CG Kasus 5
-
Upload
gilang-maulana -
Category
Documents
-
view
245 -
download
0
description
Transcript of CG Kasus 5
ANALISIS PENERAPAN PRINSIP CG TENTANG TANGGUNG
JAWAB DEWAN KOMISARIS DAN DIREKSI PADA
PT. ASKRINDO
Disusun Oleh :
Ari Wahyu Hidayat
Arief Ramdani
Gilang Maulana
Mikael Wil Iskandar Siahaan
PROGRAM EKSTENSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA
2015
STATEMENT OF AUTHORSHIP
Saya/kami yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir
merupakan murni hasil dari pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang
saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.
Materi ini belum/tidak pernah dasajikan/digunakan sebagai bahan makalah/tugas pada mata
ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa saya/kami menyatakan dengan
jelas menggunakanya.
Saya/kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau
dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.
Nama : Ari Wahyu Hidayat
NPM : 1406645052
Tanda Tangan :
Nama : Arief Ramdani
NPM :
Tanda Tangan :
Nama : Gilang Maulana
NPM : 1406645430
Tanda Tangan :
Nama : Mikael Wil Iskandar
NPM : 1406645696
Tanda Tangan :
Mata Kuliah : Tata Kelola Perusahaan
Judul Makalah : Analisis Penerapan Prinsip CG Tentang Tanggung Jawab Dewan
Komisaris dan Direksi pada PT. Askrindo
Tanggal :
Dosen : Siti Nuryanah
DAFTAR ISI
STATEMENT OF AUTHORSHIP …………………………………………………….. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................ 1
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Supervisory Board System.............................................................................................. 2
2.2 The Responsibilities of The Board, Principles of Corporate Governance, OECD (2004)
........................................................................................................................................ 3
2.3 Peraturan Tentang Dewan Komisaris dan Direksi di Indonesia..................................... 4
BAB 3 RUMUSAN MASALAH
3.1 Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi pada PT Askrindo.............................. 6
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Analisis Kasus PT Askrindo........................................................................................... 8
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan...................................................................................................................... 10
5.2 Saran................................................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 12
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam penerapan good corporate governance, peran dari dewan komisaris maupun
direksi sangatlah penting untuk melakukan internal monitoring, mengingat struktur
perusahaan terbuka yang memisahkan fungsi kepemilikan dengan kontrol. Principal, yaitu
shareholders, akan mendelegasikan fungsi kontrol kepada agen untuk mengontrol
perusahaan sesuai dengan tujuan awal dan kepentingan bersama shareholders. Hal tersebut
tentunya akan menimbulkan kemungkinan adanya asymmetric information antara kedua
fungsi tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling1. Untuk meminimalisir
hal tersebut, diperlukan adanya fungsi internal kontrol yang akan menjembatani hubungan
antara manajer dengan shareholders. Nevile2 menyebutkan bahwa dewan adalah kunci dari
mekanisme internal untuk memonitor dan mendisiplinkan manajemen.
Masalah selanjutnya adalah bagaimana fungsi yang tepat dijalankan oleh para agen
tersebut? Bagaimana dewan direksi akan bekerja sama secara maksimal dengan dewan
komisaris untuk memonitor manajemen? Berkaca dari kasus besar seperti Enron atau
Worldcom, diperlukan adanya tuntunan yang tepat tentang bagaimana fungsi dari dewan
komisaris maupun direksi akan berpengaruh positif bagi pelaksanaan good corporate
governance. Dimulai dari pemilihan struktur dewan yang cocok bagi perusahaan, hingga hak
dan kewajiban dewan yang dibatasi dengan peraturan dibutuhkan untuk memastikan peran
dewan supervisi berjalan dengan baik.
Di Asia sendiri, dimana mayoritas perusahaan menganut sistem kepemilikan
terkonsentrasi, peran dari dewan komisaris dan direksi akan bisa menurunkan controlling
cost, dan akan mengarahkan ke penerapan good corporate governance. Indonesia, yang ada
didalamnya, tentunya juga membutuhkan peran dewan yang sama besar untuk mengakomodir
¹ Michael Jensen and William H Meckling, Theory of The Firm (1976)2 Nevile M., The Role of Boards In Small and Medium Size Firms, Journal of Financial Economic-Elsevier
(2011)
kepentingan para shareholders bisa tersampaikan dengan baik ke manajer, begitu pula dengan
informasi yang diberikan oleh manajer bisa didapatkan dengan mudah dan akurat oleh para
shareholder. Isu pentingnya tatanan perusahaan yang baik di Indonesia dimulai setelah
terjadinya krisis pada tahun 1997-1998. Untuk mencegah terjadinya hal yang sama,
perusahaan berlomba-lomba untuk menerapkan good corporate governance.
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Supervisory Board System
Jüergen dan Brändle dalam journalnya3 menyebutkan bahwa ada dua tipe board yang
dipakai untuk melakukan proses internal monitoring, atau supervisi, yaitu one tier dan two
tier board system. Perbedaan mendasar pada dua tipe board ini adalah; jika dalam one tier
board dewan executive dan non-executive digabung menajadi satu dan disebut board of
director, maka di sistem two tier board ada pemisahan fungsi untuk non-executive
director ,sebagai dewan komisaris, dan executive director.
2.1.1 One Tier Board
Sistem one tier board menggabungkan non-executive director dan executive director
menjadi satu sebagai board of director. Board of director berfungsi mengatur dan memonitor
peran manajemen berjalan sebagaimana mestinya, walaupun hanya executive director yang
terlibat dalam operasi setiap hari dari perusahaan. Baik non-executive maupun executive
director sama-sama dapat melakukan pengambilan keputusan di operasional perusahaan.
Pemilihan anggota board of director sendiri dilakukan tiap tahun di RUPS.
Kelebihan dari sistem ini adalah; dikarenakan tidak ada pemisah diantara executive dan
non-executive director, maka mereka bisa mendapaptkan akses yang sama terhadap
informasi, yang dampaknya bisa mempercepat proses pengambian keputusan. Hal ini juga
berakibat pada efisiensi usaha, karena semua director hanya berada pada satu badan saja.
Tetapi sistem ini akan mengurangi independensi yang ada, karena fungsi pengaturan
(managing) dan monitoring dilakukan oleh satu badan yang sama.3 Udo C. Brändle dan Jüergen Noll, The Power of Monitoring, German Law Journal (2004)
2.1.2 Two Tier Board
Berbeda dengan sistem one tier board, two tier board memisahkan non-executive dengan
executive director menjadi dua fungsi, yaitu dewan komisaris dan dewan direksi. Tugas dari
dewan direksi adalah pengambilan keputusan dalam fungsi managing perusahaan , sedangkan
dewan komisaris bertanggung jawab atas fungsi monioring dari jalannya perusahaan. Dewan
direksi terdiri dari executive member seperti CEO, CFO, dsb. Sedangkan dewan komisaris
terdiri dari non-executive independen maupun non-independen member.
Dengan menggunakan sistem two tier board ini, fungsi managing dan monitoring akan
terpisah, yang mana direksi akan berusaha mencapai kinerja yang tinggi karena merasa
diawasi oleh dewan komisaris. Selain itu masing-masing fungsi dapat menjalankan tugasnya
dengan baik, karena tidak adanya rangkap jabatan pada posisi dewan direksi dan komisaris.
Dewan komisaris juga lebih banyak diisi dengan posisi komisaris independen yang
menguatkan fungsi monitoring secara objektif.
Namun begitu, penggunaan sistem ini tetap memungkinkan adanya celah
penyelewengan, yaitu terjadinya kerja sama antara dewan direksi dan komisaris untuk
mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan pribadi, tanpa memperhatikan
kepentingan pemilik saham dan perusahaan. Hal ini bisa terjadi karena dewan komisaris
hanya bergantung pada dewan direksi untuk mendapatkan informasi perusahaan. Masalah
lainnya muncul ketika baik dewan komisaris maupun direksi memiliki jabatan di satu atau
lebih perusahaan lain. Hal ini memungkinkan permasalahan yang disebut sebagai
interlocking directorship.
2.2 The Responsibilities of The Board, Principles of Corporate Governance, OECD
(2004)
Dalam pedoman CG OECD4, prinsip keenam menyebutkan tanggung jawab dari anggota
dewan komisaris dan direksi yang seharusnya. Disebutkan bahwa dalam tata kelola
perusahaan yang baik, harus ada fungsi monitoring dari dewan kepada manajemen, dan
dewan tersebut harus mempunyai akuntabilitas terhadap perusahaan dan pemegang saham.
Tanggung jawab dewan dalam prinsip ini adalah sebagai berikut :
1 Anggota dewan diharuskan bertindak sesuai kepentingan perusahaan dan pemegang
saham.
2 Keputusan dewan harus adil terhadap semua pemegang saham.4 OECD, Principles of Corporate Governance (2004)
3 Standar etika yang tinggi dari dewan terhadap perusahaan dan pemegang saham.
4 Fungsi dari dewan yang terdiri dari; mengontrol keputusan operasional perusahaan,
memonitor pelaksanaan usaha, merencanakan sasaran strategis, memastikan
remunerasi yang sejalan dengan tujuan perusahaan, memastikan pemilihan dewan
yang transparan, menyelesaikan konflik perusahaan, memastikan integritas laporan
keuangan, dan melakukan pengungkapan.
5 Dapat memberikan pandangan objektif jika ada masalah dalam perusahaan.
6 Memiliki akses yang akurat dan relevan dalam mendapatkan informasi perusahaan.
2.3 Peraturan Tentang Dewan Komisaris dan Direksi di Indonesia
Indonesia yang menganut sistem two tier board tentunya membutuhkan pedoman yang
jelas mulai dari pemilihan hingga tanggung jawab serta wewenang dari dewan komisaris
mauppun direksi. Ada beberapa peraturan yang telah dikeluarkan dari badan seperti
Bapepam, Bank Indonesia, maupun OJK sebagai badan regulator di Indonesia. Beberapa
peraturan yang ada adalah sebagai berikut :
1 Peraturan OJK No. 33/OJK.04/2014
2 Keputusan Ketua Bapepam No. KEP-45/PM/2004
3 Keputusan Direksi PT BEI No. Kep-00001/BEI/01-2014
4 Peraturan BI No. 8/4/PBI/2006
5 Peraturan Menteri Keuangan No. 152/PMK.010/2012
6 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Dalam beberapa peraturan ini disebutkan bahwa direksi adalah organ perusahaan yang
berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perusahaan sesuai dengan
kepentingan perusahaan, sedangkan dewan komisaris adalah organ perusahaan yang bertugas
mengawasi dan memberikan saran kepada direksi.
Direksi terdiri dari minimal dua anggota (atau tiga sesuai peraturan menteri keuangan),
yang satu diantaranya adalah direktur utama. Anggota direksi dipilih melalui RUPS dengan
masa jabatan maksimal 5 tahun. Rangkap jabatan direksi dibatasi untuk menjaga
independensi direksi. Dewan komisaris juga terdiri dari minimal dua anggota, yang salah
satunya adalah dewan komisaris independen atau 30% (50% dalam peraturan BI bagi bank
umum) jika keanggotaan dewan komisaris lebih dari dua anggota, dengan satu anggota
sebagai komisaris utama. Ketentuan lainnya yang terlekat pada direksi juga melekat pada
dewan komisaris.
Komisaris independen sendiri sesuai peraturan BI No. 8/4/PBI/2006 adalah anggota
dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan
saham dan/atau hubungan kekeluargaan dengan dewan komisaris, direksi, dan/atau pemegang
saham pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk
bertindak independen. Hal ini tentu sejalan dengan pedoman CG OECD prinsip 6 sub prinsip
D nomor tiga yang lebih memfokuskan pada fungsi monitoring pada perusahaan. Untuk
menjaga hak pemegang saham yang sama, komisaris independen dipilih oleh pemegang
saham minoritas dalam RUPS, bukan pemegang saham pengendali, sesuai aturan Keputusan
Direksi PT BEI No. Kep-00001/BEI/01-2014. Tujuannya adalah untuk mendorong prinsip
fairness dan objektif dalam setiap pengambilan keputusan perusahaan, tanpa mengutamakan
kepentingan pribadi. Contoh dari tindakan fairness adalah adanya hak pemegang saham
minoritas yang tidak terdistorsi oleh kepentingan lainnya.
Lebih jauh lagi, dalam peraturan tersebut ada tanggung jawab dan wewenang dari dewan
komisaris dan direksi. Contohnya adalah bagaimana pengambilan keputusan yang baik oleh
dewan sejalan dengan kepentingan dari perusahaan dan pemegang saham dan pembatasan
wewenang yang akan berakibat pada hancurnya perusahaan. Kehati-hatian dalam
pengambilan keputusan yang didasari oleh informasi yang relevan dan akurat, yang nantinya
harus diungkapkan ke pemegang saham.
Dalam kaitannya dengan hal pengambilan keputusan yang salah, dewan komisaris perlu
berhati-hati dan dan loyal pada kepentingan pemegang saham dan perusahaan, atau fiduciary
duties. Menurut RJ Holland5, kehati-hatian yang dimaksud adalah sikap dewan yang
bertindak dengan informasi yang lengkap, beritikad baik, dengan ketekunan dan penuh
perhatian. Sedangkan loyal adalah bagaimana sikap dewan yang direfleksikan dalam
pengambilan keputusannya berdasar kepentingan pemegang saham dan perusahaan demi
kemajuan usaha.
Jika dua elemen tersebut sudah dipenuhi, baik dewan komisaris maupun direksi akan
dlindungi oleh keputusan maupun undang-undang yang berlaku. Contohnya dalam UU No.
40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, disebutkan bahwa baik direksi maupun komisaris
tidak bisa dimintai pertanggung jawaban jika ada keputusannya yang mengakibatkan
kerugian perusahaan, tetapi keputusan tersebut sudah dilaksanakan dengan penuh kehati-
hatian dan atas asas kepentingan baik perusahaan maupun pemegang saham.5 RJ Holland, Delaware Director’s Fiduciary Duties : The Focus on Loyalti, Pennsylvania Journal of Law (2009)
BAB 3
RUMUSAN MASALAH
3.1 Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi pada PT Askrindo
Tugas dari PT Askrindo sebagai salah satu BUMN adalah memberikan jaminan kredit
pada UMKM yang tidak memiliki agunan, disamping melakukan bisnis asuransi pada
umumnya seperti asuransi kredit perdagangan maupun bank. Hingga saat ini, PT Askrindo
memiliki beberapa produk yakni Asuransi Kredit, Surety Bond, Custom Bond, Asuransi
Kredit Perdagangan, Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan memberikan jaminan kredit atas
enam bank pelaksana dan 26 (dua puluh enam) Bank Pembangunan Daerah, Reasuransi, dan
Asuransi Umum seperti Asuransi Kecelakaan Diri, dan Asuransi Kebakaran.
Peran dari direksi dan komisaris di PT Askrindo yang menjadi permasalahan di
perusahaan ini. Adapun definisi direksi dan komisaris menurut UU No. 40 tahu 2007 adalah;
direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan serta mewakili perseroan, baik didalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar. Sedangkan komisaris adalah organ Perseroan yang bertugas
melakukan pengawasan secara umum/ khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi
nasihat kepada Direksi
Masalah yang mucul di Askrindo adalah ketika tahun 2005 beberapa perusahaan yang
dijamin kreditnya oleh Askrindo pada Bank Mandiri, tidak bisa membayar kreditnya. Dalam
tahapan ini perlu dipertanyakan tugas dari direksi untuk menentukan UMKM yang akan
dijamin, apakah proses pemilihan yang dilakukan sudah benar dan berdasar informasi yang
relevan dan akurat, mengingat pemilihan ketujuh UMKM tersebut dimulai sejak tahun 2002.
Selain itu peran komisaris terhadap keputusan yang diambil, dalam fungsinya sebagai
pengawas dan pemberi saran kebijakan, perlu dipertanyakan. Apakah komisaris disini sudah
melakukan tugasnya sesuai dengan yang diamanatkan oleh RUPS ?
Akibat dari kredit yang tidak bisa dilunasi oleh ketujuh UMKM yang dijamin oleh
Askrindo, Bank Mandiri melakukan penarikan kas Askrindo. Dalam perannya sebagai
pemberi kredit, langkah yang dilakukan oleh Bank Mandiri terhadap Askrindo sebagai badan
penjamin kredit dilindungi oleh undang-undang. Di titik inilah kesalahan dari direksi
Askrindo yang tidak mau dananya untuk ditarik oleh Bank Mandiri. Untuk mencegah
kehilangan dana yang cukup signifikan, Askrindo melakukan tindakan yang melanggar
peraturan dengan menyalurkan dana UMKM yang dijaminnya, kepada nasabah baik
perorangan maupun perusahaan, melalui perusahaan investasi dalam bentuk kontrak
pengelolaan dana (KPD) pada tahun 2005 dan repurchase agreement (repo) pada tahun 2008,
yang notabene tidak boleh dilakukan oleh lembaga asuransi. Hal tersebut diatur dalam
peraturan Bapepam-LK No. V.G.6 tentang perusahaan asuransi, karena KPD dan repo
bukanlah bisnis yang diperbolehkan dilakukan perusahaan asuransi.
KPD sendiri adalah pengelolaan portofolio efek untuk kepentingan investor tertentu
berdasarkan perjanjian pengelolaan dana yang bersifat bilateral dan individual, yang disusun
sesuai peraturan OJK. Dalam hal ini Askrindo berlaku ‘seperti’ investor dimana Askrindo
menjaminkan dana UMKM yang dijaminnya kepada manajer investasi yang nantinya akan
disalurkan ke nasabah, baik perorangan maupun perusahaan. Hal ini yang tidak
diperbolehkan dilakukan oleh lembaga asuransi dalam aturan Bapepam-LK. Sedangkan untuk
repo, yang sama-sama melanggar peraturan Bapepam-LK, pihak Askrindo menawarkan
sekuritas berupa short-term borrowing notes yang didalamnya tercantum hak untuk dibeli
kembali oleh si penerbit sekuritas tersebut.
Dari tindakan yang diambil oleh PT Askrindo, terdapat kesalahan antara manajemen
Askrindo dengan salah satu perusahaan yang dijaminnya, PT Tranka Kabel. Hal ini terlihat
karena sebelum Askrindo menyalurkan dananya melalui manajer investasi, Askrindo
melakukan pembelian promisary notes (PM) dan medium term notes (MTN) milik Tranka
UMKMPT Tranka KabelPT VitronMitra Bakti Jaya UtamaTri Kemindo MandiriTrio Sakti Mitra AbadiPT Multimegah
CV Porintdo
PT Askrindo
Bank Mandiri
MANAJER INVESTASIPT Jakarta Aset ManajemenPT Jakarta InvestmentPT Reliance Asset ManagementPT Harvestindo Asset Management
Kabel, tetapi hal tersebut tetap gagal mengembalikan dana yang diambil Bank Mandiri.
Dengan fakta bahwa PT Tranka Kabel adalah UMKM gagal bayar kredit, direksi Askrindo
masih melakukan pembelian surat sanggup bayar (PM) yang jelas-jelas tidak akan bisa
dilakukan oleh perusahaan dengan solvabilitas rendah. Tindakan ini sudah melanggar prinsip
CG OECD nomor enam sub prinsip A, karena tidak adanya kejujuran, ketekunan, kehati-
hatian, maupun memprioritaskan kepentingan pemegang saham dan perusahaan.
Pengambilan keputusan untuk menyalurkan dana pada nasabah melalui lembaga
investasi-pun adalah kesalahan direksi yang dalam mengambil keputusan, dikarenakan
informasi yang didapatkan dewan direksi bahwa UMKM yang dijaminnya tidak sehat tetapi
direksi Askrindo masih tetap menyalurkan dana UMKM tersebut lewat manajer investasi.
Disini muncul pelanggaran sub prinsip C dalam prinsip keenam pedoman CG dari OECD,
bahwa tidak adanya standar etika yang tinggi dari dewan. Kenapa dewan, karena peran
komisaris-pun perlu dipertanyakan mengingat pengambilan keputusan yang penting seperti
ini tentunya tidaklah luput dari pengamatan dewan komisaris. Seharusnya menjadi tanggung
jawab direksi untuk melakukan pengungkapan terhadap fakta yang ada kepada manajer
investasi, jika mereka akan melakukan investasi tersebut, diluar fakta bahwa investasi seperti
itu dilarang oleh peraturan yang berlaku. Dalam sub prinsip D prinsip keenam CG dari
OECD juga tidak dilakukan oleh komisaris, dimana harus ada tinjauan terhadap rencana yang
besar terkait resiko yang akan dihadapi oleh perusahaan.
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Analisis Kasus PT Askrindo
Dalam kasus Askrindo yang telah dipaparkan, jelas terlihat bahwa tidak adanya prinsip
kehati-hatian yang dipegang oleh direksi dalam penngambilan keputusan. Hal ini dikarenakan
dengan informasi yang sudah didapatkan oleh direksi, resiko yang sudah jelas, dan peraturan
yang ada, direksi maupun komisaris yang mengawasinya masih melakukan pengambilan
keputusan dengan tidak adanya itikad baik, kejujuran, maupun perhatian besar terhadap
kepentingan pemegang saham maupun perusahaan. Kesalahan pertama adalah dalam
penentuan perusahaan yang akan dijamin tidak dilakukan dengan informasi yang relevan dan
akurat. Salah satunya adalah PT Tranka Kabel yang seharusnya tidak dijaminkan kreditnya
karena masalah likuiditas, malah dijaminkan usahanya pada Bank Mandiri. Masalah
likuiditas pada perusahaan ini tentu sudah bisa dilihat, mengingat kerjasama yang dilakukan
denngan Askrindo sudah dilakukan dari tahun 2004 sampai dengan 2008. Alhasil sampai
dengan jatuh tempo, Tranka Kabel tidak bisa melunasi kredit yang diberikan.
Pengambilan keputusan yang tidak sesuai dengan prinsip GCG dan peraturan juga
terlihat disaat Askrindo akan diambil dananya oleh Bank Mandiri. Askrindo sebagai
perushaan penjamin kredit tentunya sudah paham dengan resiko seperti ini, tetapi mereka
tetap tidak mau menanggungnya. Lantas apa dasar Askrindo tidak mau menanggung kerugian
yang disebabkan oleh UMKM yang dijaminnya ? Padahal sudah jelas tertulis di beberapa
peraturan dan undang-udang, seperti POJK No. 33 maupun UU No. 40 tahun 2007, bahwa
jika memang keputusan tentang penentuan UMKM sudah dijalankan dengan benar, maka
direksi dan dewan komisaris tidak akan dimintai pertanggung jawaban menngenai kerugian
yang disebabkan oleh kredit gagal bayar UMKM tersebut. Dari tindakan yang dilakukan
seperti itu, bisa terlihat adanya keputusan yang dibuat untuk menutupi kesalahan
pengambilan keputusan sebelumnya.
Peran dewan selanjutnya bisa dipertanyakan pada saat pembelian promissory notes dan
medium term notes dari UMKM yang dijaminnya. Lagi-lagi informasi yang sudah didapat
tidak dipergunakan oleh dewan dengan itikad baik untuk kepentingan pemegang saham dan
perusahaan. Dewan direksi, dibawah saran dan pengawasan dewan komisaris, tetap
mengeluarkan keputusan tersebut yang berakibat pada gagalnya dua sekuritas tersebut
menyelamatkan kehilangan dana kas Askrindo yang cukup besar. Lain halnya jika laporan
yang diberikan oleh direksi kepada komisaris adalah laporan yang tidak benar dan
menyesatkan. Disini bisa mucul konflik antara dua fungsi executive, dimana komisaris sudah
melakukan tugasnya dengan benar, sedangkan direksi memberikan pernyataan yang
menyesatkan dan tidak benar. Jika yang muncul demikian, prinsip CG dalam OECD
mengatur bahwa untuk mengatasi masalah perusahaan, dewan harus bertindak objektif dan
mengeluarkan keputusan yang independen berdasar kepentingan perusahaan.
Kesalahan dewan selanjutnya adalah pelanggaran terhadap standar etika bisnis yang
tinggi, saat tidak melakukan pengungkapan atas fakta bahwa UMKM yang akan disalurkan
dananya melalui manajer investasi mengalami masalah likuiditas maupun solvabilitas terkait
kredit kepada Bank Mandiri melalui Askrindo. Bentuk investasi yang dilakukan juga
merupakan pelanggaran peraturan Bapepam-LK terkait perusahaan asuransi. Padahal peran
dewan komisaris menurut pedoman GCG dari KNKG, salah satunya adalah memastikan
perusahaan memiliki strategi bisnis yang efektif. Dalam kasus ini strategi yang diambil
tentuah tidak efektif, mengingat penyaluran dana dari perusahaan tidak sehat tidak akan
menghasilkan keuntungan apapun, ditambah dengan bentuk investasi yang melanggar
peraturan.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penerapan CG yang baik dalam lingkup dewan sebagai organ perusahaan, adalah dewan
harus memiliki prinsip kehati-hatian, yaitu berdasar informasi yang relevan dan akurat,
ketekunan, kejujuran, beritikad baik, dan penuh perhatian. Keputusan yang diambil juga
haruslah berdasar kepentingan perusahaan dan pemegang saham, sebagai pemilik perusahaan,
tanpa mengabaikan peraturan yang berlaku.
Dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang PT pasal 105 ayat 1, dijelaskan bahwa keputusan
RUPS dalam melakukan pemberhentian direksi dapat dilakukan jika direksi tersebut
melakukan tindakan yang merugikan perusahaan (perseroan). Peraturan ini juga terdapat
dalam Peraturan Bapepam LK No IX.I.6 mengenai Direksi dan Komisaris Emiten dan
Perusahaan Publik bahwa Direksi bertanggung jawab secara pribadi maupun tanggung
renteng atas pernyataan tidak benar mengenai fakta material ataupun tidak diungkapkannya
fakta tersebut dan Direksi dan Komisaris dapat diminta pertanggung jawabannya apabila
pihak yang bersangkutan tidak hati-hati dalam menyampaikan pernyataan tersebut. Oleh
karena keputusan investasi yang melanggar hukum dan tidak diungkapnya fakta kepada
manajer investasi, Dewan direksi dan komisaris Askrindo bisa untuk diberhentikan sesuai UU
No. 40 pasal 105 ayat 1, peraturan Bapepam-LK No. V.G.6, dan No. IX.I.6.
Dalam kasus Askrindo, jika kita hubungkan dengan prinsip CG nomor enam, maka ada
beberapa kesalahan dewan yang dilakukan. Pertama yaitu dewan tidak mengindahkan etika
bisnis yang tinggi dalam keputusannya. Hal itu terjadi ketika UMKM yang bermasalah malah
ditawarkan untuk menjadi peluang investasi pada manajer invetasi yang ada. Kedua yaitu dari
dewan komisaris yang tidak melakukan review atas kebijakan yang salah yang telah diambil
oleh dewan direksi. Atas keputusan direksi melakukan penyaluran dana dalam bentuk KPD
dan repo selama bertahun-tahun, tidak ada tindakan penyelamatan dari dewan komisaris
sebagai pengawas dan pemberi saran bagi manajemen dan direksi. Padahal dalam prinsip CG
OECD dijelaskan bahwa perubahan keputusan bisa diambil jika memang keputusan yang
diambil tidak effective. Ketiga adalah tidak adanya pengawasan dan pengelolaan pada saat
terdapat konflik kepentingan yang melibatkan direksi dengan Tranka Kabel.
Jika kita melihat struktur dewan di Askrindo, standar pemilihan anggota dewan sudah
memenuhi standar yang disyaratkan, background dari para direksi sudah pas dengan
wewenang yang mereka miliki. Peraturan lainnya terkait independensi, seperti menjadi
komisaris maupun direksi di perusahaan lain, juga sudah dilaksananakan. Yang belum ada
adalah fungsi monitoring terhadap kebijakan dewan direksi yang dimonitor oleh dewan
komisaris.
5.2 Saran
Untuk mengatasi adanya fungsi dewan yang tidak berjalan pada perusahaan, seharusnya
dalam pemilihan dewan dilakukan dengan hati-hati, mengingat pentingnya fungsi dewan.
Standar yang tinggi pada saat fit and proper test bisa menjadi filter awal untuk melakukan
tindakan pencegahan. Adanya komite nominasi maupun remunerasi, yang pada saat itu belum
ada, bisa menjadi solusi, sesuai dengan sub prinsip D prinsip keenam CG OECD. Selanjutnya
fungsi dewan komisaris harus diawasi oleh organ lain, tidak hanya komite audit, seperti
auditor eksternal yang independen untuk mencegah adanya penyalahgunaan wewenang. Jika
sudah dilakukan dengan benar, fungsi monitoring dari komisaris dan manajemen dari direksi
akan berjalan dengan baik.
BAB 6
DAFTAR PUSTAKA
Undang Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Peraturan Bapepam LK No IX.I.6
Peraturan Bapepam LK No V.G.6
Peraturan OJK No. 33/OJK.04/2014
Keputusan Ketua Bapepam No. KEP-45/PM/2004
Keputusan Direksi PT BEI No. Kep-00001/BEI/01-2014
Peraturan BI No. 8/4/PBI/2006
Peraturan Menteri Keuangan No. 152/PMK.010/2012
OECD, Principles of Corporate Governance (2004)
Michael Jensen and William H Meckling, Theory of The Firm (1976)
Udo C. Brändle dan Jüergen Noll, The Power of Monitoring, German Law Journal
(2004)
Nevile M., The Role of Boards In Small and Medium Size Firms, Journal of Financial
Economic-Elsevier (2011)
RJ Holland, Delaware Director’s Fiduciary Duties : The Focus on Loyalti, Pennsylvania
Journal of Law (2009)
wikipedia.com
ojk.go.id
okezone.com
news.detik.com
nasional.kompas.com