PEMBAHASAN MAKALAH

33
1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Perkembangan ASEAN sebagai organisasi regional internasional saat ini kembali menjadi perhatian publik, baik internasional maupun regional. Hal ini terkait dengan keberhasilan ASEAN membentuk Piagam ASEAN pada tahun 2007. Piagam ASEAN tersebut menandakan sebuah perubahan yang sangat besar dalam lingkup organisasi yaitu orientasi ASEAN yang hendak mengubah arah kebijakan organisasi dari yang bersifat loosed-based menjadi rules-based organization. Hal inilah yang kemudian melahirkan Konferensi Den Haag 1899 dan 1907 yang salah satu hasilnya mengatur tentang penyelesaian sengketa secara damai. Konferensi tersebut lalu mengilhami timbulnya perjanjian-perjanjian internasional lain yang mengatur materi yang sama. Perkembangan selanjutnya, lahirlah instrumen- instrumen hukum internasional yang sangat penting dalam mengatur penyelesaian sengketa secara damai. Istilah sengketa (dispute) dalam hukum internasional harus dibedakan dengan konflik (conflict) dan situasi (situation). Kata sengketa dan situasi dapat ditemukan berdampingan dalam Piagam PBB sedangkan konflik digunakan masyarakat internasional secara umum.Pada akhir abad kedua puluh, Asosiasi Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mengalami pertumbuhan. Organisasi telah berubah jauh sejak awal pada tahun 1967, saat itu menjabat sebagai benteng politik melawan Dingin Adidaya perang untuk melindungi kemerdekaan nya anggota pendiri negara-Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia dan Thailand. 1 1 Shaun Narine, Explaining ASEAN: Regionalism Southeast Asia 12 (2002). Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER The ASEAN Charter : ASEAN Failure or Member Failure Page 160

Transcript of PEMBAHASAN MAKALAH

Page 1: PEMBAHASAN MAKALAH

1

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Perkembangan ASEAN sebagai organisasi regional internasional saat ini kembali menjadi perhatian publik, baik internasional maupun regional. Hal ini terkait dengan keberhasilan ASEAN membentuk Piagam ASEAN pada tahun 2007. Piagam ASEAN tersebut menandakan sebuah perubahan yang sangat besar dalam lingkup organisasi yaitu orientasi ASEAN yang hendak mengubah arah kebijakan organisasi dari yang bersifat loosed-based menjadi rules-based organization. Hal inilah yang kemudian melahirkan Konferensi Den Haag 1899 dan 1907 yang salah satu hasilnya mengatur tentang penyelesaian sengketa secara damai. Konferensi tersebut lalu mengilhami timbulnya perjanjian-perjanjian internasional lain yang mengatur materi yang sama.

Perkembangan selanjutnya, lahirlah instrumen-instrumen hukum internasional yang sangat penting dalam mengatur penyelesaian sengketa secara damai. Istilah sengketa (dispute) dalam hukum internasional harus dibedakan dengan konflik (conflict) dan situasi (situation). Kata sengketa dan situasi dapat ditemukan berdampingan dalam Piagam PBB sedangkan konflik digunakan masyarakat internasional secara umum.Pada akhir abad kedua puluh, Asosiasi Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mengalami pertumbuhan. Organisasi telah berubah jauh sejak awal pada tahun 1967, saat itu menjabat sebagai benteng politik melawan Dingin Adidaya perang untuk melindungi kemerdekaan nya anggota pendiri negara-Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia dan Thailand.1

Pada 1990-an, utama ASEAN misinya adalah untuk menjadi mesin untuk perkembangan.2 ekonomi regional Dan tahun 2000-an, ASEAN telah memeluk Brunei, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam sebagai anggota, dan berusaha untuk menyelesaikanmasalah keamanan di Asia Tenggara Asia.3 ini berturut-turut Perubahan menghasilkan struktur kacau dan lemah, dan pendukung Piagam ASEAN 2007 yang diinginkan sebuah dokumen yang akan memungkinkan ASEAN untuk lebih memudahkan integrasi ekonomi dan meningkatkan

1 Shaun Narine, Explaining ASEAN: Regionalism Southeast Asia 12 (2002). Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER The ASEAN Charter : ASEAN Failure or Member Failure Page 1602 See Donald E. Weatherbee, International Relation in Southeast Asia: The Struggle for Autonomy 205 (2d ed. 2009) (explaining that the shift in focus at the 1992 Singapore Summit represented a turning point, in which economic integration, rather than foreign policy, would justify ASEAN’s existence) Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER ibid Page 1603 Id. at 94–95, 105 (describing the addition of five new member states, and discussing the emergence of an “ASEAN Security Community”). Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER ibid Page 160

Page 2: PEMBAHASAN MAKALAH

2

kerjasama keamanan antara members.4 Tapi mereka gagal karena norma-norma sangat duduk, dienkapsulasi oleh "Jalan ASEAN."

"Jalan ASEAN" mengacu pada beberapa prinsip yang secara kolektif mencegah perubahan organisasi, 5 dan dapat dikurangi dua komponen penting. Pertama, menekankan pengambilan keputusan melalui konsultasi informal di antara diplomat, yang memfasilitasi konsensus kelompok di resmi meetings.6 Kedua, itu adalah serangkaian enam prinsip perilaku yang ditetapkan dalam 1976 Treaty of Amity and Cooperation: (1) menghormati negara kedaulatan, (2) bebas dari gangguan eksternal, (3) noninterference dalam urusan internal, (4) penyelesaian sengketa secara damai; (5) menolak penggunaan kekuatan, dan (6) kerjasama. Dari jumlah tersebut, negara-negara anggota secara khusus menekankan noninterference di affairs.7 internal masing-masing Kritik keberatan bahwa penekanan Way ASEAN pada konsultasi, konsensus, dan non-interferensi memaksa organisasi untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan yang hanya memenuhi "terendah umum penyebut. "8

Para kritikus benar bahwa pengambilan keputusan berdasarkan konsensus mensyaratkan anggota untuk melihat mata ke matasebelum ASEAN dapat bergerak maju pada masalah, tetapi prinsip-prinsip muncul untuk memastikan stabilitas dalam sejarah menggemparkan region.9 Namun, keragaman keanggotaan organisasi tidak membuat kemajuan menuju tujuan apapun terkoordinasi sangat sulit.

4 See Simon S.C. Tay, The ASEAN Charter: Between National Sovereignty and the Region’s Constitutional Moment, 12 SING. Y. B. International Law . 151, 155–56 (2008) (discussing ASEAN’s community-building efforts, which included economic and political-security pillars, as a motivating purpose behind the Charter) Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER ibid Page 1605 See generally Rodolfo C. Severino, Southeast Asia In Search for Community: Insight from The Former ASEAN Secretary General 1–37 (2006) (devoting an entire chapter to a discussion of the ASEAN Way). Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER ibid Page 1616 Paul J. Davidson, The Role of Law in Governing Regionalism in Asia, in GOVERNANCE AND REGIONALISM IN ASIA 224, 228 (Nicholas Thomas ed., 2009); Beverly Loke, The ‘ASEAN Way’: Towards Regional Order and Security Cooperation?, 30 MELB. J. POL. 8 (2005); Pushpa Thambipillai, Negotiating Styles, in THE ASEAN READER 73–74 (2d prtg. K.S. Shandu et al., eds. 2003). Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER ibid Page 1617 Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia, art. 2, Feb. 24, 1976, 1025 U.N.T.S. 15,063; see also ASEAN – Overview, ASEAN, http:// www.aseansec.org/64.htm (last visited Oct. 5, 2010) (explaining that the Treaty of Amity and Cooperation represents a commitment among the member states to adhere to certain behavioral norms); Susumu Yamakage, The Construction of an East Asian Order and the Limitations of the ASEAN Model, 12 ASIA-PAC. REV. 1, 6 (2005) (“The principle of non-intervention in internal affairs is retained as a basic tenant of ASEAN. This is due to the fact that the so-called “ASEAN WAY”—decision by consensus—is an obstacle to change.”). Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER ibid Page 1618 See, e.g., Barry Desker, Is the ASEAN Charter Necessary?, RSIS COMMENTS (S. Rajaratnam School of Int’l Stud.), July 17, 2008 (the ASEAN Way “prioritizes agreement by consensus and the adoption of the lowest common denominator.”). Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER ibid Page 1619 See infra Part II.2.

Page 3: PEMBAHASAN MAKALAH

3

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah prinsip penyelesaian sengketa di ASEAN2. Bagaimana tata cara serta proses penyelesaian sengketa melalui ASEAN3. Bagaimana contoh kasus sengketa yang diselesaikan melalui ASEAN

C. Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui tata cara penyelesaian sengketa melalui organisasi internasional ASEAN yang merupakan organisasi regional sebagai bentuk kerjasama negara- negara di kawasan asia tenggara sebagai langkah dalam menciptakan hubungan internasional yang baik bagi negara anggota ASEAN dalam rangka manjaga perdamaian dunia. Dengan adanya makalah ini diharapkan akan dapat menambah pengetahuan pembaca mengenai berbagai- macam metode yang sering dilakukan untuk menyelesaikan sengketa internasional oleh organisasi internasional yang bersifat regional yaitu ASEAN.

A. Metode Penulisan

Dalam makalah ini menggunakan metode penulisan deskriptif ,yaitu melakukan kajian terhadap bahan yang bersumber dari buku dan jurnal dan kemudian penulis dapat mengambil kesimpulan dari informasi yang didapatkan.

B. Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan makalah ini ini disusun dalam empat bab, disajikan dalam bentuk diskripsi dengan sistematika penulisan tersusun sebagai berikut :Bab I berupa Pendahuluan memuat latar belakang, permasalahan, tujuan dan

metode penulisan serta sistematika penulisan,Bab II berupa Landasan teori yang memuat fokus pembahasan, kerangka hukum,

kerangka teori serta pengaturan yang ada,Bab III berupa pembahasan pokok dan jawaban terhadap identifikasi masalah,Bab IV berupa kesimpulan dan saran

Page 4: PEMBAHASAN MAKALAH

4

BAB 2

Landasan Teori

A. Fokus Pembahasan dan Pengaturan Hukum Internasional

Hukum Internasional sudah lama mengakui bahwa badan atau organisasi internasional regional dapat pula berperan dalam menyelesaikan sengketa internasional secara damai. Peran badan ini terus berkembang dalam abad ke-20, seiring dengan adanya kecendrungan masyarakat internasional untuk membentuk badan- badan di lingkungan regionalnya.10

Peran organisasi internasional regional dalam penyelesaian sengketa ini misalnya tampak dalam pasal 3 Piagam Organisasi Persatuan Afrika ( Organization of African Unity atau OUA). Pasal 3 ayat (4) Piagam OAU ini menyatakan bahwa salah satu tujuan dari OUA adalah peaceful settlement of disputes by negotiation, mediation, conciliation or arbitration.11

1. Kerangka Hukum

The ASEAN Way dapat dipahami sebagai memiliki dua utama components. Yang pertama adalah strategi diplomatik berdasarkan pada konsultasi dan konsensus, di mana para pejabat diplomatik awalnya terlibat dalam diskusi informal untuk kemudian memfasilitasi konsensus- keputusan berbasis di meetings. resmi Proses ini memungkinkan negara anggota untuk menentukan area kesepakatan dan milah isu-isu, sehingga perselisihan tidak menunda seluruh agreements.36 demikian, ASEAN akan mengadopsi hanya kebijakan yang setuju semua negara anggota, baik karena kebijakan itu sendiri telah dimodifikasi, atau posisi negara anggota memiliki konvergensi.

Akibatnya, ASEAN umumnya menyisihkan kontroversial masalah, dan lembaga-lembaganya telah dikembangkan secara bertahap.37 Komponen kedua ASEAN Way adalah serangkaian enam prinsip dikodifikasikan dalam 1976 Treaty of Amity and Cooperation: (1) menghormati kedaulatan negara, (2) kebebasan dari eksternal gangguan; (3) non-campur tangan dalam urusan internal, (4) penyelesaian sengketa secara damai, (5) menolak penggunaan kekuatan, dan (6) cooperation.12 Dalam beberapa tahun terakhir, prinsip non-interferensi telah dipanggil oleh instrumen regional integrasi, 13 serta dengan negara-negara anggota

10 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian sengketa Internasional. Jakarta: Sinar Grafika,2012 Hlm 116

11 J.G. Merrilis , International dispute Settlement, Cambridge : Cambridge U.P., 3rd ed., 1998,hlm.298 Sebagaimana dikutip dalam Huala Adolf Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional Hlm 11612 Treaty of Amity and Cooperation, supra note 7, art. 2. Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER The ASEAN Charter : ASEAN Failure or Member Failure Page 16713 See, e.g., ASEAN Vision 2020, Dec. 15, 1997, available at http:// www.aseansec.org/1814.htm (“We envision the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia functioning fully as a binding code of conduct for our governments . . .”); Bali Concord II, supra note 27, at pmbl.

Page 5: PEMBAHASAN MAKALAH

5

sendiri, 14 dimemerintahkan untuk menegaskan keutamaan kepentingan domestik di atas daerah kepentingan.

2. Kerangka Teori

Meskipun menghambat negara anggota 'pembangunan lembaga upaya, Jalan ASEAN tidak mewakili pendekatan radikal hubungan internasional, melainkan hanyalah sebuah komitmen formal untuk kedua pemerintahan berbasis hubungan dan hukum lunak. Dalam sistem berbasis hubungan, pelaku menghindari pengaturan formal, lebih memilih untuk membangun kesepakatan berdasarkan saling percaya, pengetahuan, dan familiarity. Mereka harus bergantung pada kekuatan hubungan interpersonal untuk melaksanakan setiap agreements. Berdiri berbeda dengan pemerintahan berbasis hubungan yang rulesbased governance, yang memanfaatkan lembaga formal. Aktor dalam sistem berbasis aturan terlibat dalam negosiasi tradisional, mematuhi dengan norma-norma yang mengikat, dan menyelesaikan sengketa melalui diformalkan processes.

"Soft Law" mengacu pada salah satu ujung spektrum yang mendefinisikan atribut tertentu tentang aturan hukum, di ujung lain dari yang "Hard Law." Spektrum ini menjelaskan tiga karakteristik: kewajiban, presisi, dan delegation.15"Kewajiban" adalah gelar mana aktor terikat oleh aturan-aturan tertentu. "Presisi" adalah sejauh mana aturan menentukan perilaku tertentu. "Delegasi" adalah sejauh mana pihak ketiga memiliki kewenangan untuk menafsirkan aturan dan menyelesaikan disputes.16 demikian, pemain mungkin berbeda-beda komitmen yang diusulkan sepanjang salah dimensi ini ketika mereka setuju atas ujung tapi terlalu dibagi setuju atas cara-cara khusus, 17 atau

(reaffirming ASEAN’s commitment to the TAC and non-interference). Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER ibid Page 16814 The invocation of the principle of non-interference will be discussed with respect to Myanmar in Part III.2, below. Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER ibid Page 16815 See Kenneth W. Abbott & Duncan Snidal, Hard and Soft Law in InternationalGovernance, 54 INT’L ORG. 421, 421-22 (2000) (describing “hard” and “soft” law in terms of the binding nature of the obligations created, the precision of those obligations, and whether those obligations delegate authority to interpret and implement the law). Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER ibid Page 16916 Kenneth W. Abbott et al., The Concept of Legalization, 54 INT’L ORG.401, 401 (2000). Abbot et al. explain that obligation, precision, and delegation are three dimensions along which legalization can be measured. Id. On either end of the obligation spectrum are “expressly non-legal norm” and “binding rule.” Id. at 404. Precision varies between “vague principle” and “precise, highly elaborated rule.” Id. Delegation exists between “diplomacy” and “court system with binding decisions.” Id.; see also Paul J. Davidson, The ASEAN Way and the Role of Law in ASEAN Economic Cooperation, 8 SING. Y.B. INT’L L. 165, 169-71 (discussing the movement towards legalization through an examination of economic agreements). For charts depicting the levels of each element of legalization, see Abbott et al., supra, at 410, 415-16. Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER ibid Page 16917 See Joseph Gold, Strengthening the Soft International Law of Exchange Arrangements, 77 AM. J. International Law. 443, 443 (1983) (observing that soft law can overcome deadlocks when states

Page 6: PEMBAHASAN MAKALAH

6

ketika mereka ingin bergulat dengan pasti hasil dengan memantau dampak dari komitmen mereka lebih time.47 Kita mungkin berharap dengan demikian hukum lunak untuk menjadi kata-katanya samar, atau memiliki lemahnya penegakan aturan hukum.18

Pengaruh Jalan ASEAN tampak besar di ASEAN sejarah, dan integrasi regional tetap menjadi konsep yang relatif baru. 49 Memang, selama dua puluh tahun pertama, ASEAN ada terutama untuk meningkatkan hubungan diplomatik antara anggotanya menyatakan, sehingga mereka lebih bisa bertahan melawan momok communism.50 Bahkan saat ini, Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama umumnya membatasi kemampuan untuk meminta pertanggungjawaban sama lain atau campur tangan dalam setiap orang lain 'negara-negara anggota affairs.19

Selain itu, karena konsensus adalah dasar untuk pengambilan keputusan, negara-negara anggota yang mencari versi paling-pembatasan dari komitmen tertentu lebih sering berlaku.20

refuse to bind themselves to firmer regimes); cf. Davidson, supra note 6, at 235 (“Soft law allows for vagueness of commitments where parties are prepared to enter into agreements but are unable to agree on the ‘exactness’ of their obligations.”). Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER ibid Page 16918 The discussion of economic integration and security cooperation in Part III.1 will illustrate this consequence in the ASEAN context. . Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER ibid Page 16 19 See, e.g., Desperate times for Burma, IRISH TIMES, May 22, 2008, at 19 (“But ASEAN’s deep-rooted norm of non-interference in state sovereignty makes it subject to systematic delays and vetoes just when emergency flexibility is most needed.”); see Final Draft for ASEAN Human Rights Body is Ready, MALAY. GEN. NEWS, July 18, 2009, (attributing the ASEAN Human Rights Body’s inability to protect regional human rights to ASEAN’s norm of noninterference). . Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER ibid Page 17020 Hence the critique that ASEAN’s commitments tend to satisfy the “lowest common denominator.” See supra note 8 and accompanying text. . Sebagaimana dikutip dari LEE LEVITER ibid Page 170

Page 7: PEMBAHASAN MAKALAH

7

BAB 3

Pembahasan

A. Prinsip Penyelesaian Sengketa di ASEAN

Secara geopolitik dan ekonomi negara di kawasan Asia Tenggara memiliki nilai yang strategis. Sehingga sering terjadi konflik di kawasan itu untuk memperebutkan kepentingan sejak Perang Dunia kedua. Sebelum ASEAN berdiri, orientasi politik luar negeri negara-negara Asia Tenggara secara ideologi terpecah yaitu komunis dan non komunis. Belum ada rasa keterikatan dalam kawasan itu sehingga masih kuatnya kecenderungan untuk menjalin persekutuan dengan kekuatan asing diluar kawasan. Berkembang suasana konfrontatif dan saling curiga, seperti pernah terjadi dengan Indonesia dan Malaysia, konflik Indonesia - Singapura.21

ASEAN didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh lima negara pemrakarsa, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura danThailand di Bangkok melalui Deklarasi Bangkok. Awal pembentukannya adalah untuk membendung masuknya komunis lebih jauh ke Asia Tenggara setelah komunis berada di Vietnam. Terbentuknya ASEAN menandai dimulainya rekonsiliasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, konflik – konflik yang terjadi antara Indonesia – Malaysia, Malaysia – Filipina, juga kedekatan Thailand dan Filipina dengan Amerika Serikat dalam perang Vietnam.

Sebagai salah satu bentuk regionalisme, selama ini ASEAN dianggap sebagai salah satu instrumen yang mampu menjaga kestabilan kawasan di Asia Tenggara.22 Perkembangan ASEAN, yang berpadu dengan kultur politik di kawasan ini, membuat sebuah bentuk baru pendekatan untuk menyelesaikan masalah-masalah transboundary antar anggotanya. ASEAN Way disebut-sebut sebagai bentuk dari upaya negara-negara anggota untuk aktif menyelesaikan persengketaan yang ada tanpa harus melanggar kedaulatan satu sama lain. 23

Terbentuk dari sebuah deklarasi, awalnya ASEAN adalah organisasi regional

21  Lihat, Timo Kivimäki, The Long Peace of ASEAN, Journal of Peace Research, Vol. 38, No. 1(Jan.2001), hal 8-11. Diambil darihttp://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 17 April 2013.22 Lihat, Michael Antolik, Reviewed work(s): ASEAN and the Diplomacy of Accommodation. International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), Vol. 67, No. 3 (Jul., 1991), hlm 628. diambil dari  http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi= 76 diakses 17 April 2013.23 Lihat, Michael Leifer, The Asean States: No Common Outlook, dalam International Affairs(Royal Institute of International Affairs 1944-), Vol. 49, No. 4 (Oct., 1973), hal 607

Page 8: PEMBAHASAN MAKALAH

8

yang berusaha berintegrasi dalam sebuah institusi yang berdasarkan pada kerjasama fungsional.24

Sehingga, ASEAN merupakan organisasi regional non-politik yang secara efektif berfungsi dalam sektor-sektor ekonomi, teknik, keilmuan, sosial dan kebudayaan. Ide utamanya adalah bagaimana membuat suatu institusi regional tanpa mengancam kedaulatan nasional negara anggotanya namun tetap menguntungkan. Mengingat ketika ASEAN terbentuk, mayoritas dari anggotanya adalah negara-negara yang belum lama memperoleh kemerdekaan.Salah satu alasan yang mendasari pembentukan ASEAN adalah untuk mencegah penyebaran komunisme di kawasan Asia Tenggara. Tanpa membuat suatu organisasi berbentuk pakta militer, founding fathers ASEAN berusaha menciptakan stabilitas keamanan melalui kerjasama non-politik. Tujuan ini diperkuat dengan adanya deklarasi yang dikemukakan di konferensi Bali tahun 1976 yang menyatakan Asia Tenggara sebagai “zone of peace, freedom, and neutrality”.

Prinsip-prinsip ini merupakan respon terhadap “ancaman komunisme” yang bisa saja menimbulkan efek domino. kawasan Asia Tenggara perlu diamankan dari kemungkinan instabilitas akibat dari perang dingin yang terjadi. Selain itu, negara-negara barat juga menjadi kalangan yang terancam apabila kawasan Asia tenggara jatuh dalam pengaruh komunis. Berakhirnya Perang Dingin, tidak membuat integritas regionalisme di ASEAN memudar karena tidak adanya common enemy yang ternyata berhasil memberikan identitas. Hubungan kerjasama antar-anggota menjadi semakin erat dan menjadikan ASEAN sebagai lembaga yang institutionalized.25 Namun, dengan semakin kompleksnya masalah yang ada di dunia internasional26, isu-isu yang sebelumnya bukan masalah penting menjadi sesuatu hal yang patut dipertimbangkan oleh para pemimpin negara anggota ASEAN. Mulai dari masalah yang sifatnya sektoral seperti masalah ekonomi  hingga berbagai masalah sosial budaya. Selain itu juga terdapat masalah mengenai keamanan kawasan.27

24 http://skiasyik.wordpress.com/2008/03/25/asean-charter/ - _ftn1 diakses 17 April 201325 Lihat, Russell H. Fifield, ASEAN: Image and Reality, dalam Asian Survey, Vol. 19, No. 12, Recent International Developments in Asia (Dec., 1979), hal 1206. diambil darihttp://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 9 Mei 2008; lihat juga, Zakaria Haji Ahmad and Baladas Ghoshal, The Political Future of ASEAN after the Asian Crisis, International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), Vol. 75, No. 4 (Oct., 1999), hal 759. diambil dari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 17 April 201326 Lihat, John Garofano, Power, Institutions, and the ASEAN Regional Forum: A Security Community for Asia?, dalam Asian Survey, Vol. 42, No. 3 (May - Jun., 2002), hal 503. Diambildari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 17 April 201327 Lihat, Shaun Narine, ASEAN and the ARF: The Limits of the "ASEAN Way", dalam Asian Survey, Vol. 37, No. 10 (Oct., 1997), pp. 961-978. diambil Dari

Page 9: PEMBAHASAN MAKALAH

9

Masalah yang dihadapi ASEAN menjadi semakin rumit dengan tidak adanya mekanisme binding yang seharusnya dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang diambil oleh para pemimpin negara. Ketika muncul konflik diantara negara anggota, mekanisme penyelesaian yang berlaku adalah konsensus. Keinginan ASEAN untuk seminimal mungkin melakukan intervensi dalam urusan dalam negeri, membuat mekanisme konsensus dan musyawarah menjadi pola dalam pengambilan keputusan berskala regional. Pola ini kemudian disebut-sebut sebagai The ASEAN Way.28

Tidak adanya mekanisme mengikat esensi dan common value berkurang. Padahal common value merupakan faktor penting untuk membentuk dan mempertahankan identitas regional, serta menjamin negara-negara agar tidak hanya mengutamakan kepentingan sendiri tetapi juga kepentingan seluruh kawasan. Oleh karena itu, regionalisme akan menghadapi berbagai tantangan dalam menyelesaikan suatu masalah jika common value-nya tidak kuat. Organisasi yang berdiri dari deklarasi terancam masalah legitimasinya sebagai institusi karena tidak ada suatu mekanisme mengikat terhadap perilaku negara-negara anggota.

1. Prinsip Non-Intervensi

Prinsip non intervensi selama ini dipegang teguh oleh para anggota ASEAN dalam kebijakan regionalnya, di samping prinsip-prinsip lain seperti saling menghormati, konsensus, dialog dan konsultasi. Prinsip non-intervensi yang selama ini dijunjung tinggi telah banyak memberi kontribusi terhadap eksistensi ASEAN. Pada tingkat yang paling dasar, prinsip ini merupakan wujud nyata penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing negara anggota. Hal ini amat penting, mengingat sejarah menjelang pembentukan ASEAN yang diwarnai sejumlah konflik antarnegara bakal calon anggota ketika itu seperti disebutkan di atas.

Jaminan pengakuan kedaulatan ini menjadi faktor penting terhadap meredamnya sikap saling curiga sesama negara anggota. Hilangnya sisa-sisa kecurigaan ini selanjutnya membantu tumbuhnya saling percaya yang cukup tinggi antara anggota ASEAN. Hal ini penting, sebab rasa percaya timbal balik menjadi prasyarat eksisnya suatu organisasi regional beranggotakan negara dengan perbedaan kepentingan yang tak terelakkan.

http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 17 April 201328 Lihat, Hiro Katsumata, Why Is Asean Diplomacy Changing? From "Non-Interference" to "Open and Frank Discussions", Asian Survey, Vol. 44, No. 2 (Mar. - Apr., 2004), hal 237. Diambildari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults?hp=25&la=&gw=jtx&jcpsi=1&artsi=1&Query=asean&sbq=asean&si=76&jtxsi=76 diakses 17 April 2013

Page 10: PEMBAHASAN MAKALAH

10

Prinsip ini juga telah berfungsi sebagai mekanisme preventif terhadap munculnya sejumlah konflik terbuka di antara negara anggota ASEAN. Penghormatan terhadap apa yang dianggap menjadi urusan dalam negeri negara anggota lain secara tidak langsung ikut mencegah terjadinya salah persepsi antaranggota. Prinsip non intervensi ini telah memberikan sumbangan yang teramat berarti dalam pengembangan ASEAN sejak berdirinya hingga saat ini.Seiring dengan perkembangan konstelasi politik global, nampaknya prinsip ini mulai harus ditinggalkan oleh ASEAN. Karena dalam ASEAN Charter disebutkan bahwa tujuan ASEAN ke depan adalah “maintain and enhance peace, security and stability and further strengthen peace-oriented values in the region,” serta to enhance regional resilience by promoting greater political, security, economic and socio-cultural cooperation.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa ASEAN kedepan merupakan suatu entitas yang satu, ini diperkuat dengan jargon ASEAN, One Vision, One Identity, One Community.

Namun dalam kenyataannya nampaknya prinsip ini belum mau ditinggalkan oleh ASEAN, terlihat dari Pasal 2 ASEAN Charter, yaitu menghormati kedaulatan, persamaan, integritas teritorial, identitas nasional29 tidak mencampuri urusan dalam negeri anggota ASEAN30; menghargai hak anggota untuk mempertahankan integritas nasional yang bebas dari pengaruh asing serta subversi dan koersi31; tidak mencampuri dalam kegiatan yang akan berdampak pada kedaulatan dan integritas teritorial negara anggota lainnya, termasuk tidak menggunakan daerahnya untuk kegiatan tersebut32; penghargaan terhadap kebebasan fundamental serta promosi dan perlindungan HAM serta keadilan sosial33.

Dalam berbagai peraturan yang disebut di atas nampak bahwa ASEAN belum akan meninggalkan prinsip non intervensi sebagai prinsip dasarnya. Oleh karena itu, ASEAN tidak dapat mengintervensi pelanggaran-pelanggaran, misalnya pelanggaran HAM, yang terjadi dalam negara anggota ASEAN. Sebagai contoh kasus, prinsip ini akan membuat Badan HAM ASEAN yang dibentuk berdasarkan ASEAN Charter pasal 1434 tidak dapat menjalankan fungsinya secara maksimal. Karena seharusnya Badan HAM ASEAN mampu bertindak untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi dengan masuk ke negara yang melanggar HAM tersebut dan mengintervensi tindakan yang dilakukan. Sehingga

29 Pasal 2 ayat 2 butir a, lihat, The ASEAN Charter. Available at :http://www.aseansec.org/ASEAN-Charter.pdf. diakses 17 April 201330 Pasal 2 ayat 2 butir e, lihat, Ibid.31 Pasal 2 ayat 2 butir f, lihat, Ibid.32 Pasal 2 ayat 2 butir k, lihat, Ibid.33 Pasal 2 ayat 2 butir I, lihat, Ibid.34 Pasal 14 ayat 1: in conformity with the purpose and principles of the ASEAN Charter relating to the promotion and protection of human rights and fundamental freedoms, ASEAN shall establish an ASEAN human rights body. Lihat, Ibid. Pembentukan Badan HAM ASEAN dibuat sesuai dengan penjabaran pasal 2 ayat 2 butir i.

Page 11: PEMBAHASAN MAKALAH

11

Badan Ham ASEAN ini hanya dapat bertindak dalam lingkup pertemuan menteri luar negeri ASEAN seperti disebut pasal 14 ayat 235.

Keinginan ASEAN untuk menjadi One Community nampaknya akan terhambat karena prinsip ini. Berdasarkan pada konsep integrasi yang diutarakan di atas, kalau ingin mengintegrasikan diri menjadi sesuatu yang lebih besar berarti harus memindahkan kesetiaan yang ada, atau paling tidak mengurangi kedaulatan negara dan memindahkannya ke cakupan yang lebih luas, dalam konteks ini berarti negara-negara anggota ASEAN memindahkan atau mengurangi sedikit kedaulatannya untuk membangun suatu integrasi ASEAN yang lebih bersatu, sehingga One Vision, One Identity, One Community dapat terwujud.

B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa di ASEAN

Berdasarkan Piagam ASEAN, penyelesaian sengketa masalah politik dan keamanan di dalam ASEAN diselesaikan melalui Dewan Tinggi dari Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara, sedangkan masalah di bidang ekonomi diselesaikan melalui ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism (DSM).36 ASEAN juga telah menempatkan suatu mekanisme penyelesaian sengketa, yang memberikan kewenangan pihak untuk merujuk sengketa kepada sebuah panel yang didirikan sesuai dengan Protokol Mekanisme Penyelesaian Perselisihan.2004 Protokol Peningkatan Mekanisme Penyelesaian Sengketa (Protokol) menunjukkan gerakan ASEAN menuju legalistik, berbasis lembaga peraturan.37 Protokol ini dirancang khusus untuk penyelesaian sengketa meskipun anggota memiliki metode alternatif lain untuk menyelesaikan sengketa. Ini terdiri dari 21 artikel dan dua Lampiran, menyediakan satu set rinci aturan untuk proses penyelesaian sengketa secara keseluruhan - dari konsultasi, melanjutkan panel, banding, hingga pelaksanaan dan kompensasi.

Pasal 1 dan 2 menetapkan kerangka umum DSM yaitu cakupan aplikasi dan administrasi Protokol. Dalam hal ini, Senior Economic Officials Meeting (SEOM) diperkenalkan sebagai setara dengan DSB WTO di DSM.38 Pasal 3 dan 4, yang identik dengan Pasal 4 dan 5 dari DSU, menyediakan konsultasi, kantor yang baik, dan konsiliasi atau mediasi prosedur dengan cara yang sama dan dengan jadwal yang sama seperti DSU.39 Pasal 5 sampai 11 dari Protokol berhubungan dengan proses panel, dari pembentukan panel untuk fungsinya. Panel ASEAN, yang didirikan oleh SEOM, memiliki prosedur sendiri bekerja

35 Pasal 14 ayat 2: This ASEAN Human Rights Body shall operate in accordance with the terms of reference to be determined by the ASEAN Foreign Ministers Meeting, lihat, Ibid.36 Gultom Foster dan Adek Triana, Ayo Kita Kenali ASEAN, Jakarta : Dirjen Kerjasama ASEAN dan Kemenlu, 2011 hlm 1737 This protocol was signed on 29 November 2004 and replaced 1996 Protocol on DSM, accessed at http://www.aseansec.org/16755.htm (January 05) 38 Article 2.1 of the Protocol 39 Article 3.4 of the Protocol

Page 12: PEMBAHASAN MAKALAH

12

sebagaimana diatur dalam Lampiran II dari Protokol. Terutama, panel ASEAN berada di bawah tekanan waktu lebih keras daripada panel WTO karena mereka harus menyerahkan temuan dan rekomendasi mereka dalam waktu 60 hari dari pembentukan mereka.

Berdasarkan Pasal 12 putusan panel diajukan banding ke Badan Banding independen yang dibentuk oleh Menteri Ekonomi ASEAN (AEM), yang memiliki fungsi serupa dengan WTO Banding Body.40 Ini adalah salah satu perbaikan yang paling signifikan dari 2004 Protokol. Banding tubuh, yang terdiri dari tujuh orang, memiliki kekuatan untuk menegakkan, memodifikasi atau membalikkan interpretasi hukum yang diadopsi oleh panel. Setelah dikeluarkan, SEOM harus mengadopsi laporannya jika pihak tanpa syarat menerimanya kecuali tentu saja, SEOM memutuskan secara konsensus untuk tidak mengadopsi report.41

Yang paling penting, masalah implementasi dapat dinaikkan di SEOM dengan "apapun" Anggota setiap saat setelah adopsi mereka dan akan tetap pada agenda SEOM sampai masalah ini adalah resolved.42 Sebelum itu akhirnya diselesaikan, yang bersangkutan wajib menyediakan SEOM dengan laporan status secara tertulis penetapan kemajuan dalam pelaksanaan setidaknya 10 hari sebelum setiap SEOM tersebut meeting.43

Protokol ini juga membedakan dari DSU dalam hal kompensasi dan suspensi konsesi, karena ini membutuhkan penafsiran yang lebih luas dari "sektor", tambahan untuk prinsip bahwa penangguhan konsesi harus di sektor yang sama.44 Pasal 16.3 (e) berbunyi, "untuk tujuan artikel ini, 'sektor' berarti: sehubungan dengan barang, semua barang". Dengan demikian, jika pihak yang kalah tidak melaksanakan sebuah panel atau laporan Badan Banding mengenai perdagangan barang, pembalasan mungkin melibatkan semua sektor perdagangan barang dan tekanan untuk kepatuhan meningkat karena. Akhirnya, Pasal 17 dari Protokol menetapkan ASEAN DSM Dana untuk memenuhi biaya dari panel, Badan Banding dan setiap administrasi terkait costs.45 Ini adalah dana bergulir, terpisah dari budget46 rutin Sekretariat ASEAN.

Umumnya, DSM ASEAN terutama dimodelkan pada WTO DSM. Namun, dalam beberapa poin, Protokol dapat dianggap sebagai versi lanjutan dari DSU, karena belajar dari kontroversi saat ini WTO DSM dan sembuh beberapa kekurangan. Misalnya, panel ASEAN baru dan Badan Banding berhak tidak hanya untuk menentukan kesimpulan dari konsistensi langkah-langkah nasional dalam sengketa, tetapi juga untuk membuat saran praktis untuk pelaksanaannya. Ini mungkin cara yang efektif untuk menghindari perselisihan di masa depan

40 Article 12.1 of the Protocol 41 Article 12.3,6 and 13 of the Protocol 42 Article 15.6 of the Protocol 43 ibid 44 Article 16.3 (a) 45 Article 17.2 of the Protocol 46 Article 17.1 of the Protocol

Page 13: PEMBAHASAN MAKALAH

13

tentang makna kepatuhan dalam panel atau laporan Badan Banding.Namun demikian, tidak ada berdiri untuk aktor-aktor non-negara dan laporannya tidak berlaku di pengadilan nasional. Sehubungan dengan transparansi, seluruh persidangan bersifat rahasia meskipun dalam keadaan terbatas, ringkasan non-rahasia dari informasi yang terkandung dalam pengajuan tertulis pihak dapat diungkapkan ke public.47

C. Contoh Kasus Penyelesaian Sengketa di ASEAN

1. Invasi Vietnam Ke Kamboja

a. Fakta Hukum

Kamboja merupakan salah satu negara yang berada di kawasan Asia Tenggara. Sejak dahulu kala, Kamboja sering diperebutkan oleh berbagai kerajaan, termasuk Vietnam dan Thailand. Ada beberapa hal yang menyebabkan Kamboja sering menjadi ajang sengketa, di antaranya adalah tanahnya yang subur dan datar sehingga mudah dilalui, dan terletak di antara dua kekuatan besar yang bersaing, sehingga wajarlah jika wilayah Kamboja selalu “diamati dengan teliti” oleh para tetangganya.

Negara ini mendapatkan kemerdekaannya dari Perancis pada tanggal 19 November 1953, dengan Pangeran Sihanouk sebagai kepala negaranya. Pada masa awal pemerintahan Pangeran Sihanouk, politik luar negeri Kamboja terfokus pada mengamankan integritas wilayah dan kedaulatan negaranya, membuka hubungan politik dengan negara lain, mempertaankan keanggotaannya di PBB, dan mengupayakan bantuan asing untuk pembangunan negaranya. Namun, sejak awal kemerdekaannya, negara ini telah mengalami banyak masalah internal seperti munculnya ketegangan politik dan pergolakan menjelang pemilu.48

Pada tahun 1970, Lon Nol (dengan bantuan AS) melancarkan kudeta untuk menjatuhkan pemerintahan pangeran Sihanouk dan merubah bentuk negara kerajaan menjadi republik, dan diberi nama Republik Khmer. Di bawah kekuasaan Lon Nol, Kamboja menjadi negara yang pro-Barat (AS). Tetapi pemerintahan Lon Nol tidak bertahan lama karena pada tahun 1975, pemerintahan Republik Khmer dijatuhkan oleh Democratic Kampuchea di bawah rezim Khmer Merah, dengan Pol Pot sebagai pimpinannya. Di bawah kepemimpinan Pol Pot inilah Kamboja menjadi negara komunis dan terisolir dari hubungan diplomatik. Pol Pot memutuskan hubungan diplomatik dengan negara-negara di kawasan regionalnya dan di belahan dunia lainnya, kecuali Cina, Vietnam, dan Swedia. PBB pun tidak mengakui adanya pemerintahan ini.49

47 Article 8.5, 12.9 and 13.2 of the Protocol 48http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1988/07/30/NAS/mbm.19880730.NAS25282.id.html Diakses 17 April 201349http://regional.kompasiana.com/2010/12/29/kamboja-dalam-penguasaan-pol-pot/

Page 14: PEMBAHASAN MAKALAH

14

Pada Desember 1978, Vietnam mulai melakukan invasi ke Kamboja. Rezim Pol Pot pun resmi dijatuhkan pada saat Vietnam berhasil menduduki Phnom Penh pada tanggal 7 januari 1979. Invasi ini juga mendukung berdirinya pemerintahan boneka Republik Rakyat Kamboja yang dipimpin oleh Heng Samin. Invasi ini dilakukan oleh Vietnam sebagai reaksi atas kebijakan Pol Pot terhadap Vietnam: pertama, perlakuan rezim Pol Pot yang semena-mena terhadap keturunan Vietnam di Kamboja; kedua, tindakan Pol Pot menyerang wilayah Vietnam, baik dalam wilayah Kamboja Krom (wilayah Kamboja yang diperoleh Vietnam sebelum penjajahan Perancis), maupun ke wilayah Vietnam itu sendiri. Selain itu, adanya perpecahan antara dua kekuatan komunis besar dunia (Uni Soviet dan Cina) turut menjadi penyebab dari invasi ini, karena Vietnam mengambil kesempatan di saat pendukung terbesar Kamboja sedang “sibuk”. Tindakan Vietnam tersebut mendapat tentangan dari ASEAN yang menganggap invasi tersebut sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar hubungan antarnegara, yaitu prinsip non intervensi (non intervention/interference) dan prinsip penggunaan kekerasan bersenjata (non use of force).

Setelah itu Pada Januari 1979, ASEAN lewat pertemuan para menteri luar negerinya, menentang perilaku Vietnam dengan mengingatkan esensi Deklarasi Bangkok 1967 sebagai protes atas tindakan campur tangan yang dilakukan Vietnam terhadap Kamboja. ASEAN secara resmi menolak mendukung pemerintahan Phnom Penh Pro-Vietnam, mendukung isolasi Internasional atas Vietnam, mengusahakan penarikan tanpa syarat pasukan Vietnam dari Kamboja, mencegah penetrasi Vietnam ke Thailand, mendukung Kamboja yang netral, damai, dan demokratis, serta mendukung kepemimpinan ASEAN dalam mencari solusi damai dalam konflik Kamboja yang bebas dari campur tangan luar.

Hanoi sebaliknya, menentang sikap ASEAN dan bersikukuh untuk mempertahankan posisinya di Kamboja. Hanoi berpendapat bahwa kehadiran pasukannya ke Kamboja untuk menyelamatkan rakyat Khmer dari Rezim pembasmi manusia dibawah kepemimpinan Pol Pot. Vietnam tidak mungkin merubah keputusan tersebut dan menolak setiap upaya perundingan Internasional untuk meninggalkan Kamboja. Hanoi hanya akan meninggalkan Kamboja jika Hanoi dan Phnom Penh memandang sudah tiba saatnya untuk melakukannya. Sikap Hanoi tumbuh dari keyakinan yang timbul sejak pasukan Amerika Serikat harus meninggalkan Vietnam Selatan.

Keberhasilan pasukan Vietnam mengalahkan pasukan Amerika Serikat menjadikan Vietnam tetap bersikukuh untuk kembali mengulang keberhasilan tersebut. Bagi Hanoi, persoalan Kamboja merupakan akibat dari ekspansionisme dan hegemoni China. Sekalipun demikian, baik Phnom Penh maupun Hanoi menegaskan bahwa apa yang berlangsung di Kamboja tidak lebih dari perang saudara antar rakyat Khmer dengan demikian bersifat domestik dan tidak memerlukan bantuan eksternal. Dukungan militer Uni Soviet merupakan faktor lain yang membuat Hanoi tidak peduli dengan pernyataan keras ASEAN yang

Diakses 17 April 2013

Page 15: PEMBAHASAN MAKALAH

15

menuntut penarikan pasukan Vietnam.50ASEAN melalui Perdana Menteri Singapura Siunathamby Rajaratman menyatakan bahwa, ASEAN negara anti komunis namun bukan berarti ingin menghancurkan Vietnam, hanya menginginkan agar Vietnam menarik Pasukan dari Kamboja tanpa syarat apapun. Kemudian kemudian menyerahkan keputusan kepada rakyat Kamboja untuk memilih Heng Samrin atau Pol Pot sebagai pemimpin negara tersebut.

b. Penyelesaian Sengketa dan Putusan

Masalah Kamboja semakin komplek dengan campur tangan pihak luar, seperti RRC dan AS. Untuk memecahkan masalah Kamboja pada bulan Juli 1988 di Istana Bogor(Indonesia) berkumpul pihak-pihak yang bertikai dan pertemuan tersebut dikenal dengan JIM (Jakarta Informal Meeting). Kemudian untuk menindak lanjuti JIM yang pertama pada bulan Februari 1989 diadakan JIM II dan berhasil menemukan 2 masalah penting, yaitu:

• Penarikan pasukan Vietnam dari kamboja akan dilaksanakan dalam kaitannya dalam penyelesaian politik menyeluruh. Vietnam mulai memberikan janji dan bersedia menarik pasukannya dari Kamboja

• Muncul upaya untuk mencegah kembalinya rezim Pol Pot, yang semasa berkuasa di Kamboja telah melakukan pembantaian keji terhadap sekitar sejuta rakyat.

Upaya menyelesaikan konflik Kamboja mulai memasuki tingkat internasional, yaitu dengan mengambil tempat di Paris. Dalam konfrensi ini hadir wakil dari 20 negara, termasuk ASEAN dan 5 dewan keamanan PBB. Konfrensi ini disebut ICK (International Confrence on Kampuchea). Konfrensi yang berlangsung pada 30-31 Juli 1989 ini diharapkan mampu menyelesaikan masalah Kamboja.

Perjalanan panjang upaya penyelesaian masalah Kamboja kahirnya menemui titik harapan perdamaian. Pada tahun 1991, pasukan perdamaian PBB memprakarsai gencatan senjata pihak-pihak yang bertikai. Pada tahun 1993, Pangeran Norodom Sihanouk diangkat sebagai raja. Pada tahun itu juga diadakan Pemilihan Umum . Dalam Pemilu tersebut memilih Norodom Ranaridh dan Hun Sen sebagai perdana menteri.51

50 Putra, Hilton Tarnama dan Eka An Aqimuddin, Mekanisme Penyelesaian Sengketa ASEAN: Lembaga dan Proses, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011 hlm 131-13551 I Wayan Badrika, Sejarah untuk SMA Kelas XII, Jakarta:Erlangga,2006 hlm 230-231

Page 16: PEMBAHASAN MAKALAH

16

2. Sengketa Kamboja dan Thailand atas Kuil Preah Vihear

a. Fakta Hukum

Kamboja dan Thailand merupakan negara yang terletak di kawasa Asia Tenggara. Keduanya merupakan negara yang berbatasan secara  langsung, yaitu wilayah Preah Vihear berbatasan dengan wilayah Sisaket di bagian Timur Laut Thailand. Wilayah Preah Vihear sejak lama menjadi rebutan antaran Kamboja dengan Thailand. Pada saat itu keduanya masih diduduki oleh Pemerintahan Perancis (Kamboja) dan Pemerintahan Siam (Thailand). Ini berawal dari perebutan Kuil Preah Vihear yang terletak di wilayah Preah Vihear. Sengketa perbatasan antara Kamboja dan Thailand di wilayah Kuil Preah Vihear sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Pada tanggal 7 Juli 2008, Kuil Preah Vihear yang disebutkan terletak di wilayah Kamboja secara resmi masuk ke dalam daftar warisan dunia (Word Heritage List) yang dikeluarkan oleh UNESCO (United NationsEconomic, Social and Cultural Organization). 52

Langkah ini nampaknya tidak dapat diterima oleh Pemerintah Thailand yang menganggap masih ada ketidaksepahaman mengenai letak Kuil Preah Vihear yang sebenarnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Pemerintah Kamboja, militer Thailand sejak tanggal 15 Juli 2008 telah memasuki wilayah Kamboja di dekat kuil tersebut. Pada tanggal 21 Juli 2008, aktifitas militer Thailand semakin banyak lagi dikerahkan dan memasuki area Keo Sikha Kiri Svara Pagoda (Preah Vihear Pagoda). Keadaan semakin memanas dengan terlukanya 2 orang anggota militer Thailand akibat ranjau darat di daerah sekitar Preah Vihear Pagoda pada tanggal 7 Oktober 2008. Langsung saja Thailand menganggap bahwa Pemerintah Kamboja telah dengan sengaja memasang ranjau di daerah perbatasan yang dipersengketakan. Hal ini segera dibantah oleh Pemerintah Kamboja dan beralasan bahwa ranjau-ranjau tersebut adalah sisa-sisa persenjataan dalam konflik tiga faksi di Kamboja.

Pada akhirnya, konflik bersenjata berdarah pun tidak dapat dielakkan lagi. Kedua kepala negara sebenarnya telah melakukan upaya-upaya penyelesaian damai. Hal ini nampak dari surat Perdana Menteri Hun Sen tanggal 17 Juli 2008 yang meminta kepada Perdana Menteri Samak Sundaravej untuk segera menarik mundur tentaranya dari daerah sekitar Preah Vihear Pagoda agar mengurangi ketegangan di perbatasan. Dalam balasannya, Perdana Menteri Samak menyambut baik penyelesaian damai dan menjadwalkan pertemuan khusus dari Thailand-Kamboja General Border Committee (GBC) pada tanggal 21 Juli 2008.Namun

52 Putra, Hilton Tarnama dan Eka An Aqimuddin op cit hlm 136-138

Page 17: PEMBAHASAN MAKALAH

17

Perdana Menteri Samak juga menekankan bahwa area di sekitar Preah Vihear Pagoda adalah berada dalam kedaulatan territorial kerajaan Thailand dan justru Kamboja lah yang telah melakukan pelanggaran kedaulatan dan integritas wilayah Thailand. Selanjutnya Perdana Menteri HunSen kembali menjawab dalam surat lainnya dengan menyambut baik pertemuan yang akan diadakan oleh GBC, namun juga mengingatkan kembali bahwa berdasarkan “Annex I Map” yang dipergunakan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pada tahun 1962 dalam menyelesaikan sengketa perbatasan ini, diputuskan bahwa Preah Vihear Pagoda berada pada jarak 700 meter di dalam wilayah teritorial kerajaan Kamboja.

Dari korespondensi di atas tampak bahwa diantara kedua negara masih terdapat ketidaksepahaman atas keputusan Mahkamah Internasional tanggal 15 Juni 1962 tentang Case Concerning the Temple of Preah Vihear. Dalam keputusannya, mayoritas hakim (9 dari 12) Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Kuil Preah Vihear berada dalam wilayah kedaulatan Kamboja dan Thailand harus menarik personil kepolisian dan militer dari kuil tersebut atau dari daerah sekitarnya dalam wilayah kedaulatan Kamboja.

Dalam kasus ini, Kamboja mendasarkan argumennya pada peta (Annex I Map) yang dibuat oleh pejabat Prancis pada tahun 1907 yang beberapa diantaranya adalah anggota  Mixed Commission yang dibentuk berdasarkan Boundary Treaty antara France dan Siamtanggal 13 Februari 1904. Pada peta ini, daerah Dangrek yaitu lokasi dimana Kuil Preah Vihear terletak berada dalam wilayah Kamboja. Thailand di lain pihak berargumen bahwa peta tersebut tidaklah mengikat karena tidak dibuat oleh anggota Mixed Commission yang sah. Lebih lanjut, garis perbatasan yang digunakan dalam peta tersebut adalah berdasarkan watershed line yang salah dan bila menggunakanwatershed line yang benar maka Kuil Preah Vihear akan terletak di dalam wilayah Thailand.53

Menarik bahwa dalam salah satu kesimpulannya, mayoritas hakim berpendapat bahwa walaupun peta sebagaimana dalam Annex I Map mempunyai kekuatan teknis topografi, namun pada saat dibuatnya peta ini tidak memiliki karakter mengikat secara hukum. Lalu apa alasan hakim sehingga menggunakan peta ini sebagai dasar keputusannya. Karena saat peta ini diserahkan dan dikomunikasikan kepada Pemerintah Siam oleh pejabat Perancis, Pemerintah Siam sama sekali tidak memberikan reaksi, menyatakan keberatan ataupun mempertanyakannya. Ketiadaan reaksi tersebut menjadikan Pemerintah Siam menerima keadaan dan kondisi dalam peta ini. Demikian juga pada banyak kesempatan lainnya, Pemerintah Thailand tidak mengajukan keberatan apapun terhadap letak Kuil Preah Vihear.

53Diambil dari http://publikasi.umy.ac.id/index.php/hi/article/viewFile/1180/1325 Diakses Pada 17 April 2013

Page 18: PEMBAHASAN MAKALAH

18

Pendapat mayoritas hakim Mahkamah Internasional ini nampaknya didasarkan pada prinsip Estoppel, dimana kegagalan Thailand menyatakan keberataannya saat kesempataan tersebut ada membuat Thailand kehilangan hak untuk menyatakan bahwa pihaknya tidak terikat pada peta dalam Annex I Map. Lebih menarik lagi, mayoritas hakim berkesimpulan bahwa adalah tidak penting lagi untuk memutuskan apakah watershed line yang dipergunakan dalam peta sebagaimana Annex I Map telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Nampaknya kesimpulan terakhir inilah yang masih belum dapat diterima oleh Thailand yang tetap berpendapat bahwa telah terjadi kesalahan watershed line dalam pembuatan peta namun tidak diperiksa oleh mayoritas hakim Mahkamah Internasional karena dianggap tidak penting lagi. Insiden tembak-menembak pada tanggal 15 Oktober 2008 sebenarnya bisa dikatakan sebagai akibat dari keenganan Mahkamah Internasional untuk memeriksa kembali apakah watershed line yang dipergunakan dalam pembuatan peta telah sesuai atau tidak dengan keadaan yang sebenarnya. Sehingga masalah ini menjadi isu yang selalu terbuka untuk diperdebatkan oleh pihak yang bersengketa. Namun nasi sudah menjadi bubur, nyawa manusia telah hilang. Berdasarkan Pasal 94 Piagam PBB, masuknya militer Thailand ke dalam wilayah Kamboja sebagaimana tertuang dalam Annex I Map dapat dianggap sebagai ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Internasional. Selanjutnya Kamboja bisa saja membawa permasalahan ini kepada Dewan Keamanan PBB untuk mendapatkan penyelesaian. Kemudian perundingan antara Kamboja dan Thailand mengalami kegagalan untuk mengakhiri sengketa soal kuil di perbatasan. Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mendesak Thailand dan Kamboja agar menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh dan bisa menahan diri. ASEAN menawarkan diri untuk membantu mengatasi ketegangan di antara mereka. Sekjen ASEAN, Surin Pitsuan, menyatakan Phnom Penh juga membantah mengadu atau minta intervensi Dewan Keamanan PBB untuk menyelesaikan persengketaan sebuah kuil di perbatasan Kamboja-Thailand.

Kedua pihak mengungkapkan keinginannya untuk merespons niat baik, permintaan, dan desakan kolega-kolega mereka. Mereka berharap kedua pihak menemukan solusi yang baik bagi situasi itu. Kedua negara dikenal sama-sama memiliki kekayaan warisan budaya dunia berbasis bangunan candi Hindu dan Buddha. Kuil Preah Vihear yang sekarang disengketakan merupakan salah satu simbol keagungan budaya masa lalu.

Namun sengketa di lahan seluas 4,6 kilometer persegi di Kuil Preah Vihear tidak pernah diperkirakan muncul kembali dalam bentuk setajam ini, yang sampai mengarah ke pengerahan pasukan. Kita belum dapat menduga, apakah di luar masalah-masalah menyangkut klaim yang bersifat kesejarahan itu, juga tersimpan motif lain apakah politik, apakah potensi-potensi ekonomi, atau akumulasi dari semua permasalahan yang timbul.

Page 19: PEMBAHASAN MAKALAH

19

b. Penyelesaian Sengketa dan Putusan

Berdasarkan “Annex I Map” yang dipergunakan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pada tahun 196254 dalam menyelesaikan sengketa perbatasan ini, diputuskan bahwa Preah Vihear Pagoda berada pada jarak 700 meter di dalam wilayah teritorial kerajaan Kamboja. Dalam keputusannya, mayoritas hakim (9 dari 12) Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Kuil Preah Vihear berada dalam wilayah kedaulatan Kamboja dan Thailand harus menarik personil kepolisian dan militer dari kuil tersebut atau dari daerah sekitarnya dalam wilayah kedaulatan Kamboja.

Dalam analisis masalah ini, terdapat suatu persengketaan terhadap wilayah Kuil Preah Vihear yang sebelumnya telah diakui secara resmi oleh UNESCO (United Nations Economic, Social and Cultural Organization) masuk ke dalam daftar warisan dunia (Word Heritage List)  atas Negara Kamboja. Persengketaan ini telah berlangsung sejak lama, dimana sampai pada saat itu Pemerintah Thailand yang menganggap masih ada ketidaksepahaman mengenai letak Kuil Preah Vihear yang sebenarnya.

Namun Keputusan Pengadilan Internasional atas kasus tersebut, Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pada tahun 1962 dalam menyelesaikan sengketa perbatasan ini, diputuskan bahwa Preah Vihear Pagoda berada pada jarak 700 meter di dalam wilayah teritorial kerajaan Kamboja. Dimana hakim mahkamah Internasional Tetapi Thailand tidak secara nyata menunjukkan kesepakatannya terhadap putusan tersebut, yang mana pemerintah Thailand justru melakukan aktifitas militer di daerah Kuil Preah Vihear.55

Berdasarkan kasus yang terjadi pada Preah Vihear maka dapat ditarik suatu persamaan bahwa kasus tersebut timbul akibat terjadinya suatu suksesi baik suksesi negara, dalam kaitan beralihnya kekuasaan dari pemerintah kolonial Prancis kepada suksesornya yaitu kamboja dalam kasus Preah Viher dengan pihak-pihak terkait lainnya.

Perjanjian internasional yang terjadi dalam kasus tersebut, maka terhadap suksesor memiliki akibat hukum yang berbeda, mengenai kasus Preah Vihear yang berkaitan dengan perjanjian perbatasan antara Prancis selaku suksesor dari kamboja dengan Kerajaan Siam maka berdasarkan praktek negara-negara dan Vienna Convention on Succession of States in respect of Treaties, perjanjian internasional semacam ini mengikat negara suksesor. Mengenai Konsekuensi

54 http://icj-cij.org55 http://www.invispress.com

Page 20: PEMBAHASAN MAKALAH

20

tersebut secara tegas diatur dalam pasal 11 Vienna Convention on Succession of States in respect of Treaties yang berbunyi :

‘ A succession of States does not as such affect: a boundary established by treaty; or obligations and rights established by a treaty and relating to the regime of a boundary.56

Dari pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan terhadap suatu pemerintahan dalam suatu negara tidak akan merubah atau berakibat kepada posisi negara tersebut dimata hukum internasional baik mengenai kebijakan luar negeri suatu negara maupun perjanjian yang telah dibuat oleh pemerintahan sebelumnya.57

56 Miller, Lynn H. Agenda Politik Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006 hlm 6257 Sriyono, A Agus dkk. Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.2004 hlm 32

Page 21: PEMBAHASAN MAKALAH

21

BAB 3Penutup

A. Kesimpulan

Dalam hubungan antarnegara di ASEAN, sengketa tidak dapat dihindari oleh karena adanya benturan kepentingan dari setiap negara anggota. Maka dari itu mekanisme penyelesaian sengketa sangat dibutuhkan oleh ASEAN untuk mencegah sengketa agar tidak menjadi konflik yang berkepanjangan. ASEAN sendiri telah memliki mekanisme penyelesaian sengketa akan tetapi terdapat beberapa metode atau cara. Beragamnya mekanisme penyelesaian sengketa di ASEAN itu perlu dijelaskan secara seksama dan detail sehingga pihak terkait (stakeholders) tidak keliru. Keberhasilan negara-negara ASEAN untuk memperkuat kelembagaan dan mekanisme penyelesaian sengketa (dispute settlement mechanism/DSM) menjadi salah satu agenda terpenting di dalam memperkuat pilar politik keamanan, dalam konsepsi menyeluruh secara bersama dan seimbang dengan upaya pembentukan 2 pilar lainnya, yakni di bidang ekonomi dan sosial budaya. 

Melihat penerapan prinsip non intervensi selama lebih dari empat dasawarsa yang tetap membuat ASEAN bersatu, nampaknya prospek ASEAN di masa yang akan datang masih akan tetap baik. Hal ini ditambah dengan dibuatnya Piagam ASEAN yang membuat keanggotaan negara-negara anggota semakin terikat. Dalam Piagam ini pun prinsip non intervensi masih amat ditekankan. Prinsip ini memang terbukti ampuh untuk menjaga keutuhan ASEAN. Namun, Tanpa berniat mengurangi kontribusi penting itu, haruslah diakui bahwa memasuki dasawarsa keempat usianya, situasi yang dihadapi ASEAN telah berubah; beragam masalah pun telah timbul. Tak dapat dipungkiri, seiring dengan bertambahnya usia itu, bertambah dan beragam pula persoalan yang dihadapi. Apalagi kini anggotanya sudah bertambah menjadi sepuluh dari awalnya hanya lima.

Akibat dari akumulasi jumlah dan keberagaman masalah yang dihadapi ASEAN, prinsip non intervensi yang selama ini dianggap penting, justru kerap dianggap menjadi hambatan terhadap persoalan-persoalan yang senyatanya memerlukan intervensi dari sesama anggota. Selama ini, dalam konteks hubungan antarnegara anggota ASEAN, jika permasalahan yang terjadi sudah mulai berkaitan dengan masalah dalam negeri, hal itu akan menjadi semacam hal yang tabu bagi negara tetangga lainnya untuk ikut membicarakan solusi pemecahannya dan bahkan ikut terlibat dalam penyelesaian masalah tersebut.

Page 22: PEMBAHASAN MAKALAH

22

Akibatnya, terdapat semacam dualisme antara tuntutan mengatasi sejumlah persoalan bersama yang sedang dihadapi di satu pihak dengan kekhawatiran terhadap lunturnya kerja sama ASEAN jika prinsip non intervensi ini ditinggalkan di pihak yang lain. Soalnya kemudian ialah jika dualisme itu terus berlangsung, maka impian ASEAN untuk mewujudkan gagasan-gagasan besarnya melalui aksi-aksi konkret yang secara nyata menguntungkan negara-negara anggota akan justru semakin sulit terwujud. Padahal, ukuran keberhasilan suatu organisasi semakin tinggi dilihat dari aksi-aksi nyata. Dalam tataran pemikiran demikian, kukuhnya ASEAN memegang prinsip non intervensi justru dapat dilihat sebagai hambatan terhadap kerja sama ASEAN.

B. Saran

ASEAN adalah sebuah organisasi yang didasarkan pada kenyamanan dan konsensus bersama negara-negara anggotanya. Tidak ada keharusan bagi anggota ASEAN untuk maju bersama di dalam satu permasalahan, kalau ternyata ada satu negara yang tidak setuju terhadap satu usulan, maka usulan itu akan tetap menjadi usulan belaka, namun tentunya juga akan diupayakan terus agar usulan itu diterima oleh seluruh anggota. Itu tidak berarti bahwa ASEAN tidak berguna dan tidak mempunyai kekuatan.

Satu hal yang saya kira harus disadari adalah bahwa ASEAN merupakan kawasan yang terbebas dari konflik. Dengan tidak adanya konflik diantara sesama anggota ASEAN, itu sebenarnya sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia dan masyarakat negara lainnya di kawasan. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin banyak hubungan internasional yang dilakukan maka semakin banyak pula kemungkinan terjadinya konflik antar negara apalagi dalam satu kawasan, sehingga dengan adanya kesepakatan dari masing- masing negara untuk mengadakan perjanjian diharapkan hubungan antar anggota ASEAN akan tetap berjalan baik dan perselisihan dapat diselesaikan secara damai