Osteomielitis Report

25
LAPORAN INDIVIDU BLOK SISTEM MUSKULOSKELETAL SKENARIO 1 OSTEOMIELITIS, Suatu Komplikasi dari Fraktur Terbuka oleh Nama : Bety Nurhajat Jalanita NIM : G0007045 Kelompok : 1 Nama Tutor : dr. Sri Wahjono PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

description

Osteomielitis

Transcript of Osteomielitis Report

Page 1: Osteomielitis Report

LAPORAN INDIVIDU

BLOK SISTEM MUSKULOSKELETAL

SKENARIO 1

OSTEOMIELITIS,

Suatu Komplikasi dari Fraktur Terbuka

oleh

Nama : Bety Nurhajat Jalanita

NIM : G0007045

Kelompok : 1

Nama Tutor : dr. Sri Wahjono

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2008

Page 2: Osteomielitis Report

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tulang adalah organ yang sangat kita perlukan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Tulang merupakan salah satu jaringan terkeras dalam tubuh manusia. Sebagai unsur utama kerangka

tubuh, tulang menyokong struktur berdaging, melindungi organ vital, dan mengandung sumsum

tulang di mana sel darah dibentuk. Tulang terdiri dari bahan intersel yang mengalami kalsifikasi,

matriks tulang, dan berbagai sel tulang (osteoblas, osteosit, dan osteoklas).

Tulang dapat mengalami cedera yang disebabkan oleh berbagai hal. Namun, karena

vaskularisasi tulang cukup baik, proses penyembuhan biasanya berlangsung cepat. Penanganan

untuk cedera tulang harus dilakukan dengan cepat dan tepat supaya tidak menimbulkan kecacatan

yang menetap. Penanganan yang kurang tepat pada cedera tulang dapat memicu terjadinya berbagai

komplikasi. Salah satu komplikasi yang cukup serius yaitu terjadinya infeksi tulang (osteomielitis)

seperti yang dialami pasien pada skenario yang akan dibahas dalam laporan ini. Untuk dapat

memahami tentang patogenesis, patofisiologi, dan penatalaksanaan dari osteomielitis, seorang

mahasiswa kedokteran perlu mengetahui dan memahami berbagai proses fisiologis yang terjadi

pada tulang. Oleh karena itu, penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu penulis untuk

memahami berbagai aspek yang menjadi tujuan pembelajaran dalam blok muskuloskeletal ini.

B. Rumusan Masalah

Seorang laki-laki berumur 20 tahun datang ke RS dengan nyeri tungkai bawah kanan, pireksia,

kemerahan, dan sinus di kulit yang hilang timbul. Dua tahun yang lalu sempat mengalami

kecelakaan sehingga terjadi fraktur terbuka pada tungkai bawah sebelah kanan. Kemudian pasien

dibawa ke dukun tulang.

Pada pemeriksaan fisik sekarang, didapatkan deformitas, scarrtissue dengan diameter 10 cm

pada region anterior tibia kanan, sinus dengan discharge seropurulen melekat pada tulang di

bawahnya, dan ekskoriasi kulit sekitar sinus. Dokter curiga adanya infeksi pada tulang dan

melakukan plain foto dengan hasil:

- Penebalan periosteum - Bone resorpsion

- Sclerosis sekitar tulang - Involucrum

- Sequester - Angulasi tibia dan fibula (varus)

Page 3: Osteomielitis Report

Pasien ini dinyatakan oleh dokter menderita osteomielitis. Pasien memiliki kartu asuransi

kesehatan, tetapi kartu tersebut tidak bisa digunakan sehingga pasien tetap harus membayar seluruh

biaya.

Dari skenario di atas, penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan, antara lain:

1. Bagaimana anatomi, fisiologi, dan histologi dari tulang?

2. Bagaimana mekanisme osteogenesis, nutrisi, dan resorpsi tulang?

3. Bagaimana mekanisme infeksi pada tulang?

4. Bagaimana mekanisme terjadinya scarrtissue (jaringan parut) pada tulang?

5. Bagaimana mekanisme penyembuhan fraktur tulang?

6. Bagaimana patofisiologi dari keluhan dan gejala yang dialami pasien?

7. Apa saja pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis?

8. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis penyakit pasien?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan laporan ini adalah sebagai sarana pembelajaran bagi mahasiswa dalam:

1. Memenuhi kompetensi dalam blok muskuloskeletal

2. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit-penyakit yang menyerang sistem

muskuloskeletal

3. Mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan terkini tentang berbagai kelainan pada sistem

muskuloskeletal.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan laporan ini adalah:

1. Membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematis

2. Mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar

3. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada sistem muskuloskeletal

4. Menambah pengetahuan mahasiswa tentang terapi dan pencegahan penyakit pada sistem

muskuloskeletal.

E. Hipotesis

Berdasarkan data dari skenario, penulis mengajukan beberapa hitpotesis, yaitu:

1. Fraktur terbuka yang dialami pasien dalam skenario tidak mendapatkan penanganan yang tepat.

2. Pasien mengalami komplikasi berupa infeksi pada tulang.

3. Diagnosis osteomielitis yang ditetapkan oleh dokter dalam skenario adalah tepat.

Page 4: Osteomielitis Report

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Tulang

Tulang adalah jaringan ikat khusus yang terdiri dari materi intersel yang mengapur (matriks

tulang) dan sel-sel tulang (osteoblas, osteosit, dan osteoklas). Osteoblas merupakan sel yang

menyintesis komponen organik dari matriks. Osteoblas membangun tulang dengan membentuk

kolagen tipe I dan proteoglikan sebagai matriks tulang (jaringan osteoid) melalui proses osifikasi.

Ketika sedang aktif menghasilkan jaringan osteoid, osteoblas menyekresikan sejumlah besar

fosfatase alkali yang berfungsi untuk mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks tulang.

Karena sejumlah fosfatase alkali dapat berdifusi ke dalam darah, maka kadar fosfatase alkali dalam

darah biasanya merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kecepatan pambantukkan tulang.

(Guyton, 1997; Price, 2006; Histologi???)

Jika telah terbenam seluruhnya dalam matriks yang baru dibentuk, maka osteoblas disebut

sebagai osteosit. Masing-masing osteosit terletak di dalam lakuna yang berada di antara lamel-lamel

yang tersusun konsentris mengelilingi suatu kanal yang disebut kanal Havers. Osteosit memiliki

juluran sitoplasma yang menghubungkan osteosit satu dengan lainnya melalui taut erat (tight

junction) dan molekul-molekul melewati struktur-struktur ini untuk berpindah dari sel ke sel.

Osteosit secara aktif terlibat dalam mempertahankan matriks tulang. Matinya osteosit akan diikuti

dengan resorpsi matriks. Osteoblas berasal dari sel osteoprogenitor yang merupakan hasil

diferensiasi dari sel mesenkim. (Histologi???)

Osteoklas adalah sel multinuklear besar yang memungkinkan mineral dan matriks tulang

dapat diabsorpsi. Osteoklas berasal dari penggabungan beberapa monosit darah sehingga termasuk

bagian dari sistem fagosit mononukleus. Osteoklas menghasilkan asam, kolagenase, dan enzim

proteolitik lain. Enzim-enzim proteolitik ini akan memecahkan matriks, sedangkan asam akan

melarutkan mineral tulang. Osteoklas juga mampu menangkap partikel-partikel matriks tulang dan

kristal melalui fagositosis yang pada akhirnya akan melarutkan bahan-bahan tersebut dan

melepaskannya ke dalam darah. (Guyton, 1997; Price, 2006; Histologi???)

Matriks tulang terdiri dari materi organik dan anorganik. 95-95% matriks organik tulang

terdiri atas serat-serat kolagen tipe I dan sisanya berupa substansi dasar amorf. Serat-serat kolagen

menyebabkan tulang mempunyai kekuatan regang yang besar. Substansi dasar tulang terdiri atas

cairan ekstraselular ditambah dengan proteoglikan, khususnya kondroitin sulfat dan asam

hialuronat. Bahan-bahan ini membantu mengatur pengendapan garam-garam kalsium. Matriks

anorganik tulang terdiri dari garam kristal hidroksiapatit yang terutama terdiri dari kalsium dan

Page 5: Osteomielitis Report

fosfat. Ion magnesium, natrium, kalium, dan karbonat juga ditemukan di antara garam tulang dalam

jumlah kecil. Gabungan hidroksiapatit dengan serat-serat kolagen menyebabkan tulang memiliki

kekerasan dan ketahanan yang khas. (Guyton, 1997; Histologi???)

Tulang terdiri atas daerah kompak pada bagian luar yang disebut korteks dan daerah

spongiosa yang berbentuk trabekula. Semua tulang dilapisi oleh lapisan jaringan fibrosa, yaitu

endosteum pada permukaan dalam dan periosteum pada permukaan luar. Endosteum dan periosteum

mengandung sel-sel osteoprogenitor yang dapat berdiferensiasi dan berproliferasi menjadi osteoblas.

Fungsi utama kedua lapisan ini adalah untuk nutrisi jaringan tulang dan persediaan osteoblas baru

untuk keperluan perbaikan atau pertumbuhan transversal tulang. (Price, 2006; Rasjad, 2003;

Histologi???)

Kerangka tubuh manusia mengandung 99% dari kalsium total tubuh. Konsentrasi kalsium

darah dan jaringan dipertahankan pada konsdisi yang stabil karena terdapat pertukaran yang terus-

menerus antara kalsium darah dengan kalsium tulang. Ketika kadarnya dalam darah meningkat,

kalsium akan segera diendapkan dalam tulang atau dikeluarkan melalui tinja atau urin. Kalsium

dalam tulang dikeluarkan lagi bila konsentrasi kalsium dalam darah menurun. Kalsium tulang dapat

dikeluarkan melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama yaitu perpindahan langsung ion-ion dari

kristal hidroksiapatit ke cairan interstisial untuk kemudian masuk ke dalam darah, sedangkan

mekanisme yang kedua bergantung pada kerja hormon terhadap tulang. Hormon paratiroid

menggiatkan dan manambah jumlah osteoklas sehingga meningkatkan resorpsi dari matriks tulang

dan membebaskan kalsium. Sebaliknya, hormon kalsitonin yang dihasilkan oleh sel parafolikular

kelenjar tiroid akan menghambat resorpsi matriks. (Histologi???)

Secara garis besar, tulang memiliki empat fungsi utama, yaitu sebagai penyokong tubuh dan

tempat melekatnya jaringan otot untuk pergerakan (fungsi mekanik); melindungi berbagai organ

vital dalam tubuh (fungsi protektif); sebagai tempat primer untuk penyimpanan dan pengaturan

kalsium, fosfat, dan ion lain supaya konsentrasinya dalam cairan tubuh konstan (fungsi metabolik);

dan sebagai tempat pembentukkan dan perkembangan berbagai sel darah (fungsi hemopoietik).

(Anmonim 1, tt; Budianto, 2004)

Berdasarkan morfologinya, tulang dapat dibedakan menjadi os longum atau tulang panjang

(humerus, radius, ulna, femur, tibia, ossa phalanges, ossa metatarsi, os clavicula), os breve atau

tulang pendek (ossa carpalia dan tarsalia), os planum atau tulang pipih (tulang penyusun calvaria

cranii, sternum, scapula, costae), os pneumaticum atau tulang berongga (os ethmoidale, os maxilla),

dan os irregulare atau tulang tak beraturan (os vertebrae). (Budianto, 2004)

Sebuah tulang panjang terdiri dari diafisis (bagian tengah tulang yang berbentuk silinder),

metafisis (bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir diafisis), epifisis (benjolan persendian

Page 6: Osteomielitis Report

pada bagian paling ujung dari tulang), dan lempeng epifisis (suatu lempeng di antara metafisis dan

epifisis). Pada anak-anak, sumsum merah mengisi sebagian besar bagian dalam tulang panjang,

tetapi kemudian digantikan oleh sumsum kuning yang terutama terdiri dari sel-sel lemak sejalan

dengan semakin dewasanya anak tersebut. Pada orang dewasa, aktivitas hematopoietik menjadi

terbatas hanya pada sternum dan crista iliaca walaupun tulang-tulang yang lain masih berpotensi

untuk aktif lagi jika diperlukan. Metafisis merupakan penopang sendi dan menyediakan daerah yang

cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis. Lempeng epifisis adalah daerah

pertumbuhan longitudinal pada anak-anak yang akan menghilang pada tulang dewasa. (Price, 2006)

Kebanyakan tulang mempunyai arteria nutrisi khusus. Tulang sangat sensitif terhadap

beberapa faktor nutrisi terutama selama masa pertumbuhan. Pemasukan protein makanan yang tidak

adekuat menyebabkan defisiensi asam amino yang berakibat pada penurunan sintesis kolagen oleh

osteoblas. Defisiensi kalsium menyebabkan pengapuran tidak sempurna dari matriks organik tulang.

Defisiensi kalsium dapat disebabkan oleh kurangnya kandungan kalsium dalam makanan. Selain itu,

defisiensi kalsium dapat pula disebabkan oleh kurangnya asupan vitamin D yang penting untuk

penyerapan kalsium dan fosfat oleh usus kecil. Vitamin D dibuat secara fotokimiawi di kulit.

Vitamin D mengalami proses hidrolisis di hati dan ginjal membentuk 1,25 dihidroksikolekalsiferol

yang merupakan hormon aktif. Namun, vitamin D yang berlebihan bersifat toksik dna menyebabkan

kalsifikasi pada banyak jaringan lunak. Vitamin C juga penting untuk sintesis kolagen oleh

osteoblas dan osteosit. Defisiensi vitamin C mempengaruhi pertumbuhan tulang dan mengganggu

proses perbaikan fraktur. (histologi????)

B. Osifikasi dan Resorpsi

Osifikasi atau yang disebut dengan proses pembentukan tulang telah bermula sejak umur

embrio 6-7 minggu dan berlangsung sampai dewasa. Osifikasi dimulai dari sel-sel mesenkim yang

memasuki daerah osifikasi. Bila daerah tersebut banyak mengandung pembuluh darah, maka akan

membentuk osteoblas dan bila tidak mengandung pembuluh darah, maka akan membentuk

kondroblas. Pembentukan tulang terjadi segera setelah terbentuk tulang rawan (kartilago). (Rasjad,

2003)

Dalam keadaan normal, tulang mengalami proses pengendapan (deposisi, pembentukan) dan

penyerapan (resorpsi, pembuangan) tulang yang berlangsung bersamaan sehingga tulang secara

terus menerus mengalami remodelling. Pembaruan tulang tersebut memiliki dua tujuan, yaitu: (1)

menjaga agar tulang “direkayasa” dengan semestinya supaya dapat digunakan untuk keperluan

mekanis dengan keefektifan maksimum dan (2) membantu mempertahankan kadar kalsium plasma.

Tipe sel utama yang terlibat dalam resorpsi dan deposisi adalah osteoclast dan osteoblast.

Page 7: Osteomielitis Report

Osteoclast berkaitan dengan resorpsi dan osteoblast berhubungan dengan deposisi tulang. (Murray

et. al., 2003; Sherwood, 2001)

Diperkirakan bahwa sekitar 4% dari tulang yang kompak akan diperbarui setiap tahunnya

pada orang dewasa yang sehat, sementara sekitar 20% dari tulang trabekular akan diganti. (Murray

et. al., 2003)

Pertumbuhan ketebalan tulang dicapai oleh penambahan tulang baru di atas tulang yang

sudah ada di permukaan luarnya. Pertumbuhan ini terjadi melalui aktivitas osteoblas di dalam

periosteum. Sewaktu tulang diendapkan oleh osteoblas di permukaan eksternal, sel-sel lain di dalam

tulang, yaitu osteoklas, melarutkan jaringan tulang di permukaan dalam yang berdekatan dengan

rongga sumsum. Dengan cara ini, rongga sumsum membesar mengimbangi peningkatan lingkaran

batang tulang. (Sherwood, 2001)

Berbeda dengan proses pertubuhan ketebalan, pertumbuhan panjang tulang-tulang panjang

merupakan akibat dari ploriferasi sel tulang rawan di epifisis. Selama pertumbuhan, dihasilkan sel-

sel tulang rawan (kondrosit) baru melalui pembelahan sel di batas luar lempeng yang berdekatan

dengan epifisis. Saat kondrosit baru sedang dibuat di batas epifisis, sel-sel tulang rawan lama ke

arah batas diafisis membesar. Kombinasi proliferasi sel tulang rawan baru dengan hipertrofi

kondrosit matang menyebabkan lempeng epifisis mengalami peningkatan ketebalan (lebar) tulang

untuk sementara. Penebalan lempeng tulang rawan ini menyebabkan epifisis terdorong menjauhi

diafisis. Matriks yang mengelilingi kartilago tua yang hipertrofi dengan segera mengalami

kalsifikasi. Karena tulang rawan tidak memiliki jaringan kapiler sendiri, kelangsungan hidup sel-sel

tulang rawan bergantung pada difusi nutrien dan O2 melalui ground substance, suatu proses yang

dihambat oleh adanya endapan garam-garam kalsium. Akibatnya, sel-sel tulang rawan tua yang

terletak di batas diafisis mengalami kekurangan nutrien dan mati. Setelah osteoklas membersihkan

kondrosit tua yang mati dan matriks terkalsifikasi yang mengelilinginya, daerah ini kemudian

dinvasi oleh osteoblas-osteoblas yang berkerumun ke atas dari diafisis, sambil menarik jaringan

kapiler bersama mereka. Penghuni baru ini meletakkan tulang di sekitar bekas sisa-sisa tulang rawan

yang terpisah-pisah sampai bagian dalam tulang rawan di sisi diafisis lempeng seluruhnya diganti

oleh tulang. Apabila proses osifikasi (pembentukan tulang) ini selesai, tulang di sisi diafisis telah

bertambah panjangnya dan lempeng epifisis telah kembali ke ketebalannya semula. Tulang rawan

yang diganti oleh tulang di ujung diafisis lempeng memiliki ketebalan yang setara dengan

pertumbuhan tulang rawan baru di ujung epifisis lempeng. Dengan demikian, pertumbuhan tulang

dimungkinkan oleh pertumbuhan dan kematian tulang rawan, yang bekerja seperti suatu “pengatur

jarak” untuk mendorong epifisis menjauh sementara menyediakan kerangka untuk pembentukan

tulang di ujung diafisis. (Sherwood, 2001)

Page 8: Osteomielitis Report

Ketika matriks ekstrasel yang dihasilkan oleh osteoblas mengalami kalsifikasi, osteoblas

terkubur oleh matriks disekitarnya. Namun, tidak seperti kondrosit, osteoblas yang terperangkap di

dalam matriks terkalsifikasi tidak mati karena sel-sel tersebut mendapat pasokan nutrien dari

saluran-saluran kecil yang dibentuk oleh osteoblas itu sendiri dengan menjulurkan tonjolan-tonjolan

sitoplasma menembus matriks tulang. Dengan demikian, pada produk tulang akhir, terbentuk

jaringan saluran yang memancar dari steiap osteoblas yang terperangkap yang befungsi sebagai

sistem penyalur untuk penyampaian nutrien dan pengeluaran zat sisa. Osteoblas yang terperangkap,

yang sekarang disebut osteosit, berhenti melaksanakan tugas mebentuk tulang karena “dipenjara”

dan tidak lagi dapat meletakkan tulang baru. Namun, sel-sel ini ikut serta dalam pertukaran kalsium

antara tulang dan darah yang diatur oleh hormon paratiroid. (Sherwood, 2001)

C. Fraktur Tulang

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang

rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan patah tulang dapat

berupa trauma langsung maupun trauma tidak langsung. Akibat trauma tergantung pada jenis

trauma, kekuatan, dan arahnya. Berdasarkan ada tidaknya dengan dunia luar patah tulang dibagi

menjadi patah tulang tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar

dan patah tulang terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena

adanya perlukaan di kulit. (Mansjoer dkk, 2000; Newman, 2006; Samsuhidajat dan Wim de Jong,

1998)

Proses penyembuhan patah tulang merupakan proses biologis alami yang akan terjadi pada

setiap patah tulang. Pada permulaan akan terjadi perdarahan di sekitar fraktur, yang disebabkan oleh

terputusnya pembuluh darah pada tulang dan periost. Fase ini disebut fase hematoma. Hematoma ini

akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler hingga hematom berubah

menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler di dalamnya. Jaringan ini yang menyebabkan fragmen

tulang saling menempel. Fase ini disebut fase jaringan fibrosis dan jaringan yang menempelkan

fragmen patahan tulang tersebut dinamakan kalus fibrosa. Ke dalam hematom dan jaringan fibrosis

ini kemudian juga tumbuh sel jaringan mesenkim yang bersifat osteogenik. Sel ini akan berubah

menjadi sel kondroblast yang membentuk kondroid yang merupakan bahan dasar tulang rawan.

Sedangkan di tempat yang jauh dari patahan tulang yang vaskularisasinya relatif banyak, sel ini

berubah menjadi osteoblast dan membentuk osteoid yang merupakan bahan dasar tulang. Kondroid

dan osteoid ini mula-mula tidak mengandung kalsium hingga tidak terlihat pada foto rontgen. Pada

tahap selanjutnya terjadi penulangan atau ossifikasi, kesemuanya ini menyebabkan kalus fibrosa

berubah menjadi kalus tulang. Pada foto rontgen proses ini terlihat sebagai bayangan radioopak

tetapi bayangan garis patah tulang masih terlihat. Fase ini disebut fase penyatuan klinis. Selanjutnya

Page 9: Osteomielitis Report

terjadi pergantian sel tulang secara berangsur-angsur oleh sel tulang yang mengatur diri sesuai

dengan garis tekanan dan tarikan yang bekerja pada tulang. akhirnya sel tulang ini mengatur diri

secara lamelar seperti tulang normal, kekuatan kalus ini sama dengan kekuatan tulang biasa dan fase

ini disebut fase konsolidasi. (Samsuhidajat dan Wim de Jong, 1998)

Berdasarkan stadium-stadiumnya, proses penyembuhan tulang terdiri dari 4 stadium yaitu

stadium penyatuan (absorbsi energi pada tempat fraktur), stadium inflamasi (hematoma, nekrosis

tepi fraktur, pelepasan sitokin, jaringan granulasi dalam celah-celah berlangsung sekitar dua

minggu), stadium reparatif (kartilago dan tulang berdiferensiasi dari periosteum atau sel-sel

parenkim, kartilago mengalami klasifikasi endokondral, dan tulang membranosa yang dibentuk oleh

osteoblas pada perifer dini kalus, secara bertahap mengganti kartilago yang berklasifikasi dengan

tulang berlangsung selama satu sampai beberapa bulan), stadium remodelling (tulang yang

berongga-rongga berubah menjadi lamelar melalui resorpsi dan pembentukan ganda, tulang

cenderung untuk mempunyai bentuk aslinya melalui remodelling dibawah pengaruh dari stress

mekanik berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun). (Harnawatiaj, 2008)

Proses penyembuhan patah tulang ini dapat mengalami gangguan. Gangguan pada proses

penyembuhan meliputi malunion (suatu keadaan dimana fraktur ternyata sembuh dalam posisi yang

kurang sesuai, membentuk sudut atau posisinya terkilir); delayed union (proses penyembuhan yang

terus berlangsung tetapi kecepatannya lebih rendah daripada biasanya); dan non union (fraktur yang

gagal untuk mengalami kemajuan ke arah penyembuhan, ini disebabkan karena pergerakan yang

berlebihan, distraksi yang berlebihan, infeksi dan jaringan lunak terpisah secara parah). Beberapa

faktor yang mempengaruhi penyembuhan tulang yaitu banyaknya tulang yang rusak, daerah tulang

yang patah, persediaan pembuluh darah/vaskularisasi di sekitar fraktur untuk pembentukan kalus,

dan faktor lainnya seperti imobilisasi yang tidak cukup, infeksi, interposisi dan gangguan

perdarahan setempat. (Harnawatiaj, 2008; Samsuhidajat dan Wim de Jong, 1998)

D. Osteomielitis

Osteomielitis adalah infeksi jaringan tulang atau radang tulang yang disebabkan oleh

organisme piogenik. Namun, osteomielitis dapat juga disebabkan oleh bakteri, virus, atau proses

sepsifik (m. tuberculosa, jamur). (Newman, 2006; Mansjoer dkk., 2000; Price and Wilson, 2006)

Osteomielitis selalu dimulai dari daerah metafisis karena pada daerah tersebut peredaran

darahnya lambat dan banyak mengandung sinusoid. Penyebaran osteomielitis dapat terjadi ke arah

korteks (membentuk abses subperiosteal dan selulitis pada jaringan sekitarnya), menembus

periosteum (membentuk abses jaringan lunak yang dapat menyumbat atau menekan aliran darah ke

tulang dan mengakibatkan kematian jaringan tulang/sekuester), ke arah medula, dan ke persendian.

Penetrasi ke epifisis karang terjadi. (Mansjoer dkk, 2005)

Page 10: Osteomielitis Report

Pada awal penyakit, gejala sistemik seperti febris, anoreksia, dan malaise menonjol,

sedangkan gejala lokal seperti pembengkakan atau selulitis belum tampak. Pada masa ini dapat

terjadi salah diagnosis sebagai demam tifoid. Nyeri spontan lokal yang mungkin disertai nyeri tekan

dan sedikit pembengkakan serta kesukaran gerak dari ekstremitas yang terkena merupakan gejala

osteomielitis hematogen akut. Pada saat ini, diagnosis harus ditentukan berdasarkan gejala klinis,

untuk memberikan pengobatan yang adekuat. Diagnosis menjadi jelas bila didapat selulitis subkutis.

(Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 1998)

Untuk menentukan diagnosis, dapat digunakan aspirasi, pemeriksaan sintigrafi, biakan

darah, dan pemeriksaan pencitraan. Aspirasi dilakukan untuk memperoleh pus dari subkutis,

subperiost, atau lokus radang di metafisis. Pemeriksaan penunjang pada osteomielitis meliputi

pemeriksaan laboratorium (CRP dan LED meningkat serta leukositosis) dan pemeriksaan radiologik

(ada fase kronik ditemukan suatu involukrum dan sekuester). (Mansjoer dkk., 2000; Sjamsuhidajat

dan Wim de Jong, 1998)

Begitu diagosis secara klinis ditentukan, ekstremitas yang terkena diistirahatkan dan segera

beri antibiotik. Bila dengan terapi intensif selama 24 jam tidak didapati perbaikan, dianjurkan untuk

mengebor tulang yang terkena. Bila ada cairan keluar tulang, maka perlu dibor pada beberapa

tempat untuk mengurangi tekanan intraosal. Cairan tersebut perlu dibiak untuk menentukan jenis

kuman dan kerentanannya. Bila terdapat perbaikan, antibiotik parenteral diteruskan selama dua

minggu, kemudian diteruskan secara oral sampai paling sedikit empat minggu. (Sjamsuhidajat dan

de Jong, 1998)

Osteomileitis akut yang tidak diterapi secara adekuat, akan berkembang menjadi

osteomielitis kronik. Pada pemeriksaan klinik, didapatkan fistel kronik pada ekstremitas yang

mengeluarkan nanah dan kadang sekuester kecil. Pada foto polos, didapat gambaran sekuester dan

pembentukan tulang baru (involucrum). (Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 1998)

Pada osteomielitis kronik dilakukan sekuestrektomi dan debridemen, serta pemberian

antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur dan resistensi. Debridemen berupa pengeluaran jaringan

nekrotik di dinding ruang sekuester dan pengaliran. Pada fase pascaakut, subakut, atau kronik dini

biasanya involukrum belum cukup kuat untuk menggantikan tulang asli yang menjadi sekuester.

Karena itu ekstremitas yang terkena harus dilindungi dengan gips untuk mencegah patah tulang

patologik, dan debridemen serta sekuestrektomi ditunda sampai involukrum menjadi kuat. Selama

menunggu pembedahan dilakukan pengaliran nanah dan pembilasan (Sjamsuhidajat dan Wim de

Jong, 1998)

Page 11: Osteomielitis Report

BAB III

PEMBAHASAN

Pasien dalam skenario datang dengan keluhan utama berupa nyeri tungkai bawah kanan

yang disertai pireksia, kemerahan, dan sinus di kulit yang hilang timbul. Dari anamnesis, diketahui

bahwa pasien mempunyai riwayat kecelakaan dua tahun yang lalu hingga mengakibatkan patah

tulang di mana tulang tampak dari luar. Patah tulang atau fraktur adalah terputusnya kontinuitas

jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Istilah medis

untuk fraktur dengan kulit ekstremitas yang terlibat ditembus oleh fragmen tulang yang patah

disebut sebagai fraktur terbuka.

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula

(reposisi), yaitu posisi anatomis. Posisi tersebut harus tetap dipertahankan selama masa

penyembuhan (imobilisasi). Latihan gerakan aktif dan pasif, terutama pada persendian anggota

gerak yang patah dan semua sendi yang tidak diimobilisasi mulai dilakukan secara teratur pada hari

pertama. Pengelolaan fraktur terbuka memerlukan perhatian khusus untuk kemungkinan terjadinya

infeksi. Upaya pencegahan infeksi harus dilakukan sejak awal, yaitu dengan irigasi dan debridement

yang adekuat sampai ke jaringan yang vital dan bersih. Diberikan pula antibiotik profilaksis selain

imunisasi tetanus. Selain itu, fiksasi yang kuat juga harus dilakukan pada fragmen patahan tulang.

Pada umumnya, operasi irigasi dan debridement pada fraktur terbuka harus dilakukan dalam waktu

6 jam setelah terjadinya cedera.

Proses penyembuhan fraktur merupakan proses biologis alami yang akan terjadi pada setiap

fraktur tulang. Terdapat beberapa fase dalam penyembuhan patah tulang yang meliputi fase

hematoma, fase jaringan fibrosis, fase penyatuan klinis, dan fase konsolidasi. Terdapat beberapa

faktor yang mempengaruhi penyembuhan tulang, yaitu banyaknya tulang yang rusak, lokasi tulang

yang patah, dan persediaan pembuluh darah (vaskularisasi) di sekitar fraktur untuk pembentukan

kalus. Imobilisasi yang tidak cukup, infeksi, interposisi, dan gangguan perdarahan setempat

merupakan faktor yang dapat menghambat proses penyembuhan.

Pasien dalam skenario mengalami malunion, yaitu penyatuan fragmen fraktur tulang pada

posisi yang salah. Hal ini dapat diketahui dari hasil plain foto pasien yang menunjukkan adanya

angulasi tibia dan fibula (varus). Kemungkinan besar dukun tulang yang menangani pasien

melakukan kesalahan dalam mereposisi tulang sehingga pada akhirnya tulang tibia dan fibula pasien

justru membentuk sudut dan terjadi abnormalitas yang disebut varus.

Penulis dapat menyimpulkan bahwa fraktur terbuka yang dialami pasien dalam skenario

tidak mendapatkan penanganan yang tepat dan adekuat sehingga menimbulkan keabnormalan

bentuk tulang dan tidak menutup kemungkinan telah terjadi kontaminasi oleh lingkungan pada

Page 12: Osteomielitis Report

tempat terjadinya fraktur tersebut. Setelah terjadi cedera akibat kecelakaan, pasien justru dibawa ke

dukun tulang yang mungkin dalam memberikan penanganan kurang memperhatikan sterilitas

sehingga terjadi proses infeksi pada tulang. Infeksi jaringan tulang disebut sebagai osteomielitis dan

dapat timbul akut atau kronik. Patologi yang terjadi pada osteomielitis akut tergantung pada umur,

daya tahan penderita, lokasi infeksi, serta virulensi kuman. Osteomielitis akibat fraktur terbuka

terutama disebabkan oleh Stafilokokus aureus, B. colli, Pseudomonas, dan kadang-kadang oleh

bakteri anaerobik seperti Klostridium, Streptokokus anaerobik, atau bakteroides. Bentuk akut

dicirikan dengan adanya awitan demam sistemik maupun manifestasi lokal yang berjalan dengan

cepat. Osteomielitis kronik dapat terjadi jika osteomielitis akut tidak ditangani dengan baik.

Proses infeksi yang terjadi diawali dengan masuknya antigen ke dalam tubuh, kemudian

dengan segera tubuh membentuk mekanisme pertahanan dengan mendatangkan antibodi dan

komplemen pada daerah yang terinfeksi untuk mengikat antigen yang masuk. Selanjutnya, terjadi

proses reaksi antigen, antibodi, dan komplemen. Selama proses ini, terdapat beberapa mediator

inflamasi yang dilepaskan, yaitu histamin (untuk meningkatkan permeabilitas vaskuler dan

menimbulkan vasodilatasi), bradikinin (untuk menimbulkan vasodilatasi dan rasa nyeri), leukotrien

(untuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan sebagai agen kemotaksis untuk

mengundang leukosit guna memfagosit antigen), serta prostaglandin (untuk vasodilatasi,

menimbulkan rasa nyeri, dan sebagai agen kemotaksis). Akibat proses infeksi ini, timbul nyeri pada

tungkai bawah kanan pasien, pireksia, kemerahan dan sinus di kulit yang hilang timbul. Dalam

kurun waktu yang cukup panjang (kronis), infeksi ini juga dapat menyebabkan sumsum tulang

membengkak hingga menekan dinding tulang sebelah luar yang kaku. Akibatnya, pembuluh darah

dalam sumsum bisa tertekan sehingga aliran darah berkurang. Jika tidak segera ditangani, daerah

yang kekurangan aliran darah ini dapat mengalami kematian sehingga terjadi nekrosis tulang

(squester). Squester ini dapat mencegah penutupan kloaka (pada tulang) dan sinus (pada kulit).

Selanjutnya, periosteum akan membentuk tulang baru yang menyelubungi tulang yang mati

(involucrum). Akibatnya, dapat terjadi destruksi dan sklerosis tulang. Scarr tissue (jaringan parut)

yang terjadi pada pasien disebabkan oleh perlukaan pada kulit sewaktu terjadinya kecelakaan.

Akibat perlukaan ini terjadi kerusakan jaringan di sekitar daerah yang mengalami fraktur, kemudian

kerusakan ini digantikan oleh jaringan kolagen melalui proses fibrolisis sehingga terbentuk jaringan

parut (scarr tisue).

Menurut diskusi dan penelusuran pustaka yang telah penulis lakukan, maka penulis

menyimpulkan bahwa pasien menderita osteomielitis kronis. Hal pertama yang perlu dilakukan

dalam upaya pengelolaan penyakit pasien adalah sekuestrektomi dan debridement serta pemberian

obat antimikroba berspektrum luas untuk mengatasi infeksi dan pemberian analgesik antipiretik

Page 13: Osteomielitis Report

untuk mengurangi nyeri dan menurunkan demam. Selain itu, untuk menentukan jenis antimikroba

yang tepat, dokter juga perlu melakukan uji sensitivitas antimikroba melalui kultur darah dan

pemeriksaan darah lengkap. Jika jenis bakteri penyebab infeksi telah diketahui, maka obat

antimikroba yang sesuai dapat segera diberikan untuk pasien.

Osteomielitis sangan resisten terhadap pengobatan dengan antibiotika. Menurut teori, hal ini

disebabkan oleh karena sifat korteks tulang yang tidak memiliki pembuluh darah sehingga tidak

cukup banyak antibodi yang dapat mencapai daerah yang terinfeksi tersebut. Infeksi tulang sangat

sulit untuk ditangani, bahkan tindakan drainase dan debridement, serta pemberian antibiotika yang

tepat masih tidak cukup untuk menghilangkan penyakit.

Kondisi sosial ekonomi pasien juga perlu diperhatikan dalam upaya penanganan

penyakitnya. Dalam skenario, dijelaskan bahwa pasien memiliki kartu asuransi kesehatan, tetapi

tidak bisa digunakan sehingga ia perlu membayar seluruh biaya pengobatan. Oleh karena itu,

sebaiknya dipilih pengobatan yang efektif dan ekonomis sehingga pasien dapat tertolong dan tidak

terlalu terbebani dengan biaya yang mahal. Dengan pengelolaan yang baik, maka prognosis pasien

juga menjadi lebih baik. Namun, kita juga perlu menginformasikan pada pasien atau keluarganya

bahwa penyakit osteomielitis sangat sulit untuk dapat sembuh secara sempurna dan kemungkinan

kambuh di masa mendatang tetap ada.

Page 14: Osteomielitis Report

BAB IV

PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa :

1. Fraktur terbuka yang dialami pasien telah terkontaminasi oleh lingkungan dan menimbulkan

infeksi.

2. Fraktur terbuka yang dialami pasien tidak mendapatkan penanganan yang tepat dan adekuat

sehingga proses infeksi terus berlanjut dan mengakibatkan osteomielitis kronis.

B. SARAN

Tindakan penanganan untuk pasien sebaiknya diberikan secara cepat dan adekuat supaya

prognosis pasien lebih baik. Namun, dokter harus tetap memberikan pengertian pada pasien atau

keluarganya bahwa penyakit yang diderita pasien sulit untuk dapat sembuh secara sempurna

sehingga kekambuhan mungkin terjadi di masa mendatang.

Page 15: Osteomielitis Report

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 1. Tt. Struktur dan Penyakit Tulang. http://www.medicastore.com/alovell/isi.php?isi=tulang

(diakses tanggal 4 November 2008)

Budianto, Anang dan M. Syahrir Azizi. 2004. Guidence to Anatomy 1. Surakarta: Keluarga Besar

Asisten Anatomi FKUNS.

Guyton, A. C. dan J. E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9. Jakarta: EGC.

Harnawatiaj. 2008. Fraktur. http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/05/28/fraktur/ (diakses tanggal 4

November 2008)

Mansjoer, Arif dkk (eds). 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi Ketiga. Jakarta : Media

Aesculapis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Murray, Robert K et. al. 2003. Biokimia Harper Edisi 25. Jakarta : EGC.

Newman, W. A. 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC.

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit

Vol. 2 Ed. 6. Jakarta: EGC.

Rasjad, Chairrudin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar : Bintang Lamumpatue.

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC.

Samsuhidajat, R. dan Wim de Jong (eds). 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Jakarta : EGC.