Pembahasan Eudemonisme

9
1 April 1, 2014 PENGANTAR 1. Plato Pertanyaan dasar bagi para filosof moral Yunani kuno adalah pertanyaan tentang hidup yang tepat : Bagaimana sebaiknya orang bijak harus hidup? mereka menjawab : orang bijak harus hidup sedemikian rupa sehingga ia mencapai yang baik. maka pertanyaan berikutnya yang muncul dalam logika etika Yunani adalah : Apa itu baik? Akan tetapi apa arti dari pertanyaan itu menurut Spaemann (1990,18) masalah ini sudah dirumuskan dengan tepat oleh Plato. "Yang Baik" adalah idea tertinggi. Manusia mencapai yang baik bagi dirinya apabila ia, dalam theoria, merentangkan diri ke idea tertinggi itu. Dalam "memandang" itu terletak kebahagiaan manusia. Perlu diketahui pula bahwasanya bahasa Yunani menyediakan dua kata, yaitu agathon, "yang baik", dan kalon, "yang indah". Dimana "yang baik" dimaksudkan dalam arti "yang pantas dicari", sedangkan "yang indah" adalah "yang luhur". Plato ingin memperlihatkan bahwa "yang indah", jadi yang baik pada dirinya sendiri tanpa kaitan dengan kecenderungan manusia, adalah baik dalam arti pemenuhan kecenderungan atau kepentingan manusia yang sebenar-benarnya. Karena dengan memandang baik pada dirinya sendiri, keterarahan inti hakikat manusia - jiwanya, yang berasal dari alam idea sendiri - sampai pada kebenarannya. Bagi yang mencintai kebijaksanaan, tak ada perpisahan sama sekali antara yang baik pada dirinya sendiri dan yang baik baginya, antara khalon dan agathon, antara keutamaan dan kebahagiaan. 2. Aristoteles. Akan tetapi, kesadaran Plato tidak dipertahankan. Sama dengan seluruh etika Yunani, Aristoteles berpendapat bahwa hidup yang bijaksana adalah hidup yang menghasilkan eudaimonia, kebahagiaan. Mengikuti Plato, Aristoteles melihat bahwa kebahagiaan tercapai apabila manusia merealisasikan dirinya. Akan tetapi, karena paham Aristoteles tentang manusia lain daripada Plato, etikanya menjadi lain pula. Menurut Aristoteles, manusia mendua. Ia berpartisipasi pada nous atau logos ilahi. Maka, bagi Aristoteles pun kebahagiaan tertinggi yang dapat dicapai manusia adalah theoria, memandang hal-hal abadi, filsafat. Tetapi manusia bukan hanya makhluk ber-logos. Maka baginya filsafat hanya dapat menjadi semacam kegiatan hari libur. Kekhasan manusia-yang membedakannya dari dewa maupun binatang-adalah bahwa dia itu zoon politikon. Artinya, ia makhluk yang hanya dapat mengembangkan diri melalui praksis, melalui komunikasi dalam lingkungan- lingkungan sosial manusia di mana yang paling luas adalah polis. Maka kebahagiaan yang lebih sesuai dengan kondisi manusia terletak dalam praksis, partisipasi komunikatif dalam urusan bersama polis.

description

Eudemonisme merupakan salah satu filsafat moral. Berasal dari kata “ Eudaimonia” yang berarti kebahagiaan. Pandangan ini dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles (384-322 S.M) dalam bukunya Ethika Nikomakheia

Transcript of Pembahasan Eudemonisme

Page 1: Pembahasan Eudemonisme

1 April 1, 2014

PENGANTAR

1. Plato

Pertanyaan dasar bagi para filosof moral Yunani kuno adalah pertanyaan tentang

hidup yang tepat : Bagaimana sebaiknya orang bijak harus hidup? mereka menjawab : orang

bijak harus hidup sedemikian rupa sehingga ia mencapai yang baik. maka pertanyaan

berikutnya yang muncul dalam logika etika Yunani adalah : Apa itu baik?

Akan tetapi apa arti dari pertanyaan itu menurut Spaemann (1990,18) masalah ini

sudah dirumuskan dengan tepat oleh Plato. "Yang Baik" adalah idea tertinggi. Manusia

mencapai yang baik bagi dirinya apabila ia, dalam theoria, merentangkan diri ke idea tertinggi

itu. Dalam "memandang" itu terletak kebahagiaan manusia. Perlu diketahui pula bahwasanya

bahasa Yunani menyediakan dua kata, yaitu agathon, "yang baik", dan kalon, "yang indah".

Dimana "yang baik" dimaksudkan dalam arti "yang pantas dicari", sedangkan "yang indah"

adalah "yang luhur". Plato ingin memperlihatkan bahwa "yang indah", jadi yang baik pada

dirinya sendiri tanpa kaitan dengan kecenderungan manusia, adalah baik dalam arti

pemenuhan kecenderungan atau kepentingan manusia yang sebenar-benarnya. Karena

dengan memandang baik pada dirinya sendiri, keterarahan inti hakikat manusia - jiwanya,

yang berasal dari alam idea sendiri - sampai pada kebenarannya. Bagi yang mencintai

kebijaksanaan, tak ada perpisahan sama sekali antara yang baik pada dirinya sendiri dan yang

baik baginya, antara khalon dan agathon, antara keutamaan dan kebahagiaan.

2. Aristoteles.

Akan tetapi, kesadaran Plato tidak dipertahankan. Sama dengan seluruh etika

Yunani, Aristoteles berpendapat bahwa hidup yang bijaksana adalah hidup yang

menghasilkan eudaimonia, kebahagiaan. Mengikuti Plato, Aristoteles melihat bahwa

kebahagiaan tercapai apabila manusia merealisasikan dirinya. Akan tetapi, karena paham

Aristoteles tentang manusia lain daripada Plato, etikanya menjadi lain pula. Menurut

Aristoteles, manusia mendua. Ia berpartisipasi pada nous atau logos ilahi. Maka, bagi

Aristoteles pun kebahagiaan tertinggi yang dapat dicapai manusia adalah theoria, memandang

hal-hal abadi, filsafat. Tetapi manusia bukan hanya makhluk ber-logos. Maka baginya filsafat

hanya dapat menjadi semacam kegiatan hari libur. Kekhasan manusia-yang membedakannya

dari dewa maupun binatang-adalah bahwa dia itu zoon politikon. Artinya, ia makhluk yang

hanya dapat mengembangkan diri melalui praksis, melalui komunikasi dalam lingkungan-

lingkungan sosial manusia di mana yang paling luas adalah polis. Maka kebahagiaan yang

lebih sesuai dengan kondisi manusia terletak dalam praksis, partisipasi komunikatif dalam

urusan bersama polis.

Page 2: Pembahasan Eudemonisme

2 April 1, 2014

Akan tetapi, praksis dalam polis itu tidak mampu menghasilkan kebahagiaan yang

sebenarnya, melainkan paling-paling kita hanya dapat mendekatinya. Komunikasi dan

kegiatan politik yang paling berhasilpun tidak pernah sempurna, tidak pernah tanpa kegagalan,

kekecewaan, korban perasaan, dan sebagainya. Kebahagiaan yang kita capai dalam

kehidupan bersama selalu hanya bersifat kurang-lebih. Etika Aristoteles adalah etika seorang

realis : Hidup yang etis menjanjikan yang terbaik yang dapat dicapai manusia dalam hidup ini,

dan yang terbaik itu, apabila orangnya beruntung nasibnya, tidak terlalu buruk

3. Epikuros

Menurut Spaemann, ketajaman pemikiran Epikuros sangat membantu dalam

menentukan status quaestionis (letak persoalan) dasar eudemonisme. Epikuros terkenal

sebagai tokoh hedonisme. Tetapi hedonisme Epikuros adalah hedonisme yang canggih.

Epikuros sangat sadar bahwa mencari kenikmatan sebanyak-banyaknya tidak menghasilkan

eudaimonia. Dalam menikmati perlu tahu diri. Maka, yang lebih penting daripada mencari

kenikmatan adalah menghindari perasaan sakit. Cita-cita Epikureanisme adalah apathia,

keadaan dimana kita tidak menderita. Da satu hal yang sangat penting baik dalam menikmati

apa yang dapat dinikmati, maupun dalam mengusahakan apathia : Kenikmatan maupun

kebebasan dari penderitaan tidak mungkin apabila kita mengizinkan faktor waktu masuk ke

dalam kesadaran. Kenikmatan hanya dapat dinikmati sesaat, dan hanya kalau kita melupakan

masa lampau (dimana banyak hal yang membuat kita sedih) serta tidak memikirkan masa

depan (dimana banyak hal yang membuat kita takut). Berpeganglah pada saat sekarang,

itulah patokan Epikuros. Hedonisme konsekuen hanya mungkin apabila kita secara knsekuen

menjadi orang yang ahistoris, yang hidup semata-mata untuk sesaat itu, dengan

mengecualikan segala refleksi atas hidup kita (1990,45).

4. Stoa

Stoa - yang etikanya sangat berpengaruh di dunia Barat - mengambil sikap yang

berkebalikan. Bertolak dari pengertian bahwa manusia adalah makhluk dalam waktu, ia sadar

bahwa kenikmatan sesaat tidak menjamin kebahagiaan. Menurut Stoa, manusia itu bahagia

apabila kehidupannya berhasil, dan kehidupannya berhasill apabila ia dapat mempertahankan

diri. Tetapi mempertahankan diri oleh Stoa tidak diartikan secara naturalistik, sebagai survival

manusia individual. Karena manusia pun merupakan unsur dalam tatanan semesta itu.

Manusia makin beridentifikasi dengan keseluruhan, makin ia mencapai autarkia, kemandirian,

dimana ia tidak dapat mengalami sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.

Semuanya sesuai dengan kehendak manusia karena ia menyesuaikan diri dengan semuanya.

Cita-cita ini adalah ataraxia, ketakterkejutan. Dalam atarxia itu manusia bahasia, dan ia

Page 3: Pembahasan Eudemonisme

3 April 1, 2014

bahagia apabila apapun yang dialaminya itu sesuai dengan kehendaknya. Stoa juga tidak

tanggung-tanggung dalam kesimpulannya : Stoa tahu bahwa ada hal-hal yang tidak dapat kita

setujui, yang tidak dapat kita asimilasikan secara "stoikal", maka jalan keluar terakhir untuk

mempertahankan autarkia atau ataraxia adalah bunuh diri. Bunuh diri termasuk opsi rasional

terakhir dalam etika Stoa (dan sekurang-kurangya tiga tokoh Stoa : Zenon, Kleanthes dan

Seneca, memang melakukan bunuh diri) (1990,60).

PEMBAHASAN

1. Sekilas tentang Aristoteles

Aristoteles lahir di Stagira putra Nikomakhus, seorang tabib yang bekerja sebagai

tabib pribadi raja Amyntas III dari Makedonia pada tahun 384 SM. Ia pergi ke Athena pada

tahun 367 SM demi keamanan dan untuk belajar, mengingat Amyntas dibunuh tahun 369 SM

dan Nikomakhus juga wafat. Ia belajar kepada Plato selama 20 tahun. Pada tahun 348/347

SM Aristoteles meninggalkan Athena menuju Atarneus karena alasan adanya sentimen anti-

Makedonia karena dikuasainya Olynthus, sebuah kota yang bersekutu dengan Athena. 347-

345 SM ia bergabung dengan Erastus dan Koriskus dengan perlindungan penguasa Hermias.

Mereka ditempatkan di Assos dan Aristoteles menikah dengan Pythias, salah seorang

kemenakan Hermias. Tahun 345/344 SM ia pindah Mytilene di Lesbos kemudian pindah ke

Makedonia (343/2 SM). Ia menjadi pendidik Iskandar Agung muda putra raja Philippus dari

Makedonia. Ia kembali ke Athena pada tahun 335 SM dan membangun sekolah namanya

Lykaion. Sepeninggal Iskandar Agung, Aristoteles meninggalkan Athena dan pergi ke Kalkis

di Euboea. Hal ini dikarenakan pemberontakan orang Athena terhadap makedonia. Aristoteles

difitnah menyebarkan ateisme. Pada tahun 322 SM Aristoteles wafat di Kalkis.

Aristoteles merupakan filsuf yang mencari kebenaran di dalam alam ini. Hal inilah

yang membedakannya dari gurunya Plato. Aristoteles tidak sependapat dengan gagasan Plato

tentang adanya dunia idea yang sempurna dan tak berubah. Memang Plato berhasil

menjawab kebingungan mengenai hubungan antara dunia yang berubah dan dunia yang tak

berubah, namun ia jatuh pada penempatan dunia idea sebagai yang dunia “real” atau

sebenarnya. Ajaran Plato tentang dunia idea merupakan interpretasi yang salah terhadap

kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal

empiris. Dengan kemampuan akal budi manusia membentuk abstraksi dari realitas empiris.

Aristoteles menginsafi bahwa manusia memiliki kemampuan bawaan, bukan pengetahuan

bawaan yang dipikirkan dalam filsafat Plato. Kemampuan bawaan itu menerima aktualisasinya

dengan pengalaman inderawi. Orang melihat kucing satu dan kucing yang lain, yang berbeda.

Kemudian manusia menyusun kategori-kategori tentang kucing.

Page 4: Pembahasan Eudemonisme

4 April 1, 2014

2. Eudemonisme

Eudemonisme berasal dari kata “ Eudaimonia” yang berarti kebahagiaan. Pandangan

ini berasal dari filsuf terbesar Yunani, Aristoteles (384-322 s.M). Dalam bukunya, Ethika

Nikomakheia, ia mulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia

mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap perbuatan kita ingin mencapai

sesuatu yang baik bagi kita. Seringkali kita mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan

lain lagi. Misalnya, kita minum obat untuk bisa tidur dan kita tidur untuk dapat memulihkan

kesehatan. Timbul pertanyaan apakah ada juga tujuan yang dikejar karena dirinya sendiri dan

bukan karena sesuatu yang lain lagi: apakah ada kebaikan terakhir yang tidak dicari demi

sesuatu yang lain lagi. Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan

tertinggi ini - dalam terminologi modern kita bisa mengatakan : “makna terakhir hidup manusia

- adalah kebahagiaan (eudaimonia)”. Tapi jika semua orang mudah menyepakati kebahagiaan

sebagai tujuan terakhir hidup manusia, itu belum memerlukan semua kesulitan, karena

dengan kebahagiaan mereka mengerti banyak hal yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan

bahwa kesenangan adalah kebahagiaan, ada yang berpendapat bahwa uang dan kekayaan

adalah inti kebahagiaan dan ada pula yang menganggap status sosial atau nama baik sebagai

kebahagiaan. Tapi Aristoteles beranggapan bahwa semua hal itu tidak bisa diterima sebagai

tujuan terakhir. Kekayaan misalnya paling-paling bisa dianggap tujuan untuk mencapai suatu

tujuan lain. Karena itu masih tetap muncul pertanyaan: Apa itu kebahagiaan?.Dimana dan

bagimana mencapai kebahagiaan?

3. Menuju Eudemonisme - Apa itu Kebahagiaan?

Dalam menjawab pertanyaan ini berbeda antara pemikiran Plato dan Aristoteles (idea

dan empiris), di mana Plato meletakan pencapaian kebahagiaan itu di dunia idea dan dengan

cara kembalinya atau menyatunya manusia dengan idea. Sedangkan Aristoteles

meletakkannya di dunia “ini” dan dengan cara mengembangkan potensi (hakikat) manusia

dalam sebuah polis. Aristoteles menjelaskan “Bila kita menyatakan bahwa fungsi manusia

adalah suatu bentuk kehidupan tertentu, dan mendefinisikan bentuk kehidupan itu sebagai

penggunaan daya kemampuan dan aktivitas jiwa dalam kaitannya dengan prinsip rasional,

dan mengatakan bahwa fungsi dari seseorang yang baik adalah melakukan aktivitas-aktivitas

ini dengan baik dan benar, dan bila suatu fungsi dilaksanakan dengan baik apabila ia

dilaksanakan sesuai dengan kesempurnaannya masing-masing – dari premis-premis ini

dapatlah dikatakan bahwa - Kebaikan manusia adalah pelaksanaan secara aktif kemampuan-

kemampuan jiwanya sesuai dengan kesempurnaan atau kebajikan, atau bila ada beberapa

Page 5: Pembahasan Eudemonisme

5 April 1, 2014

kesempurnaan atau kebajikan manusia, sesuai dengan yang terbaik dan yang paling

sempurna di antara semuanya”. Kebahagiaan terdapat dalam kegiatan kita di mana dengan

aktif kita mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam manusia. Potensi-potensi yang

dikembangkan harusnya adalah potensi khas (yang hanya dimiliki oleh manusia) manusia.

Aktivitas yang membawa kepada kebahagiaan ialah aktivitas yang khusus dan mengakibatkan

kesempurnaannya. Sesuatu mencapai kesempurnaan bukan hanya karena ia memiliki potensi

saja namun karena potensi itu telah mencapai aktualisasinya. Kebahagiaan harus disamakan

dengan suatu aktivitas, bukan hanya dengan potensialitas saja. Yang khas manusia ialah akal

budi , rasio. Jadi kebahagiaan itu ada dalam kegiatan yang menggiatkan, yang dengannya

menjadi berkembangnya, bagian jiwa kita yang berakal budi. Jiwa adalah aktus pertama yang

menyebabkan tubuh menjadi tubuh yang hidup. Dalam kebahagiaan itu, harusnya, terjadi pula

perasaan senang (pleasure) atau perasaan bahagia yang subyektif. Memang tidak dapat

disamakan kebahagiaan dengan kesenangan, namun itu merupakan unsur yang mengikuti.

Merasa senang dalam kebahagiaan, yakni dalam pengaktualisasian potensi manusiawi.

Manusia dapat bahagia bukan dengan jalan pasif, melainkan aktif dan yang harus diaktifkan

adalah kemampuan khas manusia, akal budi.

Apakah kita akan bahagia? Aristoteles menjawab “itu tergantung dari pola hidup yang

dijalani”. Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa ada tiga pola hidup manusia yakni pola hidup

mengejar nikmat, pola hidup politis (hidup aktif dengan berpartisipasi dalam kehidupan polis –

praxis) dan pola hidup kontemplatif (filosof – theoria). Aristoteles mengakui dua pola hidup

terakhir sebagai pola hidup yang mengarahkan manusia kepada kebahagiaan, tujuan akhir.

Aristoteles tidak menolak perasaan nikmat sabagai tujuan, namun itu tidak dapat dikatakan

sebagai tujuan terakhir. Dengan kata lain manusia akan mencapai kebahagiaan dalam hidup

“politis” (sosial-etis) dan dalam filsafat. Praxis adalah kehidupan etis yang terwujud melalui

partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Memang praxis adalah segala tindakan yang

dilakukan demi dirinya sendiri. Namun praxis yang terpenting adalah partisipasi dalam

kehidupan komunitas. Karena manusia adalah mahkluk sosial (zoon politikon), ia dapat

menemukan dirinya dan menggiatkan potensinya dalam masyarakat. Tindakan-tindakan itu

dilakukan dalam struktur masyarakat demi kehidupan yang baik. Theoria merupakan tindakan

yang berupaya memandang realitas-realitas rohani yang dimungkin hanya dengan

menggunakan bagian manusia yang roh. Manusia adalah zoon logon echon. Maka

kebahagiaan tercapai apabila manusia menggiatkan akal budi baik secara murni dalam

kontemplasi filosofis dan dengan secara aktif melibatkan diri dalam kehidupan komunitas.

Berarti ada dua aktivitas, yang dipandang oleh Aristoteles, yang dalam aktivitasnya

menggiatkan akal budinya.

Karena yang ditekankan mengenai tindakan atau kegiatan manusia maka mau tidak

mau harus berbicara pula tentang keutamaan. Agar manusia sungguh-sungguh bahagia

Page 6: Pembahasan Eudemonisme

6 April 1, 2014

bukan hanya sekedar melakukan aktivitas belaka, namun juga seturut dengan keutamaan.

Yang bukan hanya dilakukan beberapa saat saja namun dalam jangka waktu yang panjang

(dalam pengalaman). Aristoteles menegaskan bahwa keutamaan-keutamaan bisa rusak

karena sikap-sikap ekstrem. Ekstrem pertama ialah sikap berlebihan dan ekstrem satunya

sikap yang kurang. Misalnya tentang kebenarian. Sebuah keberanian merupakan jalan tengah

antara takut dan nekad. Takut merupakan kekurangan keberanian sedangkan nekat (terlalu

berani) sehingga melakukan apapun yang tidak dipikirkan dengan seksama. Pandangannya

disebut “jalan tengah” (the golden mean). Selanjutnya ia menjelaskan mengenai keutamaan,

dalam hal memiliki keutamaan dengan melakukan tuntutan keutamaan, terdapat “lingkaran

setan”. Lingkaran setan dalam artian bahwa tidak dapat diandaikan mana yang lebih dulu

antara memiliki keutamaan itu ataukah melakukan sesuai dengan keutamaan. Misalnya

dengan analogi tentang ayam dan telur. Manakah yang lebih dulu antara ayam dan telur?

Dengan melakukan apa yang dituntut oleh keutamaan kita semakin memiliki keutamaan itu,

dan dengan memiliki keutamaan kita semakin mampu untuk bertindak sesuai dengan tuntutan

keutamaan. Misalnya tentang berbuat adil. Untuk menjadi adil orang harus bertindak dengan

adil, untuk bertindak adil ia harus sudah mesti adil. Hal ini menampakan bahwa kita (manusia)

punya bakat atau potensi alami untuk menjadi adil, sehingga untuk menjadi semakin adil

dengan jalan bertindak terus dengan adil. Orang bertindak adil bukan hanya dilihat dari

tindakannya yang adil namun juga dilakukan dengan sikap batin (motivasi) yang adil pula. Jadi

keutamaan bukanlah suatu emosi atau kemampuan melakukan sesuatu namun merupakan

sikap batin tetap atau disposisi. Ada dua akibat dari keutamaan yakni manusianya sendiri

menjadi baik sekaligus dapat bertindak dengan baik pula. Jadi keutamaan adalah jalan tengah

(mesotes). Jadi keutamaan-keutamaan dipahami sebagi sikap seimbang dan justru karena

itu menunjukan kematangan pada kekuatan perkembangan pribadi.

Menurut Aristoteles ada dua macam keutamaan, yakni keutamaan intelektual (aretai

dianoetikai) dan keutamaan etis (aretai etikai). Keutamaan moral (etis) merupakan suatu sikap

watak yang memampukan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrem yang

berlawanan. Hal ini tidak hanya sekali-sekali saja dilakukan namun dalam sikap hidup terus

menerus yang tetap untuk memlakukan jalan tengah. Takaran untuk menentukan jalan tengah

bagi tiap orang adalah subyektif, tidak dapat dibagi sesuai dengan aturan masing-masing.

Misalnya tentang murah hati, orang yang ekonomi lemah memberi sedekah sejumlah seribu

rupiah bagi orang minta-minta, bagi orang kaya member dengan jumlah seribu rupiah bisa

dikatakan sebagai kikir. Rasio yang menentukan pertengahan tersebut (dalam hal praktis).

Aristoteles membedakan lima keutamaan intelektual yakni akal budi (nous), kebijaksanaan

teoretis (sophia), kebijaksanaan praktis (phronesis), pengetahuan ilmiah (episteme), dan

keterampilan (techne). Keutamaan yang mengajarkan bagaimana bertindak dengan baik

adalah phronesis bukan Sophia. Aristoteles mendefinisikan phronesis sebagai disposisi atau

Page 7: Pembahasan Eudemonisme

7 April 1, 2014

sikap tetap dalam bertindak sesuai dengan pengertian benar mengenai manusia dan apa yang

baik baginya. Phronesis tidak dapat diajarkan, melainkan tumbuh dari pengalaman da

kebiasaan untuk bertindak etis. Keutamaan moral yang sejati selalu disertai dengan

kebijaksanaan praktis. Hal ini memperlihatkan bahwa kebijaksanaan tidak pernah dapat

sempurna. Hal ini didasarkan pada situasi keberadaan manusia yang senantiasa ada dalam

keserbaberubahan. Ini benar, bagaimana mungkin hal itu dipikirkan atau dipertimbangkan

secara bijaksana bila semuanya sama dan telah tetap? Tidak perlu ada kebijaksanaan. Lalu

dimana dan bagaimana menemukan atau menggali kebijaksanaan? Di dalam dan melalui

pengalaman. Etika yang ditawarkan nampak bahwa Aristoteles tidak mengemukakan

serangkaian kaidah pasti, seperti ilmu eksak, melainkan lebih sebagai “kompas” yang

menunjukan arah-arah yang ada, untuk kita berjalan sesuai dengan arah dan tujuan kita.

Aristoteles membahas kurang lebih sebelas keutamaan, yakni keberanian, penguasaan diri,

kemurahan hati, kebesaran hati budi luhur, harga diri, sikap lemah lembut, kejujuran,

keberadaban, keadilan dan persahabatn. "Dan kebahagiaan dianggap bergantung pada

kegiatan bersantai (leisure); karena kita bersibuk-sibuk supaya kita dapat bersantai, dan

berperang agar kita hidup dalam damai."

4. Menuju Eudemonisme - Aktualisasi

Bedasarkan uraian etika Aristoteles di mana ia melihat apa yang baik bagi manusia

dengan cara menarik jawabannya dari awal (asas hakiki) manusia yang menghubungkannya

dengan tujuan hakiki manusia. Dalam pandangan Aristoteles terkesan bahwa ia menaruh

pandangan “emas” terhadap manusia. Manusia memiliki apa yang disebut potensi-potensi

yang berbeda dengan mahkluk hidup lainnya. Apa yang sesuai atau baik bagi manusia ialah

“mengembangkan” apa yang menjadi asas hakiki manusia. Penjelasan dengan membedakan

ini penting, namun ada konsekuensi negatif pula, karena dengan demikian manusia akan

sadar dan terangsang untuk mencari dirinya dan mengembangkannya. Pendekatan ini

menunjukan bahwa Aristoteles berpijak di bumi ini.

Eudemonisme juga mengajarkan pula tentang pola hidup manusiawi yang

sederhana. Pola hidup yang berbeda dengan mahkluk hidup yang lain, yang khas dari

manusia. Penekanan keperbedaan ini bukan hanya pada arah individual namun juga pada

arah kolektifitas. Manusia merupakan mahkluk individu sekaligus mahkluk sosial. Memang hal

ini tidak secara eksplisit digambarkan dalam etika Aristoteles, namun kita dapat melihatnya

dari gagasannya tentang pencapaian kebahagiaan melalui dua aras yakni melalui theoria dan

praxis. Yang pertama tentunya dilakukan secara individu dan yang kedua dilakukan dalam

kehidupan masyarakat. Manusia tidak dapat menemukan dirinya hanya dengan “menyendiri”.

Dan juga manusia tidak dapat menenmukan dirinya hanya dalam “masyarakat”. Keduanya

Page 8: Pembahasan Eudemonisme

8 April 1, 2014

merupakan potensi yang ada dalam manusia. Bila manusia ingin menggiatkan potensi yang

utuh manusiawi, harusnya menyentuh dalam dua aras ini, individu sekaligus komunal.

Suatu hal yang realistis bila kita memikirkan apa itu kebahagiaan. Berkaca dari

aristoteles kebahagiaan bukan hanya berkaitan dengan perasaan senang saja. Kebahagiaan

sebagai manusia dapat diidekati dengan cara mengaktualisasikan diri dengan baik. Melakukan

yang baik dengan keutamaan-keutamaan, baik keutamaan moral (etis) maupun keutamaan

intelektual. Menuju aktualisasi potensi manusia sama dengan menuju kebahagiaan ala

Aristoteles.

5. Tinjauan terkait Eudemonisme

Pemikiran Aristoteles tentang etika tentu lebih kompleks dan berisi daripada yang

sempat diuraikan di atas. Kami terutama menguraikan pemikirannya tentang keutamaan dan

itupun hanya secara singkat. Memang benar, pemikiran tentang keutamaan adalah bagian

paling menarik dalam etikanya. Tapi ajarannya mempunyai kelemahan juga. Salah satu

kelemahan adalah bahwa daftar keutamaan yang disebut olehnya tidak merupakan hasil

pemikiran Aristoteles saja tapi mencerminkan pandangan etis dari masyarakat Yunani pada

waktu itu dan lebih khusus lagi mencerminkan golongan atas dalam masyarakat Athena

tempat Aristoteles hidup. Dan ternyata tidak bisa diharapkan juga ia akan menyajikan daftar

keutamaan yang berlaku selalu dan dimana-mana. Pasti ada sejumlah keutamaan yang

berlaku agak umum. Tapi di samping itu setiap kebudayaan dan setiap periode sejarah akan

memiliki keutamaan-keutamaan sendiri, yang belum tentu sama dalam kebudayaan atau

periode sejarah lain. Kerendahan hati, misalnya, merupakan keutamaan yang berasal dari

tradisi lain dan belum bisa diharapkan dalam pembahasan Aristoteles. Suka bekerja keras

merupakan contoh lain tentang keutamaan yang tidak mungkin ditemukan pada Aristoteles.

Malah ia memandang rendah pekerjaan fisik, sesuai dengan pandangan Yunani pada waktu

itu.

Keberatan lain menyangkut pemikiran Aristoteles tentang keutamaan sebagai jalan

tengah antara sua ekstrem. Aristoteles menjelaskan hal itu dengan sebuah analisis bagus dan

tajam tentang keberanian, misalnya. Tapi soalnya adalah apakah keutamaan selalu

merupakan jalan tengah antara “kurang’ dan “terlalu banyak”. Aristoteles sendiri mengalami

kesulitan dengan keutamaan seperti pengendalian diri. Perbuatan seperti makan terlalu

banyak, jelas bertentangan dengan keutamaan pengendalian diri. Tapi jika orang makan

kurang daripada apa yang dianggap perlu , apakah perbuatannya melanggar keutamaan itu

juga ? rupanya sulit mengatakan demikian. Perbuatan seperti berpuasa justru dianggap suatu

perbuatan terpuji dan pelaksanaan keutamaan pengendalian diri. Aristoteles sendiri mengakui

Page 9: Pembahasan Eudemonisme

9 April 1, 2014

bahwa praktis tidak ada manusia yang tak acuh terhadap makanan, sehingga segi “kurang” di

sini sulit ditunjukkan.

Tadi sudah dijelaskan bahwa pemikiran Aristoteles diwarnai suasana eliter karena

terutama mencerminkan golongan atas dalam mesyarakat Yunani waktu itu. Bisa ditambah

lagi bahwa pada Aristoteles kita sama sekali belum melihat paham hak manusia, apalagi

persamaan hak semua manusia. Malah ia membenarkan secara rasional lembaga

perbudakan, karena ia berpendapat bahwa beberapa manusia menurut kodratnya adalah

budak. Suatu pandangan menurut orang modern justru tidak etis. Tapi keberatan ini tidak perlu

terlalu ditekankan, karena kita tidak bisa mengkritik seseorang karena dia anak dari

zamannya. Kita tidak bisa menghukum filsuf Yunani kuno ini, karena belum termasuk zaman

modern.

Etika Aristoteles dan khususnya ajarannya tentang keutamaan tidak begitu berguna

untuk memecahkan dilemma-dilema moral besar yang kita hadapi sekarang ini. Pemikirannya

tidak membantu banyak dalam mencari jalan keluar bagi masalah-masalah moral penting di

zaman kita, seperti misalnya risiko penggunaan tenaga nuklir, reproduksi artificial, percobaan

medis dengan embrio dan sebagainya. Disini kita membutuhkan pertimbangan –pertimbangan

yang dapat dipertanggungjawabkan. Pandangan Aristoteles tentang keutamaan lebih cocok

untuk menilai kadar moral seseorang berdasarkan perbuatan-perbuatannya, termasuk juga

hidup moralnya sebagai keseluruhan.

KESIMPULAN

Eudemonisme adalah salah satu filsafat moral yang menganut tentang kebahagiaan.

Aristoteles menulis panjang lebar tentang hidup baik dan kebahagiaan dan menegaskan

bahwa hidup yang paling baik dan paling bahagia adalah hidup dengan penalaran dan

perbuatan penuh kebajikan. Aristoteles menegaskan dan kita juga menekankan bahwa hidup yang baik adalah

hidup yang bahagia, dan kegembiraan meliputi kepuasan pribadi. Tetapi kegembiraan dan

kepuasan keinginan khusus seseorang belum merupakan kebahagiaan, seperti yang kita

temukan dengan mudah oleh Socrates dan Aristoteles sebagai menyerah kepada keinginan

yang kita ketahui salah atau buruk bagi kita. Memuaskan keinginan kita langsung tidak sama dengan kepuasan diri. Kebahagiaan

menuntut pemikiran yang panjang/hati-hati/teliti- pandangan yang jauh tentang kegembiraan

pribadi- dan bukan sekedar keegoisan. Dan sebaliknya pemikiran yang teliti mencakup

pertimbangan-pertimbangan yang kiranya tidak ada dalam kepentingan diri kita sama sekali.

Kepuasan diri itu mempunyai banyak tingkatan dan ada batasannya juga. Kepuasan diri tidak

selalu ada dalam hidup yang baik.