Nekrolisis epidermal toksik

25
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Nekrolisis epidermal toksik ditemukan pertama kali pada tahun 1956, sebanyak empat kasus oleh Alana Lyell, penyakit ini biasanya disebut sindrom Lyell. NET ditemukan oleh Alana Lyell dengan gambaran berupa erupsi yang menyerupai luka bakar pada kulit akibat terkena cairan panas (scalding). Penyebab NET belum jelas, tetapi obat-obatan (sulfonamid dan butazonez) dan spesies Staphylococus merupakan penyebab utama . oleh karena itu nekrolisis epidermal toksik atau NET merupakan penyakit erupsi kulit yang umunya timbul akibat obat-obatan dan lesi berupa bulla, dengan penamapakan kulit seperti terbakar yang menyeluruh. 1

description

Nekrolisis epidermal toksik

Transcript of Nekrolisis epidermal toksik

Page 1: Nekrolisis  epidermal toksik

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Nekrolisis epidermal toksik ditemukan pertama kali pada tahun 1956,

sebanyak empat kasus oleh Alana Lyell, penyakit ini biasanya disebut sindrom Lyell.

NET ditemukan oleh Alana Lyell dengan gambaran berupa erupsi yang menyerupai

luka bakar pada kulit akibat terkena cairan panas (scalding).

Penyebab NET belum jelas, tetapi obat-obatan (sulfonamid dan butazonez)

dan spesies Staphylococus merupakan penyebab utama . oleh karena itu nekrolisis

epidermal toksik atau NET merupakan penyakit erupsi kulit yang umunya timbul

akibat obat-obatan dan lesi berupa bulla, dengan penamapakan kulit seperti terbakar

yang menyeluruh.

1

Page 2: Nekrolisis  epidermal toksik

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi kulit

Kulit merupakan organ yang istimewa pada manusia. Berbeda dengan

organ lain, kulit yang terletak pada sisi terluar manusia ini memudahkan

pengamatan, baik dalam kondisi normal maupun sakit. Manusia secara sadar terus

menerus mengamati organ ini. Dari kulit, muncul berbagai asesori yang terindera

manusia; rambut ( kasar dan halus), kuku, dan kelenjar (sekretnya terurai oleh

mikroorganisme dan keluarlah bau). Dalam kondisi sehat, kulit beserta

aksesorinya ini menunjang rasa percaya diri seseorang; dalam keadaan sakit,

mereka mungkin menjadi sumber keresahan.

Kulit adalah organ terbesar pada tubuh manusia, dengan berat sekitar 5 kg

dan luas 2 m2 pada seseorang dengan berat badan 70 kg. Bila diamati lebih teliti,

terdapat variasi kulit sesuai dengan area tubuh. Kulit yang tida berambut disebut

kulit glabrosa, ditemukan pada telapak tangan dan telapak kaki. Pada kedua

lokasi tersebut, kulit memiliki relief yang jelas di permukaannya yang disebut

dermatoglyphics.

Kulit glabrosa kira-kira 10 kali lebih tebal dibandingkan dengan kulit

yang paling tipis, misalnya di daerah lipatan (fleksural). Secara histologik, kulit

glabrosa kaya akan kelenjar keringat etapi miskin kelenjar sebasea. Kulit kepala

memiliki banyak folikel juga memiliki kelenjar sebasea. Kulit kepala memiliki

folikel rambut yang besar dan terletak dalam hingga ke lapisan lemak kulit

( subkutis), sedangkan kulit dahi memiliki rambut yang halus (velus) tetapi

dengan kelenjar sebasea yang berukuran besar.

Selain keberadaan rambut, warna kulit merupakan aspek yang paling

mudah dilihat pada kulit manusia. Dikenal pembagian warna kulit menurut

Fitzpatrick berdasarkan pada kemampuan kulit untuk berpigmentasi ( tanning )

dan kemungkinan terbakar ( sunbum) pasca pajanan sinar ultraviolet. Terdapat

pula variasi regional pigmentasi kulit berdasarkan lokasi tubuh.

Kulit ( dan adneksa) menjalankan berbagai tugas dalam memelihara

kesehatan manusia secara utuh yang meliputi fungsi, yaitu:

2

Page 3: Nekrolisis  epidermal toksik

1) Perlindungan fisik ( terhadap gaya mekanik, sinar ultraviolet, bahan

kimia)

2) Perlindungan imunologik

3) Ekskresi

4) Pengindera

5) Pengaturan suhu tubuh

6) Pembentukan vitamin D

7) Kosmetis

Fungsi- fungsi tersebut lebih mudah dipahami dengan meninjau struktur

mikroskopik kulit yang terbagi menjadi 3 lapisan : epidermis, dermis, subkutis.

Dalam menjalankan berbagai fungsi diatas ketiga lapisan tersebut

bertindak sebagai satu kesatuan yang saling terkait satu dengan yang lain. Sebagai

contoh, perlindungan imonologik terhadap infeksi dikerjakan bersama oleh

keratinosit dan sel penyaji antigen di epidermis yang berkomunikasi dengan

limfosit yang beredar disekitar pembuluh darah dermis

I. EPIDERMIS

Lapisan epidermis adalah lapisan kulit dinamis, senantiasa beregenerasi,

berespons terhadap rangsangan di luar maupun dalam tubuh manusia . tebalnya

bervariasi antara 0,4 – 1,5 mm. Penyusun terbesar epidermis adalah keratinosit.

Terselip diantara keratinosit adalah sel Langerhans dan melanosit, dan kadang-

kadang juga sel merkel dan limfosit.

Keratinosit tersusun dalam beberapa lapisan. Lapisan paling bawah

disebut stratum basalis, diatasnya berturut-turut adalah stratum spinosum dan

stratum granulosum. Ketiga lapisan epidermis ini di kenal sebagai stratum

korneum yang tersusun oleh keratinosit yang telah mati ( korneosit)

Susunan epidermis yang berlapis-lapis ini menggambarkan proses

diferensiasi (keratinisasi ) yang dinamis, yang tidak lain berfungsi menyediakan

sawar kulit pelindung tubuh dari ancaman di permukaan.

a. Stratum basalis

3

Page 4: Nekrolisis  epidermal toksik

Keratinosit stratum basalis berbentuk toraks, berjajar di atas lapisan

struktural yang disebut basal membran zone (BMZ). Keratinosit basal berdiri

kokoh di atas BMZ karena protein struktural yang memaku membran sitoplasma

keratinosit pada BMZ yang disebut hemidesmosom.

Terdapat berbagai jenis hemidesmosom, yang penting diantaranya adalag

BPAg dan integrin. Gangguan pada struktur hemidesmososm akan menyebabkan

kulit tidak dapat menahan trauma mekanik. Pada penyakit pemfigoid bulosa

misalnya, reaksi autoimun yang menghancurkan BPAg akan menyebabkan

timbulnya celah subepidermal yang terletak antara keratinosit basal dan BMZ.

Terdapat tiga subpopulasi keratinosit di stratum basalis, yaitu:

1. Sel punca (stem cells)

2. Transient amplifing cells (TAC)

3. Sel pascamitosis (postmitotic cells)

Sel punca lambat membela diri, biasanya aktif saat terjadi kerusakan luas

epidermis yang membutuhkan regenerasi cepat. TAC, sesuai dengan namanya,

aktif bermitosis dan merupakan subpopulasi terbesar stratum basalis. Sel –sel ini

tidak lama tinggal di stratum basalis;setelah beberapa kali membelah diri

( pascamitosis ) dan berkomitmen untuk berdiferensiasi, mereka pindah ke atas

lapisan stratum basalis ( suprabasal).

Keratinosit memiliki struktur intrasitoplasma yang disebut keratine

intermediate filament (KIF). Terdapat berbagai macam jenis keratine dengan

keasaman dan berat molekul yang berbeda. Dua macam keratine akan

berpasangan dan terpilih dalam ikatan α-heliks, yang kokoh dan berfungsi sebagai

sitoskeleton ( cytoskeleton). DNA keratinosit basal menyandi protein keratine 5

dan 14, sedangkan keratinosit di stratum spinosom menyandi protein K1/K10.

Sitoskeleton memberi kekuatan pada keratinosit untuk menahan gaya

mekanik pada kulit. Pada genodermatosis ( kelainan kulit akibat gangguan

genetik ) tertentu, misalnya epidermolisis bulosa simpleks (EBS), terjadi mutasi

DNA sedimikian rupa sehingga KIF tidak terbentuk atau tidak dapat membentuk

ikatan α-helik yang sempurna. Akibatnya, kulit bayi yang menyandang EBS

sangat rentan dengan gesekan sehingga mudah terjadi lepuh saat bayi belajar

4

Page 5: Nekrolisis  epidermal toksik

bergerak. Kelak, saat keratinosit mati dan mencapai stratum korneum, KIF akan

mengalami penataan ulang guna membentuk sawar kulit.

Sitoplasma keratinosit banyak mengandung melanin, pigmen warna yang

tersimpan dalam melanososm. Melanosit mensintesis melanin dan

mendistribusikannya pada sekitar 36 keratinosit di stratum basalis. Melanin yang

tersebar dalam keratinosit memberikan warna secara keseluruhan pada kulit

seseorang. Melanin dapat menyerap sinar ultraviolet yang berbahaya bagi DNA.

Tidak mengherankan warna kulit manusia meninjukkan variasi geografis;

populasi asli dengan kondisi alam dengan intensitas sinar ultraviolet tinggi

memiliki warna kulit yang lebih gelap. Keganasan kulit terkait sinar matahari

lebih banyak dijumpai pada orang Kaukasia yang tinggal di Australia. Selain

merusak DNA sinar ultraviolet juga mampu mepercepat penuaan dan timbulnya

kerutan. Sedikit ironis, kini banyak orang berlomba-lomba menghilangkan

pigmen alami mereka demi obsesi akan kecantikan.

Sel merkel berfungsi sebagai reseptor mekanik (mechanoreceptors),

terutama berlokasi pada kulit dengan sensitivitas raba yang tinggi, termasuk kulit

yang berambut maupun glabrosa ( bibir dan jari ).

b. Stratum spinosom

Keratinosit stratum spinosom memilikibentuk poligonal, berukuran lebih

besar daripada keratinosit stratum basale. Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat

struktur mirip taji (spina) pada permukaan keratinosit yang sebenarnya

merupakan penyambung antar keratinosit yang disebut desmosom. Desmosom

terdiri dari berbagai protein struktural, misalnya desmoglein dan desmokolin.

Struktur ini memberikan kekuatan pada epidermis untuk menahan trauma fisis di

permukaan kulit. Pada beberapa penyakit autoimun , misalnya Pemfigus, terjadi

gangguan terhadap pembentukan desmoglein sehingga keratinosit tidak lagi

terhubung satu dengan yang lain ( akantolisis). Pada epidermis berbentuk celah

yang berisi keratinosit yang terlepas dari kesatuan, yang disebut sel akantolitik.

Celah tersebut secara klinis akan tampak sebagai vesikel atau bula. Ekspresi KIF

pada lapisan ini berubah menjadi Keratin 1 /K10; pada keadaan hiperproliferasi,

misalnya psoriasis, ekspresinya berubah menjadi K6/K16.

5

Page 6: Nekrolisis  epidermal toksik

Keratinosit stratum spinosom mulai membentuk struktur khusus yang

disebut lamellar granules (LG) yang dapat dilihat menggunakan mikroskop

elektron. Struktur ini terdiri dari barbagai protein dan lipid, misalnya

glikoprotein, glikolipid, fosfolipid, dan yang terpenting gukoseramid yang

merupakan cikal bakal seramid, yang kelak akan berperan dalam pembentukan

sawar lipid pada stratum korneum. Sawar lipid akan bersinergi dengan sawar

struktural yang terbentuk oleh KIF pada lapisan stratum korneum.

Pada stratum spinosom dan granulosum terdapat sel Langerhans (SL), sel

dendiritik yang merupakan sel penyaji antigen. Antigen yang menerobos sawar

kulit akan difagosit dan diproses oleh SL, untuk kemudian dibawa dan disajikan

kepada limfosit untuk dikenali. Dengan demikian, SL berperan penting dalam

pertahanan imonologik manusia. Keratinosit sendiri hingga derajat tertentu juga

mampu membangkitkan respons imonologik dengan cara melepaskan sitokin

proinflamasi, jika terjadi jejas yang mengancam.

c. Stratum granulosum

Keratinosit stratum granulosum mengandung keratohyaline granules

(KG) yang terlihat pada pemeriksaan mikroskopik biasa. KG mengandung

profilagrin dan loricrin yang penting dalam pembentukan cornified cell envelope

(CCE). Secara sederhana, keratinosit distratum granulosum memulai program

kematiannya sendiri (apoptosis), sehingga kehilangan inti dan organel sel

penunjang hidupnya. Profilagrin akan dipecah menjadi filagrin yang akan

bergabung dengan KIF menjadi makrofilamen. Beberapa molekul filagen kelak

akan dipecah menjadi molekul asam urokanat yang memberikan kelembaban

stratum korneum dan menyaring sinar ultraviolet. Loricrin akan bergabung

dengan protein-protein struktural dermosom, dan berikatan dengan membran

plasma keratinosit. Proses –proses tersebut menghasilkan CCE yang akan

menjadi bagian dari sawar kulit di stratum korneum.

Waktu yang diperlukan bagi keratinosit basal untuk mencapai stratum

korneum kira-kira 14 hari, dan dapat lebih singkat pada keadaan hiperproliferasi

misalnya psoriasis dan dermatitis kronik.

d. Stratum korneum

6

Page 7: Nekrolisis  epidermal toksik

CCE yang mulai dibentuk pada stratum korneum akan mengalami

penataan bersama dengan lipid yang dihasilkan oleh LG. Susunan kedua

komponen sawar kulit tersebut sering dikiaskan sebagai brick and mortar, CCE

menjadi batu bata yang diliputi oleh lipid sebagai semen di sekitarnya. Matrik

lipid ektraselular ampuh menahan kehilangan air dan juga mengatur permeabilitas

, deskuamasi, akitivitas peptida antimikroba, eksklusi toksin dan penyerapan

kimia secaraselektif. Korneosit lebih berperan dalam memberi penguatan

terhadapa trauma mekanis, produksi sitokin yang memulai proses peradangan

serta perlindungan terhadap sinar ultraviolet. Waktu yang diperlukan bagi

korneosit untuk melepaskan diri (shedding) dari epidermis kira-kira 14 hari.

II. DERMIS

Dermis merupakan jaringan di bawah epidermis yang juga memberi

ketahanan pada kulit, termoregulasi, perlindungan imonologik, dan ekskresi.

Fungsi-fungsi tersebut mampu dilaksanakan dengan baik karena berbagai elemen

yang berada pada dermis, yakni struktur fibrosa dan filamentosa, groud substance

, dan selular yang terdiri atas endotel, fibroblas, sel radang, kelenjar, folikel

rambut dan saraf.

Serabut kolagen (collagen bundles ) membentuk sebagian besar dermis,

bersama-sam serabut elastik memberikan kulit kekuatan dan elastisitasnya.

Keduanya tertanam dalam matriks yang disebut ground substance yang terbentuk

dari proteoglikans ( PG) dan glikosaminoglikans ( GAG ). PG dan GAG dapat

menyerap dan mempertahankan air dalam jumlah besar sehingga berperan dalam

pengaturan cairan dalam kulit dan mempertahankan growth faktors dalam jumlah

besar.

Fibroblas, makrofag dan sel mast rutin ditemukan pada dermis. Fibroblas

adalah sel yang memproduksi protein matriks jaringan ikat dan serabut kolagen

serta elastik di dermis. Makrofag merupakan salah satu elemen pertahanan

imonologik pada kulit yang mampu bertindak sebagai fagosit, sel penyaji antigen,

maupun mikrobisidal dan tumorisidal.

III. Subkutis

7

Page 8: Nekrolisis  epidermal toksik

Subkutis yang terdiri atas jaringan lemak mampu mempertahankan suhu

tubuh, dan merupakan cadangan energi, juga menyediakan bantalan yang

meredam trauma melalui permukaan kulit. Deposis lemak menyebabkan

terbentuknya lekuk tubuh yang memberikan efek kosmetis. Sel-sel lemak terbagi-

bagi dalam lobus satu sama lain dipisahkan oleh spta.

ADNEKSA KULIT

Yang tergolong adneksa kulit adalah ekrin dan apokrin, serta kuku.

Folikel rambut sering di sebut sebagai unit polisebase karena terdiri atas bagian

rambut dan kelenjar sebasea yang bermuara ke bagian folikel rambut yang

disebut ismus. Rambut yang tebal dan berpigmen disebut rambut terminal,

misalnya rambut kulit kepala dan janggut. Rambut yang halus, panjangnya

kurang dari 1 cm dan tidak berpigmen disebut velus, terdapat pada sebagian besar

permukaan kuliat kecuali kulit glabrosa. Unit pilosebasea pada aksila dan

inguinal mengandung kelenjar apokrin, dan pada dada, punggung atas dan wajah

memiliki kelenjar sebasea yang besar. Rambut tumbuh mengikuti siklus 3 fase

anagen ( pertumbuhan ), katagen (involusi ) dan telogen (istirahat). Panjang

masing –masing fase berbeda pada lokasi kulit yang berbeda. Pada kulit kepala,

fase anagen berlangsung kira-kira selam 3 tahun, fase katagen 3 minggu dan fase

telogen 3 bulan. Pada suatu waktu pada kulit kepala 85% rambut berada pada fase

anagen, sekitar 10% berada pada fase telogen dan sisanya pada tahap katagen

maka, pada keadaan normal dapat ditemukan rambut yang rontok.

Kelnjar ekrin berada pada epidermis dan dermis. Bagian di epidermis

daisebut akrosiringium. Bagian sekretorik kelenjar ekrin terletak di dermis dalam,

dekat perbatasan dengan subkutis. Kelenjar ini tersebar di seluruh permukaan

kulit kecuali di daerah ujung penis, klitoris, dan bibir. Kepadatan pada berbagai

lokasi tubuh berbeda-beda.

Fungsi utama kelenjar eksrin adalah

1. Mengatur penglepasan panas

2. Ekskresi air dan elektrolit

3. Mempertahankan keasaman pemukaan kulit sehingga mencegah

kolonisasi kuman patogen

8

Page 9: Nekrolisis  epidermal toksik

Kelenjar apokrin baru aktif saat pubertas; sekret yang dihasilkannya akan

diuraikan oleh kuman sehingga keluarlah bau. Fungsi kelenjar apokrin pada

manusia tidak jelas tetapi mungkin sekret kelenjar ini mengandung semacam

feromon.

2.2 Definisi Toxic Epidermal Necrolysis

Nekrolisis epidermal toksis merupakan reaksi mukokutan akut yang

mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang luas sehingga

terlepas.

Nekrolisis epidermal toksik juga merupakan kelainan yang berupa eritema

dan bula yang akhirnya mengelupas menimbulkan luka yang luas. Pengelupasan

terjadi pada pertemuan dermo-epidermal yang menyerupai luka bakar derajat dua.

Bila pengelupasan epidermis kurang dari 10% luas tubuh, penyakit ini di

golongkan Sindrom Stevens Johnson, sedangkan bila pengelupasan epidermis

lebih dari 30% disebut nekrosis epiderlal toksik

2.3 Epidemiologi

Penyakit NET ini biasanya terjadi oada segala kelompok umur, dan

meningkat pada usia 40 tahun dan wanita lebih sering terkena dibanding laki-laki.

Angka kematian NET adalah 25-35%. NET (nekrolisis epidermal toksik) juga

merupakan penyakit yang jarang. Secara umum insiden NET adalah 0,4-1,2 kasus/

juta penduduk/ tahun.

Saat ini tingkat kejadian NET meningkat satu kasus per seribu populasi

pertahun populasi HIV positif. Peningkatan insiden NET pada penderita HIV

disebabkan pengguanaan sulfonamid pada penderita.

2.4 Etiologi

Penyebab dari NET masih belum jelas , namun ditemukan bahwa obat-

obatan merupakan salah satu faktor penting. Obat- obatan yang sering

menyebabkan NET adalah sulfonamida, antikonvulsan aromati, alopurinol, anti

inflamasi non steroid, dan nevirapin. Ada juga obat dengan resikolebih rendah

yang dilaporkan jenis antibiotik non –sulfonamid seperti aminopenicilin,

kuinolon, sepalosporin, dan tetracixilin

9

Page 10: Nekrolisis  epidermal toksik

Penyebab utama NET yang ditemukan yaitu alrgi obat yang berjumlah 80-

95% dari semua pasien. Selain karena obat, NET dapat pula diinduksi oleh infeksi

Staphylococcus atau bersifat idiopatik.

2.5 Patogenesis

Mekanisme yang jelas sehingga obat dapat menyebabkan timbulnya NET

belum diketahi secara pasti. Tetapi, mekanisme imunologis, metabolit obat yang

mengalami reaktivasi dan interaksi diantara keduanya diduga merupakan

patogenesis timbulnya NET.

Meskipun rangkaian yang tepat dari peristiwa molekul dan seluler belum

di mengerti secara lengkap, beberapa studi telah memberikan petunjuk penting

tentang patogenesis dari NET. Menurut Adhi djuanda dan Mochtar Hamzah

(2009), NET ialah bentuk parah dari SSJ. Sebagian kasus-kasus SSJ berkembang

menjadi NET. Imunopatogenesis yakni merupakan reaksi tipe II (sitolitik). Studi

immunopatologik mendemonstrasikan kemunculan dari CD8+ limposit T pada

epidermis dan dermis dalam reaksi bentuk bulla, dengan ciri-ciri sel yang mirip

natural killers pada fase awal, dimana monosit akan muncul pada fase akhir.

Beberapa sitokin penting yaitu interleukin 6, TNF-α, dan Fas-L juga muncul pada

lesi kulit pasien NET. TNF mungkin juga berperan penting. Molekul ini muncul

pada lesi epidermis, cairan lepuh, dan dalam sel mononuclear perifer dan

makrofag. Sekarang ditemukan teori genetika yang juga berperan penting.

Penemuan di Han cina antara NET-carbamazepine dengan HLA-B1502 sangat

berhubungan, meskipun tidak muncul pada pasien Eropa yang tidak memiliki

keturunan Asia.

Pada penderita NET ditemukan, keratinosit mengalami apoptosis yang

luas. Kondisi ini dipicu oleh adanya gangguan detoksifikasi metabolit obat yang

bersifat reaktif. Hal ini kemudian menginisiasi respon sistem imun tubuh

membentuk kompleks antigen yang kemudian menghasilakn sitokin-sitokin

seperti interleukin (IL)-6, TNF-α, interferon-γ, IL-18 dan Fas Ligand (FasL). Pada

kondisi normal, apoptosis sel segera dieliminasi pada tahap awal oleh fagosit.

Namun, pada kondisi seperti NET apoptosis yang luas terjadi sehingga

kemampuan fagosit untuk mengeliminasi sel yang apoptosis terbatas sehingga sel

menjadi nekrosis dan menghasilkan komponen intraseluler, yang menyebabkan

respon inflamasi.

10

Page 11: Nekrolisis  epidermal toksik

Pada kulit yang normal FasL yang disajikan oleh keratinosit sangat rendah

dan terlokalisir di dalam sel (intraseluller). Pada lesi akibat NET, ditemukan level

FasL yang disajikan oleh kratinosit tinggi dan terletak dipermukaan luar sel

(ekstraseluler) sehingga terjadi interaksi antara Fas dan FasL. Setelah kontak

terjadi FasL menginduksi Fas multimerasi dan mengirimkan signal yang cepat

sehingga terjadi kematian cell akibat apoptosis. Semakin lausnya apoptosis

semakin menyebabkan destruksi epidermis yang luas pula.

2.6 Gambaran klinis

NET merupakan penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian

karena gangguan keseimbangan cairan/elektrolit atau karena sepsis. NET mulai

dalam 8 minggu atau biasanya 4-30 hari setelah terpapar oleh obat

Penyakit ini dimulai secara akut dengan gejala prodromal. Pasien tampak

sakit berat dengan demam tinggi, kesadaran menurun (soporokomatosa). Gejala

lain berupa sakit kepala, rhinitis, dan myalgia muncul lebih awal 1 sampai 3 hari

dari lesi kulitnya. Kelainan kulit mulai dengan eritema generalisata kemudian

timbul banyak vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Lesi pada kulit dapat

disertai lesi pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan

pendarahan sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam pada bibir.

TEN yang biasa juga disebut sindrom Lyell’s, memiliki karakteristik

sebagai berikut :

a. Nekrosis epidermis yang tebal disertai lepuhan, tanpa disertai inflamasi

dari dermis yang mengenai >30% permukaan tubuh.

b. Terdapat dua atau lebih mukosa yang erosi (orofaring, hidung, mata,

traktus genitalia, dan traktus respiratoris)

11

Page 12: Nekrolisis  epidermal toksik

Pada N.E.T yang penting adalah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh. Gambaran klinisnya menyerupai kombusio. Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolski positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni pada punggung dan bokong karena biasanya penderita berbaring. Pada sebagian para penderita kelainan kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula.

Pada keterlibatan epidermis berkembang menjadi nekrosis, dengan ‘dusky

red macular lession’ yang berwarna abu-abu yang khas. Proses ini dapat terjadi

sangat cepat, beberapa jam ataupun hingga beberapa hari. Epidermis yang

nekrotik kemudian terlepas dari dermis yang mendasarinya, dan cairan yang

mengisi ruang antara dermis dan epidermis, sehingga menimbulkan bulla. Bulla

mempunyai gambaran khas mudah pecah dan dapat memanjang ke samping

dengan sedikit tekanan dari jempol dari nekrotik epidermis tersebut akan

berpindah ke lateral (Hansen Asboe-sign). Kulit basah menyerupai kertas rokok

seperti ditarik keluar oleh trauma, meliputi daerah yang luas dan perdarahan pada

12

Page 13: Nekrolisis  epidermal toksik

dermis, yang disebut sebagai ‘scalding’. Oleh karena itu pasien tersebut harus

ditangani dengan sangat hati-hati. Bulla tegang biasanya terlihat pada permukaan

palmoplantar, di mana epidermis lebih tebal sehingga, lebih tahan terhadap

trauma ringan.

2.7 Pemeriksaan penunjang

Tidak ada pemeriksaan laboraturium yang paling menunjang dignosis.

Pememriksaan histopatologi kulit dapat menyingkirkan diagnosis banding, dan

umunya diperlukan untuk kepentingan medikolegan. Pemeriksaan laboraturium

perlu dilakukan untuk mengevaluasi keparahan penyakit dan untuk tatalaksana

pasien.

Pemeriksaan yangperlu dilakukan adalah darah tepi lengkap, analisis gas

darah, kadar elektrolit, albumin dan protein darah, fungsi ginjal, fungsi hepar,gula

darah sewaktu dan foto rontgen paru. Selama perawatan, perlu diwaspadai tanda-

tanda sepsis secara klinis dan dilakukan pemeriksaan laboraturium untuk

menunjang diagnosis sepsis.

2.8 Diagnosis klinis

Dasar diagnosis NET adalah anamnesis yang teliti tentang kronologis

perjalanan penyakit, disertai hubungan waktu yang jelas dengan konsumsi obat

tersangkut: dan gambaran klinis lesi kulit dan mukosa.

2.9 Tatalaksana

Jika NET disebabkan oleh pengunaan obat, maka obat yang diberikan

tersebut dihentikan penggunaanya. Selain itu, penatalaksanaan dilakukan secara

simptomatik. Perawatan yang intensif dan dukungan medis dibutuhkan, seperti

pemasangan central venous line, pemberian cairan intravena dan elektrolit.

Beberapa pasien memerlukan perawatan seperti layaknya luka bakar. Beberapa

pendapat tidak menganjurkan penggunaan kortikosteroid, tetapi jika diberikan

hanya boleh diberikan dalam jangka waktu yang singkat. Pemberian IgG dapat

dipertimbangkan.

Terapi Topikal

Meskipun lepuhannya sangat mudah pecah tapi jika belum juga pecah

dapat kita pecahkan dan kemudian diberi salep clorheksadine, octenisept atau

13

Page 14: Nekrolisis  epidermal toksik

polyhexadine solution. Selain itu, penggunaan disinfektan yang digunakan untuk

berkumur juga dibutuhkan pada pasien NET untuk mengobati erosi pada mukosa

mulut dan juga dibutuhkan dexphantenol untuk mengobati erosi dan krusta yang

ada di derah bibir. Penanganan multidisiplin dibutuhkan pada lesi yang mengenai

mukosa uretra ataupun mata. Oleh karena itu pasien juga dikonsul pada bagian

lain, yaitu spesialis urologi dan spesialis mata.

Perawatan Supportif

Pasien ditempatkan pada suhu kamar (30-320C) dan dibaringkan di atas

matras yang mudah ditukar (alternating matrass). Pasien NET membutuhkan

penggantian cairan elektrolit (0,7/kgBB/% area tubuh yang terkena) dan albumin

(5% human albumin, 1 ml/kgBB/% daerah yang terkena). Jika pasien tidak dapat

makan secara langsung, harus diberikan makanan melalui selang nasogastrik

(1500 kalori dalam 1500 ml pada 24 jam pertama, dan dinaikkan 500 kalori

hingga mencapai 3500-4000 kalori per hari). Monitoring untuk pencegahhan

infeksi diperlukan, jika terdapat tanda infeksi pemeberian antibiotik dianjurkan

dan menunggu hingga hasil kultur dan sensitivitas keluar. Pemberian sedasi dan

analgesik dianjurkan berdasrkan tingkat keparahan.

Pemberian Immunoglobulin dan kortikosteroid

Djuanda (2009) mengatakan dalam bukunya, pengobatan yang dilakukan

yaitu dengan kortikosteroid. Cara pengobatan mirip dengan pengobatan pada

Sindrom Stevens Johnson (SSJ). Perbedaannya mengenai dosisnya, Nekrolisis

epidermal toksik (NET) lebih parah daripada SSJ sehingga dosis kortikosteroid

lebih tinggi, umumnya deksametason 40 mg sehari Intra vena dosis terbagi. Bila

setelah dua hari diobati dengan cara tersebut, masih juga timbul lesi baru

hendaknya dipikirkan kemungkinan alergi terhadap obat yang diberikanpada

waktu rawat inap.

Penggantian plasma menghasilkan remisi yang komplit dalam dua kali

pemberian. Plasmaparesis merupakan intervensi yang aman bagi pasien yang

parah dan menurunkan tingkat mortalitas. Intravena immunoglobulin G

merupakan penalatalaksanaan yang aman dan efektif untuk penderita NET

dewasa dan anak-anak. Penatalaksanaan dengan IVIG 3g/Kg dalam 3 hari atau

14

Page 15: Nekrolisis  epidermal toksik

1g/Kg perhari untuk 3 hari direkomendasikan. Untuk mendapatkan hasil yang

baik beberapa penulis melaporkan dengan dosis maksimal 4g/Kg dalam 4 hari.

2.10 Komplikasi

Toksik epeidermal nekrolisis merupakan kondisi kegawatdaruratan yang

dapat berakibat fatal. Infeksi dan kehilangan cairan serta elektrolit merupakan

keadaan yang mengancam. Nyeri yang dirasakan hampir di seluruh tubuh

membuat pasien menderita. Setelah fase akut terlewati kemungkinan

menyebabkan timbulnya skar pada kornea. Pasien NET juga sangat berisiko

terkena hipotermi.

Satu diantara komplikasi yang parah adalah terkenanya epitel trakea dan

bronkial yang tejadi pada 20% pasien. Hipoksemia, hipocapnia dan alkalosis

metabolik adalah tanda penting dibutuhkannya ventilasi mekanik, ketiga kondisi

tersebut juga meningkatkan resiko kematian.

Komplikasi pada ginjal berupa nekrosis tubular akut akibat terjadinya

ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerulonefritis.

2.11 Prognosis

Dalam perjalanan penyakitnya NET dapat mengalami penyulit yang

mnegancam nyawa berupa sepsis atu multipel organ failure. Prognosis NET dapat

diperkirakan berdasarkan scornet, seperti pada tabel 23.1

15

Page 16: Nekrolisis  epidermal toksik

Pada pasien yang mengalami penyembuhan, re-epitalisasi terjadi dalam

waktu rata 3 minggu. Gejala sisa yang sering terjadi adalah skar pada mata dan

gangguan pengelihatan. Kadang-kadang terjadi skar pada kulit, gangguan

pigmentasi dan gangguan pertumbuhan kuku.

16

Page 17: Nekrolisis  epidermal toksik

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Nekrolisis epidermal toksik merupakan kelainan yang berupa eritema dan

bula yang akhirnya mengelupas menimbulkan luka yang luas. Penyebab dari NET

masih belum jelas. Kelainan kulit mulai dengan eritema generalisata kemudian

timbul banyak vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Lesi pada kulit dapat

disertai lesi pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan

pendarahan sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam pada bibir.

Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk

mengevaluasi keparahan penyakit dan untuk tatalaksana pasien. Kemudian

tatalaksananya diberikan terapi topikal, perawatan supportif, dan pemberian

immunoglobulin dan kortikosteroid.

17

Page 18: Nekrolisis  epidermal toksik

Daftar pustaka

1. Price,Sylvia A dan Lorraine M. Wilson.2005.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit. (6 ed). Jakarta : EGC

2. Sjamsuhidrajat, R. 2010. Buku ajar ilmu bedah.(3 ed). Jakarta :EGC

3. Menaldi, S.L (2015). Ilmu penyakit kulit dan kelamin.(7 ed). Jakarta: Badan Penerbit

FKUI

4. Harr, T,.& French, L. E (2010). Toxic Epidermal Necrolysis and Steven-Johnson

Syndrome. Orphanet Journal of Rare Disease, 5 (39), 1-11

18