Pangan Gizi Astry

14
TUGAS TERSTRUKTUR PANGAN DAN GIZI Analisis Perbedaan Konsep Ketahanan Pangan Menurut UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan Disusun Oleh: Astry Pratiwi (A1M014052) KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

description

Ketahanan Pangan

Transcript of Pangan Gizi Astry

TUGAS TERSTRUKTUR PANGAN DAN GIZIAnalisis Perbedaan Konsep Ketahanan Pangan Menurut UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan

Disusun Oleh:Astry Pratiwi(A1M014052)

KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN TINGGIUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS PERTANIANPURWOKERTO2015PENDAHULUANPangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut di dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No.7/1996 tentang Pangan. Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi pangan yang kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.[footnoteRef:2] [2: Anonim, Ketahanan Pangan, Dalam http://www.bulog.co.id/ketahananpangan.php, Diakses pada 6 April 2015]

Berdasarkan berbagai pertimbangan, salah satunya karena kehawatiran dari banyak kalangan masyarakat tentang isu liberalisasi pangan, UU Pangan No.7 tahun 1996 direvisi menjadi UU No.18 tahun 2012. UU tentang Pangan yang baru tersebut menjadi hadiah ulang tahun di Hari Pangan Sedunia ke-32 yang bertemakan Agricultural Cooperatives Key to Feeding the World. Semangat dalam UU ini sesuai dengan temanya, yaitu kewajiban negara untuk memberikan pangan yang cukup, aman, sehat, dan terjangkau bagi rakyatnya. Proses pembahasan UU Pangan ini telah melewati proses yang panjang, berupaya menyerap seluruh kepentingan masyarakat (stakeholder) baik petani, elemen masyarakat, perguruan tinggi, maupun para pakar di bidang pangan. Materi UU Pangan ini disusun lebih aspiratif dan komprehensif dibandingkan dengan UU Pangan No.7 Tahun 1996.[footnoteRef:3] [3: Herman Khaeron, UU Pangan; Kado Spesial di Hari Pangan Sedunia Ke-32, Dalam http://deptan.demokrat.or.id/?p=160, Diakses pada 6 April 2015]

Berkaitan dengan hal tersebut, aspek ketahanan pangan atau lebih tepatnya mengenai konsep ketahanan pangan inilah yang membuat adanya perbedaan dari kedua UU Pangan tersebut dan di sini akan lebih dicermati lagi.

A. Perbedaan Konsep Ketahanan Pangan Menurut UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan[footnoteRef:4] [4: Ibid]

Dalam UU No.18 tahun 2012 tentang Pangan, aspek kedaulatan dan kemandirian pangan dimasukkan sebagai landasan filosofis. Dalam rangka mencapai ketahanan pangan dengan segenap peraturannya telah mencakup sistem penyelenggaraan pangan mulai dari aspek ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, konsumsi pangan dan gizi, serta keamanan pangan. UU tentang Pangan yang baru ini pula bentuk upaya mewujudkan ketahanan pangan yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal yang dilakukan dengan penganekaragaman pangan dan pengutamaan produksi pangan dalam negeri. Pembahasan UU tentang Pangan juga menerima masukan dari berbagai pihak dan sangat memperhatikan kekhawatiran banyak kalangan masyarakat tentang isu liberalisasi pangan. UU tentang Pangan yang baru ini pula memperhatikan keseimbangan peran dan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pangan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan terdiri 14 BAB dan 65 PASAL. Sedangkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan terdiri dari 17 BAB, dan menjadi 154 PASAL. UU tentang Pangan yang baru ini memiliki perbedaan paradigma dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Dalam UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dinyatakan dalam konsideran menimbang bahwa pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam, dan tersedia secara cukup merupakan persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makin berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 disebutkan bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional, daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah negara Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.Oleh karena itu, terlihat bahwa UU tentang Pangan yang baru ini memberikan kewajiban bagi negara untuk mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal melalui pemenuhan pangan yang cukup, terjangkau, aman dan bergizi. Dalam UU tentang Pangan ini terdapat sepuluh ayat yang mengamanatkan disusunnya Peraturan Pemerintah, dan satu ayat mengamanatkan disusunnya Peraturan Presiden

B. Definisi Ketahanan Pangan Menurut UU No. 7 Tahun 1996 Tentang PanganUndang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, mengartikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.Pencapaian ketahanan pangan tersebut bukan hanya menggambarkan kondisi makro suatu negara, melainkan pula kondisi mikro yaitu hingga ke tingkat rumah tangga. Secara politis, salah satu tujuan ketahanan pangan adalah terciptanya sebuah kemandirian dan kedaulatan pangan. Sebagai sebuah konsep, ketahanan pangan memiliki parameter keberhasilan. Dalam UU No. 7/1996 di atas, basisnya adalah rumah tangga atau kelompok terkecil dengan sejumlah parameter berupa kecukupan jumlah dan mutu, keamanan, merata (kondisi makro dan mikro) dan terjangkau.[footnoteRef:5] [5: Ibid]

C. Definisi Ketahanan Pangan Menurut UU No.18 Tahun 2012 Tentang PanganUU Pangan yang telah mengalami revisi, yaitu UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, definisi Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.Definisi ketahanan pangan dalam UU No.18 tahun 2012 di atas merupakan penyempurnaan dan pengkayaan cakupan dari definisi dalam UU No.7 tahun 1996 yang memasukkan perorangan, beragam, bergizi dan sesuai keyakinan agama serta budaya bangsa. Definisi UU No.18 Tahun 2012 secara substantif sejalan dengan definisi ketahanan pangan dari FAO yang menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai preferensi.[footnoteRef:6] [6: Anonim, Ketahanan Pangan, Dalam http://www.bulog.co.id/ketahananpangan.php, Diakses pada 6 April 2015]

D. Analisis Perbedaan Definisi Ketahanan Pangan Menurut UU No.7 Tahun 1996 dan UU No.18 Tahun 2012Sesuai dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1996, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari: (1) tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih dipahami sebagai berikut:(1) Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan sebagai ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.(2) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari bahaya kimia, biologis dan fisik, serta benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.(3) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan bahwa distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan untuk setiap saat dan merata di seluruh tanah air yang sekali lagi mencakup aspek makro dan mikro.(4) Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan bahwa pangan mesti mudah diperoleh oleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.Sementara dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2012, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari: (1) tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) beragam; (4) bergizi; (5) merata; dan (6) terjangkau; serta (7) tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat; (8) untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.Dapat dilihat dari poin-poin yang mencolok pada pengertian ketahanan pangan menurut UU No. 18/2012 di atas, berturut-turut poin (1), (2), (5), dan (6) sama percis dengan poin (1), (2), (3), dan (4) pada pengertian ketahanan pangan menurut UU No.7/1996. Poin yang telah dikembangkan/diperluas serta disempurnakan antara lain poin (3), (4), (7), dan (8). Dari poin-poin yang telah diperluas untuk menjabarkan pengertian ketahanan pangan tersebut, tersirat bahwa upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional sesuai dengan UU No. 18/2012 dapat lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi-kondisi sebagai berikut.(1) Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan sebagai ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.(2) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari bahaya kimia, biologis dan fisik, serta benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.(3) Terpenuhinya pangan dalam kondisi yang beragam, diartikan bahwa pangan yang tersedia harus beragam macam dan jenisnya agar tidak terjadi adanya suatu ketergantungan pada satu jenis komoditas pangan tertentu. Pangan dalam kondisi yang beragam ini juga mulai diupayakan oleh pemerintah salah satunya melalui program diversifikasi pangan yang masih terus disosialisasikan kepada masyarakat Indonesia. Terutama pengembangan diversifikasi pangan ke arah bahan pangan lokal merupakan salah satu cara yang dipandang efektif untuk mencegah sekaligus mengatasi sejumlah kerawanan terhadap ketahanan pangan yang dapat terjadi di negeri ini sekaligus untuk mendukung terwujudnya ketahanan pangan yang mantap dan sustainable.(4) Terpenuhinya pangan dalam kondisi yang bergizi, diartikan bahwa pangan yang tersedia harus memiliki kandungan gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya), yaitu berupa pangan yang berasal dari bahan nabati dan hewani, yang dapat mencukupi kebutuhan gizi untuk pertumbuhan dan kesehatan manusia. Kondisi ini sebenarnya hampir sama dengan pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya. Namun pada kondisi pangan yang bergizi ini, aspek gizi lebih ditegaskan agar lebih memperjelas maksud dari pangan yang harus tersedia di masyarakat.(5) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan bahwa distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan untuk setiap saat dan merata di seluruh tanah air yang sekali lagi mencakup aspek makro dan mikro.(6) Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan bahwa pangan mesti mudah diperoleh mulai dari negara hingga tiap-tiap individu (perseorangan) yang ada di negara tersebut serta dengan harga yang terjangkau.(7) Terpenuhinya pangan dalam kondisi yang tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, diartikan bahwa pangan yang tersedia di masyarakat harus mudah diterima oleh masyarakat dengan syarat tidak bertentangan dengan agama dan keyakinan, dimana mayoritas masyarakat Indonesia adalah beragama Islam. Oleh karenanya, kondisi pangan yang tidak bertentangan dengan agama dan keyakinan berati merupakan pangan yang halal dan telah tersertifikasi oleh badan resmi nasional yang memiliki kewenangan serta berkompeten dalam hal tersebut. Selain itu pangan yang tersedia juga harus sesuai dengan budaya yang ada di masyarakat, artinya pangan yang terpenuhi kondisinya tidak bertentangan atau tetap selaras dengan budaya/kebiasaan dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Jadi walaupun pada UU ini terdapat poin keberagaman pangan, tetapi pangan yang beragam itu kondisinya harus masih bisa diterima oleh masyarakat kita agar tidak menjadi perdebatan di masyarakat. (8) Terpenuhinya pangan dalam kondisi yang mendukung untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan, diartikan bahwa pangan yang tersedia di masyarakat harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang disebutkan sebelumnya dalam pengertian ketahanan pangan, yaitu pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat demi mendukung serta menunjang pertumbuhan dan kesehatan manusia agar dapat hidup sehat, aktif, dan produktif tidak hanya untuk kebutuhan kesehatan manusia hari ini atau satu saat tertentu saja, melainkan untuk mendukung dan menunjang masa-masa pertumbuhan manusia serta memberi efek baik bagi kesehatan manusia jangka panjang karena mengkonsumsi pangan yang mencakup persyaratan di atas. Selain itu, poin secara berkelanjutan disini juga berarti bahwa pangan yang tersedia dan memenuhi segala persyaratan di atas harus tersedia secara terus-menerus tanpa ada batasan waktu.Berdasarkan penjabaran terhadap pemahaman setiap poin penting yang tercantum pada definisi ketahanan pangan menurut kedua UU Pangan di atas, perbedaan yang paling signifikan ialah pada sasaran dari suatu ketahanan pangan yang ingin diwujudkan tersebut. Dalam UU No.7/1996 tentang Pangan, ketahanan pangan hanya difokuskan untuk tercapai sampai ke tingkat rumah tangga atau suatu keluarga. Namun, dalam UU No.18/2012 tentang Pangan, ketahanan pangan difokuskan untuk tercapai sampai ke tingkat perseorangan atau setiap individu yang ada di dalam suatu rumah tangga tersebut.Hal ini berarti bahwa kondisi terpenuhinya pangan menurut UU No.7/1996 hanya sebatas sampai ke tingkat rumah tangga, yang dipandang sebagai kelompok masyarakat terkecil. Namun, tidak sampai memandang kecukupan pangan dari masing-masing individu yang ada di dalam suatu kelompok tersebut. Ketahanan pangan disini dengan kata lain seperti hanya merata-ratakan kondisi terpenuhinya pangan dari setiap individu berdasarkan kecukupan pangan yang dialami oleh rumah tangga yang didiami oleh individu tersebut. Berbeda dengan sasaran suatu ketahanan pangan yang terdapat di dalam UU No.18/2012 yang sampai kepada tingkat perseorangan yang berarti bahwa dalam UU Pangan yang baru ini, definisi ketahanan pangan telah lebih menegaskan bahwa ketahanan pangan itu ditujukan untuk setiap orang dan telah menjadi hak setiap individu untuk memperoleh pangan yang cukup dan baik, karena seperti yang telah kita ketahui hak untuk memperoleh pangan adalah hak asasi manusia yang berlaku untuk setiap manusia serta tidak dapat diganggu gugat.KESIMPULANBerdasarkan analisis terhadap konsep ketahanan pangan menurut UU No.7 tahun 1996 dan UU No.18 tahun 2012, dapat disimpulkan bahwa materi UU Pangan yang baru ini disusun lebih aspiratif dan komprehensif dibandingkan dengan UU Pangan terdahulu, karena memasukkan aspek kedaulatan dan kemandirian pangan sebagai landasan filosofis. Sehingga UU Pangan yang baru ini memberikan kewajiban bagi negara untuk mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal melalui pemenuhan pangan yang cukup, terjangkau, aman dan bergizi. Selain itu, berdasarkan pada definisi ketahanan pangan dari kedua UU Pangan tersebut, terlihat bahwa di dalam UU No.18 tahun 2012 tentang Pangan lebih menjabarkan dan memperjelas mengenai kepada siapa saja kondisi pangan harus terpenuhi serta pertimbangan aspek penerimaan pangan dalam masyarakat berdasarkan agama, keyakinan dan budaya mereka yang telah diperhatikan pemerintah.

definisi ketahanan pangan dalam UU No.18 tahun 2012 merupakan penyempurnaan dan pengkayaan cakupan dari definisi dalam UU No.7 tahun 1996. Perbedaan yang signifikan terlihat pada sasaran terbawah dari suatu ketahanan pangan yang ingin diwujudkan, dari rumah tangga menjadi perseorangan. Selain itu, poin-poin pangan yang harus beragam; bergizi; tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat; untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan dalam UU Pangan yang baru telah lebih memperjelas serta mempertegas kondisi pangan yang seperti apa yang harus tersedia dan terpenuhi bagi masyarakat, dibandingkan yang terdapat di dalam UU Pangan yang lama. Hal tersebut menyiratkan bahwa Sehingga diharapkan ketahanan pangan yang terwujud akan lebih mantap serta berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKAAnonim. 2014. Ketahanan Pangan. http://www.bulog.co.id/ketahananpangan.php. Diakses pada Senin, 6 April 2015, 19:11 WIBHerman Khaeron. 2012. UU Pangan; Kado Spesial di Hari Pangan Sedunia Ke-32. http://deptan.demokrat.or.id/?p=160. Diakses pada Senin, 6 April 2015, 19:52 WIB