universal dan mudah

diimplementasikan oleh banyak perusahaan. Sebagai analogi, International Accounting Standard Boards

(IASB) dan Financial Accounting Standard Boards (FASB) sejak beberapa tahun ini bekerjasama melalui

1

Page 2: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

pembentukan Joint Program dalam rangka mengkonvergensikan rerangka konseptual pelaporan

keuangan.

Meskipun banyak pihak terlibat dalam pengembangan CG, sebagian besar riset menunjukkan

bahwa kualitas CG perusahaan-perusahaan Indonesia relatif rendah (Institute of Directors 2005). Center

for Good Corporate Governance (CGCG) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada yang

memperoleh Program Hibah Kompetitif (PHK B) dari Departemen Pendidikan Nasional merasa perlu

untuk berperan serta meningkatkan kualitas CG di perusahaan-perusahaan Indonesia. Salah satu tujuan

pembentukan CGCG ini adalah mengembangkan model CG sekaligus model peratingan CG yang setidak-

tidaknya dapat diaplikasikan untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia.

II. RUMUSAN MASALAH

Sebagai bentuk kepedulian dan berbagi (care and share) dari dunia akademik terhadap

pengembangan CG, Center for Good Corporate Governance Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas

Gadjah Mada (selanjutnya dituliskan CGCG atau UGM) berupaya mengembangkan model CG yang

diharapkan bersifat universal dalam rangka mendukung konvergensi model CG secara internasional.

Selanjutnya, CGCG juga berupaya mengembangkan model peratingan CG yang dapat digunakan untuk

merating kualitas CG perusahaan-perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan yang telah terdaftar di

pasar modal Indonesia, secara cost effective. Salah satu hasil model peratingan CG UGM ini diharapkan

merupakan model peratingan CG yang dapat dilakukan sendiri (self-assessment) oleh perusahaan.

Demikian pula, model peratingan CG UGM diharapkan bersifat komprehensif dan dinamis. Peratingan

dikatakan komprehensif jika model tersebut dapat memberikan gambaran yang utuh tentang kualitas CG

suatu perusahaan, dan dikatakan dinamis jika model tersebut dapat dikembangkan ke arah yang semakin

baik dari waktu ke waktu.

III. TELAAH LITERATUR

Pada era sekarang ini, konsep CG telah diperluas mencakup perhatian terhadap pemangku

kepentingan (stakeholders), selain terhadap pemegang saham (shareholders). Pada awalnya model CG

memfokuskan perhatian pada usaha perusahaan agar dapat bertanggung jawab kepada pemegang saham,

sedangkan di era sekarang ini model CG semakin menekankan pemenuhan kebutuhan para pemangku

kepentingan (stakeholders) secara luas (Lawrence and Weber 2008). Wacana tentang dewan direksi saat

ini sangat berbeda dengan wacana tentang dewan direksi pada 2 dekade yang lalu. Dewan direksi

sekarang ini mempunyai tanggung jawab yang luas terhadap berbagai kelompok pemangku kepentingan.

2

Page 3: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

Dewan direksi mulai mencemaskan masalah polusi, isu-isu sosial, perjanjian dengan pemangku

kepentingan dan dampaknya terhadap operasi perusahaan.

Berikut ini dibahas sekilas beberapa topik yang penting dan terkait dengan pemodelan dan

peratingan CG yang dikembangkan oleh CGCG.

A. Definisi Corporate Governance

Tidak ada definisi tunggal atas CG (Anand 2008; Rezaee 2007). Terdapat definisi secara sempit

maupun definisi secara luas atas CG, tergantung sudut pandang pembuat kebijakan, praktisi, dan peneliti.

Definisi-definisi CG yang ada saat ini dapat diletakkan pada suatu spektrum, dengan sudut pandang

’sempit’ pada satu ujung spektrum dan sudut pandang ’luas’ pada ujung spektrum yang lain. Suatu

pendekatan atas CG yang mengadopsi pandangan sempit menyatakan bahwa CG dibatasi pada hubungan

antara suatu perusahaan dengan para pemegang sahamnya. Pandangan ini, menurut Solomon (2007),

merupakan pandangan paradigma finansial tradisional (traditional finance paradigm), yang dinyatakan

dalam teori keagenan (agency theory). Pendekatan yang didasarkan atas pandangan luas terhadap CG

memandang bahwa CG merupakan suatu jejaring hubungan, tidak hanya antara suatu perusahaan dengan

pemilik atau pemegang sahamnya, melainkan juga antara suatu perusahaan dengan sekelompok luas

pemangku kepentingan lainnya, yang mencakup: karyawan, pelanggan, pemasok, kreditur, dan pemangku

kepentingan lainnya. Pandangan ini dinyatakan dalam teori pemangku kepentingan (stakeholder theory).

Parkinson (1994) mendefinisikan CG berdasar perspektif finansial semata yang hanya melibatkan

pemegang saham dan manajemen perusahaan. Tricker (1984) menjabarkan definisi CG dari sudut

pandang luas yang mencakup akuntabilitas perusahaan terhadap sekelompok pemangku kepentingan dan

masyarakat luas. Selanjutnya, Rezaee (2007, p. 22) mendefinisikan CG sebagai berikut:

“… is a process effected by legal, regulatory, contractual, and market-based mechanisms and best practices to create substantial shareholders value while protecting the interests of other shareholders.”

Solomon (2007, p. 14) mendefinisikani CG sebagai berikut:

”... the system of checks and balances, both internal and external to companies, which ensures that companies discharge their accountability to all their stakeholders and act in a socially responsible way in all areas of their business activity.”

Definisi CG berbasis perspektif pemangku kepentingan ini didasarkan pada persepsi bahwa perusahaan

dapat memaksimalkan penciptaan nilai (value creation) dalam jangka panjang dengan cara menunaikan

tanggung jawab mereka terhadap seluruh kelompok pemangku kepentingan, dan dengan mengoptimalkan

sistem CG.

3

Page 4: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

Menggunakan definisi-definisi di atas sebagai titik awal, CGCG mendefinisikan CG sebagai

sebuah sistem yang terdiri dari berbagai fungsi dan berbagai pihak yang terlibat untuk memaksimalkan

penciptaan nilai oleh perusahaan melalui prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang berterima umum.

Beberapa fungsi penting yang terkait dengan CG adalah fungsi oversight, enforcement, supervisory &

advisory, assurance, dan monitoring. Fungsi-fungsi tersebut dijalankan oleh dewan direksi (board of

directors), pejabat eksekutif (executive officers), dewan komisaris/komite (board of

commissioners/committees), auditor, dan para pemangku kepentingan (stakeholders). Selanjutnya, pihak-

pihak tersebut menjalankan fungsi masing-masing untuk memenuhi prinsip-prinsip CG yang berterima

umum, yaitu transparency, accountability & responsibility, responsiveness, independency, dan fairness.

Berikut ini dibahas sekilas tentang partisipan CG dan fungsi-fungsi CG.

B. Pihak-Pihak Yang Terlibat di Corporate Governance

Pada awal maraknya kebutuhan CG, pihak yang dianggap paling bertanggungjawab atas

keberhasilan CG adalah dewan direksi (lihat Harvard Business Review on Corporate Governance 2000;

Leblanc and Gillies 2005), terutama di perusahaan-perusahaan yang terdaftar di pasar modal Amerika,

yang menjalankan fungsi oversight, enforcement, supervisory, sekaligus advisory. Seiring dengan

kompleksitas dan risiko yang meningkat maka fungsi-fungsi yang terkait dengan CG berkembang, dan

dilakukan oleh berbagai partisipan. Berikut ini 5 partisipan yang dapat dikaitkan dengan fungsi-fungsi

yang dilakukan dalam pengembangan CG.

1. Dewan direksi (board of directors); terutama menjalankan fungsi oversight.

2. Pejabat eksekutif (executive officers); terutama menjalankan fungsi enforcement.

3. Dewan komisaris/komisi (board of commissioners/committees); terutama menjalankan fungsi

supervisory & advisory.

4. Auditor, meliputi auditor internal dan auditor eksternal; terutama menjalankan fungsi assurances.

5. Pemangku kepentingan (stakeholders), meliputi antara lain pemegang saham, kreditor,

pemerintah, pelanggan, dan masyarakat dan lingkungan; terutama menjalankan fungsi

monitoring.

C. Prinsip-Prinsip Corporate Governance

Prinsip-prinsip CG di Indonesia telah dikembangkan oleh Bapepam sejak tahun 2000 yang

diwujudkan dengan peran aktif Bapepam dalam keanggotaan Ketua Bapepam dan Kepala Biro Standar

Akuntansi serta Keterbukaan dalam Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Di kancah

internasional Bapepam turut serta dalam Asian Roundtable Meeting on Corporate Governance – Fifth di

4

Page 5: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

Kuala Lumpur serta Roundtable on Capital Market Reform in Asia – Fifth dan Official Presentation of

the White Paper on Corporate Governance in Asia di Tokyo bersama dengan negara-negara yang

tergabung dalam OECD (KNKG, 2006).

Salah satu organisasi internasional yang ikut mengembangkan CG adalah OECD (Organization

for Economic Co-operation Development). Penetapan CG dalam OECD dipengaruhi oleh hubungan

antara partisipan dan sistem tatakelola. Pemegang saham pengendali yang dapat berupa individu,

keluarga, aliansi, atau perusahaan lain yang beraktivitas melalui perusahaan atau antar perusahaan dapat

mempengaruhi secara signifikan perilaku korporat. Sebagai pemegang ekuitas maka terdapat keinginan

untuk meningkatkan kekuatannya di pasar melalui CG. Berikut ini prinsip CG menurut OECD (2004):

1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham; yaitu menjamin keamanan metoda pendaftaran

kepemilikan, mengalihkan atau memindahkan saham yang dimiliki, memperoleh informasi yang

relevan tentang perusahaan secara berkala dan teratur, ikut berperan dan memberikan suara dalam

RUPS, memilih anggota dewan komisaris dan direksi, serta memperoleh pembagian keuntungan

perusahaan.

2. Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham; yaitu berlaku fair termasuk pemegang

saham asing dan minoritas.

3. Peranan pemangku kepentingan yang terkait dengan perusahaan; yaitu mendorong kerjasama

antara perusahaan dengan pemangku kepentingan agar tercipta kesejahteraan, lapangan kerja, dan

kesinambungan usaha.

4. Keterbukaan dan transparansi; yaitu menyajikan informasi keuangan, kinerja perusahaan,

kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan. Informasi yang diungkapkan harus disusun, diaudit,

dan disajikan sesuai dengan standar yang berkualitas tinggi.

5. Akuntabilitas dewan komisaris; yaitu menjamin adanya pedoman strategi perusahaan,

pemantauan yang efektif terhadap manajemen yang dilakukan oleh dewan komisaris dan

akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham.

Mengadopsi prinsip-prinsip CG yang ditetapkan OECD, International Corporate Governance Network

(ICGN) juga menambahkan prinsip-prinsip Honesty, Resilience, Responsiveness, dan transparency

sebagai best practices untuk meningkat CG lembaga tersebut.

Di Indonesia, Komite Nasional Kebijakan Good Corporate Governance (KNKGCG) yang

dibentuk tahun 1999 berdasarkan SK Menko Ekuin Nomor: KEP/31/M.EKUIN/08/1999 telah

mengeluarkan pedoman good corporate governance (GCG). Pedoman tersebut telah beberapa kali

disempurnakan, terbaru pada tahun 2006 oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) sebagai

5

Page 6: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

pengganti KNKGCG. KNKG mengeluarkan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia.

Lima prinsip dasar GCG menurut KNKG (2006) adalah sebagai berikut:

1. Transparansi; yaitu perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan

cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus

mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan

perundang-undangan, tetapi juga hal penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang

saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya.

2. Akuntabilitas; yaitu perusahaan harus dapat mempertanggungjelaskan kinerjanya secara

transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai

dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham

dan pemangku kepentingan lain.

3. Responsibilitas; yaitu perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta

melaksanakan tanggungjawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara

kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapatkan pengakuan sebagai good

corporate citizen.

4. Independensi; yaitu perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ

perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

5. Kewajaran dan Kesetaraan; yaitu perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan

pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

Selain Pedoman Pokok Pelaksanaan, KNKG juga mengeluarkan pedoman perilaku yang dapat

menjadi acuan bagi organ perusahaan (terdiri dari RUPS serta dewan komisaris dan direksi) dan semua

karyawan dalam menerapkan nilai-nilai dan etika bisnis sehingga menjadi bagian dari budaya perusahaan.

Pedoman perilaku sejalan dengan tujuan ditetapkannya GCG, dan untuk mencapai keberhasilan dalam

jangka panjang maka diperlukan pelaksanaan GCG dengan dilandasi integritas yang tinggi. Pedoman

etika mencakup nilai-nilai perusahaan yang merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi

perusahaan yang menggambarkan karakter perusahaan, serta etika bisnis yang merupakan acuan bagi

perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha termasuk dalam berinteraksi dengan pemangku

kepentingan.

Mempertimbangkan prinsip-prinsip yang telah disebutkan di muka, CGCG mendasarkan diri pada

5 prinsip yang seharusnya dipenuhi CG, yaitu:

1. Transparency (transparansi); dalam menjalankan fungsinya, semua partisipan harus

menyampaikan informasi yang material sesuai dengan substansi yang sesungguhnya, dan

6

Page 7: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

menjadikan informasi tersebut dapat diakses dan dipahami secara mudah oleh pihak-pihak lain

yang berkepentingan.

2. Accountability & responsibility (pertanggungjelasan & pertanggungjawaban); dalam menjalankan

fungsinya, setiap partisipan CG harus mempertanggung-jelaskan amanah yang diterima sesuai

dengan hukum, peraturan, standar moral/etika maupun best practices berterima umum, dan

menyiapkan pertanggungjawaban jika pertanggungjelasan yang diajukan ditolak.

3. Responsiveness (ketanggapan); dalam menjalankan fungsinya, setiap partisipan CG harus

menanggapi, meliputi juga kegiatan antisipatif, terhadap permintaan (requests) maupun umpan-

balik (feedback) pihak-pihak yang berkepentingan dan terhadap perubahan-perubahan dunia

usaha yang berpengaruh signifikan terhadap perusahaan.

4. Independence (independensi); dalam menjalankan fungsinya, setiap partisipan harus

membebaskan diri dari kepentingan pihak-pihak lain yang berpotensi memunculkan konflik

kepentingan, dan menjalankan fungsinya sesuai kompetensi yang memadai.

5. Fairness (kewajaran); dalam menjalankan fungsinya, setiap partisipan memperlakukan pihak lain

secara wajar berdasar ketentuan-ketentuan berterima umum.

IV. KETENTUAN DASAR PEMODELAN DAN PERATINGAN CG UGM

Universitas Gadjah Mada (UGM) merupakan sebuah universitas berbasis riset yang sedang menuju

ke aras internasional (world class research university). Disamping itu, UGM juga merupakan salah satu

universitas yang menjadi inisiator dalam program yang disebut “education for sustainability

development”. Berdasar dua hal tersebut maka pemodelan dan peratingan CG yang dikembangkan CGCG

adalah berbasis riset, dan memfokuskan pada stakeholders approach yang mana komponen masyarakat

dan lingkungan (society and environment) merupakan salah satu pemangku kepentingan perusahaan.

Berikut ini adalah uraian singkat tentang beberapa ketentuan penting yang terkait dengan

pemodelan dan peratingan CG yang dikembangkan CGCG UGM.

A. Peratingan Berbasis Riset

Riset merupakan salah satu cara yang digunakan baik di dunia akademik, tentu juga di dunia

praktik, untuk mengidentifikasi permasalahan dan menyelesaikan permasalahan tersebut secara

komprehensif. Riset memerlukan proses yang sistematis dan hati-hati berdasar metodologi yang telah

teruji untuk mengambil kesimpulan dari investigasi yang dilakukan. Oleh karena itu, adalah tepat jika

model peratingan CG UGM mendasarkan diri pada riset.

7

Page 8: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

Riset yang digunakan dalam peratingan CG UGM adalah berupa riset empiris (empirical research).

Model riset empiris membuat kesimpulan berdasar fakta yang terdapat di lapangan, disamping didukung

oleh argumen-argumen yang berdasar logika. Selanjutnya, CGCG menggunakan kedua jenis riset empiris,

yaitu riset kuantitatif dan riset kualitatif. Kedua jenis riset empiris ini penting dan saling melengkapi.

Peratingan CG UGM sejauh ini terutama mendasarkan diri pada riset kuantitatif. Dalam jangka panjang,

kedua jenis riset ini harus dilakukan secara seimbang karena riset kualitatif dapat menginvestigasi secara

detail obyek yang diteliti.

B. Partisipan Corporate Governance

Perspektif pertama yang digunakan dalam perancangan model CG UGM adalah terkait dengan

pihak-pihak yang seharusnya berpartisipasi dalam penerapan CG. Terdapat 5 kelompok partisipan beserta

fungsinya masing-masing, yaitu:

1. Dewan direksi (oversight)

2. Pejabat eksekutif (enforcement)

3. Dewan komisaris/komisi (supervisory and advisory)

4. Auditor (assurance)

5. Pemangku kepentingan (monitoring)

C. Prinsip-prinsip GCG

Perspektif kedua yang digunakan adalah prinsip-prinsip CG. Model CG UGM mendasarkan diri

pada 5 prinsip CG, yaitu:

1. Transparency (transparansi)

2. Accountability & responsibility (pertanggungjelasan & pertanggungjawaban)

3. Responsiveness (ketanggapan)

4. Independence (independensi)

5. Fairness (kewajaran)

V. RERANGKA DASAR MODEL CORPORATE GOVERNANCE UGM

Berdasar ketentuan-ketentuan dasar yang telah disebutkan di muka maka dapat disarikan bahwa

pemodelan dan peratingan CG UGM mendasarkan diri pada kegiatan riset empiris baik yang bersifat

kuantitatif maupun kualitatif. Selanjutnya, model CG UGM mengukur dari dua perspektif, yaitu

perspektif partisipan CG dan prinsip dasar CG. Secara gambar, model CG UGM dapat digambarkan

sebagai berikut:

8

Page 9: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

Model Corporate Governance UGM

Deskripsi singkat:Songkok mencerminkan prinsip-prinsip CG, sedangkan tombak mencerminkan para partisipan CG. Warna yang melekat di songkok dan tombak mencerminkan karakteristik dominan yang seharusnya dipenuhi oleh masing-masing prinsip/pihak. Pemaknaan warna sesuai dengan yang digunakan Edward de Bono (1985) dalam buku terkenalnya yang berjudul Six Thinking Hats.

VI. MODEL PERATINGAN CG UGM

Rancangan model peratingan CG UGM meliputi penetapan beberapa topik penting berikut ini.

A. Dimensi Cakupan Alat Ukur

Alat ukur dituangkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang memfokuskan pada 5 dimensi

berikut ini.

1. Pihak yang memperoleh manfaat GCG (dari stockholders ke stakeholders)

2. Tingkat kedisiplinan (dari compliance ke conformance, termasuk compliance)

3. Intensitas penggunaan TI (dari low intensity ke high intensity)

4. Jenis informasi (dari non-financial ke financial, termasuk non-financial)

5. Fleksibilitas implementasi (dari rules-based approach menuju principles-based approach,

termasuk rules-based approach)

B. Matriks Perancangan Alat Ukur

Berdasar 2 perspektif, yaitu prinsip dan partisipan, maka dapat dibentuk matriks (5 x 5) untuk

mengembangkan alat-alat ukur yang tepat dalam rangka pengukuran kualitas CG perusahaan. Setiap

partisipan seharusnya memenuhi semua lima prinsip CG yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, adalah 9

Page 10: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

sebuah keharusan untuk merancang berbagai alat ukur yang dapat menilai tingkat pemenuhan masing-

masing prinsip CG oleh masing-masing partisipan.

C. Fokus Perancangan Alat Ukur

Alat-alat ukur dirancang untuk mengidentifikasi tingkat pemenuhan masing-masing prinsip CG

oleh masing-masing partisipan. Terdapat matriks 5 x 5 yang berarti terdiri dari 25 sel. Setiap sel

seharusnya dirancang pertanyaan-pertanyaan spesifik untuk mengukur tingkat pemenuhan prinsip tertentu

oleh partisipan tertentu. Setiap sel minimal terdapat 1 alat ukur tetapi jumlah alat ukur yang digunakan

dapat bervariasi antar sel karena menyesuaikan fungsi utama partisipan dalam implementasi CG. Sebagai

contoh, walaupun beberapa anggota dewan direksi tidak berasal dari pejabat eksekutif tetapi adalah tidak

mudah untuk meyakini tingkat independensi dewan direksi sepanjang sebagian anggota dewan direksi

tersebut sekaligus merupakan pejabat eksekutif. Sementara itu, dewan komisaris/komite (board of

commissioners/committees) dapat diharapkan independensinya karena dimungkinkan perusahaan

mengangkat dewan komite yang sepenuhnya dari pihak eksternal. Oleh karena itu, alat-alat ukur yang

digunakan untuk menilai tingkat independensi dewan direksi seharusnya lebih sedikit dibanding alat-alat

ukur yang digunakan untuk menilai tingkat independensi dewan komisaris/komisi. Alat-alat ukur yang

lebih tepat untuk mengukur CG oleh dewan direksi terutama dikaitkan dengan 2 prinsip CG, yaitu

transparency dan accountability & responsibility.

Secara ringkas, model CG UGM menekankan perancangan alat-alat ukur untuk masing-masing

partisipan CG adalah sebagai berikut ini.

1. Dewan direksi (DD): alat-alat ukur difokuskan pada penilaian tingkat pemenuhan atas prinsip

Transparency dan Accountability & Responsibility.

2. Pejabat eksekutif (PE); alat-alat ukur difokuskan pada penilaian tingkat pemenuhan atas prinsip

Accountability & Responsibility dan Responsiveness

3. Dewan komisaris/komite (DK); alat-alat ukur difokuskan pada penilaian tingkat pemenuhan atas

prinsip Responsiveness dan Independence.

4. Auditor (AU); alat-alat ukur difokuskan pada penilaian tingkat pemenuhan atas prinsip

Independence dan Fairness.

5. Pemangku kepentingan (PK); alat-alat ukur difokuskan pada penilaian tingkat pemenuhan atas

prinsip Fairness dan Transparency.

D. Jenis-jenis Alat Ukur

10

Page 11: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

Terdapat beberapa jenis pertanyaan sebagai berikut:

1. Pertanyaan yang jawabannya berupa Ya/Tidak (pertanyaan dikotomi)

2. Pertanyaan yang jawabannya berupa pemeringkatan/ranking (pertanyaan diskrit)

3. Pertanyaan yang jawabannya diperoleh melalui wawancara, diskusi, observasi lapangan melalui

analisis konten, dan metoda-metoda lain yang relevan untuk pengumpulan data (pertanyaan

kontinyu)

Selanjutnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut diklasifikasi berdasar arti penting pertanyaan tersebut

bagi pencapaian CG. Terdapat 2 kelompok, yaitu:

1. Pertanyaan yang seharusnya terpenuhi (necessary questions)

2. Pertanyaan yang sebaiknya terpenuhi (sufficient questions)

E. Kualitas Alat Ukur

Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengukur GCG diklasifikasi kualitasnya berdasar

karakteristik primer di standar akutansi, yaitu relevansi (relevance) dan keandalan (reliability). Terdapat 4

jenis kualitas pertanyaan:

1. Pertanyaan yang tingkat keandalannya tinggi dan tingkat relevansinya juga tinggi (Pertanyaan

Prioritas 1/P1)

2. Pertanyaan yang tingkat keandalannya tinggi tetapi tingkat relevansinya rendah (Pertanyaan

Prioritas 2/P2)

3. Pertanyaan yang tingkat keandalannya rendah tetapi tingkat relevansinya tinggi (Pertanyaan

Prioritas 3/P3)

4. Pertanyaan yang tingkat keandalannya rendah dan tingkat relevansinya juga rendah Pertanyaan

Prioritas 3/P4)

Pertanyaan Prioritas 1 merupakan pertanyaan yang sangat penting untuk tolok ukur peratingan CG, dan

jawabannya dapat diperoleh dari sumber yang dapat dipercaya. Pertanyaan Prioritas 1 menghasilkan skor

yang lebih tinggi dibanding pertanyaan Prioritas 2. Demikian pula, pertanyaan Prioritas 2 menghasilkan

skor yang lebih tinggi dibanding pertanyaan Prioritas 3, dst.

Disamping kedua karakteristik primer di atas, pertanyaan-pertanyaan tertentu, yang digunakan

untuk mengukur GCG juga diklasifikasi kualitasnya berdasar karakteristik sekunder yang disebut daya

banding, termasuk konsistensi (comparability, including consistency). Pertanyaan-pertanyaan yang

memungkinkan dilakukan pembandingan antar perioda memperoleh skor penilaian yang lebih tinggi

dibanding pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya tidak atau kurang relevan untuk dibandingkan.

F. Penetapan Skor Alat Ukur

11

Page 12: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

Alat-alat ukur yang digunakan harus ditetapkan besaran skor untuk peratingan. Dengan asumsi

menggunakan peratingan Third-party assessment (lihat sesi berikutnya: Aplikasi Peratingan) , total skor

maksimal dalam peratingan CG adalah 1000 (seribu) poin. Penetapan skor berdasar pada beberapa

ketentuan berikut ini.

1. Keberadaan alat ukur dalam matriks pengukuran; sel-sel yang menjadi fokus penilaian (sel

utama) untuk mengukur pemenuhan CG oleh partisipan memperoleh skor yang lebih tinggi

dibanding sel-sel yang tidak menjadi fokus penilaian (sel penunjang). Berdasar matriks 5x5 yang

dibangun maka terdapat 10 sel utama dan 15 sel penunjang. Masing-masing sel utama

menghasilkan skor maksimal 70 poin sehingga skor maksimal untuk keseluruhan sel utama

adalah 700 poin. Sementara itu, masing-masing sel penunjang menghasilkan skor maksimal 20

poin sehingga skor maksimal untuk keseluruhan sel penunjang adalah 300 poin.

2. Jenis alat ukur; penetapan skor untuk masing-masing jenis pertanyaan dengan ketentuan dasar

sebagai berikut:

a. Pertanyaan dikotomi (Ya/Tidak); skor yang digunakan adalah 0 dan 1

b. Pertanyaan diskrit (Sangat buruk sampai dengan Sangat baik); skor yang digunakan adalah

0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1.

c. Pertanyaan kontinyu; skor yang digunakan adalah mulai dari 0 hingga nilai maksimal

tertentu yang dapat berbeda-beda untuk masing-masing sel.

3. Tingkat kualitas alat ukur; pembobotan berdasar kualitas pertanyaan adalah sebagai berikut:

a. Pertanyaan Prioritas 1: 2 (dua)

b. Pertanyaan Prioritas 2: 1,5 (satu setengah)

c. Pertanyaan Prioritas 3: 1,25 (satu seperempat)

d. Pertanyaan Prioritas 4: 0,75 (tiga perempat)

Selanjutnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut, terutama untuk pertanyaan dikotomi dan pertanyaan

diskrit, dihubungkan dengan arti penting pertanyaan tersebut pagi pencapaian CG (necessary

questions atau sufficient questions). Necessary questions memiliki bobot 2 kali lebih tinggi

daripada sufficient questions. Berdasar kriteria tingkat kualitas dan arti penting pertanyaan maka

penetapan skor adalah sebagai berikut:

Kualitas Pertanyaan Arti Penting Pertanyaan Skor

12

Page 13: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

A Prioritas 1 Necessary 2 x 2 = 4b Prioritas 1 Sufficient 2 x 1 = 2c Prioritas 2 Necessary 1,5 x 2 = 3d Prioritas 2 Sufficient 1,5 x 1 = 1,5e Prioritas 3 Necessary 1,25 x 2 = 2,5f Prioritas 3 Sufficient 1,25 x 1 = 1,25g Prioritas 4 Necessary 0,75 x 2 = 1,5h Prioritas 4 Sufficient 0,75 x 1 = 0,75

Selanjutnya, untuk pertanyaan-pertanyaan memenuhi kriteria, hasil pengukuran juga

dibobotkan dengan karakteristik sekunder, yaitu apakah pertanyaan tersebut memiliki daya

banding, termasuk konsistensi. Pertanyaan yang berdaya banding diberi skor 1,5 kali lebih

tinggi daripada pertanyaan yang tidak berdaya-banding.

4. Pengukuran per sel; jumlah, jenis, maupun kualitas pertanyaan dapat berbeda-beda untuk

masing-masing sel. Namun demikian, skor akhir setiap sel harus dikonversi menjadi skor 20

untuk sel-sel penunjang, dan menjadi skor 70 untuk sel-sel utama. Skor maksimal yang

mungkin dihasilkan dalam suatu sel dikonversi menjadi skor 20 (sel penunjang) atau skor 70

(sel utama).

G. Kategori Peratingan

Berdasar akumulasi skor dari semua sel yang terdapat di matriks pengukuran maka hasil

pengukuran CG dapat dikelompokkan menjadi 5 status. Dengan asumsi menggunakan peratingan Third-

party assessment, ketentuan tentang penetapan status peratingan adalah sebagai berikut:

1. Great (Sangat Baik); jika total skor minimal 950 dari total maksimal 1000.

2. Good (Baik); jika total skor adalah antara 850 sampai dengan 949 dari total maksimal 1000.

3. Fair (Cukup); jika total skor adalah antara 750 sampai dengan 849 dari total maksimal 1000.

4. Bad (Buruk); jika total skor adalah antara 650 sampai dengan 749 dari total maksimal 1000.

5. Ugly (Sangat buruk); jika total skor kurang dari 650 dari total maksimal 1000.

H. Aplikasi Peratingan

Model peratingan CG UGM dirancang agar dapat diaplikasikan secara mudah oleh entitas. Untuk

mencapai tujuan tersebut maka aplikasi peratingan CG UGM dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:

1. Peratingan sendiri (self-assessment); aplikasi ini pada dasarnya mengukur kualitas CG entitas

yang dilakukan oleh entitas itu sendiri tanpa harus menggunakan bantuan pihak lain untuk

melakukan peratingan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada dasarnya adalah yang bersifat 13

Page 14: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

obyektif, dan mudah diverifikasi keberadaannya. Hasil peratingan ini dimaksudkan untuk self-

evaluation bagi entitas yang ingin mengetahui sejauh mana kualitas CG entitas tersebut pada

waktu tertentu.

2. Peratingan pihak ketiga (third-party assessment); aplikasi ini pada dasarnya mengukur kualitas

CG entitas yang dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu pihak eksternal yang kompeten dan

independen. Di samping menggunakan alat-alat ukur yang digunakan dalam aplikasi peratingan

sendiri, peratingan pihak ketiga ini juga menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya

diperoleh melalui riset yang detail oleh lembaga yang kompeten dan independen. Pihak ketiga

mengumpulkan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Kontinyu yang membutuhkan

jawaban melalui riset, dan mengecek kesesuaian antara jawaban dari pertanyaan-pertanyaan

dikotomi dan diskrit dengan kondisi praktik yang sesungguhnya.

Oleh karena aplikasi peratingan self-assessment (sendiri) merupakan sebagian dari peratingan pihak

ketiga maka penetapan skor untuk aplikasi peratingan sendiri lebih kecil dibanding skor untuk peratingan

pihak ketiga. Juga, status peratingan antara aplikasi peratingan sendiri dan aplikasi pihak ketiga berbeda.

Total skor maksimal dari pengukuran kualitas GCG untuk aplikasi peratingan sendiri adalah 600

poin yang merupakan 60% dari total skor maksimal dari aplikasi peratingan pihak ketiga (1000 poin).

Dengan demikian, penetapan skor maksimal untuk masing-masing sel juga disesuaikan, yaitu 10 sel

utama yang masing-masing sel terdiri dari total skor maksimal sebesar 42 (60% dari 70), dan 15 sel

penunjang yang masing-masing sel terdiri dari total skor maksimal sebesar 12 (60% dari 20).

Status final untuk aplikasi peratingan sendiri dapat diklasifikasi sebagai berikut:

a. Look great (nampak bagus sekali); jika total skor yang dicapai minimal 570 poin.

b. Look good (nampak bagus); jika total skor yang dicapai 510 sampai dengan 569 poin.

c. Look fair (nampak cukup); jika total skor yang dicapai 450 sampai dengan 509 poin.

d. Look bad (nampak buruk); jika total skor yang dicapai 390 sampai dengan 449 poin.

e. Look ugly (nampak buruk sekali); jika total skor yang dicapai kurang dari 390 poin.

I. Jenis Model Pengukuran

Model peratingan kualitas CG UGM juga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang tepat-guna

bagi entitas yang ada. Oleh karena itu, model pengukuran CG UGM harus dirancang agar perusahaan-

perusahaan Indonesia dapat secara cost-effective memenuhi status tertinggi dalam pengukuran GCG, yaitu

Great (Sangat Baik) ataupun Look Great (Nampak Sangat Baik). Oleh karena itu, UGM merancang 2

jenis model pengukuran sebagai berikut:

14

Page 15: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

1. Model Taktis; model ini dirancang untuk mengukur kualitas CG perusahaan-perusahaan yang

sekarang ini beroperasi. Model ini diharapkan dapat mengukur kualitas CG perusahaan secara

realistis, dan mendorong entitas untuk dapat secara cost-effective meningkatkan kualitas CG.

2. Model Strategis; model ini dirancang untuk mengukur kualitas CG perusahaan-perusahaan di

masa datang. Model ini diharapkan dapat diberlakukan di masa datang seiring dengan semakin

tingginya tingkat kesadaran entitas terhadap arti penting CG. Disamping berisi alat-alat ukur yang

digunakan di model Taktis, model Strategis menambahkan alat-alat ukur yang merepresentasikan

tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh CG.

Perbedaan antara model Taktis dan model Strategis terutama bermuara dari cakupan 5 dimensi yang

menjadi fokus pengukuran di model CG UGM.

Dalam jangka panjang, untuk kepentingan strategis, model pengukuran kualitas CG UGM

seharusnya mencerminkan pencapaian tertinggi yang diharapkan oleh masing-masing dimensi, yaitu:

1. Pihak yang memperoleh manfaat CG seharusnya adalah stakeholders, tidak hanya stockholders.

2. Tingkat kedisiplinan seharusnya sudah mencapai tingkat comformance, tidak hanya compliance.

3. Intensitas penggunaan TI seharusnya mencapai tingkat intensitas yang tinggi.

4. Jenis informasi yang diukur seharusnya juga bersifat keuangan, tidak hanya non-keuangan.

5. Implementasi CG seharusnya ketentuan-ketentuan yang berlandas pada prinsip-prinsip berterima

umum (principles-based approach), tidak sebatas berbasis ketentuan (rules-based approach).

Pengembangan model Taktis juga mendasarkan kelima dimensi cakupan alat ukur CG di atas.

Namun demikian, pencapaian yang ingin dicapai harus disesuaikan dengan tingkat kesadaran entitas atas

CG di masa sekarang ini. Oleh karena itu, fokus model Taktis pengukuran CG perusahaan-erusahaan di

Indonesia ditetapkan sebagai berikut:

1. Pihak yang memperoleh manfaat adalah stakeholders, terutama adalah pemegang saham, pihak

internal, dan pengguna langsung jasa/produk perusahaan.

2. Tingkat kedisiplinan yang diukur adalah masih pada tingkat compliance terhadap ketentuan,

hukum, maupun best practices yang berlaku sekarang dan yang memberi kontribusi jangka

panjang.

3. Intensitas pemanfaatan TI ditetapkan pada tingkatan Sedang Menuju Tinggi.

4. Jenis informasi yang diukur bersifat non-keuangan ditambah sebagian kecil informasi keuangan.

5. Fleksibilitas implementasi ketentuan GCG masih menggunakan rules-based approach, kecuali

untuk beberapa ketentuan yang penting dan krusial menggunakan principles-based approach.

15

Page 16: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

VII. KESIMPULAN DAN KETERBATASAN MODEL

CGCG Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada saat ini sedang mengembangkan

model CG dan model peratingan CG. Kedua model CG yang dikembangkan UGM dirancang agar dapat

bersifat universal, dan dapat diaplikasikan untuk peratingan di masa sekarang yang sekaligus dapat

dikembangkan untuk peratingan CG di masa datang. Model peratingan CG UGM ini dilakukan melalui

riset empiris, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, untuk dapat mengukur CG organisasi secara

komprehensif.

Terdapat 2 perspektif utama dalam pengukuran CG UGM, yaitu perspektif partisipan, dan

perspektif prinsip. Partisipan yang terlibat dalam pencapaian CG meliputi dewan direksi (board of

directors), pejabat eksekutif, dewan komisaris/komisaris (board of commissioners/committees), auditor,

dan para pemangku kepentingan (stakeholders). Kelima partisipan tersebut memberi kontribusi dalam

pencapaian CG berdasar fungsi masing-masing. Selanjutnya, prinsip-prinsip CG yang digunakan oleh

model CG UGM meliputi Transparency, Accountability & Responsibility, Responsiveness, Independence,

dan Fairness. Berdasar 2 perspektif tersebut maka selanjutnya dapat disusun alat-alat ukur yang valid dan

andal dalam rangka penilaian CG organisasi.

Model peratingan CG UGM diharapkan dapat dilakukan secara mudah oleh perusahaan. Oleh

karena itu, terdapat 2 jenis aplikasi peratingan CG UGM, yaitu self-assessment yang dapat dilakukan

sendiri oleh perusahaan yang diukur, dan third-party assessment yang dilakukan oleh pihak kompeten dan

independen. Selanjutnya, model pengukuran CG UGM dirancang untuk memenuhi kebutuhan terhadap

pengukuran CG di masa sekarang, sekaligus dirancang untuk dapat dikembangkan secara dinamis untuk

memenuhi kebutuhan terhadap pengukuran CG di masa datang.

B. Keterbatasan Model

CGCG menawarkan model peratingan CG yang universal yang diharapkan dapat berlaku di

berbagai entitas yang berbeda-beda. Karena pertimbangan skala prioritas, model pengukuran CG UGM

yang dibahas di sini lebih memfokuskan pada pengukuran CG untuk perusahaan-perusahaan yang

terdaftar di pasar modal (perusahaan publik) di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, model pengukuran

CG UGM ini menuntut dilakukannya pengembangan dan penyesuaian, tanpa harus mengubah rerangka

dasar, jika organisasi selain perusahaan publik berharap untuk dapat mengukur CG menggunakan model

peratingan CG UGM ini.

Kami berpendapat bahwa sebagai sebuah sistem, pengembangan CG seharusnya mendasarkan pada

3 pilar utama, yaitu pilar pengetahuan yang mapan (bisa jadi salah satunya adalah matematika), pilar

kedua yang disebut prinsip-prinsip dasar, dan pilar ketiga yang disebut rancang-bangun. Namun

16

Page 17: Pemodelan dan Peratingan CG UGM

demikian, model pengukuran CG UGM masih lebih memfokuskan pada pilar prinsip-prinsip dasar dan

dalam beberapa hal pada pilar rancang-bangun. Sejauh ini CGCG berusaha untuk menemukan pilar

pertama. Oleh karena itu, model peratingan CG UGM harus dikembangkan secara lebih optimal untuk

dapat mengukur CG perusahaan secara komprehensif yang sesungguhnya. Namun demikian, penggunaan

riset empiris yang komprehensif diharapkan dapat mengkompensasi kekurangan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anand, S. 2008. Essentials of Corporate Governance. First Edition. John Wiley & Sons, Inc.

Arafat, W. dan E. Waluyo. ”Filbert-Deo” Governance Indexing & Rating System: Model Integratif Pengukuran Indeks dan Peringkat Tata Kelola Perusahaan. Arsip CGCG.

Harvard Business Review. 2000. Harvard Business Review on Corporate Governance. Fifth Edition. Harvard Business School Press.

Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). 2006. Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia.

Lawrence, A.T., dan Weber, J. 2008. Business and Society: Stakeholders, Ethics, Public Policy. Twelfth Edition. New York: McGraw-Hill Irwin.

Leblanc, R. and J. Gillies. 2005. Inside the Boardroom: How Boards Really Work and the Coming Revolution in Corporate Governance. First Edition. John Wiley & Sons Canada, Ltd.

Luo, Y. 2007. Global Dimensions of Corporate Governance. First Edition. Blackwell Publishing Ltd.

O’Brien, J. 2005. Governing the Corporation: Regulation and Corporate Governance in an Age of Scandal and Global Markets. First Edition. John Wiley & Sons, Ltd.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 2004. “OECD principles of corporate governance.” Journal of Economic Literature. Dec 2004; 42, 4; Academic Research Library pg. 1199.

Parkinson, J.E. 1994. Corporate Power and Responsibility. Oxford: Oxford University Press.

Rezaee, Z. 2007. Corporate Governance Post – Sarbanes Oxley. First Edition. John Wiley & Sons, Inc.

Solomon, J. 2007. Corporate Governance and Accountability. Second Edition. John Wiley & Sons.

Tricker, R.I. 1984. Corporate Governance: Practices, Procedures and Powers in British Companies and Their Boards of Directors. Aldershot, UK: Gower Press.

Wallace, P. and J. Zinkin. 2005. Mastering Business in Asia: Corporate Governance. First Edition. John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.

17