Patofisiologi

7
Patofisiologi Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG. dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme.

description

ertgergerye3

Transcript of Patofisiologi

Page 1: Patofisiologi

Patofisiologi

Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,

walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa

faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat

(salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan

(coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan,

kehamilan).

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan

reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks

soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG. dan reaksi

hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang

dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.

Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme

imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul

karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat

berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi

melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis,

interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme.

1. Mekanisme Imunologis

a. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I (Reaksi anafilaksis)

Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang

mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari

obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang

sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang

pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin

dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek,

misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok.

b. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II (Reaksi Autotoksis)

Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel.

Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan

Page 2: Patofisiologi

lisis. Reaksi ini terjadi karena dibentuk antibody jenis IgG dan IgM terhadap antigen

yang merupakan bagian dari sel pejamu. Antibody tersebut dapat mensensitisasi sel K

sebagai efektor antibody dependent cell cytotoxicity (ADCC) atau mengaktifkan

komplemen dan menimbulkan lisis. Manifestasi klinis berupa kelainan darah seperti

anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, granulositopenia. Nefritis intersisial

dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini.

c. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)

Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang

mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komlemen. Akibatnya terjadi

akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan leozim dan menyebab kerusakan

jaringan pada organ sasaran ( target- organ ).Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen

antibody yang bersikulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau

jaringan sebelah bitir.

Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam

jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan

menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe

ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan

jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah

tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan

enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan

berlanjut. Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen

antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam

jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang

pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan

jaringan.

Terjadi akibat endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau

pembuluh darah. Antibodi disini biasanya jenis IgG. Kompleks tersebut mengaktifkan

komplemen yang kemudian melepas berbagai mediator terutama macrophage

chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak

jaringan di sekitarnya. Manifestasi klinis reaksi tipe ini dapat berupa :

1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme, yang sering

disertai pruritus

2. Demam

3. Kelainan sendi, artralgia, dan efusi sendi

Page 3: Patofisiologi

4. Limfadenopati

5. Lain-lain : kejang perut, mual, neuritis optik, glomerulonefritis, SLE, gejala

vaskulitis lainnya.

d. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)

Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan

reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48

jam setelah pajanan terhadap antigen. Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat

limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian

limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T,

terjadi pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen

sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai

oleh sel ini bersifat lambat ( delayed ) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam

untuk terbentuknya.

Reaksi ini timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan oleh antigen. Reaksi

terjadi karena respon sel Th1 yang sudah disensitisasi terhadap antigen tertentu.

Dalam hal ini tidak ada peran antibodi. Akibat sensitisasi tersebut sel Th1 melepaskan

limfokin antara lain MIF, MAF. Makrofag yang diaktifkan melepas berbagai mediator

(sitokin, enzim, dsb) sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan.

Manifestasi klinis reaksi tipe ini dapat berupa reaksi paru akut seperti demam,

sesak, batuk, infiltrat paru, dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi

ini adalah nitrofurantoin. Nefritis intersisial, ensefalomielitis, dan hepatitis dapat juga

merupakan manifestasi reaksi alergi obat. Namun demikian dermatitis merupakan

manifestasi yang paling sering.

2. Mekanisme Non Imunologis

Reaksi “Pseudo-allergic” menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-

dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras

media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat;

pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem

komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel.

Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat

menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi anti

kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam

Page 4: Patofisiologi

jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi

generalisata diffuse.

3. Unknown Mechanisms

Selain dua mekanisme diatas, masih terdapat mekanisme lain yang belum dapat

dijelaskan.3 Patogenesisnya masih belum jelas. Perkiraan disebabkan oleh reaksi alergi

tipe III dan IV. Reaksi alergi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-

antibodi yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan pada organ, terbentuknya

kompleks an¬tigen-antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktivasi

sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan

lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi

alergi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi oleh suatu antigen berkontak

kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi

radang.

a. Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM,

IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.

b. Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat

merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.

Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel

obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab

tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,

inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di

daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi

komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.

c. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang

dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di

kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta

produk inflamasi lainnya.

d. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang

akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.