Osteoporosis

download Osteoporosis

of 10

description

op

Transcript of Osteoporosis

OSTEOPOROSIS

Osteoporosis adalah penyakit metabolik tulang yang ditandai oleh menurunnya densitas massa tulang akibat berkurangnya matriks dan mineral tulang yang disertai kerusakan mikro arsitektur sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.Faktor Risiko dan Epidemiologi Osteoporosis

Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial. Umur dan densitas tulang merupakan faktor risiko osteoporosis yang berhubungan erat dengan risiko terjadinya fraktur osteoporotik.

Fraktur osteoporotik akan meningkat dengan meningkatnya umur.Insidens fraktur pergelangan tangan meningkat secara bermakna setelah umur 50-an, fraktur vertebra setelah umur 60-an dan fraktur pinggul setelah umur 70-an.Pada perempuan, risiko fraktur 2 kali dibandingkan laki-laki pada umur yang sama.Densitas massa tulang juga berhubungan dengan risiko fraktur. Setiap penurunan densitas tulang 1SD berhubungan dengan peningkatan risiko fraktur 1,5-3,0.

Epidemiologi osteoporosis juga dipengaruhi oleh perbedaan ras dan geografik.Insidensi lebih tinggi terjadi pada orang putih dan lebih rendah pada orang kulit hitam di Amerika dan di Afrika Selatan; demikian juga pada orang Jepang maupun yang tinggal di Amerika Serikat.

Tabel 1. Faktor Risiko Osteoporosis

Umur

Setiap peningkatan umur 1 dekade berhubungan dengan peningkatan risiko 1,4-1,8

Genetik

Etnis (Kaukasus/Oriental > Orang hitam/Polinesia)

Gender (Perempuan > Laki-laki)

Riwayat Keluarga

Lingkungan

Makanan, defisiensi makanan

Aktifitas fisik dan pembebanan mekanik

Obat-obatan, misalnya kortikosteroid, anti konvulsan, heparin

Merokok

Alkohol

Jatuh(trauma)

Hormon endogen dan penyakit kronik

Defisiensi estrogen

Defisiensi androgen

Gastrektomi, sirosis, tirotoksikosis, hiperkortisolisme

Sifat fisik tulang

Densitas massa tulang

Ukuran dan geometri tulang

Mikroarsitektur tulang

Komposisi tulang

Osteoporosis tipe I dan IIOsteoporosis dibagi 2 kelompok, yaitu osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya, sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya. Pada tahun 1940-an, Albright mengemukakan pentingnya estrogen pada patogenesis osteoporosis. Kemudian pada tahun 1983, Riggs dan Melton, membagi osteoporosis primer atas osteoporosis tipe I dan tipe II. Osteoporosis tipe I disebut juga osteoporosis pasca menopause, disebabkan oleh defisiensi estrogen akibat menopause. Osteoporosis II, disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis (Sudoyo, 2007).

Patogenesis Osteoporosis Tipe I

Setelah menopause, maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada dekade awal setelah menopause, sehingga insiden fraktur, terutama fraktur vertebra dan radius distal meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada tulang trabekular, karena memiliki permukaan yang luas dan hal ini dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Petanda resorpsi tulang dan formasi tulang, keduanya meningkat menunjukkan adanya peningkatan bone turnover. Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cellsl dan sel-sel mononuclear, seperti IL-1, IL-6 dan TNF- yang berperan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteoklas meningkat.

Selain peningkatan aktivitas osteoklas, menopause juga menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Selain itu, menopause juga menurunkan sintesis berbagai proein yang membawa 1,25(OH)2D, sehingga pemberian estrogen akan meningkatkan konsentrasi 1,25(OH)2D di dalam plasma. Tetapi pemberian estrogen transdermal tidak akan meningkatkan sintesis protein tersebut, karena estrogen transdermal tetap dapat meningkatkan absorpsi kalsium di usus secara langsung tanpa dipengaruhi vitamin D. untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, maka kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis akan semakin berat. Pada menopause, kadangkala didapatkan peningkatan kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma, meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin dan juga kadar kalsium dalam bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada menopause terjadi akibat penurunan rangsang respirasi, sehingga terjadi relatif asidosis respiratosik. Walaupun terjadi peningkatan kadar kalsium yang terikat albumin dan kalsium dalam garam kompleks, kadar ion kalsium tetap sama dengan keadaan premenopausal. (Sudoyo, 2007)

Patogenesis osteoporosis tipe II

Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya sebesar 42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade ke-8 dan ke-9 kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan resiko fraktur. Peningkatan resorpsi tulang merupakan resiko fraktur yang independen terhadap BMD. Peningkatan osteokalsin seringkali didapatkan pada orang tua, tetapi hal ini lebih menunjukkan peningkatan turnover tulang dan bukan peningkatan formasi tulang. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab penurunan fungsi osteoblas pada orang tua, diduga karena penurunan kadar esterogen dan IGF-1.

Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi, dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan timbul hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang, terutama pada orang-orang yang tinggal di daerah 4 musim.

Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein yang akan menyebabkan penurunan sintesis IGF-1. Defisiensi vitamin K juga akan menyebabkan osteoporosis karena akan meningkatkan karboksilasi protein tulang, misalnya osteokalsin.

Defisiensi esterogen, ternyata juga merupakan masalah yang penting sebagai salah satu penyebab osteoporosis pada orang tua. Demikian juga kadar testosteron pada laki-laki. Defisiensi estrogen pada laki-laki juga berperan pada kehilangan massa tulang. Penurunan kadar estradiol di bawah 40 pMol/L pada laki-laki akan menyebabkan osteoporosis. Karena laki-laki tidak pernah mengalami menopause, maka kehilangan massa tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Estrogen pada laki-laki berfungsi mengatu resorpsi tulang, sedangkan estrogen dan progesteron mengatur formasi tulang. Kehilangan massa tulang trabekula pada laki-laki berlangsung linier, sehingga terjadi penipisan trabekula, tanpa disertai putusnya trabekula seperti pada wanita. Penipisan trabekula pada laki-laki terjadi karena penurunan formasi tulang, sedangkan putusnya trabekula pada wanita disebabkan karena peningkatan resopsi yang berlebihan akibat penurunan kadar estrogen yang drastis pada waktu menopause.

Dengan bertambahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan menurun sedangkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG) akan meningkat. Peninngkatan SHBG akan meningkatkan pengikatan esterogen dan testosteron membentuk kompleks yang inaktif. Laki-laki yang menderita kanker prostat dan diterapi dengan antagonis androgen atau agonis gonadotropin juga akan mengalami kehilangan massa tulang dan peningkatan resiko fraktur.

Penurunan hormon pertumbuhan (GH) dan IGF-1, juga berperan terhadap peningkatan resorpsi tulang. Tetapi penurunan kadar androgen adrenal (DHEA dan DHA-S) ternyata menunjukkan hasil yang kontroversial terhadap penurunan massa tulang pada orang tua.

Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan dan imobilisasi lama). Dengan bertambahnya umur, remodeling endikortikal dan intrakortikal akan meningkat, sehingga kehilangan tulang terutama terjadi pada tulang kortikal dan meningkatkan risiko faktor tuulang kortikal, misalnya pada femur proksimal.Diagnosis dan pemeriksaan penunjang

Diagnose penyakit osteoporosis kadang-kadang baru diketahui setelah terjadinya patah tulang punggung, tulang pinggul, tulang pergelangan tangan atau patah tulang lainnya pada orang tua, baik pria atau wanita. Fraktur dan nyeri tulang tidak tampak sampai lebih dari 10 tahun setelah pasca menopause (bagi wanita). Fraktur sering terjadi pada vertebrae, humerus, upper femur, distal, forearm, dan tulang iga. Gejala lain seperti penurunan tinggi badan, gangguan pergerakan, pegal, linu, dan nyeri tulang, khususnya didaerah tulang pangkal paha, tulang belakang dan pergelangan tangan, dan tumit. Osteoporosis juga menyebabkan tubuh cenderung bungkuk (Kawiyana, 2009)

Sebetulnya sampai saat ini prosedur diagnostik yang lazim digunakan untuk menentukan adanya penyakit tulang metabolik seperti osteoporosis, adalah:

1. Penentuan massa tulang secara radiologis, dengan densitometer DEXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry).2. Pemeriksaan laboratorium berupa parameter biokimiawi untuk bone turnover, terutama mengukur produk pemecahan kolagen tulang oleh osteoklas.

Penentuan massa tulang

Pengukuran massa tulang dapat memberi informasi massa tulangnya saat itu, dan terjasdinya risiko patah tulang di masa yang akan datang. Salah satu prediktor terbaik akan terjadinya patah tulang osteoporosis adalah besarnya massa tulang. Pengukuran massa tulang dilakukan oleh karena massa tulang berkaitan dengan kekuatan tulang. Ini berarti semakin banyak massa tulang yang dimiliki, semakin kuat tulang tersebut dan semakin besar beban yang dibutuhkan untuk menimbulkan patah tulang. Untuk itu maka pengukuran massa tulang merupakan salah satu alat diagnose yang sangat penting. Selama 10 tahun terakhir, telah ditemukan beberapa tehnik yang non-invasif untuk mengukur massa tulang.

Pemeriksaan X-ray absorptiometry

Pesawat X-ray absorptiometry menggunakan radiasi sinar X yang sangat rendah. Selain itu keuntungan lain densitometer X-ray absorptiometry dibandingkan DPA (Dual Photon Absorptiometry) dapat mengukur dari banyak lokasi, misalnya pengukuran vertebral dari anterior dan lateral, sehingga pengaruh bagian belakang corpus dapat dihindarkan, sehingga presisi pengukuran lebih tajam. Ada dua jenis X-ray absorptiometry yaitu: SXA (Single X-ray Absorptiometry) dan DEXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry). Saat ini gold standard pemeriksaan osteoporosis pada laki-laki maupun osteoporosis pascamenopause pada wanita adalah DEXA, yang digunakan untuk pemeriksaan vertebra, collum femur, radius distal, atau seluruh tubuh. Tujuan dari pengukuran massa tulang:

1.Menentukan diagnosis.

2.Memprediksi terjadinya patah tulang.

3.Menilai perubahan densitas tulang setelah pengobatan atau senam badan.

Bagian tulang seperti tulang punggung (vertebralis) dan pinggul (Hip) dikelilingi oleh jaringan lunak yang tebal seperti jaringan lemak, otot, pembuluh darah, dan organ-organ dalam perut. Jaringan-jaringan ini membatasi penggunaan SPA (Single Photon Absorptiometry) atau SXA, oleh karena dengan sistem ini tidak dapat menembus jaringan lunak tersebut, akan tetapi hanya dapat digunakan untuk tulang yang berada dekat kulit. DEXA atau absorptiometri X-ray energi ganda memungkinkan kita untuk mengukur baik massa tulang di permukaan maupun bagian yang lebih dalam.

Dalam pemeriksaan massa tulang dengan densitometer DEXA kita akan mendapatkan informasi beberapa hal tentang densitas mineral tulang antara lain: Densitas mineral tulang pada area tertentu dalam gram/cm2.

Perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan kadar rerata densitas mineral tulang dengan orang dewasa etnis yang sama, yang disebut dengan T Score dalam %.

Perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan kadar rerata densitas mineral tulang orang dengan umur yang sama dan etnis yang sama, disebut Z Score dalam %.

Ada empat kategori diagnosis massa tulang (densitas tulang) berdasarkan T-score adalah sebagai berikut:

1.Normal: nilai densitas atau kandungan mineral tulang tidak lebih dari 1 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau kira-kira 10% di bawah rata-rata orang dewasa atau lebih tinggi (T-score lebih besar atau sama dengan -1 SD).

2.Osteopenia (massa tulang rendah): nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 1 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, tapi tidak lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau 10 25% di bawah rata-rata (T-score antara -1 SD sampai -2,5 SD).

3.Osteoporosis: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah nilai rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata atau kurang (T-score di bawah -2,5 SD).

4.Osteoporosis lanjut: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata ini atau lebih, dan disertai adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis (T-score di bawah -2,5 SD dengan adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis).

Pemeriksaan DEXA dianjurkan pada:

1.Wanita lebih dari 65 tahun dengan faktor risiko.

2.Pascamenopause dan usia < 65 tahun dengan minimal 1 faktor risiko disamping menopause atau dengan fraktur.

3.Wanita pascamenopause yang kurus (Indek Massa Tubuh < 19 kg/m2).

4.Ada riwayat keluarga dengan fraktur osteoporosis.

5.Mengkonsumsi obat-obatan yang mempercepat timbulnya osteoporosis.

6.Menopause yang cepat (premature menopause).

7.Amenorrhoea sekunder > 1 tahun.

8.Kelainan yang menyebabkan osteoporosis seperti: Anorexia nervosa, malabsorpsi, primary hyperparathyroid, post-transplantasi, penyakit ginjal kronis, hyperthyroid, immobilisasi yang lama, Cushing syndrom.

9.Berkurangnya tinggi badan, atau tampak kiphosis.TatalaksanaEdukasi dan Pencegahan Anjurkan penderita untuk melakukan aktivitas fisik yang teratur untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan koordinasi system neuromuscular serta kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60 menit/hari, bersepeda maupun berenang.

Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-hari maupun suplementasi.

Hindari merokok dan minum alcohol

Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosterone pada laki-laki dan menopause awal pada wanita

Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan osteoporosis

Hindari mengangkut barang-barang yang berat pada penderita yang sudah osteoporosis

Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita terjatuh, misalnya lantai yang licin, obat-obat sedative, dan obat anti hipertensi yang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik.

Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orang-orang yang kurang terpajan pada sinar matahari atau pada penderita fotosensitivitas, misalnya SLE. Bila diduga ada defisiensi vitamin D, maka kadar 25(OH)D serum harus diperiksa. Bila serum 25 (OH)D menurun maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau 800 IU/hari pada orang tua harus diberikan. Pada penderita dengan gagal ginjal, suplementasi 25(OH)D harus dipertimbangkan.

Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi asupan Natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi kalsium lebih dari 300 mg/hari maka berikan diuretic tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hri).

Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan jangka panjang, usahakan pemberian glukokortikoid dengan dosis serendah mugkin dan sesingkat mungkin.

Pada penderita Arthtritis Rheumatoid dan arhttritis inflamasi lainnya, sangat penting mengatasi aktifitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi rasa nyeri dan penurunan densitas massa tulang akibat arthtritis inflamasif yang aktif.Latihan dan Program RehabilitasiLatihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi penderita osteoporosis karena dengan latihan yang teratur, penderita akan menjadi lebih lincah, tangkas, dan kuat otot-ototnya sehingga tidak mudah jatuh.Pada penderita yang belum mengalami osteoporosis maka sifat latihan adalah pembebanan terhadap tulang, sedangkan penderita yang sudah osteoporosis maka latihan dimulai dengan latihan tanpa beban kemudian ditingkatkan bertahap sehingga mencapailatihan beban yang adekuat.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata K M, Setiatiti S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III EdisiV. Jakarta: Interna Publishing

Kawiyana, I Ketut Siki. 2009. Osteoporosis : Patogenesis Diagnosis dan Penanganan Terkini. Bali : Bagian Bedah FK UNUD.