Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

24
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik Pada dasarnya, konsep paradigma besar manfaatnya, oleh karena konsep ini mampu menyederhanakan dan menerangkan suatu kompleksitas fenomena menjadi seperangkat konsep dasar yang utuh. Paradigma tidaklah statis, karena ia bisa diubah jika paradigma yang ada tidak dapat lagi menerangkan kompleksitas fenomena yang hendak diterangkannya itu. Masalah yang paling dasar dalam wacana kita sekarang ini adalah mempertanyakan – dan menjawab – sudahkah Pancasila merupakan sebuah paradigma yang mampu menerangkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia pada umumnya, dan kehidupan sosial politik pada khususnya? Bukankah kritik yang paling sering kita dengar adalah bahwa nilai-nilai yang dikandung Pancasila itu baik, hanya implementatifnya sila-silanya bagaikan terlepas satu sama lain dan penerapannya dalam kenyataan yang masih belum sesuai dengan kandungan normanya. Pancasila, yang sejak tahun 1945 telah dinyatakan sebagai dasar negara Republik Indonesia, mungkin memang masih memerlukan pengembangan dan pendalaman konseptual agar dapat menjadi sebuah paradigma yang andal. Pengembangan dan pendalaman ini amat urgen, oleh karena amat sukar membayangkan akan adanya sebuah Indonesia, yang dalam segi amat majemuk, tanpa dikaitkan dengan Pancasila. 1. Bagaimana terjadinya Pancasila Walaupun sebagai pribadi, sebagai warga masyarakat, dan sebagai anak bangsa kita sudah mendengar, memahami dan meyakini, bahkan melaksanakan berbagai gagasan mengenai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial namun rasanya sebelum tahun 1945 kita tidak pernah mendengar gagasan untuk menyatukan kelima gagasan tersebut sebagai suatu kesatuan yang utuh, dan agar disepakati sebagai basic premises untuk mendirikan Negara Gagasan tersebut pertama kalinya diajukan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya pada sidang pertama Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Mengapa Soekarno yang mampu mengidentifikasi lima gagasan terpadu itu? Mengapa bukan tokoh lain? Pertanyaan ini sungguh menarik, dan hanya mungkin kita jawab kita mendalami riwayat hidup beliau serta visi kenegaraannya. Yang jelas, Soekarno amat yakin, bahwa bagaimanapun majemuknya masyarakat Indonesia, namun keseluruhannya itu dalam mata batin Soekarno adalah suatu bangsa. Dengan lain perkataan, sesungguhnya paradigma politik dan visi kenegaraan Soekarno adalah gagasan nasionalisme. Juga pada saat ia mempropagandakan kesatuan antara nasionalisme-islamisme dan maxisme, ia berbicara mengenai kesatuan bangsa Indoensia, yang disemangati oleh tiga ideologi tersebut. Berdasar renungannya yang bagaikan merupakan suatu obsesi untuk menyatukan seluruh masyarakat Indonesia yang demikian majemuk, Soekarno menyimpulkan bahwa ada lima dasar negara, yaitu disebutnya sila, yang dipandangnya sesuai untuk maksud itu, yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan akhirnya Peri Ketuhanan. Di dukung oleh oratory yang kuat, pemikiran Soekarno tersebut mendapatkan sambutan yang gegap gempita dari anggota lainnya. Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, yang pernah menjadi Ketua Boedi Oetomo, memang menanyakan pada tanggal 28 Mei 1945 kepada para anggota badan tersebut tentang dasar negara yang segera akan dibentuk. Sejak tahun 1944 Pemerintah Kekaisaran Jepang telah memberikan janji bahwa Indonesia – yang didudukinya sejak awal tahun 1942 – segera diberi kemerdekaan. Secara historis, Pancasila ditawarkan sebagai konsep politik dalam rangka pembentukan negara. Dengan demikian, Pancasila lahir sebagai suatu political thought, suatu pemikiran politik. 2. Apakah sebenarnya esensi dan status Pancasila itu? Jika kita renungkan baik-baik, mungkin tidaklah terlalu keliru jika kita merumuskan esensi Pancasila itu sebagai suatu formula dasar nasionalisme Indonesia. Pancasila adalah nasionalisme, suatu faham yang berpendirian bahwa semua orang yang berkeinginan membentuk masa depan bersama di bawah lindungan suatu negara, tanpa membedakan suku, ras, agama ataupun golongan,

Transcript of Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

Page 1: Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

Pada dasarnya, konsep paradigma besar manfaatnya, oleh karena konsep ini mampu menyederhanakan dan menerangkan suatu kompleksitas fenomena menjadi seperangkat konsep dasar yang utuh. Paradigma tidaklah statis, karena ia bisa diubah jika paradigma yang ada tidak dapat lagi menerangkan kompleksitas fenomena yang hendak diterangkannya itu. Masalah yang paling dasar dalam wacana kita sekarang ini adalah mempertanyakan – dan menjawab – sudahkah Pancasila merupakan sebuah paradigma yang mampu menerangkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia pada umumnya, dan kehidupan sosial politik pada khususnya? Bukankah kritik yang paling sering kita dengar adalah bahwa nilai-nilai yang dikandung Pancasila itu baik, hanya implementatifnya sila-silanya bagaikan terlepas satu sama lain dan penerapannya dalam kenyataan yang masih belum sesuai dengan kandungan normanya.

Pancasila, yang sejak tahun 1945 telah dinyatakan sebagai dasar negara Republik Indonesia, mungkin memang masih memerlukan pengembangan dan pendalaman konseptual agar dapat menjadi sebuah paradigma yang andal. Pengembangan dan pendalaman ini amat urgen, oleh karena amat sukar membayangkan akan adanya sebuah Indonesia, yang dalam segi amat majemuk, tanpa dikaitkan dengan Pancasila.

1.     Bagaimana terjadinya Pancasila

Walaupun sebagai pribadi, sebagai warga masyarakat, dan sebagai anak bangsa kita sudah mendengar, memahami dan meyakini, bahkan melaksanakan berbagai gagasan mengenai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial namun rasanya sebelum tahun 1945 kita tidak pernah mendengar gagasan untuk menyatukan kelima gagasan tersebut sebagai suatu kesatuan yang utuh, dan agar disepakati sebagai basic premises untuk mendirikan Negara Gagasan tersebut pertama kalinya diajukan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya pada sidang pertama Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Mengapa Soekarno yang mampu mengidentifikasi lima gagasan terpadu itu? Mengapa bukan tokoh lain? Pertanyaan ini sungguh menarik, dan hanya mungkin kita jawab kita mendalami riwayat hidup beliau serta visi kenegaraannya. Yang jelas, Soekarno amat yakin, bahwa bagaimanapun majemuknya masyarakat Indonesia, namun keseluruhannya itu dalam mata batin Soekarno adalah suatu bangsa. Dengan lain perkataan, sesungguhnya paradigma politik dan visi kenegaraan Soekarno adalah gagasan nasionalisme. Juga pada saat ia mempropagandakan kesatuan antara nasionalisme-islamisme dan maxisme, ia berbicara mengenai kesatuan bangsa Indoensia, yang disemangati oleh tiga ideologi tersebut.

Berdasar renungannya yang bagaikan merupakan suatu obsesi untuk menyatukan seluruh masyarakat Indonesia yang demikian majemuk, Soekarno menyimpulkan bahwa ada lima dasar negara, yaitu disebutnya sila, yang dipandangnya sesuai untuk maksud itu, yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan akhirnya Peri Ketuhanan. Di dukung oleh oratory yang kuat, pemikiran Soekarno tersebut mendapatkan sambutan yang gegap gempita dari anggota lainnya. Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, yang pernah menjadi Ketua Boedi Oetomo, memang menanyakan pada tanggal 28 Mei 1945 kepada para anggota badan tersebut tentang dasar negara yang segera akan dibentuk. Sejak tahun 1944 Pemerintah Kekaisaran Jepang telah memberikan janji bahwa Indonesia – yang didudukinya sejak awal tahun 1942 – segera diberi kemerdekaan. Secara historis, Pancasila ditawarkan sebagai konsep politik dalam rangka pembentukan negara. Dengan demikian, Pancasila lahir sebagai suatu political thought, suatu pemikiran politik.

2.     Apakah sebenarnya esensi dan status Pancasila itu?

Jika kita renungkan baik-baik, mungkin tidaklah terlalu keliru jika kita merumuskan esensi Pancasila itu sebagai suatu formula dasar nasionalisme Indonesia. Pancasila adalah nasionalisme, suatu faham yang berpendirian bahwa semua orang yang berkeinginan membentuk masa depan bersama di bawah lindungan suatu negara, tanpa membedakan suku, ras, agama ataupun golongan, adalah suatu bangsa. Itulah semangat yang meresapi keseluruh visi politik Ir. Soekarno, yang karena kharismanya telah mempengaruhi budaya politik Indonesia. Kelihatannya, pensifatan lain dari Pancasila akan membawa kita pada gambaran yang keliru. Mungkin perlu dipertanyakan, apakah pemikiran tentang Pancasila sudah cukup berkembang sehingga layak untuk diberi predikat sebagai filsafat politik, political philosophy, setingkat dengan filsafat politik lainnya di dunia? Jika filsafat ditandai oleh pikiran yang mendalam, kritik dan sistematis, mungkin juga masih diperlukan waktu sebelum Pancasila benar-benar berkembang menjadi suatu filsafat politik. Sebabnya adalah Ir. Soekarno belum pernah berkesempatan menuangkan pikirannya secara filsafati, walaupun setelah tahun 1945 itu Ir. Soekarno pernah dua kali mengulas lebih lanjut pemikirannya dalam kursus resmi mengenai Pancasila, dalam bagian kedua dasawarsa 1960-an. Sukar untuk dibantah, bahwa Pancasila masih sarat dengan retorika.

Dalam perkembangannya dewasa ini, mungkin lebih pas jika kita memahami sila-sila Pancasila sebagai lima aksioma politik, yang diterima sebagai dalil yang tidak memerlukan rincian penjelasan lagi. Yang masih perlu kita lakukan adalah mencari kategori pemikiran dasar yang dapat memberikan makna yang utuh kepada lima aksioma politik, sehingga kita dapat memahaminya secara utuh, bukan sebagai lima konsep yang terlepas-lepas dan tidak ada kaitannya satu sama lain. Hal ini tidaklah mudah, oleh karena Pancasila demikian rentan terhadap penafsiran sesaat. Demikianlah, pada saat dunia secara ideologis terpecah antara Kubu Barat yang kapitalis dan Kubu Timur yang komunis, Ir. Soekarno sendiri sebagai “penggali Pancasila” menjelaskan bahwa Pancasila adalah “Marxisme yang  diterapkan di Indonesia” atau Pancasila sama dengan “Nasakom”.

Namun kerentanan pemikiran Soekarno pada pengaruh situasi sesaat tersebut tidaklah mengecilkan makna sumbangannya terhadap eksistensi negara Republik Indonesia. Sumbangannya yang bersifat abadi terhadap Indonesia adalah anjurannya pada tanggal 1 Juni 1945 kepada BPUPKI untuk menerima lima sila tersebut dasar negara, kepemimpinannya dalam merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Perlu kita ingat, bahwa walaupun anjuran pertama mengenai lima sila Pancasila adalah copyright Soekarno, namun lima sila dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebuah karya kolektif. Pembukaan Undang-Undang Dasar tersebut dibahas oleh 38 orang anggota BPUPKI yang masih tinggal di

Page 2: Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

Jakarta pada saat reses BPUPKI antara tanggal 2 Juni – 9 Juli 1945, ditambah dengan beberapa orang anggota Chuo Sangi In, untuk kemudian dirumuskan secara padat oleh sembilan orang anggota BPUPKI. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, lima sila Pancasila tersebut telah dikaitkan dengan esensi Tujuan Negara dan  Tugas Pemerintahan. Sungguh amt sukar untuk mencari kelamahan dari empat alinea Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.

Pemikiran lanjut tentang Pancasila, secara lebih kritis, sistematis dan komprehensif, dilakukan oleh tokoh-tokoh terpelajar Indonesia lainnya. Kita harus merenung terus menerus mengenai Pancasila ini sedemikian rupa, sehingga pada suatu saat dapat berkembang menjadi suatu Filsafat Indonesia, sejajar dengan Filsafat India, Filsafat Cina atau Filsafat Barat. Lalu status Pancasila? seperti terdapat dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 – adalah suatu kontrak politik bersejarah yang bersifat mendasar dari seluruh lapisan dan kalangan dalam batang tubuh bangsa Indonesia yang besar ini. Sebagaimana halnya setiap kontrak politik, substansinya mengikat seluruh rakyat dan seluruh jajaran pemerintah. Pada saat ini baik hukum nasional maupun seluruh lapisan penyelenggara negara terikat oleh Pancasila, yang telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional.

3.     Di mana terletak Kendala Pancasila sebagai Dasar Negara?

Tantangan dasar yang dihadapi Soekarno sebagai negarawan adalah bagaimana caranya ia mewujudkan paradigma politiknya itu, bukan saja untuk menerangkan kemajemukan masyarakat Indonesia dari segi sosiologi dan kultur, tetapi juga untuk mengikat dan menggerakkannya secara terpadu dalam suatu sistem kenegaraan dan sistem pemerintah, dimana seluruhnya bisa merasa nyaman. Susahnya, dalam obsesi beliau mewujudkan kesatuan Indonesia, Ir. Soekarno agak mengabaikan betapa mendasarnya kemajemukan Indonesia, yang bukan saja ditempa oleh sejarah daerah yang lebih panjang, tetapi juga diresapi oleh perbedaan agama yang mempunyai ajaran yang amat berbeda satu sama lain. Bukan dalam satu agama yang sama bisa terdapat perbedaan dan mazhab yang dianut.

Selanjutnya, kendala utama yang dihadapi Pancasila sebagai dasar negara adalah adanya dikrepansi antara esensinya sebagai formula nasionalisme Indonesia, dengan sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan yang menuangkannya ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini terkait dengan proses perumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri. Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan terpisah oleh suatu kelompok informal, dan diluar sidang BPUPKI, di bawah kepemimpinan langsung Ir. Soekarno, seorang nasionalis dan mantan pemimpin partai, sedangkan Batang Tubuh dan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan oleh sebuah panitia kecil BPUPKI sendiri, dipimpin oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo, seorang ahli hukum adat dengan disertai tentang hukum adat Jawa Barat, yang seluruh anggaotanya mewakili keresidenan di pulau Jawa.

Sukar untuk membantah, bahwa keseluruhan proses pembahasan Undang-Undang Dasar 1945 sangat diwarnai oleh kultur politik para anggota BPUPKI, yang sebagian besar berasal dari latar belakang budaya Jawa. Budaya politik Jawa, yang telah demikian mendasar diulas oleh Soemarsaid Moertono, berputar pada konsep kekuasaan yang terpusat di ibukota, dilingkari oleh daerah-daerah taklukan di sekitarnya. Mungkin itulah yang menyebabkan mengapa Drs. Moh. Hatta – yang agak jarang dan tidak demikian suka pidato itu – demikian berkobar-kobar berbicara sewaktu beliau membela kemerdekaan berpikir dan berbicara, dan tentang hak daerah untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Secara implisit dan eksplisit, sebagai seorang yang berasal dari masyarakat yang mempunyai budaya politik yang bersifat egalitarian, layak ia merasa amat risau dengan kecenderungan sentralistik dan otoritarian yang terkandung dalam budaya politik Jawa itu.

Bersama dengan Ki Hadjar Dewantara, yang pernah mengadvokasikan konsep democrative met leiderschap, Soekarno sendiri tidaklah terlalu risau dengan masalah itu. Ia sendiri kemudian bahkan mengajukan dan mempraktekkan konsep demokrasi terpimpin. Secara kultural ia memang cukup familier dan nyaman dengan konsep politik itu, dan dapat merasa asing dengan kultur politik egalitarian, dimana semua orang duduk sama rendah tegak sama tinggi. Disinilah terletak kendala utama Pancasila. Konsep nasionalisme yang pada dasarnya merupakan konsep modern, dan secara teoretikal mampu menampung pluralis masyarakat Indonesia, diberi wadah konstitusional yang hanya cocok dengan budaya politik suatu daerah, dalam hal ini budaya politik Jawa. Mungkin itulah sebabnya mengapa sejarah politik nasional Indonesia berayun-ayun antara format negara kesatuan dengan negara federal, antara pemerintahan yang sangat sentralistik dengan tekanan untuk mendesentralisasikan kekuasaan dan sumber daya, hubungan yang tidak pernah stabil antara pusat dan daerah, antara keinginan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur dan keharusan untuk melancarkan rangkaian operasi militer ke daerah-daerah yang resah, antara konsep Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional yang dirumuskan dalam tahun 1965, dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang diresmikan dalam tahun 1951, antara keinginan membangun suatu Indonesia yang modern, dengan dambaan untuk memelihara dan melestarikan warisan nenek moyang.

4.     Dua Tantangan Pancasila

a.     Tantangan Konseptual pertama Pancasila adalah memahami dan merumuskan secara jernih – serta disepakati bersama dengan sungguh-sungguh tentang kandungan nilai dan makna Pancasila, baik masing-masing sila maupun Pancasila sebagai suatu kebulatan ide.

b.     Tantangan Kelembagaan Jika kita sudah mempunyai kesamaan visi dan faham mengenai sila-sila tersebut diatas, bagaimana menuangkannya ke dalam sistem politik dan sistem kenegaraan kita ? Ringkasnya, dimensi kelembagaan Pancasila perlu memberikan jawaban terhadap kebutuhan kita memperoleh efek sinergi sebesar-besarnya dari persatuan dan kita sebagai bangsa,  sambil menekan sekecil-kecilnya dampak negatif yang bisa terjadi pada demikian besarnya akumulasi sumber daya nasional di tangan mereka yang sedang  memegang tampuk kekuasaan pemerintah, baik di tingkat pemerintah pusat maupun di tingkat daerah.

5.     Pembangunan Bangsa dan Negara sebagai Konteks Pembangunan bidang Sosial Politik. Bagaimanapun, Republik Indonesia memang adalah sebuah negara nasional baru, yang didirikan oleh sebuah bangsa baru, yang baru bangkit pada awal abad ke 20, setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan sekedar pendidikan kepada sejumlah kecil kaum muda dalam rangka Ethische Politiek. Kelompok kecil kaum muda terpelajar inilah yang pertama kali menyadari bahwa sekian ratus suku bangsa yang mendiami rangkaian

Page 3: Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

kepulauan ”Hindia Belanda” ini sesungguhnya adalah suatu bangsa. Mereka diikat oleh pengalaman sejarah yang sama. Dengan keyakinan itulah mereka mendirikan berbagai organisasi, yang mulanya bersifat moderat, tetapi kemudian menjadi semakin radikal. Dalam babak awal gerakan kaum muda ini bersifat elitis, kemudian menjadi populis, dengan melibatkan massa rakyat. Dapat dikatakan bahwa sejak awalnya, Republik Indonesia berdiri dan berfungsi menurut pola top-down. Susahnya, jangkauan kharisma pribadi seorang tokoh dibatasi oleh lingkungan kultural asalnya, dan seperti diingatkan Max Weber – kharisma tidaklah langgeng. Bila kharisma seseorang itu tidak memberikan manfaat konkrit, khususnya dalam bidang ekonomi, pengaruh kharisma akan segera merosot, bahkan lenyap. Hal itu terlihat jelas pada pengalaman Ir. Soekarno sebagai Presiden. Walaupun kamampuan retorikanya tidaklah berkurang sampai  saat-saat terakhir. Namun keadaan ekonomi yang tidak pernah membaik di bawah pemerintahannya, ditambah dengan suasana ketidakpastian suasana revolusioner yang dikobarkannya  sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Ia jatuh pertengahan tahun 1966 oleh rangkaian demonstrasi pelajar dan mahasiswa yang mengajukan tiga tuntutan. Tiga tuntutan itu adalah : turunkan harga, bubarkan kabinet 100 menteri, dan bubarkan PKI.

Secara gambling Pancasila telah diterima secara luas sebagai lima aksioma politik yang disarikan dari kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dan mempunyai sejarah yang sudah tua. Namun ada masalah dalam penuangannya  ke dalam sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan, yang ditata menurut model sentralistik yang hanya dikenal dalam budaya politik Jawa. Doktrin Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional masih mengandung nuansa yang amat sentralistik, dan perlu disempurnakan dengan melengkapinya  dengan Doktrin Bhinneka Tunggal Ika. Pada saat ini ada diskrepansi antara nilai yang dikandung Pancasila dengan format kenegaraan dan pemerintahan yang mewadahinya. Penyelesainnya terasa seakan-akan merupakan kebijakan ad hoc yang berkepanjangan.

Di masa depan, kehidupan politik berdasar aksioma Pancasila harus terkait langsung dengan Doktrin Bhinneka Tunggal Ika, di mana setiap daerah, setiap golongan, setiap ras, setiap umat beragama, setiap etnik berhak mengatur dan mengurus dirinya sendiri (soeverein in eigen kring). Negara dan Pemerintah dapat memusatkan diri pada masalah-masalah yang benar-benar merupakan kepentingan  seluruh masyarakat, atau seluruh bangsa, seperti masalah fiskal dan moneter, keamanan, hubungan luar negeri, atau hubungan antar umat beragama. Pemerintah nasional yang efektif dalam  melaksanakan dua tugas dasar pemerintah daerah, juga melayani aspirasi dan kepentingan khas dari masyarakat daerah yang bersangkutan.

Agar Pancasila yang telah dikaitkan dengan doktrin Bhinneka Tunggal Ika itu dapat berjalan dengan stabil, seluruh kaidahnya harus dituangkan dalam format hukum, yang selalu harus dijaga agar sesuai dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat.

Sumber : http://www.harypr.com/

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan

Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma sebagai alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut. Suatu paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah dalam ilmu pengetahuan.

Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.

1. Pancasila sebagai paradigma pembangunan

Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.

Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:

a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga

b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial

c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.

Page 4: Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.

Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

a. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik

Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter

Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.

b. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi

Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.

Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.

c. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya

Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu,pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human.

Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam si seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.

d. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan Keamanan

Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).

Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.

Page 5: Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigmapembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

2. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi

Pada saat ini Indonesia tengah berada pada era reformasi yang telah diperjuangkan sejak tahun 1998. ketika gerakan reformasi melanda Indonesia maka seluruh tatanan kehidupan dan praktik politik pada era Orde Baru banyakmengalami keruntuhan. Pada era reformasi ini, bangsa Indonesia ingin menata kembali (reform) tatanan kehidupan yang berdaulat, aman, adil, dan sejahtera. Tatanan kehidupan yang berjalan pada era orde baru dianggap tidak mampu memberi kedaulatan dan keadilan pada rakyat.

Reformasi memiliki makna, yaitu suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Apabila gerakan reformasi ingin menata kembali tatanan kehidupan yang lebih baik, tiada jalan lain adalah mendasarkan kembali pada nilai-nilai dasar kehidupan yang dimiliki bangsa Indonesia. Nilai-nilai dasar kehidupan yang baik itu sudah terkristalisasi dalam pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Oleh karena itu, pancasila sangat tepat sebagai paradigma, acuan, kerangka, dan tolok ukur gerakan reformasi di Indonesia.

Dengan pancasila sebagai paradigma reformasi, gerakan reformasi harus diletakkan dalam kerangka perspektif sebagai landasan sekaligus sebagai cita-cita. Sebab tanpa suatu dasar dan tujuan yang jelas, reformasi akan mengarah pada suatu gerakan anarki, kerusuhan, disintegrasi, dan akhirnya mengarah pada kehancuran bangsa. Reformasi dengan paradigma pancasila adalah sebagai berikut :

a. Reformasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, gerakan reformasi berdasarkan pada moralitas ketuhanan dan harus mengarah pada kehidupan yang baik sebgai manusia makhluk tuhan.

b. Reformasi yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya, gerakan reformasi berlandaskan pada moral kemanusiaan yang luhur dan sebagai upaya penataan kehidupan yang penuh penghargaan atas harkat dan martabat manusia.

c. Reformasi yang berdasarkan nilai persatuan. Artinya, gerakan reformasi harus menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan. Gerakan reformasi yang menghindarkan diri dari praktik dan perilaku yang dapat menciptakan perpecahan dan disintegrasi bangsa.

d. Reformasi yang berakar pada asas kerakyatan. Artinya, seluruh penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara harus dapat menempatkan rakyat sebagai subjek dan pemegang kedaulatan. Gerakan reformasi bertujuan menuju terciptanya pemerintahan yang demokratis, yaitu rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

e. Reformasi yang bertujuan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, gerakan reformasi harus memiliki visi yang jelas, yaitu demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Perlu disadari bahwaketidakadilanlah penyeban kehancuran suatu bangsa.

P A N C A S I L A

SEBAGAI

PARADIGMA PEMBANGUNAN

KEBUDAYAAN BANGSA

S. Budhisantoso *)

Puslit Pranata Pengembangan UI

Salah satu tujuan pembentukan pemerintahan negara Republik Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam alenia ke-4 UUD 1945 adalah :

“…….untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ………dst”.

Dengan jelas amanat itu menyatakan tanggung jawab pemerintah bukan sekedar memberikan perlindungan fisik terhadap seluruh warganegaranya, melainkan juga perlindungan non-fisik dengan memajukan kesejahteraan mereka dalam arti luas.

Page 6: Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

Sesungguhnya amanat tersebut bukan tanpa alasan, kalau diingat bahwa bangsa Indonesia itu terbentuk sebagai perwujudan tekad bersama segenap penduduk di kepulauan Nusantara atau bekas jajahan Hindia Belanda yang semula hidup dalam kelompok-kelompok sosial yang mandiri dengan aneka ragam kebudayaan mereka. Kenyataan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia itu seringkali diabaikan. Walaupun masyarakat dengan bangga orang mengucapkan semboyan kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika, dalam kenyataan kebhinnekaan itu sering kali dilupakan kalau tidak tergusur oleh ketunggalan yang dipaksakan.

Sebagaimana kenyataan, kemajemukan masyarakat Indonesia itu tidak hanya terwujud dalam berbagai struktur sosial, melainkan dalam keanekaragaman kebudayaan yang dikembangkan oleh penduduk di kepulauan sebagai perwujudan adaptasi mereka terhadap lingkungannya secara aktif. Oleh karena itulah keanekaragaman kebudayaan yang mereka kembangkan itu tidak hanya bersifat mendatar yang mencerminkan pola-pola adaptasi setempat yang berbeda, melainkan juga bersifat tegak lurus karena perbedaan pengalaman sejarah. Kenyataan sosial dan kebudayaan tersebut sangat besar pengaruhnya dalam pembangunan bangsa yang dirintis sejak awal kebangkitan kebangsaan.

Sungguhpun semangat kebangsaan telah ditanamkan oleh para pelopor jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, namun dalam kenyataan tidaklah mudah untuk mempersatukan masyarakat majemuk yang semula telah mengembangkan aneka ragam kebudayaan itu menjadi satu bangsa yang besar. Lebih dari 25 tahun pertama sejak kemerdekaan, masyarakat Indonesia mengalami pergolakan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang oleh Geertz (1965) disebut sebagai “Intergrative revolution”.

Sesungguhnya banyak kendala yang menghambat pembangunan bangsa yang baru merdeka, sekalipun ia merupakan cita-cita yang melandasi perjuangan kemerdekaan. Sebagaimana diungkap oleh R. Harris (1964), kebanyakan negara yang baru merdeka sejak berakhirnya perang dunia yang selalu menghadapi berbagai persoalan dalam membangun bangsanya. Mereka harus menghadapi pergolakan yang timbul dalam perjuangan untuk mengembangkan kesejahteraan dengan negara-negara lain. Pergolakan nasional yang dinamakan oleh Harris sebagai Revolution of Equality atau revolusi kesetaraan meliputi : Pertama, perjuangan kemerdekaan penuh (Total Independence); Kedua, Pengembangan Administrasi Pemerintahan (Administrative Equality); Ketiga, Perjuangan kesetaraan budaya (Cultur Equality).

Kemerdekaan sepenuhnya : Sesungguhnya keutuhan wilayah negara dan kedaulatan suatu bangsa itu sulit dipertahankan kalau masyarakat bangsa itu sendiri tidak mampu membebaskan diri atau sekurang-kurangnya memperkecil pengaruh kekuasaan asing sejauh mungkin. Perjuangan untuk membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan asing itu terasa lebih berat bagi negara yang baru merdeka dan masyarakatnya majemuk seperti Indonesia. Kebanyakan bekas negara kolonial tidak rela melepaskan pengaruhnya terhadap negara bekas jajahannya. Dengan berbagai cara, mereka berusaha mengikat kasetiaan bekas negara jajahan dalam berbagai bentuk kesepakatan, seperti program bantuan pembangunan, kerjasama ekonomi dan pemasaran bersama maupun organisasi persemakmuran. Dengan demikian mereka dapat mempertahankan kepentingan mereka, seperti jaminan sumber bahan baku bagi industrinya maupun pangsa pasar yang potensial. Sebaliknya ikatan nyata maupun terselubung itu dapat menghambat pembangunan bangsa-bangsa yang baru merdeka, karena mereka tidak bebas dalam menentukan kebijaksanaan pembangunan yang hendak diselenggarakan. Bahkan ada kecenderungan bahwa berbagai bantuan yang diberikan oleh bekas negara kolonial itu justru memperpanjang ketergantungan mereka terhadap kekuasaan asing karena itulah mereka harus membebaskan diri sepenuhnya dari segala bentuk pengaruh kekuasaan asing untuk menegakkan kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka.

Perjuangan itu tidak mudah, terutama di negara yang masyarakatnya majemuk dengan anekaragam latar belakang kebudayaannya seperti Indonesia. Sejarah telah membuktikan betapa berbagai negara boneka dibentuk menjelang penyerahan kedaulatan negara dan bangsa Indonesia oleh pihak Belanda dengan tujuan untuk mempertahankan pengaruhnya. Pergolakan sosial berlangsung sejak penyerahan bangsa dan negara oleh pemerintah kolonial Belanda dalam menetukan hari depan dan membangun bangsa.

Pembangunan Administrasi Pemerintahan : Perjuanga yang tidak kalah beratnya adalah mengembangkan administrasi pemerintahan yang menjamin pelayanan umum yang berlaku di seluruh tanah air. Pembangunan administrasi pemerintahan untuk menunjukan kemampuan bangsa mengatur dirinya tanpa campur tangan kekuasaan asing itu tidak mungkin ditunda-tunda. Namun dalam kenyataan banyak kendala yang harus dihadapi. Di samping kurangnya tenaga kerja yang terampil dan ahli untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan yang sehat, banyak peraturan dan perundangan yang harus dibuat untuk menggantikan barbagai peraturan dan perundangan kolonial. Belum lagi terhitung sistem pemerintahan apa yang hendak diterapkan.

Sesungguhnya untuk menghasilkan tenaga terampil dan akhli dalam administrasi pemerintahan tidaklah terlalu sulit. Akan tetapi sebagaimana halnya yang terjadi di berbagai negara yang sedang berkembang, justru pembinaan sikap mental sumberdaya manusia sebagai bagian dari mesin demokrasi sehat merupakan hambatan utama. Banyak diantara mereka yang berhasil memangku jabatan dalam administrasi pemerintahan yang mengidap sikap mental administrator kolonial (colonial administrator mentality) yang beranggapan bahwa masyarakat masih bodoh dan terbelakang. Oleh karena itu mereka seringkali bukannya melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai abdi masyarakat sebagai bawahan (subordinates). Yang harus dibina dan dibimbing selalu. Hal ini bertentangan dengan prinsip pengembangan pemerintahan nasional yang seharusnya juga memperjuangkan kesetaraan kebudayaan dalam pergaulan antar bangsa. Pembinaan dan bimbingan yang memperlakukan masyarakat seolah-olah masih terbelakang dan perlu pimpinan itu, tanpa disadari telah mematikan kreativitas pembaharuan yang justru diperlukan untuk pengembangan kabudayaan.

Page 7: Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

Pembangunan Kebudayaan : Sementara itu untuk mendapatkan pangakuan kesetaraan (cultur equality) dalam pergaulan antar bangsa, pengembangan kebudayaan sebagai lambang kesetaraan tidak boleh diabaikan oleh negara yang baru merdeka. Pengembangan kebudayaan sebagai lambang kesetaraan itu. sama pentingnya dengan kemerdekaan penuh dan tertibnya administrasi pemerintahan yang diperlukan untuk mempertahankan keutuhan wilayah negara dan kedaulatan bangsa. Oleh karena itu pembangunan kebudayaan nasional bagi bangsa Indonesia tidak mungkin ditunda-tunda, labih-labih kalau diingat bahwa bangsa Indonesia itu majemuk masyarakatnya dan beranekaragam kebudayaan.

Kebutuhan dan kebudayaan nasional sebagai kerangka acuan dalam bermasyarakat dan berbangsa secara nasional itu disadari sepenuhnya oleh para pendiri negara kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tercermin dalam amanat UUD 1945, khususnya pasal 32 yang berbunyi “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia” akan tetapi karena besarnya semangat kebangsaan pada awal kemerdekaan dalam mengembangkan kebudayaan nasional orang mengabaikan keberadaan dan fungsi kebudayaan-kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Indonesia yang majemuk. Kekhilafan itulah yang kemudian menimbulkan berbagai masalah sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam pembangunan bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan dan pengakuan kesetaraan dalam pergaulan antar bangsa.

PEMBANGUNAN BANGSA

Perjuangan bangsa untuk mencapai kesetaraan sosial, politik dan kebudayaan dalam masyarakat yang majemuk dengan kebudayaanya yang beraneka ragam itu tidaklah mudah. Ia harus dilakukan serentak dengan melibatkan segenap rakyat untuk mengambil bagian secara aktif. Oleh karena itu pembangunan semesta di masa pemerintahan Orde Lama maupun pembangunan nasional di masa Orde Baru merupakan jawaban yang sesuai dengan tantangan dari dalam negeri maupun internasional. Akan tetapi kedua kebijaksanaan pembangunan itu tidak memperhatikan faktor dominan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan bangsa. Yang menuntut perhatian khusus. Akhirnya kedua pembangunan itu selalu berakhir dengan bencana nasional.

Pembangunan politik : dihadapkan pada situasi sosial dan politik dalam maupun luar negeri, pemerintah Orde Lama disibukkan dengan upaya untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menghadapi pertarungan dua kubu ideologi yang sangat kuat pengaruhnya. Maklumat Nomor X 1945 yang semula diterbitkan untuk menampung aspirasi politik dalam masyarakat majemuk, telah melahirkan sejumlah besar partai politiik yang masih mencerminkan kesetiaan anggotanya terhadap kelompok sosial yang bersifat lokal dan bahkan memperkuat kesadaran kesukubangsaan dan kedaerahan yang sempit. Akhirnya upaya untuk menegakkan kehidupan yang demoktrtis di Indonesia itu telah menimbulkan masalah yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa yang sedang dibangun sejak proklamasi kemerdekaan. Krisis sosial politik dan keamanan selama revolusi integratif itu senantiasa ditanggapi secara politis dan lebih banyak bertumpu pada kekuasaan, sebagaimana tercermin dalam pembubaran Konstituante yang tidak pernah mencapai kesepakatan. Dekrit Presiden Soekarno 1959 yang menyatakan kembali ke UUD 1945 merupakan pilihan yang tepat untuk mengatasi jalan buntu yang dihadapi Konstituante pada waktu itu.

Untuk melaksanakan amanat UUD 1945, ternyata kepartaian di Indonesia dianggap belum sepenuhnya mampu menampung aspirasi masyarakat Indonesia yang majemuk secara keseluruhan. Oleh karena itu dibentuk Front Nasional yang yang beranggotakan ketiga partai politik NU, PNI, dan PKI, serta golongan fungsional dan ABRI. Akan tetapi nampaknya pembentukan Front Nasional itu pun belum dapat menyelesaikan masalah karena kesenjangan kesiapan masyarakat dalam membina kehidupan politik yang demokratis. Akibatnya terjadi dominasi politik oleh salah satu partai terhadap partai-partai lainnya, sehingga membuka peluang bagi meledaknya peristiwa 30 September 1965 yang melahirkan Orde Baru.

Sesungguhnya bencana nasional yang terjadi di akhir masa pemerintahan Orde Baru itu buka semata-mata karena dampak persaingan antar kedua negara adikuasa yang bersaiang dalam memperluas pengaruhnya. Kesiapan sosial budaya masyarakat untuk menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai konsep yang relatif barupun ikut menentukan. Kenyataan kurangnya kesiapan sosial-budaya masyarakat majemuk yang beranekaragam kebudayaannya itu tidak pernah diperhitungkan dalam membangun bangsa yang modern. Kalaupun pemimpin bicara tentang kebudayaan, biasanya perhatian mereka tertuju pada kesenian sebagai salah satu ungkapan dan pernyataan kebudayaan. Sementara itu ketika mereka berbicara tentang Pancasila, asosiasi mereka terpusat pada penegakan ideologi negara dan bukannya sebagai nilai-nilai (core value) yang menjadi penggerak yang memberikan arah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akhirnya Pancasila menjadi sarana politik yang dimanipulasi oleh para elite untuk kepentingan menggalang massa pendukung.

PEMBANGUNAN NASIONAL

Terdorong oleh tuntutan Amanat Pendertitaan Rakyat (AMPERA), pemerintahan Orde Baru menyelenggarakan pembangunan nasional dengan titik beratnya pada pembangunan ekonomi. Model pembangunan yang pernah digunakan di Barat dengan Triloginya itu diharapkan akan dapat merangsang perkembangan sosial-budaya masyarakat disamping meningkatkan kesejahteraan umum. Dengan dukungan penerapan teknologi maju, pembangunan nasional diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan memacu perkembangan sosial dan kebudayaan bangsa. Model pembangunan dengan triloginya itu nampaknya cocok untuk masuyarakat yang memang secara sosial maupun budaya telah siap untuk mengambil alih dan menerapkan teknologi maju guna

Page 8: Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

menopang pembangunan industri. Penerapan model pembangunan yang sama ternyata tidak berhasil menggerakkan bangsa Indonesia, yang majemuk dengan anekaragam kebudayaan itu, untuk mengambil bagian secara menguntungkan. Logika itu dapat dimengerti karena perubahan teknologi pada suatu masyarakat akan merubah masyarakat yang bersangkutan.

Sebagaimana Schumacher pernah menulisnya, bahwa sesunggunhnya bukan teknologi yang menjadi kekuatan pembaharuan, melainkan politik. Sementara itu secara lebih tegas, Heilbrorer (1969) juga menyatakan bahwa perkembangan ekonomi itu buka semata-mata proses ekonomi melainkan proses politik dan sosial. Akibatnya, walaupun pertumbuhan ekonomi (economic growth) dapat dicapai, akan tetapi tidak berhasil mengembangkan ekonomi (economic development) tanpa dukungan faktor sosial dan kebudayaan. Tidaklah mengherankan bahwa krisis moneter yang melanda Indonesia berlanjut tanpa hambatan dengan krisis ekonomi, sosial, politik, kebudayaan dan keamanan. Seolah-olah pembangunan nasional yang diselenggarakan dengan pengorbanan yang tidak kecil dari masyarakat serta uang pinjaman yang membebani rakyat, menjadi sia-sia, karena orang lupa akan persyaratan ideologi yang dituntut bagi modernisasi (Chodak, 1975). Bahkan Rockefeller (1969) pernah menyatakan bahwa perkembangan (development) itu pada hakekatnya merupakan kemajuan yang amat luas lingkup dan pengertiannya, meliputin faktor sosial, budaya, politik dan psikhologi yang bisa menjadi lebih penting dari pada sekedar faktor ekonomi.

Sesungguhnya pembangunan sebagai usaha berencana untuk meningkatkan kesejahteraan umum itu pada hakekatnya merupakan kekuatan pembaharuan sosial maupun kebudayaan. Apapun model dan titik berat pembangunan yang akan diselenggarakan, akan menimbulkan dampak terhadap kehidupan sosial dan kebudayaan masyarakat yang terlibat. Karena itu keberhasilan suatu pembangunan tergantung pada kesiapan masyarakat dalam mengambil bagian secara menguntungkan.

Pilihan titik berat pembangunan pada bidang ekonomi yang diselenggarakan oleh pemerintah Ordde Baru, sesungguhnya merupakan tanggapan spontan terhadap penderitaan yang dialami oleh bangsa Indonesia selama revolusi integratif. Lebih dari 25 tahun pertama sejak kemerdekaan, masyarakat Indonesia tidak sempat meningkatkan kesejahteraan mereka karena pergolakan sosial, politik dan keamanan dalam negeri. Karena itu, untuk memperbaiki keadaan, pemerintah Orde Baru menentukan pilihan model pembangunan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup besar, diharapkan akan dapat memacu perkembangan segala sektor kehidupan bangsa. Akan tetapi karena kurangnya kesiapan masyarakat, pembanguan ekonomi itu tidak berhasil memicu perkembangan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan sebagaimana dicita-citakan. Kenyataan tersebut meningkatkan perlunya pemberdayaan masyarakat, karena perkembangan ekonomi itu pada hakekatnya merupakan proses sosial dan politik (Heilbroner, 1963). Dengan demikian perkembangan ekonomi itu menuntut kemampuan penduduk untuk mengambil bagian secara aktif dengan kemampuan menyesuaikan diri secara perorangan (adjustement) maupun kolektif (social adaptation).

Sungguhpun dalam GBHN yang lalu telah dinyatakan bahwa pembangunan nasional merupakan pembangunan yang berbudaya, dalam kenyataan pengertian kebudayaan itu sendiri tidak jelas. Ada kecenderungan orang mempersempit pengertian kebudayaan sekedar sebagai kesenian. Sebaliknya ada pula yang mengartikannya secara luas mencakup segala pengetahuan dan kemampuan kerja yang diperoleh manusia melalui proses belajar sebagai anggota suatu masyarakat. Di lain pihak ada pula yang berbicara tentang kebudayaan nasional tanpa memperhatikan kebudayaan-kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah. Karena itu dalam perencanaan pembangunan dan penyelenggaraannya, seringkali orang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan yang menjadi kerangka acuan dalam kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat pendukungnya.

Tidaklah mengherankan kalau selama 32 tahun pembangunan nasional yang dipacu untuk meningkatkan pertumbuhan dan membuka peluang kerja, justru sebaliknya telah memperlebar dan memperdalam jurang kesenjangan sosial. Pada gilirannya kesenjangan sosial akibat tidak berkembangnya pranata sosial dan nilai-nilai budaya sebagai kendali, telah membangkitkan kecemburuan dan konflik sosial yang sulit dikendalikan pada akhir-akhir ini.

Sesungguhnya pembangunan nasional yang diupayakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam waktu yang relatif singkat itu telah menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat luas, terutama mereka yang tidak mampu mengambil bagian secara menguntungkan. Apabila dicermati, kekecewaan masyarakat itu selain karena perubahan lingkungan yang amat pesat, juga karena mereka belum sempat mengambil alih nilai-nilai budaya pasar sebagai pedoman dalam mengejar keuntungan materi dengan cara bersaing. Perkembangan sosial yang kurang menguntungkan itu merupakan akibat meningkatnya kegiatan ekonomi yang tidak diimbangi dengan penegakkan keadilan sosial, demokrasi politik dan kebebasan budaya (Echivery,). Secara lebih rinci hal itu dapat diuraikan sebagai berikut.

Pembangunan Industri : dihadapkan pada situasi ekonomi yang memburuk selama masa pemerintahan Orde Lama yang berusaha untuk mempertahankan kemandirian politik, pemerintah Orde Baru bertekad untuk segera mengatasinya dengan kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang mendahulukan pertumbuhan (economic growth) daripada perkembangan (economic development). Dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, diharapkan akan banyak tenaga kerja yang selama ini menganggur akan dapat ditampung sehingga akan dapat memacu peningkatan kesejahteraan umum. Untuk keperluan itulah, industrialisasi yang ditopang dengan penerapan teknologi modern menjadi pilihan utama, walaupun pembangunan sektor pertanian tidak diabaikan.

Page 9: Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

Dalam kenyataan, pembangunan industri yang ditopang dengan penerapan teknologi modern itu menuntut persyaratan sosial dan kebudayaan yang dapat mendukung peningkatan kegiatan ekonomi yang menyertainya. Persyaratan sosial dan kebudayaan itu terutama adalah keadilan sosial (social justice), demokrasi politik (political demoracy) dan kebebasan budaya (cultur freedom) yang mengimbangi masuknya nilai-nilai budaya markantil, materialistik dan kompetitif dalam perkembangan ekonomi pasar dalam masyarakat agraris menuju masyarakat industri.

Model pembangunan ekonomi di Indonesia telah memacu pengusaha untuk meningkatkan eksploitasi sumberdaya (exploitative) tanpa mengenal batas waktu maupun lingkungan (expansive) dalam mengejar keuntungan materi secara optimal. Kecenderungan pengurasan sumberdaya secara besar-besaran itu tidak dapat dielakkan, karena besarnya modal yang ditanamkan harus mendatangkan keuntungan materi yang sebesar-besarnya. Kenyataan tersebut telah memacu persaingan yang tidak berimbang, terutama antara pengusaha besar yang memiliki berbagai keunggulan ekonomi, sosial dan politik di satu pihak, dengan pengusaha kecil dan menengah yang dianggap tidak mampu mengolah sumberdaya yang menguntungkan. Tidaklah mengherankan kalau ekspansi pengusaha besar tidak hanya menggusur pengusaha kecil dan menengah yang dianggap kurang mampu, melainkan juga terhadap penduduk di kawasan yang kaya dengan sumberdaya alam maupun di pusat-pusat pertumbuhan.

Ratusan pengusaha batik kecil dan menengah di Jakarta digusur oleh dua perusahaan batik raksasa dengan segala keunggulannya. Sementara itu pengusaha batik kecil dan menengah yang semula mandiri terpaksa bekerja sebagai bawahan atau pemasok dari perusahaan raksasa kalau tidak beralih bidang usaha yang masih bebas dari jangkauan belalai gurita yang mencari mangsa. Demikian pula ratusan pengusaha kecil dan menengah yang menghasilkan mi, tergusur oleh perusahan raksasa penghasil bahan makanan terigu. Dengan alasan demi efisiensi dan produktivitas, pengusaha kecil dan menengah itu terpaksa bertindak sebagai pengecer atau penjual mi masak. Sedemikian jauh tinggal 80-an pengusaha mi basah (kecil dan menengah) yang bertahan di Jakarta karena mereka telah mempunyai langganan lewat restoran yang dikelola masing-masing. Sungguhpun demikian mereka tidak bebas dari bujuk rayu pengusaha raksasa yang menjanjikan keuntungan materi yang lebih besar. Tidak mustahil mereka tidak akan menyerah terhadap rayuan, kecuali mereka yang benar-benar telah mapan, karena kesulitan mendapatkan pinjaman untuk menambah modal dan mendapatkan bahan mentah.

Dengan alasan demi efisiensi dan produktivitas, yang menjadi slogan pembangunan ekonomi di masa Orde Baru, penduduk perkotaan yang kurang mampu, penduduk pedesaan yang lahannya berpotensi ekonomi tinggi untuk dikembangkan sebagai real-estate maupun industrial estate, maupun penghuni hutan yang kaya dengan kayu atau mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai perkebunan, tidak lebih baik nasibnya daripada pengusaha kecil dan menengah yang tidak berdaya. Lingkungan pemukiman yang mempunyai banyak fungsi sosial (social asset) itu hanya dinilai sebagai kekayaan ekonomi (economic asset) yang rendah harganya karena selama ini tidak mendatangkan keuntungan (pajak) bagi pemerintah dialih fungsikan kepada pengusaha besar yang menjanjikan keuntungan materi di atas kepentingan sosial dan kebudayaan penduduk.

Persaingan yang tidak imbang itu telah memperlebar dan memperdalam kesenjangan sosial. sejumLah kecil penduduk yang beruntung dapat menguasai sebagian terbesar sumberdaya dan peluang usaha. Sedang sebagian terbesar penduduk semakin miskin dan tersisihkan dari lingkungan yang sehat dan sumber pencaharian yang selama ini mereka kuasai. Kecenderungan sosial yang kurang menguntungkan inilah yang harus diatasi dengan pemberdayaan masyarakat, sebelum terjadinya konflik yang disertai kekerasan (violent conflict) yang sulit dikendalikan.

Sesungguhnya masyarakat Indonesia dewasa ini menghadapi tekanan lingkungan ganda akibat pengurasan sumberdaya yang menggunakan teknologi modern. Tekanan ganda itu disebabkan upaya pengusaha untuk meningkatkan intensitas pengolahan sumberdaya guna mendapatkan keuntungan materi seoptimal mungkin. Kecenderungan pengusaha bersikap ekploitatif dan ekspansif dalam mengolah sumberdaya itu dapat dimengerti, karena besarnya modal dan biaya kegiatan industri yang harus mereka tanggung. Sementara itu pengolahan sumberdaya alam oleh penduduk miskin yang berusaha memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Yang terus meningkat menambah tekanan lingkungan. Terdesak oleh kebutuhan hidup yang tidak mungkin dihindarkan, penduduk miskin cenderung mengolah sumberdaya alam yang tersedia tanpa memperhatikan kearifan lingkunmgan (ecological wisdom) yang selama ini menjadi pedoman dalam menjaga kelestariannya (sustainability).

Sementara itu pemerintah cenderung untuk bertindak lunak dalam pengendalian pengolahan sumberdaya alam maupun pengolahan lingkungan. Bahkan demi keberhasilan pembangunan industri dalam negeri maupun untuk mendapatkan devisa, pemerintah cenderung membuka peluang usaha bagi mereka yang sanggup mengolah sumberdaya alam, seperti konsesi HPH, pertambangan dan penangkapan ikan. Akibat penyusutan sumberdaya dan mutu lingkungan (natural depletion) berlangsung amat cepat dan merambah hampir seluruh penjuru tanah air.

Organisasi : Sesungguhnya penanaman modal yang besar dalam industrialisasi itu harus dikelola secara intensif agar dapat mendatangkan keuntungan materi secara optimal. Tuntutan industrialisasi itu tidak mudah dipenuhi oleh kebanyakan pengusaha Indonesia yang pada umumnya masih mengandalkan pengelolaan usahanya pada organisasi kekerabatan (intra family organisation). Hubungan antara person (interpersonal relation) lebih bermakna dalam mengerjakan seseorang di perusahaan daripada keakhlian atau keterampilan yang dimiliki seseorang (impersonal relation) Sesungguhnya dengan mengembangkan industri yang menuntut penanaman modal yang besar dalam mengejar efisiensi dan produktivitas kerja, akan merangsang pengusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka mengelola usahanya.

Page 10: Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

Akan tetapi karena kurangnya kesiapan sosial dan kebudayaan, justru sebaliknya mereka cenderung mencari jalan pintas. Kenyataan tersebut memperlemah daya saing mereka untuk menghadapi pengusaha asing yang telah mapan. Tidaklah mengherankan kalau dalam menghadapi persaingan, kebanyakan pengusaha besar maupun menengah Indonesia cenderung mengembangkan strategi yang tidak sehat (KKN). Akibatnya banyak pengusaha kecil dan menengah yang tersisihkan dalam persaingan yang tidak seimbang malawan pengusaha besar dan menengah yang mempunyai kemampuan untuk menggalang kerjasama dengan pengusaha dan pernbankan.

Tenaga kerja : untuk mengendalikan teknologi modern diperlukan tenaga kerja trampil dan ahli agar efisiensi dan produktivitas kerja yang optimal dapat tercapai. Kebutuhan dan tenagakerja trampil dan ahli itu, pada gilirannya akan merangsang penduduk untuk menghargai tinggi pendidikan sekolah sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan. Kenyataan telah mebuktikan betapa keberhasilan pembangunan industri yang membuka peluang kerja bagi tenaga terdidik dalam memacu penduduk untuk mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah. Dengan demikian mobilitas sosial akan diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan penduduk pada umumnya. Akan tetapi, penerapan teknologi modern dalam industri ternyata tidak banyak menyerap tenaga kerja manusia yang digantikan dengan tenaga mesin yang dibangkitkan dengan sumber enersi fosil. Di samping itu kebanyakan tenaga kerja manusia terdidik belum siap, secara sosial maupun kebudayaan, untuk memangku tugas baru (Herskovitz,) hasil penelitian Galtung (1976) dibeberapa negara Asia dan Afrika menunjukan bahwa kegagalan pengambilalihan teknologi modern itu bukan karena kurangnya tenagakerja trampil dan ahli, melainkan karena tidak sesuainya sikap mental mereka menghadapi pekerjaan baru. Kurang sesuainya sikap mental pekerja itu karena pengaruh kebudayaan yang mereka hayati sebagai kerangka acuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan selama ini. Hasil penelitian itu, akhirnya menyimpulkan bahwa kurangnya kesiapan sosial dan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan yang mangakibatkan kegagalan pengambil alihan teknologi modern secara mulus. Hal yang sama sesungguhnya dihadapi masyarakat Indonesia dalam pembangunan nasional yang menerapkan teknologi modern tanpa memprhatikan faktor sosial dan kebudayaan dalam masyarakat yang majemuk.

Alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, pembangunan industri yang ditopang dengan penerapan teknologi modern, justru menghasilkan lebih banyak penganguran murni maupun terselubung. Penggusuran penduduk pedesaan ataupun perkotaan yang lahannya diperlukan untuk pembangunan, telah memisahkan mereka dari sumber penghidupan yang selama ini mereka tekuni, sementara lapangan kerja baru yang sesuai dengan kemampuan sosial dan kebudayaan mereka sangat terbatas. Kenyataan ini, bersama dengan menyusutnya sumberdaya dan mutu lingkungan hidup yang sehat, telah memicu terjadinya kebringasan sosial atau gejala “amuk” massa yang semakin sulit dikendalikan.

Perebutan sumberdaya dan lingkungan yang semakin menyusut persediaan dan mutunya dewasa ini terus meningkat tidak terbatas antara mereka yang mempunyai berbagai keunggulan dengan mereka yang kurang beruntung (vertical sosial conflict), melainkan juga antar mereka yang mempunyai kemampuan yang sebanding (horizontal social conflict). Untuk menghimpun kekuatan, mereka cenderung membangkitkan kesetiakawanan sosial dengan mengaktifkan simbol-simbol ikatan primodial terutama kesukuabangsaan (ethnicity).

Di lain pihak, menyadari akan kesalahan yang diperbuat selama pembangunan nasional yang alau, pemerintah cenderung untuk membuka peluang bagi masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam pembangunan, dengan menghormati Hak Asasi Manusia dan otonomisasi pemerintahan daerah. Sikap keterbukaan pemerintah reformasi itu disambut baik oleh masyarakat dengan meningkatnya tuntutan hak asasi individu secara berlebihan. Demikian pula tuntutan otonomisasi pemerintahahn daerah semakin keras mengarah pada otonomisasi pemerintahan suku bangsa.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Sesungguhnya meningkatnya kegiatan ekonomi selama I masa pembangunan nasional telah membawa serta nilai-nilai budaya merkantil, materialistik dan kompetitif. Dalam setiap transaksi, orang cenderung untuk mengejar keuntungan materi melalui persaingan yang sehat. Oleh karena itu, untuk mengimbangi penyerapan nilai-nilai budaya ekonomi pasar itu harus ditegakkan keadilan sosial, demokrasi politik dan kebebasan budaya sebagai pedoman bersama dalam kegiatan ekonomi pasar.

Dengan lain perkataan, untuk memprsiapkan masyarakat agar dapat mengambil bagian dalam kegiatan pembangunan secara menguntungkan, perlu upaya pemberdayaan. Adapun makna dari pemberdayaan adalah mengembangkan potensi sosial, kebudayaan dan sumberdaya manusianya. Tanpa pemberdayaan masyarakat, niscaya penegakan keadilan sosial, demokratisasi politik dan kebebasan budaya dapat membantu meningkatkan daya saing masyarakat dalam memperjuangkan kesejahteraan. Oleh karena itu hak budaya komuniti harus dihormati sejalan dengan penegakkan hak asasi individu yang selama ini mendapatkan perhatian secara berlebihan. Seolah-olah penegakkan hak asasi individu itu dapat dilakukan dengan mengorbankan hak budaya komuniti yang membatasinya.

Dengan menghormati hak budaya komuniti berarti mengakui perwujudan kebudayaan komuniti yang senantiasa mengalami perubahan, melaikan membuka peluang bagi pembangunan kreativitas mereka dalam menghadapi tantangan perubahan lingkungan. Dengan menghormati hak budaya komuniti, kecenderungan dominasi suatu kebudayaan atas kebudayaan-kebudayaan lain dalam masyarakat majemuk dapt dihindarkan. Sebagaimana berlangsung, pembangunan ekonomi cenderung untuk mendahulukan efisiensi dan produktivitas dalam setiap kegiatan. Menerima cara-cara lain yang dianggap kurang efisien dan produktif. Akibatnya hanya sistem sosial yang menjamin efisiensi dan produktivitas tinggi yang dilestarikan dengan pengorbanan sistem sosial dan budaya lainnya. Penyeragaman dalam segala sektor kehidupan merupakan gejala yang umum selama masa pembangunan. Akibatnya bukan hanya membuka peluang bagi

Page 11: Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

dominannya suatu kebudayaan atas berbagai kebudayaan lainnya, akan tetapi juga cenderung memasung kebebasan budaya dalam masyarakat majemuk.

Kenyataan tersebut telah menimbulkan kecemburuan sosial dalam masyarakat majemuk, bahkan sampai pada tuntutan untuk memisahkan diri. Sementara itu persaingan yang tidak imbang dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan juga telah mendorong masyarakat untuk menghimpun kekuatan dengan mengaktifkan simbol-sibmbol kesukubangsaan yang mengabaikan kehadiran komuniti ataupun goolongan sosial lainnya. Untuk menghindarkan perkembangan sosial yang kurang menguntungkan itulah sesungguhnya hak komuniti sebagai kelompok sosial yang terbentuk karena persamaan kepentingan ataupun karena kesamaan lingkungan permukiman yang mempersatukan harus dihormati.

Arti pentingnya hak budaya komuniti juga karena peran komuniti sebagai penghubung atau jembatan antara kepantingan hak asasi individu dengan hak negara untuk menata kehidupan berbangsa. Tanpa pengakuan terhadap hak budaya komuniti, niscaya akan terjadi konfrontasi langsung antara kedua kepentingan menegakkan hak asasi individu dengan hak negara. Demikian pula dengan pengakuan hak budaya komuniti, manipulasi kesetiakawanan sosial sukubangsa dapat dimanipulasi untuk kepentingan perorangan ataupun sekelompok kecil warga. Apabila hal ini tidak segera ditanggulangi, niscaya persatuan dan kesatuan bangsa yang merdeka dan berdaulat serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dipertahankan.

Untuk mempercepat proses pemberdayaan masyarakat dengan menghormati hak budaya komuniti, perlu dikembangkan mekanisme yang mempermudah penyaluran aspirasi dan penyelenggaraan pembangunan yang sesuai dengan minat, kebutuhan dan kemampuan masyarakat Indonesia yang mejemuk.

OTONOMI PEMERINTAHAN DAERAH

Berbagai program bpembangunan nasional yang direncanakan secara terpusat di masa lampau lebih banyak menunjukkan penyeragaman demi efisiensi dan produktivitas yang tinggi tanpa memperhatikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Aknibatnya dapat dirasakan betapa selama proses pembangunan, kesenjangan kesejahteraan antar daerah semakin maningkat. Tidaklah mengherankan kalau kenyataan tersebut telah menimbulkan kecemburuan sosial yang menjurus ke arah perpecahan. Kesenjangan kesejahteraan itu tidak hanya berlaku antar daerah, malaikan juga intra daerah sehingga memperkuat kecemburuan sosial antara mereka yang diuntungkan oleh pembangunan dengan mereka yang kurang beruntung. Kenyataan tersebut membuktikan betapa pentingnya penegakan keadilan sosial, disamping demokrasi politik dan kebebasan budaya untuk memberdayakan masyarakat dalam mengambil bagian dalam pembangunan secara menguntungkan.

Otonomi daerah yang memberikan keleluasaan pemerintah daerah menata rumah tangganya, diharapkan dapat memperkecil kesenjangan kesejahteraan umum antar daerah maupun intra daerah, akan tetapi kalau itu tidak disertai dengan penegakkan keadilan sosial, demokradi poltik maupun kebebasan budaya, niscaya akhirnya hanya akan memindahkann kesenjangan kesejahteraan umum ke daerah masing-masing. Keleluasaan daerah untuk mengelola potensi sumberdaya dan mendistribusikannya demi kesejahteraan umum, memerlukan pengendalian sosial yang pada gilirannya menuntut pemberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu ketiga persayaratan keadilan sosial, demokrasi politik dan kebebasan budaya sangat diperlukan untuk menciptakan iklim yang mendukung pengembangan kreativitas mereka dalam pembangunan daerah masing-masing. Tanpa ketiga persyaratan tesebut, tidak mustahil akan timbul masalah-masaalah sosial, ekonomi dan politik baru, antara lain meningkatnya mobilitas penduduk yang mencari kesejahteraan di daerah yang lebih menjanjikan. Masalah hubungan antar daerah itu, pada gilirannya akan menjadi masalah nasional yang tidak mudah diselesaikan, karena otonomi yang mereka miliki.

PARADIGMA BARU DALAM PEMBANGUNAN

Mengingat kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan dalam penyelenggaraan pembangunan, perlu dikembangkan paradigma baru dalam pembangunan demi tercapainya tujuan secara optimal. Paradigma baru itu adalah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang tidak hanya memperhatikan penerapan teknologi maju untuk mengolah sumberdaya dalam mengejar pertumbuhan ekonomi, melaikan juga dengan memperhatikan faktor sosial-budaya yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan pembangunan itu sendiri. Hal itu berarti bahwa dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan harus diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang.

Dewasa ini ada kecenderungan untuk membiarkan penduduk menikmati hak asasi individunya, setelah selama lebih dari 30 tahun pemasungan dalam masa pembangunan yang lalu. Demikian besarnya semangat penduduk untuk memperjuangkan hak-hak asasi individunya sehingga mengorbankan hak-hak budaya komuniti sebagai kendali. Akibatnya bukan hanya masyarakat kehilangan kepercayaan pada kemampuan diri maupun hak negara untuk mengatur ketertiban berbangsa dan bermasyarakat. Demikian pula aparat pemerintah, baik sipil maupun militer, kehilangan kepercayaan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai aparat negara yang berwenang untuk mempertahankan keutuhan wilayah negara dan kedaulatan bangsa. Mereka ragu-ragu untuk berhadapan langsung dengan penduduk yang menuntut hak asasi individunya tanpa ada kendali. Sesungguhnya dengan menghormati hak budaya komuniti,

Page 12: Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

konfrontasi langsung antar kepantingan hak asasi individu dengan hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dihindarkan dengan perantara komuniti-komuniti yang bersangkutan.

Di samping itu, dengan menghormati hak budaya komuniti maka perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya akan dapat mengundang peranserta aktif masyarakat yang merasa diperhatikan minat, kebutuhan dan kemampuan mereka untuk mengambil bagian secara menguntungkan. Setidak-tidaknya pembangunan yang berbudaya itu mempunyai makna, di samping membuktikan adanya kebebasan berbudaya yang memungkinkan masyarakat mengambil bagian secara menguntungkan dalam pembangunan.

Apa yang sering dipertanyakan orang adalah sampai di mana kesiapan masyarakat untuk mengambil bagian dalam pembangunan secara menguntungkan. Dalam era reformasi yang penuh kebebasan dewasa ini masyarakat dapat berbuat apapun tanpa ada hambatan dari pihak aparat keamanan maupun pertahanan. Bahkan sengketa sosial yang disertai kekerasan maupun tindakan teror berlangsung tanpa dapat diketahui pelakunya, akan tetapi kesanggupan masyarakat untuk membangun kembali tetanan sosial belun terlihat. Krisis kepercayaan masyarakat, ternyata tidak hanya tertuju pada aparat pemerintahan dan negara, baik sipil maupun militer, akan tetapi juga kepercayaan terhadap dirinya telah krisis. Berbagai unjuk rasa yang disertai kekerasan semakin marak sebagai alat untuk memenangkan tuntutan. Gaya unjuk rasa parlemen jalanan itu juga dipertontonkan oleh para elit politik dalam persidangan resmi maupun dalam beradu pendapat di hadapan publik. Kenyataan sosial itu mengesankan tiadanya kesadaran akan perlunya suasana yang baik untuk mengebalikan keprcayaan masyarakat akan kemampuan diri mereka untuk mengatasi kekacauan sosial, ekonomi, politik dan keamanan dewasan ini. Oleh karena itu timbul pertanyaan bagaimana memberdayakan kembali masyarakat dan pemerintah untuk membangun bangsa.

Untuk mengembalikan kepercayaan diri masyarakat ini terpasung, sebaiknya dicermati sebab-sebabnya mengapa mereka kehilangan kepercayaan dan hanya menunggu inisiatif dan uluran tangan dari pemerintah. Sesungguhnya kalau dicermati model pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah selama ini cenderung melumpuhkan prakarsa masyarakat untuk berperan serta secara aktif. Hal itu dikarenakan oleh sistem perencanaan yang sentralistik dan mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Cara-cara itu ternyata telah menyebabkan terjadinya dominasi suatu masyarakat dan kebudayaan tertentu atas masyarakat dan kebudayaan yang lain. Kecenderungan itulah yang menimbulkan konflik dan kecemburuan sosial yang menjurus kearah keberingasan sosial (violeny conflict) yang sulit dikendalikan akhir-akhir ini. Untuk mengatasi kecenderungan yang kurang menguntungkan dalam pembangunan itu harus dikembangkan paradigma baru dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan secara berjenjang dan timbal balik.

Perencanaan harus dilakukan dari bawah (lokal) maupun dari pusat (nasional) secara berjenjang denga tujuan : Pertama, perencanaan di tingkat lokal dilakukan untuk menampung aspirasi dan eksistensi masyarakat lokal sesuai dengan kemampuan yang terkait dengan kesiapan sosial dan kebudayaan mereka untuk berpartisipasi secara aktif: Kedua, perencanaan di tingkat regional (provinsi) yang mengkoordinasikan perncanaan-perencanaan tingkat lokal untuk menghindarkan kesenjangan yang berlebihan: Ketiga, perencanaan di tingkat pusat atau nasional dilakukan sebagai kerangka acuan yang mengikat persatuan dan kesatuan bangsa yang berdaulat. Tanpa adanya kerangka acuan dalam merencanakan pembangunan di tingkat lokal, yang pada akhirnya akan menghasilkan kesenjangan dalam mengejar kemajemukan antar daera.apabila hal itu dibiarkan berlarut-larut, maka akan mengundang masalah sosial, ekonomi dan politik yang lebih parah dalam masyarakat majemuk yang sedang membangun.

Dengan cara demikia, otonomi daerah tidak akan mengerah pada otonomi sukubangsa sebagaimana diproyeksikan oleh Naisbitt (19…), karena masing-masing sukubangsa telah mendapatkan peluang dalam merencanakan pembangunan yang memperhatikan struktur sosial dan kebudayaan masing-masing. Demikian pula dengan menghormati hak budaya komuniti dalam masyarakat majemuk yang tinggi mobilitasnya, sebagimana dikemukakan oleh Suparlan (2000), tidak akan ada yang merasa perlu untuk menyatakan komuniti pendatang yang menetap kemudian di suatu daerah dianggap sebagai orang luar yang harus dipasung hak budayanya di negarinya sendiri untuk berbagi pengalaman dan mengolah sumberdaya alam secara berdampingan.

Sesungguhnya pembangunan berkelanjutan yang memprhatikan faktor sosial budaya dalam masyarakat majemuk itu tidak mungkindiselenggarakan secara terpusat dalam perencanaan maupun penyelengaraannya. Walaupun pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk itu harus merata di seluruh penjuru tanah air, aka tetapi perencanaanya harus mmeperhatikan minat, kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk mengambil bagian secara menguntungkan. Oleh karena itu perencanaan harus dilakukan di tingkat lokal sehingga benar-benar dapat menangkap aspirasi, ekspektasi dan kemampuan masyarakat setempat untuk berpartisipasi secara aktif. Kenyataan di masa lampau seringkali pemerintah maupun msyarakat sendiri mengabaikan kekhususan masyarakat dan kebudayaan di daerah-daerah, sehingga pembangunan yang menuntut biaya, tenaga dan waktu yang tidak ternilai harganya itu sangat kecil manfaatnya bagi penduduk setempat. Salah satu contoh yang nyata adalah pembangunan pendidikan sekolah yang direncanakan secara terpusat, akhirnya hanya menghasilkan pengangguran terpelajar yang dapat menimbulkan masalah sosial di daerah-daerah. Mereka sudah tercabut dari akar budaya dan struktur masyarakat setempat, sementara itu lapangan kerja diluar sektor tradisional belum ada.

Dengan perencanaan di tingkat lokal, yang dapat dilakukan di tingkat administrasi pemerintahan kecamatan atau kabupaten, tergantung pada besar kecilnya jumlah penduduk dan kemajemukan masyarakatnya, maka diharapkan pembangunan yang memperhatikan faktor sosial budaya dapat diselenggarakan sesuai dengan tujuan yang mulia dan efisien. Akan tetapi pembangunan itu tidak akan banyak

Page 13: Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

manfaatnya kalau tidak terintegrasi dalam jaringan yang lebih luas. Kemajuan di suatu lokal secara tidak berimbang, justru dapat mengundang kerawanan sosial, politik dan ekonomi. Oleh karena itu pembangunan itu harus diselenggarakan secara merata dari satu ke lain lokal. Untuk memperpadukan pembangunan lokal itu, perlu direncanakan bersama secara regional atau ditingkat provinsi, dengan demikian diharapkan akan dapat mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan yang dapat saling mengisi kekurangan masing-masing demi pemerataan hasil pembangunan. Sedang perencanaan di tingkat nasional dilakukan untuk menjamin keseimbangan pembangunan antar regional dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang sanggup menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.

PANCASILA SEBAGAI PERANGKAT NILAI BUDAYA INTI

Kemajemukan masyarakat Indonesia dengan keanekaragaman kebudayaannya menimbulkan kebutuhan akan kebudayaan nasional yang memperkuat persatuan sebagai suatu bangsa yang besar. Kenyataan tersebut disadari sepenuhnya oleh para pendiri negara kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tercermin dalam UUD 1945. Dalam Pasal 32 UUD 1945, dengan tegas diamanatkan bahwa:

“Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”

Amanat para pendiri negara itu bukan tidak beralasan karena kenyataan bahwa bangsa Indonesia terwujud sebagai hasil kesepakatan dan tekad segenap penduduk di bekas derah jajahan Hindia Belanda untuk bersatu. Bahkan jauh sebelum kemerdekaan, tekad untuk bersatu menjadi bangsa itu telah dirintis dan terekam dalam Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928.

Sungguhpun pemerintah diamanatkan untuk memajukan kebudayaan nasional, tidak berarti bahwa kebudayaan-kabudayaan di daerah-daerah boleh diabaikan perkembangannya. Dalam penjelasan pasal yang sama, pengakuan terhadap kehadiran kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah itu dinyatakan dengan tegas, sebagai :

“Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya”.

Sungguhpun demikian perjuangan untuk mengembangkan kesetaraan budaya seringkali mengalami kerancuan dalam pelaksanaannya, dan bahkan menimbulkan reaksi yang justru mengancam persatuan dan kesatuan bangsa yang sedang dibangun. Reaksi itu muncul, antara lain, karena berbagai pengertian yang berkembang maupun cara-cara yang ditempuh dalam pelaksanaannya. Tidak dapat disangkal bahwa dalam membangun bangsa yang mempersatukan sejumlah masyarakat yang semula mandiri dan mempunyai latar belakang kebudayaan yang beranaka ragam, diperlukan suatu sistem budaya atau perangkat nilai yang dapat digunakan sebagai kerangka acuan bersama. Akan tetapi hal iti tidak berarti harus menghancurkan perangkat-perangkat nilai budaya yang masih berfungsi sebagai kerangka acuan bagi kelompok-kelompok sosial yang mendukungnya. Oleh karena itu penjelasan pasa 32 UUD 1945 dengan tegas menyatakan perlunya memajukan kebudayaan nasional Indonesia yang mencakup puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah.

Dalam kaitan dengan puncak-puncak kebudayaan itulah yang sesungguhnya harus dipahami secara cermat. Sebagaimana menjadi pemahaman umum, kebudayaan itu suatu hal yang relatif. Artinya kebudayaan sebagai perwujudan tanggapan aktif manusia terhadap tantangan yang mereka hadapi dalam beradaptasi terhadap lingkungannya itu tidak ada yang lebih baik ataupun lebih tinggi dibandingkan dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya. Oleh karena itu puncak-puncak kebudayaan harus tidak diartikan sebagai yeng terbaik, melainkan sebagai unsur yang relevan dengan perkembangan masyarakat, sangat luas persebarannya (universal) sehingga dapat diterima oleh sebagaian besar penduduk dan dapat membangkitkan kebanggaan sehingga dapat memperkuat persatuan bangsa.

Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria puncak-puncak kebudayaan dengan segala fungsinya. Nilai pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa jelas sangat luas persebarannya di kalangan masyarkaat Indonesia yang majemuk dengan keanekaragaman kebudayaannya,. Dapat dikatakan bahwa tidak satupun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Mengenai sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab juga merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan maupun golongannya. Oleh karena itu ia termasuk kategori puncak-puncak kebudayaan yang dapat memperkaya kabudayaan nasional.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia juga merupakan salah satau puncak kebudayaan yang mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan Nusantara untuk mempersatukan diri mereka sebagai satu bangsa yang berdaulat.

Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan mencerminkan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia yang menghargai tinggi kedaulatan rakyat untuk melakukan kesepakatan dalam mencari kebijaksanaan lewat musyawarah. Nilai-nilai budaya yang menghargai kepentingan kolektif lebih tinggi daripada kepentingan individu itu merupakan gejala yang universal dan relevan sebagai kendali dalam menghadapi perkembangan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan.

Page 14: Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak perlu dijelaskan lagi, betapa sesungguhnya nilai-nilai keadilan itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dengan demikian jalaslah bahwa Pancasila itu harus diperlukan bukan sekedar sebagai ideologi politik, melainkan juga sebagai nilai budaya inti (core value) yang menjiwai kehidupan dan berfungsi sebagai motor serta simbol pengikat persatuan dalam masyarakat majemuk Indonesia yang sedang mengalami perkembangan. Sebagai perangkat nilai inti, Pancasila tidak hanya akan berfungsi sebagai kerangka acuan bagi segenap warganegara dalam menghadapi tantangan, malainkan juga sebagai kendali yang mengikat arah perkembangan kebudayaan agar tidak terlepas dari akarnya. Sementara itu sebagi simbol pengikat persatuan, Pancasila yang terwujud sebagai konfigurasi perangkat nilai budaya inti yang diyakini kebenarannya sebagai acuan bersama, mempunyai kekuatan integratif dalam masyarakat majemuk yang mempunyai anekaragam latar belakang kebudayaan. Oleh karena itu ia harus diwujudkan secara nyata dalam pengembangan kebudayaan bangsa yang akan berfungsi sebagai acuan bagi masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupan sehari-hari maupun dalam menggapai tantangan kemajuan.

Mengingat arti pentingnya Pancasila sebagai kerangka acuan yang memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, ia harus “dilestarikan” secara aktif melalui proses pendidikan dalam arti luas. Nilai-nilai Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh (integrated whole) harus diutamakan dan dikukuhkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan bukannya untuk dihafalkan unsur-unsurnya secara lepas, apabila dipuja-puja sebagai sesuatu yang sakti. Perlakuan nilai-nilai inti Pancasila secara lepas hanya akan memicu fanatisme dan memancing konflik sosial, politik dan kebudayaan yang semakin tajam dikalangan masyarakat majemuk yang cenderung memilih pengutamaan salah satu nilai inti sebagai simbol integratif kelompok sosial masing-masing. Sementara itu pemuja Pancasila sebagai rumusan ethos budaya bangsa yang sakti atau sakral, hanya akan menambah jauh nilai-nilai budaya inti dari kehidupan nyata para pendukungnya. Oleh karena itu Pancasila harus diterjemahkan sebagai kerangka acuan bagi perkembangan pranata sosial dan pengembangan sikap serta pola tingkah laku masyarakat dalam menghadapi tantangan hidup yang penuh dinamika.

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN

Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma sebagai alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apayang harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut. Suatu paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah dalam ilmu pengetahuan.

Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir,kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.

1. Pancasila sebagai paradigma pembangunan

Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.

Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikatmanusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yangmonopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:

a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga

b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial

c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.

Page 15: Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.

Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

a. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik

Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter. Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.

b. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi

Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila IPancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistemekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.

Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.

c. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya

Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu. pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human.

Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam si seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.

d. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan Keamanan

Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata). Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber

Page 16: Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik

daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.

Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

2. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi

Pada saat ini Indonesia tengah berada pada era reformasi yang telah diperjuangkan sejak tahun 1998. ketika gerakan reformasi melanda Indonesia maka seluruh tatanan kehidupan dan praktik politik pada era Orde Baru banyak mengalami keruntuhan. Pada era reformasi ini, bangsa Indonesia ingin menata kembali (reform) tatanan kehidupan yang berdaulat, aman, adil, dan sejahtera. Tatanan kehidupan yang berjalan pada era orde baru dianggap tidak mampu memberi kedaulatan dan keadilan pada rakyat. Reformasi memiliki makna, yaitu suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Apabila gerakan reformasi ingin menata kembali tatanan kehidupan yang lebih baik, tiada jalan lain adalah mendasarkan kembali pada nilai-nilai dasar kehidupan yang dimiliki bangsa Indonesia. Nilai-nilai dasar kehidupan yang baik itu sudah terkristalisasi dalam pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Oleh karena itu, pancasila sangat tepat sebagai paradigma, acuan, kerangka, dan tolok ukur gerakan reformasi di Indonesia.

Dengan pancasila sebagai paradigma reformasi, gerakan reformasi harus diletakkan dalam kerangka perspektif sebagai landasan sekaligus sebagai cita-cita. Sebab tanpa suatu dasar dan tujuan yang jelas, reformasi akan mengarah pada suatu gerakan anarki, kerusuhan, disintegrasi, dan akhirnya mengarah pada kehancuran bangsa. Reformasi dengan paradigma pancasila adalah sebagai berikut :

a. Reformasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, gerakan reformasi berdasarkan pada moralitas ketuhanan dan harus mengarah pada kehidupan yang baik sebgai manusia makhluk tuhan.

b. Reformasi yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya, gerakan reformasi berlandaskan pada moral kemanusiaan yang luhur dan sebagai upaya penataan kehidupan yang penuh penghargaan atas harkat dan martabat manusia.

c. Reformasi yang berdasarkan nilai persatuan. Artinya, gerakan reformasi harus menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan. Gerakan reformasi yang menghindarkan diri dari praktik dan perilaku yang dapat menciptakan perpecahan dan disintegrasi bangsa.

d. Reformasi yang berakar pada asas kerakyatan. Artinya, seluruh penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara harus dapat menempatkan rakyat sebagai subjek dan pemegang kedaulatan. Gerakan reformasi bertujuan menuju terciptanya pemerintahan yang demokratis, yaitu rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

e. Reformasi yang bertujuan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, gerakan reformasi harus memiliki visi yang jelas, yaitu demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Perlu disadari bahwa ketidakadilanlah penyeban kehancuran suatu bangsa.